Part 10
.
Menemani lelaki tua yang tak memiliki apa-apa, apa masih disebut enak? Tentu tidak. Tak ada yang kuperolah dari menemani Suhadi, selain pengalaman hidup yang ia miliki.
Bagiku, itu bukan masalah. Sebab, pengalaman adalah hal paling berharga yang dimiliki seseorang, daripada segudang harta tanpa manfaat.
***
Suhadi menatap lama, seolah tak yakin Gusti Allah akan mengampuninya. Lalu, melempar pandangan jauh entah kemana.
"Malam itu, anakku Dirman meminta pinjaman uang sebesar sepuluh juta," katanya dengan tatapan pias ke suatu sudut. "Aku jelas mampu memberikannya, sebab uangku banyak," lanjutnya.
Aku masih diam, membiarkan ia merunut kejadian demi kejadian yang coba ia ceritakan padaku.
"Hanya saja ... " Kalimatnya terjeda, Suhadi seakan ragu mengungkap apa yang mengganjal dalam hatinya, "kamu bisa memaklumku, kan, Man?" tanyanya sebelum melanjutkan ucapanya yang terputus.
"Insya Allah, Lek." Aku mengangguk, dengan harapan orang tua itu percaya.
Suhadi kembali menatap langit-langit ruangan itu, lalu mulutnya bergetar, mungkin ragu untuk bercerita.
"Aku memberinya malam setelah dia telepon meminta pinjaman, setelah mendapat persetujuan dengan jin pesugihan yang menjeratku," ucap Suhadi. Kini, aku bisa melihat cairan di matanya mulai menyembul, menggantung di antara kelopaknya, kemudian tumpah. Suhadi tersedu.
Kuusap kedua bahu rapuh itu untuk memberi kekuatan yang semoga bisa menguatkan batinnya. Aku tahu, tak mudah menjalani hidup seperti yang dialamaninya.
"Jadi, maksud sampean, Dirman meninggal bukan karena gantung diri?" Aku coba menebak.
Lelaki itu diam lama, menatapku dengan ragu-ragu. Lalu, mengangguk.
Glek.
Kutelan saliva. Antara takut dan tak yakin, tapi tak mungkin orang tua itu bercerita ngawur. Pikirku.
"Benar, Man. Dirman, anakku tidak mati karena gantung diri. Akan tetapi, mati karena jerat pesugihan bapaknya. Jerat pesugihanku!" tegas lelaki itu.
Aku melotot dibuatnya. "Astagfirullahadhim ... sing akeh istigfar, Lek (istigfar yang banyak, Lek), semoga Gusti Allah mau mengampuni sampean," ucapku sambil terus mengelus kedua pundak rentanya.
"Huhu ... Man, aku wedi sesuk jin pesugihanku nusul awakku neng kene (aku takut besok jin pesugihanku menyusulku di sini)," lirihnya seraya terisak.
Aku menggeleng dengan segudang pertanyaan dalam benak.
"Lek, tawakal saja. Sampean masih punya kesempatan. Tak kancani wis, sampai sampean itu benar-benar ikhlas melepas yang menjerat sampean selama ini."
"Kamu pikir gampang, Man?" tanyanya. Namun, pertanyaan itu lebih mirip seperti tantangan menurutku.
Aku menggeleng cepat, "Bukan begitu, Lek. Aku tahu, sulit mungkin lepas dari hal semacam itu. Akan tetapi, sampean belum mencoba," ucapku.
Pandangan kami bertemu. Aku bisa melihat sedikit harapan di sana, di dalam mata yang kuyakin terhubung dengan hatinya.
"Ajari aku, Man!" Mantap ia mengatakan itu.
"Aku bukan tidak bisa, Lek. Ilmu agamaku masih cetek. Lebih baik sampean berusaha berangkat sholat ke musola, daripada njangur pas azan, to?"
"Tapi aku malu, Man."
"Malu sama siapa, Lek? Yen muja iku dosa po gak (kalau bersekutu dengan setan itu dosa, apa tidak)?"
"Ya, dosa besar, Man."
"Masih malu sama manusia?"
Ia diam, menimbang kebenaran yang sebenarnya mungkin sudah hadir dalam hatinya. Namun, sebab dosa yang telah ia lakukan selama puluhan tahun itu, mungkin di sisi lain hatinya, tak ingin mengakui bahwa dirinya berdosa. Entah.
"Ya sudah, Lek. Aku balik dulu, besok kesini lagi, yo?" aku berpamitan. Sebab, malam makin larut. Orang tua itu juga pasti butuh istirahat untuk memulai kehidupannya besok. Kehidupan yang semoga dapat menyelamatkan hidupnya di akhir nanti.
"Terima kasih, Man. Kamu sudah mau menemani lelaki tua sepertiku, tapi sepertinya aku tak punya kesempatan lagi."
"Ngomong apa to, Lek? sudah ... percaya saja. Besok mulai ke musolah, ya?"
Suhadi tak mengngguk, tak juga menjawab. Namun, aku juga tak memaksanya untuk setuju. Setidaknya, aku sudah berusaha untuk membawanya pada kebaikan. Tentu, untuk hidupnya.
Terkadang, Allah memberi hidayah melalui bantun orang lain. Namun, siapalah aku? Hanya manusia cetek ilmu yang sedang berusaha menuntun orang tersesat. Tidak yakin bisa membuat Suhadi mau mengikuti ajakan ku.
***
"Jadi, itu tujuanmu menemani orang gila ... em, ma-maksudku Suhadi?" tanya Sidul.
"Ya, kasihan."
"Hanya kasihan?" Kresno menimpali.
"Itu juga, No."
Kedua rekanku hanya melongo, sambil mengangguk seoalah berucap, "benarkah?" Lalu percaya saja dengan ceritaku.
Malam sudah makin larut, tapi kami tak juga keliling kampung untuk memeriksa keamanan sebab sibuk membicarakan Suhadi.
"Orang kalau sudah seperti itu, aku yakin hidupnya gak lama lagi." Sidul berargumen.
"Hust! Kamu doain Suhadi mati gasik (cepat)?" sangkal Kresno.
Aku hanya menggeleng melihat tingkah mereka berdua.
"Kamu gak percaya, No? Lihat saja beberapa hari kedepan!" Sidul mewanti-wanti.
"Koyok peramal wae kamu, Dul," ucapku sebelum meneguk sisa kopi dalam cangkir yang kini dingin.
"Ayok muter!" aku bangkit, menenteng senter, menyalakannya, dan segera melangkah untuk memeriksa keamanan.
"Sudah semalam ini, Man," elak Kresno. Malas untuk bertugas.
"alah, koe iki biasa (kamu kebiasaan)!" rutuk Sidul.
Dengan bersungut-sungut akhirnya Kresno mau juga beranjak. Meninggalkan pos kamling dan berkeliling untuk memeriksa keamanan kampung.
"Enaknya jam segini itu, kelonan sama istri. Dingin-dingin empuk, ya, Dul?" ucap Kresno memulai obrolan sembari keliling kampung.
"Yo enak si enak, tapi yen enak-enak terus ndak tuman (ya, enak sih enak, tali kalau keseringan jadi tuman)!"
"Kelone prei sik. Wong ronda gak mben dino, kok, (Bergumulnya libur dulu. Lagipula ronda juga tidak setiap hari,)" celetukku.
Kresno nyengir. Kami lantas meneliti keamanan di sekitar rumah warga.
Tak ada apa pun. Malam memang selalu sunyi seperti ini. Hanya ... sesuatu terlihat berbeda di halaman rumah Suhadi.
"Man, kamu lihat apa?" tanya Sidul yang memergokiku mematung menatap halaman rumah Suhadi.
"Kamu lihat orang itu ... Dul?" Aku menunjuk seseorang yang berdiri di halaman rumah Suhadi.
Sidul dan Kresno segera mengarakan pandangan masing-masing ke arah rumah yang kutunjuk.
Keduanya tampak bingung, seolah tak menemukan siapa pun di sana.
"Lihat tidak, Dul, No?" tanyaku memastikan.
Kresno dan Sidul saling pandang, kemudian menatapku, dan menggeleng.
"Tidak." Mereka menjawan serentak dengan raut yang tak bisa kuartikan. Entah ketakutan, atau bingung.
Degh!
Aku menengok ke halaman rumah itu, untuk memastikan sekali lagi. Siapa orang di depan sana, yang begitu tepat berdiri di pintu rumah Suhadi. Namun, saat pandanganku selesai menyapu seluruh area tersebut ....
Tak ada siapa-siapa.
Bersambung ....
KAMU SEDANG MEMBACA
JERAT PESUGIHAN (TAMAT)
Mystery / ThrillerSebuah kisah tentang bagaiman keadaan yang menghimpit hidup, ternyata bisa menjerumuskan seseorang masuk dalam kubangan dosa.