hardest truth

4.2K 451 22
                                    

PRILLY

Aku mematut diriku di cermin. Untung ada keajaiban makeup artist, pikirku. Mata bengkakku tersembunyi dengan sempurna dibalik sapuan makeup. Aku menghela napas lega. Untung Ali mengira aku menangis karena berita infotainmen yang seringkali memojokkanku. Jujur saja sebenarnya aku ingin tertawa melihat pemberitaan yang ada.

Aku berjalan bolak-balik tak henti. Tanganku menggenggam naskah dengan gugup. Aku pusing memikirkan adegan romantis yang harus kuperankan dengan Ali hari ini. Jantungku berdegup kencang dan tanganku sedikit gemetar. Aku memaksa diriku untuk duduk dan menenangkan diri.

Aku membaca naskah itu sekali lagi. Aku berdecak frustasi. Tetapi ini satu-satunya jalan 'Prill!, aku bicara dalam hati. Aku harus cari tau apakah Ali itu Digo atau bukan! Aku membaca lagi naskah itu. Hmm, mungkin aku bisa menyisipkan sedikit improvisasi di sini. Untuk membuktikan semuanya, pikirku. Aku memantapkan diriku.

"Farah! Ayo take selanjutnya. Ini Mada udah siap!", aku mendengar salah satu kru memanggilku.

Aku menghela napas panjang. Tenang, 'Prill, tenang. Pasti bisa, 'Prill!, kataku dalam hati. Aku bangkit berdiri dan meninggalkan ruang kostum menuju set ruang tamu yang telah disiapkan. Aku melihat Ali di sana. Ia tersenyum. Ia duduk di sofa yang merupakan bagian dari set.

Aku datang menghampirinya. Ia menggeser duduknya memberi tempat untukku. Sepertinya ia menyadari kegalauanku atau kegugupanku soal adegan romantis yang satu ini.

"Lo kenapa? Grogi ya?", ia mencubit pelan pipiku, menatapku jenaka, menggodaku.

"Ngga. Biasa aja kok.", jawabku berusaha terlihat santai. Aduh, Ali. Jangan perlakukan aku seperti ini, aku semakin yakin kamu adalah Digo, aku mengomel dalam hati.

"Masa?", tanyanya lagi.

"Iya. Gue malah lagi mikirin improvisasi apa yang mau gue lakuin nanti.", jawabku menantang.

"Improvisasi? Yakin?", tanyanya padaku, sambil terkekeh.

"Iya. Liat aja nanti.", jawabku santai, padahal aku gugup tak karuan.

"Oke, Farah, Mada. Siap ya.", kata Om Reza memanggil kami.

Aku dan Ali bangkit berdiri dari sofa. Aku memposisikan diriku berdiri menghadap lemari yang di siapkan, berakting sedang mencari-cari sesuatu. Sementara Ali berdiri dekat pintu. Aku mengingat-ingat dialog dan gerakan yang harus kulakukan.

"Camera, rolling, ACTION!", aku mendengar Om Reza berteriak.

Aku mulai berpura-pura merapikan isi lemari yang ada di hadapanku sambil bersenandung. Seperti yang ditulis pada skenario. Aku merasakan Ali mengendap-endap di belakangku.

"Hei. Sibuk banget sih.", aku mendengar suaranya di telingaku.

Aku merasakan tangannya melingkari tubuhku. Mendekapku dari belakang. Darahku berdesir. Digo, seandainya ini bener kamu. Aku tersenyum, membalikkan tubuhku dan menatapnya dalam.

"Hei. Kok muncul tiba-tiba gitu sih?", tanyaku manja.

"Kangen.", jawabnya singkat.

Aku merasakan sesuatu menggelitik di perutku. Ini cuma akting, Prilly, aku mengingatkan diriku.

"Oh ya? Kangen yang gimana?", jawabku, mengingat-ingat dialogku.

"Yang begini.", jawabnya singkat.

Ali mendekatkan wajahnya ke wajahku. Aku memejamkan mataku, sesuai dengan skenario. Lalu aku merasakan bibir Ali menyapu lembut bibirku. Aku mengenalnya. Mengenal bibir ini. Digo? Apakah ini kamu?, tanyaku dalam hati.

Ali terus melanjutkan aktingnya sebagai Mada. Ia terus menciumku penuh hasrat. Entahlah, aku merasakan ada rindu di sana. Aku merasakan ia meletakkan tangannya di belakang leherku menekanku semakin dalam ke bibirnya. Aku tak bisa memungkiri aku menikmatinya.

Aku teringat rencana ku. Aku harus mencari tahu apakah Ali adalah Digo. Aku mulai mengangkat kedua tanganku dan merangkul leher Ali. Menyapu bagian dalam lehernya, melalui kerah hingga ke bagian dada. Aku terkesiap kecewa. Ali tak memilikinya. Ali tak memakai kalung yang biasa ia pakai. Kalung yang kukira adalah kembaran dali kalung sayapku.

Ali melepaskan bibirnya, menyandarkan dahinya ke dahiku. Ia menatapku frustasi, sesuai dengan yang diinginkan skenario. Aku juga menatapnya frustasi, tetapi bukan karena skenario. Karena aku kecewa perkiraanku salah. Bukan Ali orangnya. Digo bukan Ali. Ada rasa kecewa mendalam menghinggapiku.

Rasa kecewa yang timbul bukan karena aku bingung kemana harus mencari Digo. Bukan karena perkiraanku salah. Tetapi karena aku mulai mencintainya. Mencintai Ali, yanh kupikir adalah Digo. Jika dia bukan Digo, bagaimana aku menemukannya? Bagaimana aku menemukan Digo kalau aku mulai mencintai Ali?

"CUT!!!", aku mendengar suara Om Reza.

Aku melepas rangkulanku pada Ali. Ali mundur satu langkah menjauhiku. Om Reza sibuk memuji kami berdua. Terutama inprovisasi gerakanku yang merangkul Ali dengan mesra. Aku tidak tahu apakah aku harus bahagia atau tidak. Ali menciumku hanya sebagai Mada. Mungkin aku berlebihan berpikir bahwa dalam ciumannya tadi ada hasrat dan rasa rindu. Aku terbawa pemikiranku yang mengira Ali adalah Digo.

------------------------------------------------------

"Malem ini lo ada acara 'Prill?", tanya Ali padaku.

"Gue ada janji 'Li. Kenapa emang?", aku balik bertanya.

"Ngga apa-apa. Gue mau ajak dinner tadinya. Lo mau kemana? Gue anterin ya?", tawarnya padaku.

"Ngga usah 'Li. Gue bawa mobil kok. Lagian gue bisa lama, soalnya mau ketemu ilustrator novel gue yang baru.", tolakku halus.

"Gitu ya. Yaudah deh, lo hati-hati ya.", aku melihat kekecewaan di matanya.

Aku hanya mengangguk dengan senyuman. Maafin aku 'Li. Aku tidak boleh membiarkan perasaan ini tumbuh. Aku tidak boleh mencintai kamu. Aku harus mencari Digo. Aku hanya akan menyakiti kamu 'Li, kataku dalam hati. Aku bergegas melangkah menuju parkiran meninggalkan Ali di set lokasi yang sudah mulai di rapikan.

------------------------------------------------------

wings of alter egoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang