Bag 7 (Kejelasan)

843 79 8
                                    

Suasana pulang sekolah berjalan seperti biasa, semua siswa mulai meninggalkan kelasnya masing-masing. Tiba-tiba seseorang menempeleng kepala Pandu dari belakang. Ternyata Dito menganggap hal itu adalah sebuah sapaan untuknya.

"Duhh," lenguhnya.

"Dapet cewek lupa balik lagi ke alamnya!"

"Habis gimana ya. Aku cuma ngikutin saran maneh aja," jelas Pandu tersenyum malu.

"Ah, dasar bayawak."

)* Bayawak : Biawak(Sunda)

"Tenang lah, To. Aku gak akan lupa sama temen sendiri kok."

Mereka berdua berjalan beriringan menuju ke luar gerbang sekolah.

***

"Dhin, tunggu, tunggu dulu!"

Andhin yang mencoba memberontak ingin pergi, namun berhasil dikalahkan oleh tenaga sang pacar yang ingin menariknya ke tempat yang lebih sepi untuk berbicara empat mata.

"Lepasin, kita udah gak ada urusan lagi!" Andhin menghempas tangan yang sedang menggenggam kuat.

"Sayang, kok kamu gak jelas gitu, sih? Kita bicara dulu baik-baik biar jelas."

"Bicara baik-baik? Kamu itu gak baik tahu gak? Masih pura-pura gak tahu keadaan Mira sekarang kayak gimana?"

"Mira? Oke, aku bisa jelasin. Aku emang pernah ngelakuin itu, tapi aku juga gak yakin kalau dia cuma pernah sama aku setelahnya."

"Terus, aku harus maafin kamu?"

Kevin mendekat untuk memohon seraya menatap mata gadisnya dengan sungguh-sungguh. "Dhin, aku emang salah udah pernah ngelakuin itu sama dia, tapi bukan berarti kita harus putus gitu aja. Masih bisa diselesa-"

"DIEM! Maneh mah lalaki goblog!" Setelah berucap kalimat itu, Andhin berbalik arah melengos meninggalkan Kevin sendirian di tempat itu.

"TERUS APA BEDANYA KAMU SAMA MIRA YANG PERNAH AINK GREPE ?!"

"Goblog siah!" Andhin berbalik lagi dan melangkah cepat untuk menampar wajah pemuda itu. Namun, tamparan itu berhasil ditangkis oleh Kevin. Kedua tangan Andhindigenggam kuat olehnya untuk mencegahnya melakukan tamparan lagi.

"Eh dengerin ya, harusnya maneh bersyukur. Kalau waktu itu kita jadi ngelakuin itu, mungkin sekarang maneh yang hamil, bukan Mira," Kevin berbicara dengan nada pelan, matanya menusuk tajam menatap wajah gadis yang telah ia khianati. Seolah-olah hanya itu yang ingin dikatakan Kevin di akhir kisah cinta mereka. Ia lalu melepas genggamannya sembari mendorong tubuh Andhin ke belakang. Pemuda itu pun berbalik arah meninggalkan sang mantan pacar sendirian di tempat itu.

Tak kuasa menahan tangis. Andhin menutup wajah dengan kedua telapak tangan dan mulai mengusap air mata yang jatuh membasahi pipi. Sebagai perempuan, Andhin merasa telah direndahkan oleh mantan pacarnya. Di hari itu, ia baru mengetahui sosok Kevin yang ternyata sebejat itu. Penyesalan sudah pasti ada, rasa bersyukur dan kecewa bercampur tak karuan. Bersyukur bahwa ia telah diperlihatkan bagaimana sosok Kevin yang asli. Serta kecewa melihat sosok yang ia cintai selama ini telah merusak sepenggal kisah hidupnya.

Andhin berjalan sendirian meninggalkan sekolah dengan kedua mata yang sembab. Dari kejauhan, seorang siswa yang tengah bersiap pulang mengendarai skuter matik, melihat sesuatu yang tak biasa dari gadis di seberang jalan sana. Tak seperti biasanya, ia melihat Andhin berjalan pulang sendirian tanpa siapapun yang menemani. Ia pun segera menghampiri gadis itu untuk sekadar menyapa.

"Hai Andhin! Tumben kamu pulang sendirian?" sapa Pandu sambil mengendarai skuter matiknya dengan kecepatan pelan---mengikuti kecepatan Andhin berjalan di sampingnya.

Yang disapa terperanjat dan langsung mengusap air mata di pipi, lalu menoleh ke arah Pandu.

"Lagi pengen pulang sendirian aja," Andhin menyembunyikan sisa tangis di wajah dengan tersenyum ringan.

"Kamu kenapa, Dhin?" melihat mata yang sembab itu membuat rasa penasaran Pandu bertambah.

"Gak apa-apa kok, cuacanya emang lagi panas aja."

"Pulang bareng aku aja yuk?"

"Gak usah, Du. Aku naik angkutan umum aja."

"Ayolah, aku anterin sampai rumah kamu."

"Gak apa-apa kok, Du. Kamu duluan aja."

"Udahlah, sini ayo!" Pandu menghalangi langkah dengan menyalip skuter matiknya tepat di hadapan gadis itu.

Merasa tidak enak untuk terus menolak tawaran, akhirnya Andhin luluh dan bersedia diantarkan pulang oleh teman sebangkunya saat ini.

Meskipun merasa iba melihat seorang gadis yang berusaha menutupi kesedihan, Pandu cukup senang mendapatkan gadis pertama yang bersedia naik bersama di skuter matik tua kesayangannya. Namun rasa khawatir itu semakin menjadi ketika mendengar suara isak tangis Andhin yang terdengar pelan namun cukup jelas. Sontak Pandu segera menghentikan sementara laju sepeda motor untuk sekadar melihat keadaan gadis di belakangnya.

"Kok berhenti dulu disini?" tanya Andhin heran.

"Kita turun dulu yuk sebentar," Pandu menepikan sepeda motor di tempat yang cukup teduh dan jauh dari lalu lalang orang. Dilihatnya wajah Amdhin yang semakin memerah bengkak setelah terbasahi air mata.

"Dhin, kamu kenapa sih? Cerita aja sama aku."

"Enggak kok, gak apa-apa. Ayo, Du! Katanya mau anterin aku pulang?"

Pandu hendak mengusap air mata, namun Andhin menolak tangan itu.

"Dhin, jangan sedih dong. Cerita dulu aja sama aku. Kamu habis berantem sama pacar kamu ya?"

"Aku gak bisa cerita sekarang. Kamu mau anterin aku pulang gak sih? Ya udah, sampai sini aja deh. Duluan ya!" Seolah tak mau diperhatikan, gadis itu memilih melengos pergi. Pandu langsung mengejar dan menghalangi langkah ke mana Andhin akan pergi. "Dhin, tunggu dulu! Kamu jangan pulang sendiri!" Dilihatnya kedua mata Andhin yang semakin sembab sampai tak kuasa menahan tangis. Ia mencoba merangkul dan menyandarkan kepala gadis itu di dadanya.

"Dhin, jangan gitu dong. Aku anterin ya sampai rumah kamu. Kamu bisa ceritain kapan aja kalau kamu siap." Pemuda itu mencoba menenangkan Andhin dengan menghentikan keingintahuannya. Hingga sang gadis berhasil dibujuknya untuk melanjutkan perjalanan pulang.

Next Chapter 🔽

About D ( Her Secret ) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang