"Gimana udah baikan tubuhnya?" Tanya ayah. Aruna melihat ayahnya sudah rapi dengan setelan kemeja.
Aruna mengangguk.
Lalu ayahnya menempelkan telapak tangannya ke dahi Aruna. "Masih demam."
"Tapi udah gak papa kok. Uhuk uhuk."
"Tuh kan malah batuk. Yaudah istirahat aja, gausah pergi main dulu ya."
"Okidi." Lalu Aruna salim ke ayahnya. Tak lupa ayah mencium kening Aruna.
"Yah nanti ketularan sakit lho."
"Ya kan bisa bolos kerja nanti hehehe." Ujar ayah sambil tertawa.
"Iya tapi nanti diomelin ibu kalo gak jaga kesehatan."
"Ibumu gak akan ngomel apalagi marah kalo ada yang sakit." Benar juga. Aruna dari kemarin tidak diomeli perkara tidak mencuci piring setelah makan, tidak mandi, tidak mencuci muka, tidak menyisir rambut.
Ada sedikit gunanya kalo sakit. Tapi tetap, Aruna tidak suka sakit. Liburannya percuma.
Selepas ayahnya berangkat kerja, ibunya masuk ke kamarnya "Dim sarapan dulu. Mau disuapin?"
"Boleh deh."
"Gimana kuliahnya?" Sembari mengunyah, Aruna berpikir sebentar.
"Nanti aja jawabnya, setelah makan." Aruna menurut.
Setelah makan dan minum obat, ibu tidak langsung pergi. Beliau menunggu Aruna yang melihat Aruna kebingungan, sampai Aruna sadar, "ah."
"Iya, jawaban ya."
"Sejauh ini menyenangkan. Teman-temannya baik. Terus dapat pengalaman lomba, tugasnya banyak sih, kadang susah atur waktu, tapi Aruna masih bisa atasi semuanya." Ungkapnya jujur.
Aruna harap-harap cemas. Ibunya sangat kritis terhadap pendidikannya. Tidak sesantai ayahnya.
"Bagus deh." Ibu membereskan peralatan makan dan sebelum beranjak pergi, Aruna menanyai sebuah pertanyaan yang dari dulu berkecamuk dihatinya.
"I-ibu gak bangga ya sama Aruna waktu Aruna dapat juara lomba speech dan duta?" Tanya Aruna hati-hati.
Ibu berbalik menatap Aruna, hening sebentar, "dari pada ibu bangga, ibu seneng anak ibu mencoba banyak hal. Dimi, kalo ibu kasih kamu pujian terlalu banyak, kamu akan jadi orang yang berpuas diri. Itu gak bagus."
Aruna menundukkan kepalanya, sakit kepalanya datang lagi.
"Kamu lihat itu si Bagas, ibunya gak pernah menyombongkan anaknya, padahal dia dapat juara berkali-kali di olim-"
"Tapi Dimi bukan Bagas." Potong Aruna cepat. Aruna memejamkan matanya, takut reaksi ibunya yang marah besar.
"Tapi harusnya kamu bisa ambil contoh dari Bagas." Kemudian ibu keluar dari kamar Aruna sambil menutup pintu sedikit kasar.
Aruna menyimpulkan bahwa dia tidak akan pernah jadi anak kebanggaan ibunya. Tidak akan.
Aruna memukul kuat pahanya, menahan agar ia tidak menangis. Rasanya tetap sesak.
BANG SMS SIAPA INI BAAANG~
ASTAGA
Aruna terlonjak kaget, ia lupa bahwa nada deringnya diganti oleh Ara. Tapi kemarin bunyinya tidak seperti ini??
Sambil menghela napas, Aruna menjawab panggilan telepon itu dengan nada malas. "Yaaa?"
"Ngg Assalamualaikum, Aruna." Reflek Aruna menjatuhkan hpnya.
Ia sudah hapal diluar kepala suara siapa ini? Bodohnya sewaktu menjawab telepon, ia tidak melihat nama penelpon.
Butuh sekian detik Aruna mengembalikan kesadarannya bahwa hpnya jatuh dan ia belum menjawab salam penelpon.
"Haloo?" Suara penelpon masih bisa terdengar Aruna. Dengan sedikit gugup Aruna mengambil hpnya dan menjawab "Waalaikumsalam."
"Oh kirain dimatiin teleponnya." Ada nada lega dari si penelpon mengetahui teleponnya tidak diputus sepihak.
Hening. Aruna juga tidak berniat membuka percakapan, pikirannya terlalu ruwet mencerna ini semua.
"Kamuuu, sudah sampai rumah ya?" Terdengar jelas nada canggung dari penelpon.
"Udah dari kemarin."
"Aaah oke."
Hening lagi.
Aruna menggigit bibirnya, grogi. Entah kenapa.
Ia ingin bertanya sebenarnya, namun Aruna tidak tau apakah pertanyaanna pantas ia tanyakan.
"K-kak Dion."
"iya?"
"Kakak salah telepon?" Tanya Aruna to the point.
"Enggak." Dion menjawab singkat.
"Kan, udah aku minta tolong kalau sampai kabari. Tapi kayaknya kamu lupa. Jadi aku yang nanya sendiri." Aruna termenung.
"Tapi kemarin kak Dion ngirim chat broadcast." Aruna mengingat chat dari Dion yang membuatnya kesal kembali.
"Ah yang itu." Diseberang, Dion menggaruk rambutnya yang tidak gatal.
"Ituuuu, ngasih info ke kamu. Kan kamu suka bahasa Inggris."
"Pfft sok tau."
"Oh gak suka ya? Padahal waktu lomba speech kamu keren banget."
"Tiba-tiba banget mujinya?"
"Harusnya kamu bilang 'terima kasih senpai atas pujiannya'."
Aruna tertawa. Tawa pertamanya pagi ini.
"Makasih senpai atas pujiannya." Ucap Aruna lirih. Mungkin bukan hanya untuk pujian, tapi untuk semua hal tidak terduga yang Dion lakukan untuk Aruna."
"Sama-samaa. Kamu kayaknya sibuk banget, aku ganggu liburan kamu ya? Aku tutup dulu deh tele-"
"Aku sakit kak." Benar-benar seperti lagu entah apa yang merasukimu, entah pikiran macam apa yang merasuki Aruna sehingga memberi tau Dion tentang kondisinya. Padahal Aruna tidak ada kewajiban untuk memberi tau Dion tentang keadaannya dan kabarnya.
"Ehm, maksudnya aku kemarin lagi sakit jadi gak bisa kasih kabar ke kakak."
Iya ini untuk janji buat ngabarin kak Dion. Iya hanya untuk itu.
"Sakit apa?" Aruna mendengar suara Dion sedikit khawatir. Ah mungkin hanya perasaan Aruna saja.
"Biasa, demam terus pusing gitu."
"Kamu harus istirahat. Oke aku tutup dulu ya teleponnya. Maaf banget kalo ganggu. Assalamualaikum."
Tut tut tut
Ha? Apaan sih? Kok gue berasa bego banget. Emang lo ngarepin apa Arunaaa?
Sebuah chat dari Dion. Aruna membuka chat itu.
Senpai Dion:
Cepat membaik Aruna. Nanti berkabar lagi kalau kamu sudah sembuh.
Dua kalimat, efeknya membuat Aruna tersenyum. Ia tidak sabar untuk segera sembuh.
================================
Apdetnya dikit-dikit kalo kebanyakan ntar senyum-senyum sendiri. Kayak yang bikin cerita.
Tau gak sih aku wfh, #dirumahaja selama berhari-hari gak bosen masa. Meskipun kadang kerja shift-shift an aku tetep enjoy ya kadang stres jugaaak. Tapi ya gak ngantor ya masih oke yang penting dapet gaji. Malah lebih irit bensin, jajan. Temen-temenku udah uring-uringan parah karena bosen. Benar-benar ya aku anak rumahan sejati. Ya selalu ada yang positif ditengah pandemi gini.
10 April 2020
10.43
KAMU SEDANG MEMBACA
Kisah Kasih Kampus
Roman pour AdolescentsJadi anak kos, maba, adaptasi, homesick, jatuh cinta, sakit hati, individual, persaingan itu semua dirasakan Aruna saat resmi menjadi mahasiswa. "Mau pulang, kangen kasur kamar di rumah." - Aruna, maba gak tau apa-apa.