Dua Puluh Tiga

25 0 0
                                    

Happy reading guys

Salsa masih tetap menunggunya. Bermain dengan bocah yang genap 2 tahun itu, hingga tidak menyadari Bagas sudah ada didekatnya.

Ini adalah pertama kalinya Bagas bertemu dengan bocah kecil yang sangat mengemaskan itu. Ia pun berjalan mendekat kearah Iren dan juga Salsa, sedangkan Dini tengah memainkan ponselnya dan duduk tidak jauh dari mereka.

"Boleh Bagas gendong?" Davit menatap Iren meminta persetujuan.

Iren tersenyum senang dan mengangguk. "Boleh. Caca pasti seneng bisa ketemu sama Abangnya." Iren membantu Bagas agar bocah kecil itu nyaman berada digendongannya.

Bocah itu tersenyum kearahnya, dikala Bagas menatapnya dengan sayang.

"Dia kayaknya seneng ketemu sama kamu." Kata Davit terkekeh pelan.

"Sal sini." Sahutnya, padahal jarak mereka tidak lah berjauhan.

Salsa pun mendekat. "Kayaknya kita udah cocok ya?" Bagas tertawa pelan.

Kalau saja tidak ada Caca dalam gendongannya mungkin Salsa akan memukulnya. Pipi Salsa pun memerah, ia malu.

"Hus, kamu ini." Ucap Iren.

"Sekolah dulu yang bener."

Bagas mengembalikan Caca ke gensongan Iren. "Bercanda pah."

Dini mencibir. "Emangnya Salsa mau sama lo." Dini menatap Salsa. "Lo nggak mau kan ya Sal sama dia. Iya lah, diakan suka buat usil, jorok, Wahhh!" Bagas mengejar Dini, hingga mereka pun jadi saling kejar-kejaran.

"Awas ya lo." Bagas menangkap Dini dan mulai menggelitikinya.

"Bagas, hahaha. Geli ih." Dini tertawa geli. Salsa menyaksikan mereka sambil tertawa pelan.

"Bagas!" Ucap Davit tegas namun terkesan lembut.

Bagas menghetikan aksinya dan memeluk Dini agar ia tidak bisa kabur kemana-mana. "Dini yang mulai pah." Belanya.

"Dih!" Ia pun mencubit lengan Bagas hingga dekapan itu terlepas, membuat ia memmpunyai kesempatan untuk lari menjauh dari Bagas dan bersembunyi dibalik punggung Davit.

"Wlee." Dini menjulurkan lidahnya. Mengejek Bagas lalu tertawa menang.

***

Awalnya Bagas mengajak Salsa untuk ikut dengannya bertemu dengan Ara, tapi Salsa menolak, katanya ia ingin pergi ketoko buku. Jadilah ia dan Dini datang kesana. Walaupun Bagas tak mengatakan langsung ia akan pergi kemana, karena Dini sendiri tidak bertanya.

Dini melihat jalan yang nampak asing dilalui, melirik kearah spion motor, menatap Bagas. "Gas, lo mau bawa gue kemana sih?" Ucapnya penasaran.

"Udah lo duduk manis aja. Jangan bawel." Bagas memfokuskan dirinya kepada jalan yang sedang mereka lewati karena jalannya sedikit licin. Maklum saja, habis turun hujan.

Kendaraan itu pun berhenti. Dini pun turun dan memperhatikan rumah yang ada didepannya. "Kayaknya gue pernah ke rumah ini." Sahutnya. "Tapi kapan ya?" Dini mencoba mengingat-ngingat.

Bagas tersenyum simpul.

Dini menjentrikan tangannya. "Oh iya, ini kan rumah sebagai kado dari Papah waktu lo ulang tahun ke 12 tahun kan ya, Karena lo sangat suka dengan rumah ini kan?" Walaupun warna catnya sudah ada beberapa yang berubah namun arsitektur serta beberapa bangunannya masih sama saat ia pertama kali datang kesini. Tapi kenapa jalannya berbeda. Atau Dini yang lupa.

"Seratus buat lo. Ternyata lo masih inget juga." Bagas terkekeh pelan.

Dini menatap Bagas. "Terus, lo kenapa bawa gue kesini?"

HILANG [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang