TANGIS TAEYONG kembali pecah ketika Jaehyun menuntunnya menuju kamar Bibi Jung. Pigura si wanita paruh baya yang tengah tersenyum cerah tertata dengan apik di atas nakas panjang. Hati Taeyong tercabik-cabik. Tungkainya bahkan tak mampu menahan beban berat badannya lagi.
Lelaki manis itu terjatuh, bersimpuh di lantai seraya terisak. Ia menyesal. Ia sungguh menyesal karena justru menghilang begitu saja dari kehidupan Jaehyun dan Bibi Jung hanya karena mengikuti ego atas kekecewaannya satu tahun lalu.
Sementara itu, Jaehyun yang masih berdiri di belakang si lelaki manis lantas menghela napas pelan. Ia kemudian berjalan keluar dari kamar sang Bibi. Meninggalkan Taeyong yang masih melampiaskan isak tangisnya seorang diri.
Saat mendengar pintu di belakangnya tertutup, Taeyong berusaha bangkit dari posisinya dengan sekuat tenaga. Beralih meraih pigura si wanita paruh baya lalu mendekapnya erat.
"Maafkan aku, Bi..." Gumamnya lirih, "Maafkan aku yang tidak menepati janjiku."
Lelaki manis itu tersengguk-sengguk, kembali memandangi bagaimana senyum cerah Bibi Jung yang tidak akan pernah hilang dari memorinya. Terlebih ketika ia mengingat bagaimana momen pertemuan mereka di stasiun sebelum si wanita paruh baya membawanya ke kota Chuncheon.
"Apa Bibi marah padaku?" Tanya Taeyong lagi.
Meski ia tahu, menangis dan memohon agar Bibi datang lalu menjawab pertanyaannya hanya lah sebuah kemustahilan.
"Jaehyun sudah sangat membenciku, Bi." Ucap Taeyong lirih, "Sekarang aku harus bagaimana? Aku tidak akan bisa menemaninya hingga kami sama-sama tua. Jaehyun tidak akan mungkin mau menerimaku lagi sebagai kakak ataupun temannya," Ia kembali terisak kencang seraya mendekap erat pigura si wanita paruh baya.
"Maafkan aku, Bi. Maafkan aku."
Hati Taeyong hancur. Ingatannya tentang hari dimana Bibi Jung menitip pesan agar ia selalu menemani Jaehyun seketika mengusik batin dan pikirannya. Mungkin si wanita paruh baya telah memiliki firasat, pikirnya. Sebab hari itu Bibi Jung pun terlihat sangat khawatir dan telah memikirkan bagaimana keadaan Jaehyun jika nanti ia telah pergi dari dunia ini.
Dan hari yang ditakutkan wanita paruh baya itu pun terjadi. Jaehyun telah kehilangan sosok yang sangat berarti dalam hidupnya. Lebih dari siapapun.
Cukup lama melampiaskan tangisnya di kamar Bibi Jung, Taeyong kemudian kembali meletakkan pigura si wanita paruh baya di tempat semula. Ia mengusap kasar air mata di pipinya sebelum melenggang keluar guna menemui Jaehyun yang entah kemana.
"Apa kau sudah selesai?"
Pundak Taeyong terangkat ketika suara Jaehyun tiba-tiba menggema di belakangnya. Setelah menutup kamar Bibi Jung, ia pun berbalik, mendapati si lelaki berlesung pipi berdiri di hadapannya masih dengan tampang minim ekspresi. Lebih tepatnya tatapan yang begitu kosong namun sarat akan luka.
"Ya," jawab Taeyong. Ia sudah sangat siap mendengar Jaehyun kembali mengusirnya.
"Ini," kata Jaehyun seraya menyodorkan sebuah amlop berwarna cokelat pada lelaki yang lebih tua, "Bibi menitipkan ini untukmu sebelum dia pergi."
Tangan sang model bergetar, namun sebisa mungkin ia meraih benda yang disodorkan Jaehyun itu. Dengan senyum hampanya ia mengangguk, memandangi amplop dalam genggamannya.
Keheningan pun seketika menemani dua anak manusia yang tengah berdiri saling berhadapan itu. Beberapa saat kemudian, Taeyong tiba-tiba teringat akan hari dimana ia dan Jaehyun bertengkar hebat di rooftop villa.
Mendongak, si lelaki manis beralih memandangi wajah Jaehyun sejenak, sementara sosok bertubuh atletis itu masih sibuk menatap objek lain. Ia berdeham pelan, memikirkan kalimat yang akan ia tanyakan. Namun jika ia terus menyimpannya seorang diri, maka rasa bersalah atas janji yang tidak ia tepati pada Bibi akan selalu menghantui.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Train To Chuncheon | Jaeyong ✓
Fanfiction❝The train came up hard somewhere I go to Chuncheon❞ M/M | FLUFF | MATURE Lee Taeyong, seorang model terkenal yang tengah berada di jalan berbunganya tiba-tiba merasa jenuh dan lelah akan kesibukannya di Seoul. Ia kemudian memilih kabur dari sebuah...