"Sebenarnya aku anak kandung mereka atau bukan!! Kenapa mereka selalu memperlakukanku dengan berbeda!" rutuk Yim sambil mengemas pakaiannya.Siang ini dia akan bersiap untuk meninggalkan rumah dan memulai kehidupan barunya di universitas. Yim senang bisa meninggalkan tempat ini, sesuatu yang tak pernah disebutnya sebagai rumah. Dia tak pernah merasakan sebuah kehangatan keluarga. Bagaimana rasanya diperhatikan juga sudah lupa dia. Orangtuanya memperlakukan Yim dan saudara-saudaranya dengan cara berbeda dan sangat jelas. Yim tahu itu, dia tidak lebih hanyalah seekor domba hitam dalam keluarganya yang selalu mendapatkan hal-hal tidak menyenangkan.
Yim menghela napas, sambil melihat keluar jendela kamarnya. Dari lantai dua rumahnya, langit begitu cerah, birunya menenangkan hatinya. Akankah dia merindukan semua kenangan di Nakhon Sawan--tempat dia lahir dan menghabiskan waktu hidupnya sampai lulus SMA--atau malah akan melupakan semua kenangan itu?****
Paradise Park, Hari sebelumnya...
Yim sudah menunggu cukup lama di dekat patung naga yang terletak di kuil taman ini. Dia berjanji untuk tepat waktu tapi seperti biasa dia akan telat beberapa menit dari waktu yang telah di setujui. Matahari sore tidak begitu terik dan hal ini bagus buat Yim. Untung saja mereka ke sini di sore hari. Kalau siang bisa terbakar matahari. Beberapa turis terlihat sedang berfoto-foto, dia teringat dulu juga pernah berfoto bersama Tong, sahabatnya. Dari kejauhan tampak Tong melambaikan tangan dan berlari ke arahnya.
Napas Tong tersengal-sengal saat dia sampai di tempat Yim.
"Capeknya...." kata Tong sambil menyeka keringat di pelipisnya. Wajah putihnya memerah karena rasa lelah.
"Minum ini!" kata Yim sambil memberikan air mineral dalam botol.
"Kita bisa ketemu di rumahmu Tong, tanpa harus jauh-jauh ke sini."
"Tidak-tidak ini adalah tempat yang paling cocok untuk mengucapkan selamat tinggal padamu."
"Sejak kapan kau jadi dramatis?"
Tong tersenyum, matanya yang sipit tertutup. Lelaki berbibir tipis itu melangkah lebih dekat ke Yim.
"Karena kau sahabatku yang paling istimewa. Tempat ini adalah tempat pertama yang kita kunjungi sebagai sahabat. Dan aku ingin melepaskanmu di sini."
Yim terharu mendengar penjelasannya. Tapi dia juga ingin tertawa karena baginya ini terdengar lucu dan mengharukan.
"Jangan menangis. Kita masih bisa saling komunikasi lewat ponsel atau kalau kamu punya waktu luang pergilah ke Bangkok untuk menemuiku."
Tong menyeka air mata yang hampir terjatuh.
"Tentu akan aku kabari saat aku akan ke Bangkok. Dan jangan lupa untuk mengajakku jalan-jalan!""Semuanya akan baik-baik saja. Sudah tidak ada lagi yang akan mem-bully-mu."
Tong mengangguk.
"Ayo abadikan momen!" ajak Tong.
"Lagi? Kita sudah pernah melakukannya, Tong!"
"Itu beberapa tahun yang lalu. Dan pada nuansa yang berbeda!" paksa Tong."Cepat! Aku harus beristirahat untuk perjalanan besok!"
Tong mengambil ponselnya dan ber-selfie bersama Yim. Raut gembira kini menghiasi wajahnya. Yim pun mencoba untuk menikmati momen bersama sahabat baik sekaligus juniornya di SMA.
"Pindah ke jembatan," ajak Tong.
Yim mengikuti Tong dengan semangat. Yim tertawa renyah.
"Apa yang kau tertawakan? Tak ada yang lucu!"
"Kau ingat Tong? Saat kamu hampir jatuh di jembatan yang menghubungkan taman ini dengan daratan di sebrang sana."
Tong memukul kepala Yim pelan.
"Tentu...."
"Kamu begitu pucat saat itu. Pasti kamu ketakutan setengah mati karena kamu tidak bisa berenang kan?"
"Sudahlah itu masa lalu, sekarang aku sudah bisa berenang. Mau bertanding?"
"Kamu sangat suka tempat ini, sebuah pulau di Nakhon Sawan," ucap Yim.
"Jawab dulu tantanganku!"
Yim menggeleng. "Cepatlah foto di jembatan putih ini. Tempat favoritmu."
Tanpa terasa langit telah menggelap, dua lelaki itu menghabiskan waktu dengan canda tawa. Semburat jingga mewarnai langit, warna kesukaan Yim.
"Satu lagi sebelum senja menghilang, mari foto bersama!"
"Setelah itu aku akan mengambil fotomu,Tong!"
"Oiii baik, gantian ya?"
Yim tersenyum cerah.
"Cepat sebelum tempat ini tutup. Tetap semangat dan jaga komunikasi kita ya?" pinta Tong.
"Tentu, gak usah khawatir."
"Mau aku antar ke stasiun besok?"
"Tidak usah aku bisa sendiri."
Tong memberikan pelukan selamat tinggal. Yim pun menyambut pelukan itu dengan hangat.
"Lagona, Phi Yim."****
Yim melemparkan tubuhnya di atas kasur. Handuk masih terkalung di lehernya. Dia kemudian bangkit dan duduk di kursi meja belajar. Menatap nanar keluar jendela kamar. Manik matanya yang hitam menangkap kilauan yang jatuh di langit. Bintang jatuh. Yim memejamkan mata.
Goodbye past... Welcome future, batinnya.Yim menggosok rambut basahnya dengan handuk, masih dalam posisi yang sama. Langit cerah, beruntung baginya untuk bisa melihat ribuan bintang yang bersinar di luasnya cakrawala. Plus bonus tadi.
Yim membuka Instagram, sebuah postingan baru dari Tong. Ya, foto tadi sore.
Farewell selfie. Begitulah caption yang diberikan Tong. Jempol Yim menyentuh tanda hati. Dan memilih emoji menangis di kolom komentar.Tok... Tok... Tok... Pintu kamarnya diketuk.
"Boleh masuk, Phi?" tanya Nong Lan adik lelaki Yim.
"Ya!!"
Lan pun masuk ke dalam, dan melihat seluruh area kamar Yim.
"Nyari apa?"
"Ohhh.... Enggak kok. Cuma ngasih tau udah ditunggu di ruang makan untuk makan malam bersama."
"Tumben... Siapa yang masak?"
"Aku lah, ayo... Phaaw dan Maae sudah menunggu. Phi Tam juga."
"Khrap."
Yim membuang napas jengkel. Hubungannya dengan Phi Tam memang tidak dekat, dia membencinya tepatnya. Perhatian orang tuanya hanya terfokus pada Tam dan Lan."Kau turunlah dulu. Aku akan segera menyusul."
Yim lebih dekat dengan Lan, mereka sering memasak bersama. Namun tetap saja yang dipuji adalah Lan saat makan bersama. Seolah-olah tidak ada usaha Yim yang tampak untuk keluarganya. Yim tahu itu dan berusaha untuk menutupi ketidaksukaan pada situasi ini di depan Lan."Menu malam ini adalah Tom Khai gai¹," jelas Lan bersemangat.
"Sepertinya enak," timpal Phi Tam.Yim menyuap makanannya, "Enak...," katanya pelan.
"Yim ... Besok aku tidak bisa mengantarkanmu ke stasiun," kata Ayah ke Yim.
"Tidak apa-apa, aku bisa berangkat sendiri."
"Tam, kau bisa antar adikmu?"
"Tidak usah aku bisa sendiri," sela Yim.
"Kalau itu maumu, aku gak mau kita bertengkar lagi karena masalah sepele."
"Sudah lanjutkan makannya. Tidak baik berdebat di meja makan," kata Ibu menengahi.****
Nakhon Sawan Railway Station
Yim melihat jam tangannya, baru jam 12.00, empat puluh dua menit lagi dia akan berangkat ke Bangkok dan diperkirakan akan sampai pada jam 18.00. Yim naik taksi untuk sampai di stasiun yang terletak di Sub-distrik Nong Pling ini. Nong Lan belum pulang saat dia berangkat, ayah dan ibu sedang bekerja sedangkan Phi Tam sedang sibuk dengan urusannya.
Yim mengambil ponselnya, mengambilnya foto selfie dan mempostingnya di Instagram.
See you again,,, begitulah caption yang dia tuliskan.Di dalam kereta Yim melihat keluar jendela, diselipkannya headset ke telinga. Yim pun tertidur.
****
¹sup asam pedas berisi daging ayam dan santan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pieces Of Love (On Going)
عاطفيةBertemu dengan orang yang dibenci plus menyebalkan memang tidak enak. Tapi bagaimana bila harus bertemu setiap hari? Yim, memiliki hutang budi pada Phi Ton, dia dalam pengawasannya. Bersama sahabatnya Pom, Yim mengarungi masa kuliah dan pencarian...