bagian tiga puluh dua : akhirnya

310 21 2
                                    

Bima tak pernah mengerti maksud ucapan Alma, ntah dulu atau sekarang. Bima tak ingin hal lainnya asalkan Alma memiliki perasaan yang sama dengannya maka itu sudah cukup baginya.

Bima segera tersadar dan mengejar Alma. Dia tak ingin kehilangan untuk kedua kalinya lagi.

"Alma tunggu!" Bima mencekal tangan Alma. Ditatapnya gadis yang sedang menunduk sambil menangis tersedu-sedu itu.

Bima meraih kedua pundak Alma mengarahkan agar dirinya menatap Bima. Bima ikut menundukkan wajahnya Hingga kening mereka bersentuhan.

"Sekali aja... biarin perasaan kita yang menang, gue nggak ngerti Ma... gue nggak pernah ngerti sama omongan Lo, tindakan Lo, semuanya kadang selalu buat gue salah paham, lalu menyesal di akhirnya."

"Kali ini jangan lagi Ma... gue nggak mau nyesel buat kesekian kalinya."

"Gue nggak mau nyesel kehilangan cinta masa kecil gue. Gue nggak mau nyesel kehilangan kakak buat Gina. Gue nggak mau Ma...."

Bima tak pernah menangis seperti ini, dia bukan laki-laki emosional yang akan menangis. Biasanya Bima hanya akan meluapkan perasaannya dengan bermain basket secara brutal atau datang ke club sekedar memekakkan telinga. Apapun asalkan air matanya tak jatuh. Karena baginya sekali air matanya jatuh untuk seseorang maka itu artinya dia sudah menjatuhkan diri sejatuh-jatuh nya pada orang itu.

Mata Alma perlahan memandang Bima, tangannya menyentuh kedua lengan Bima dan menjauhkan tangan Bima dari pundaknya. Satu tangannya lalu menghapus air mata Bima.

"Bim, makasih. Makasih udah mencintai gue, makasih udah balas perasaan gue. Makasih." Bima menggeleng dia tidak ingin hanya ucapan terimakasih.

"Bim, gue juga maunya kita sama-sama Bim. Tapi Lo? Gimana sama Lo? Kuliah Lo di Jogja? Itu mimpi Lo Bim, gue nggak bisa egois Bim."

"Gue bisa kuliah di manapun ma, yang nggak bisa gue lakuin adalah jauh dari Lo. Gue tau ini bucin banget, tapi itu kenyataannya."

Alma terkekeh pelan. Tak pernah menyangka bucinnya Alina akan menjadi bucinnya Alma.

Sekali lagi Alma menghapus air mata Bima dengan kedua tangannya, lalu membingkai wajah tegas Bima.

"Yuk, ke satu tempat lagi. Abis itu ke rumah Lo."

"Hah? Maksudnya? Kita gimana?"

"Katanya nggak mau jauh-jauh dari gue, ayok buruan biar Lo bisa siap-siap buat terbang bareng gue. Gue pesenin tiket mau?"

Bima tersenyum senang seraya ber "yes" ria. "Mau, yuk."

Bima segera membukakan pintu untuk Alma dan mengantarkan gadis itu ke tempat yang ingin ia tuju.

...

Mobil Bima berhenti di sebuah rumah mewah yang tak berpenghuni. Namun masih sangat terlihat rapi dan terawat.

Sebelum Bima bertanya Alma menjelaskan lebih dulu rumah siapa ini. "Ini rumah lama aku." Kata Alma

"Udah tau, kan kita pertama ketemu di sini."

"Oh iya lupa."

"Eh masuk yuk." Alma tanpa sadar menggenggam tangan Bima.

"Cie udah berani pegang-pegang." Ledek Bima.

Alma salah tingkah lalu melepas genggaman tangan mereka, namun segera di genggam kembali oleh Bima.

"Gak apa gini aja. Lebih nyaman, kayak nemu pasangannya."

Mereka memasuki rumah lama Alma. Alma menjelaskan dan menceritakan semua kenangnya di rumah ini. Bagaimana kasih sayang dari ayahnya, dimana saja mereka dulu bermain, semua tawa yang ada di rumah itu masih terekam jelas di ingatan Alma.

Namun Alma enggan menjelaskan sakit yang ia rasakan lagi. Baginya semuanya sudah berlalu dan semuanya sudah membaik. Bima pun setuju dengan Alma. Tidak ada gunanya memikirkan luka masa lalu, itu semua hanya akan menjadikan mereka pribadi yang lebih buruk karena menyimpan dendam.

"Ini kamar yang paling aku suka, disini kayaknya kamar bunda. Ayah emang nggak pernah bilang tapi aku yakin, karena ayah selalu jaga kamar ini dengan baik."

"Bahkan ayah pernah marahin Alina karena mecahin guci di kamar ini. Itu pertama kalinya aku liat ayah marah."

"Oh iya Bim."

"Kenapa?"

"Tunggu bentar." Alma berjalan mendekati lemari dan membuka nya.

"Gue Nemu ini waktu kesini tahun lalu." Alma menunjukkan kotak perhiasan dan membuka nya.

"Gelang couple, nyokap gue nyiapin ini buat anak sama calon mantunya bahkan sebelum anaknya lahir. Lucu ya."

"Nyokap Lo sayang banget sama lo ma."

"Iya, nggak mau nanya kenapa gue kasih liat ini sama Lo?"

"Kenapa?"

"Disini bunda tulis kalo anaknya boleh kasih satu gelang nya buat orang yang ia sayang. Dan ini buat kamu Bim."

"Sekarang aku yakin kalo kamu emang orang yang tepat Bim."

"Pake ya."

Alma hendak memakaikan gelang itu pada Bima namun Bima mencegahnya. "Nggak."

"Hah? Kenapa?"

"Biar aku yang pasangin ke kamu." Bima meraih gelang itu dan memakaikannya ke Alma lalu bergantian Alma yang memasangkan ke Bima.

Bahagia itu tergantung bagaimana kita mensyukuri hidup. Semakin banyak kita bersyukur semakin banyak bahagia yang kita rasakan. Walau terkadang bahagia yang datang tak sesuai dengan harapan.

...

Terimakasih sudah membaca

Maaf menunggu lama.

Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Romansa SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang