Gereja Tua

67 5 2
                                    

Sinar surya pagi tampak redup, bersembunyi dibalik sang awan yang mulai menghitam. Kelam memang, tapi tak sekelam malam yang gelap gulita. Ilalang menari-nari kegirangan, diiringi tembang lawas pagi itu. Sepoaian angin pagi tampak meliuk-liuk, menambah kesan manja ditengah bara pertikaian burung gereja di tiang listrik sana. Aku menjadi saksi bisu dari pertikaian mereka, ciut-ciut sayu terdengar riuh dari paruh kecilnya. Tiang itu tampak berkarat, tua dan usang memang. Tapi tubuh mungil mereka masih bisa ditopang, hanya seperti daun diatas batu.

Aku termenung dari sudut jendela, menikmati pikiran yg berkecamuk sudah sepekan lamanya. Beberapa kali kucoba berfikir tenang sembari menyeruput kopi hitam buatan nenek. Tapi semerawut kehidupan ini tak ubahnya buah simalakama. Antara duka dan nestapa menggerogoti tubuh kecil yang tak berdaya. Sebuah kursi roda buatan era tahun 90-an menemani duka ku pagi ini. Aku bukanlah seorang keluarga terpandang, ayah ku hanya sebatas pengangguran dan ibu hanya seorang kuli cuci yang menjajakan jasa disetiap rumah-rumah. Nenek ku sangat lah tua, kelopak matanya sudah hampir mencapai pipi, keriput di wajahnya mengindikasikan jikalau nenekku pernah merasakan yang namanya berjuang demi tanah air ini.

Aku masih termangu dengan ciut burung gereja itu, mereka masih tampak bertikai. Entah masalah apa yang coba mereka selesaikan. Kalau dihitung sudah lebih dari 10 menit mereka disana. "Ahhh..... Peduli apa aku dengan mereka, toh masalah hidupku saja belum mampu terselesaikan.." kataku sembari menyeruput kopi hitam yang mulai dingin.

Awan di jajaran bukit seribu sana tampak sudah hitam pekat, seperti telah siap memuntahkan isinya. Angin pun sudah mulai berbisik keras, dentuman kilat sudah mulai terpancar dari kejauhan. Lambat laun, cahaya pun sudah mulai redup tergantikan oleh semaian air hujan yang perlahan mulai membasahi daerah perkumuhan ini.

"Sakti, jangan lupa kau tutup jendelanya.." teriak ayah. Suara itu seolah-olah hanya terdengar sayu, mungkin hanya bisikan angin yang makin keras disertai gemuruh lepas. "Sakti...!!" Teriak ny sekali lagi, kali ini raut merah diwajahnya sudah mulai merona, tensi ny pun sepertinya sudah mencapai tengah dua ratus (150 mmHg). Muka nya memerah, sembari menghampiri remaja yang tak berdaya di kursi roda nya.

"Apakah kau tuli ha?? Dasar kau, tidak berguna sama sekali. Entah dosa apa yang diperbuat ibumu sehingga kau terlahir seperti ini! Ha... Jangan diam kau anak kepar**t!.." bentakny dengan menunjukkan jari telunjuknya yang besar.

"Sudah dari tadi kau ku suruh mengunci jendela, apakah kau tak melihat hujan lebat disana? Kalau pun kau terkena petir, siapa yang bakal susah? Aku juga yang susah! Sudah cukup kau buat keluarga ini susah, jangan kau buat susah untuk kedua kalinya!" Lanjutnya. Kali ini amarahnya lepas, cilotehannya setiap hari makin keras. Aroma rokok Surya dari nafasnya tercium pekat, sesekali ludahnya pun mengenai muka ku.

"Kenapa kau diam, bermenung kau kepar**t.."  ia melangkah menuju jendela, menghentakkan keras jendela sehingga rumah kayu tua ini seperti mau roboh. Dengan cepat, dia pergi meninggalkan kamar ku dan melakukan hal yang sama dengan pintu kamarku.

Aku hanya bisa diam terpaku seribu bahasa setiap kali ia memakiku. Dia selalu berkata kesalahan apa yang diperbuat ibu sehingga melahirkan anak sepertiku ini? Kata-kata itu selalu terlintas dimulutnya, tidak pernah absen setiap dia memakiku. Apa sebenarnya yang terjadi?. Perlahan air mata ini mulai menetes, tak terbendung memang. Ku coba mengusap tapi tak kunjung terbendung. Ia makin deras. Tangis ku pagi itu ditemani hujan yang makin deras. "Aku ini anak lelaki, tak kan mudah ku menangis. Ahh ... Dasar kau bodoh Sakti, dimaki sedikit kau sudah menangis.." tangan ini mencoba memukul kepala ku sendiri.

Aku merasakan kegelapan disetiap pagi, aroma cacian tidak pernah lepas menyertai hari-hariku. Baik itu Ayah ataupun Ibu. Keduanya sama saja, sama-sama membenciku. Apakah mereka tak menginginkan ku untuk hadir di dunia ini? Tetapi kenapa Ibu masih tetap mempertaruhkan nyawanya demi melahirkan ku? Kenapa ayah tidak mencoba membuang ku sedari aku kecil atau mencoba mengantarkan ku ke panti asuhan? Apa yang sebenarnya mereka inginkan dari ku? Semua pertanyaan itu selalu menggerogoti isi kepalaku. Hari demi hari, aku selalu menanti jawabannya, tapi tak kunjung ku dapati. Setiap kali aku bertanya, jawaban dari mereka selalu mengatakan bahwa aku anak yang tidak tahu diuntung. Apakah salah aku mempertanyakan hal itu, jika perbuatan mereka setiap hari demikian padaku?

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 16, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

SAKTI TUNADAKSATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang