12 | Salah

333 27 3
                                    

Seharusnya Razel membuang gelang di tangannya itu sejak dulu, tetapi sangat berat. Sang pemberi gelang hidup bersamanya, tetapi perempuan itu tak pernah tahu ia masih menyimpan dalam nakas apartemen lain. Perempuan itu jarang masuk apartemen yang ia pijak saat ini dan saat kekasihnya datang pun pilihan biasanya ialah apartemen sebelah kiri apartemen yang ia tinggali.

Razel kecewa. Mengapa saudaranya harus bertemu dengan perempuan yang memberinya gelang itu?

Mengapa bukan perempuan lain saja?

Bukannya dunia ini luas?

Razel mencintai orang yang juga mencintainya, tetapi tak bisa membalas kasih sayangnya. Ia dan perempuan itu bahkan sudah menikah. Inikah yang dikatakan sebagai kisah tak sempurna? Ia dan perempuan itu hidup berdua, tetapi tak bersatu.

Razel meremas gelang kayunya kuat-kuat sejurus kemudian mendesis keras. Kenapa ia kembali merasakan ketidak ikhlasan dalam jiwanya? Ia pernah berjanji untuk ikhlas. Ini jelas perbuatan salah.

Razel memasukkan kembali gelang itu dalam nakas secara kasar, lalu menatap tegas lurus ke depan. Ia harus tetap pada pendiriannya.

Ketukan pintu membuat Razel menoleh cepat. Ia kontan merubah garis di wajahnya sebelum kemudian membuka pintu. "Ayah," seru Razel memaksa ramah. "Masuk, Yah."

Ardan yang ditunggunya sejak pagi akhirnya datang. Pria itu masuk dalam apartemen usai Razel mempersilahkan, lalu duduk di ruang tamu. "Mana luka kamu," ucap Ardan pelan.

Tanpa kata, Razel menunjukkan luka jahitannya di tangannya. Samar-samar Ardan tampak meringis. "Kamu nggak pakai sopir aja biar gak kejadian dua kali?" tanya Ardan. Semalam Razel beralasan mendapat tindakan kejahatan di jalan saat Ardan menanyakan absennya dari kerja. Tidak ada alasan lain hanya itu dan beruntungnya Ardan percaya.

"Enggak usah, Yah. Malam itu gara-gara aku lewat jalan lain. Jadi, emang nasib sial aku ketemu mereka."

Ardan merasakan kebodohan putranya. "Kenapa sama jalan yang biasanya?"

Razel tersenyum canggung seraya sedikit menunduk. Selanjutnya terdengar helaan napas dari hadapannya. Razel mengangkat kepala penuh, mendapat pertanyaan dari ayahnya. 'Kamu udah nggak pa-pa, kan? Lusa bisa dateng ke rumah?"

Pertanyaan yang cukup mengejutkan. "Ada apa, Yah?" tanya Razel kaku.

"Datang aja." Ardan menjawab dengan menghindari tatapan Razel.

"Pukul dua sore. Gak pa-pa kalau kamu nggak masuk kerja. Seenggaknya, kamu bisa datang ke rumah."

Hening.

Ardan dan Razel berserobok kembali. "Harus dateng," kata Ardan sambil menepuk bahu putranya sebelum kemudian menjauh dari pandangan putranya.

Masih tak beralih dari tempat sebelumnya, Razel berpikir tentang kata-kata ayahnya. Harus datang? ulangnya dalam hati.

Artinya ada suatu yang pentingkah?

Tentang kesehatan Ardan? Sepertinya bukan karena pria itu hari ini terlihat baik dari biasanya.

Sambil mengusap kepalanya kasar, Razel tak mau memikirkannya lagi. Mungkin besok, baru akan tahu jawabannya sendiri. Lelaki itu menapakkan kakinya ke luar dari apartemen karena keperluan di sana sudah selesai dan kembali untuk menginjak apartemen yang ditinggalinya.

FOREVER RTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang