*
Masih terekam jelas diingatan Park Minyoung hari pertama dia bertemu dengan cintanya.
Dia hanyalah wanita biasa yang saat itu menjadi manusia pejuang stopmap penuh lika-liku. Mencari pekerjaan sangatlah sulit pada masa itu, tanpa ada teknologi secanggih masa kini mengharuskannya serba manual—mulai dari menulis biodata sampai mengirim lamaran ke perusahaan.
Seperti sebelum-sebelumnya, Minyoung turun dari angkutan umum sehabis mengambil hasil lamarannya yang di tolak untuk ke kesekian kalinya.
Miris sekali. Akan tetapi tidak ada yang lebih miris daripada penampilannya sekarang; wajah kusam dan berminyak, rambut kucel, baju bau keringat karena seharian ini dia sibuk mondar-mandir mencari pekerjaan di tengah hectic-nya kota penuh polusi ini. Dia menghela nafas panjang, menatap stopmap di tangannya dengan tatapan malang, mengasihani dirinya sendiri.
Minyoung tersenyum kecut. "Kau bisa lewati ini. Masih ada hari esok," katanya, menyemangati diri sendiri, kendati dirinya begitu lelah, baik fisik dan pikirannya.
Lantas tungkai kakinya yang berbalut high heels itupun melangkah gontai untuk pulang. Sembari itu, dia menikmati pemandangan sore hari—lalu lalang para orang, suara klakson dari kemacetan yang bersahutan, langit senja yang menenangkan. Somehow hal itu menjadi refreshing tersendiri untuk seorang Park Minyoung bahwa hal biasa jika dilihat dengan baik-baik kamu akan menyadari sesuatu yang berbeda. Hari ini keramaian tidak sepadat kemarin dan langit senja berwarna lebih cerah, hanya lamaran kerjanya tetap di tolak yang membuat segalanya mirip dengan hari kemarin.
Huft, jujur saja. Meski motto hidupnya adalah "Selagi masih ada hari esok, kau pasti akan menang", Minyoung bahkan tidak tahu besok mau makan apa, besok mau cari kerja dimana, atau besok mau melakukan apa.
"Persetan, mana duit lo?!"
Minyoung yang sedari tadi sibuk menendangi batupun mendongak. Pandangannya mendapati sebuah keributan yang berada di gang dekat kompleksnya, terdapat tiga orang preman tengah mengeroyok seorang pria—dua mengunci lengannya, satu menghabisinya. Wajahnya babak belur hingga berdarah-darah.
"Ck ck ck, dasar manusia jaman sekarang," herannya.
Niatnya Minyoung tidak ingin campur tangan, tapi ia mendadak terdiam ketika melihat pria itu tampak pasrah dihajar dan tidak memberi perlawanan yang entah kenapa membuatnya gemas sendiri. Akhirnya wanita itupun menghampiri mereka.
"Anjing! Nggak ada capeknya ya lu?" preman tersebut mulai habis kesabarannya. "Gue tahu lo orang kaya! Cepet bagi duit!"
Dengan keadaan menyedihkan, pria itu mendongak. "Sudah kubilang aku tidak membawa uang," jujurnya.
"Alah bacot—"
"Hei!"
Keempat oknum tersebut menoleh saat mendengar teriakan Minyoung menggelegar. Preman yang menghajar pria itu—yang sepertinya adalah Sang Ketua—mendapati kedatangan Minyoung dahi mengernyit. "Siape lu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Let Out The Beast
Fanfic"Darkness was created by God so you can find your true light."