Part 1

991 29 8
                                    


Semesta begitu baik selalu mempersilahkan siapa saja menyantap pemandangan yang selalu menjadi kesukaan. Mentari yang temaram melukis langit menjadi jingga, pelan-pelan ia terlihat seperti menenggelamkan diri di telaga yang tenang, simponi alam terdengar lewat siulan kawanan burung yang hanya menumpang lewat. Angin menyapa, mengusap kepala membujuk pulang. Seolah berkata: Nak, ini sudah petang. Satu... dua... tiga....

"Ayesha!!!"

Itu namaku, lengkapnya Ayesha Aurora Dipta. Kata bunda, namaku yang panjang itu adalah pilihan ayah. Ayah memberiku nama saat usiaku di kandungan bunda baru berusia 7 bulan. Ada harapan besar yang ditanamkan padaku saat nama itu disematkan ayah untukku. Kurasa ayah ingin aku meneladani akhlak Aisyah, istri Nabi yang dicintai Allah, lalu menjadi seperti Aurora yang indah dan dicintai banyak insan. Sedangkan Dipta adalah nama laki-laki yang hanya bisa kutatap lewat selembar foto yang sudah usang, ia almarhum ayahku.

Meskipun tak ada ayah, aku masih punya bunda yang cantik dan sangat menyayangiku. Bunda menjadi ibu sekaligus ayah untukku. Bunda perempuan luar biasa yang bisa merawat dan menghidupiku sendiri tanpa ayah. Tak usah bertanya dimana keluargaku (paman, tante, nenek, kakek atau sepupu misalnya). Kata bunda, ia anak tunggal di keluarganya dan kedua orangtua bunda sudah meninggal sebelum aku lahir sebab kecelakaan yang merenggut nyawanya secara bersamaan. Mendengar cerita bunda membuat aku merasa harus menjadi gadis yang kuat, aku mau seperti bunda masih saja tegar meski kehilangan berkali-kali menyapanya. Keluarga Ayah ada di Jakarta, tapi bunda sudah kehilangan kontak mereka semenjak ayah meninggal dan setelah bunda memilih pindah rumah.

Sekarang kami tinggal di perumahan Cempaka Hijau di kota Bandung. Ini rumah impian bunda sebelum menikah. Rumah ini berhasil dimiliki setelah bunda bekerja keras mencari uang lewat keahlian desain yang dimiliki. Sekarang bunda punya butik yang bisa dibilang sudah berkembang pesat. Tapi sebelum bunda berada di titik ini aku juga merasakan bagaimana perjuangan bunda yang begitu keras. Dulu aku sudah sering dititipkan pada salah seorang penghuni kompleks perumahan ini. Aku biasa memanggilnya nenek, katanya beliau sahabat mamanya bunda. Nenek tinggal sendiri di rumah mewahnya. Ralat, ada pembantu dan juga seorang sopir, nenek tidak benar-benar sendiri. Aku yang kala itu masih berusia 9 tahun sudah tak banyak merepotkan nenek. Aku sudah diwanti-wanti bunda untuk itu.

Kalau yang berteriak tadi, namanya Fazaira. Dia sahabat baikku sejak kecil. Mamanya bilang ia diberi nama Fazaira karena ia lahir di waktu fajar. Pernah sekali ia mengaduh kesal padaku, saat menemukan namanya di Google ditulis sebagai nama laki-laki yang unik. Kala itu, ia bahkan menuduh mamanya tak menginginkan anak perempuan seperti dirinya. Aku hanya menggeleng kepala sembari mencari jawaban paling aman untuk sahabatku yang super manja itu.

"Yang nulis di gugel kan bisa ajah salah, Ra! Aku juga sering nemuin kesalahan di gugel," ucapku.

Maaf om gugel, bukannya aku tak tahu terima kasih, tetapi ini kulakukan untuk menyelamatkan ummat dari serangan gadis manis yang sewaktu-waktu bisa berubah menjadi monster. Namanya memang hanya itu, lumayan irit tinta pulpen saat ujian. Gadis mungil dan pecicilan itu adalah orang yang selalu mendengarkan keluh kesahku. Meskipun tak bisa memberi solusi, setidaknya dia bisa menjadi pendengar yang baik. Hobinya, hmmm.... mengganggu orang. Apa itu sah untuk dijadikan hobi? Tak apa yah. Fazaira adalah salah satu pengurus Osis di sekolah. Ia dikenal hampir oleh semua penduduk sekolah. Luar biasa bukan.

Aku tersenyum melambaikan tangan ke arahnya. Seperti biasa, wajahnya terlihat kusut, dengan langkah buru-buru menghampiriku. Sepeda yang tadi dituntunnya kemudian dihempaskan begitu saja saat sudah berjarak beberapa meter di hadapanku. Aku ikut bangkit dari dudukku.

"Astaghfirullahal'adzim!!!"

Kalau yang histeris barusan itu namanya Adhitama. Laki-laki dengan postur tubuh tinggi, sedikit berisi dan berkulit putih itu adalah anak dari seorang pengusaha kaya di Negeri ini. Tapi sayangnya ia tak pernah benar-benar merasa bahagia dengan kekayaan orangtuanya itu. Aku bertemu dengannya saat dia memutuskan pindah ke Bandung dan tinggal bersama nenek. Akulah teman pertamanya saat kami pertama kali berseragam putih abu-abu.

R A S ATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang