JASMINE
Niatanku untuk sarapan terlebih dahulu pupus sudah ketika kulihat Papa telah duduk di ruang makan. Ia masih mengenakan piyama tidurnya yang semalam, pemandangan yang jarang kutemukan.
Putaran kejadian tadi malam kembali berputar di kepalaku hingga menimbulkan rasa pening. Melihat wajah pria itu rasanya tidak akan memperbaiki apapun, justru sebaliknya. Jadi kuputuskan untuk langsung menuruni tangga dan berjalan keluar. Biarlah sepagi ini seorang Jasmine Ardinal sudah sampai sekolah. Biarlah jika aku akan kebosanan menunggu bel pelajaran dimulai. Biarlah juga jika aku melewatkan sarapanku. Yang penting aku tidak perlu berhadapan dengan Papa, untuk sekarang.
Tapi sepertinya Papa menyadari langkahku, "Jasmine" panggilnya membuatku mau tak mau membalik malas ke arahnya.
Lagi, aku hanya menaikkan alisku tanpa mau repot bertanya ada apa. Kulihat wajahnya yang terlihat santai, seolah tak pernah terjadi apapun di antara kami.
"Sarapan dulu" suruhnya sambil mengoles selai di atas roti yang ia pegang.
Kuputar bola mataku malas, "Nanti aja di sekolah" balasku dan segera berbalik dari hadapannya.
"Baru jam segini, sarapan dulu aja, Yas" pintanya, lagi, dengan menyebut nama panggilanku. "Ayo, Yas. Ada yang pengen Papa omongin"
Alisku tertaut bingung. Sebenarnya malas sekali jika harus bicara serius untuk saat ini. Aku tidak dalam mood yang baik. "Ngomongin apa?" Tanyaku belum mau berjalan ke arahnya.
"Makanya sini duduk dulu" jawabnya sambil menepuk bantalan kursi di sebelahnya.
Dengan berat hati akupun berjalan ke arahnya. Tapi alih-alih duduk di kursi yang ditepuknya barusan, aku memilih duduk di kursi yang bersebrangan. "Kenapa?" Tanyaku langsung.
"Ambil dulu itu rotinya udah dibuatin" ia menyodorkanku selapis roti yang sebelumnya sudah ia olesi selai. Oh, kukira roti itu untuknya makan. Keningku berkerut mendapati tingkahnya yang tak biasa.
Dengan malas kuraih roti itu dan menggigitnya.
Sudah tiga gigitan namun pria di hadapanku belum juga buka suara lagi. Katanya ada yang ingin dibicarakan? Kalau diam saja begini sama saja buang-buang waktu.
Ia malah asik menguyah roti, sesekali menyesap kopi, lalu membaca koran online di ponselnya. Kutatapnya lama dan datar. Rahangku mengeras, menahan emosi. Sebenarnya sedang apa aku disini?! Buang-buang waktu.
Kemudian sepertinya ia sadar aku menatapnya penuh hunusan ke arahnya. Ia menurunkan kacamatanya sebatas batang hidung bawah, alisnya tertaut. Kemudian ia bertanya dengan mudahnya, "Yayas mau lagi rotinya?".
What!
Cepat-cepat kuselesaikan kunyahan terakhirku kemudian menatapnya kembali, lebih tajam dari yang sebelumnya. "Papa mau ngomong apa sebenarnya?" Cercaku.
Kulihat air wajahnya seketika berubah. Kemudian pria di hadapanku ini mencopot kacamatanya dan menaruh ponsel yang ia pegang ke atas meja. Setelahnya ia menatapku dalam. Aku tak bisa berbuat apapun selain menatap balik matanya.
Sendu.
Tapi cepat-cepat kutepis sesuatu yang menelusup hatiku. Semalam aku telah menangis habis-habisan karena pria ini. Ingat itu, Jasmine!
"Maafin Papa" katanya kemudian.
Keheningan menyergapi atmosfir di sekitarku. Hanya dapat kudengar napas di antara kami, juga detak jam dinding yang berputar.
Ini sungguh aneh.
"Buat yang semalem?" Tanyaku tanpa menghiraukan nada bicaraku yang terlampau dingin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Teach Me How To Love You Right
RomansaKetika Jasmine Ardinal, seorang gadis tak tau arah tujuan hidup bertemu dengan Ali si guru dingin yang perfeksionis. Kejadian-kejadian kecil di antara mereka memupuk sebuah perasaan aneh yang masing-masing dari mereka belum pernah rasakan sebelumny...