"Apa kami tidak salah mendengar, Durmaya?" sentak Adipati Anggabaya.
"Benar! Kamajaya putraku tidak akan mungkin mbalelo! Aku bisa membunuhmu jika kau bukanlah seorang tumenggung. Kau sudah berusaha mencemarkan nama baik putraku!" sungut Patih Dwikala yang tak terima atas tuduhan terhadap putra semata wayangnya.
"Ampun, Gusti. Saya bisa menjadi saksi jika apa yang dilaporkan oleh Raden Tumenggung tidaklah keliru." Pradipta cepat menengahi. "Saya mengenal keempat pendekar bayaran yang selama ini meresahkan Kotaraja. Maka saya pun memperhatikan gerak gerik mereka hingga saya mendengar mereka menyebut hutan Rembuk sebagai markas penyusunan pemberontakan."
"Tapi pendekar, kau bukanlah pandega kadipaten. Kau tidak berhak ikut campur dalam urusan dalam sebelum mendapatkan izin!" sahut Senopati Jembrana.
"Sekali lagi saya mohon ampun, Gusti. Saya tidak akan mencampurkan antara dendam pribadi dengan urusan kadipaten. Saya ingin melindungi kadipaten Anjukladang atas keinginan tulus dari hati saya. Kedatangan saya ke Anjukladang semata untuk mencari seseorang dan saya belum berhasil menemukannya sebab itu saya ingin meredam pemberontakan ini," jelas Pradipta. Hal ini membuat Adipati Anggabaya tersenyum.
"Baiklah. Kalau begitu, aku memberimu izin untuk menyelidiki pemberontakan ini."
"Tapi Gusti...," sela Patih Dwikala.
"Pradipta ingin membantu kita. Lagipula putra Kakang itu pantas dicurigai. Bukankah dia tidak pernah menunjukkan kesungguhannya sebagai pengganti kedudukan Patih." Adipati Anggabaya menolak pembelaan dari sang Patih.
"Baik, Gusti. Saya akan turun tangan sendiri. Jika benar putraku terlibat, aku sendiri yang akan membunuhnya! Tapi jika tuduhannya tidak terbukti... Durmaya yang harus membayarnya dengan kematian!" ucap sang Patih mantap.
Agak terkejut Durmaya mendengarnya. Tapi ia takkan ciut. Kebenaran ada di depan mata. Kebusukan Kamajaya harus dibongkar di depan mereka semua. "Saya menyerahkan kepala saya diujung Keris Menak Giri." Pradipta pun memegang bahu Durmaya. Menguatkannya. Pradipta berjanji akan selalu berada di sisinya.
Tumenggung Durmaya diikuti oleh sang patih akhirnya menyusun rencana untuk masuk dalam pencegahan pemberontakan. Adipati Anggabaya melimpahkan segala wewenang kepada mereka. Entah kenapa, sang adipati begitu mudah percaya terhadap orang baru di kadipatenan. Yakni Pradipta. Sang adipati melihat wibawa Pradipta yang membuatnya kagum. Ia melihat jika Pradipta adalah sosok pendekar yang jujur dan berpegang teguh terhadap ucapannya.
"Kita langsung mengepung dan menyerang mereka dari dekat tepat ketika malam hari! Dengan begitu, habis perkara!" sentak sang patih dengan perasaan yang masih kesal.
"Ampun, Gusti! Jika menggunakan cara itu, saya yakin tidak akan berhasil," ucap Pradipta. "Bukan bermaksud lancang, tetapi pemberontakan itu melibatkan banyak orang di dalam kadipaten yang sama sekali tidak kita ketahui. Saya rasa... masuk secara diam-diam adalah hal yang lebih baik. Jika Gusti Patih tidak berkenan, izinkan kami berdua yang menjalankan hal ini terlebih dulu. Gusti bisa menunggu," kata Pradipta dengan sopan.
"Terserah. Aku ikut kalian saja!"
"Terima kasih, Gusti," sahut Durmaya.
***
Patih Dwikala ingin sekali berharap jika yang dilihatnya saat ini adalah mimpi. Kepalanya menggeleng pelan. Sementara kedua matanya tampak berair. Putranya, Kamajaya berada di tengah hutan Rembuk. Bersama Ki Bahudasa dan Tumenggung Martaka. Serta para gerombolan bromocorah yang tengah berlatih kanuragan. Keempat pendekar bayaran yang dimaksud Pradipta duduk di atas amben, memakan buah-buahan sambil mengawasi gerak para bromocorah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Renjana Berdarah
Historical Fiction...Tak lama terdengar suara seraknya menyanyikan tembang macapat Pangkur. Mangkono ilmu kang nyata... Sanyatane mung we reseping ati... Bungah ingaran cubluk... Sukeng tyas yen den ina... Nora kaya si punggung amung gumunggung... Ugungan sadina dina...