"Baiklah, ikutlah denganku."
Ara tersenyum riang padaku. Ia menggandeng tanganku dan mengayunkan tangannya sesekali ia melompat lompat. Sungguh aku takjub dengan sosok Ara ini. Bagaimana ia bisa kuat menahan semua beban hidupnya sedangkan aku? Selemah itukah aku?
"Ara.."
Ara menghentikan langkahnya dan menatapku penuh tanya.
"Apa kak?"
"Apa kau tidak marah dengan sikap ibumu selama ini?" Tanyaku hati-hati. Takut jika Ara salah faham dengan pertanyaanku.
"Sebenarnya aku pernah marah padanya. Hanya saja, sekarang aku berbeda."
"Berbeda?"
Ara mengangguk. "Karena ibuku cukup menderita karena ku."
Aku semakin dibuat bingung. "Apa maksudmu menderita?"
"Ibuku sudah menderita ketika ia mengandungku. Kata ibu, aku selalu menendang perut ibuku sehingga membuatnya kesakitan."
Aku mencoba mengerti meskipun aku tahu itu adalah fase alami yang akan dirasakan oleh ibu yang tengah mengandung. Ara masihlah kecil, ia sangat lugu. Mungkin ia tak mengerti apa-apa.
"Ibuku juga bilang kalau aku itu terlalu besar hingga membuatnya merasakan sakit ketika melahirkanku."
Ara mendongak seraya menutup matanya. Aku tahu, ini pasti berat untuk Ara. Gadis yang masih sangat belia tidaklah mudah jika dihadapkan dengan situasi seperti ini.
"Ara, apakah kau tahu? Aku juga seperti mu. Hanya saja, kau masih menyayangi ibumu. Tapi tidak denganku."
"Benarkah? Wah, kebetulan sekali ya." Ia tersenyum padaku. Aku membalasnya sekilas dan beralih menatap jalan.
"Ya, mungkin kita dipertemukan untuk saling memberi tenaga."
Ara sontak menatapku. "Tenaga? Seperti ini kah?" Ara melakukan pose layaknya superman yabg sedang terbang.
Aku terkekeh. Sikap lugunya benar benar menghiburku. Aku mendongak ke atas seraya menatap nanar bintang bintang.
"Tuhan, apa kau tak tahu apa yang kurasakan saat ini? Ini sungguh berat. Tak bisakah kau memberiku kebahagiaan? Aku mohon. Sedetik saja aku mohon."
Permohonan ini, permohonan yang sama setiap kali kulihat bintang bersinar terang di langit.
Bintang. Ia lah saksi terakhir pertemuanku dengan ibu. Sepotong roti menemaniku waktu itu. Hanya satu kata yang dapat menggambarkan situasi saat itu.
Bahagia. Itulah kata yang dapat menggambarkan momen pada saat itu."Kak," Aku tersadar ketika Ara menarik lenganku.
"Iya Ara? Ada apa?"
"Ayo kita jalan. Sekalian cari makan. Aku lapar kak."
Aku melihat Ara yang sedang memegangi perutnya. Aku menunduk, mensejajarkan tinggi badanku dengan Ara.
"Selapar itu kah kau?"
Ara mengangguk. "Iya kak Ailyn. Aku sangat lapar. Ibu belum memberiku makan tadi."
Mulutku membentuk huruf O. Aku memandangi sekeliling. Tak ada toko yang terbuka di jam segini. Bagaimana aku akan memberi makan Ara jika tak ada toko yang masih buka.
"Ara, bisakah kau lihat?" Aku menunjuk ke segala penjuru.
"Apa? Aku hanya melihat rumah rumah."
"Tak ada toko yang buka Ara."
Ara menunduk, rautnya berubah masam. "Tapi aku lapar kak. Aku sungguh lapar. Aku tak bohong."
"Eh..." Ara menarik narik lenganku kasar. Hingga membuat lengan pada bahuku sedikit menurun.
KAMU SEDANG MEMBACA
CAN I?
Fantasy"Bisakah? Bisakah aku melewatinya sendiri?"-Ailyn Ini kisah tentang gadis remaja yang harus menanggung beban hidup sendiri. Di usia yang masih sangat muda, ia diharuskan untuk merawat seorang anak kecil sendirian. Bukan. Ini bukan karena ia bermai...