Pagi ini, Pak Bagja dengan penuh semangat bersiap menjajakan dagangannya. Dagangan yang sudah beberapa tahun ini menjadi penopang ekonomi keluarganya, cilok. Makanan khas Jawa Barat yang terbuat dari tapioka, bertekstur kenyal, dengan tambahan bumbu pelengkap berupa sambal kacang, kecap, dan saus.
Dulunya, Pak Bagja punya usaha loper koran. Namun, sejak era internet makin marak dan media online menjamur, tak banyak lagi orang membeli produk media cetak. Usaha loper korannya pun akhirnya bangkrut. Kemudian, dia memutuskan jualan cilok keliling. Karena hanya itu satu-satunya alternatif usaha yang menurutnya masuk akal untuk dia lakukan.
Kebetulan dia mahir membuat cilok yang enak. Sudah terbukti, istri dan anak-anaknya, serta para tetangga yang sering dia bagi, mengakui kelezatan cilok buatannya.
Modalnya pun tak banyak. Hanya butuh beberapa ratus ribu rupiah untuk membeli bahan cilok dan memodifikasi sepeda. Sepeda tua yang dulu biasa dia gunakan untuk mengantar koran ke rumah para pelanggan.
Sepeda itu dia modifikasi bagian boncengannya dengan memasang kompartemen tempat menaruh cilok dan bumbu-bumbunya. Pak Bagja pun sudah bisa mulai berdagang.
Semangat Pak Bagja hari ini sangat beralasan. Jika seluruh cilok dagangannya laku terjual nanti, dia akan segera ke pasar. Membelikan sepatu bola KW pesanan Rayhan, anak bungsunya.
Ya, si bungsu itu memang sangat menggemari sepakbola. Sudah setahun ini dia ikut berlatih di SSB kampung sebelah. Sejak 2 minggu lalu dia memelas minta dibelikan sepatu bola yang baru. Karena sepatunya yang lama, hasil pulung di tong sampah rumah orang kaya di komplek depan kampung, benar-benar sudah hancur, tak bisa dipakai lagi.
Pak Bagja tak tega menolak keinginan anaknya itu. Dia sangat mengidolakan wonderkid Persib, Febri Hariadi, dan bercita-cita kelak juga bisa menjadi pemain sepakbola sehebat Febri, dan membela Persib. Tiap hari selepas Ashar, putranya itu tak pernah absen berlatih.
Pak Bagja bertekad mendukung cita-cita Rayhan itu. Saking mendukung, dia berjuang keras menahan efek candu ketika berusaha berhenti merokok. Tak ada pilihan lain. Keuangannya sangat pas-pasan. Hanya biaya beli rokok pengeluaran yang bisa dia pangkas. Rupiah demi rupiah yang biasa dia belikan rokok, akan dia kumpulkan untuk membeli susu dan telur demi perbaikan gizi Rayhan. "Aku harus berkorban apapun agar Rayhan bisa menjadi atlet sepakbola yang tangguh, termasuk berhenti merokok, sesulit apapun itu!" tekad Pak Bagja.
Sekarang, dukungan lainnya juga akan segera dia realisasikan. Membelikan sepatu bola baru, meski KW. Sebenarnya Pak Bagja ingin membelikan yang asli. Dia sudah suruh Naswa, putrinya, mencari tahu berapa harganya sepatu bola yang asli. Tapi, dia tertegun setelah diberi tahu Naswa. Harganya tidak masuk akal. "Sudahlah, Yah, belikan yang KW saja, cuma 150 ribu, toh Rayhan juga belum mengerti soal itu" kata Naswa. Pak Bagja pun mengangguk sambil tersenyum getir.
Sudah 14 hari Pak Bagja menyisihkan 10 ribu rupiah keuntungan ciloknya untuk membeli sepatu itu. Dan ini hari ke 15, uang 150 ribu akan tergenapi siang ini.
Dagangannya sudah siap. Tinggal Menunggu berangkat pukul 6.30. Sementara jam masih menunjukkan pukul 5.30. Dia lanjutkan aktifitas rutin, menyiapkan sarapan untuk Naswa dan Raihan serta mengurus istrinya yang tidak bisa lagi mandiri. Istrinya itu tidak bisa berjalan. Entah kenapa tiba-tiba mengalami semacam lumpuh layu tak berapa lama setelah usaha loper koran mereka bangkrut.
Selesai sarapan, Naswa dan Rayhan salim dan berpamitan pada kedua orang tuanya itu. "Yah, berarti sore ini Rayhan sudah bisa berlatih pakai sepatu bola yang baru, ya?" ujar Rayhan sambil tersenyum dan terlihat bersemangat.
"Iya, Nak, Insya Allah, sekarang berangkat lah sekolah, belajar yang rajin ya, jangan lupa doakan Ayah. Nanti Ayah pulang bawa sepatu bola yang baru untuk Rayhan," jawab Pak Bagja sambil tersenyum dan mengusap kepala buah hatinya itu. Rayhan pun berlari menyusul Naswa yang sudah duluan berjalan.