4.6: Pelik

83 26 0
                                    

22 Mei 2022
Cileungsi, Kabupaten Bogor
--

Tanpa aku sadari, kepalan tanganku yang terlalu kuat malah membuat kulitku terluka. Darah segar mulai menetes dari sela-sela dimana kukuku menancap.

"Dimana mereka?" gumamku tanpa mempedulikan rasa pedih yang mulai menjalar di telapak tanganku.

Sudah lewat sepuluh menit setelah kontrak terakhirku pada Tim Pancasila, namun rombongan mereka tak kunjung terpantau dari perimeter terdepan.

"Coba kontak lagi!" ucapku pada salah seorang tentara yang berjaga disana.

"Baik, Pak!"

Dosa ini, dosa yang begitu besar. Menyelamatkan sebanyak mungkin orang adalah satu-satunya cara untuk menebusnya, sekalipun mungkin tidak akan pernah lunas.

Kalian tahu? Menjadi pemeran antagonis dalam panggung duniawi adalah hal yang menyenangkan. Kepuasan kala berada dalam posisi sebagai pemenang, menatap orang-orang tertindas, melihat sistem yang hancur lebur, semua itu menjadi sensasi tersendiri dalam proses mencapai tujuan.

Bagaimana jika aku bilang pada kalian, kalau semua yang terjadi selama ini adalah sabotase? Kira-kira, apakah ada hal lain yang terlintas di kepala kalian selain membantai siapapun yang berpartisipasi di dalam sabotase tersebut?

Ya, aku paham. Aku betul-betul paham akan konsekuensi saat aku membuka tabir kotorku ini pada mereka. Entah berapa buah nantinya gigiku yang copot, atau sebiru apa lebam-lebam di wajahku. Namun aku yakin, aku siap untuk menghadapi segala risiko yang nantinya akan aku terima.

Ah, semua karena Rachel. Gadis kecilku yang manis itu, yang terkadang ceroboh dan sering mengeluh atas beratnya kehidupan merantau. Terima kasih karena engkau telah menuliskan catatan itu, sayang.

Terima kasih telah membuka mata ayah, bahwa semua yang ayah lakukan adalah kesalahan besar. Untungnya pula catatanmu terselip di antara banyaknya tumpukan jejak lain, sehingga mereka yang menemukan catatan ini tidak memiliki waktu untuk membacanya.

"Seratus meter dari perimeter! Buka pagarnya!" teriak tentara tadi.

Sesaat setelah pagar terbuka, dengan sigap belasan tentara meringsek keluar guna mengamankan jalur.

"Lapor, Tim Pancasila-Jalur Sutera telah sampai di perimeter!" ucap tentara tadi kepada seluruh rekannya melalui HT.

Enam truk militer dan dua bus masuk ke area steril. Tentara yang berada di dalam langsung berkumpul sembari membawa alat pengukur suhu dan kotak Pertolongan Pertama. Dibantu oleh rekannya, Lettu Azka Murdani turun dari truk dengan tertatih-tatih.

"Kemana yang lain?" tanyaku kepadanya.

"Gugur, Pak," jawabnya singkat.

Beberapa bagian tubuhnya yang nampak dibaluri darah langsung ditangani oleh petugas medis setelah pihak tentara telah memastikan tubuhnya bersih dari luka gigitan.

"Hanya kalian? Dari dua puluhan kendaraan, hanya delapan yang tersisa?" tanyaku lagi.

Pria itu tidak menjawab. Ia malah membuang muka dan berbicara kepada salah satu rekannya.

"Saya butuh istirahat, tolong tangani saya di Pos Medis, supaya tubuh saya bisa direbahkan," ucapnya.

Kemudian mereka membawa Azka dan berlalu dariku.

"Ah, dia mungkin butuh istirahat," gumamku dalam hati.

Lalu tentara-tentara tadi tampak menurunkan beberapa jasad tentara yang kepalanya telah berlubang.

"Maaf, Pak, hanya mereka yang mampu kami bawa," ucap salah satu tentara setelah semua jenazah diturunkan.

"Iya, tidak apa-apa. Mari, kita kebumikan mereka mumpung masih sore," pungkasku.

Kami semua pun menggotong mereka ke sebuah lahan yang memang kami gunakan untuk pemakaman darurat di belakang Komplek Kenari Mas.

Setelah proses pemandian jenazah yang alakadarnya, kamipun mengafani jasad para almarhum. Tepat setelah semua proses tersebut dilakukan, penggalian tanah seluas dua kali satu meter selesai.

Tangis, haru, duka.

Lagi-lagi, wewangian bunga merebak di udara setelah jasad-jasad pembela bangsa harus dibaringkan di bawah tanah.

Tidak seperti sebelumnya saat aku belum menyadari kejahatanku, kini aku betul-betul merasa sedih. Penyesalan demi penyesalan terus menggerus batinku, meninggalkan beban moral dan tanggung jawab kemanusiaan yang sebegitu menekannya.

"Kepulangan mereka adalah satu dari sejuta jejak perjuangan. Kita tidak hanya mengebumikan mereka yang jasadnya ada disini, namun pula berkabung atas semua korban tewas yang raganya entah dimana. Pemakaman ini adalah simbol nyala api juang yang tak akan mati. Sebuah peringatan, agar segala sesuatu yang telah mereka kerjakan, harus kita selesaikan!" ucapku dalam pidato singkat setelah kami selesai memanjatkan doa.

Aku menarik diri dari keramaian. Duduk di bawah pohon, menyulut sebatang rokok, dan menangis sejadi-jadinya. Kemudian aku meraba saku celanaku dan mengeluarkan secarik kertas lusuh dari sana.

"Rachel," gumamku sembari menghirup dalam-dalam kertas tersebut.

"Maaf, maafkan ayah," ucapku entah pada siapa.

Aku menangis, hatiku benar-benar hancur kala itu. Entahlah, namun aku dapat menemukan harum tubuh putriku disana.

Penyesalan, penyesalan, dan penyesalan. Betapa bajingannya aku, bahkan sore hari sebelum aku membaca catatan ini untuk pertama kalinya, aku masih sempat melecehkan seorang gadis remaja secara verbal, setelah kemarinnya aku meremas bokongnya.

"Pak Deddy, Andre monitor, Pak!"

Aku langsung menghentikan tangisku.

"Masuk, Ndre!" jawabku dengan nada suara yang kubuat senormal mungkin.

"Info dari Tim Radio, mereka dapat kontak dari Halim. Halim menanyakan perihal keadaan Tim Pancasila di Jalur Sutera."

"Dari mana mereka tahu?"

"Entahlah, Pak! Bagaimana instruksi selanjutnya?"

"Biarkan anggota Tim Pancasila yang tadi ada di TKP untuk berbicara pada Radio Halim, instruksikan dia agar menceritakan semua yang mereka alami di Jalur Sutera."

"Diterima, Pak. Terima kasih."

Jejak: 31 Hari (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang