Aku tahu, sangat tahu. Matanya yang hitam pekat itu selalu mengikutiku. Tatapannya tajam, seperti sinar laser. Aku bingung mengapa dia selalu menatap intes seperti mau melahapku. Sepengetahuanku aku tidak melakukan hal yang membuat dia marah. Akupun selalu ramah terhadapnya. Dia juga baik saat aku meminta bantuannya. Apakah ada dendam tersembunyi?
Tetapi tatapannya seperti itu hanya jika aku tak melihat ke arahnya saja. Aku benar-benar bingung sekarang, haruskah aku tanya dia sekarang? Apakah akan baik-baik saja? Aku takut dibilang aneh nanti. Diakan teman kelasku, bisa jadi masalah nanti bila kami bermusuhan dan aku tidak dapat contekan. Namun, masalah ini sudah lama terjadi. Aku tidak mau berlarut-larut, sebentar lagi kan ujian akhir semester. Aku tidak mau masalah ini membebani pikiranku. Jadi bagaimana?
Ya sudahlah, tanya saja. Toh yang pintar bukan hanya dia saja di kelas ini. Jadi untuk contekan aman. Masalah ini yang harus diselesaikan secepat mungkin. Yak, harus berani. Demi keselamatan otakku yang terus berpikir tentang dia.
"Ran, boleh aku bicara sebentar sama kamu?" aku menghampiri Ran yang sedang duduk membaca buku sambil mendengarkan musik di bangkunya. Dia melepaskan headset dan menatapku yang duduk di depannya. Ran hanya mengangguk dan mengamatiku dengan seksama, menungguku untuk bicara. Aku tersenyum untuk mengurangi gugup. Mungkin senyumku terlihat seperti valak sekarang gara-gara saking gugupnya.
"Anu, itu Ran, itu lho, anu...." ahhhh, mulutku kelu. Bagai disantet mak erot mulutku cuma bisa mengeluarkan kata anu.
"Apa sih Din? Kalau ngomong itu yang bener, jangan gagu gitu." Ran mencoba menahan tawa melihat kelakuanku. Aku hanya bisa nyengir bingung padanya. Dia balas mengangkat alis dan menggeleng kepala tanda maklum. Aku meleleh melihatnya bersikap begitu. Ran itu jarang tersenyum, tetapi sekali tersenyum Dia pasti manis sekali. Dan aku lagi-lagi membayangkan hal yang tidak-tidak tentang Ran.
Oke Lin, jangan melamun terus. Cepat tanyakan. Sebelum bel masuk berdering dan kau melewatkan kesempatanmu yang cuma satu kali ini.
Tiba-tiba Ran menarikku berdiri dan menyeretku keluar kelas. Aku yang tadi melamun terkejut dan diam saja membiarkan Dia menyeretku bagai kerbau dicucuk. Jalannya tergesa-gesa dan penuh hentakan, seolah-olah ada yang menggangu pikirannya. Apa Dia tiba-tiba kesal padaku karena membuang-buang waktunya?
"Sekarang kita cari tempat yang sepi untuk bicara. Kamu pasti mau mengobrol hal yang serius, kan? Kelihatan dari raut wajahmu tadi." Ran membawaku berbelok ke sudut sekolah yang rindang, tempat orang biasa mojok di sekolah ini. Dinding pembatas disini tinggi dan berlumut, membuat suasana di sekitar sini sejuk. Ada beberapa pohon tua yang sepertinya di tanam saat sekolah ini baru dibangun.
Aku mendongak memandang Ran. Sekarang kami berdiri berhadapan di bawah pohon rindang. Saling menatap bagaikan magnet. Aku menatap sosoknya yang atletis dan sangat tampan itu. Dia mempunyai garis bibir yang aku sukai. Bentuknya sedikit mirip permata dan berwarna sedikit kecoklatan.
Tatapan Ran sekarang berubah melankonis. Tangannya mengelus rambutku yang menjuntai di sekitar telinga. Dia menunduk, posisi wajahnya berada di atas bahu kiriku. Aku sekarang bisa mencium parfum yang Ran pakai. Baunya segar, perpaduan antara bunga dan buah-buahan mungkin.
"Di rambut lo ada ranting nih, kok bisa ya? Emang lo tadi ngapain?"
Pertanyaan Ran mengembalikan kesadaranku ke dunia nyata. Aku melihat ranting kecil yang ada di tangan Ran. Seingatku aku enggak kemana-mana selain di kelas.
"Enggak tau. Mungkin jatuh dari atas?" Aku bertanya balik pada Ran. Dia mendonggakkan kepalanya ke atas. Pandangannya langsung berbalik ke arahku setelah beberapa detik.
"Kayaknya."
Setelah membuang ranting kecil tersebut ke tanah Ran menarik tanganku ke genggamannya. Aku yang memang gugup sedari tadi tambah enggak karuan. Jantung ini rasanya mau meledak akibat perbuatannya. Ran hanya tersenyum manis memandangku, sambil membungkukkan badan dia berbisik:
"Mau ngomong apa tadi, lin?"
Mukaku memanas, suaranya yang lembut memberikan ngelenyar aneh ke tubuhku. Aku tidak tau harus menjawab apa atas pertanyaan Ran. Yang bisa kulakukan sekarang hanya memejamkan mata menahan rasa malu. Keberanian yang kumiliki tadi entah hilang kemana sekarang.
"Selin, look at me."
Aku membuka mataku perlahan. Wajah Ran hanya berjarak beberapa senti dari wajahku. Nafasku tercekat, tidak mendunga kedekatan ini. Aku bisa merasakan tanganku yang berkeringat.
"Selin, kamu mau jadi pacar aku?"
Mataku membulat. Aku tidak salah dengar kan tadi? Kenapa Ran tiba-tiba mengajakku pacaran?
"Hah? Pacaran?"
"Iya, pacaran. Kamu mau kan?" Ran bertanya dengan nada ceria.
Aku hanya bisa berdiri mematung mendengar Ran bertanya padaku. Pertanyaan Ran sederhana, tetapi aku malah kebingungan menjawabnya. Ini baru pertama kalinya bagiku.
"Ta...tapi, kamu enggak bohong kan?"
Ran tertawa kecil. "Ya enggaklah Selin, mana mungkin aku bohong. Kamu ini ada-ada aja!" Ran mencubit kedua pipiku sambil menggeleng-gelengkannya ke kiri dan ke kanan.
"Terus Ran, maksud kamu natap aku di kelas kayak mau lahap aku gitu kenapa?" Akhirnya aku bertanya hal yang mengusikku sedari tadi.
Ran berdehem. Dia mengalihkan pandangannya ke samping dan menggaruk kepalanya. Warna pink muncul di pipinya.
"Kamu harus menjawab pertanyaanku terlebih dahulu. Baru aku kasih tau kenapa aku memandangmu seperti itu." Kali ini Ran yang tidak berani menatap ke arahku. Dia mengedarkan pandangannya ke segala arah kecuali ke wajahku. Mukanya bertambah merah. Dia terlihat menggemaskan sekarang.
"Ok, kalau gitu aku mau jadi pacar kamu." Aku menjawab sambil menahan geli.
Segera Ran menatapku dengan sumringah. "Really?"
"Iya." Kataku sambil tersenyum.
Aku sebenarnya tidak tahu kenapa aku menjawab iya, tetapi karena ini Ran, cowok aneh yang misterius tapi suka ngasih contekan, jadi aku iyakan saja. Lagipula dia orangnya baik kok.
"Sekarang kamu yang jawab pertanyaanku, Ran."
Aku tidak ingin terus merasa penasaran. Walaupun aku senang Ran menembakku, Tapi Pertanyaan ini juga penting.
Ran menggenggam tanganku kembali. Aku bahkan lupa kalau Dia tadi melepaskannya. Dia memajukan badannya hingga matanya sejajar denganku. Ekpresinya berubah. Matanya menatapku tajam seperti yang dilakukannya di kelas setiap aku aku tidak melihatnya. Dia lalu berbisik tepat di telingaku.
"Aku melakukannya karena kamu manis, selin."
*÷*
I'll wait you guys in section coment ;)
KAMU SEDANG MEMBACA
A Gaze
Teen FictionKarena di dunia nyata gue tidak bisa merasakan ke-uwuan, maka biarkanlah gue mewujudkannya di dunia ke-haluan. Semoga menjadi kenyataan. Kumpulan cerita pendek tentang dunia imajinasi gue. Have fun! Cover by: @RahmaNurlita