"Kamu kelihatannya pucet banget, udah makan?" Tanya Pak Arden yang kini sedang mengendarai mobil. Meski tatapannya kian fokus memperhatikan jalanan yang ramai tidak sepi tidak, sesekali ketika ada kesempatan beliau mengajakku berbicara.
"Udah, Pak." Jawabku singkat, bukannya sengaja namun aku betul-betul tidak tahu harus jawab apalagi.
Haduh, benar-benar deh Kakak. Dengan sengaja melempar aku ke pelukan Pak Arden, kemudian kabur begitu saja meninggalkan kami berduaan. Makhluk yang satu itu pernah memakai otaknya diluar dari kegiatan kuliah tidak, sih? Kok aku ragu, ya...
"Makan apa? Enggak lapar lagi?" Tanya Pak Arden dengan nada bicara yang begitu tenang.
"Um, es krim sih tadi."
Pak Arden memusatkan perhatiannya kepadaku, aku bisa melihat dengan jelas lipatan di antara kedua alisnya itu menunjukan keheranan yang luar biasa. Beliau pasti sedang memposisikan dirinya sebagai seorang Ayah yang anaknya hanya mau makan es krim dan menolak makan nasi. Aduh, rasanya seperti memiliki Ayah saja.
"Kamu makan es krim doang dari pagi?"
Kalau dipikir-pikir aku memang cuman makan es krim saja sih dari pagi. Habis karena Kakak cuman punya waktu sampai siang, kami buru-buru kemari untuk menginterogasi Raden. Ah, jadi teringat perkara Raden lagi, kan... apa aku tanyakan saja pada Pak Arden, ya? Beliau kan temannya, paling tidak beliau tahu satu dua hal harusnya.
Terlepas dari masalah yang kini Raden hadapi, aku tidak yakin menghalalkan segala cara adalah hal yang tepat. Terutama sampai menipu gadis muda begitu-tunggu, bagaimana kalau Kansa sebenarnya tahu dan setuju-setuju saja? Kok aku tidak kepikiran dari tadi, ya...
"Nissa lagi banyak pikiran?" Tanya Pak Arden yang pertanyaannya belum aku jawab. Aku hanya tersenyum, mengangguk pelan kemudian menjawab, "Lumayan..."
"Memangnya ada apa? Bukan soal..." Pak Arden menghentikan ucapannya sebentar, "...yang waktu itu Saya bilang, kan?"
Aduuh, aku jadi ingat lagi, kan!
"Ehh, eum, bukan itu aja sih..." Jawabku yang sepertinya begitu pelan sampai tidak begitu terdengar.
"Bukan itu aja artinya termasuk, kan?" Pak Arden mengela napas pelan, kemudian tangannya dengan lembut meraih tanganku yang aku letakan di atas pahaku. Ia menggenggam tanganku begitu lemah lembut, tanganku yang dingin karena ac mobil kini menjadi sedikit lebih hangat karena dekapan tangan beliau. Telapak tangannya jauh lebih besar dari milikku, tampak begitu gagah, membuat aku hanya bisa terdiam dan menghayati dentuman jantungku yang nyaris terbakar, bukan, meledak ini.
"Adine," kata Pak Arden, namun tatapan mataku masih hanya tertuju pada tangan kami yang sedang berdekapan lembut, "Maaf, waktu itu Saya terbawa suasana..."
Ya ampun, jantungku... tolong tahan... tahan sedikit saja!
"Bagaimana ya, Saya sebenarnya memang sudah lama..." Pak Arden terdiam, seakan-akan bingung dalam merangkai kalimat yang hendak ia ucapkan, "...suka sama kamu."
"Kenapa?" Tiba-tiba saja aku bertanya, ya ampun otak dan mulutku kini sudah tidak sinkron lagi!
"Saya gak ngerti, pokoknya waktu Saya ketemu sama kamu diwawancara, Saya sudah tertarik saja sama karisma kamu." Pak Arden mengangkat tanganku, kemudian mencium punggung tanganku dengan lembut.
Demi Tuhan, tidak sekalipun aku pernah membayangkan seorang Pak Arden akan melakukan hal yang seromantis ini! Bukan, bukan, lebih tepatnya Pak Arden melakukan hal romantis ini kepadaku!
KAMU SEDANG MEMBACA
Ninetynine of Hundred
Teen FictionKalau Adine adalah orang yang hidup didunianya sendiri, maka Arden adalah orang yang terobsesi dengan dunia itu. ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ Tuntutan pernikahan dari keluarga besar dengan pemikiran primitif, membuat Adine Issabella Lim semakin pusing p...