7. Memori yang Mengelupas

63 4 1
                                    

MUNGKINKAH SELAMA SEMINGGU yang lalu seharusnya aku belajar menggunakan beacon? Mungkin berlatih menembak, atau seni bela diri? Karena bukan hanya menyesal, rasanya aku sudah bosan untuk terus-terusan mengambil keputusan bodoh dan naïf.

"Kau hanya memperlambat, Felicia," keluh Nagi. "Kita cukup singkirkan saja mereka semua dan bawa bocah itu, lalu sele-"

"Aku ingin tahu," potong Felicia sambil tersenyum sinis. "Mengapa bocah itu disebut sebagai kesatria dari dunia atas. Apa yang bisa ia lakukan? Yang benar saja!"

Nagi membual.

Suaranya bergetar, apa yang sebenarnya dia rasakan? Takut?

Daripada itu, apa yang bisa aku lakukan? Ya, seharusnya ada sesuatu yang bisa kulakukan, pikirku. Aku menengok ke arah Zack yang terpaku secara harfiah, Larry yang meronta-ronta, dan Dokter Marshall yang ... melakukan hal yang sama denganku. Kami tak bisa memikirkan apapun!

"Benar, kan? Akui saja kalau kau tidak bisa apa-apa!"

Apa maksudnya?

Felicia mengerang seketika. Situasinya terlihat berbalik, kini ia berusaha lepas dari Larry.

Larry makin berontak sambil tetap menahan pergerakan pelontar api itu mengenai tubuhnya. Masker gasnya sampai copot dan terjatuh dari sana.

"Anak itu!" Dokter menyumpah. "Dia tak meminum obatnya!?"

"Apa yang akan terjadi?" tanyaku. Saat di bilik persiapan Larry terlihat memegang sebotol obat. Jadi ia ternyata tak meminumnya, seperti yang kutakutkan. Tapi, bukankah Rose juga

Pasti ada sesuatu yang disembunyikan. Aku berusaha mengingat-ingat apabila pernah terdengar dalam percakapan bersama mereka tentang penyakit macam apa yang diderita Larry dan akan kambuh apabila ia tak meminum obatnya.

Dokter tak merespons selain terus menggerutu. Posisi dan kondisi Larry memburuk.

"Al–biohs!" teriak Larry setengah mati mengucapkan sesuatu padaku.

"Larry!" balasku.

"Kaluooohrrrgg!" kata selanjutnya terdengar seperti terlambat, Larry seakan kehilangan kesadarannya. Menimpakan sebuah kebingungan yang berat padaku.

"Apa yang kau lakukan!?" teriak Nagi dari bawah. "Hentikan orang itu sekarang!"

Felicia tak sempat untuk melakukan apa-apa saat Larry mulai mengeluarkan raungan-raungan menakutkan, dan dengan cepat berubah menjadi sosok yang―tidak masuk akal. Pakaian tempurnya makin ketat karena otot-otot yang tiba-tiba menyeruak dari sekujur tubuhnya, dan akhirnya terkoyak habis, hanya menyisakan celana ... yang juga telah terkoyak hingga bagian paha. Monster Larry akhirnya jatuh dari cengkeraman Felicia setelah berhasil mendaratkan sebuah hantaman telak di kepala sang antroper kucing. Mereka berdua nyaris bersamaan membuat retakan di atap beton.

Larry menghembuskan uap dari hidungnya, pupil matanya yang putih seakan memancarkan cahaya, dan yang lebih menakutkan adalah sepasang tanduk besar, tumbuh berpilin dari pelipisnya ke bawah wajahnya. Sekarang ia terlihat sama persis seperti semua monster-monster yang melambangkan amarah dan amukan yang bisa kau bayangkan. Dan, semuanya terjadi hanya dalam hitungan detik.

"Yang benar saja!?" ucap Dokter sambil berlutut. "Apa yang ada di kepala anak itu!?"

Aku tak bisa berucap apapun. Kepalaku masih berusaha memasukkan ide ini ke dalam akal: karena tidak meminum obatnya, saat diserang panik, Larry berubah menjadi kambing gorilla raksasa. Satu-satunya yang mengingatkanku untuk bernapas dan berkedip adalah saat monster Larry menghempas kedua penyusup itu yang dengan bodohnya mendekat. Mereka terlempar hanya karena gelombang angin yang meledak bersamaan dengan satu raungan keras dari monster Larry. Aku dan dokter mulai kehilangan keseimbangan dan terhuyung. Tidak lama setelah itu, tanpa kusadari awan mendung telah bergulung-gulung di atas daerah ini. Gelegar dan gemuruh mulai memekakkan telinga–menyambar udara dan lantai atap gedung klinik Dokter Marshall yang sedikit lagi runtuh–dengan petir-petir yang berpusat di tubuh monster Larry.

ALBIOS: TriviumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang