Chapter II (2.2) : Kejadian Tak Terduga

63 7 8
                                    

Pikiranku berkelana menuju kamu, sejak saat itu
-Zidane

Zidane Ghalibie

Aku memandangi sketsa sekolahan yang sedang kukerjakan. Beberapa diantaranya harus kurancang lagi sedemikian rupa, karena sesuai dengan prinsipkuーaku harus total dalam mengerjakan apapun. Ya, saat ini aku sedang mendapatkan projek untuk merenovasi dan membongkar ulang pondasi sekolahan. Aku bekerja sebagai arsitek. Bagiku, arsitek adalah pekerjaan paling menyenangkan dimana dirimu dapat menjadi klien dalam permintaan klien. Sebagai contoh, jika ada yang memintaku untuk merancang sebuah rumah sakit, maka secara otomatis aku juga akan menjadi dokter dan pasien. Artinya aku juga harus mempelajari sedikit tentang kedokteran dan memahami peralatan dokter agar ruangan yang kurancang dapat menjadi ruangan yang dibutuhkan. Juga, menjadi pasien dan memahami psikologi agar ketika diriku pasiennya mereka tidak mengalami depresi dan mengalami kenyamanan. Mungkin bagimu, arsitek hanyalah satu pekerjaan. Namun bagiku banyak, seorang arsitek dapat menjadi apapun. Dan itulah inginku. Berguna. Alasan lain, mungkin aku ingin membangun rumah yang penuh kehangatan untuk keluargaku nanti. Tidak tahu juga, aku sudah memikirkanーhanya saja rasanya terlalu canggung untuk dijabarkan. Selain menjadi arsitek, aku juga bekerja sebagai dosen tamu di salah satu universitas ternama. Alasannya sebenarnya tidak cukup bagus, aku hanya ingin menebus kesalahan pada professorku. Aku pernah merusak rancangan desain bangunan dan produk yang dibuat Beliau. Ia tidak marah, hanya saja memberiku hukuman untuk menggantikannya mengajar di universitas tersebut. Walau sebenarnya sedikit menguntungkan bagiku, tapi kadang juga aku terganggu. Sedikit.

"Ghalie. Jemput Zahra. Bahaya banget kan kalo lagi wabah sama musim culik dia pulang sendirian?"

"Ghalie. Kalo kamu nggak mau, mama banting laptopnya," ujar wanita paruh baya yang adalah Ibuku. Ariska namanyaーyang sontak saja membuatku berdiri mengambil kunci mobil.

"Ah, ya. Agam pulang hari ini. Kayaknya dia langsung ke rumah. Nggak usah jemput."

Aku menghiraukan Mama dan bergegas menjemput Zahra. Aku dan kembarankuーAgam Affaghan namanya. Hubungan kami baik, namun juga tidak sebaik itu. Hubungan kami juga bisa dibilang normal tapi tidak senormal itu pula. Kadang kala, dia yang mengacaukan semuanya. Padahal dia kakakku. Harusnya kakak lebih mengayomi, bukan? Agam, kadang membuatku kesal. Dia terlalu heboh, hingga kadang aku merasa seperti diwawancarai. Namun tetap saja, aku tidak bisa berbohong padanya. Salah satu kelemahanku. Nyatanya walau menyebalkan, Agam tahu saat-saat aku membutuhkannya atau tidak. Jelas saja, dia sudah berkali-kali ditolak seseorang untuk jadi topik yang Ia hebohkan. Ia wartawan. Ia pergi ke Bandung untuk menyelesaikan tugasnya sebagai wartawanーmeliput berita-berita yang terkadang menurutku tidak terlalu penting.

Kutunggu lampu merah hingga berganti warna. Sebenarnya aku sedikit gugup karena tahu akan ke tempat kursus Zahra. Namun kuhiraukan saja perasaan tidak penting yang menjadi-jadi itu. Pemandangan kota Palembang sekarang sangat sunyiーmenurutku penduduk kota ini cukup patuh walaupun terkenal keras dan sangar. Hanya tersisa angkutan umum, truk dan beberapa sepeda motor di jalan raya yang penggunanya menggunakan jaket hijau. Wajar saja jika ojek online masih beroperasi, justru aku kagum kepada mereka yang masih berjuang mencari nafkah saat yang lain bekerja dari rumah. Mengenai pekerjaanku sebagai arsitek, aku juga bekerja dari rumah namun sebagai penanggung jawab aku tetap harus mengontrol pekerjaanku agar sesuai dengan apa yang klien mau. Beberapa kali dalam seminggu, aku mengawasi buruh-buruh bangunan yang sangat tak kenal kata lelah untuk bekerja dan mencoba untuk menyemangati mereka secara langsung.

Dari gerbang kursusnya Zahra, aku sudah melihat dua satpam yang berdiri tegap pergi keluarー perkiraanku mereka tampaknya akan pergi mencari makan. Ah, semoga saja Zahra tidak sendirian disana. Well, aku hanya takut. Sedikit parnoーmendengar Mama yang terus berceloteh tentang penculikan sepanjang waktu. Bagiku, hal-hal tidak manusiawi yang melibatkan anak kecil akan semakin membuat aku memandang orang tersebut hina. Kenapa? Hei, itu anak kecil dude. Mereka belum bisa berpikir apapun dan kau tega menculiknya? Harusnya, Tuhan membinasakan orang-orang seperti itu. Kutengok ruang tunggu yang kelihatan di kaca tembus pandang, namun mataku tidak sama sekali melihat Zahra disana. Hanya ada, punggung lebar yang menutupi seorang wanita. Aku turun dari mobil dengan tergesaー panik dengan apa yang ada dipikiranku terjadi. Bagaimana jika, adik kecilku? Tidak. Tidak. Aku harus cepat bertemu Zahra.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 13, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

SembuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang