Yang paling kusyukuri adalah Yuni tidak berkomentar aneh-aneh ketika aku keluar ruangan Siska dengan selempang Employe of the Month di tangan. Dia malah menjerit gembira pertama kali, berulang-ulang mengatakan, "Tuh, kan, bener. Elo orang yang beruntung!"
Aku belum sempat menyangkalnya dengan bilang, "Bisa jadi ini hasil kerja kerasku." Yuni sudah keburu memamerkanku kepada teman kami yang lain. "Eh, Sin! Bulan ini Monika lho yang jadi Employee of the Month! Anwar! Sini! Monika bulan ini jadi Employee of the Month!"
Semua orang pada akhirnya tahu aku Employee of the Month, bahkan sebelum Angel melakukan briefing kepadaku pagi itu.
Namun sepanjang siang, aku tak dapat menampik bahwa aku bangga sekali dengan gelar itu. Bukan gelar kelas super seperti Puteri Indonesia, tetapi aku sangat bergembira melihat selempang itu seharian tersampir di bahuku. Lebih banyak pelanggan menghampiriku untuk bertanya. Ini jadi kesempatanku untuk mempromosikan station-ku sebelum akhirnya kuarahkan ke station yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Saat makan siang, aku tak melepaskan selempang itu agar semua orang di kantin karyawan bisa melihatnya.
Sekali-sekali berbangga hati boleh, kan?
Menurutku ini metode yang bagus sekali. Karena selempang tersebut membuatku lebih ingin berdedikasi dengan pekerjaanku. Ada tanggung jawab moral yang kusampirkan di bahuku, seolah-olah aku membawa nama baik perusahaan. Aku jadi lebih bertanggung jawab. Aku tak punya kewajiban melipat baju-baju yang sudah dibongkar pengunjung di station lain, tetapi aku tetap saja mengunjungi station Cindy untuk membantunya melipat ulang sweter-sweter mahal yang diobrak-abrik pengunjung (yang ujung-ujungnya nggak beli apa pun).
"Sini aku bantu," kataku menawarkan diri.
"Cieee ... yang jadi Employee of the Month!"
Aku mengibaskan tangan di depan wajah Cindy. "Ah, kamu ini."
Yes. I am Employee of the Month.
Sekitar pukul tiga sore, ketika aku sedang asyik swafoto dengan selempangku (lagi pula hari ini High End cukup sepi), seorang pengunjung memanggilku.
"Hey, you!" Suaranya terdengar seperti laki-laki dewasa.
Karena aku sedang bersembunyi di balik rak jas-jas pria, aku melongokkan kepala untuk melihat siapa yang memanggil. Tidak ada pegawai lain di dekatku, sehingga kuasumsikan dia memanggilku.
Sosok itu tinggi dengan wajah campuran lokal dan kaukasia. Dia mengenakan kaus sleeveless kedodoran dan celana pendek saja, tampak seperti baru bangun tidur. Mungkin memang baru bangun tidur. Dari siluet itu, aku sudah bisa menebak body bak malaikat yang dia sembunyikan di balik kaus itu. Otot-otot lengannya saja tampak keras seperti baja. Ketika dia berdiri menyamping, aku bisa melihat lekukan dada dan datarnya perut berotot itu.
Aku menelan ludah. Bahkan, pantat cowok itu pun tampak menggembung menggemaskan.
Mungkin dia artis, pikirku. Meski kurasa aku tak pernah melihatnya di TV mana pun. Ada jambang tipis yang belum dicukur, dan rambut mengembang seperti habis bangun tidur.
Mungkin dia memang baru bangun tidur.
Aku menghampirinya sedekat mungkin. Sosok itu sedang menelepon seseorang sambil mengacak-acak blus putih dengan kurang ajar. Dia angkat blusnya, ditengok sekilas, lalu lempar ke samping. Dia lakukan ke setiap varian warna blus yang dia hampiri.
"Yes, I'm at the store, now. What do you need?" kata laki-laki itu di telepon sambil mengangkat blus merah muda lalu melemparnya dengan tidak tertarik. "What the fuck? You think I'd know your fucking boobs size?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Crazy Rich Man Who Controls Everything
RomanceMonika, nama palsu (please jangan kasih tahu nama aslinya siapa) menganggap dirinya gadis sial yang lahir di keluarga miskin. Sampai umur sembilan belas tahun, pencapaian terbaiknya adalah menjadi Employee of the Month sebuah depstor kenamaan di Jak...