Kutukan Parwani

5 0 0
                                    

Bulan memamerkan cahaya penuhnya malam itu. Bulan tampak besar tak sperti malam biasanya dengan warna yang merah seperti darah. Ditemani suara burung malam yang saling bersahutan membuat malam itu menjadi sangat mencekam.
Terseok seok langkah kaki yang telanjang menerabas rumput yang basah. Membuat langkah Parwani sedikit tertatih agar dia tidak terjatuh. Napasnya terengah engah. Tangannya memegang sebuah keris yang sudah berlumuran darah. Tampak tangannya sedikit bergetar berusaha agar dia bisa tetap memegang keris itu agar tidak sampai terjatuh. Sementara kain kembennya yang menutupi tubuhnya yang putih mulus sudah terkoyak akibat semak semak berduri tajam yang dia paksa terobos tadi di hutan.
"Tinggal sedikit lagi, aku bisa masuk ke perbatasan desa, bertahanlah Parwani!" lirih Parwani.
Dia sudah mencapai puncak bukit pembatas gerbang pembatas desa dengan hutan kaki Gunung Kawi. Tinggal menuruni bukit itu dia akan bertemu dengan para penjaga gerbang desa, tempat dia tinggal bersama ayahanda dan ibunya.
Dengan setengah berlari Parwani menuruni bukit itu. Dia ingin segera sampai di desanya dan meminta perlindungan dari ayahnya, seorang pemimpin desa bernama Prabaswaka. Dia takut sekali, karena dia sudah menghabisi nyawa seseorang. Dia takut karena dia baru saja menghilangkan nyawa dari anak seorang yang paling ditakuti di seluruh Kanjuruhan.
Namun karena sudah berjam jam dia berlari dia mulai kelelahan. Napasnya terputus putus dadanya terasa sesak. Pandangan matanya sedikit memudar. Dia tidak bisa melihat dengan jelas karena kanan kirinya hanya pohon pohon yang tinggi menutupi sinar bulan. Karena pandangannya terbatas dia pun tidak melihat sebuah dahan pohon yang melintang di depannya. Dia pun menabraknya. Membuat kepala dan dadanya terbentur dan semakin sakit tak keruan. Parwani sempoyongan dan setelah itu dia terjatuh tak sadarkan diri.

$$$$$$$$$$$$$$$$$$
Parwani merasa tulang rusuknya remuk semua. Perlahan dia membuka matanya. Samar samar dia melihat sekelilingnya. Dia heran kenapa dia bisa berada di tengah tengah pendopo rumahnya Dan dia merasakan dingin yang menusuk. Untuk mengurangi rasa dingin, Parwani membekap kedua lututnya. Bibirnya gemetaran dan terasa kering. Entah kapan dia terakhir minum. Dia berusaha lebih keras untuk membuka matanya dan meminta siapa saja untuk memberinya air.
"Air, tolong, air!" gumam Parwani.
Dengan segala upaya Parwani membuka matanya dan mencoba melihat keadaan di sekelilingnya. Seorang bertubuh besar dengan pakaian serba hitam mendekatinya.
Kemudian dia menyiramkan air ke wajahnya dengan suara yang menggelegar seperti petir. Parwani tahu itu adalah Bratabara. Si penguasa hutan Wingit yang merupakan seorang manusia kejam yang suka menganggu rakyat Kanjuruhan. Dia mempunyai padepokan di hutan itu. Di padepokan itu dia adalah pimpinan  tempat semua penjahat dari berbagai penjuru Jawa berkumpul disana. Mereka itu adalah perampok, penculik, dan pembunuh bayaran. Mereka biasa dicari oleh para bangsawan untuk melakukan pekerjaan pekerjaan kotor untuk menguntungkannya. Dan menurut cerita yang sering dia dengar dari para pekerja ayahnya dan penduduk desa yang dia temui. Bratabara adalah seorang yang sakti yang kebal dengan segala senjata tajam. Dia tidak akan pernah bisa mati karena dia memiliki ribuan bantuan makhluk makhluk yang kasat mata.
Parwani sedikit ketakutan. Air yang ditumpahkan Bratabara tak sedikit pun dia cicip. Badannya gemetaran memikirkan keselamatannya dan keluarganya.
"Kau sudah sadar hei!"kata Bratabara dengan suara yang keras membuat siapa aja yang mendengarnya pasti bergidik.
"Ayah, Ibu!"panggil Parwani dia mencoba untuk berdiri. Rambutnya yang panjang sedikit menutupi sebagian wajahnya.
"Ayah dan ibu mu sebentar lagi mati!"gertak Bratabara sambil menjambak rambut Parwani dan menyeretnya. Parwani mengerang kesakitan. Dia mencoba melonggarkan jambakan rambutnya namun tenaga Bratabara bukan tandinganya.
"Tolong..tolong!"teriak Parwani tapi tak ada seorang pun disana. Parwani melihat tak ada seorang pun penjaga di pendopo itu. Kemana semua orang di rumah ini. Semuanya tak terlihat. Sementara Bratabara terus menyeret Parwani ke luar rumah.
Bratabara pun kemudian menghempaskannya ke tanah. Parwani dengan sisa tenaganya mencoba membungkuk memohon ampunan pada Bratabara.
"Tolong ampuni saya, saya mohon ampun!"ucap Parwani memohon dengan mengusap usap kedua telapak tangannya.
"Lihat itu!"perintah Bratabara menunjuk ke arah utara depan pagar rumahnya.
Parwani pun melihat ke arah yang ditunjuk. Dia terkejut karena disana terdapat beberapa orang  yang tergeletak dan berlumuran darah. Dan yang lebih terkejutnya dia melihat kedua orangtuanya berada di tengah tengah itu dalam keadaan terikat dengan wajah yang lebam dan memar memar.

Parwani Gadis AbadiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang