04 | maybe i

824 97 8
                                    

Based on CIX's Maybe I

-

"Lo gak papa?"

Ruang musik petang itu sudah (masih) gelap. Penerangan dari mentari yang hampir ditelan ujung dunia di pemandangan yang ditilik Seungmin ketika ia menaiki tangga sekolah tidak cukup bagi petak berdinding empat tersebut. Seungmin harus mempertajam penglihatan, tapi instingnya terlampau baik untuk dapati seseorang yang tinggal kendati latihan pentas seni telah diakhiri dua jam lalu.

Punggung Hwang Hyunjin yang naik turun terlihat penuh kepenatan saat Seungmin menyalakan lampu. Ia tahu sahabatnya suka berlatih tanpa cahaya, tapi latihan hari ini sudah cukup, Seungmin kira.

Lebih dari cukup jika melihat banyaknya peluh di seluruh badan Hwang yang semakin melemah seiring berjalannya waktu. Lebih dari cukup jika menghitung menit yang dihabiskan untuk latih kedua kaki lincahnya bergerak beriring musik yang disetel dengan volume pelan. Lebih dari cukup jika mendengar suara yang telah serak dibuat berlatih vokal dan rap tanpa henti bahkan ketika rekan sekelompok telah hilang ditelan awan yang gantungi langit sore hari.

Seungmin menatap Hyunjin lewat cermin di hadapan meski lebih mudah bagi Hyunjin untuk membalik tubuhnya alih-alih bertukar pandang dari refleksi masing-masing. Ada kerutan yang tidak nyaman di dahi Hyunjin. Paling tidak Seungmin bisa bayangkan bibir si Hwang tarik sebuah garis lurus di balik masker yang mulai basah akan keringat.

"Kenapa lo kesini?" Akhirnya Hyunjin buka suara. "Gue ... kenapa lo tau gue disini?"

Alih-alih menjawab, Seungmin lepas obsidiannya dari cermin untuk letak tas lengan yang ia bawa. Mendudukkan diri jauh di belakang Hyunjin, Seungmin mengobrak-abrik benda itu untuk cari hal yang sudah ia persiapkan sebelum datangi Hyunjin.

"Gak usah ge-er. Gue cuma lewat aja, terus denger musik kelompok pentas kita. Makanya mampir." kekeh Seungmin tanpa beban, seolah apa yang ia saksikan di ruangan ini tidak mengejutkannya di detik pertama. "Gue kira anak-anak masih latihan."

Hyunjin, masih berdiri dalam balutan kaos tanpa lengan berwarna hitam, melirik Seungmin lewat cermin dengan tatapan setajam gigi taring harimau. Kebiasaan buruknya muncul ketika ia merasa terancam, mendadak ia lupa bahwa status pertemanannya dengan si Kim sudah hampir sentuh empat tahun lamanya.

Kim Seungmin bukan orang asing. Tapi apa yang ia lakukan hari ini, terasa asing.

"Lo tadi bilang sama Jisung, pulang duluan gara-gara bokap lo sakit?" periksa Hyunjin. "Kenapa sekarang udah kesini lagi?"

Hyunjin tahu Seungmin tidak pandai berbohong. Seungmin juga tahu Hyunjin pandai menginterogasi. Tapi entah kenapa hal itu tidak membuat Seungmin gentar. Ulas senyum masih lekat di bibir, Seungmin berdiri untuk ambil langkah kikis jarak dengan sang teman. Tatapan mereka harus bertemu lagi di pantulan, buat Hyunjin mau tak mau berbalik karena entah kenapa Seungmin di dalam kaca terlihat lebih mengintimidasi.

"Jawab gue." tutur Hyunjin, suaranya masih terbekap masker.

Seungmin endikkan bahu seolah ia tidak baru saja ganggu privasi Hyunjin—memangnya Hyunjin punya privasi jika sudah menyangkut Seungmin?

"Ya kan cuma jenguk sebentar, terus gue balik kesini—"

"Karena gue, kan?" potong Hyunjin, intonasinya sedikit meninggi. Entah ia marah atau terganggu, Seungmin terlanjur tahu semua itu hanya kamuflase. "Karena kepikiran gue ... iya, kan?"

Kernyitan di dahi Seungmin menjawab semua pertanyaan Hyunjin. Laki-laki itu kemudian berjalan lagi hingga ia sampai pada jarak dimana tiap bulir keringat Hyunjin, tiap goresan luka kecil karena ia terjatuh saat menari, dan tiap gerakan naik turun dadanya ketika bernapas bisa disaksikan dengan jelas.

RAIN OF CRYING HEARTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang