Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
PEDANG ULAR MAS
*Kim Coa Kiam*
Judul Asli : Bi Xue Jian
Karya : Yin Yong
Disadur : OKT
File Word dikirim oleh : Gun Gun Asadfa
Di Pdfkan oleh Kang Zusi
Bab 1 Kim Coa Kiam
Di saat matahari sedang turun dan rombongan gowak terbang
pulang, di satu jalanan dari pegunungan Tjin Nia di Siamsay,
seorang anak muda lagi kasi kudanya jalan pelahan-lahan,
karena ia sedang menikmati pemandangan alam mendekati
magrib yang indah permai.
Mengikuti pemuda ini ada seorang kacung umur belasan tahun,
kudanya pun kurus, dibelakang kudanya itu, kecuali bungkusan
pakaian pun ada sebuntal pelbagai kitab. Dia ini nampaknya
sibuk, sebab mulai remang-remang, majikannya masih tidak
percepat perjalanan mereka.
"Kongtjoe, jalanan disini tidak aman," ia lalu mendesak. "Nanti kita tidak dapatkan rumah
penginapan. Kalau kita ketemu begal di tengah jalan......"
Si mahasiswa tidak menyawab, dia cuma tertawa, lantas ia keprak lari kudanya.
Pemuda itu ada Hauw Tiauw Tjong alias Hong Hek, asal Siang Kioe di propinsi Hoolam,
turunan sasterawan. Ketika itu ada di jaman kerajaan Beng, tahun kelima dari Kaisar Tjong
Tjeng. Dengan perkenan ayah-bundanya, dia pergi pesiar. Pada waktu itu, pengkhianat
Goei Hian Tiong, thaykam yang berpengaruh, sudah dihukum mati karena
pemberontakannya, akan tetapi Negara belum seluruhnya aman-sentausa, malah disanasini
muncul segala begal dan berandal. Sebenarnya orang-tua itu tidak mufakat puteranya
pesiar tetapi si anak memaksa, katanya, satu laki-laki mesti "dapat baca berlaksa kitab,
dapat merantau berlaksa lie". Dia pun ada satu anak pintar dan berani.
Tiauw Tjong berangkat dengan cuma ajak seorang kacungnya itu, Hauw Kong namanya. Ia
menuju ke arah Barat. Di sepanyang jalan, ia mengicipi kepermaian gunung-gunung,
sungai dan kali. Kapan ia sampai dikaki gunung Tjiong Lam San, yang ia ketemui adalah
penduduk bermuka pucat-kuning yang kurus-kering, malah kadang-kadang mayat-mayat
kelaparan, di antara siapa pada mulutnya masih termamah sisa rumput hijau, keadaannya
sangat menyedihkan dan merisaukan hati. Mulanya, ia masih bisa menderma sejumlah
uang, tapi lama-lama, ia kewalahan sendirinya. Terlalu banyak yang mesti ditolong, dilain
pihak, uang bekalannya sangat terbatas. Tapi semua itu menginsafi ia bagaimana
kemelaratan merajalela, kesengsaraan rakyat jelata hampir merata. Walaupun semua itu,
apabila ia tampak panorama indah, hatinya lega juga.
Baru setelah ditegur kacungnya, Hauw Kongtjoe sibuk juga. Ia sudah larikan kudanya, ia
belum ketemu pondokan, sedang cuaca berubah makin remang-remang, makin gelap.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Belasan lie sudah ia kaburkan kudanya, baru ia sampai di sebuah kampung. Menampak
kampung ia dan kacungnya girang bukan main, tapi kemudian, hati mereka cemas.
Kampung itu sangat sunyi.
"Mari kita cari rumah penginapan," kata si kongtjoe.
Akhirnya Hauw Kong turun di depan sebuah pondokan, yang pakai merek Hotel Tjiang
Lam, terus saja ia kaoki tuan rumah, pemilik hotel. Ia tidak dapat jawaban, melainkan
teriakannya berkumandang dibelakang hotel, yang letaknya berdampingan sama gunung.
Itulah sambutan dari dalam lembah.....
Kembali kacung ini memanggil berulang-ulang, saban-saban ia disambuti kumandangnya.
Hotel tetap sunyi, tidak ada penyahutan, tidak ada yang keluar.
Tiba-tiba berkesiur angin yang dingin. Keduanya, majikan dan kacungnya, bergidik
sendirinya.
Tiauw Tjong habis sabar, ia bertindak masuk kedalam hotel. Untuk kagetnya, ia tampak
dua tubuh mayat menggeletak dan darah hitam mengumpiang, bau amis engas
menyambar-nyambar hidung, kawanan laler terbang pergi-datang. Itulah mayat-mayat
sejak beberapa hari.
Hauw Kong, yang ikuti majikannya masuk, menjerit dan lari keluar.
Tiauw Tjong melihat kesekitarnya. Peti2 terbuka berhamburan, pintu dan jendela pecahrusak.
Teranglah sudah, hotel itu ada korbannya berandal.
Hauw Kong lihat majikannya belum juga keluar, ia masuk pula, memanggil.
"Mari kita lihat tempat lain," kata Tiauw Tjong.
Nyata di lain-lain tempat, hasilnya sama. Rumah-rumah kosong, ada juga mayat, malah
ada mayat wanita dengan tubuh telanyang bulat, ialah korban perbuatan binatang.
Jadi itu adalah kampung kosong, merupakan sebagai noraka.....
Walaupun ia bernyali besar, akhirnya, Tiauw Tjong lekas-lekas berlalu dari kampung itu.
Tanpa bicara satu sama lain, majikan dan kacungnya kaburkan kuda mereka terus kearah
Barat, sampai lagi belasan lie. Mereka sibuk sekali. Sekarang mereka merasa lapar.
Dimana mesti mondok? Kemana mesti cari barang makanan? Akhir-akhirnya, si kacung
berseru: "Kongtjoe, lihat!" Dan ia menunjuk.
Majikan itu memandang ketempat yang ditunjuk, ia lihat satu sinar terang, di tempat jauh.
"Mari kita mondok disana!" kata majikan ini, yang kembali kaburkan kudanya.
Hauw Kong, dengan kudanya seperti tulang melulu, susul majikannya itu.
Jalanan itu, makin jauh, makin sukar.
"Kalau itu ada sarang berandal, apa kita bukan cari mati sendiri?" akhirnya Tiauw Tjong
bersangsi.
Sang kacung terkejut.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
"Kalau begitu, jangan kita pergi kesana!" katanya.
Tiauw Tjong dongak, ia tampak awan gelap disekitarnya. Itulah mendung, tanda bakal
turun hujan.
"Kita lihat dulu," kata ia, yang segera turun dari kudanya, yang ia tambat pada sebuah
pohon. Kemudian, dengan tindakan pelahan, ia hampirkan cahaya terang itu. Hauw Kong
ikuti majikan itu.
Segera setelah datang dekat, pemuda ini dapati sebuah rumah dengan dua pintu, ia punya
hati menyadi tetap. Selagi ia mengintip dipintu pekarangan, seekor anjing besar lompat
keluar, terus menggonggong, agaknya dia hendak menerjang.
Dengan bulang-balingkan cambuknya, Tiauw Tjong bikin anjing itu mundur, tapi binatang
ini masih terus perdengarkan suaranya yang berisik, hingga akhirnya daun pintu terbuka,
seorang perempuan tua muncul, sebelah tangannya mencekal pelita.
"Siapa?" tanya nyonya itu.
"Kami, orang pelancongan," sahut Tiauw Tjong. "Kami kemalaman, kami ingin minta
numpang bermalam."
"Mari masuk!" mengundang nyonya itu.
Tiauw Tjong masuk, akan dapati sebuah rumah buruk, kecuali kong, jaitu pembaringan
tanah, tak ada perabot lainnya lagi. Satu penghuni lainnya ada seorang tua yang batukbatuk
saja.
Tiauw Tjong suruh kacungnya ambil kuda mereka, tapi kacung ini takut - ia ingat mayatmayat
tadi didalam hotel.
"Mari ikut aku," kata si empeh yang turun dari pembaringannya.
Dengan begitu kuda mereka dapat dibawa kedalam pekarangan.
Si nyonya tua lantas suguhkan beberapa biji kue mo-mo dan masaki satu tehkoan air
panas, tapi Tiauw Tjong tidak pernah makan santapan itu, baru beberapa gigitan saja, ia
sudah letaki pula. Ia lantas tanya, berandal siapa yang telah bunuh beberapa korban
manusia di tempat yang ia lewati.
"Berandal? Mustahil berandal demikian kejam?" sahut si empeh, yang menghela napas.
"Itulah perbuatan bagus dari tentara negeri!"
Tiauw Tjong melengak.
"Tentara negeri? Tentara negeri demikian kejam?" ia tanya. "Apa pembesarnya antap
mereka mengganas?"
Orang tua itu tertawa tawar.
"Rupanya siangkong Baru ini kali pernah merantau!" berkata dia. "Segala apa, siangkong
tak tahu! Pembesar tentara? Dia justeru ambil apa yang paling bagus! Si cantik-manis
mesti lebih dahulu diperlihatkan!"
"Kenapa rakyat tak mengadu ke kantor negeri?" tanya Tiauw Tjong.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
"Apa gunanya? Itu artinya cari penyakit! Sekali kau mengadu, dalam sepuluh, delapan,
atau sembilan bagian, jiwamu bakal hilang!..........."
"Eh, bagaimana bisa jadi demikian?"
Tiauw Tjong benar-benar tidak mengerti.
"Bukankah hamba negeri itu saling melindungi? Siapa mengadu, pengaduannya ditolak,
orangnya dirangket, lalu ditahan! Siapa tidak mempersembahkan uang, dia jangan harap
keluar dari penjara!"
Pemuda itu menggeleng kepala.
"Tak nyana aku, pangrepraja di Siamsay ini demikian buruk," menyatakan ia. Ia lantas
tanya pula: "Apa perlunya tentara negeri pergi ke pegunungan?"
"Maksudnya untuk menindas berandal! Tapi sebenarnya, kebanyakan berandal jadi
berandal karena desakannya tentara juga! Kalau tentara tak berhasil membekuk berandal,
dia orang bunuh sejumlah penduduk, kepala mereka ini dihaturkan kepada seatasan
mereka, untuk minta jasa. Mereka serbu rakyat, mereka merampok dan membunuh, dan
pulangnya, bisa naik pangkat juga!"
Orang tua itu bicara makin lama makin sengit, sampai si uwah ulapi tangan berulangulang,
untuk cegah dia. Uwah ini kuatir Tiauw Tjong ada hamba negeri, itulah berbahaya.
Tiauw Tjong sendiri menghela napas, pikirannya pepat sekali. Engkongnya ada satu Thaysiang,
ayahnya adalah Soe-touw, semuanya berpangkat tinggi, ayahnya sudah letaki
jabatan, tapi semua terkenal jujur, siapa sangka, sekarang ada pembesar2 demikian jahat.
Kabarnya tentara Boan-tjioe sering mengancam perbatasan, tentara negeri bukan tangkis
musuh, akan bela Negara, mereka justeru celakai rakyat! Akhirnya, saking lelah dan
pusing memikirkan kejahatan tentara itu, Tiauw Tjong rebahkan diri niat tidur, tapi Baru dia
layap-layap, dia terperanjat dengar suara berisik dari gonggongan anjing dan
berbengernya kuda, disusul sama seruan-seruan dari kemurkaan, lantas gedoran hebat
pada pintu! Si nyonya tua hendak buka pintu, si orang tua cegah ia.
"Siangkong, pergi kebelakang untuk umpatkan diri," kata orang tua itu.
Tiauw Tjong menurut, bersama Hauw Kong, ia menyingkir ke belakang dimana mereka
dapat cium baunya batang-batang kaoliang, lalu mereka dapati tumpukan rumput. Baru
mereka sembunyi, atau mereka dengar suara pintu kena didobrak rubuh.
"Kenapa tidak lekas buka pintu?" demikian teguran bengis. Teguran ini disusul sama
hajaran kepada kuping, suaranya nyata sekali.
"Oh, looya, kita.....kita ada suami-isteri sudah tua, kuping kita tuli, kita tidak dapat
dengar......" terdengar jawaban si nyonya tua.
Tapi kembali suaranya hajaran kepada kuping.
"Jikalau tidak kedengaran, kau mesti dihajar!" demikian teguran lagi. "Lekas sembelih
ayam, lekas siapkan nasi untuk empat orang!"
"Kita sendiri bakal mati kelaparan, dari mana kita dapat ayam?" demikian suara ratapan.
Segera terdengar suara rubuh terbanting, rupanya si orang tua telah dijoroki hingga
rubuh, menyusul mana terdengarlah tangisannya si perempuan tua.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
"Sudahlah, Ong!" lalu terdengar satu suara lain." Ini hari kita sudah idar2an satu harian,
kita melainkan terima cukai dua-puluh tail lebih, memang sebenarnya kita orang tidak
puas, tetapi percuma andai-kata kau hendak lampiaskan itu....."
"Tetapi orang ini, tanpa dipaksa, mana bisa jadi?" terdengar penyahutan, rupanya dari si
orang she Ong itu. "Mengenai dua-puluh tail itu, jikalau aku tidak kemplang patah kakinya
si tua-bangka, mana dia sudi keluarkan uangnya?"
"Penduduk di sini sebenarnya melarat," kata orang yang ketiga," hanya kalau kita tidak
paksa mereka, kita sendiri bakal dicaci maki oleh toa-looya......."
Selagi orang ini berkata-kata, kudanya Tiauw Tjong berbenger, beberapa hamba wet itu
heran, lantas mereka pergi keluar, untuk melihat, hingga mereka dapati dua ekor kudanya
si kongtjoe dan kacungnya.
"Si penunggang kuda tentu menginap di sini, inilah berarti hasil....." demikian kawanan
opas itu bicara satu sama lain, kemudian mereka semua kembali ke dalam, dengan
kegirangan.
Tiauw Tjong kaget, ia insaf ancaman bahaya, maka itu, ia tarik Hauw Kong, akan ajak
kacung itu molos dari pintu belakang, akan menyingkir lebih jauh di jalanan ceglak-ceglok
dan banyak batunya. Hati mereka lega melihat tak ada orang kejar mereka, sedang uang
bekalan mereka berada di bebokongnya Hauw Kong. Mereka mendekam dalam pepohonan
yang lebat, terus selama satu malam itu, besoknya terang tanah, mereka keluar, akan cari
jalan besar, untuk lanjuti perjalanan.
Di tengah jalan, selagi melakoni perjalanan sepuluh lie lebih, majikan dan kacung itu
rundingkan soal membeli lagi kuda, untuk perjalanan mereka itu. Sementara itu, Hauw
Kong senantiasa mendumal, mencaci maki kawanan hamba2 negeri yang jahat dan kejam,
yang sudah siksa dan peras rakyat, hingga kejadiannya, kuda mereka pun turut lenyap.
Mereka sedang jalan terus ketika tiba-tiba, dari jalan kecil, muncul empat orang polisi,
yang bersenjatakan thie-tjio, yang membekal borgolan, dan dua diantaranya sambil tuntun
dua ekor kuda. Berdua mereka saling mengawasi, dengan melongo. Sebab itulah kuda
mereka! Jadi empat oppas itu adalah hamba2 negeri yang semalam mengganas si empeh
dan uwah rakyat jelata yang melarat.
Di pihak lain, empat oppas itu juga mengawasi majikan dan bujang itu, yang sudah tidak
keburu menyingkir, terpaksa keduanya mencoba jalan terus sambil bawa sikap
sewajarnya.
"Eh, sahabat, kauorang kerja apa?" akhirnya satu oppas menegor.
Itulah, Tiauw Tjong ingat, ada orang yang aniaja si empeh tadi malam.
"Bersama aku punya kongtjoe aku hendak pesiar ke Tjiong Lam San," Hauw Kong
wakilkan kongtjoenya menjawab. Ia pun maju kedepan majikannya itu.
Dengan tiba-tiba oppas, yang dipanggil si Ong itu, sambar Hauw Kong untuk dicekal, lalu
dengan sebat, dia sambar bungkusan dibelakang orang, yang mana dia segera buka,
hingga kelihatanlah isinya uang emas dan perak. Dengan tiba-tiba juga dia jadi mata
merah, romannya jadi bengis.
"Kongtjoe? Kongtjoe apa?" dia berseru. "Kamu orang tentunya bukan orang baik2. Dari
mana harta ini? Tentu hasil pencurian! Bagus, kita dapat bekuk pencuri berikut barang
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
buktinya! Hayo ikut kita menghadap toa-looya!"
Terang oppas ini menghina pemuda dan bocah itu, yang dia hendak gertak, supaya
uangnya itu bisa dikantongi.
Tapi Hauw Kong cerdik, ia tidak jeri.
"Bagus!" ia bilang. "Kongtjoe ada puteranya Taydjin Hauw Soe-touw, pergi kepada
looyamu, itulah paling bagus!"
Si Ong melengak, hingga ia mundur. Mendadakan, ia tertawa.
"Aku main2 saja!" kata ia, yang romannya jadi ramah-tamah. "Boleh toh kita main-tiba
sedikit?"
Menampak orang jadi manis-budi, hatinya Hauw Kong jadi besar.
"Mari pulangi kuda kita," kata ia. "Atau sebentar, menghadap kepada toalooyamu, nanti
aku mintakan presen seorang seratus rotan kepada kamu semuanya."
Semua orang terkejut.
Semua oppas itu jadi terkejut, satu antaranya yang berusia pertengahan lantas kerutkan
alis.
"Inilah bahaya," ia pikir kemudian. "Sudah terlanjur, baik aku binasakan dua pitik ini,
uangnya kita rampas."
Ia telah lantas ambil putusan, mendadakan ia cabut goloknya dan bacok si bocah.
Hauw Kong kaget, ia berkelit tidak urung, pundaknya kena kebacok, darahnya lantas
ngucur.
"Kongtjoe, lekas lari," berseru kacung ini, yang kecil tetapi hatinya tabah dan setia.
Tiauw Tjong pun kaget, lantas saja ia lari.
Oppas itu penasaran, ia membacok pula, tetapi sekali ini Hauw Kong bisa kelit, sesudah
mana, ia putar tubuh, akan lari juga, akan susul kongtjoenya.
"Kejar mereka!" berseru oppas ganas itu, yang lalu bersama si Ong bertiga, kejar itu
majikan dan kacung.
Bukan main kuatirnya Hauw Tiauw Tjong, ia pun tidak bisa lari keras sekali. Disaat ia
hampir kecandak, tiba-tiba dari arah depannya datang satu penunggang kuda, yang
kudanya dikasi lari dengan keras.
Empat oppas itu lihat si penunggang kuda, yang satu segera berteriak: "Kurang ajar!
Kurang ajar! Bangsat besar, kau berani lawan kita?"
"Bekuk dia! Bekuk dia!" satu oppas yang lain berteriak-teriak. "Bekuk itu penjahat!"
Kawanan oppas ini secara kedji tuduh Hauw Kongtjoe berdua sebagai penjahat. Secara
begini pun mereka mencari alasan untuk keganasan mereka.
Si penunggang kuda di depan datang semakin dekat, tidak saja ia telah lihat dua orang
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
lagi lari dan empat oppas lagi mengejar, ia pun dengar teriakan-teriakannya si oppas,
maka ia larikan kudanya kearah dua orang itu, setelah datang dekat, ia membungkukkan
tubuh, ia ulur kedua tangannya, nampaknya gampang sekali, ia cekal Tiauw Tjong dan
Hauw Kong, untuk diangkat naik ke belakang kudanya.
Empat oppas itu, dengan napas sengal-sengal, sudah lantas sampai kepada si
penunggang kuda, yang telah tahan kudanya, dan dia ini sudah lantas turunkan dua orang
itu sambil berkata: "Inilah mereka, sudah ditangkap!" Habis itu, ia pun loncat turun.
Penunggang kuda ini bertubuh besar, suaranya nyaring, mukanya berewokan, umurnya
kira-kira tiga puluh tahun.
"Terima kasih," kata keempat oppas, yang berlaku ramah-tamah. Mereka jerih terhadap
orang beroman gagah. Kemudian mereka angkat bangun Tiauw Tjong dan Hauw Kong,
yang jatuh ke tanah.
Penunggang kuda itu awasi Hauw Kongtjoe, yang muda dan sebagai mahasiswa, serta
kacungnya, yang melongo saja sebagai majikannya. Sama sekali mereka berdua tidak
mirip-miripnya dengan orang jahat.
Sekonyong-konyong Hauw Kong buka mulutnya: "Enghiong, tolong! Mereka ini hendak
merampas dan membunuh!"
"Kamu siapa?" tanya si penunggang kuda.
"Inilah kongtjoeku, Hauw Soe-touw punya......"
Hauw Kong belum sempat bicara terus atau satu oppas telah bekap mulutnya.
"Saudara, kau baik ambil jalanmu sendiri, jangan kau campur urusan kami orang kantor
negeri," oppas yang usia pertengahan mengasih nasihat.
Tapi si penunggang kuda bersikap lain.
"Lepaskan tanganmu itu, biarkan dia bicara!" ia kata pada oppas yang tekap si bocah.
"Aku yang rendah ada satu anak sekolah, aku tidak bertenaga besar, mana mungkin aku
jadi penjahat....." berkata Tiauw Tjong.
"Eh, kau berani banyak bacot?" satu oppas lain menegur. Dan ia ayun sebelah tangannya,
akan gaplok mukanya si anak muda.
Penunggang kuda itu gusar, ia ayun cambuknya dengan apa ia lilit lengannya si oppas
galak, hingga gaplokannya batal. Sebaliknya, kapan si penunggang kuda betot tangannya,
dia terpelanting dan jatuh mencium bumi, hingga dua buah giginya gempur, mulutnya
mengucurkan darah! "Bagaimana sebenarnya duduknya perkara?" tegaskan si
penunggang kuda.
"Kongtjoeku sedang pesiar," Hauw Kong gantikan tuannya," lantas kami bertemu sama ini
empat orang, mereka lihat uang kami, lantas mereka hendak binasakan dan rampas uang
kami itu!" Ia lantas berlutut. "Enghiong, tolong kami....." ia memohon.
"Apakah ini benar?" si penunggang kuda tanya oppas di depannya.
Oppas itu belum menjawab atau si Ong, yang berada di belakangnya, membacok dengan
goloknya! Penunggang kuda itu dengar sambaran angin, tanpa menoleh lagi, ia berkelit
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
kekiri, segera ia putarkan tubuhnya, sambil mendekam sedikit, ia kirimkan dupakannya
kepada pahanya si Ong, hingga dia ini terpental dan rubuh.
"Inilah penyamun tulen!" berseru tiga oppas lainnya, sambil mereka maju menyerang.
Tiauw Tjong berkuatir, ia lihat orang tak bersenjata, akan tetapi si penunggang kuda tak
jeri dikerubuti, dengan kelit sini dan egos sana, ia hindarkan sabetan atau kemplangan
thietjio dan sabetan rantai borgolan yang digunai tiga pengepungnya.
Si Ong berbangkit, ia maju pula, ia membacok.
"Kurang ajar!" berseru penunggang kuda itu, yang kelit bacokan tapi tangannya melayang,
hingga dengan keluarkan jeritan kesakitan, hidungnya si Ong muncratkan darah, goloknya
pun terlepas, sebab segera ia tutupi mukanya dengan kedua tangannya.
Penunggang kuda itu jumput golok orang, malah terus ia pakai menyerang, atas mana,
satu oppas terluka pundaknya, kemudian menyusul terbacok kaki kirinya oppas yang
menggunai rantai, hingga dia rubuh.
Melihat demikian, oppas yang satunya lantas saja lari, disusul oleh si Ong, yang pun turut
angkat kaki, sama sekali mereka lupa dua kawan mereka.....
Penunggang kuda itu tertawa berkakakan, ia lempar golok di tangannya, ia hampirkan
kudanya untuk dinaiki.
"Tunggu dulu, inkong," mencegah Tiauw Tjong pada tuan penulungnya itu, yang ia
hampirkan. Ia mengucap terima kasih, ia tanya she dan namanya orang itu.
Orang itu awasi kedua oppas yang terluka, yang rebah di tanah sambil merintih kesakitan,
dengan mata bersorot kegusaran, mereka mengawasi.
"Disini bukan tempat bicara, mari kita pergi kesana," kata si penunggang kuda. "Kita naik
kuda."
Ia lompat naik atas kudanya, perbuatannya ditelad oleh Tiauw Tjong dan Hauw Kong, yang
pun naik atas kudanya masing-masing.Dengan berendeng, mereka pergi dari tempat
kejadian itu, sembari jalan, Tiauw Tjong perkenalkan diri.
"Kau jadinya ada Hauw Kongtjoe," kata penunggang kuda itu. "Aku ada Yo Peng Kie yang
dalam kalangan kang-ouw dikenal sebagai Mo-In Kim-tjie, Sayap emas beterbangan, aku
bekerja sebagai piauwsoe kepala dari Boe Hwee Piauw-kiok."
Tiauw Tjong mengucap terima kasih.
'Coba tidak ada piauwtauw yang tolongi kami berdua, hari ini tentulah kami terbinasa
ditangan orang jahat." ia kata.
"Sekarang, baiklah kongtjoe lekas pulang," Peng Kie anjurkan. "Kau mesti beritahukan
kejadian ini kepada ayahmu, supaya ayahmu urus lebih jauh, kalau tidak, tentu kawanan
oppas itu bakal putar duduknya perkara. Terang sudah mereka ada jahat dan licik. Mereka
tidak kenal aku, tentu mereka bakal berati kongtjoe seorang."
Mendengar nasihat itu, lenyap kegembiraannya kongtjoe ini.
"Kau benar, saudara Yo," kata ia. "Terima kasih untuk keterangan kau ini. Mari kita
lakukan perjalanan ber-sama2."
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Peng Kie setuju.
"Mari," sahut ia.
Hatinya Tiauw Tjong lega. Dengan dikawani itu piauwsoe, ia tak kuatir lagi.
Dua-puluh lie mereka sudah lalui, tidak juga mereka dapat pondokan. Sukur Peng Kie ada
bawa rangsum kering, ia keluarkan itu, untuk didahar bersama. Mereka singgah sebentar,
Hauw Kong cari kwali pecah, untuk masak air, supaya mereka bisa minum. Ia kumpuli
kayu kering, untuk nyalakan api.
"Si penjahat ada di sini!" tiba-tiba kacung ini dengar suara nyaring dibelakangnya. Ia
terkejut, hingga ia berjingkrak, karena mana, airnya tumpah, menyiram kayunya.
Peng Kie segera berpaling, hingga ia tampak, oppas tadi, yang kabur, telah balik bersama
belasan serdadu, dia itu sendiri kaburkan kudanya paling depan.
"Lekas naik kuda!" piauwsoe ini serukan kawan2nya. Kemudian ia kasi majikan dan
bujang itu lari didepan, ia sendiri dengan hunus golok tantoo, larikan kudanya disebelah
belakang, untuk melindungi.
"Bekuk si penjahat!" beberapa serdadu ber-teriak2.
Semua serdadu itu mengejar dengan keras.
Peng Kie telah lari jauh juga, tetapi ia dapat kenyataan, ia terpisah semakin dekat dengan
rombongan pengejarnya itu.
"Ambil jalan kecil!" ia teriaki dua kawannya.
Tiauw Tjong membiluk kejalan kecil, dibelakang ia, Hauw Kong menyusul bersama si
piauwsoe.
"Kejar terus! Siapa dapat membekuk, ia akan dapat upah besar!" si oppas berteriak-teriak,
akan anjurkan belasan serdadu itu.
Melihat orang menyusul semakin dekat, terpaksa Peng Kie tahan kudanya, untuk diputar
balik, guna tunggui barisan pengejar itu, kemudian ia maju memapaki, akan menyerang.
Si oppas kaget, ia lantas mundur, tetapi belasan serdadu maju menyerang. Mereka
bersenjatakan tumbak, yang panjang, dengan lekas Peng Kie jadi repot, belum sempat ia
membacok salah satu musuh, karena goloknya pendek, pahanya telah kena tertusuk,
hingga ia merasakan sakit walaupun lukanya tidak parah. Karena ini, ia jadi kecil hati. Ia
keprak kudanya, ia berlompat kedepan, satu serdadu yang berada paling dekat, ia bacok
pundak kirinya.
Hal ini membikin serdadu-serdadu yang lain kaget, mereka merandek, justeru itu, si
piauwsoe kaburkan kudanya, untuk lari terus.
"Kejar!" berseru si oppas, yang maju pula, diikuti oleh kawan-kawannya.
Peng Kie sudah lantas dapat candak Tiauw Tjong dan Hauw Kong.
Jalanan di depan mulai jadi sempit, tapi sukar, serdadu-serdadu itu jeri terhadap si
piauwsoe, mereka tak berani maju mendekati, mereka cuma mengejar saja.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Peng Kie dapat hati, ia ajak dua kawannya lari dengan keras.
Mereka jalan di tempat banyak tikungan, ini menolong mereka, sebab tidak lama lagi,
mereka lenyap dari pemandangan matanya sekalian pengejar, yang cuma suara teriakteriakannya
saja yang masih terdengar dengan nyata.
Segera mereka menghadapi jalan cagak tiga.
"Kita turun disini!" Peng Kie kata. Ia mendahului loncat turun dari kudanya.
Tiauw Tjong dan kacungnya menuruti, mereka pun turun.
"Mari!" mengajak piauwsoe itu.
Mereka tuntun kuda mereka, masuk kedalam pepohonan yang lebat, untuk sembunyi.
Tidak terlalu lama, muncullah rombongan tentara bersama si Ong. Mereka ini agak
bersangsi melihat jalan cagak itu. Akhirnya, si Ong pilih satu diantaranya.
"Mereka tidak akan susul kita jauh-jauh, mereka bakal kembali," kata Peng Kie. "Mari
lekas!"
Ia robek ujung bajunya, buat dipakai membungkus lukanya, habis itu mereka keluar dari
tempat sembunyi, naik atas kuda masing-masing, lantas mereka ambil jalan yang lain yang
diambil pengejar mereka.
Mereka sudah lari jauh juga ketika Peng Kie dengar suara berlari-larinya banyak kuda. Ia
mengerti, orang tentu sedang susul mereka. Biar bagaimana, ia sibuk juga.
Tidak jauh dari mereka, mereka lihat tiga buah rumah gubuk, di depannya, ada
penghuninya orang tani sedang bekerja. Peng Kie hampirkan orang tani itu, sembari
menjura, ia kata : "Saudara, dibelakang kami ada tentara sedang mengejar yang hendak
celakai kami, tolong kau carikan tempat sembunyi....."
Orang tani itu tetap memacul, ia seperti tidak dengar permintaan itu.
Tiauw Tjong turun dari kudanya, ia hampirkan orang tani itu, akan ulangi permintaannya
Peng Kie. Sekali ini, mendadakan orang tani itu mengawasi, dengan kedua matanya yang
bersinar. Ia mengawasi dari atas kebawah pada tiga orang itu.
Berbareng dengan itu dari antara pepohonan lebat terdengar suara suling merayu-rayu,
lantas tertampak satu bocah bercokol dibelakang seekor kerbau. Dia berumur delapan
atau sembilan tahun, kuncirnya kecil pendek nyungcung di batok kepalanya.
Dia beroman manis dan cakap, membuat orang segera sukai dia.
Melihat bocah itu, si orang tani kata padanya," Sin Tjie, bawa kuda kedalam gunung, kasi
makan rumput sepuasnya! Tunggu sampai sudah gelap, Baru kau bawa kembali."
Bocah itu pandang Tiauw Tjong bertiga.
"Baik!" ia menyahuti, terus ia hampirkan ketiga kuda orang-orang itu.
Peng Kie tidak mengerti maksud orang, ia berikan kuda mereka.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Sementara itu, suara pengejar datang semakin dekat, Tiauw Tjong sibuk.
"Mereka mendatangi...."kata ia. "Bagaimana?"
"Mari turut aku," mengajak si orang tani.
Tiauw Tjong bertiga ikut diajak masuk kedalam rumah, yang bersih keadaannya walaupun
perabotan kebanyakan ada alat2 pertanian. Mereka dibawa terus kepedalaman, sampai
disebuah kamar tidur, ketika si orang tani singkap kelambu, dibelakang itu ada tembok.
Dia menekan dua kali kepada tembok atas mana tembok itu berbunyi dan terbukalah
sebuah lobang, sehingga mereka terkejut.
"Masuklah!" kata si orang tani.
Peng Kie bertiga masuk. Mereka dapati sebuah gua yang cukup lebar.
Nyata gua itu ada gua gunung, yang sengaja dibuka. Tanpa menggempur rumah, tidak
nanti diketahui, dibelakang rumah ada lobang gua.
Orang tani itu tekan pula tembok, setelah mana, pintu gua tertutup pula. Ia terus pergi
keluar, untuk bekerja pula dengan cangkulnya seperti tadi.
Belum terlalu lama, muncullah si Ong serta belasan serdadunya.
"Eh, apa tadi ada tiga penunggang kuda lewat di sini?" Ong tanya dengan kasar.
"Baru saja dia lewat, kesana!" sahut si petani seraja menunjuk kesebuah jalan kecil.
Ong beramai larikan kudanya ketempat yang ditunjuk itu, disini mereka melalui tujuh atau
delapan lie tanpa ada hasilnya, lantas mereka kembali. Mereka hampirkan pula si petani,
utk. Ditanyakan, tapi dia ini menyahuti tidak jelas, dia mirip dengan seorang budek.
"Sudah, jangan layani si tolol!" kata beberapa serdadu. "Mari!"
Mereka larikan kuda mereka kesebuah jalan kecil lainnya.
Tiauw Tjong bertiga, dari tempatnya sembunyi, dengar suara kaburnya banyak kuda,
suaranya nyata dan lenyap, nyata pula, lenyap lagi. Selama itu, mereka tetap sibuk,
terutama sebab tuan rumah belum datang untuk membukai pintu. Peng Kie coba tolak
pintu gua, tidak ada hasilnya, sebab ia tak tahu rahasianya. Daun pintu pun tak tergerak
sedikit jua. Gua ada gelap. Terpaksa mereka duduk diam, kecuali Peng Kie, yang beberapa
kali merintih karena lukanya, hingga ia kutuki pengejar-pengejarnya.
Entah berapa waktu telah lewat, mendadakan pintu gua terbuka sendirinya dengan
menerbitkan suara, lebih dahulu muncul cahaya api kuning, lalu muncul si orang tani
dengan tangannya menyekal tjiaktay yang lilinnya menyala.
"Marilah kita dahar!" ia mengundang.
Peng Kie berlompat bangun, akan mendahului keluar, Tiauw Tjong dan kacungnya susul
dia. Mereka pergi ke thia dimana ada sebuah meja yang sudah siap dengan nasi dan
temannya, yang masih mengepul-ngepul,kecuali tauwhoe dan sayur, pun ada dua ekor
ayam yang gemuk.
Didalam ruangan itu, kecuali si orang tani dan si bocah angon, ada lagi tiga petani lainnya,
yang menantikan tetamu-tetamunya sambil berdiri.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Tiauw Tjong bertiga memberi hormat, mereka lantas perkenalkan diri.
Mendengar namanya Peng Kie sebagai piauwsoe, nampaknya orang-orang itu tak
memperdulikannya, akan tetapi mengetahui si anak muda ada puteranya Hauw Soe-touw,
semua saling memandang, lantas ada yang tanyakan halnya Hauw Soe-touw selama yang
belakangan ini.
Tiauw Tjong berikan jawaban yang sebenarnya, sesudah mana, ia minta tanya namanya
sekalian petani itu.
"Aku yang rendah she Eng," jawab seorang umur lima-puluh lebih. "Dia ini she Tjoe," dia
perkenalkan petani yang pertama. "Dan dia ini she Nie." Dia tunjuk seorang bertubuh
jangkung tetapi kurus. "Dan dia ini she Lo," ia tambahkan kepada seorang yang kate
dampak.
"Aku kira tuan-tuan dari satu keluarga, tak tahunya semua berlainan she," kata Tiauw
Tjong.
"Kita semua ada sahabat-sahabat baik," terangkan si orang she Eng.
Segera Tiauw Tjong dapat kenyataan, semua tuan rumah tak gemar bicara tapi gerak-gerik
mereka tak mirip dengan petani sejati; si orang she Tjoe dan Nie nampaknya keren, si
orang she Eng agung-agungan, seperti satu sasterawan. Dia coba bicara sama si orang
she Eng itu, untuk cari kepastian, tapi ia ini tidak menjawab jelas, agaknya ia seperti
mengerti dan tidak mengerti.
Habis berdahar, Baru si orang she Eng tanyakan bagaimana halnya tetamu-tetamu itu
dikejar polisi dan serdadu.
Tiauw Tjong berikan keterangan dengan jelas, karena ia terpelajar, kata-katanya teratur
sempurna dan menarik hati, apapula ketika ia menutur halnya rakyat jelata yang
bersengsara dan mati terlantar, binasa teraniaya, hingga nyata sekali kekejamannya
tentara negeri tukang rampok dan bunuh.
Semua pendengar membuka mata lebar2, si orang she Nie sampai keprak meja, alis dan
kumisnya seperti bangun berdiri, ia tentu telah membuka mulut dan mendamprat jikalau
tidak si orang she Eng lirik dia, terus ia bungkam.
Tiauw Tjong juga ceritakan halnya Yo Peng Kie tolongi ia, dengan itu ia hunjuk syukurnya
dan pujian kepada itu piauwsoe, mendengar mana, piauwsoe ini nampaknya puas sekali.
"Itulah tidak berarti apa-apa," kata Peng Kie. "Yang berbahaya adalah dulu ketika di
Shoasay, seorang diri aku bunuh Tjhin-pak Sam Hiong."
Lalu dengan bangga ia jelaskan bagaimana, dalam keteter, ia berbalik menang lawan
Tjhin-pak Sam Hiong, tiga penjahat besar dari propinsi Shoasay sebelah utara, kemudian
itu ditambah sama pelbagai pengalamannya selama sepuluh tahun, hingga katanya,
banyak penjahat tidak berani pandang enteng kepadanya.
Sedangnya piauwsoe ini menutur dengan gembira, hingga ia seperti lupa daratan, tiba-tiba
si bocah angon tertawa cekikikan.
Peng Kie pandang itu bocah, yang terus berdiam, maka ia lanjuti penuturannya, sekarang
perihal pelbagai kejadian didalam kalangan kang-ouw.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Tiauw Tjong asing dengan kaum kang-ouw, ia jadi ketarik hati.
Hauw Kong pun belum tahu apa-apa, ia puji piauwsoe itu.
Peng Kie kemudian bicara tentang ilmu silat, ia sampai gerak-geraki tangan dan kakinya,
nampaknya ia membuat gembira kepada si orang-orang tani, sampai akhirnya si orang she
Lo menguap dan kata: "Sudah tak siang lagi, marilah kita semua masuk tidur!"
Secara demikian, perjamuan ditutup, malah si bocah angon segera tutup pintu, sedang si
orang she Tjoe angkat sepotong batu besar, yang ditaruh ditempat gelap, untuk dipakai
mengganjal pintu.
Melihat batu besar itu, diam-diam Peng Kie ulur lidah.
"Ah, orang ini bertenaga besar sekali....," pikir ia. "Batu ini sedikitnya empat ratus kati
beratnya...."
Si orang she Eng rupanya lihat keheranannya si tetamu.
"Ditanah pegunungan ada banyak harimau," kata dia. "Bisa kejadian ditengah malam,
binatang buas itu datang dan menggempur pintu, maka pintu perlu diganjel..."
Belum berhenti suaranya si Eng ini atau mendadakan terdengar sampokan angin dahsyat
di luar gubuk, diantara pepohonan, sampai daun-daun dan cabangnya perdengarkan suara
menderu-deru, daun pintu dan jendela bagaikan tergetar, kemudian itu disusul sama
gerungan panjang dan hebat, akan akhirnya terdengar juga suaranya kuda dan kerbau.
"Lihat, binatang itu datang pula untuk berkurang ajar!" kata si Eng.
Si Nie berbangkit, dari belakang pintu, ia ambil sepotong kongtjee, cagak seperti tumbak.
"Sekali ini dia tak dapat dikasi lolos lagi!" kata ia bagaikan berseru. "Sin Tjie, kau pun
turut!"
Si bocah angon menyahuti, ia lari kedalam kamar sebelah kanan, dari mana ia keluar pula
dengan tangan mencekal sebatang tumbak pendek dan dipinggan tergendol kantong kulit.
Si Tjoe sudah lantas geser batu besar, ia terus buka pintu, hingga berbareng dengan
terpentangnya pintu itu, angin keras menghembus masuk, membawa juga daun-daun
kering, hingga lilin lantas padam.
Hauw Kong kaget hingga ia menjerit.
Si Nie loncat keluar, diturut oleh si bocah angon, yang bernama Sin Tjie.
"Aku turut!" kata Peng Kie seraja ia djumput goloknya. Tapi Baru ia bertindak selangkah
atau mendadakan lengannya ada yang cekal,ketika ia coba tarik tangannya, ia rasai
cekalan keras sekali, lima jari si pencekal bagaikan jari-jari besi saja.
"Jangan keluar, binatang buas itu ganas sekali!" demikian satu cegahan dengan suara
serak.
Lagi sekali Peng Kie geraki tangannya, untuk loloskan cekalan, apamau, ia tidak berhasil,
maka akhirnya, terpaksa ia duduk pula. Baru setelah itu, cekalan kendor sendirinya.
Di luar, segera terdengar seruannya si Nie beberapa kali, bercampur sama gerungannya
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
sang harimau, diantara mana, ada pula suaranya kongtjee, sedang angin masih menderuderu.
Juga ada terdengar seruan kecil tapi nyaring dari si bocah angon.
Itu semua menandakan bahwa pertempuran sedang berlangsung antara si raja hutan dan
dua petani. Adalah kemudian, suara berisik mulai berkurang, terdengarnya semakin jauh,
makin jauh, rupanya binatang liar itu kabur dan dikejar lawannya.
Si Lo segera nyalakan batu tekesan, untuk sulut lilin, hingga kelihatan, ruangan
tersebarkan banyak daun kering.
Hauw Kong duduk diam, mukanya sangat pucat, sedang Tiauw Tjong nampaknya jeri.
Malah Peng Kie, si piauwsoe yang tadi omong besar, sekarang nampak hatinya gentar,
hingga ia diam saja.
Orang berada dalam kesunyian sekian lama, kemudian terdengar tindakan kaki cepat,
yang segera disusul dengan masuknya si bocah angon, yang terus - sambil tertawa,
wajahnya gembira - berkata separuh berseru : "Kita makan daging harimau! Kita makan
daging harimau!"
Tiauw Tjong lihat tumbak pendek orang berlepotan darah.
"Dia begini kecil, dia berani dan kosen," pikir Hauw Kongtjoe, "tapi aku, aku tidak punya
tenaga untuk sembelih ayam saja....Sungguh malu!...."
Selagi pemuda ini berpikir, si Nie bertindak masuk dengan tindakan lebar, sebelah tangan
mencekal kongtjee, sebelah yang lain menyeret harimau yang terus ia lemparkan ke
tengah thia.
Tiauw Tjong kaget sampai ia dapati binatang itu tidak bergerak, tanda sudah mati.
"Sin Tjie, tadi kau menyerang setjara keliru, kau tahu tidak?" tiba-tiba si Nie kata pada si
bocah angon, yang ia awasi dengan tayam.
Bocah itu tunduk.
"Ya, tidak selajaknya aku menyerang dengan piauw depan-berdepan," ia akui.
Mendengar itu, wajahnya si Nie jadi sabar pula.
"Menyerang dari depan bukannya tak boleh," kata dia." Hanya jikalau kau hendak lepas
sepasang piauw dengan berbareng, kau mesti arah dua-dua matanya, setelah piauw
dilepaskan, kau sendiri mesti segera loncat kesamping, tetapi tadi kau gunai sebatang
piauw saja, hingga saking kesakitan, harimau itu lompat menerjang padamu, coba aku
tidak mencegah, apa jiwamu masih dapat ditolong?"
Bocah itu berdiam.
"Tapi piauwmu itu jitu sekali," kata si Nie kemudian, sebagai pujian, "apa yang kurang
adalah tenagamu. Inilah tidak heran, kalau nanti kau telah jadi besar, tenagamu akan
tambah sendirinya."
Ia angkat tubuhnya harimau, untuk dibalik, hingga kelihatan sebatang piauw lain nancap
dilobang kotoran.
"Piauw ini," katanya," apabila digunakannya dengan tenaga besar,akan nembus sampai
kedalam perut dan akan menyebabkan kematian."
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
"Mulai besok aku nanti berlatih dengan sungguh-sungguh," kata Sin Tjie.
Si Nie manggut, lantas ia seret bangkai harimau itu kebelakang.
Hatinya Peng Kie jadi tidak tenteram. Tadinya ia sangka mereka itu ada orang-orang tani
biasa, tidak tahunya dua diantaranya, malah yang satu adalah satu bocah cilik, dalam
sekejab saja bisa binasakan seekor harimau. Ia jadi curiga, mereka itu adalah penyamunpenyamun
dalam penyamaran rakyat jelata.
"Jikalau mereka turun tangan, mana sanggup aku lawan mereka?" pikir ia.
Sebaliknya dari si piauwsoe, Tiauw Tjong tidak curiga apa-apa, ia malah puji si bocah,
yang tangannya ia cekal dan usap2. Ia pun tanya she dan namanya.
Bocah itu melainkan tertawa, ia tak menjawab.
Malam itu, Tiauw Tjong tidur bertiga bersama Peng Kie dan Hauw Kong. Si kacung pulas
dengan cepat. Tiauw Tjong sukar tidur, maka selang tak lama, ia dengar suara orang baca
buku. Ia lantas kenali suaranya si bocah angon. Bocah itu membaca dalam dialek
Kwietang, ia heran. Lebih2 ia heran akan dapati, buku yang dibaca adalah buku yang ia
tidak kenal. Mungkin itu ada kitab ilmu perang. Maka akhirnya ia berbangkit, ia turun dari
pembaringan akan bertindak ke thia.
Duduk menghadapi api lilin, si bocah terus baca bukunya, disampingnya duduk si Eng,
yang saban2 mengajari padanya.
Si Eng manggut melihat Hauw Kongtjoe.
Tiauw Tjong mendekati, ia lihat beberapa jilid buku diatas meja, kemudian ia djumput satu,
yang berkalimat "Kie Kauw Sin Sie" ialah kitab ilmu perang karangannya jenderal Tjek Kee
Kong.
"Saudara," kata ia kemudian, saudara semua bukannya orang-orang biasa, kenapa
saudara beramai hidup menyendiri disini? Maukah saudara kasi keterangan padaku?"
"Kita adalah petani biasa saja," sahut si Eng. "Kita hidup bertani sambil memburu, kalau
kita pun baca buku. Itu biasa saja, bukan? Kenapa kongtjoe heran?"
Tiauw Tjong tak enak sendirinya.
"Maafkan aku, aku telah mengganggu," kata ia, yang terus manggut, untuk kembali
kekamarnya.
Sekali ini, rebahkan diri, Tiauw Tjong dapat tidur, tapi, sedang ia layap-layap, ia sedar pula,
sebab Peng Kie goyang tubuhnya dengan piauwsoe itu terus berbisik: "Mari kita pergi,
inilah sarang penjahat!....."
Pemuda itu kaget.
"Bagaimana kau ketahui?" ia tanya "Mari lihat!" Peng Kie berbisik pula. Ia nyalakan api,
akan suluhi sebuah peti kayu, yang ia buka tutupnya. "Lihat, kongtjoe!"
Kembali Tiauw Tjong kaget. Ia lihat peti itu muat banyak sekali emas dan perak dan barang
permata. Ia sampai tergugu.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Peng Kie serahkan api pada si anak muda, ia sendiri angkat minggir peti itu, dibawah
mana ada sebuah peti lain, yang dikunci, akan tetapi selagi ia berkutetan, Tiauw Tjong
mencegah.
"Sudahlah, jangan bongkar lebih jauh rahasia orang," kata pemuda ini. "Kita bisa terbitkan
onar....."
"Tetapi didalam sini ada bau luar biasa," Peng Kie bilang.
"Bau apakah itu?"
"Bau bacin amis!"
Tiauw Tjong berdiam.
Peng Kie patahkan rantai kuntji, lalu ia pasang kuping, apabila ia tidak dengar suara apaapa
dari luar, ia buka tutup peti itu, ia sambuti api, untuk menyuluhi.
Kesudahannya ini, keduanya berdiri tercengang, mukanya Hauw Kongtjoe pucat.
Didalam peti itu ada dua kepala manusia, yang satu rupanya sudah sekian lama dikutungi
batas lehernya, sebab darahnya sudah hitam, yang satunya pula, masih Baru, tapi duaduanya
seperti telah dipakaikan obat, karena masih belum rusak.
Peng Kie ada orang kang-ouw, ia toh lemas kaki dan tangannya.
"Mari kita pergi!" kata pula si piauwsoe, sesudah ia dapat pulang ketabahannya dan kedua
peti ia susun rapi seperti tadinya. Habis itu, ia pun kasi bangun pada Hauw Kong, untuk
ajak si kacung singkirkan diri.
Api telah dikasi padam, dengan raba sana-sini, bertiga mereka pergi ke thia, terus kepintu.
Disini Peng Kie dapat raba batu besar, memegang mana, ia mengeluh di dalam hati. Ia
coba gunai antero tenaganya, ia masih tak dapat geraki bergeming batu besar itu.
Sekonyong-konyong, menyalalah api di dalam thia itu! Dengan tiba-tiba, si Tjoe muncul
dengan tjiaktay di tangan, tjiaktay yang lilinnya menyala.
Dalam kagetnya, Peng Kie hunus goloknya. Ia niat bikin perlawanan meskipun hatinya
keder.
Tapi si Tjoe bersikap tenang.
"Kauorang hendak berlalu?" tanya dia, yang lantas hampirkan batu besar, untuk diangkat
kesamping, lalu ia buka pintu." Persilakan!"
Dengan kepala tunduk, Peng Kie bertiga keluar dari pintu, mereka hampirkan kuda
mereka, akan buka tambatannya, lalu dengan menunggang binatang tunggangan itu,
malam2 mereka kabur, kearah timur. Tidak satu diantara mereka, yang buka mulut. Mereka
laratkan kuda mereka, sampai belasan lie jauhnya, Baru mereka mulai merasa legaan.
Tiba-tiba terdengar berketoprakannya kaki kuda disebelah belakang mereka, segera
terdengar suara nyaring dari satu orang: "Hei, berhenti! Berhenti!"
Mereka kaget, mereka jadi takut pula, mereka kabur terus, kuda mereka dikepraki.
Sekonyong-konyong satu orang melesat disampingnya tiga orang ini, untuk mendahului
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
mereka.
Kudanya Peng Kie kaget, sampai binatang itu berjingkrak sendiri.
Peng Kie ayun goloknya, akan serang orang itu. Dia ini bertangan kosong, dia kelit, lantas
dia membalas menyerang.
Mereka bertempur dengan seru.
Sebelah tangan siorang tak dikenal menyambar tempilingan kanan dari Peng Kie, dia ini
angkat goloknya, akan dipakai membabat, tapi orang nyata menggertak saja, serangannya
ditarik setengah jalan, dikembalikan, buat dipakai mencekal lengan yang bersenjatakan
golok itu.
"Turun!" demikian orang itu berseru sambil ia menarik dengan keras.
Peng Kie sedang membacok, tak keburu dia menarik pulang tangannya atau kelitkan itu, ia
tercekal, ia tertarik, tidak ampun lagi, dia rubuh dari atas kudanya, sedang goloknya, tahu2
sudah kena dirampas lawannya. Tapi si lawan tidak gunai senjata itu untuk balas
membacok, dia lepaskan cekalannya kepada lengan si piauwsoe, dia pakai tangannya itu
pegang golok dengan kedua tangannya, atau dilain saat, golok itu kena dipatahkan dua!
Diantara sinar guram dari bintang-bintang dilangit Peng Kie, yang dapat berdiri pula
setelah ia rubuh dari kudanya, dapat kenali lawannya adalah si Tjoe, tuan rumahnya.
"Mari turut aku kembali!" kata si Tjoe dengan tenang. Lalu, tanpa perduli apa juga, ia kasih
kudanya jalan kembali.
Peng Kie mati daya, ia naik atas kudanya, kemudian dengan satu tanda, ia ajak Tiauw
Tjong dan Hauw Kong balik. Dua kawan ini, yang telah tahan kuda mereka selagi orang
bertempur, juga tidak berdaya lagi, mereka turut tanpa bilang suatu apa.
Kapan Tiauw Tjong bertiga sampai dirumah si petani, kemana mereka lantas masuk,
mereka lihat ruangan tengah terang sekali dengan api lilin. Si bocah angon bertjokol ditengah-
tengah,dikiri dan kanan, duduk empat orang lainnya ialah si Lo, si Eng, si Tjoe dan
si Nie. Semua mereka berdiam, roman mereka sungguh-sungguh, hingga nampaknya jadi
keren.
Peng Kie percaya dia ada bakalan mati, maka ia jadi berani.
"Hari ini Yo Thayya terjatuh di tangan kamu, hayo jangan banyak omong lagi, hendak
kamu bunuh, bunuh!" kata ia dengan gagah.
"Eng Toako, bagaimana?" tanya si Tjoe.
Orang yang ditanya itu diam saja, cuma romannya tetap keren.
"Merdekakan Hauw Kongtjoe dan kacungnya, bunuh orang she Yo ini!" si Nie gantikan
menjawab.
"Orang she Yo ini menjadi piauwsoe, dengan begitu ia jadi anjingnya segala hartawan,"
kata si Eng akhirnya, "pantas saja jikalau dia dibikin mampus. Tapi sekarang ini dia telah
hunjuk perbuatan mulia dan gagah dengan membantu Hauw Kongtjoe, dia pun berani, baik
kasi dia ampun. Saudara Lo, silakan kau bikin bercacat dua anggauta penggapeannya."
Si Lo lantas saja berbangkit.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Mukanya Peng Kie jadi pucat, saking kaget.
Tiauw Tjong tidak mengerti bahasa rahasia orang Kang-ouw, ia tak tahu, dengan
"anggauta penggape" diartikan sepasang mata, yang mesti dikorek buta. Ia cuma duga,
orang hendak bikin celaka piauwsoe penolongnya itu. Maka itu, ia ingin buka mulut, untuk
mohonkan keampunan.
Tiba-tiba si bocah angon kata : "Entjek Eng, kasihan aku melihat dia, kasi ampun saja
padanya!"
Si Eng dan tiga kawannya saling memandang, semua berdiam, tapi akhirnya, dia kata pada
Yo Peng Kie, si piauwsoe: "Sekarang telah ada orang yang mohonkan keampunan bagimu,
bisa atau tidak kau bersumpah akan tak bocorkan apa yang kau alami disini malam ini?"
"Sebenarnya tak niat aku menyelidiki segala apa disini, hanya kebetulan saja aku
menemuinya," sahut Yo Peng Kie. "Aku harus sesalkan diriku, yang seperti tidak punya
mata, hingga tak dapat aku kenali siapa adanya enghiong semua. Aku janji, sejak ini aku
tidak nanti melangkah ke Siamsay ini sekalipun setengah tindak. Mengenai urusan
saudara-saudara disini, aku sumpah akan tutup mulut seperti rapatnya botol. Dibelakang
hari, apabila aku langgar sumpahku ini, Langit dan Bumi bakal binasakan aku!"
"Bagus!" berseru si Eng. "Aku percaya kau ada satu laki2 sejati! Pergilah!"
Peng Kie angkat kedua tangannya, untuk memberi hormat, lalu ia memutar tubuh.
Mendadakan, si Nie berbangkit dari kursinya.
"Apakah kau hendak pergi secara begini saja?" dia menegur.
Peng Kie melengak, tapi segera ia mengerti maksud orang. Ia lantas tertawa meringis.
"Baiklah," kata ia. "Kasi aku pinjam golok!"
Si Tjoe keluarkan sebatang golok dari kolong meja, dengan dilintangi, dia lemparkan
kepada piauwsoe itu.
Peng Kie sambuti golok itu, ia maju mendekati meja, diatas mana, ia letaki tangan
kanannya dengan semua jarinya dibeber, kemudian cepat luar biasa, ia membacok dengan
tangan kiri, hingga sapatlah empat buah djarinya.
"Seorang yang berbuat, seorang yang tanggung jawab!" kata dia sambil tertawa. "Semua
pekerjaanku tidak ada sangkutannya dengan si orang she Hauw!"
Semua orang kagum melihat ketangguhannya piauwsoe ini.
"Bagus!" berseru si Nie, yang perlihatkan jempolnya. "Beginilah selesainya urusan malam
ini!"
Terus ia bertindak kedalam, akan keluar pula dengan cepat bersama obat luka dan kain
putih untuk obati dan bungkus tangannya piauwsoe she Yo itu.
Peng Kie tidak mau berdiam lama, setelah selesai pengobatan, ia kata pada Hauw
Kongtjoe," Mari kita berangkat!"
Tiauw Tjong lihat muka orang pucat, ia mengerti penolongnya ini menahan sakit yang
hebat, ia berniat mengajak menanti dahulu, tetapi ia tak bisa buka mulutnya untuk
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
mengutarakan itu.
Si Eng lihat segala apa didepannya, ia kata: "Hauw Kongtjoe, kalau dibicarakan, kau dan
kita sebenarnya ada hubungan satu sama lain. Sahabat she Yo inipun ada satu laki-laki,
maka baiklah, aku nanti berikan barang ini kepadamu!"
Dari sakunya, si Eng keluarkan serupa barang, yang dia terus serahkan pada si anak
muda.
Kapan Tiauw Tjong sudah sambuti, dia lihat itu adalah sepotong tek-pay atau surat bambu
dengan huruf-bakaran "San Tjong", sedang bagian belakangnya, pun dibakar hangus
merupakan tali air. Ia tidak tahu, apa artinya tek-pay itu.
"Sekarang ini Negara sedang kacau," berkata si Eng pula, "kau ada satu mahasiswa
lemah, tak selayaknya kau berkelana, dari itu, aku kasi nasihat padamu, baik kau lekas
pulang. Umpama kau hadapi bahaya ditengah jalan, kau keluarkan tek-pay ini, nanti
ancaman bencana akan berubah menjadi keselamatan."
Tiauw Tjong periksa tek-pay itu, masih ia tak dapatkan keanehan atau kemujizatannya,
maka itu, ia mau percaya, itu adalah benda yang cuma membawa alamat baik.....
"Terima kasih," kata ia akhirnya seraya serahkan tekpay itu kepada Hauw Kong, untuk
disimpan dalam buntalan.
Habis itu, tiga orang itu pamitan, mereka berlalu dengan naik kuda mereka. Sekarang
mereka jalan malam2, dengan pelahan-lahan, terus sampai terang tanah diwaktu mana
mereka sampaikan sebuah kampung.
"Kita singgah disini," mengajak Tiauw Tjong.
Mereka cari pondokan, untuk beristirahat satu hari dan satu malam, akan besoknya pagi,
mereka lanjuti perjalanan mereka. Kembali mereka lewati dusun dimana tentara negeri
pernah rampok dan bunuh-bunuhi penduduk, tak tega melihat bekas-bekas kekejaman itu,
Tiauw Tjong ajak dua kawannya jalan ngidar. Diwaktu tengah hari, mereka singgah
ditengah jalan, lalu kemudian berangkat lebih jauh melalui dua-puluh lie lebih.
Adalah diitu waktu, dari arah depan, ada mendatangi satu penunggang kuda, yang lewati
mereka disamping mereka, selagi berpapasan, dia itu mengawasi Tiauw Tjong bertiga.
Debu mengepul selagi dia lewat.
Tiauw Tjong bertiga jalankan kuda mereka seperti biasa, tapi Baru lima atau enam lie,
mereka dengar pula tindakan kaki kuda dibelakang mereka, makin lama datangnya makin
dekat, akhirnya penunggang kuda itu lewati mereka, hingga mereka tampak orang ada
bungkus kepala dengan cita hijau, romannya gagah.
"Ini orang aneh kelakuannya," kata Tiauw Tjong. "kenapa dia balik pula?"
Memang, itulah ada penunggang kuda yang tadi papaki mereka.
Peng Kie tidak menjawab, hanya ia bilang: "Sebentar lagi, Hauw Kongtjoe, kau lari sendiri
saja!"
Pemuda itu terperanjat.
"Apa? Kembali ada penyamun?" tanya dia.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
"Kita jalan tak usah sampai lima lie, bakal terbit lelakon," kata Peng Kie. "Kita tak dapat
mundur, dari itu, kita mesti menerjang dan lolos!"
Hatinya Tiauw Tjong, juga kacungnya, jadi tidak tetap. Peng Kie sendiri tegang sendirinya.
Tapi masih mereka jalankan kuda mereka dengan pelahan.
Mereka Baru lewat kira-kira tiga lie, tiba-tiba terdengarlah mengaungnya anak panah, yang
melayang di udara, kemudian menyusul itu, tiga penunggang kuda, yang melintang
ditengah jalan.
Peng Kie maju didepan dua kawannya, ia rangkap kedua tangannya.
"Aku ada si orang she Yo dari Boe Hwee Piauw Kiok," ia perkenalkan diri," tetapi aku
bukannya sedang antar piauw, kita sedang bikin perjalanan saja, itulah sebabnya kenapa
aku tidak kirim karcis nama untuk mengunjungi tjiongwie. Ini ada Hauw Siangkong, yang
sedang pesiar, dia adalah satu anak sekolah. Aku harap kebaikan tjiongwie supaja kami
diberi jalan lewat."
Peng Kie berpengalaman, namanya cukup terkenal, tapi karena tangannya terluka, dan
menyangka rombongan didepannya ada punya hubungan sama rombongannya si Tjoe
beramai ia sengaja berlaku merendah.
Satu diantara tiga pemegat itu, yang tangannya tak bersenjata, tertawa sendirinya.
"Kami kekurangan uang, kami mau minta pinjam seratus tail," kata dia. Dia omong dengan
lidah Amoy, Hokkian.
Peng Kie dan Tiauw Tjong saling mengawasi dengan melengak, tak mengerti mereka akan
kata-katanya orang itu.
"Kami hendak pinjam uang seratus tail, kamu mengerti atau tidak?" tegaskan si
penunggang kuda dengan ikat kepala hijau, yang tadi mundar-mandir dengan kudanya.
Menampak orang ganas, Peng Kie jadi gusar.
"Sudah belasan tahun aku si orang she Yo berkelana, belum pernah aku menemui orangorang
begini kurang ajar!" ia berseru.
"Tapi hari ini aku akan bikin kauorang lihat!" kata orang yang pertama buka suara, yang
lantas turunkan gandewa dan peluruh dari bebokongnya, lalu dengan beruntun, ia
lepaskan tiga biji pelurunya keudara, menjusul mana, ia memanah pula, terhadap tiga
peluru yang pertama, hingga semuanya mengenai dengan jitu, hingga kesudahannya,
enam peluru runtuh sendirinya.
Peng Kie melongo menyaksikan keliehayan orang itu, tapi djusteru itu, mendadakan ia
rasakan sakit pada lengannya kiri, hingga goloknya terlepas dan jatuh tanpa ia merasa.
Nyata ia telah dipanah peluru dengan ia tidak diketahui! Orang yang ketiga segera maju
dengan djoan-pian ditangan, dengan "Kouw teng bek sie", atau "Rotan tua melilit pohon",
segera saja ia sambar pinggangnya piauwsoe dari Boe Hwee Piauw Kiok.
Peng Kie majukan kudanya, akan menyingkir dari serangan itu.
Penjerang itu menyabat ketanah, untuk sambar dan lilit goloknya si piauwsoe, untuk ia
ambil, selagi berbuat demikian, sembari tertawa, ia majukan kudanya melewati Hauw
Kong, terhadap siapa, ia membacok, maka sekejab saja, buntalan dibelakangnya kacung
itu terputus dan jatuh. Habis membacok, dia kasi kudanya kabur terus.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Sementara itu, si tukang panah larikan kudanya, akan susul dia punya kawan, ia berlaku
begitu cepat hingga dia dapat tanggapi buntalan yang lagi jatuh hingga buntalan itu tak
sampai jatuh ketanah, cuma untuk itu, ia perlu cenderungkan tubuhnya.
"Terima kasih!" kata ia sembari tertawa, sebab ia rasakan buntalan itu antap.
Orang yang ketiga menyusul pergi, maka dilain saat, ketiganya sudah menghilang.
Peng Kie jadi sangat lesu, ia sangat berduka, karena mendongkol pun sia-sia saja, tak
sanggup ia berbuat suatu apa menghadapi tiga orang liehay itu.
Hauw Kong bingung tidak kepalang.
"Mana bisa kita pulang?" katanya. "Uang itu semua ada didalam buntalan itu...."
"Mari kita jalan," mengajak Peng Kie, yang tetap lesu. "Masih untung yang jiwa kita tidak
turut lenyap!"
Tiauw Tjong tunduk, ia ikuti piauwsoe itu. Ia lihat, memang mereka tak berdaya.
Kira setengah jam mereka sudah berjalan, lantas mereka dengar tindakan kaki kuda
dibelakang mereka, berketoprakan sangat berisik, hingga mereka menoleh, dan mereka
jadi sangat kaget. Mereka tampak, tiga penyamun tadi balik kembali, debu mengepul naik
tinggi.
Peng Kie bergidik sendirinya. Entah apa maunya mereka itu.
Tiga orang itu dapat menyandak dengan cepat, selagi tiga korban mereka mengawasi
dengan bengong, ketiganya loncat turun dari kuda mereka, lalu menghadapi diaorang itu,
mereka memberi hormat.
"Nyata kita ada orang-orang sendiri!" kata satu diantaranya. "Maaf, maafkan kami. Kami
tak kenali djiewie, kami telah berbuat keliru, harap djiewie tidak buat kecil hati."
Lantas seorang diantaranya sodorkan bungkusan yang dirampasnya pada Hauw Kong. Ia
menyerahkan dengan kedua tangannya.
Hauw Kong tidak berani lantas menyambuti, ia awasi dulu kongtjoenya.
Tanpa bersangsi, Hauw Kongtjoe manggut, atas mana, kacungnya sambuti bungkusan itu.
"Aku minta tanya she dan nama djiewie?" lalu menanya orang yang bersenjatakan djoanpian,
rujung lemas.
Tiauw Tjong sebutkan nama mereka, mendengar mana, orang itu mengawasi dua
kawannya, sebab heran mereka dengar, dua orang itu ada satu piauwsoe dan satu
mahasiswa putera seorang berpangkat.
"Aku sendiri she Thio dan ini dua saudara ada persaudaraan Lauw," kemudian ia
perkenalkan diri. "Hauw Kongtjoe, coba setelah bertemu, kau perlihatkan tek-pay, tak nanti
jadi terjadi salah mengerti ini. Beruntung kami tak sampai melukai kamu."
Mendengar itu, Baru Tiauw Tjong mengerti khasiatnya tek-pay itu, karena mana, ia tertawa
sendirinya. Ia tetap tidak bilang suatu apa.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
"Tentunya djiewie hendak pergi ke gunung Lauw Ya San," kata pula si orang she Thio itu.
"Mari kita berjalan ber-sama2. Dua saudara Lauw ini ada asal Hokkian, mereka tak bisa
bicara dialek utara, tetapi mereka dapat mengerti omongan kita."
Dua saudara Lauw itu manggut, untuk benarkan si Thio.
Tiauw Tjong dan Peng Kie percaya mereka ini ada penyamun-penyamun besar, tetap hati
mereka tidak tenteram.
"Bersama saudara Yo ini, aku hendak pulang ke Hoolam, kami tak pergi ke Lauw Ya San,"
akhirnya Hauw Kongtjoe bilang.
Mendengar jawaban ini, nampaknya si Thio gusar.
"Lagi tiga hari adalah Pee-gwee Tjap-lak," kata dia. "Dari tempat ribuan lie kami sengadja
datang ke Siamsay ini, maka kenapa kamu, yang sudah sampai, tidak mau naik gunung?"
Bingung juga Tiauw Tjong dan kawannya. Mereka tak tahu, apa perlunya mesti panjat
gunung Lauw Ya San. Mereka tak ketahui juga, apa bakal dilakukan Pee-gwee Tjap-lak -
tanggal enambelas bulan delapan itu. Tapi mereka tak sudi akui bahwa mereka tak tahu itu
semua.
"Di rumahku ada urusan sangat penting hingga aku mesti segera pulang," Tiauw Tjong
kata pula.
"Dengan panjat gunung, tempomu cuma terganggu dua hari!" kata pula si Thio, romannya
tetap gusar. Dengan melewati gunung, kamu tidakhendak hunjuk hormatmu, apa dan
artinya sahabat-sahabat dari San Tjong?"
Kembali Hauw Kongtjoe bingung. Apakah itu "San Tjong"? Benda apakah itu? Peng Kie
berpengalaman, ia mengerti, tak dapat mereka tak pergi ke Lauw Ya San. Laginya, ia insaf,
bencana lebih besar bagaimana juga, mereka mesti berani hadapi, sebab itu nampaknya
mesti dihadapi. Disebelah itu, nampaknya orang tidak bermaksud buruk.
"Kita orang Baru saja bertemu, samwie ada begini baik hati, baiklah, bersama-sama Hauw
Kongtjoe, aku nanti turut samwie," akhirnya dia kata.
Dengan segera si Thio perlihatkan roman girang, dia tertawa.
"Mestinya telah aku duga, tak mestinya djiewie tak hargai persaudaraan," kata ia.
Sampai disitu, berenam mereka jalan sama-sama. Selama itu, si Thio jadi seperti
pemimpin. Dimana mereka sampai cuma dengan gerak-gerakan tangan, dengan kata-kata
yang Tiauw Tjong tak mengerti, mereka lewat tanpa rintangan, semua rumah penginapan,
semua rumah makan, tak sudi terima pembayaran penginapan dan makanan, sebaliknya,
pelayanan ada perlu dan manis sekali.
Selang dua hari, mereka ini sudah mendekati kaki gunung Lauw Ya San, gunung Gaok
Tua. Disitu mereka lantas lihat banyak orang lain, yang berlerot seperti tak putusnya,
dandanan mereka berlain-lainan, potongan orangnya pun berbeda, ada yang gemuk, ada
yang kurus, yang jangkung dan kate, hanya yang sama, mereka semua seperti mengerti
ilmu silat. Dan kebanyakan dari mereka itu kenal dengan si Thio dan dua saudara she
Lauw itu, mereka saling tegur.
Peng Kie dan Tiauw Tjong bersikap tak hendak cari tahu rahasia orang, maka itu, selagi
orang bicara, mereka sengaja berdiri jauh-jauh, tapi mereka bisa dengar pembicaraan
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
mereka, yang berlidah Selatan dan utara, Timur dan Barat, tidak ketentuan. Mereka pun
tahu pasti, diaorang datang dari tempat yang jauh.
Buat apa mereka datang kemari? Ini ada hal yang gelap untuk Tiauw Tjong berdua.
Malam itu, Tiauw Tjong berenam mondok disebuah penginapan dikaki gunung, untuk siap
akan besok pagi-pagi mandjat gunung Lauw Ya San.
Benar sedangnya orang bersantap sore, mendadakan ada datang satu orang yang terus
memberi kabar: "Tjouw Siangkong sampai!" Ata situ, delapan atau sembilan bagian orang
segera berbangkit dan merubul keluar dari penginapan.
"Mari kita pun melihat," mengajak Yo Peng Kie kepada Tiauw Tjong, ujung baju siapa ia
tarik.
Tiauw Tjong menurut, keduanya turut keluar.
Diluar hotel, semua orang berdiri dengan rapi dan tenang, mereka seperti lagi menantikan
orang, entah siapa.
Tidak terlalu lama, terdengarlah tindakan kaki kuda diarah barat gunung, maka semua
mata ditujukan kesana.
Segera juga tertampak datangnya seorang anak muda umur dua-puluh tujuh atau delapan
tahun, yang kudanya dikasi jalan pelahan-lahan, tapi setelah dia lihat banyak orang
menyambut, dia larikan kudanya, untuk menghampirkan, setelah sampai, dia loncat turun
cepat sekali.
Dari antara orang banyak segera maju seorang bertubuh besar, akan sambuti kudanya si
anak muda, siapa sendirinya bertindak, akan manggut kepada semua penyambutnya.
Ketika ia tampak seorang dengan dandanan sebagai mahasiswa, ia memberi hormat.
"Siapa tuan ini?" tanya dia.
"Aku yang rendah she Hauw," sahut Tiauw Tjong. "Bolehkah aku mengetahui she dan
nama besar dari tuan?"
"Aku ada Tjouw Tiong Sioe," jawab si anak muda, dengan lakunya hormat.
Tiauw Tjong memberi hormat sambil memuji.
Tiong Sioe bersenyum, terus ia bertindak kedalam rumah penginapan.
Peng Kie tarik sahabatnya kepinggiran.
"Nampaknya mahasiswa she Tjouw ini ada berpengaruh," berbisik dia. "Pergi kau bicara
dengannya, supaja dia ijinkan kita lanjuti perjalanan kita. Sama-sama orang sekolahan,
tentu leluasa untuk kamu berbicara...."
Tiauw Tjong anggap pikiran sahabat ini benar, ia lantas bertindak kedalam, ke pintu kamar
sianak muda, yang sudah lantas masuk kedalam sebuah kamar, Ia sengaja batuk-batuk,
sesudah mana, ia mengetok dengan pelahan. Ia pun dengar suaranya orang membaca
buku didalam kamar, yang segera berhenti setelah ia mengetok beberapa kali, segera
disusul sama terbukanya daun pintu.
"Didalam rumah penginapan ada sepi, saudara Hauw datang untuk bicara, inilah bagus!"
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
kata si orang she Tjouw, yang sambut tetamunya.
Tiauw Tjong masuk, segera ia tampak sejilid buku diatas meja dimana ada tulisan, rupanya
ada rencana kerajaan.
Kuatir orang curiga, Tiauw Tjong tidak mengawasi lama2, terus saja ia duduk.
Mulai bicara, Tjouw Tiong Sioe tanya asal-usul orang, atas mana Tiauw Tjong tidak
umpatkan dirinya.
"Oh!...." Tiong Sioe keluarkan seruan tertahan, apabila ia ketahui, tetamunya ada
puteranya Houw-pou Siang-sie Hauw Soen. "Ayahmu itu ada satu menteri yang putihbersih,
kami semua ada hargai dia."
"Tak berani aku terima pujian ini," Tiauw Tjong merendahkan diri. Kemudian ia ceritakan
bagaimana, sedang pesiar, ia bertemu sama oppas dan serdadu-serdadu yang jahat,
bagaimana Peng Kie tolongi dia, sampai ia ketemui orang-orang yang berikan mereka
tekpay. Ia tidak tuturkan bahwa itu malam mereka pergoki banyak emas-perak dan kepala
orang dalam peti kayu.
Tjouw Tiong Sioe tertawa.
"Inilah djodoh yang kita bertemu disini," kata dia. "Besok saudara boleh ikut aku naik
kegunung, untuk belajar kenal dengan banyak orang gagah, pasti kau akan bergembira.
Asal saudara tidak uwarkan pengalamanmu disini, aku tanggung kau tidak bakal hadapi
ancaman malapetaka."
Lega juga hatinya Tiauw Tjong mendengar kata-kata itu, karena itu, ia suka pasang
omong, terutama mengenai ilmu sastera, tetapi justeru karena ini, ia dapat kenyataan,
orang she Touw itu tidak terlalu terpelajar, sebaliknya dilain pihak, Tjouw Siangkong ini
kagumi dia.
Pasang omong sampai jam dua, Baru Tiauw Tjong kembali kekamarnya dimana Peng Kie
sibuk menanti-nanti dia, piauwsoe ini sampai jalan mundar-mandir saja, dia lega hatinya
melihat si anak muda berwajah terang.
(Bersambung bab ke 2)Besoknya ada Ting Tjioe, harian tanggal lima-belas bulan delapan
yang indah, Tiauw Tjong bertiga turut Tjouw Tiong Sioe panjat gunung Lauw Ya San.
Mereka berangkat pagi-pagi, diwaktu tengah hari, sampailah mereka ditengah gunung
dimana sudah menantikan belasan orang dengan barang hidangan, untuk semua orang
berhenti sebentar, akan bersantap dan minum, untuk sekalian beristirahat, kemudian Baru
mereka mendekati terlebih jauh. Adalah sejak ini, seterusnya, saban-saban ada orangorang
yang menjaga, yang menanya dan memeriksai sesuatu pengunjung. Ketika
gilirannya Tiauw Tjong bertiga dimintai keterangan, Tiong Sioe cuma manggut pada si
petugas, lantas mereka dikasi lewat tanpa pertanyaan apa jua.
"Sungguh berbahaya!" kata si kongtjoe dalam hatinya. Ia makin insaf pengaruhnya orang
she Tjouw ini. Ia girang semalam ia telah pasang omong dengan orang ini yang
berpengaruh. Ia hanya belum tahu, apa akan terjadi terlebih jauh.
Diwaktu magrib sampailah semua orang diatas gunung dimana ada beberapa ratus orang
yang berbaris rapih, untuk menyambut, mereka itu jangkung dan kate, kurus dan gemuk,
tidak rata, semua beroman keren. Satu diantaranya, rupanya yang jadi kepala, maju untuk
sambut Tiong Sioe,sesudah mana, sambil bergandengan tangan, mereka sama-sama
masuk kedalam sebuah rumah yang besar.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Diatas gunung itu ada terdapat beberapa puluh rumah, yang letaknya berpencaran, yang
paling besar adalah rumah tadi, yang mirip dengan sebuah kuil. Tidak ada panggung atau
pagar-pagar seperti benteng, hingga keadaan itu tak mirip-miripnya dengan sarang
berandal.
Peng Kie tidak sangka bahwa rumah-rumah itu ada demikian sederhana. Ini ada
pengalaman Baru bagi ia, yang sudah belasan tahun berkelana. Ia pun tidak mengerti
mengenai wajahnya semua orang itu, yang datang dari pelbagai penjuru. Mereka ada
sahabat kekal satu dengan lain, pertemuan mestinya menggirangkan mereka, tapi
buktinya, orang rata-rata ada berduka dan tak puas.....
Tiauw Tjong bertiga diantar kesebuah kamar kecil, untuk mereka sendiri, sebentar
kemudian, ada orang mengantari barang hidangan, ialah nasi serta empat macam sayur
dan dua-puluh lebih bahpauw.
"Entah apa yang mereka bakal bicarakan...."begitu Tiauw Tjong dan Peng Kie saling tanya
malam itu. Mereka tidak tahu juga, mereka itu bakal lakukan apa.
Besoknya ada Peegwee Tjaplak - tanggal enam-belas bulan delapan, Tiauw Tjong dan
Peng Kie bangun pagi-pagi, setelah bersihkan diri dan sarapan, mereka keluar akan jalanjalan
ditepi gunung. Ini kali mereka lihat juga orang-orang dengan kepala atau muka
bercacat, kurang tangan atau kaki, suatu tanda dari medan pertempuran. Mereka tidak
ingin terbitkan gara-gara, maka lekas-lekas mereka kembali kekamar mereka, terus mereka
tak keluar lagi.
Siang itu, sampai sore, barang makanan tetap sama seperti paginya, sayur melulu, hingga
Peng Kie mendumel dalam hatinya : "Celaka, orang desak aku dengan ini macam
hidangan yang tawar melulu!...."
Mendekati malam, seorang datang kekamarnya Tiauw Tjong.
"Tjouw Siangkong undang kamu ke pendopo untuk saksikan upacara," kata dia, yang
menyampaikan undangan.
Tiauw Tjong dan Peng Kie, yang sudah dandan, lantas ikut keluar.
Hauw Kong hendak turut majikannya, tapi si pengundang tolak dia.
"Saudara cilik, kau tidur saja siang-siang," katanya.
Tiauw Tjong lewati beberapa rumah batu, Baru mereka sampai di kuil, yang pakai nama
Tiong Liat Soe, tulisannya bagus dan keren.
"Entah kuil siapa ini," pikir Tiauw Tjong, menduga-duga. Bersama Tiong Sioe ia ikut
masuk terus kedalam. Di serambi, dikiri dan kanan, ada banyak para-para senjata dengan
pelbagai macam senjatanya, delapan-belas rupa, yang semua terawat baik, bersinar
bergemirlapan.
Di pendopo sudah berkerumun banyak sekali orang, barangkali dua atau tiga-ribu, yang
memenuhi ruangan yang luas.
Tiauw Tjong dan kawannya heran kenapa digunung itu bisa berkumpul demikian banyak
orang.
Di tengah ruangan, Tiauw Tjong lihat satu patung yang beroman sebagai satu panglima
perang, kopiahnya kopiah perang emas, jubahnya jubah perang berlapis baja, tangan
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
kirinya mencekal pedang kebesaran, Siang-hong Poo-kiam, dan tangan kanannya
memegang leng-kie, bendera titah.
Patung itu punyakan muka yang kecil dan bersih tapi keren romannya, kumis-jenggotnya
tiga aliran,matanya memandang kedepan, sinarnya rada guram, seperti orang berduka.
Dikedua sampingnya ada masing-masing sebaris sin-wie.
Karena ia berdiri jauh, Tiauw Tjong tidak dapat baca tulisan namanya patung itu.
Diempat penjuru ruangan dikibarkan banyak bendera, disitu pun kedapatan banyak kopiah
perang, pelbagai alat senjata dan pakaian kuda, dan benderanya beraneka-warna, ada
yang bertuliskan huruf-huruf. Disini pun semua roman ada berduka, hingga Hauw
Kongtjoe jadi sangat bingung.
Akhir-akhirnya, berbangkitlah satu orang jangkung-kurus, yang duduk disamping patung,
ia sulut lilin, ia pasang hio, lalu ia serukan : "Mulai sembahyang!"
Semua orang berlutut serentak, maka Tiauw Tjong dan Peng Kie pun turut tekuk lutut.
Tjouw Tiong Sioe maju kemuka, untuk angkat tjee-boen, untuk dibacakan.
Peng Kie tidak mengerti bunjinya tjee-boen itu, tidak demikian dengan Tiauw Tjong, yang
heran dan kaget, hingga ia keluarkan keringat dingin. Disitu pemerintah Boan dicaci habis,
dan kaisar Tjong Tjeng pun tidak dikasi hati, kaisar ini dkatakan tolol dan tak dapat
membedakan kansin dari tiongsin, antara dorna dan menteri setia, merusak Negara,
melulu menjadi orang berdosa antara cucu-cucunya Oey Tee. Lebih jauh, Beng Thay-houw
sendiri turut dicela sebab sudah membunuh Tjie Tat, Na Giok dan Lauw Kie, menteri2
berjasa. Yan Ong pun dimaki sebagai penyiksa rakyat dan Hie Tjong sebagai pekakas
orang kebiri, karena banyak menteri besar sebagai Him Teng Pek kena dihukum mati.
Tjong Tjeng dikatakan sewenang-wenang, sudah celakai "jendral" mereka, jendral (Goanswee)
yang gagah dan berjasa besar.
Sampai disitu mengertilah Tiauw Tjong, patung itu ada patung sang jendral, ialah Tok-boe
Wan Tjong Hoan dari Liauwtong yang sudah berjasa berulang-ulang melabrak angkatan
perang Boan, membinasakan Tjeng Thay-tjouw Nuerhacha, hingga bangsa Boan sangat
takut terhadapnya.
Setelah mendengar tjee-boen itu, Tiauw Tjong awasi patung, lalu ia merasakan melihat
patung itu bagaikan hidup bersemangat.
Akhirnya tjee-boen, yang membuat Tiauw Tjong kembali kaget, adalah sumpah para
hadirin untuk membasmi musuh Boan, guna melenyapkan penasaran jendral mereka
supaja rohnya si jendral puas ditanah baka.
"Hormatilah Goanswee kita serta panglima yang turut dia berkorban!" Tjouw Tiong Sioe
akhirkan pembacaannya.
Semua orang lantas menjura, atas mana satu bocah yang berpakaian berkabung, yang
telah maju kedepan, akan balas hormatnya orang banyak itu.
Melihat itu anak kecil, buat kesekian kalinya, Tiauw Tjong dan Peng Kie kaget, hatinya
berdebaran. Mereka kenali, bocah itu adalah si kacung yang berani lawan harimau, yang
dipanggil Sin Tjie! Habis pemberian hormat, semua orang berbangkit, muka mereka
berlinangkan air mata.
"Saudara Hauw," kata Tiong Sioe kemudian pada Tiauw Tjong, "saudara terpelajar tinggi,
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
bagaimana saudara lihat tjee-boen ini? Kalau ada yang tidak sempurna, tolong kau ubah!"
"Aku tak berani, saudara Tjouw," jawab Hauw Kongtjoe.
Tapi Tiong Sioe titahkan orang sediakan perabot tulis.
"Aku ajak saudara mendaki gunung ini justeru untuk mohon kau menulis suatu apa untuk
tambah kegemilangan dari Wan Tay-goanswee!" ketua ini.
Tiauw Tjong jadi serba salah. Ia ketahui baik penasarannya Wan Tjong Hoan, yang
terbinasa sebagai korban dari tipu-muslihat merenggangkan dan mengadu-domba dari
kaisar Boan, tapi karena goanswee itu dihukum mati kaisar, apabila dia dikatakan
penasaran, itu berarti mencela kaisar, hukuman untuk ini perbuatan adalah leher kutung!
Tapi Tiong Sioe telah memohon, bagaimana itu dapat ditolak? Dasar ia pintar, ia cuma
berpikir sebentar, lantas ia angkat pit dan menulis: "Naga kuning belum sempat dihajar,
Boe Bok sudah mengandung penasaran.
Kerajaan Han sedang menantikan kebangunan, Atau bintangnya Tjoe-kat telah guram
padam.
Bagaimana menyedihkan!"
Dengan "Naga Kuning", (Oey Liong) diartikan bangsa Tartar (Liauw), sedang Boe Bok ada
gelaran suci untuk Gak Hoei, dan dengan Tjoe-kat dimaksud Tjoe-kat Liang. Setjara begini,
Tiauw Tjong bisa egos diri umpama tjee-boen itu terjatuh kedalam tangan kaisar.
Tjong Sioe senang sekali dengan tulisan itu, yang huruf-hurufnya bagus, sedang dengan
begitu, Wan Tjong Hoan dibandingkan dengan Gak Hoei dan Tjoe-kat Liang. Ia lantas
bacakan itu dan terangkan artinya pada semua hadirin, hingga mereka pun puas, semua
menghaturkan terima kasih pada mahasiswa ini. Dengan begitu, Tiauw Tjong dan Peng Kie
tidak lagi dipandang sebagai orang luar.
"Surat dan pujian saudara ini sempurna sekali," kata Tiong Sioe kemudian. "Aku nanti
perintah untuk ukir ini diatas batu disamping kuil ini."
Tiauw Tjong menjura, untuk merendahkan diri.
Habis itu, semua orang duduk kembali, lalu seorang berdiri, untuk membacakan laporan,
maka Tiauw Tjong jadi ketahui, kebanyakan hadirin ada bekas sebawahan Wan Tjong
Hoan, setelah terbinasanya Goanswee ini, mereka bubar-mencar tapi gunung Lauw Ya San
dijadikan tempat berkumpul, untuk hormati kepala perang itu.
Hal yang belum jelas bagi Hauw Kongtjoe adalah maksud terlebih dalam dari ini macam
pertempuran, rupa-rupanya mereka masih kandung maksud apa-apa.
Setelah laporan itu, pembaca acara memanggil : "Hoe Tjongpeng Tjoe Kok An dari Keetin!"
Satu orang lantas berbangkit, tetapi melihat orang itu, Tiauw Tjong dan Peng Kie terkejut.
Orang itu ada si petani she Tjoe, yang ajak ia masuk kedalam rumah gubuknya, ke gua
rahasia di dalam gunung.
"Kiranya dia ada satu panglima ternama yang menentang bangsa Liauw," pikir piauwsoe
itu. "Masih berharga bagiku yang aku kalah ditangannya...."
Tjoe Kok An berdiri buat terus berkata : "Ilmu silat pemimpin muda kita selama satu tahun
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
ini telah peroleh kemajuan pesat dan surat pun ia mengenal tambah banyak. Ilmu silatku,
ilmu silatnya saudara-saudara Nie dan Lo, semua telah diwariskan kepadanya, maka itu
sekarang aku hendak minta saudara-saudara pujikan lain guru untuk didik ia terlebih
jauh."
"Bagus!" jawab Tjouw Tiong Sioe. "Tentang itu, sebentar kita damaikan pula. Bagaimana
urusan menyingkirkan orang jahat?"
Si Nie, si pembunuh harimau, berbangkit, menggantikan si Tjoe, yang telah berduduk pula.
Kata ia : "Si pengkhianat she Oen telah dibinasakan Lo Tjham-tjiang di propinsi Tjiatkang
dalam bulan yang lalu, dan pengkhianat Doe akulah yang bunuh pada sepuluh hari yang
lalu ketika aku susul dia di Tiang-an. Kepala mereka berdua ada disini."
Habis berkata, si Nie jumput satu kantong yang diletaki dilantai, ia buka itu, untuk
keluarkan dua kepala orang.
"Bagus, bagus!" banyak orang berseru, kemudian pun terdengar cacian dan kutukan
terhadap dua pengkhianat itu.
Tiong Sioe sambuti dua kepala orang itu, untuk diletaki diatas meja sembahyang, setelah
mana, ia berlutut menjalankan kehormatan.
Tiauw Tjong kenali dua kepala itu, ialah yang Peng Kie pergoki didalam peti kayu. Baru
sekarang ia mengerti, itulah dua musuhnya Wan Tok-boe.
Setelah itu beberapa orang lain, dengan bergiliran, keluarkan masing-masing satu kepala
orang, yang juga diletaki diatas meja sembahyang, hingga disitu semua ada belasan
kepala tanpa tubuh.
Sesuatu dari orang-orang itu berikan laporannya seperti si Nie, dari situ jadi dapat
diketahui, salah satu kepala adalah kepalanya satu giesoe yang Tiauw Tjong dengar dari
ayahnya dulu pernah dakwa Wan Tjong Hoan, yang dituduh bersekongkol hendak menjual
Negara, pantas sekarang dia dibinasakan.
"Sekarang tinggallah satu musuh besar kita terhadap siapa kita belum mencari balas!"
kata Tiong Sioe setelah pelbagai laporan itu. "Raja Tartar dan kaisar Tjong Tjeng masih
bercokol atas tahtanya! Bagaimana kita mesti menuntut balas? Coba saudara-saudara
utarakan pikiranmu masing-masing."
Seorang kate berbangkit.
"Tjouw Siangkong!" berkata ia dengan suaranya yang nyaring luar biasa, hingga Tiauw
Tjong dan Peng Kie jadi heran, sebab itulah suara tak dinyana dari soerang kate sebagai
dia.
"Tio Tjongpeng hendak bicara apa?" tanya Tiong Sioe. "Silakan!"
"Menurut aku," berkata si kate itu. Tapi dia belum sempat meneruskannya ketika dari luar
muncul satu orang, sikapnya ter-gesa2, terus saja ia kata : "Tjiangkoen Lie Tjoe Seng ada
kirim utusan!...."
Mendengar ini, banyak orang perdengarkan suara tak nyata.
"Tio tjongpeng, mari kita sambut dulu utusannya Lie Tjiangkoen," Tiong Sioe mengajak.
"Baik," jawab tjhamtjiang itu, malah dialah yang mendahului bertindak keluar.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Sekalian hadirin berbangkit, untuk pergi keluar.
Pintu besar sudah lantas dipentang, dua orang, dengan obor-obor besar ditangan, berdiri
dikiri dan kanan, kemudian tertampak tiga orang bertindak masuk.
Selama ia berada di Siamsay, Peng Kie telah dengar nama besar dari Lie Tjoe Seng yang
berani bunuh pembesar negeri dan berontak, maka sekarang ia ingin ketahui utusannya
pemberontakan itu.
Dari tiga orang itu, yang jalan terdepan, ada seorang umur empat-puluh lebih, romannya
bengis, tetapi dandanannya seperti rakyat jelata saja, sebab rambutnya kusut, kakinya
bersepatu rumput saja, tanpa kaos, dan bajunya, yang kapas hitamnya molos keluar,
tangan bajunya sudah pada pecah. Itulah roman umum dari petani di Siamsay.
Dari dua yang lain, yang satu berumur tiga-puluh lebih, kulitnya putih, romannya cakap,
tak miripnya dia dengan petani, dan kawannya, yang berusia dua-puluh lebih, bertubuh
besar-kekar, kulit mukanya rada hitam, tapi dia mirip dengan petani.' Sampai di thia, orang
yang pertama masih mengucap apa-apa, dimuka meja, ia berhenti untuk berdiri diam.
Adalah si muka putih, yang menggendol buntalan dibelakangnya, keluarkan lilin dan hio,
untuk disulut dan dipasang, sesudah mana, bertiga mereka menjalankan kehormatan
sambil berlutut dan manggut-manggut, atas mana si bocah pengangon kerbau turut tekuk
kaki, untuk membalas hormat itu.
Setelah upacara ini, si rambut kusut kata dengan nyaring : "Tjiangkoen kami Lie Tjoe Seng
ketahui halnya Wan Taytjiangkoen telah labrak bangsa Tartar di Liauwtong, dia telah
membuat jasa besar, tjiangkoen kami sangat kagum, maka sayang kemudian Wan
tjiangkoen telah dihukum mati oleh raja, hingga rakyat menjadi gusar dan berontak
karenanya. Kami, untuk dapat makan, sudah rampas rangsum Negara, kami bunuh
pembesar negeri, untuk ini, kami mohon perlindungan roh suci Wan Tjiangkoen. Mari kita
menerjang ke Pakkhia, buat bekuk raja dan menteri-menteri dorna, untuk bunuh mereka
satu demi satu, supaja dengan demikian, bisa kita balas sakit hati Taygoanswee serta
semua rakyat!"
Semua hadirin ketarik mengetahui Lie Tjoe Seng hargai jendral besar mereka
(taygoanswee). Mereka pun dapat kenyataan, walaupun suaranya kaku, utusan ini bicara
dengan sungguh-sungguh.
Tiong Sioe menjura, untuk beri hormat pada utusan itu.
"Terima kasih, terima kasih," kata ia, yang terus tanya she dan nama si utusan.
"Aku ada Lauw It Houw," jawab si utusan. "Lie Tjiangkoen ketahui saudara-saudara
hendak rayakan peringatannya Wan Taygoanswee, ia telah utus kami datang kemari."
Kembali Tiong Sioe menghaturkan terima kasih, kemudian ia perkenalkan dirinya.
"Saudara jadinya ada saudara muda dari tjiangkoen Tjouw Tay Sioe," kata si utusan.
"Kami ketahui nama besar dari Tjouw Tjiangkoen, kami semua kagumi dia...."
Selagi Tiong Sioe hendak pasang omong sama tetamunya ini, yang bermuka hitam si
tetamu, kawannya yang telah awasi para hadirin, mendadakan berlompat kepintu besar
dimuka mana segera ia berhenti, berdiri dengan membalik tubuh.
Semua orang heran, semua awasi tetamu ini.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Dengan tiba-tiba utusannya Lie Tjoe Seng itu tunjuk dua orang usia pertengahan diantara
para hadirin, terus ia tanya: "Kamu adalah orang-orang sebawahan Tjo Thaykam, apa
kamu hendak perbuat disini?"
Kata-kata ini membuat kaget semua orang.
Kaisar Tjong Tjeng sudah binasakan Goei Tiong Hian dan keluarga Keh dan singkirkan
kambratnya mereka ini, tetapi ia tetap curigai semua menteri besar, ia terus pakai orangorang
kebiri sebagai orang-orang kepercayaannya, maka juga, ia andalkan Thaykam Tjo
Hoa Soen siapa telah pimpin semua pahlawan rahasia dari kaisar, tugasnya melulu untuk
selidiki berbagai menteri. Inilah sebabnya kenapa semua hadirin heran.
Dua orang yang dituding itu, yang satu berumur kira-kira empat-puluh tahun, mukanya
berewokan kuning, dan yang kedua, rupanya putih tak berkumis, tubuhnya kate-dampak.
Si kate-dampak ini terkejut tapi segera ia tenang pula.
"Kau maksudkan aku?" tanya dia sembari tertawa. "Ah, jangan main-main...."
"Hm, main-main?" sahut si muka hitam. "Aku tahu bagaimana kau kasak-kusuk di rumah
penginapan, lalu kamu menyelusup masuk ke San-tjong ini. Tentu, kemudian kamu akan
beri laporan kepada Tjo Thaykam, hingga akhirnya, balatentara akan dikirim untuk
menyerbu kesini. Itulah buahnya kasak-kusuk kamu itu!"
Mendengar itu, si berewokan kuning hunus goloknya, dia hendak segera menyerang tapi
si muka putih cegah dia. Si muka putih ini bersikap tenang.
"Lie Tjoe Seng hendak bereskan sahabat-sahabat dari San-tjong, siapa pun ketahui ini!"
kata dia. "kau berniat merenggangkan kami, itulah tak mungkin terjadi!"
Suara ini halus tetapi tajam, itulah terang suaranya seorang kebiri, tetapi walaupun
demikian, suara ini memberi pengaruh, hingga banyak hadirin mengawasi si penuduh itu.
Lauw It Houw dandan sebagai petani, akan tetapi dia adalah seorang peperangan ulung,
dia cerdik, dia lantas bisa lihat orang curigai pihaknya.
"Kau siapa, tuan? Adakah sahabat dari San-tjong?" ia tanya dengan tenang.
Ditanya demikian, orang muka putih itu tergugu, dia berdiam.
Tiong Sioe lantas mendekati, untuk tanya: "Sahabat, adakah kau bekas sebawahan dari
Wan Taygoanswee? Kenapa mataku yang lamur tak kenali kau? Kau sebenarnya ada
sebawahan dari tjongpeng mana, dari kota mana?"
Si muka putih lihat tak dapat berpura-pura pilon lebih lama, ia lirik kawannya, ia kedipi
mata, lantas ia loncat kepintu. Perbuatannya ini segera disusul sahabatnya itu, malah dia
ini segera membacok pada si muka hitam, penuduhnya.
Si muka putih mirip orang banci tetapi gerakannya pesat sekali, dengan cepat telah
keluarkan senjatanya, sepasang poan-koanp-pit, yang mirip alat tulis, dengan itu, iapun
serang si muka hitam, yang ia arah dadanya. Senjata ini pun bisa dipakai menotok jalan
darah.
Utusannya Lie Tjoe Seng datang untuk hunjuk hormat, ia tidak siapkan senjata, menampak
dia diserang, semua hadirin kaget dan berkuatir. Dua rupa senjata serang ia dengan
berbareng. Maka itu, beberapa orang lantas bersiap, untuk bantu padanya. Akan tetapi
segera ternyata, dia liehay.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Dengan kesebatan luar biasa, dengan tangan kirinya, utusan Lie Tjoe Seng ini mendahului
sambar lengannya si berewokan kuning, tubuhnya cuma mendak sedikit, berbareng
dengan itu, tangan kanannya, dengan dua jari, menyambar kearah sepasang matanya si
penyerang dengan poan-koan-pit. Karena ia telah mendak sambil mengegos sedikit, ia
tidak kuatir senjata musuh mengenai sasarannya.
Utusan ini diserang terlebih dahulu, akan tetapi karena kegesitannya, kedua tangannya
dapat melayani kedua musuh.
Dua-dua musuh lantas mundur sambil tarik pulang tangan mereka, si berewokan sambil
lebih dahulu loloskan tangannya dari cekalan.
Semua hadirin berubah menjadi girang melihat utusan itu demikian liehay, mereka yang
hendak membantu pun urungkan niatnya masing-masing. Semua lantas menonton saja.
Selagi pertempuran berjalan, dua mata-matanya Tjo Thaykam sibuk sendirinya. Mereka
insyaf, walaupun mereka mengepung berdua, sebenarnya mereka sendiri berada didalam
sarang harimau, mereka dengan sendirinya terancam bahaya. Karena ini, mereka main
mundur dengan pelahan-lahan, akan kemudian mendadakan merangsak, untuk mendesak.
Utusannya Lie Tjoe Seng berkelahi dengan hati-hati, tapi daripada membela diri, ia lebih
banyak menyerang, tidak peduli ia bertangan kosong. Dengan begini, ia pun bisa
merintangi kedua musuh, yang berniat menghampirkan pintu, untuk loncat keluar, untuk
lari.....
Dalam sibuknya, si muka putih mainkan poan-koan pit secara hebat, ia ingin bisa totok
jalan darah lawan, untuk dibikin rubuh, sedang si berewokan kuning mendesak dengan
ilmu goloknya Boe-Seng-Boen asal Shoasay, satu kali ia mendak dengan tiba-tiba tetapi
goloknya membacok kebawah. Ini kalipun desakan ada sangat berbahaya. Akan tetapi,
orang semua lihat, utusan itu tetap tenang saja, benar ia mundur tapi dengan teratur.
Pertempuran berlanjut. Sebab pihak Tjo Thaykam ingin bisa angkat kaki, mereka coba
merangsak terus. Tapi mendadakan, si berewokan kuning terdengar menjerit, menjerit
kesakitan, goloknya terpental diantara hadirin.
Melihat demikian, Tjoe An Kok maju, akan tanggapi gegaman itu.
Berbareng sama terlemparnya golok, utusan Lie Tjoe Seng kirim tendangan terhadap
lawannya yang berewokan kuning itu, tidak ampun lagi, lawan itu terjungkal rubuh. Tapi
utusan itu tidak berhenti sampai disitu, Baru kaki kiri turun atau kaki kanannya
menggantikan melayang akan tendang juga lawannya yang kedua, si muka putih.
Lawan yang kedua ini liehay, ia bisa loloskan diri dari ancaman kaki itu, dilain pihak, ia
terus maju, akan balas menyerang. Lagi-lagi ia menotok kedada musuh, sepasang poankoan-
pit sengaja dimajukan silih-ganti.
Utusannya Lie Tjoe Seng berlaku gesit, ketika poan-koan-pit yang pertama, tangan kiri,
hampir mengenai dadanya, dengan tiba-tiba ia miringkan tubuh dan tangannya dipakai
menyambar ujung senjata musuh itu, begitu ia dapat mencekal, begitu ia membetot
dengan dikageti, hingga dalam sekejab saja, ia telah rampas senjata itu.
Poan-koan-pit tangan kanan, yang dipakai menyusul, telah menyusul dengan tak dapat
dibatalkan lagi, segera senjata ini diketok lawannya, yang gunakan poan-koan-pit kirinya
itu, maka kedua senjata beradu keras, nyaring suaranya, muncrat lelatu apinya.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Celaka untuk si muka putih, selagi tangannya sesemutan dan sakit karena bentrokan yang
hebat itu, ia juga tak dapat cekal lebih jauh sisa senjatanya itu, yang terlepas dan
terpental! Si muka hitam lantas saja tertawa pandang, sembari tertawa, tangan kanannya
menyambar dada musuh, untuk segera diangkat, lalu menyusul tangan kirinya,
menyambar celana musuh itu, sesudah mana, kedua tangannya, yang masing-masing
masih mencekal, dipentang dengan keras, hingga belum orang tahu apa-apa, terdengarlah
suara memberebet yang nyaring.
Ternyata celana si muka putih kena terbeset pecah dan tertarik hingga copot, hingga
orangnya Tjo Thaykam itu menjadi telanjang sebatas pinggang kebawah, hingga dilain
pihak, semua hadirin mengawasi dengan melongo.
Si muka hitam bicara.
"Kau ada orang kebiri atau bukan, biarlah orang banyak persaksikan!" berkata dia.
Baru sekarang semua orang seperti tersadar. Memang benar, si muka putih adalah
seorang kebiri, hingga - saking lucu - semua orang tertawa lebar, semua bertindak
mendekati, mengurung thaykam itu, muka siapa pucat, bahna jengah.
Dilain pihak lagi, semua orang kagumi utusannya Lie Tjoe Seng itu untuk kegagahannya.
Sementara itu, dua-dua mata-matanya Tjo Thaykam telah ditelikung.
"Untuk apa Tjo Thaykam kirim kamu kemari?" Tiong Sioe segera memeriksa. "Kamu ada
punya berapa kawan? Tjara bagaimana kamu bisa nyelundup masuk kesini?"
Dua orang itu bungkam.
Melihat orang membandel, Tiong Sioe kedipi Lo Tjhamtjiang, siapa sudah lantas datang
mendekati, dengan goloknya, ia bacok bergantian dua mata-mata itu, hingga kepala
mereka kutung, sesudah mana, kedua kepala diletaki diatas meja sembahyang.
"Jikalau tidak ada sam-wie, tentu sekali kami bakal alami bencana," kata Tiong Sioe
kemudian kepada utusannya Lie Tjoe Seng bertiga. Ia memberi hormat seraya terus
mengucap terima kasih.
"Tapi ini pun terjadi karena kebetulan saja," berkata Lauw It Houw. "Selama ditengah jalan,
kami lihat dua orang ini, yang sikapnya mencurigai, yang gerak-gerakannya gesit, karena
itu, selagi mondok, kami intai mereka, kesudahannya kami ketahui siapa adanya mereka.
Mereka rupanya tak sangka ada orang yang intai mereka, hingga mereka kasak-kusuk
dengan leluasa."
Sampai disitu, Tiong Sioe tanya dua kawannya orang she Lauw ini.
Orang yang beroman cakap itu mengaku she Thian, dan kawannya yang mukanya hitam,
she Tjoei.
Tjoe An Kok kagumi utusan yang gagah itu, sampai ia jabat orang punya tangan dan puji
padanya.
Kemudian Lauw It Houw bersama-sama Tjouw Tiong Sioe dan beberapa orang lagi, pergi
kebelakang, kekamar rahasia, untuk bicara. Utusan ini sampaikan amanatnya Lie Tjoe
Seng, yang suka bekerja sama-sama untuk gulingkan pemerintah.
Atas usul perserikatan itu, pihak Tjouw Tiong Sioe ragu-ragu, maka kemudian, Tiong Sioe
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
bilang : "Menurut aku, baiklah kitaorang bekerja sama-sama. Tjo Thaykam sudah ketahui
gerakan kita, kita harus perbesar djumlah kita. Dimana tujuannya Lie Tjiang-koen ada
sama dengan cita-cita kami, kita bisa bekerja sama-sama untuk lawan pemerintah dengan
berbareng kita sendiri bisa balaskan sakit hatinya Wan Thaygoanswee. Apa yang aku buat
kuatir adalah Tjo Thaykam nanti mendahului menyerang kita."
Pikiran ini dapat kesetujuan, maka putusan segera diambil.
Selagi didalam orang rundingkan cara-cara untuk bekerja sama-sama, diluar, Tjoe An Kok,
bersama si Nie, yang bernama Hoo, tarik tangannya si anak muda muka hitam she Tjoei,
yang bernama Tjioe San, untuk diajak ke tempat yang sepi.
"Tjoei Toako", kata An Kok, "Walaupun kita Baru pernah bertemu hari ini, hari pertama,
aku percaya kita sudah seperti sahabat kekal, maka itu harap kau tidak pandang kita
sebagai orang luar."
"Djiewie toako, dulu kamu telah hajar bangsa Tartar, kamu telah lindungi rakyat negeri"
berkata Tjioe San, "perbuatan itu ada perbuatan yang membikin aku kagum, sekarang aku
bisa bertemu sama sahabat-sahabat dari San-tjong, aku girang bukan main!"
"Aku ingin berlaku lancang aku ingin ketahui, guru toako itu siapa adanya?" tanya Nie
Hoo.
Ditanya tentang gurunya, matanya Tjioe San mendadakan menjadi merah.
"Guruku itu ada It-seng-loei Thio Pek Ya, sudah banyak tahun ia menutup mata," ia jawab.
Tjoe An Kok dan Nie Hoo saling mengawasi, terang mereka heran.
Nie Hoo ada polos, ia segera berkata pula: "Aku tahu It-seng-loei Thio Tjianpwee, namanya
yang besar kita kagumi, akan tetapi, Tjoei Toako, harap kau tidak gusar, sekalipun Thio
Tjianpwee berkepandaian tinggi, ia nampaknya masih beda jauh dengan kau."
Tjoei Tjioe San berdiam, ia tidak menyahuti.
"Memang benar, hijau asalnya dari biru," An Kok turut bicara, "memang sering terjadi,
murid suka melebihkan gurunya, akan tetapi barusan, melihat caranya toako kalahkan
kedua mata-matanya Tjo Thaykam, pasti toako ada punya kepandaian lain...."
Tjioe San bersangsi, tapi kemudian ia menyahuti juga.
"Djiewie ada kedua sahabat baik, tidak selayaknya aku sembunyikan apa-apa
terhadapmu," demikian katanya. "Memang, setelah soehoe menutup mata, aku telah
ketemu jodoh lain, seorang aneh. Dia ini merasa kasihan melihat aku, dia ajarkan aku
beberapa rupa ilmu pukulan yang menjadi kebiasaannya, tetapi ia telah suruh aku
bersumpah untuk tidak sebutkan nama atau gelarannya. Maka itu, djiewie toako, harap kau
maafkan aku."
Kedua orang she Tjoe dan Nie itu lihat orang bicara sungguh-sungguh.
"Jangan omong tentang maaf, toako," berkata An Kok. "Kalau aku sampai menanyakan
jelas kepadamu, itu disebabkan ada satu urusan yang penting."
"Apakah itu, djiewie?" Tjioe San tanya. "Segala apa yang aku sanggup kerjakan, aku tentu
suka lakukan untuk kamu. Diantara orang sendiri harap djiewie toako tidak sungkan2."
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
An Kok manggut.
"Harap tunggu sebentar, Tjoei Toako, kita hendak cari dua orang untuk bicara sebentar,"
kata ia.
Tjioe San lihat orang berlaku sesungguhnya, ia manggut.
An Kok lantas pergi, bersama-sama si Nie.
Mereka cari si Eng dan si Lo, yang diajak kesamping.
"Ada apa?" si Eng tanya.
"Aku mau bicara perihal utusan she Tjoei itu," jawab An Kok. "Tak satu dari kita sanggup
lawan boegeenya, sedang menurut caranya ia bicara, dia ada seorang jujur...."
"Melainkan mengenai gurunya, dia ragu-ragu bicara terus terang," Nie Hoo timpalkan.
Tjoe An Kok lantas tuturkan hal pembicaraan mereka sama si Tjoei itu. Ia pun kasi tahu ia
dan maksudnya si Nie.
Si Eng, ketika pembuatan tembok kota di Leng-wan, itu adalah buah rencananya, pada itu,
dia keluarkan tenaga tidak sedikit. Sedang si Lo , yang bernama Tay Kan, ada satu tukang
tembak meriam jempolan, selama peperangan di Leng-wan, dialah yang sulut meriam
besar Ang-ie Toa Pauw, hingga bukan sedikit tentara Boan yang terbinasa. Karena
jasanya, ia telah diangkat jadi Tjham-tjiang, letnan kolonel.
"Tak ada halangannya kita omong terus-terang dengannya." Kata Eng Siong kemudian.
"Setelah kita minta, kita lihat bagaimana sikapnya."
"Aku pikir baik kita tanya dulu pikirannya Tjouw Siangkong," Tjoe An Kok mengusulkan.
Usul ini dapat persetujuan, maka mereka lantas pergi kebelakang dimana Tjouw Tiong
Sioe sedang bicara dengan asik sekali sama Lauw It Hauw. Ketua itu dipanggil sebentar,
untuk diajak berdamai.
"Eng Soeya," berkata si siangkong," urusan ini mengenai kepentingan seumur hidup dari
tuan muda kita, sebelum kita ambil putusan, baiklah kau tanyakan dulu pikiran si orang
she Tjoei itu."
Eng Siong setuju, maka ia lantas ajak Tjoe An Kok, Nie Hoo, dan Lo Tay Kan pergi pada
Tjioe San.
"Tjoei toako, kami ada punya satu urusan untuk mana kami harap benar bantuanmu,"
berkata Eng Siong. "Maka itu....."
Tjoei San lihat orang ragu-ragu, ia jadi tidak sabar.
"Aku ada seorang kasar, jikalau ada apa-apa, titahkanlah aku," kata ia. "Asal apa yang aku
bisa, tidak nanti aku tidak menurut."
"Saudara Tjoei jujur, baiklah, kita juga hendak bicara terus terang," kata Eng Siong.
"Ketika Wan Taygoanswee teraniaya, ia ada meninggalkan satu putera, waktu itu, sang
putera Baru berumur tujuh tahun. Untuk tolongi putera itu, kita telah lakukan perampasan,
karena mana, tiga kali kami lakukan pertempuran, hingga dua saudara kami terbinasa.
Syukur untuk kami, kami berhasil menolongi putera itu."
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Tjioe San tidak bilang suatu apa, ia cuma perdengarkan suara tak nyata.
"Putera itu, yang menjadi tuan muda kita, bernama Wan Sin Tjie," kata Eng Siong
terangkan lebih jauh. "Kami berempat adalah yang didik ia dalam ilmu surat dan ilmu silat.
Dia ada berotak sangat terang, bahannya baik sekali, apa yang diajari dia lantas bisa, Baru
dua tahun, hampir habis semua kebisaan kami diturunkan kepadanya. Dia masih sangat
muda, ada beberapa rupa pelajaran yang ia masih belum menginsafinya, maka itu kami
pikir, apabila ia tetap berada dibawah pimpinan kami, sukar untuk dia peroleh kemajuan
terlebih jauh."
Mendengar sampai disitu Tjioe San segera mengerti maksud orang.
"Jadi saudara ingin aku yang teruskan mendidik dia?" ia tegasi.
Tjoe An Kok manggut.
"Tadi kami saksikan toako layani itu dua mata-mata dorna, kami dapat kenyataan toako
ada sepuluh kali lebih pandai daripada kami," berkata dia," maka jikalau toako sudi terima
dia sebagai murid, untuk didik padanya, kami percaya rohnya Wan Thayswee didunia baka
pasti akan sangat berterima kasih kepadamu...."
Lantas saja empat saudara itu menjura kepada sahabat baru ini.
Dengan cepat-cepat, Tjoei Tjioe San membalas hormat. Segera ia berdiam.
"Saudara-saudara sangat menghargai aku, turut pantas, tak dapat aku menampiknya,"
kata ia kemudian. "Hanya sayang sekarang ini aku mesti berdiam didalam tangsinya Lie
Tjiangkoen, siang dan malam, tidak ada ketentuannya waktu, saban-saban aku mesti
keluar untuk lakukan tugas, malah satu waktu, kami mesti bertempur dengan tentara
negeri, hingga tak dapat dipastikan, berapa hari lagi ada umurku. Maka itu, jikalau Wan
Kongtjoe mesti tinggal bersamaku didalam tangsi, aku sangat kuatir kegagalannya, Tidak
ada tempo senggang untuk aku mendidik dia, dilain pihak, keselamatannya berada dalam
ancaman bencana."
Alasan itu ada beralasan, mendengar itu, Eng Siong berempat jadi putus asa.
Tjioe San lihat orang berputus asa.
"Ada satu orang boegee siapa dapat menangkan aku berlipat-lipat," kata dia kemudian,"
jikalau dia suka terima Wan Kongtjoe, sungguh itu ada keberuntungan besar bagi kongtjoe
itu..." Tapi mendadakan ia goyang-goyang kepala, lalu ia ngoceh seorang diri: "Tidak,
tidak, inilah tak bisa menjadi...."
Eng Siong beramai heran.
"Siapa orang itu?" tanya dia begitupun Tjoe An Kok.
"Itulah si orang aneh yang aku sebutkan tadi," jawab Tjioe San. "Kepandaiannya tidak ada
batasnya. Dia ajari aku Baru enam bulan, aku telah punyakan kebisaanku seperti sekarang
ini, toh itu Baru kulitnya saja....."
"Siapa sebenarnya orang aneh itu?" tegaskan An Kok, yang girang tak kepalang.
"Dia ada seorang yang tabiatnya aneh," terangkan Tjioe San. "Dia telah ajarkan ilmu silat
padaku tetapi dia larang aku panggil guru kepadanya dan dia pun larang aku beritahukan
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
namanya kepada lain orang, maka itu, aku kuatir taklah bisa berhasil apabila Wan
Kongtjoe disuruh pergi belajar padanya."
"Dimana tinggalnya orang aneh itu?" Nie Hoo tanya.
"Dia juga tidak punya tempat kediaman yang pasti. Dia biasa pergi kesegala tempat, setiap
kali dia pergi, dia tidak mau beritahukan kemana perginya."
Eng Siong berempat kewalahan, tapi si Eng ini terus panggil Wan Sin Tjie untuk bocah ini
diperkenalkan kepada utusannya Lie Tjoe Seng itu.
Tjoei Tjioe San senang melihat ini anak, yang romannya cakap,yang tubuhnya sehat
sekali, kapan ia tanyakan pelajarannya Sin Tjie, Sin Tjie menyahuti dengan rapi.
"Eh, entjek Tjoei," tiba-tiba bocah ini tanya," ketika tadi entjek rubuhkan kedua mata-mata,
ilmu pukulan apakah yang entjek gunai?"
Tjioe San tertawa.
"Itu ada pukulan Hok Houw Tjiang, Harimau mendekam, salah satu petjahan dari Shatjaplak
Lou Kim-na-hoat."
"Demikian cepat gerakan entjek, sampai aku tak melihat tegas!" bocah itu kata.
"Apakah kau ingin pelajarkan itu?" tanya Tjioe San.
Sin Tjie sangat cerdik.
"Ja, entjek Tjoei, ajarkanlah aku!" ia lantas minta.
Tjioe San menoleh pada Eng Siong.
"Pada Lie Tjiangkoen aku telah bicara akan berdiam disini beberapa hari, biar aku gunai
ketikaku akan ajarkan ini anak," ia bilang.
Tentu sekali, Eng Siong girang, sedang Sin Tjie sudah lantas menghaturkan terima kasih.
Pada waktu itu, Lauw It Hauw dan Tjouw Tiong Sioe telah mencapai permufakatan untuk
perserikatan, maka juga dihari kedua, dihadapan patung Wan Tjong Hoan, kedua pihak
resmikan itu dengan angkat sumpah, untuk mati dan hidup bersama.
Pun pagi-pagi, Tiong Sioe telah kasi selamat jalan pada Tiauw Tjong dan Peng Kie bertiga,
selagi berpisahan , ia bilang pada mereka berdua: "Kita telah bertemu secara kebetulan,
inilah jodoh. Tentang kami disini, asal ada yang bocor, kesudahannya dua saudara harus
ketahui sendiri, tak dapat aku jelaskan lagi!"
"Itulah pasti, kami sudah mengerti," sahut Tiauw Tjong berdua.
Tiong Sioe bekali lima puluh tail perak dan perintah dua orang antar mereka ini turun
gunung.
Sejak itu, sesampainya mereka dirumah masing-masing, selagi Tiauw Tjong rajin belajar
surat dengan tak suka pesiar lagi, hingga kemudian ia jadi terpelajar tinggi.
Yo Peng Kie tutup Piauw-kioknya, akan hidup menyendiri, sebab ia insyaf, kepandaian tak
ada ujung-pangkalnya, orang pandai ada yang lebih pandai, maka ia anggap lebih baik ia
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
bertani, bercocok-tanam saja.
Lauw It Houw pulang berdua saja sama kawannya, si orang she Thian.
Dengan pertemuan telah sampai diakhirnya, kaum San-tjong pun bubaran, akan masingmasing
pulang, tetapi diantaranya, ada yang kemudian pergi hubungi diri pada Lie Tjoe
Seng.
Tjouw Tiong Sioe bersama Tjoe An Kok, Nie Hood an Eng Siong beramai masih terus
berdiam diatas gunung. Mereka masih mesti urus Wan Sin Tjie. Sebaliknya, Sin Tjie sendiri
seperti tak perdulikan hal-ikhwalnya sendiri saking kegirangan lantaran janjinya Tjoei Tjioe
San akan ajarkan dia ilmu silat Hok-houw-tjiang.
Malam itu Sin Tjie tak dapat tidur nyenyak, sedang dihari besoknya, dia sibuk sendiri,
karena belum sempat orang perhatikan dia. Habis rapat, orang semua sibuk menjelesaikan
ini dan itu, akan antar mereka yang berangkat pulang. Mereka ini pun pada pamitan dari
pemimpin muda ini.
Adalah setelah sore, Baru Tiong Sioe perintah siapkan sebuah meja serta satu kursinya,
begitupun lilin dan hio. Tjoei Tjioe San diminta duduk dikursi itu, untuk terima hormatnya
Sin Tjie. Disitu hendak diadakan upacara sederhana pengangkatan guru atau penerimaan
murid.
"Saudara Wan kecil ini, sekali aku lihat, aku lantas suka padanya," kata Tjioe San. "Dia
suka Hok-houw-tjiang, aku nanti pakai tempoku beberapa hari untuk ajarkan dia
sekedarnya. Tentu saja, tempo hanya beberapa hari, tidak cukup, hingga harus
disangsikan ia bisa gunakan itu atau tidak apabila ia sudah bisa melatihnya sendiri.
Semua-semua ada bergantung dengan bakat, kerajinan, dan keuletannya. Biarlah kita
menjadi sahabat-sahabat saja bukannya guru dan murid, suatu hal yang tak dapat
dibicarakan."
"Asal dia diajari, walaupun cuma satu-dua gebrak, dia sudah berarti murid dan saudara
adalah guru," Eng Siong bilang. "Harap Tjoei Toako tidak terlalu merendah."
Tapi putusannya Tjioe San tak dapat diubah, hingga akhirnya orang mengalah.
Sama-sama ahli silat, Eng Siong semua ketahui baik aturan orang memberi pelajaran,
apapula mengenai Tjioe San dan Sin Tjie, guru dan murid istimewa. Tentu sekali, orang
luar tak dapat tonton mereka. Maka itu, semua lantas undurkan diri.
Tjioe San tunggu sampai semua orang sudah pergi, ia duduk dikursi yang disediakan tadi,
untuk bicara sama ahli warisnya mendiang Wan Tjong Hoan.
"Sin Tjie," katanya dengan sungguh-sungguh. "Ini ilmu silat Hok-houw-tjiang aku peroleh
dari seorang berilmu yang telah berusia lanjut, aku sendiri masih belum meyakinkannya
sampai sempurna, akan tetapi, apabila dipakai melayani lawan yang umum, sudah cukup.
Ketika aku diwariskan ilmu pukulan ini, orang berilmu itu wajibkan aku angkat sumpah,
ialah tak boleh aku gunakan untuk menghina orang baik-baik atau mencelakai tanpa
alasan...."
Sin Tjie ada sangat cerdik, segera ia mengerti maksud gurunya ini, lantas ia bertekuk lutut
seraya katanya : "Murid Wan Sin Tjie, apabila telah berhasil mempelajari Hok-houw-tjiang,
tak akan gunakan itu untuk menghina orang baik-baik dan mencelakai tanpa alasan, Baru
ia meneruskan : ".....biarlah soehoe nanti pukul mati padaku!"
Mendengar sumpah itu, Tjioe San tertawa.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
"Bagus!" berkata dia, yang tubuhnya mencelat dengan mendadakan.
Sin Tjie angkat kepala dengan heran, karena sang guru lenyap dari hadapannya, kapan ia
menoleh, guru itu kembali telah berada dibelakangnya dan pundaknya lantas ditepuk.
"Kau tangkap aku!" mengandjurkan guru ini.
Sin Tjie telah peroleh ajaran dari Tjoe An Kok dan Nie Hoo, kecuali dasarnya baik, dia pun
cerdik, maka atas anjuran gurunya ini, ia tidak lantas memutar diri, hanya ia mendak dulu,
sembari berbuat demikian, tangan kirinya digeraki, tangan kanannya menyusul - ia pun
sembari dengari anginnya gerakan tubuh sang guru - lalu dengan tiba-tiba,ia menyambar
kearah kaki.
"Inilah cara yang tidak bercela!" terdengar sang guru, kaki siapa tapinya tidak kena
disambar. Dilain pihak, pundaknya si murid kembali kena ditepuk. Murid ini memutar
tubuh dengan siasia, ia tak lihat gurunya itu.
Kembali Sin Tjie perlihatkan kecerdikannya, ia ingat baik-baik, ajarannya Nie Hoo.
Ia tidak membalik tubuh, ia tidak menyambar lagi, hanya ia jalan setindak demi setindak
kearah tembok, begitu lekas sudah sampai, mendadakan ia putar tubuhnya seraja berseru:
"Entjek Tjoei, aku dapat lihat padamu!"
Dengan sebenarnya, diakui cara demikian, Tjioe San tak lagi bisa singkirkan diri.
"Bagus, bagus!" kata Tjioe San sambil tertawa. "Kau cerdik, kau ada punya bakat, kau
pasti bakal bisa jakinkan Hok-houw-tjiang!"
Lantas saja guru istimewa ini mulai berikan pelajarannya, sejurus dengan sejurus, sampai
diakhirnya, yang semua terdiri dari seratus delapan gerakan, dan saban gerakan
mempunyai lagi tiga perubahan, untuk mengelakkan diri dan menyerang saling ganti,
hingga semuanya jadi jumlah tiga-ratus dua-puluh empat jurus.
Sin Tjie gunakan otaknya, ketika ia Baru diajari tiga kali, ia sudah lantas ingat semua,
dengan pelahan-lahan, ia bisa jalankan Hok-houw-tjiang itu, maka dilain saat, sang guru
mulai pecahkan artinya, keperluannya sesuatu jurus.
Sin Tjie ingat dengan baik semuanya itu, ia terus berlatih dengan sungguh-sungguh. Ia
ketarik hati, gurunya pun suka terhadapnya, yang demikian rajin dan ulet, guru ini tungkuli
terus padanya, hingga malam pertama itu mereka berlatih terus sampai jauh malam, Baru
berhenti.
Besoknya pagi-pagi, Tjioe San pergi keluar, untuk cari hawa fajar yang segar.
Betapa keheranannya, ia dapatkan Sin Tjie asyik berlatih seorang diri ditanah lapangan,
dan untuk kekagumannya, murid itu bisa jalankan semua jurus dengan baik. Ia jadi sangat
girang. Dengan diam-diam, ia mendekati murid itu, akan akhirnya lompat melesat, untuk
dupak bebokong orang.
Sin Tjie sedang madap kelain jurusan, ia tidak lihat gurunya, akan tetapi ia dengar angin
menyambar, segera ia egos tubuh kesamping, sembari berbalik, ia ulur tangan kanannya,
untuk sambar kaki yang menendang ia, tapi kapan ia kenali gurunya, ia tarik pulang
tangannya.
"Entjek Tjoei!" ia berseru.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Tjioe San tertawa.
"Jangan berhenti, hayo menyerang terus!" kata guru ini sambil dia menyerang muka
orang.
Sin Tjie kelitkan kepalanya, kakinya dimajukan satu tindak, sedikit kesamping, dari situ ia
kirim kepalannya yang kecil kepada pinggangnya sang guru. Inilah pukulan ke-89 dari
Hok-houw-tjiang, yang dinamakan "Tjim djip houw hiat", atau "Masuk jauh dalam guha
harimau".
"Bagus, begini memang maunya!" Tjioe San memuji sambil ia berkelit. Kemudian, kembali
ia serang murid itu.
Sin Tjie layani guru itu, sampai sekian lama. Beberapa kali ia berbuat keliru, sang guru
lantas ajarkan, untuk dibenarkan, hingga ia jadi sangat gembira. Terus-terusan ia layani
gurunya, hingga habislah semua tiga-ratus dua-puluh empat jurus. Malah itu diulangi dan
diulangi.
Bocah ini girang bagaikan ia peroleh azimat atau mustika, ia dapat kenyataan, Hok-houwtjiang
menggenggam banyak rupa rahasia pukulan.
"Mari beristirahat," Kata Tjioe San, sesudah lihat muridnya mandi keringat. Tapi sambil
berduduk, ia pun berikan pelbagai penjelasan. Kemudian, habis mengaso, latihan diulangi.
Guru dan murid ini berhenti untuk bersantap pagi, sekian lama habis itu, mereka berlatih
pula. Hingga itu hari, dari pagi sampai jauh malam, mereka cuma berhenti untuk berdahar
dan beristirahat saja.
Sin Tjie lanjuti cara belajarnya ini terus menerus sampai tujuh hari, selama itu, sang guru
juga terus layani dia, kemudian dimalam kedelapan, Baru Tjio San kata pada muridnya:
"Aku telah ajarkan semua kepada kau, bagaimana nanti jadinya, segala itu terserah kepada
peryakinanmu sendiri. Diwaktu menghadapi lawan, orang mengandal tujuh bagian pada
latihannya, tiga bagian pada kecerdasannya, apabila orang andalkan melulu latihan,
kemenangan sukar didapat."
Sin Tjie terima baik pesanan berarti ini.
"Besok aku hendak kembali kepada Lie Tjiangkoen," Tjioe San terangkan kemudian.
"Maka itu dibelakang hari, kau mesti berlatih sendiri saja."
Merah matanya Sin Tjie mendengar perkataan guru itu, air matanya berlinang. Benar
mereka berkumpul Baru beberapa hari tapi ia telah sangat sukai guru itu, yang manis-budi,
yang mengajar ia dengan sungguh-sungguh.
Tjioe San ada seorang peperangan ulung, tapi melihat sikapnya murid ini, ia terharu, maka
ia lantas usap-usap kepala orang.
"Jarang aku menemui orang berbakat dan cerdik sebagai kau," kata guru ini, "maka
sayang sekali kita berdua tidak berjodoh untuk berkumpul lama-lama..."
"Bagaimana kalau aku ikut pergi pada Lie Tjiangkoen, entjek Tjoei?" Sin Tjie tanya.
"Kau masih begini kecil, mana bisa?" sahut sang guru.
Sin Tjie hendak jawab guru itu atau mendadakan mereka dengar suara binatang buas
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
diluar rumah.
"Binatang apa itu?" tanya si bocah. "Itu bukan suaranya harimau atau serigala...."
"Itulah suara harimau tutul," Tjioe San terangkan. Mendadakan, ia tambahkan : "Mari kita
tangkap binatang liar itu. Ada perlunya...."
"Perlu apa itu, soehoe?" tanya Sin Tjie, yang merasa heran.
Tjioe San tidak menjawab, dia melainkan tertawa, segera ia bertindak keluar.
Murid ini terpaksa lantas menyusul.
"Entjek Tjoei, senjata apa kau pakai untuk lawan macan tutul itu?" ia tanya kapan ia ingat
gurunya tidak bekal senjata.
Tjioe San tidak menyahuti, dia cuma bersenjum. Ia juga tidak ambil pintu depan hanya
bertindak kesamping, diluar kamarnya Tjouw Tiong Sioe, ia memanggil : "Tjoe Toako! Nie
Toako!"
Dua orang yang dipanggil itu berada di dalam kamar, mereka lantas buka pintu.
"Tolong toako bantu aku," kata Tjioe San sambil tertawa," di luar ada seekor macan tutul ,
harap toako beramai usir dia masuk kedalam rumah, aku membutuhkan dia."
"Baik, baik," jawab Nie Hoo, si tukang memburu harimau. Malah dia segera sambar
cagaknya, untuk mendahului keluar.
"Nie Toako, jangan lukai binatang itu!" Tjioe San pesan.
Nie Hoo tidak menyahuti, ia keluar terus.
Tjioe San menyusul bersama-sama Tjoe An Kok dan Lo Tay Kan. Sin Tjie bekal tumbak
pendek, ia hendak turut.
"Sin Tjie, jangan kau ikut, tunggu disini saja gurunya mencegah.
Bocah ini terpaksa menurut, maka itu, ia berdiam bersama Tiong Sioe dan Eng Siong.
Mereka mengawasi dari jendela.
Tjioe San bertiga membawa obor, masing-masing berdiam ditiga penjuru. Nie Hoo
sendirian saja, ditepi gunung, lagi tempur sang binatang liar, tapi ia taat kepada pesannya
si Tjoei, ia tidak mau lukai binatang itu, ia cuma menyerang mengancam sambil bela diri.
Begitu lekas lihat api obor, macan tutul itu kaget, berniat melarikan diri, tetapi ketika dia
mundur untuk lari, Tjoe An Kok bertiga pegat dia di tiga jurusan, hingga dia jadi makin
bingung. Diantara tiga orang itu, Tjioe San tidak pegang senjata, dia lantas terjang
gurunya Sin Tjie ini.
Tjioe San tidak takut, ia tidak kaget mendengar gerungan, ketika ia ditubruk, ia egos tubuh
sambil menyerang kepalanya binatang itu, atas mana si macan tutul rubuh bergulingan,
saking kerasnya pukulan. Tapi dia lekas bangun pula, untuk terus lari, kearah selatan,
yang tak ada yang jaga. Ini ada jalanan untuk masuk kedalam rumah, itulah pintu muka.
Dia cerdik, dia urung memasuki pintu itu. Tapi ia telah dikurung dari segala penjuru,
cahaya api bikin dia bingung.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Tjioe San maju dengan berani, selagi berada dibelakangnya si macan tutul, ia lompat
untuk menendang, hingga saking kaget dan kesakitan, binatang itu loncat kedepan. Maka
sekali ini, mau atau tidak, ia masuk juga kedalam rumah.
Eng Siong didalam rumah sudah siap, ia telah tutup semua pintu kecuali pintu barat, maka
kesitu, macan itu lari. Binatang ini menyingkir tanpa pilih jalanan lagi. Begitulah dia
memasuki pendopo barat, sesudah mana, Lo Tay Kan kuncikan dia pintu.
Setelah berkumpul, semua orang, yang bergembira, awasi Tjioe San. Mereka masih belum
tahu maksud utusan dari Lie Tjoe Seng itu.
Tjioe San tertawa, ia kata pada muridnya : "Sin Tjie, pergi masuk kedalam, kau hajar
macan tutul itru!" ia menitah.
Semua orang tercengang.
"Aku kuatir ini tak sempurna...." Kata Tiong Sioe, yang berkuatir.
"Aku nanti mengawasi dari samping, tidak ada bahayanya," Tjioe San bilang, sikapnya
tenang.
"Baik!" jawab Sin Tjie, yang terus bertindak kepintu, sambil bawa tumbaknya.
Bocah itu tercengang, tapi segera ia mengerti, gurunya rupanya ingin dia gunai Hok-houwtjiang.
Tentu saja ia bersangsi.
"Kau takut?" sang guru tanya.
Sin Tjie tidak menjawab, hanya ia cabut palangan pintu, terus ia buka daun pintu, akan
nyeplos kedalam.
Segera juga terdengar suara menggeram, lalu satu bajangan berlompat nubruk.
Sin Tjie berkelit kesamping, sebelah tangannya dipakai menyerang, mengenai kuping si
macan tutul, tetapi ia bertenaga kecil, binatang itu seperti tidak merasai sakit, tapi dia
membalik tubuh, untuk menerjang pula.
Dengan gesit Sin Tjie lompat, kebelakang macan itu, akan betot ekornya.
Sementara itu, Tjoei Tjioe San juga sudah njeplos masuk, ia terus berdiri dipinggiran
seraja pasang mata.
Sin Tjie tendang macan itu, atas mana, binatang ini tarik ekornya, hingga si bocah mesti
lepaskan cekalannya. Setelah memutar tubuh, harimau itu menubruk pula.
Dengan berkelit sambil mendekam, Sin Tjie selamatkan diri, karena ia berada disamping,
kembali ia kirim kepalannya, hanya seperti tadi, binatang buas itu tidak bergeming
karenanya.
Itu waktu Tjouw Tiong Sioe beramai turut menonton, biar bagaimana, mereka kuatirkan itu
pemimpin cilik, yang masih terlalu muda usianya. Mereka bantu menjaga, diantaranya ada
yang terus pegangi obor, sedang An Kok dan Nie Hoo siapkan senjata rahasia mereka.
Segera juga mereka menyaksikan dengan kekaguman, mlihat bagaimana bocah she Wan
itu bergerak gesit sekali.
Mulanya tertampak Sin Tjie masih ragu-ragu atau sedikit jeri, tetapi setelah pertarungan
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
ganjil ini berjalan sekian lama, hatinya jadi mantap. Nyata ia bisa gunai dengan sempurna
Hok-houw-tjiang, itu ilmu pukulan "Menakluki Harimau". Ia pun insaf, percuma ia main
kelit, sia-sia saja ia mengajar dengan kepalannya, macan itu ada terlalu tangkas untuk dia,
maka diakhirnya, ia pakai akal. Ialah saban-saban ia loncat kebelakang macan tutul itu, ia
membetot, habis itu, ia jambak bulunya, untuk dibetot copot.
Dicabuti bulunya, yang mana sering kejadiannya, lama-lama macan tutul itu berasa juga
sakit, , maka saban-saban dia menderum, berbareng diapun jadi semakin gusar, tubrukantubrukannya
jadi semakin sengit dan hebat. Tapi tetap saja, tidak pernah dia mampu
terkam itu bocah, yang tubuhnya sangat gesit dan licin. Maka diakhirnya, dari kewalahan,
dia mulai jeri juga, hingga dia lalu tukar siasat, dari saban-saban menerkam, dia main
mundur, dia pentang mulutnya akan mengancam dengan giginya yang besar dan tayam.
Sin Tjie cerdik, ia ganggu macan itu, sampai dia saban-saban diterkam pula, saban
diterkam, dia loncat kesamping , atau kebelakang, selalu dia cabut bulunya! Tjouw Tiong
Sioe beramai, dari berkuatir, jadi tertawa melihat lagak-lagunya bocah ini, kelincahan siapa
mereka sangat kagumi.
Biar bagaimana, macan tutul itu tidak dapat dirubuhkan cuma karena bulunya dicabuti,
pun sia-sia saja pukulan kepalan dan tendangannya Sin Tjie, dari itu, juga ini bocah lalu
menukar siasat.
Sekonyong-konyong Sin Tjie mendekam, ia loncat kedepan macan tutul itu. Gerakan ini
membuat heran itu binatang buas, yang jadi melengak, tapi meski demikian, dia lantas
ingat untuk lompat menerkam. Gerakannya ada sangat gesit, sedang itu waktu, Sin Tjie
sampai didepan binatang itu, hingga ia jadi berada dibawah perutnya si raja hutan.
Nie Hoo terkejut, tidak ayal lagi, ia menyerang dengan sepasang piauw.
Macan itu tidak kena terserang senjata rahasia itu, kaki depannya dapat menyampoknya
hingga jatuh.
Berbareng itu, Sin Tjie lenyap dari kolong harimau, sebaliknya tubuhnya nempel sama
perutnya binatang itu. Entah bagaimana, kedua kakinya telah menyangkul keras
kebebokong macan tutul, kepalanya sendiri menyundul janggutnya, hingga ia tidak bisa
digigit binatang itu. Kedua tangannya juga turut memeluk.
Macan tutul itu jadi kewalahan, untuk bikin orang terpelas, dia jatuhkan diri, bergulingan
dilantai.
Sin Tjie tetap menjepit dan merangkul dengan keras, ia tidak kasih tubuhnya terpisah dari
tubuh lawannya yang luar biasa itu. Tapi ia insaf, lama-lama ia bisa habis tenaga, apabila
ia pisahkan diri, ia bisa celaka diterkam binatang itu.
"Entjek Tjoei, mari lekas," akhirnya ia memanggil.
"Matanya!" adalah jawaban Tjoei Tjioe San.
Ini pemberian ingat menyadarkan bocah itu, tidak ajal lagi, ia ulur tangan kanannya,
beberapa jarinya mencari sebelah matanya yang terus ia korek dan betot keluar! Binatang
itu kaget dan kesakitan, dia berjingkrakan sambil menderum-derum, darah mengucur
keluar dari matanya itu.
Menampak demikian, Tjioe San lompat maju, ia dekati macan tutul itu tanpa si binatang
buas dapat lihat padanya, segera ia menyerang dengan keras dengan kedua tangannya
kearah kepala, atas mana, macan itu jadi pusing, segera dia rubuh terguling.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Selagi si raja hutan rubuh, Tjioe San sambar Sin Tjie, untuk diangkat.
"Bagus,bagus!" ia puji murid itu.
Kapan si Tjoei menoleh pada kawan-kawannya, Tiong Sioe semua berkuatir hingga
mereka mandi keringat! Tjioe San pentang pintu, ia dekati macan itu pada belakangnya,
lalu ia mendupak.
"Pergilah, aku merdekakan padamu!" kata ia.
Tendangan itu keras, sang harimau, yang mulai merangkak bangun, terjerunuk kedepan,
sesudah mana, dia terus loncat, untuk kabur, Menyusul itu, diluar terdengar riuh jeritan
kaget dari banyak orang.
Menyangka bahwa macan tutul itu menerbitkan kecelakaan, Tiong Sioe semua berlari
keluar, untuk melihat, tapi begitu lekas mereka berada diluar, mereka juga kaget tidak
terkira.
Seluruh gunung terang dengan api, yang mendatangi dari arah bawah, diantara itu,
tertampak pelbagai senjata yang berkilatan.
Itulah tentara kerajaan Beng, yang mengurung Lauw Ya San dengan tiba-tiba! Orang-orang
Lauw Ya San Baru saja bubar, yang masih ada tinggal sedikit, ini menyulitkan mereka.
Mereka pun tidak dapat kabar lebih siang, karena mereka disergap dan penjaga-penjaga di
saban pos telah terbunuh mati, sampai mereka ini tidak bisa memberi tanda bahaya.
Tjouw Tiong Sioe ada seorang peperangan ulung, walaupun ia kaget, hatinya tidak gentar.
Tadinya, dia pun adalah orang yang pangkatnya paling tinggi.
"Lo Tjiangkoen," ia segera beri titah pada Lo Tay Kan, "pergi kau pimpin saudara-saudara
tukang masak, tukang sapu dan penjaga-penjaga kuil, lepaslah api digunung sebelah
timur seraya berteriak-teriak, untuk menyesatkan musuh!"
Lo Tay Kan terima titah, ia berlalu dengan cepat.
"Tjoe Tjiangkoe, Nie Tjiangkoen!" Tjouw Tiong Sioe panggil Nie Hoo dan Tjoe An Kok.
"Pergilah kedepan, masing-masing memanah belasan kali, untuk cegah tentara musuh
terlalu mendesak, habis itu, lekas kembali!"
Dua punggawa itu berlalu dengan titah tersebut.
"Tjoei Toako, ada satu tugas penting aku mohon kau yang pegang!" kata Tiong Sioe pada
Tjioe San.
"Kau ingin aku yang lindungi Sin Tjie?" Tjioe San tegaskan.
"Benar," jawab pemimpin itu. Lalu bersama-sama Eng Siong, dia menjura terhadap utusan
Lie Tjoe Seng ini.
Tjioe San kaget, dengan tersipu-sipu, ia membalas hormat.
"Bicaralah, djiewie, tapi jangan berbuat begini!" ia mencegah.
Suara gemuruh diluar bertambah besar, malah terdengar juga suara tambur dan gembreng
tentara yang riuh, tapi itu datangnya dari atas gunung, maka Tiong Sioe menduga kepada
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
perbuatannya Lo Tay Kan, ialah siasat akan mengelabui musuh.
"Inilah satu-satunya darah daging dari Wan Tayswee, tolong Tjoei Toako antar dia turun
gunung!" Tiong Sioe minta kepada Tjioe San.
"Aku nanti lakukan itu!" Tjioe San berikan janjinya.
Itu waktu, Tjoe An Kok dan Nie Hoo kembali habis melepas panah.
"Aku akan ambil jalan bersama Tjoe Tjaingkoen," Tiong Sioe mengatur diri, "kami nanti
gabungkan diri sama Lo Tjiangkoen, akan menerjang turun disebelah timur. Eng Sinshe
bersama Nie Tjiangkoen boleh menerjang dari barat. Kita akan menerjang lebih dulu, buat
tarik perhatiannya tentara musuh, supaja mereka tercegah, setelah itu, Tjoei Toako
bersama Sin Tjie boleh nerobos turun dari gunung belakang. Biarlah kitaorang berkumpul
ditempat Lie Tjiangkoen!"
Semua orang kagum, disaat segenting itu, Tjouw Tiong Sioe masih bisa mengatur diri
demikian sebat dan tepat, coba mereka punyakan tentara, tentu keadaan mereka ada lain
sifatnya.
Sin Tjie sedih bukan main, sebab telah begitu lama ikuti Eng Siong semua, yang pun telah
didik dia, sekarang mereka mesti berpisahan secara demikian mendadakan dan dalam
ancaman malapetaka hebat juga. Ia paykoei berulang-ulang terhadap mereka.
"Tjouw Siokhoe, Eng Siokhoe, Tjoe Siokhoe, Nie Siokhoe," kata ia, "aku, aku...."
Ia tak dapat bicara lebih jauh, tenggorokannya seperti terkancing.
"Kau ikuti Tjoei Siokhoe, kau dengar perkataannya," kata Tiong Sioe.
Masih Sin Tjie tak dapat bicara, ia cuma bisa manggut.
Suara berisik makin hebat, itulah tandanya tentara negeri sudah mulai mendaki tinggi.
"Marilah!" mengajak Eng Siong. "Tjoei Toako, kau berangkat sebentar lagi sedikit..."
Lantas mereka itu bertindak keluar.
Nie Hoo lihat Tjoe Tjio San tidak punya senjata, ia lemparkan kongtjee kepadanya.
"Tjoei Toako, sambut ini!" ia kata.
"Aku tak butuhkan itu," sahut Tjioe San, yang menyambuti tapi terus hendak kembalikan,
hanya Nie Hoo sudah lari jauh, ia jadi batalkan niatnya.
"Mari!" katanya, yang terus tarik tangannya Sin Tjie, sedang tangannya yang lain tetap
pegangi tumbak cagak itu.
Berdua mereka pergi kebelakang dimanapun ada terang cahaya api, hingga kelihatan
berlapis-lapis tentara, entah berapa djumlahnya. Anak panah pun dipanahkan naik
bagaikan hudjan. Maka terpaksa Tjioe San lari balik kekuil, kedapur, akan cari dua buah
kwali, yang satu besar, yang lain kecil yang kecil ia serahkan pada muridnya.
"Inilah tameng!" kata ia. "Mari!"
Dengan berlompatan secara enteng, mereka lari kearah tempat gelap.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
"Kejar, kejar!" begitu tentara kerajaan Beng berteriak-teriak, ketika mereka lihat dua orang
berlari-lari. Dan mereka segera mengejar seraya terus memanah juga.
Tjioe San lari dibelakang Sin Tjie, dengan kongtjee, dan tameng kwali, ia tangkis pelbagai
gandewa, hingga kwalinya menerbitkan suara berisik berulang-ulang.
Disebelah depan mereka, ada beberapa serdadu, yang merayap naik, yang memegat, tapi
berdua, guru dan murid itu, serang mereka, hingga belasan serdadu rubuh.
Sin Tjie bersenjatakan tumbak pendek, diwaktu demikian, senjata itu tidak leluasa
dipakainya, karena itu, ia lebih banyak lindungi diri.
Tidak lama, mereka telah sampai ditengah gunung, Baru mereka bernapas lega sedikit,
lantas terdengar suara riuh, disusul sama munculnya sebarisan serdadu Beng Tiauw
dengan yang maju dimuka ada satu tjian-boe atau kapten, yang bersenjatakan sebatang
golok besar, malah terus saja dia bacok Tjioe San.
Tjoe Tjioe San tangkis bacokan itu, ia merasakan tenaga musuh yang besar, maka dengan
sebat, ia balas menyerang.
Kapten itu menangkis seraya ia serukan barisannya: "Saudara-saudara, maju!"
Tjioe San tidak mau melayani lama-lama, dengan tamengnya, ia ancam kapten itu, dengan
cagaknya, ia membarengi menikam, berbareng dengan mana, ia pun membentak.
Celaka adalah kapten itu, iganya kena tertusuk.
Selagi Tjioe San cabut senjatanya, ia menoleh, ia tidak lihat Sin Tjie, bukan main
terkejutnya ia. Disebelah kiri ada suara berisik, ia lihat serdadu-serdadu berkerumun, ia
lari kesana. Beberapa serdadu mundur sendirinya melihat ia merangsak.
Nyata disitu Sin Tjie sedang dikepung tiga serdadu, tumbak pendeknya sudah terlepas
jatuh, maka dia melawan dengan gunai Hok-houw-tjiang, dengan tangan kosong. Kelihatan
nyata ia sedang terdesak.
Tanpa bersuara lagi, Tjioe San berlompat kepada musuh, terus ia menyerang. Satu
serdadu rubuh, menyusul yang lain, dengan begitu, Sin Tjie dapat ditolong.
"Mari!" mengajak sang guru.
"Kejar!" berseru serdadu yang ketiga.
Tidak jauh dari situ masih ada kawan mereka, dua diantaranya lantas maju.
Dengan satu loh-bee, gerakan berbalik, Tjioe San rubuhkan dua serdadu, kemudian ia
terjang yang ketiga, yang coba merangsak. Serdadu yang ketiga itu kena dilemparkan
hingga dia rubuh terbanting sambil perdengarkan jeritan hebat.
Menampak demikian, serdadu-serdadu yang lainnya merandek, tak berani mereka
mendesak.
Tjioe San sambar Sin Tjie, untuk dipondong, buat dibawa kabur dengan gunai ilmunya
entengi tubuh. Ia tunggu sampai ia sudah terpisah jauh dari tentara negeri, Baru ia lepas
turun muridnya itu.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
"Apakah kau terluka?" dia tanya.
Sin Tjie usap mukanya, ia kena raba barang bergenjik, waktu ia lihat tangannya antara
cahaya rembulan, ia lihat barang cair merah, ialah darah. Ia terkejut. Ia pun kaget, akan
lihat muka gurunya berlepotan darah juga.
"Entjek Tjoei, darah, darah....." ia berseru.
"Tidak apa, inilah darahnya lain orang," sahut Tjioe San. "Kau terluka atau tidak?"
"Tidak," jawab sang murid.
"Bagus! Mari kita pergi!" guru itu mengajak.
Mereka lantas nyelusup antara pepohonan, akan pergi dari tempat berbahaya itu. Mereka
sudah jalan kira-kira setengah jam, sampai tidak ada pepohonan lagi, ketika Tiong Sioe
melongok kebawah, ia tampak cahaya terang, ada beberapa ratus serdadu menjaga disitu.
"Kita tak dapat turun, mari mundur...." Ia bilang.
Mereka jalan beberapa ratus tindak, sampai mereka lihat sebuah gua cetek yang tertutup
pepohonan. Keduanya masuk, untuk umpatkan diri.
Sin Tjie merasa sangat lelah, dasar anak kecil, ketika ia rebahkan diri, cepat sekali, ia jatuh
pulas.
Tjioe San angkat tubuh orang, buat dipeluki, supaya murid itu tidur dipangkuannya,
sembari berbuat begitu, ia pasang kuping, hingga ia dengar, suara riuh masih belum
berhenti. Kemudian ia dengar suara merotok keras, disusul sama naik tingginya cahaya
api.
Teranglah sudah, kuilnya Wan Tjong Hoan telah dibakar tentara Beng.
Masih berselang sekian lama, Baru terdengar suara terompet tentara, tandanya mereka
dititahkan berkumpul, untuk turun gunung, buat angkat kaki.
Tjioe San terus pasang kuping ketika kemudian ia mengeluh sendirinya. Ia dengar
tindakan kaki yang ramai, yang makin lama makin nyata. Rupanya barisan serdadu
mendatangi kearah guha yang mesti dilalui mereka.
Jikalau dia dipergoki.....
(Bersambung bab ke 3)
Tiba-tiba terdengar suara orang duduk diluar gua, yang teraling pepohonan balabergombolan.
Dengan tangan kanan cekal senjatanya, dengan tangan kiri Tjioe San tekap
mulutnya Sin Tjie. Ia kuatir bocah ini mendusin dan menjadi kaget karenanya, dengan
begitu dia bisa berteriak.
Untuk sesaat kesunyian berkuasa ditempat sunyi itu. Lalu tiba-tiba: "Pemberontak she
Wan itu ada tinggalkan satu anak, kemana perginya bocah itu?" demikian satu suara yang
keras.
Benar-benar Sin Tjie tersadar karena suara itu, tapi Tjioe San telah siap, ia bisa cegah
bocah ini buka mulutnya.
"Diam...." Dia kisiki.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
"Kau mau omong atau tidak?" kembali terdengar suara keras tadi. Itulah satu pertanyaan
bengis. "Jikalau tetap kau tutup mulut, lebih dahulu aku akan bacok kutung sebelah
kakimu!"
"Jikalau kau hendak bacok, bacoklah!" terdengar satu suara lain, ialah suaranya orang
yang diancam itu. "Selama diperbatasan, dengan tumbak dan golok, aku biasa hajar
bangsa Tartar, mustahil aku jeri terhadapmu, dorna!"
Itulah suaranya Eng Siong.
Sin Tjie terkejut.
"Eng Siokhoe..."kata ia, tapi suaranya pelahan.
"Eh, apa benar kau tidak mau bicara?" teguran diulangi.
"Cis!" terdengar suaranya Eng Siong, yang ludahi orang yang ancam dia. "Aduh!..."
Jeritan itu menyusuli suatu suara keras, rupanya benar-benar kakinya Eng Siong dibacok
kutung! Tak bisa Sin Tjie bersabar lagi, ia berontak dari cekalannya Tjioe San.
"Eng Siokhoe!" ia menjerit sambil ia loncat keluar gua. Maka ia bisa lihat, antara cahaya
api, seorang yang bersenjatakan golok, lagi ayunkan senjatanya kearah tanah dimana ada
seorang menggeletak. Ia berlompat, ia menyerang dengan ilmu pukulan "Tjo Kie yo kim,"
atau "kiri menyerang, kanan menangkap," salah satu jurus dari Hok-houw-tjiang.
Orang dengan golok ditangan itu, yang kejam, menjerit bahna kesakitan, sebab tahu-tahu
matanya kena toyoran, sedang selagi ia menjerit dan kesakitan itu, lengannya pun dirasai
sakit, lantas goloknya kena dirampas! Sin Tjie tidak bekerja sampai disitu saja, menyusuli
dengan sebat, ia bacok pundak orang, benar tenaganya tidak cukup besar, pundak itu
tidak sampai terbacok kutung, toh orang telah jadi pusing kepala dan matanya kabur
saking sakitnya.
Disitu ada sejumlah serdadu lain, mereka kaget tapi mereka tidak berdaya untuk
mencegah, setelah mereka dapati, penyerang gelap ini ada bocah, mereka lantas maju
untuk menyerang.
Dalam saat Sin Tjie terancam bahaya, dari dalam gua loncat keluar satu orang lain dengan
kongtjee ditangan, dia cuma berkelebat, lantas senjatanya iu menangkis berbagai senjata
yang mengancam si bocah cilik, hingga sekalian penyerang itu terperanjat, tangannya
kesakitan, ada antaranya, yang senjatanya terpental dan terlepas.
Selagi serdadu-serdadu itu kaget, Tjioe San sambar Sin Tjie untuk terus dibawa lari turun
gunung, ketika kemudian mereka dihujani anak-panah, mereka keburu lari jauh.
Diantara serdadu-serdadu itu, yang atas titahnya Thaykam Tjo Hoa Soen, ada empat yang
pandai silat, kapan mereka ini tampak Tjioe San mereka segera lompat mengejar, satu
antaranya malah keluarkan tiga batang panah-tangan, sebab terdapat kenyataan,
walaupun sedang kempit orang, Tjioe San bisa berlari-lari dan berlompatan dengan keras.
Tjioe San masih dengar sambaran angin, lekas-lekas ia mendak, dengan begitu, tiga
batang anak panah lewat diatasan kepalanya.
Selagi Tjioe San mendak, karena mana ia mesti berhenti lari, satu musuh lain serang ia
dengan tiga batang kong-piauw, yang dilepasnya dengan beruntun. Ia lepaskan Sin Tjie, ia
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
gunai tangannya itu menanggapi dua buah piauw, disaat ia hendak balas menyerang
dengan piauw itu, datanglah panah-tangan dan batu hoei, hong tjio saling susul, hingga ia
jadi repot, batal menyerang dengan piauw, ia menangkis dengan kongtjee.
"Mari!" ia teriaki Sin Tjie, untuk ajak bocah itu lari lebih jauh.
Terpisahlah mereka ini dari tentara Beng adalah jauh, tidak demikian dari itu empat
pengejar yang masih saja bayangi mereka.
"Sahabat baik, letaki senjatamu!" demikian salah satu pengejar berteriak, dengan lagu
suaranya mengejek. "Marilah baik-baik turut kita pulang, nanti kita bikin kamu kurangan
menderita...."
Tjioe San paling sebal terhadap orang yang mulutnya enteng, dari itu, ia jadi mendongkol
sekali. Sembari lari, ia geser kongtjee ketangan kiri dan piauw ke tangan kanan, ia tunggu
sampai orang telah datang lebih dekat, mendadakan ia menyambit, keatas dan kebawah.
Tukang menjengeki itu menjerit, pahanya tertancap sebatang piauw, tidak tempo lagi, ia
rubuh. Tetapi tiga kawannya tidak perdulikan ancaman, mereka mengejar terus.
Melihat orang datang semakin dekat, Tjioe San kata pada Sin Tjie: "Siangtoo dari orang itu
ada bagus, nanti aku rampas untuk diberikan kepadamu!"
Habis mengucap, Tjioe San tancap kongtjee ditanah, lantas ia berlompat maju, akan
hampirkan musuh yang bergegaman siangtoo, golok sepasang.
Dia ini sambut musuh, malah dengan pukulan beruntun "In Ling sam hian", atau "Naga
tiga kali perlihatkan diri dalam awan", dia mendahului menyerang berulang-ulang, karena
mana, Tjioe San tidak lantas dapat mencapai maksudnya.
Dipihak lain, musuh yang kedua, yang bersenjatakan tiat-pian atau thie-phie, rujung besi,
telah berlompat kepada Wan Sin Tjie.
Bocah ini bertangan kosong, segera ia menghadapi ancaman bahaya.
Tjioe San mendongkol, karena tak dapat ia segera rampas siangtoo lawan, dilain pihak, ia
lihat muridnya terancam, maka juga sambil putar tubuh, ia berlompat kepada musuh
dengan tiatpian ditangan itu, dengan ulur tangannya dengan "Kim liong tam djiauw" atau
"Naga emas mencengkeram" ia sambar bebokongnya.
Musuh ini sedang hendak babat pinggangnya Sin Tjie, kapan ia dengar sambaran angin, ia
lantas putar tubuhnya, berbalik, akan lihat si penyerang. Tapi sambarannya Tjioe San
sudah sampai, tidak sempat dia menangkis, terpaksa dia tolong diri dengan bertindak
mundur. Justru itu Sin Tjie dibelakangnya telah ayun kakinya, maka kenalah ia terdupak
kempolannya. Ia tidak rubuh, ia jadi gusar, ia menyabat kebelakang dengan tiatpian. Tapi
ia terlambat, Tjioe San telah sambar ruyungnya itu, untuk dicekal keras, buat dirampas.
Dalam saat kedua pihak bergujengan, orang yang bersenjatakan siangtoo telah datang,
untuk menyerang lebih jauh, bersama ia ada kawannya yang ketiga, yang bergegaman
golok kwie-tauw-too, ber-sama-sama, mereka berdua menyerang dari belakang.
Juga orang yang pertama, yang tadi rubuh terkena piauw, bisa bangun pula, dia
memegang tumbak, dia maju untuk tikam Sin Tjie.
Itulah saat berbahaya untuk Tjioe San dan muridnya. Walaupun demikian, orang she Tjoei
ini tidak menjadi bingung atau putus asa. Sambil berseru, dengan pukulannya "Hang liong
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
hok houw" atau "Menakluki naga dan menundukkan harimau" , dia hajar dadanya orang
yang pegang ruyung, sampai dia ini rubuh terjengkang, malah dia kena tubruk kawannya
yang bergegaman tumbak, yang hendak tikam si bocah, hingga dia ini turut terguling.
Syukur untuk kawan ini dengan ruyung, dia tidak sampai tertikam tumbak teman.
Tjioe San berlompat, akan rampas tiatpian orang dengan itu ia tangkis serangan siangtoo
dan kwietauwtoo, lalu ia tarik lengannya Sin Tjie, buat diajak lari lebih jauh. Ia tidak punya
ingatan akan layani terus empat musuh itu.
Baru sekarang empat lawan itu berhenti mengejar, mereka rupanya insyaf liehaynya satu
musuh itu, sebagai gantinya, mereka keluarkan senjata rahasia masing-masing dengan
apa mereka menyerang dari jauh.
Tjioe San sibuk sekali ketika ia dengar sambaran angin saling susul, ia tarik Sin Tjie
kepada dadanya, untuk dipeluk, dengan ruyungnya, ia bikin penangkisan. Ia pun sabansaban
lompat berkelit, akan menyingkir dari perbagai serangan saling susul itu. Karena
adanya si bocah, gerakannya jadi terhambat.
Tiga biji pou-tee-tjoe datang menyambar, dua bisa dielakkan tapi yang satu mengenai
paha kirinya Tjioe San. Dia terkejut, sebab mulanya sakit sedikit, lukanya itu lantas jadi
gatal. Ia insyaf, pou-tee-tjoe itu telah dikenai racun. Karena ini, dengan sekuat tenaganya,
ia lari terus. Tetapi ini justru melekaskan bekerjanya racun, kaki kirinya lantas saja jadi
kaku, hingga tidak saja ia tak mampu lari lebih jauh, ia malah rubuh terguling.
"Tjoie Siokhoe!" memanggil Sin Tjie, yang kaget bukan main. Ia sendiri hampir turut
terguling.
Empat penyerang, dengan samar-samar, lihat orang rubuh, kapan mereka dengar
suaranya Sin Tjie, mereka mengejar pula.
"Sin Tjie! Sin Tjie!" berseru sang guru. "Lekas lari! Aku nanti tahan mereka!"
Sin Tjie masih bocah tapi ia cerdas, daripada lari, dia justru lompat kesampingnya guru
itu, ia hendak bersiap melawan musuh-musuhnya.
"Dengan kepandaianmu ini, mana sanggup kau belai aku?" kata Tjioe San, yang terharu
bukan main. Murid ini sangat berani dan bakti.
Empat musuh sudah lantas datang dekat, apapula yang bersenjatakan siangtoo dan
kwietauwtoo. Yang pegang kwietauwtoo ini hendak menawan hidup-hidup, ia serang Sin
Tjie dengan belakang goloknya. Ia sengaja sambar bawah betisnya Sin Tjie.
Sin Tjie lihat serangan itu, ia berkelit sambil berlompat.
Tjioe San lihat serangan itu, ia paksa bangkit, untuk berdeku dengan sebelah kaki. Dia
masih pegang dia punya ruyung, dengan itu, ia timpuk orang yang pegang siangtoo. Dia
ini kaget, sampai tak sempat dia berkelit, maka kepalanya kena tiatpian, syukur tidak
hebat. Sedangnya dia melengak, Tjioe San enjot tubuh sekuat tenaga, akan tubruk musuh
ini. Beruntung untuk dia, dia bisa sambar tenggorokan orang.
Musuh kaget, dia membacok, tapi bacokan ditangkis dengan lengan oleh Tjioe San, siapa
kerjakan tenaganya kepada semua jerijinya, maka dilain saat, musuhnya tecekek keras,
tubuhnya rubuh, napasnya berhenti jalan tanpa berkaok lagi....
Inilah hebat, menampak itu, musuh dengan kwietauwtoo ditangan jadi jeri, lantas ia putar
tubuh untuk lari. Melihat ini, dua kawannya, yang menyusul belakangan, yang memang
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
telah terluka, turut dia dan lari juga.....
Tjioe San sendiri mengeluarkan darah tak putusnya dari lukanya itu, kaki kanannya sudah
lenyap rasa sakitnya, beku tanpa rasa apa juga. Tapi ia kertak gigi, ia kumpul tenaga,
dengan bantuan golok, yang ditandalkan ketanah, ia coba berbangkit. Ia insyaf, musuh lari
tentu akan sebentar kembali bersama pasukan tentaranya, jadi ia tak punya tempo untuk
disia-siakan.
"Mari!" ia ajak muridnya. Ia jalan dengan separuh merangkak, karena sebelah tangannya
dipakai sebagai gantinya kaki. Ia separuh menyeret tubuh.
Sin Tjie jalan disebelah kanan gurunya itu, ia pasang pundaknya untuk gurunya cekal
dengan tangan kanan, akan kasi dirinya digelendoti. Jadi, separuh dipepayang, Tjioe San
paksa jalan, setindak demi setindak.
Jalan sekian lama, keadaannya Tjioe San tambah hebat. Mulai dari kaki, bekunya naik ke
tangan, hingga pelahan dengan pelahan, habislah tenaga tangannya itu - tangan kiri.
Sekarang ia mengandal pada tangan kanan saja.
Sin Tjie merasai bandulan makin berat pada pundaknya, ia lawan itu, ia diam saja. Ia telah
mandi keringat.
Mereka jalan terus, sampai si bocah pun lelah sekali.
"Tjoei Siokhoe, didepan ada rumah orang, mari kita pergi kesana," kata sang murid,
apabila ia tampak sebuah rumah. "Kita beristirahat disana sambil umpatkan diri...."
Tjioe San manggut, ia paksa kumpul tenaganya. Adalah setelah sampai didepan pintu,
tenaganya habis, terlepaslah cekalannya, hingga ia rubuh tanpa muridnya dapat
mencegah.
"Tjoei Siokhoe!" Sin Tjie menjerit, sambil ia lekas membungkuk. "Tjoei Siokhoe!"
Hampir itu waktu, daun pintu rumah terpentang, seorang perempuan usia pertengahan
muncul diambang pintu.
"Toa-nio," berkata Sin Tjie, "kami bertemu tentara negeri, pamanku ini terluka, tolong kau
ijinkan kami menumpang bermalam, satu malam saja...."
Perempuan tani itu murah hati, ia manggut, lalu ia teriaki satu anak tanggung, umur
delapan atau sembilan-belas tahun, untuk bantui si bocah angkat tubuhnya Tjioe San, buat
diangkat kedalam, direbahkan atas kong.
Karena ia ada tangguh dan kuat semangatnya, walaupun kaki dan tangannya beku
sebelah, Tjioe San tidak pingsan atau kalut pikirannya, sebaliknya, ia sadar benar-benar. Ia
lantas suruh Sin Tjie geser pelita, untuk ia periksa lukanya.
Kaget semua orang, akan tampak luka dikaki itu. Sebab kaki kiri itu bengkak besar, yang
sepotong sudah matang-biru, dilihatnya mengerikan.
"Tolong bungkus luka dipundakku," Tjioe San minta si tuan rumah muda. Kemudian, ia
minta dibungkus keras juga pahanya, guna cegah racun naik dan menyerang ke
jantungnya. Habis itu, ia cabut senjata yang melukai padanya. Segera keluar darah hitam.
Tjioe San coba tunduk, ia niat isap darah dari lukanya, supaja racunnya tersedot, tapi
bengkaknya demikian besar, mulutnya tak dapat sampaikan luka itu.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Melihat demikian, tanpa bersuara apa-apa, Sin Tjie gantikan gurunya sedot darah itu, ia
menyedot berulang-ulang, saban-saban ia muntahkan darah hitam itu. Setelah menyedot
kira empat-puluh kali, Baru ia kena hisap darah bersemu merah.
Akhir-akhirnya djago itu menghela napas.
"Syukur ini bukannya racun yang sangat berbahaya," kata ia. "Sin Tjie, lekas kau
kekumur!"
Nyonya rumah, yang mengawasi sedari tadi, lalu berdoa.
Besoknya, lohor, tuan rumah muda, yang dimintai pertolongannya, pulang dengan laporan
bahwa tentara negeri sudah mundur dari gunung Lauw Ya San. Disatu pihak, kabar itu
melegakan hati. Akan tetapi, dilain pihak, keadaannya Tjoei Tjioe San menguatirkan sekali.
Bengkaknya mulai kempes, tapi disebelah itu, tubuhnya menjadi panas, dia mulai
mengaco-belo.
Sin Tjie ada satu bocah, walaupun ia cerdik, ia toh bingung, ia tidak bisa berbuat suatu
apa.
"Tuan kecil," berkata nyonya rumah," aku lihat racun dalam kakinya pamanmu ini belum
habis semua, perlu kau pergi kekota kepada tabib guna periksai lukanya itu."
Sin Tjie anggap usul itu baik.
"Aku nanti pergi," kata ia.
Nyonya rumah, yang baik hati, pergi pinjam gerobak kerbau dari tetangganya, dengan naik
itu, Sin Tjie pergi dengan diantar si anak tanggung. Tjioe San direbahkan diatas gerobak.
Anak tanggung itu mengantari sampai dikota, sampai Sin Tjie telah dapati sebuah rumah
penginapan, lantas ia berangkat pulang.
Sekarang, setelah berada dikota, Sin Tjie kembali bingung. Mereka tidak punya uang. Ia
bengong mengawasi saja gurunya, hingga ketika jongos tanya, ia hendak dahar apa, ia
tidak dapat menyahuti.
"Aku tidak lapar," kemudian ia kasi alasan. Tapi, seperginya si jongos, ia nangis seorang
diri.
Selama itu, Tjioe San rebah tak ingat dirinya, adalah sesudah lewat sekian lama, ia
mendusin juga.
"Bagaimana, siokhoe?" Sin Tjie tanya. "Apa siokhoe merasa baikan?"
Guru itu manggut.
"Apakah kau ada bawa barang berharga apa-apa?" tanya dia kemudian.
Tiba-tiba Sin Tjie ingat suatu apa, lantas dia menjadi girang.
"Ada ini!" kata ia, yang terus keluarkan sarungnya.
Itu ada kalung emas tertabur delapan buah batu permata, dan dirantainya ada ukiran
beberapa huruf, kapan Tjioe San baca itu, bunyinya ada empat huruf "Hoei Koan Hoan
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Tjiang" yang berarti "Kejayaan makmur". Dibawah itu ada lagi dua baris huruf-huruf kecil,
yang berbunyi: "Selamat bahagia ulang bulan Wan Kongtjoe" dan "Selamat dari Tjouw Tay
Sioe".
Jadi itu ada tanda-mata dari Tjouw Tay Sioe, panglima nomor satu dari Wan Tjong Hoan,
untuk peringatan usia sebulan dari Wan Sin Tjie.
Tjouw Tay Sioe ini, diwaktu mudanya, ada gagah dan berandalan, kemudian ia kena
ditawan Tok-boe Soen Sin Tjong dari Kie-liauw, diwaktu ia hendak dihukum mati, Wan
Tjong Hoan mintakan keampunan, dengan begitu, ia jadi sangat berterima kasih, keduanya
jadi bersahabat bagaikan saudara, maka dikemudian hari, waktu Wan Tjong Hoan binasa
teraniaya, Tjouw Tay Sioe jadi sangat gusar, dia bawa kabur tentaranya, dia tinggalkan
kota raja tanpa pedulikan titah kaisar Beng. Dikota raja, semua orang berkuatir, kuatirkan
panglima ini, yang berkuasa atas tentara, nanti berontak, sukur ibu dan isterinya Tay Sioe
ada orang-orang bijaksana, mereka bisa bujuk Tay Sioe jangan berkhianat, hingga
kesudahannya, Tay Sioe ajak barisannya menentang desakan tentara Boan.
Pikirannya Tjioe San sedang kusut, ia tidak perhatikan bunyinya kata-kata pada kalung itu.
"Pergi ajak jongos gadai kalung ini." Ia kata pada muridnya. "Dibelakang hari, kita boleh
datang pula kemari untuk menebusnya."
Sin Tjie juga tidak pikirkan huruf-huruf ukiran itu.
"Baik," sahut ia, yang terus ajak satu jongos, untuk menggadai.
Pengurus pegadaian terkejut ketika ia periksa kalung yang hendak digadaikan itu.
"Sahabat cilik, tunggu sebentar , ya?" kata ia.
Pengurus ini masuk kedalam, sampai lama, hingga Sin Tjie dan si jongos tidak sabaran,
baiknya kemudian, dia muncul juga.
"Sahabat cilik, kami terima gadai untuk dua-puluh tail." Kata ia.
Sin Tjie tidak tahu apa-apa, ia mau terima, tapi jongos mintakan tambahan lagi lima tail,
kalung itu jadi digadai buat dua-puluh lima tail.
Sambil bawa uang dan surat gadai, Sin Tjie ajak jongos mampir sekalian pada tabib. Diluar
tahu mereka, mereka sudah lantas dikuntit dua orang polisi, terus sampai dihotel.
Tjioe San sedang tidur, kepalanya panas seperti api. Karena thabib, yang menyusul
belakangan, belum juga sampai, Sin Tjie menjadi kuatir pula, hingga ia pergi keluar, akan
melihat, mengharap-harap kedatangan sang tabib.
Belum lama, mendadakan datanglah delapan orang polisi ke hotel, mereka itu bekal thietjio
dan rantai belengguan.
"Ini dia si bocah," kata satu oppas seraya tunjuk Sin Tjie.
"Eh, anak, apa kau she Wan?" tanya oppas yang jadi kepala.
Sin Tjie kaget, tak tahu ia mesti menjawab apa.
"Bukan," jawab ia akhirnya, dalam bingungnya.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Oppas itu tertawa, dari sakunya, ia keluarkan kalung emas tadi.
"Habis, kalung ini kau curi dari mana?" tanya dia.
"Itu bukan barang curian, itu ada barangku sendiri," sahut Sin Tjie, yang dengan tidak
langsung toh mengaku.
Kembali oppas itu tertawa.
"Wan Tjong Hoan itu pernah apa denganmu?" tanya dia.
Sin Tjie kaget, ia tidak berani menyahuti, hanya ia lari kedalam, ke kamarnya, akan segera
gebrak bangun pada Tjioe San.
Diluar segera terdengar teriakannnya kawanan oppas tadi : "Berandalan dari Lauw Ya San
bersembunyi dalam hotel ini! Jangan kasi mereka lolos!"
Sementara itu, Tjioe San mendusin dengan kaget, ia berbangkit, akan duduk, akan
turunkan kakinya kelantai, tapi ia tidak dapat bergerak dengan leluasa, begitu kakinya
diturunkan, bukannya ia berdiri, ia justru rubuh terguling.
Disaat itu, rombongan oppas telah nerobos kedalam hotel.
Dalam bingungnya, hingga ia tak keburu kasi bangun gurunya, Sin Tjie lompat kepintu,
disini ia berdiri untuk merintang.
Hotel sendiri lantas jadi berisik, tetamu-tetamu lainnya jadi berkumpul di pekarangan, akan
saksikan hamba-hamba negeri melakukan penangkapan pada penjahat pemburon. Mereka
jadi heran kapan mereka lihat, kawanan oppas itu justru menghadapi satu bocah cilik.
Satu orang polisi segera lemparkan rantai kelehernya Sin Tjie.
Bocah ini mundur, akan berkelit, tetapi ia masih berdiri diluar pintu, untuk cegah orang
masuk.
Oppas itu jadi jengah, sebab ia, yang telah punyai pengalaman belasan tahun, tidak
mampu bekuk seorang kacung, dari jengah, ia jadi gusar, maka ia ulur tangannya, akan
sambar kuncirnya bocah itu.
Sin Tjie takut melihat rombongan oppas-oppas itu, ia sudah mau menangis, tapi melihat
orang demikian garang, dan sekali ini ia hendak dijambak rambutnya, ia jadi gusar, ia
sambar tangan orang untuk dibetot dengan kaget. Ia gunai Hok-houw-tjiang punya jurus
"Heng ho tan pian" atau "tarik melintang satu cambuk". Si oppas sempoyongan, ia jadi
gusar, maka ia putar tubuhnya, akan tendang bocah itu. Ia pun mendamprat : "Anak
haram, kau lihat tuanmu!"
Tubuhnya Sin Tjie kecil dan kate, dengan mendak sedikit, ia kasi lewat tendangan itu,
dengan kedua tangannya, ia tanggapi kaki dan kempolan orang, terus ia angkat dan
mendorong dengan keras. Tidak tempo lagi, tubuh besar dari oppas itu terlempar, jatuh
terbanting dengan keras! Sebenarnya Sin Tjie tidak punya tenaga demikian besar, ia
sanggup berbuat demikian sebab ia berbareng pinjam tenaga tendangan dari si oppas
sendiri.
Banya orang bersorak. Mereka memang sebal melihat oppas-oppas itu, orang-orang
dewasa dan tua, perhina satu bocah, tapi sekarang si bocah yang menang, mereka puas
dan gembira, tanpa merasa lagi, mereka berikan pujian mereka! Oppas-oppas lainnya
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
melengak, mereka heran hingga mereka hendak sangka bocah itu punya ilmu gaib. Tapi
segera mereka saling melirik, lantas semuanya maju, dengan golok dan thietjio ditangan.
Menampak demikian, semua tetamu kaget dan takut, mereka pada mundur.
Biar bagaimana, Sin Tjie masih terlalu muda, saking bingung, ia repot, tapi dalam saat
yang berbahaya itu, sekonyong-konyong dari kamar samping lompat keluar satu orang,
yang tubuhnya besar, mencelat kedepannya si bocah, terus ia geraki kaki-tangannya,
entah bagaimana, dengan gampang ia dapat rampas senjatanya sekalian hamba wet itu,
selagi oppas-oppas itu mundur dengan kekuatiran, ia mendesak, ia menyerang dengan
kepalannya sampai orang babak belur. Habis itu, orang ini perdengarkan suara keras yang
luar biasa.
"Siapa kau?" akhirnya satu oppas menegor. "Kami hendak tangkap orang jahat, lekas
mundur!"
Seperti juga orang yang tidak dengar pertanyaan, tubuhnya orang itu melesat kedepan
oppas ini, tahu-tahu tangannya sudah menjambret dada, apabila ia mengangkat, tubuh si
oppas dilemparkan, hingga tubuh itu melayang, bagaikan lajangan melewati tembok,
ketika dia rubuh, dia terbanting keras, dia pingsan! Melihat demikian, semua oppas lainnya
lari sipat-kuping keluar.
Orang kuat itu lalu hadapi Sin Tjie, ia bicara, tangannya digerak-geraki, tapi suaranya "ahah
oeh-oeh," maka sekarang ternyata dia adalah seorang gagu. Rupanya dia tanya si
bocah, bagaimana duduknya hal.
Bingung Sin Tjie, sebab ia tidak tahu bagaimana harus berikan keterangan. Selagi ia
mengawasi dengan melongo, orang itu lantas saja angkat tangannya keatas, lalu kebawah,
segera menyusul gerakan kakinya, maka tahu-tahu, dia sudah jalankan Hok-houw-tjiang,
sampai jurus kesepuluh, "Pek pok kie hie" jaitu "Egos serangan, tubruk kosong," ia lantas
berhenti.
Baru sekarang Sin Tjie mengerti. Sebagai jawaban, ia melanjuti jurus kesebelas. "Tek touw
kwie," atau "menendang betis". Ia bersilat sampai empat jurus.
Si gagu menonton, lalu ia tertawa, ia manggut-manggut, kemudian ia ulur tangannya, akan
tarik bocah itu, yang terus ia pondong.
Sin Tjie ingat gurunya, walaupun ia girang, ia menunjuk kedalam kamarnya. Ia mau tunjuki
bahwa dalam kamar itu ada orang.
Si gagu manggut, ia bertindak masuk kedalam kamar dengan masih empo bocah itu.
Ketika ia lihat Tjioe San numprah ditanah, mukanya pucat bagaikan mayat, ia kaget. Lekaslekas
ia turunkan Sin Tjie, ia hampirkan orang she Tjoei itu.
Tjioe San sadar, ia kenali si gagu ini, ia geraki kedua tangannya, ia tunjuk pahanya juga.
Si gagu itu mengerti, tidak tempo lagi, ia bekerja. Dengan tangan kiri, ia tarik Sin Tjie,
dengan tangan kanan, ia pondong Tjioe San. Dengan tindakan lebar, ia lantas keluar dari
kamar, dari hotel, akan lari sangat cepat, tidak peduli tubuhnya Tjioe San ada seratus kati
lebih beratnya.
Tuan rumah atau jongos tidak berani rintangi si gagu ini.
Si gagu ini berlalu bukan tanpa ada yang kuntit. Dua oppas, yang umpatkan diri diluar
hotel, telah memasang mata, lalu mereka mengikuti dari jauh-jauh, pikir mereka akan cari
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
tahu, dimana si gagu nanti taruh kaki, mereka akan cari bala bantuan untuk melakukan
penangkapan terlebih jauh.
Tjioe San masih tak sadar akan dirinya, ia tak tahu suatu apa bahwa si gagu bawa dia
kabur. Si gagu sendiri tak tahu ada orang bayangi dia, ia tidak dengar suara apa-apa
diarah belakangnya, karena kedua oppas terpisah jauh dari padanya. Akan tetapi Sin Tjie,
yang cerdik, lihat ada dua orang mengikuti saja, diam-diam ia tarik-tarik tangannya si gagu
dan monjongi mulutnya, untuk mengasi tanda. Atas ini si gagu berpaling, ia lantas lihat
kedua oppas itu, tapi ia tak bikin gerakan apa-apa, ia bertindak terus dengan cepat.
Mereka melalui tempat yang berupa tegalan yang sepi, makin lama makin sunyi, selang
dua-tiga lie, tiba-tiba si gagu letaki tubuhnya Tjioe San ditanah. Nampaknya dia ingin
berhenti, untuk menghilangi lelah, tidak tahunya, dengan sekonyong-konyong ia membalik
tubuh, untuk berlompat, begitu pesat, hingga dalam dua-tiga enjotan saja, ia sudah sampai
didepan kedua oppas itu tanpa mereka ini menduga suatu apa.
Tentu saja kedua hamba wet itu menjadi kaget dan takut, tidak tempo lagi, mereka berhenti
jalan, mereka putar tubuh, dengan niat mengangkat kaki. Tapi sudah kasep! Si gagu ada
terlalu sebat untuk mereka, sebelum mereka bisa angkat kaki, dia ini sudah sampai, kedua
tangannya diulur, hingga tak ampun lagi, mereka kena terjambak masing-masing! Si gagu
tidak melainkan mencekuk kedua oppas itu, tanpa pikir pandang lagi, ia angkat kedua
tangannya, ia ayun itu kesampingnya, dimana ada jurang, apabila ia telah lepaskan
jambakannya, kedua tubuh terlempar melayang kedalam jurang.
"Aduh!...." adalah jeritan hebat, yang tertahan, lantas sunyi-senyap. Sebab kedua oppas
telah terbanting hebat didalam lembah, kepala mereka pecah, otak mereka hancur
berantakan! Habis tamatkan lelakon hidupnya kedua oppas itu, si gagu kembali kepada
Tjioe San, tubuh siapa ia angkat pula, untuk dibawa pergi lagi, tetap dengan tindakannya
yang lebar, cepatnya bagaikan terbang.
Sekali ini sibuk juga Sin Tjie, ia coba berlari-lari keras, tak dapat dia mengikuti dengan
saksama, ia paksakan kedua kakinya lari sekeras bisa, tetapi Baru satu lie, sudah tak
sanggup dia, napasnya lantas memburu sengal-sengal.....
Si gagu menoleh, dia lihat orang sudah kehabisan tenaga, ia bersenyum, lalu ia
menyambar dengan tangannya yang sebelah lagi, akan kempit bocah itu, akan lari terus.
Malah sekarang dia bisa lari dengan terlebih keras lagi, sebab tak usah ia menantikan
pula.
Setelah berlari-lari sekian lama, si gagu, yang tidak kenal lelah, membiluk kekiri, maka
sekali ini, dia lari kearah gunung. Ia mendaki. Ia sudah sampaikan dua undakan, masih ia
berlari-lari terus, hingga di depannya terlihat satu rumah gubuk dengan tiga ruangan.
Selagi mendekati rumah itu, seorang yang berada diambang pintu lantas lari keluar, untuk
menghampirkan. Dia ini ada seorang perempuan umur dua-puluh lebih. Dia manggut
terhadap si gagu, si gagu pun manggut terhadapnya, tetapi ia heran tampak si gagu
mengempit dua orang. Segera ia mengajak masuk.
"Siauw Hoei, lekas ambil tehkoan teh dan cangkirnya!" demikian si perempuan muda.
Dari kamar sebelah terdengar satu jawaban anak kecil, cepat sekali dia muncul, dengan
membawa tempat air teh dan cangkirnya. Ia nampaknya heran, hingga setelah memandang
si gagu, dia pun awasi Tjioe San dan Sin Tjie. Nyata dia ada punya sepasang mata yang
celi.
Si perempuan muda, walaupun pakaiannya terdiri dari bahan cita kasar, ada punya kulit
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
muka yang putih-bersih dan halus, sebagaimana si bocah sendiri nampaknya manis.
"Eh, anak, apa namamu?" tanya perempuan muda itu kepada Sin Tjie, yang sudah
diturunkan dari kempitan si gagu. "Bagaimana kau bisa bertemu sama dia ini?"
Sin Tjie percaya orang perempuan ini ada sahabatnya si gagu, lalu ia berikan jawabannya
dengan jelas.
Perempuan muda itu lantas saja masuk kedalam, untuk kembali dengan teromol obatobatan,
ia keluarkan dua rupa obat bubuk putih dan merah, ia ambil sedikit, untuk diaduk
dengan air, setelah mana, Tjioe San dicekoki. Habis itu, dia ambil satu pisau kecil dengan
apa dia iris lukanya si Tjoei, sesudah mana, luka itu diborehkan obat bubuk kuning, lantas
ditunggu sebentar, lalu dicuci dengan air, akan akhirnya diborehkan lagi. Tiga kali luka itu
dirawat secara demikian.
Selama itu, Tjioe San buka mulutnya, akan perdengarkan suara tidak jelas.
"Dia ketolongan!" kata si perempuan muda kepada Sin Tjie, ia bicara sambil tersenyum.
Lantas ia gerak-geraki tangannya terhadap si gagu, maksudnya supaja si gagu ini
pondong orang yang luka kedalam, untuk antap dia beristirahat.
Selagi si gagu memondong kedalam, perempuan itu benahkan teromol obatnya.
"Aku ada orang she An, panggillah aku Encim An," kata dia pada Sin Tjie. "Ini ada anakku,
namanya Siauw Hoei. Sekarang tinggallah kau sama kami disini."
Sin Tjie manggut.
An Toa-nio lalu masuk kebelakang, untuk membuat mie, malah ia pun sembelih ayam,
guna santapan kedua tetamunya. Sin Tjie dahar lebih dahulu, habis itu, saking lelah dan
ngantuk, dia tidur dengan kepala diletaki diatas meja. Dia tak ingin apa-apa lagi....
Besoknya pagi, Baru saja orang bangun, Siauw Hoei sudah tarik tangannya Sin Tjie.
"Mari cuci muka!" kata si nona cilik.
"Aku hendak lihat dulu Tjoei Siokhoe, bagaimana lukanya..." kata si bocah.
"Empeh gagu telah bawa dia pergi sejak pagi," Siauw Hoei kasih tahu.
Sin Tjie terperanjat.
"Dibawa pergi? Apa benar?" tanya dia, hatinya mencelos.
Nona itu manggut.
Lantas Sin Tjie lari kedalam kamar, yang kosong. Tidak ada Tjioe San dan si gagu disitu.
Tiba-tiba saja ia menjerit, nangis.
"Ibu, ibu, lekas!" Siauw Hoei teriaki ibunya berulang-ulang.
An toa-nio datang dengan cepat.
"Ibu, dia lihat entjek Tjoei semua pergi, dia menangis," si anak memberitahukan.
"Jangan sibuk, anak yang baik," nyonya An lantas menghibur. "Pamanmu terluka, lukanya
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
parah, bukan?"
Sin Tjie manggut.
"Aku cuma bisa berikan dia pertolongan pertama," nyonya itu terangkan. "Dia sudah
terserang racunnya senjata rahasia, kalau dia tidak cepat dapat perobatan yang sempurna,
sebelah kakinya itu bisa mati seterusnya, maka itu empeh gagu bawa dia pergi kepada
satu orang lain, yang sanggup mengobatinya. Kau tunggu saja, kalau nanti dia sudah
sembuh, pamanmu itu bakal datang pula kemari melihat kau..."
Sin Tjie dapat dikasih mengerti, dengan pelahan, ia berhenti menangis.
"Pasti pamanmu akan sembuh," Toa-nio kata pula. "Sekarang pergi cuci muka, habis cuci
muka, kita dahar."
Sin Tjie menurut, maka sebentar kemudian, ia sudah duduk bersantap bersama itu ibu dan
anak.
Setelah dahar, An Toa-nio tanya lebih jelas tentang bocah ini.
Sin Tjie tuturkan segala apa, yang ia tahu mengenai dirinya.
Mendengar itu, nyonya rumah menghela napas.
"Sekarang tinggallah kau sama kami, jangan kuatir apa-apa," ia menghibur. "Kau tunggu
saja, tak lama pamanmu sembuh dan akan kembali."
Sin Tjie cuma bisa menurut.
Sejak masih kecil sekali, Sin Tjie sudah berpisah dari ibunya, selama itu, ia berada
dibawah asuhannya Eng Siong dan Tjoe An Kok beramai, walaupun mereka merawatnya
dengan sungguh-sungguh, sekarang, dibanding sama perawatannya An Toa-nio, ia
merasakan perbedaannya. Nyonya An merupakan sebagai ibu sejati, sedang disebelah si
nyonya, ada Siauw Hoei yang manis, yang jelita, yang senantiasa menjadi kawannya. Baru
beberapa hari, Sin Tjie sudah betah.
An Toa-nio satu kali suruh Sin Tjie jalankan semua ilmu silat yang pernah dipelajarkannya.
Sin Tjie menurut, setelah lihat itu, nyonya ini memuji, ia agaknya insaf sempurnanya
pelajaran itu.
Berselang sepuluh hari, An Toa-nio anjurkan Sin Tjie berlatih silat setiap hari, akan tetapi,
diwaktu melakukan itu benar atau salah, ia antap saja, tidak pernah ia bilang suatu apa,
malah selagi si bocah berlatih, jarang sekali ia menyaksikannya.
Siauw Hoei senantiasa temani Sin Tjie, tapi disaat si bocah berlatih silat, ia dipanggil
ibunya.
Pada suatu hari, An Toa-nio pergi kepasar, untuk belanja. Ia pun niat beli cita, guna
bikinkan baju dan celana untuk Sin Tjie, pakaian siapa sudah korat-karit, pecah disana-sini
bekas dipakai buron dari Lauw Ya San.
"Kamu memain didalam rumah saja, jangan keluar, nanti ada srigala," pesan si nyonya
ketika ia hendak pergi.
Siauw Hoei dan Sin Tjie terima pesan itu, seperginya si nyonya mereka main masakmasakan.
Siauw Hoei keluarkan mangkok dan sumpit kecil.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
"Kau potong ayam disini, aku hendak beli daging," kata si nona cilik.
Yang dinamakan "ayam" adalah sepotong lobak, yang di-potong-potong, dan "daging"
adalah semacam ubi hutan, yang ada di pekarangan depan, untuk mana, Siauw Hoei pergi
keluar. Tapi dia pergi sekian lama, hingga Sin Tjie tidak sabaran.
"Siauw Hoei! Siauw Hoei!" bocah ini memanggil-manggil akhirnya.
Panggilan ini tidak dapat jawaban, hingga akhirnya si bocah ingat serigala, sebagaimana
pesannya An Toa-nio. Ia lantas ambil korekan barah didapur, dengan bawa itu, ia lari
keluar.
Bukan main kagetnya Sin Tjie begitu lekas ia muncul diambang pintu, karena ia tampak
Siauw Hoei dikempit seorang lelaki bertubuh besar, yang sedang memutar tubuh untuk
lari pergi.
"Hei, hei!" berteriak bocah ini sambil mengubar. "Kemana kau hendak pergi?"
Tapi Sin Tjie tidak mengubar saja, ia pun menyerang dengan korekan barah.
Culik itu tidak menyangka, ia kena ditikam Sin Tjie. Sukur untuk dia, dia jangkung dan Sin
Tjie kate, lukanya tidak dibelakang hanya dikempolan. Dia kaget, dia merasa sakit,
karenanya dia jadi gusar.
"Kurang ajar!" dia berseru. Dia turunkan Siauw Hoei, lalu dia hunus goloknya, untuk
dipakai menyerang.
Sin Tjie tidak takut, dia menangkis dengan korekan barahnya itu. Ia keluarkan pelajaran
silat ajarannya Nie Hoo, ialah Gak Kee Sin-tjhio, ilmu silat tombak keluarga Gak (Gak
Hoei). Malah dengan ini, ia pun bisa balas menyerang.
Heran orang bertubuh besar itu, terpaksa ia melayani, hingga disitu terjadilah pertempuran
kipa - seorang dewasa dan tubuh besar melayani satu bocah cilik. Dia ini pun mainkan Lohan-
too, ilmu golok dari Siauw Lim Pay. Dia ada bertenaga besar, goloknya sampai
menderu-derukan angin keras.
Sin Tjie berkelahi sambil hunjuk kegesitannya, ia menyingkir dari bentrokan senjata, ia
main kelit saja, dilain saat, ia menikam berulang-ulang.
Selang belasan jurus, orang dewasa itu sibuk sendirinya. Ia heran, ia penasaran, kenapa ia
tidak sanggup rubuhkan satu bocah cilik! Karena ini, ia jadi berkelahi dengan sengit, ia
ubah cara penyerangannya. Sekarang ia lebih banyak membabat kaki.
Untuk menyerang kaki, penyerangan mesti dilakukan dengan "Tee-tong-too", ialah
permainan golok sambil bergulingan ditanah, tapi si culik tidak bertindak sampai begitu
jauh, ia main jongkok atau mendak saja.
Perubahannya lawan itu membuat Sin Tjie sibuk, dilain saat, ia mesti main mundur. Ia
terancam bahaya.
Siauw Hoei, yang dilepaskan dari cekalan, tidak diam menonton, dia lari kedalam rumah,
darimana ia kembali dengan pedang panjang ditangannya, dengan senjata ini ia serang
culik itu, akan bantui kawannya. Ia menyerang dengan tusukan "Sian-djin tjie lou" atau
"Dewa menunjuki jalanan".
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
"Foei, perempuan cilik, kau pun hendak cari mati!" berseru culik itu. Ia berbalik, ia bacok
si nona, Ia tidak gunai tenaga keras, ia tidak inginkan jiwa orang, ia cuma hendak sampok
terlepas pedangnya nona itu.
Tapi si nona cerdik, gerakannya pun gesit. Dia berkelit dari serangan itu, dia menyingkir
kebelakang, dari mana dia menyerang pula, dengan tikamannya "Sam-poo lian-tay" atau
"panggung teratai mestika".
Berbareng dengan itu, Sin Tjie menyerang dengan "Tok liong tjoet tong" atau "Naga jahat
keluar dari kedung".
Repot culik itu diserang dari dua pihak, ia mesti berlaku sebat sekali.
Tadinya Sin Tjie berkuatir menampak majunya si nona cilik, tapi setelah lihat penyerangan
orang beberapa kali, ia jadi girang. Nona itu bersilat dengan "Tat Mo Kiam-hoat", ilmu silat
dari guru besar Tat Mo. Untuk tidak kalah pengaruh, ia menyerang dengan lebih seru.
Mengetahui orang desak ia, culik itu menjadi girang. Ia tahu bocah-bocah tidak ulet, tidak
perduli ilmu silat mereka ada cukup untuk menjelamatkan dirinya dari pelbagai serangan.
Benar dugaan culik ini, selang sedikit lama, dua-dua Sin Tjie dan Siauw Hoei mulai jadi
lemah, maka sekarang adalah giliran dia untuk mendesak.
Siauw Hoei menikam, culik itu menangkis, demikian sebat, si nona sampai tidak keburu
menarik pulang senjatanya untuk hindarkan bentrokan, maka begitu kedua senjata beradu,
pedangnya terlepas, terlempar.
Sin Tjie lihat kawannya terancam, ia menikam, tapi culik itu, sembari menangkis, angkat
sebelah kakinya, akan tendang si nona, hingga dia ini terguling karena dia tak sempat
egos tubuh.
Dalam kaget dan kuatirnya, Sin Tjie lupa segala apa, waktu ia menikam pula, ia berlaku
sembrono sekali.
Melihat sikap orang itu, culik itu tertawa menyengir. Ia berkelit dari tikaman, lalu ia
merangsang goloknya diayun. Sin Tjie angkat korekan barahnya, untuk menangkis, tapi
selagi kedua senjata hendak beradu, si culik sambar ujung korekan, untuk ditarik sambil
diputar.
Sin Tjie kesakitan pada tangannya, karena bentrokan kedua senjata, karena putaran itu,
tak lagi ia bisa mencekal terus senjatanya itu, yang terlepas dengan segera.
Melihat orang telah tidak berdaya, culik itu lemparkan korekan barah,ia loncat pada Siauw
Hoei, tubuh siapa ia sambar, untuk dikempit, buat lantas dibawa lari! Walaupun dia sedang
kesakitan, melihat Siauw Hoei kena dibawa lari, Sin Tjie lupai sakitnya itu. Ia jumput
korekan barahnya, ia lari, akan mengejar.
"He, setan cilik, apakah kau tidak sayang dengan jiwamu?" membentak si culik , yang lihat
bocah itu demikian bandel. Ia kempit Siauw Hoei dengan tangan kiri, dengan tangan kanan
cekal goloknya, ia balik tubuh, akan layani pula bocah itu.
Setelah bertempur lima-enam jurus, Sin Tjie kena terbacok pada pundaknya, sia-sia ia
berkelit, bajunya robek, pundaknya terkena sedikit, hingga darahnya mengucur keluar.
"Setan cilik, apa kau masih berani?" mengejek culik itu.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Sin Tjie benar-benar besar nyalinya.
"Lepaskan Siauw Hoei, aku tidak akan susul pula padamu!" ia jawab sambil ia menahan
sakit. Ia jumput korekannya, kembali ia mengejar musuh, yang sudah lantas kabur pula.
Akhirnya culik itu habis sabar.
"Jikalau aku tidak bunuh dia, dia terang bakal ganggu aku," pikir dia. Maka ia berhenti lari,
ia sambut serangannya Sin Tjie.
Baru beberapa gebrak, korekan Sin Tjie kena disampok, dia terus ditendang hingga rubuh
berguling, sesudah mana, tidak berayal lagi, culik itu lompat maju seraya kirim
bacokannya.
Siauw Hoei dalam kempitan lihat bahaya mengancam Sin Tjie, ia geraki kedua tangannya,
akan jambret lengannya culik itu, terus ia gigit lengan itu.
Culik itu kaget, dia kesakitan, karena mana, bacokannya jadi salah.
Sin Tjie sendiri berkelit dengan buang diri, akan bergulingan di tanah.
Dalam sengitnya, culik itu sentil kupingnya Siauw Hoei, kemudian ia maju pula, lagi sekali,
ia serang Sin Tjie.
Bocah itu, yang belum sempat berbangkit, berguling lagi, tapi ujung golok mengenai
jidatnya, hingga di jidat itu, diatasan alis sedikit, terluka dan mengeluarkan darah.
Percaya bahwa orang akan mati kutunya, culik itu hendak kabur pula bersama korbannya.
Sin Tjie benar berani dan bandel, ia berlompat, akan tubruk orang punya kaki kiri, yang ia
peluki dengan keras, lalu dengan tipu silat "To tioe kim tjiang" atau "merubuhkan lonceng
emas", ia tekuk kaki itu menurut sekuat tenaganya.
Sengit culik itu, walaupun ia tidak rubuh, ia toh merasakan sakit pada kaki kirinya itu,
maka ia angkat kaki kanannya, untuk injak si bocah, atas mana, Sin Tjie terpental
terguling. Ia lantas maju pula seraja membacok.
Belum sampai golok turun, atau culik itu terkejut dan merasakan sakit pada kepalanya,
karena batok kepalanya menerbitkan satu suara membeletuk, apabila ia menoleh, ia
tampak An Toa-nio sedang ayun kedua tangannya. Ia jadi jeri, ia tinggalkan Sin Tjie, lantas
ia lari. Tapi Siauw Hoei ia kempit terus.
An Toa-nio ayun tangan kanannya beruntun tiga kali, tiga butir telur menyambar culik itu,
dia bisa kelit dua serangan tapi yang ketiga mengenai batang hidungnya, hingga disebelah
merasa sakit, mukanya mandi putih dan merah telur.
Masih nyonya An menimpuk dengan sebutir telur yang lain, yang kali ini mengenai mata
kiri si culik, hingga dia gelagapan. Walaupun hanya telur, toh timpukan ini ada cukup
keras.
Dalam gusarnya, culik ini lepaskan Siauw Hoei, dengan tangan kirinya, ia usap mukanya,
kemudian ia maju, akan serang si nyonya.
An Toa-nio tidak bersenjata, ia melayani sambil senantiasa berkelit.
Sin Tjie sudah bangun, ia telah pungut korekan barahnya, dengan tidak pedulikan lukanya,
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
ia maju, akan serang culik itu, guna bantu nyonya penolongnya. Ia jadi tambah semangat,
berulang-ulang ia menikam dengan ilmu tumbaknya Gak Hoei.
Karena didesak Sin Tjie, culik itu tak bisa desak An Toa-nio seperti bermula, hingga
nyonya ini dapat sedikit waktu senggang, sebab mana, ia jadi ingat cita yang Baru saja ia
beli untuk Sin Tjie. Segera ia keluarkan cita itu dari dalam rantangnya, terus ia lempar
kekali kecil didekatnya untuk dibasahkan. Ia pun gunai kesempatan menjumput tiga buah
batu, yang dipakai menimpuk, hingga culik itu jadi repot juga, karena mana, Sin Tjie tidak
sampai kena terlalu terdesak.
Selagi si culik terpaksa mundur, An Toa-nio sudah angkat citanya, untuk dibuka hingga
mirip dengan angkin atau sabuk, lalu ia maju lagi, akan dekati orang itu.
"Ouw Loo Sam!" berseru nyonya ini. "Selagi aku tidak ada dirumah, kau datang
menyatroni, kau perhina segala bocah cilik! Adakah kau satu laki-laki?"
Teguran itu ditutup berbareng dengan serangan dengan sepotong cita itu, yang digunakan
sebagai djoan-pian atau cambuk lemas. Setelah basah, cita itu dapat digunakan bagaikan
toya juga.
Culik itu, yang dipanggil Ouw Loo Sam, nampaknya sibuk. Ia tendang rubuh pada Sin Tjie,
lantas ia layani sungguh-sungguh pada si nyonya.
An Toa-nio sedang gusar, ia berkelahi dengan hebat, setelah mendesak, dua kali berhasil
ia menyerang dengan toya atau cambuknya yang istimewa itu. Ouw Loo Sam tidak sampai
terluka, tetapi ia merasakan sakit pada bebokongnya, yang kena terpukul. Karena ini,
gerakannya jadi lambat sendirinya.
Masih An Toa-nio mendesak, akan akhirnya, ia dapat libat golok lawan, maka lantas saja ia
menarik dengan kaget dan keras! Ouw Loo Sam terkejut, tak dapat ia mencekal keras,
goloknya terlepas dan terbetot oleh si nyonya, tapi ia tertawa dingin. Ia telah lompat dua
tindak, lalu ia kata sambil bersenyum iblis: "Aku adalah orang yang terima pesan dari
suamimu! Selama alusku belum buyar, maka ada satu hari yang aku nanti cari pula
padamu...!"
Alisnya si nyonya berdiri, ia sahuti ancaman itu dengan sabatan cambuk istimewanya.
Loo Sam telah bersedia agaknya, sebelum serangan sampai, ia sudah putar tubuh dan lari,
lari turun gunung dengan lekas.
Melihat orang angkat kaki, An Toa-nio tidak mengejar, hanya ia balik, untuk lekas-lekas
lihat Siauw Hoei dan Sin Tjie.
Siauw Hoei tidak terluka, dia melainkan kaget, ia tubruk ibunya lantas ia menangis. Dasar
bocah cilik! Sin Tjie berlumuran darah, ia diajak pulang untuk lantas dipetali darahnya,
sesudah bersih, lukanya diobati, dibungkus dengan rapi. Dia peroleh dua luka, syukur
tidak berbahaya; benar ia keluarkan banyak darah tetapi itu tidak sampai membahayakan
jiwanya. Ia dipondong, untuk direbahkan di pembaringan.
Sampai disitu, Siauw Hoei cerita pada ibunya bagaimana, selagi keluar sebentar, ia ketemu
Ouw Loo Sam, yang terus tawan ia, buat dibawa lari, bagaimana Sin Tjie pergoki mereka,
lantas bocah itu lawan Loo Sam, untuk tolongi padanya.
"Aku tidak sangka, begini muda usianya, dia berhati mulia, dia gagah sekali," berkata An
Toa-nio. "Tak dapat kita berayal pula, aku mesti tolong ia supaya jadi seorang sempurna."
Kemudian nyonya ini lanjuti pada puterinya. "Kau pun pergi tidur, sebentar malam kita
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
berangkat."
Siauw Hoei tidak heran atas kata-kata ibunya itu, ia lantas beristirahat.
An Toa-nio lantas berkemas, ia siapkan dua buntalan, kemudian ia tunggu datangnya sang
sore. Habis bersantap, bertiga mereka duduk menghadapi pelita. Nyonya ini tidak kunci
pintu, ia tidak jeri.
Benar kira-kira jam dua, diluar terdengar tindakan kaki, yang terus masuk kedalam.
Itulah si gagu, yang telah kembali. Ia bertubuh besar dan keren tapi tindakannya enteng,
suatu bukti bahwa kepandaian entengi tubuhnya telah sempurna.
An Toa-nio menyambut sambil berbangkit, ia bicara sama si gagu itu dengan mainkan
kedua belah tangannya, dengan mainkan juga mulutnya. Si gagu rupanya mengerti, dia
manggut-manggut.
"Mana Tjoei Siokhoe?" Sin Tjie tanya. "Apa dia baik?"
"Dia baik, kau jangan kuatir," An Toa-nio menghibur. "Mari, aku hendak omong sama kau."
Nyonya itu masuk kedalam kamar dimana ia duduk atas pembaringan.
Sin Tjie mengikuti, si nyonya lantas tarik tangannya.
"Sin Tjie!" katanya dengan manis-budi, "begitu lihat kau, aku suka padamu, dari itu, aku
pandang kau sebagai anak sendiri. Tadi kau telah berkorban untuk Siauw Hoei, itulah
budimu yang aku tidak nanti lupakan. Malam ini kami hendak pergi kesuatu tempat jauh,
maka itu, pergilah kau ikut empeh gagu."
"Tidak, aku ingin ikut kau bersama," kata Sin Tjie.
"Aku pun tidak tega berpisah dari kau," terangkan An Toa-nio. "Aku ingin empeh gagu
bawa kau kepada satu orang, dia adalah guru Baru namanya saja dari Tjoei Soesiokmu.
Baru beberapa bulan Tjoei Soesiok belajar silat pada orang itu, ilmu silatnya sudah liehay
sekali. Lootjianpwee itu ada punya ilmu silat yang tidak ada tandingannya, dari itu aku
ingin kau berguru kepadanya."
Mendengar itu Sin Tjie berdiam, agaknya dia ketarik.
"Seumur hidupnya, lootjianpwee itu cuma terima dua murid," An Toa-nio terangkan lebih
jauh. "Itu adalah kejadian pada belasan tahun yang lampau. Meskipun demikian, masih
belum tentu dia suka menerima murid pula. Tapi aku ada berbakat baik, hatimu pun mulia,
aku percaya dia pasti akan suka padamu. Empeh gagu ada bujangnya lootjianpwee itu,
aku ingin dia ajak kau untuk minta lootjianpwee terima padamu. Maka pergilah kau dengan
baik-baik. Umpama kejadian lootjianpwee tidak suka terima kau, empeh gagu nanti bawa
kau kembali padaku."
Sampai disitu, Sin Tjie telah ambil putusannya. Dia manggut.
"Bagus!" kata nyonya An. "Sekarang baik kau ketahui tabiatnya lootjianpwee itu. Dia
adalah seorang aneh. Umpama kau tidak suka dengar perkataannya, lantas dia tidak sukai
padamu. Umpama kau terlalu dengar kata, dia juga akan cela kau terlalu tolol dan tidak
punya semangat! Maka segala-galanya tinggal terserah kepada peruntunganmu sendiri!"
Dari lengannya, nyonya itu loloskan sepotong gelang emas, ia masuki itu kelengannya
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
bocah ini, apabila ia lengkuk sedikit, gelang itu menjadi kecil dan tidak akan lolos lagi.
"Jikalau nanti kau sudah rampungkan pelajaran ilmu silatmu, apabila kau telah menjadi
satu bocah besar, jangan kau lupakan encim Anmu ini dan Siauw Hoei!" kata nyonya yang
baik budi itu sambil tertawa.
"Andaikata lootjianpwee sudi terima aku," berkata Sin Tjie," apabila ada ketika senggang,
aku minta encim suka ajak Siauw Hoei datang melongok aku!"
Matanya nyonya itu menjadi merah, saking hatinya terharu.
"Baik, aku akan senantiasa ingat kau," ia jawab.
Lantas An Toa-nio menulis sepucuk surat, yang ia serahkan pada si gagu.
"Sekarang kita berangkat," kata ia sambil ia bawa dua buntalannya.
Berempat mereka keluar dari rumah, sesampainya diluar, mereka berpisah dalam dua
rombongan, masing-masing dengan tujuannya sendiri.
Sin Tjie berkumpul Baru beberapa hari dengan An Toa-nio dan Siauw Hoei, akan tetapi
perpisahan itu membuat ia merasa sangat berat. Ia senantiasa ingat itu bibi dan puterinya.
Si gagu tahu bocah ini telah keluarkan banyak darah karena luka-lukanya, dari itu, ia
angkat tubuh orang untuk dipondong, sesudah mana, segeralah ia buka tindakannya yang
lebar, ia jalan cepat sekali tak peduli jalanan ada jalanan pegunungan yang sukar. Ia
lakukan perjalanan siang, setiap malam mereka mondok ditempat dimana mereka sampai
sorenya, tetapi bukannya dihotel atau rumah orang, hanya didalam gua-gua atau rumah
berhala. Kalau toh mereka singgah di hotel, melulu untuk beristirahatnya si bocah, untuk
beli barang makanan.
Dalam halnya sendiri, si gagu dahar secara sembarangan, melainkan sekali tangsel perut,
sedikitnya mesti dua kati mie! Sering Sin Tjie tanya, mereka telah sampai ditempat apa,
jawabannya adalah menunjuk jari tangannya kearah depan.
Lagi tiga hari telah dilewatkan, jalanan jadi bertambah sukar, makin sukar, hingga lebih
benar disebut, sudah tidak ada jalanan lagi, untuk maju terus, si gagu gunai kedua
tangannya, akan merayap naik atau merambat antara pepohonan oyot. Sebab mereka
sedang mendaki gunung.
Selama itu, lukanya Sin Tjie telah jadi sembuh, cuma diatasan alisnya ada ketinggalan
tanda cacat kecil. Dia menggemblok di bebokongnya empeh gagu itu, kedua tangannya
merangkul leher orang dengan keras. Ia jeri kapan ia lihat tempat yang curam. Kalau
mereka terpeleset dan jatuh, habislah.......
Satu hari lamanya si gagu mesti manjat, sampailah ia diatas puncaknya gunung yang
tinggi dimana tepinya ada sebidang tanah yang lebar dimanapun ada tumbuh banyak
pohon cemara yang tinggi-tinggi, yang merupakan rimba saja. Disini si gagu jalan
melewati lima atau enam rumah batu, melihat mana, ia bersenyum sendirinya, hingga dia
mirip seorang perantauan lama yang Baru kembali ke kampung asalnya sendiri.
Didepan sebuah rumah batu, si gagu tuntun Sin Tjie untuk masuk kedalamnya, Galagasi
malang melintang, sebagai tanda rumah itu sudah lama tidak diisi, tetapi dengan
bantuannya sesapu, si gagu bersihkan itu, malah ia terus sapui semua, dalam dan luar,
sesudah mana, ia nyalakan api untuk masak air dan nasi.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Gunung ada demikian tinggi, entah bagaimana caranya si gagu sediakan beras dan
lainnya itu.
Ada sulit untuk Sin Tjie bicara sama empehnya ini, tetapi ia tidak banyak cerewet, ada
selang tiga hari, ia sibuk juga. Dengan gerakan tangan, ia tanya si gagu, mana dia si
lootjianpwee yang katanya dia bakal angkat jadi gurunya.
Si gagu mengerti pertanyaan itu, dia menunjuk kebawah gunung.
"Mari kita turun," Sin Tjie mengajak. Ia memberi tanda-tanda pula.
Si gagu menggeleng-geleng kepala, ia tak mau meluluskannya.
Dengan terpaksa, Sin Tjie diam saja. Ia jadi sangat masgul. Ia pun kesepian. Tidak dapat ia
pasang omong dengan si empeh itu.
Pada suatu malam, selagi Sin Tjie sedang tidur, ia mendusin dengan tiba-tiba. Didepan
matanya berkelebat cahaya terang, yang membuat ia terperanjat. Ia geraki tubuhnya, untuk
berbangkit, duduk diatas pembaringan, sebelah tangannya mencekal lilin yang apinya
menyala. Orang tua itu perlihatkan roman berseri-seri, tandanya ia girang.
Dasar otaknya cerdas, Sin Tjie lekas-lekas turun dari pembaringan, lantas saja ia paykoei
empat kali.
"Soehoe!" berkata dia. "Akhirnya soehoe datang juga!"
Orang tua itu tertawa terbahak-bahak.
"Eh, anak, siapa suruh kau panggil soehoe padaku?" tanya dia. "Cara bagaimana kau
ketahui bahwa pasti aku akan terima kau sebagai murid?"
Sin Tjie girang bukan kepalang. Dari kata-katanya orang tua itu, benar-benar dia bakal
diterima sebagai murid. Segeralah ia berikan jawabannya : "Inilah encim An yang ajari
aku!"
"Artinya itu dia telah menambah kesulitan untukku!" kata si orang tua, sambil bersenyum.
"Baiklah, memandang kepada mendiang ayahmu, aku terima kau sebagai murid!"
Lantas saja Sin Tjie hendak paykoei pula, tetapi si orang tua cegah.
"Sudah cukup, sudah cukup!" katanya. "Sampai besok saja."
Besoknya pagi, sebelum terang tanah, Sin Tjie sudah bangun dari tidurnya, lantas ia pergi
pada si empeh gagu diluar, dia ini rupanya sudah dapat tahu juga yang orang tua itu suka
terima bocah ini sebagai murid, dalam kegirangannya yang meluap-luap, dia angkat
tubuhnya si bocah, dia lemparkan ke atas, lalu dia tanggapi dengan tangannya. Hingga
empat-lima kali tubuh Sin Tjie terapung-apung, sehingga bocah itu, yang pun girang
sekali, tertawa dengan berisik.
Si orang tua di dalam kamarnya dengar suara riuh diluar, ia bertindak menghampirkan,
hingga ia saksikan laga-lagunya si gagu dan bocah itu.
"Bagus!" berkata ia. "Kau masih begini muda, kau mengerti perbuatan-perbuatan mulia
dan gagah, kau telah tolongi seorang perempuan. Hayo, kepandaian apa kau punyai,
pertunjuki semua itu, kasi aku lihat!"
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Sin Tjie jengah, hingga wajahnya menjadi merah.
"Jikalau kau tidak perlihatkan semua kepandaianmu, cara bagaimana aku bisa ajarkan kau
silat?" kata si orang tua sambil tertawa. Sekarang Barulah si bocah tahu, orang tua itu
tidak main-main dengannya.
"Baiklah, soehoe," kata ia kemudian, sesudah mana, ia mulai bersilat. Ia jalankan Hokhouw-
tjiang ajaran Tjoei Tjioe San dari permulaan sampai diakhirnya.
Orang tua itu mengawasi dengan air muka berseri-seri, ia tunggu sampai si bocah
selesaikan jurus terakhir, ia tertawa.
"Tak habisnya Tjioe San puji kecerdasanmu, mulanya aku tidak percaya," kata dia. "Dia
ajarkan kau ilmu silat ini Baru beberapa hari saja, sekarang kau bisa jalankan itu begini
rupa, dia benar."
Mendengar disebutnya nama gurunya, Sin Tjie sangat tertarik, tergerak hatinya, akan
tetapi orang tua itu masih bicara, ia tidak berani memutuskannya.
"Tjoei Siokhoe dimana?" begitu ia tanya, begitu lekas si orang tua berhenti bicara. "Apa ia
baik?"
Terang sudah ia sangat perhatikan keselamatan orang she Tjoei itu.
"Ia tak kurang suatu apa, ia sudah kembali kepada Lie Tjiangkoen," jawab si orang tua.
Sin Tjie girang sekali, walaupun ia ada sedikit menyesal yang ia tak sampai bertemu pula
dengan guru Hok-houw-tjiang itu.
Si gagu sendiri sudah lantas siapkan meja sembahyang.
Si orang tua keluarkan selembar gambar dimana ada lukisannya satu sasterawan, yang
romannya alim dan agung. Ia sulut lilin, ia pasang hio, lantas ia memberi hormat sambil
menjura. Kemudian Barulah ia kata pada Sin Tjie : "Inilah gambarnya Tjie Tjouw-soeya,
pendiri dari kaum kita Hoa San Pay. Hayo kau jalankan kehormatan!"
Sin Tjie menurut, ia lantas paykoei , tapi ia tak tahu, berapa kali ia mesti manggutmanggut,
ia terus paykoei tak hentinya, hingga si orang tua tertawai padanya.
"Sudah cukup!" kata si orang tua itu.
Masih saja orang tua itu ketawa ketika tahu-tahu si bocah paykoei terhadapnya.
"Soehoe!" memanggil murid cilik ini, yang sangat cerdik.
Sambil bersenyum orang tua itu terima pemberian hormat ini.
"Mulai hari ini, kau adalah murid yang sah dari Hoa San Pay kita," kata si orang tua
kemudian. "Lebih dahulu daripada kau, aku telah punyakan dua murid, sejak itu, karena
tidak ada orang yang berbakat, aku belum pernah terima murid lainnya lagi, belasan tahun
telah lewat, baru sekarang kau datang. Kau ada murid yang ketiga,kau juga ada murid
penutup, maka itu, kau mesti belajar dengan sungguh-sungguh, supaya tidak sampai kau
menerbitkan malu untuk kaum kita!"
Sin Tjie manggut berulang-ulang.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
"Aku janji, soehoe," ia berikan perkataannya.
"Aku adalah orang she Bok," sang guru berkata pula." Dalam kalangan kang-ouw,
sahabat-sahabatku panggil aku Pat Tjhioe Sian-wan. Kau harus ingat baik-baik, kau harus
jaga supaja lain kali, apabila ada orang tanya kau tentang nama gurumu, nanti kau
menyahuti, "Oh, oh, aku tak tahu....."
Mendengar itu, tak dapat ditahan lagi, Sin Tjie tertawa. Tapi segera ia berhenti. Ia ingat
pesannya An Toa-nio bahwa si orang tua bertabiat koe-koay; ingat itu, hatinya kecil, ia jeri,
akan tetapi sekarang ternyata, guru ini bukannya seorang aneh, dia hanya satu tukang
guyon! Pat Tjhioe Sian-wan Bok Djin Tjeng, si Lutung Sakti Tangan Delapan, sudah
malang-melintang dua-puluh tahun lebih dalam dunia kang-ouw, belum pernah dia
ketemukan tandingannya, karena ia tidak suka jual lagak, namanya tidak terlalu tersohor.
Memang benar ia mempunyai sifat yang luar biasa, ialah suka menyendiri. Tapi terhadap
Sin Tjie, segera timbul perasaan kasihannya. Bocah ini, yang yatim-piatu, harus
dikasihani, sedang disebelah itu, Djin Tjeng hargakan sangat Wan Tjong Hoan sebagai
panglima perang yang gagah, sebagai jenderal yang setia, terutama disayangi
kebinasaannya secara menyedihkan. Sin Tjie sendiri ada berbakat baik, cerdas,
kelakuannya sangat menyukai orang. Maka itu, lenyap keanehannya, Djin Tjeng suka
terima bocah ini, malah ia telah berguyon dengannya.
"Kedua soehengmu ada jauh lebih tua daripadamu, dua atau tiga-puluh tahun lebih,"
berkata sang guru kepada muridnya. "Murid-murid mereka juga ada jauh terlebih tua
daripada kau. Maka bisa kejadian, mereka akan sesalkan aku, yang aku telah terima kau,
satu murid begini muda! Dan umpama kata kau belajar tidak berhasil, apabila nanti kau
dipadu dengan murid-murid mereka dan kau kalah, ada alasan untuk mereka itu cela
aku..."
"Pasti aku belajar sungguh-sungguh, soehoe," Sin Tjie pastikan. Lalu ia tanya: "Tjoei
Siokhoe itu ada murid soehoe juga?"
"Ia hendak turut Lie Tjiangkoen berperang, ia tidak punya tempo akan belajar dengan tetap
padaku," sahut Bok Djin Tjeng. "Aku cuma ajarkan ia ilmu pukulan Hok-houw-tjiang, tak
dapat ia dipandang sebagai muridku." Lalu ia tunjuk si gagu dan melanjuti : "Lihat ia!
Setiap hari ia saksikan kita berlatih, dengan sendirinya ia dapatkan bukan sedikit
kepandaian, akan tetapi apabila ia dipadu dengan dua muridku, bedanya bagaikan langit
dan bumi saja!"
Sin Tjie kagum, hingga ia melengak. Ia telah saksikan kekuatan dan liehaynya si empeh
gagu, toh ia ini cuma satu pelajan dan kepandaiannya didapat, katanya, "boleh mencuri
lihat saja." Tjioe San pun gagah sekali, toh ia cuma peroleh satu Hok-houw-tjiang. Semua
itu adalah bukti-bukti yang menunjuki liehaynya guru ini.
"Maka jikalau aku belajar sungguh-sungguh, walaupun aku tak dapat susul kedua
soeheng, tentu sedikitnya aku bisa dapat kepandaian sebagai si gagu ini." Pikir ia. Dan
pikiran ini membikin ia girang sekali.
"Kami kaum Hoa San Pay mempunyai beberapa aturan," Bok Djin Tjeng berkata lebih jauh.
"Itu mengenai pantangan berbuat cabul, melakukan pekerjaan sebagai piauwsoe dan lainlain,
sekarang belum dapat aku jelaskan kepada kau, karena kau tentunya tidak mengerti.
Melainkan kau hendak pesan dua rupa kepada kau, yaitu kau mesti dengan kata guru, kau
mesti jangan lakukan apa-apa yang buruk! Kau mengerti?"
"Pasti aku akan dengar perkataan soehoe, tidak nanti aku berbuat buruk," jawab sang
murid.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
"Bagus!" berkata guru itu. "Sekarang mari kita mulai berlatih. Karena temponya sangat
mendesak, Tjoei Siokhoemu ajarkan kau Hok-houw-tjiang secara sekelebatan saja.
Sebenarnya, ilmu pukulan itu mempunyai kefaedahan yang utama, usiamu masih terlalu
muda, apabila kau terus yakinkan itu, kau tak akan dapatkan kesempurnaan. Maka
sekarang aku nanti mulai kau dengan Tiang-koen Sip-toan-kim."
"Dulu pernah Nie Siokhoe ajarkan aku pukulan itu," Sin Tjie terangkan.
"Ya, tetapi itu belum berarti!" kata sang guru. "Apa kau rasa kau sudah pandai gunai itu?
Kau keliru jauh! Jikalau kau telah sempurnakan Tiang-koen Sip-toan-kim, didalam
kalangan kang-ouw, tentulah tak banyak orang lagi yang sanggup kalahkan padamu!......."
Sin Tjie melengak pula.
"Ya, ya, soehoe," kata ia, yang tak berani banyak omong lagi.
"Sekarang kau lihat, habis itu, kau turuti," kata sang guru.
Bok Djin Tjeng lantas jalankan Tiang-koen Sip-toan-kim, muridnya mengawasi.
Sin Tjie heran, ilmu silat yang guru ini jalankan, semua mirip dengan yang ia peroleh dari
Nie Hoo. Ia jadi tidak mengerti, apakah kefaedahannya ilmu pukulan itu........
Sedang bocah ini berpikir keras, sang guru tegur padanya.
"Apakah kau sangka gurumu perdayakan kau? "tanya Bok Djin Tjeng. "Mari, mari, kau
coba serang aku, asal kau bisa jambret saja baju atau langgar ujung bajuku, anggaplah
kau benar sudah pandai!"
Bocah itu tidak berani serang gurunya, ia cuma bersenyum saja, tak bergerak ia dari
tempatnya berdiri.
"Hayo maju, aku sedang ajarkan kau ilmu silat!" guru itu mendesak.
Mendengar bahwa ia hendak diberi pelajaran, Sin Tjie lantas maju, dengan satu lompatan,
ia sambar baju gurunya, yang memakai tungsha, baju panjang. Ia rasa ia bakal berhasil
menjambret, tidak tahunya, Baru ia hampir mengenai atau ujung baju itu seperti mundur
sendirinya. Ia maju pula, atau lantas, ia kehilangan gurunya itu.
"Aku disini!" kata si guru sambil tertawa, dengan tangannya ia tekan pundak orang. Ia ada
dibelakang si murid.
Sin Tjie berdiam, tetapi dia geraki tubuhnya dengan gerakan "Auw tjoe hoan sin" atau
burung elang jumpalitan". Ia bergerak dengan gesit sekali, kedua tangannya dipentang,
untuk merangkul. Tapi ia merangkul tempat kosong, ia tak lihat gurunya. Apabila ia
berpaling, ia tampak gurunya itu berdiri dari dia jauhnya kira-kira tiga tumbak! "Aku mesti
bisa jambak padamu!" pikirnya, yang jadi sangat penasaran. Ia lompat pula, secara sangat
gesit, tangannya diulur.
Tangan bajunya Bok Djin Tjeng dikibaskan, tubuhnya ikut mencelat, dengan begitu, ia
hindarkan dari terkaman, hingga kembali sang murid tangkap angin.
Sin Tjie tidak jadi putus asa, dia malah tidak mendongkol, sebaliknya, ia tertawa hi-hi-hi,
menandakan kegembiraannya. Ia mengejar, ia membiluk kemana si guru putar tubuh. Tibatiba
ia lihat si gagu gerak-gerakan tangannya sebagai tanda untuknya. Diam-diam ia
menaruh perhatian, mendadakan hatinya tergerak.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
"Benar-benar soehoe gunakan Tiang-koen Sip-toan-kim",ia memikir. "Kenapa soehoe ada
begini gesit?"
Ia masih mengubar terus, tapi sekarang dengan perhatikan gerak-gerik gurunya itu. Ia
sudah paham benar sekali semua gerakannya. Ia terus menaruh perhatian, akan setelah
itu, ia pun menelad gerakan gurunya, hingga lantaslah terlihat, dia pun jadi gesit beberapa
lipat.
Bok Djin Tjeng senantiasa awasi sang murid, diam-diam dia manggut-manggut.
"Anak ini benar-benar bisa terima pelajaran," pikir dia.
Sin Tjie perhebat pengejarannya, karena ia bisa bergerak terlebih sebat pula, akan tetapi
didepan dia, gurunya pun bertambah-tambah gesit, hingga sia-sia saja pengejarannya.
Hingga berdua mereka seperti merupakan bajangan saja.
Lagi sekian lama, mendadakan Bok Djin Tjeng berlompat, akan tubruk muridnya, tubuh
siapa ia angkat tinggi-tinggi.
"Murid yang baik, anak yang manis!" berkata dia sambil tertawa berkakakan.
"Soehoe!" kata sang murid, yang girang luar biasa, karena sekarang ia insaf kemujijatan
Tiang-koen Sip-toan-kim.
"Bagus, anak, sebegini sudah cukup untuk latihanmu!" kata sang guru. Ia turunkan tubuh
Sin Tjie, ia lepaskan cekalannya. "Sekarang kau ulangilah sendiri!"
Sin Tjie menurut, ia lantas jalankan Tiang-koen Sip-toan-kim.
Setelah mengawasi beberapa ulangan, Bok Djin Tjeng masuk kedalam.
Sin Tjie tidak turut gurunya beristirahat, ia masih berlatih terus, sampai belasan kali,
hingga ia tambah mengerti kefaedahannya ilmu silat itu, yang berpokok pada kegesitan. Ia
ada demikian kegirangan, hingga malam itu tak dapat ia tidur dengan nyenyak, terus ia
bayangi itu ilmu pukulan, sampai mimpi pun ia masih berlatih....
Besoknya pagi, Baru saja fajar, bocah ini sudah bangun, untuk berlatih, karena ia kuatir
pengajarannya kemarin nanti terlupa. Ia belajar seorang diri, dengan sungguh-sungguh.
Berselang belum lama, selagi bocah ini sangat bersemangat, ia dengar suara batuk-batuk
dibelakangnya, apabila ia berpaling, ia lihat gurunya.
Bok Djin Tjeng berada dibelakang muridnya, sambil tertawa.
"Soehoe!" ia memanggil, terus ia berdiri diam, kedua tangannya dikasih turun.
"Kau telah mengerti dengan cepat, inilah bagus," berkata sang guru. "Tapi kau Baru
mengerti bagian atas, bagian bawahnya belum, dibagian bawah, kau masih kosong,
apabila kau hadapi lawan liehay, kau bakal celaka. Kau mesti bersikap begini...."
Guru itu lantas mengasi contoh.
"Sekarang hayo kau turut!"
Sin Tjie menelad gurunya, ia mengerti dengan cepat, setelah mana, terus ia jakinkan ini
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
ajaran baru, hingga ia kembali dapat tambah pengertian.
Selanjutnya, tidak pernah Sin Tjie abaikan ajaran-ajaran gurunya. Sang tempo lewat
dengan cepat, selang tiga tahun, bocah ini telah masuk usia dua-belas tahun. Ia berlatih
dari kecil, sekarang tubuhnya jadi kuat sekali, pasek dan gesit.
Seperti biasanya, Bok Djin Tjeng suka turun gunung, untuk pesiar, kalau ia pergi, ia pergi
untuk dua atau tiga bulan. Setiap kali ia pergi, ia ajarkan muridnya pelbagai ilmu, apabila ia
pulang, ia lantas menilik, untuk mengajarkan terlebih jauh. Ia puas mendapati muridnya
belajar rajin sekali dan pesat kemajuannya.
Pada suatu harian Toan-ngo-tjiat, sehabisnya minum arak Hiong-hong-tjioe, dengan tibatiba
saja Bok Djin Tjeng keluarkan gambarnya Tjouwsoe-ya, ia memberi hormat sambil
paykoei, ia perintah Sin Tjie turut menghormatinya sebagai dia. Kemudian dia kata pada
muridnya: "Sin Tjie, tahukah kau, apa sebabnya hari ini aku suruh kau menghormati
Tjouwsoe-ya?"
Murid ini goyang kepala.
Bok Djin Tjeng masuk kedalam kamarnya, akan keluar pula dengan satu peti kayu kecil
tetapi pandang, yang ia letaki diatas meja, apabila ia telah buka tutup peti itu, nyata
didalamnya terletak sebilah pedang yang sinarnya bergemirlapan menyilaukan mata.
Pedang itu pandangnya tiga kaki.
Sin Tjie terkaget! "Apa soehoe hendak ajarkan pedang padaku?" tanya dia.
Sang guru manggut, ia jumput keluar pedang tajam itu.
"Kau berlutut, dengar perkataanku," tiba-tiba kata dia, suaranya keras, sikapnya keren
dengan mendadakan.
Tanpa banyak omong, murid itu tekuk kedua lututnya.
"Pedang adalah rajanya ratusan macam alat-senjata," berkata Bok Djin Tjeng, "pedang ada
gegaman paling sukar untuk dipelajarkan. Tapi kau ada berotak terang, kau pun berhati
keras, aku percaya kau akan sanggup mempelajarinya. Ilmu pedang kaum kita, Hoa San
Pay, yang diwariskan berulang-ulang, mengandal kepada si ahliwaris, tetapi buktinya
sampai sebegitu jauh, senantiasa tambah saja kemajuannya. Dikalangan lain, ada umum
sang guru tinggalkan satu ilmu pukulan yang dirahasiakan, karena ini, satu angkatan
dengan satu angkatan, murid-muridnya tambah kurang kepandaiannya, tetapi kita, kita
tidak berbuat demikian. Benar kita memilih murid dengan keras, tetapi setelah dipilih, kita
berikan dia semua pelajaran, malah dibagian ilmu pedang, setiap achliwaris menambah
kepandaiannya. Ilmu pedang kita sulit untuk dipelajarkan, hanya setekah mengerti, orang
akan insaf itu dengan sempurna, dan asal orang bisa wariskan, dia sudah seperti tidak ada
tandingannya. Sekarang aku hendak ajarkan kau ilmu pedang tapi kau mesti sumpah
dahulu bahwa kau tidak nanti bunuh sekalipun satu orang yang tidak bersalah-dosa!"
Sin Tjie jawab gurunya itu, ia kata : "Ini hari soehoe ajarkan teetjoe ilmu pedang, apabila
dibelakang hari aku binasakan seorang yang tidak bersalah, maka pasti aku pun bakal
binasa terbunuh orang!"
"Bagus! Hayo bangun!"
Sin Tjie berbangkit, untuk berdiri.
"Aku tahu kau berhati mulia, tidak nanti kau bunuh orang tanpa alasan," kata guru ini,"
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
akan tetapi saat ada berlainan, ada saatnya untuk silat membedakan kebenaran dari
kepalsuan, inilah yang harus dijaga. Asal kau senantiasa berpokok pada kejujuran dan
belas-kasihan, aku percaya tidak nanti kau membunuh secara keliru. Maka hal ini mesti
kau ingat baik-baik."
Sin Tjie manggut, ia beri pula janjinya.
"Sekarang kau lihat," berkata sang guru akhirnya. Ia cekal pedang dengan tangan kanan,
tangan kirinya diletaki diatas itu, habis itu ia mulai bersilat, hingga sinar pedang memain,
me-nyambar- bagaikan naga dan ular, cahayanya seperti bianglala.
(Bersambung bab ke 4)
Sin Tjie sudah ikuti Bok Djin Tjeng tiga tahun, pandangan matanya telah jadi beda sekali,
sekalipun demikian, sekarang tak bisa ia ikuti gerak tangan dan kakinya sang guru,
sedangnya ia kagum, tiba-tiba guru itu berseru, pedangnya melesat kedepan, nancap
dibongkotnya satu pohon besar.
Itulah tenaga yang besar luar biasa, karena mana, Sin Tjie menjadi bengong dan nganga
saja! "Bagus!" demikian satu suara pujian, yang datangnya dari arah belakang si bocah.
Selama tiga tahun berdiam diatas gunung, belum pernah Sin Tjie dengar suara lain orang
kecuali gurunya, atau hanya suara ah-ah-uh-uh dari si empeh gagu, sekarang mendadakan
ia dengar satu suara asing - memangnya ia sedang tercengang - ia jadi heran sekali. Cepat
luar biasa, ia menoleh kebelakang, hingga didepan matanya, ia tampak satu toodjin atau
imam yang bersenyum berseri-seri seraja usut-usut kumis dan jenggotnya.
Imam itu berjubah kuning, mukanya bersemu merah, rambutnya sudah putih semua. Habis
memuji, ia berkata : "Sudah lebih dari sepuluh tahun aku tidak lihat kau gunai pedangmu,
tidak disangka kau telah peroleh kemajuan begini rupa!"
Bok Djin Tjeng telah menoleh pada tetamunya itu, ia tertawa berkakakan.
"Bhok Siang Tooyoe, angin apa sudah tiup kau sampai disini?" tanya dia. "Sin Tjie, hayo
kau kasi hormat pada too-tiang!"
Sin Tjie menurut, ia hampirkan itu imam akan berlutut dan manggut didepannya.
"Jangan, jangan!" tertawa si imam, seraya ia membungkuk, untuk angkat bangun bocah
itu.
Sin Tjie tidak mau diangkat, dan, sebagai biasanya orang yang mengerti silat, ia gunai
tenaganya, maka itu, tidak gampang untuk si imam cegah pemberian hormat itu. Dia juga
memang cuma mau mencoba saja.
"Lauw Bok!" berkata ia kemudian, "selama beberapa tahun ini, jarang sekali aku bertemu
dengan kau, tidak tahunya kau keram diri disini untuk mendidik muridmu ini. Sungguh,
peruntunganmu tidak buruk, di saat-saat dari hari akhirmu, kau masih mendapatkan satu
bahan yang baik sekali!"
Bok Djin Tjeng girang atas pujian sahabat itu dengan siapa ia biasa berguyon.
"Aya!" Bhok Siang Toodjin berseru sendirinya. "Hari ini aku tidak bawa uang, jadi dengan
Cuma-cuma saja aku terima hormatmu ini, anak! Bagaimana sekarang?......."
Mendengar kata-katanya si imam, hatinya Bok Djin Tjeng tergerak, mendadakan, ia ingat
suatu apa. Ia berpikir: "Imam setan tua ini ada punya kepandaian luar biasa, karenanya,
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
kaum kang-ouw djuluki ia Kwi-eng-tjoe si Bajangan Iblis. Coba dia suka wariskan salah
satu pelajarannya kepada Sin Tjie, alangkah baiknya! Hanya ia biasanya tak suka terima
murid, maka perlu aku cari akal untuk ia keluarkan kepandaiannya itu...."
Segera juga guru ini kata pada muridnya : "Sin Tjie, tootiang telah berikan janji hadiah
bagimu, lekas kau memberi hormat dan haturkan terima kasihmu!"
Sin Tjie benar-benar cerdik, dengan lantas ia dapat mengerti maksud gurunya, maka
segera ia paykoei pula, ia ucapkan terima kasihnya.
Bhok Siang Toodjin tertawa terbahak-bahak.
"Ya, bagus, bagus, bagus!" kata ia.
"He, bocah cilik, kau dengar aku, untuk jadi manusia, orang mesti jujur dan polos, maka
jangan kau telad gurumu ini yang kulit mukanya sangat tebal! Masa, begitu dengar orang
hendak memberikan barang, dia lantas ketok besi panas! Mustahil aku si tua-bangka nanti
perdayakan kau satu bocah? Mustahil, bukan? Nah, begini saja, justru sekarang aku si
tua-bangka lagi bergembira, aku berikan kau ini saja!"
Dari bebokongnya, dimana ada tergendol satu kantong, imam ini rogoh keluar segumpal
barang, apabila Sin Tjie buka itu, itu adalah baju kaos hitam, melainkan ia tak tahu,
bahannya terbuat daripada sutera atau kulit. Tentu saja, ia terima hadiah barang itu
dengan tergugu.
"Eh, tooheng, jangan kau main-main!" Bok Djin Tjeng kata pada sahabatnya itu, gangguan
siapa tadi ia tak gubris. "Bagaimana kau dapat berikan dia mustika ini?"
Mendengar kata-kata gurunya itu, karena itu baju kaos katanya ada mustika, Sin Tjie ulur
kedua tangannya, akan angsurkan itu kepada si imam.
Tapi si imam menolak.
"Aku tak demikian kikir sebagai gurumu!" kata dia. "Tidak biasanya aku, sudah memberi
barang, barang itu diminta pulang! Kau ambillah!"
Masih Sin Tjie tidak berani menerima, ia awasi gurunya.
"Jikalau begitu, kau terimalah," kata sang guru. "Lekas kau bilang terima kasih."
Sin Tjie menurut, ia mengucap terima kasih sambil paykoei pula.
Lalu, dengan roman sungguh-sungguh, Bok Djin Tjeng kata pada muridnya: "Ini adalah
sepotong baju mustika! Untuk mendapatkan ini, dahulu tootiang sudah keluarkan banyak
keringat-daki, ia telah membahayakan jiwanya sendiri! Nah, kau pakailah!"
Sin Tjie turut perkataan gurunya, ia lantas pakai baju kaos itu.
Bok Djin Tjeng bertindak kepohon, untuk cabut pedangnya, ia cuma gunai dua jerijinya,
nampaknya ia dapat menyabut dengan gampang sekali.
"Baju kaos ini terbuat dari sutera emas putih, rambut dan bulunya kera-kuning, yang
disulam menjadi satu, senjata tajam bagaimana juga tak dapat merusaknya," menjelaskan
ia, menyusul mana, ia bacok pundak muridnya.
Sin Tjie kaget, ia hendak berkelit tapi sudah kasep, ia kalah sebat dengan gurunya itu,
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
selagi ia berlompat, pundaknya sudah jadi sasaran. Akan tetapi, buat keheranannya, ia
tidak terluka, bacokan terasa enteng sekali, pedang itu terpental balik. Ia jadi sangat
girang, hingga lagi-lagi ia paykoei didepan si imam! Bhok Siang Toodjin tertawa; katanya
pada si bocah: "Kau lihat barang ini hitam-legam, jelek dipandangnya. Ketika pertama kali
kau paykoei, mestinya kau belum punya kepercayaan, kau tidak puas, tetapi sekali ini kau
paykoei, tentu kau sudah puas benar!"
Mukanya Sin Tjie jadi merah karena godaan itu, hingga ia diam saja.
Bhol Siang toodjin tidak perdulikan orang jengah atau tidak, ia melanjutkan : "Dahulu
pernah beberapa kali baju kaos ini tolong jiwaku," katanya, "tetapi sekarang, asal saja
gurumu tidak ganggu aku, mungkin sekalipun tak memakai baju ini, dikolong langit tidak
ada lagi orang yang mampu celakai aku!"
Habis mengucap demikian, imam itu tertawa berkakakan, nampaknya ia sangat puas dan
jumawa.
Bok Djin Tjeng pun tertawa, dan berkata: "Eh, imam bangkotan jangan tjampur aduk, kau
mengebul didepannya satu bocah! Dalam hal ilmu kepandaian, tak dapat aku lawan kau,
tetapi dikolong langit ini, ada banyak sekali orang pandai!"
Bhok Siang Toodjin tersenyum.
"Sudah, sudah, kita berdua tak boleh gunai golok dan pedang!" berkata dia. "Mari, mari,
lebih baik kita......."
"Kita adu kepandaian diatas papan catur!" tertawa Bok Djin Tjeng.
"Benar!" Bhok Siang Toodjin pun tertawa. "Kau memangnya adalah cacing kamcekan
dalam perutku!"
"Ya!" kembali tertawa Bok Djin Tjeng, "kau juga, jikalau ketagihan main caturmu, tidak
kumat, tidak nanti kau datang cari aku diatas gunung sebagai ini! Apakah kau bawa alat
peranti makan nasi?"
Bhok Siang Toodjin tertawa sembari tertawa ia meraba bebokongnya, akan kasih turun
papan caturnya (tio-kie) beserta dua bungkus biji tiokienya, sedang si gagu, tanpa
diperintah lagi, sudah lantas gotong keluar meja dan kursi untuk dua orang itu adu otak.
Maka kedua orang tua itu lantas duduk dibawahnya sebuah pohon, akan mulai atur biji,
untuk segera jalankan itu sambil saban-saban berpikir.
Wan Sin Tjie berdiri disamping, ia tidak mengerti permainan itu, maka, sambil ia jalankan
biji-bijinya, Bhok Siang Toodjin ajari dia aturan bertindaknya sesuatu biji. Imam ini pun
kebulkan tentang kepandaiannya main tiokie itu, bahwa Bok Djin Tjeng bukanlah
tandingannya.
Bok Djin Tjeng cuma bersenyum saja, ia terus pikirkan biji-bijinya sendiri ia antapkan
orang sombongi diri.
Catur ada permainan yang gampang dipelajari tetapi sulit untuk menjadi ahli, tetapi lain
dengan Sin Tjie, dengan lekas ia mengerti aturan mainnya, malah berkat kecerdasannya, ia
mulai mengerti tipu-tipunya.
Dalam babak pertama, Bhok Siang Toodjin adalah yang mendapat kemenangan, demikian
juga pada babak kedua, setelah itu, pertarungan dilanjutkan, terus sampai cuaca mulai
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
gelap. Mereka mainkan tiga babak, dibabak ketiga, Bok Djin Tjeng menang.
"Mari kita main terus!" mengajak si imam, yang tidak kenal lelah.
"Aku tidak mempunyai kegembiraan untuk layani kau terus-menerus!" kata Bok Djin
Tjeng.
Karena ini, terpaksa Bhok Siang Toodjin pergi beristirahat. Untuk ia, si gagu telah siapkan
pembaringannya.
Sejak itu, beruntun tiga hari, tuan rumah dan tetamunya terus terusan main catur, karena
si tetamu tidak mau mengerti jikalau ia tidak dilayani. Maka dihari keempat, tuan rumah
kata: "Hari ini kita mengasoh satu hari, aku mesti ajarkan ilmu pedang dulu kepada
muridku."
Alasan itu ada kuat, Bhok Siang Toodjin tidak menghalangi. Tapi sangat sulit untuk ia
tungkuli diri hari itu, maka juga, begitu lekas Bok Djin Tjeng sudah selesai mengajari
muridnya, dia lantas tarik tangannya sahabat itu.
"Mari, mari, kita bertempur lagi sampai tiga jurus!" kata ia dengan bernapsu.
Bok Djin Tjeng merasa lelah, karena setengah-harian lamanya ia layani Sin Tjie, tapi
sahabatnya sedang ketagihan, apabila ia tidak tungkuli, satu malam itu tentu sahabat ini
tidak bisa tidur, terpaksa ia duduk juga menghadapi papan catur berhadapan dengan
tetamu yang sedang keranjingan itu. Sebab ia sedang lelah dan tidak bernapsu, hampir
saja salah satu bijinya kena dirampas. Dengan susah payah ia perbaiki diri, tidak urung, ia
masih kalah angin.
Sin Tjie dampingi gurunya, ia tak sampai hati menampak guru itu terdesak.
"Soehoe, menyerang kemari," kata ia akhirnya, hingga ia tak ingat bahwa ia telah
mentjampuri urusan orang tua-tua. "Habis itu, soehoe jalan disini, tentu soehoe bisa lolos
dari kepungan..."
Anak luar biasa ini dengan cepat telah mengerti baik tipu-tipunya permainan catur,
penunjukannya itu memang ada jalan untuk hindarkan diri dari ancaman. Bok Djin Tjeng
juga tidak beradat mau menang melulu sebagai Bhok Siang Toodjin, ia tidak keberatan
akan turuti pengundjukan muridnya itu. Benar saja, setelah ia jalankan biji-bijinya
menuruti sang murid, segera ia terlepas dari pengurungan, malah dilain pihak, ia dapat
makan satu biji hitam. Ia sendiri pegang biji putih. Habis itu, Bhok Siang Toodjin berbalik
kena terdesak, malah akhirnya, dia cuma bisa menangi tiga biji.
"Dia benar cerdik," kata Bhok Siang Toodjin, yang puji bocah itu. "Coba biarkan dia lawan
aku, ganda enam biji!"
Bok Djin Tjeng lulusi permintaan itu, ia ijinkan muridnya lawan sang soepeh.
Sin Tjie belum pandai betul tapi kecerdasannya membantu banyak sekali. Ia masih muda
sekali, tapi otaknya kuat.
Dalam kalangan tiokie ada pepatah, "Didalam usia dua-puluh tidak menjadi kampiun,
hilanglah harapan". Ini menandakan, tiokie mesti dipelajari sejak masih anak-anak. Souw
Tong Po ada sasterawan termashur tetapi main tiokie, melawan seorang biasa, ia tak
peroleh kemenangan. Hal itu membuat ia menyesal, hingga dia tulis sairnya : "Menang
girang, kalah pun gembira".
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Bok Djin Tjeng sabar dan sederhana, tidak demikian dengan Bhok Siang Toodjin, yang
gemar akan kemenangan. Ia tidak lihat mata pada si bocah cilik, tetapi, sesudah biji-biji
dijalankan, ia lantas merasai satu tandingan bukan sembarangan. Dasar anak kecil, Sin
Tjie ingin menangkan soepehnya itu, ia bermain dengan sungguh-sungguh. Diakhirnya,
Bhok Siang Toodjin menang tetapi bukan tak dengan susah-payah.
Besoknya, pagi-pagi, Bhok Siang Toodjin telah cari Sin Tjie, buat ditarik tangannya, untuk
diajak bertanding pula, tanpa bocah ini bisa menampik. Kali ini, dua kali Sin Tjie menang
dengan beruntun, maka ganda diubah, dari enam biji, jadi lima.
Dapat ganti si bocah cilik, Bhok Siang abaikan tuan rumahnya, terus setiap hari, ia ajak
Sin Tjie "bertempur", hingga tahu-tahu, sudah hampir sepuluh hari mereka main terus,
hingga selanjutnya, dari diganda, keduanya main seperti biasa. Sin Tjie peroleh kemajuan
sangat pesat, hingga dia berani melayani tanpa diganda lagi. Malah sekarang, sering
mereka kalah dan menang bergantian! Begitu lekas Sin Tjie utamakan tiokie, ilmu silatnya
kena diterlantarkan juga. Bok Djin Tjeng ketahui ini, tapi dia antap saja. Baru belakangan,
melihat si tua bangka dan si bocah seperti lupa tidur dan makan - mereka bertempur tanpa
batas tempo - ia jadi kuatir juga. Diam-diam ia kisiki muridnya ini supaja selanjutnya dia ini
layani soepehnya satu hari satu kali saja, sebab dia tidak boleh alpai ilmu silatnya.
Atas kisikan itu, Sin Tjie malu sendirinya. Memang benar, hampir sepuluh hari, ia sudah
siasiakan pelajarannya. Maka besoknya, waktu Bhok Siang Toodjin ajaki dia main catur,
dia menolak dengan manis, katanya ia mesti berlatih. Dihari kedua juga dia kembali
menampik.
"Kau temani aku main, habis main, aku nanti ajarkan kau semacam ilmu silat, dengan itu,
pasti gurumu girang," kata Bhok Siang membujuk.
"Nanti aku tanya soehoe dulu," kata Sin Tjie, yang tidak berani lancang.
"Baik, pergilah tanya!" si imam menganjurkan.
Sin Tjie lari mencari gurunya. Ia beritahukan janjinya Bhok Siang.
Bok Djin Tjeng girang. Ia memang tahu, imam itu liehay, melainkan adatnya aneh, dia tak
suka menerima murid, tapi sekali ini dia kasih janjinya, itu tentu disebabkan pengaruh
ketagihannya main catur.
Lantas ia tarik tangan muridnya untuk dibawa kepada si imam, kepada siapa lantas saja ia
menjura : "Kau hendak sempurnakan muridku ini, disini kuhaturkan terima kasih
padamu!"
Lantas ia suruh muridnya paykoei.
Sin Tjie menurut, ia paykoei dengan segera.
"Jangan, jangan!" ia menolak, tangannya digoyang berulang-ulang. "Aku tidak terima
murid! Jikalau dia hendak minta pelajaran dari aku, dia mesti dapatkan itu dengan
menangkan aku dengan kepandaiannya!"
"Apakah caranya itu?" tanya Bok Djin Tjeng.
"Dalam hal ilmu pedang dan ilmu kepalan, Lo Bok, dikolong dunia ini kau tidak ada
lawannya, aku si imam tua takluk kepadamu," berkata imam itu, "maka bocah ini, asal dia
sanggup wariskan dua atau tiga bagian dari kepandaianmu, sukar dicari tandingannya
dalam kalangan kang-ouw. Tetapi bicara tentang senjata rahasia, aku kira aku si imam tua
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
mempunyakan dua kemungkinan!"
"Memang siapa tak tahu kau si Bajangan Iblis mempunyai kepandaianmu yang istimewa
itu, jangan kau coba mengebul!"
"Ya, kau memang utamakan kaummu, segala apa kau hendak main terus-terang, hingga
segala senjata rahasia kau tidak hendak dijakinkan dengan sungguh-sungguh," kata si
imam. "Mengenai Sin Tjie, aku hendak atur begini. Kau antap dia lajani aku main tiokie,
dua dalam satu hari, jikalau aku yang menang, kau mesti biarkan dia kawani aku
melewatkan waktu yang senggang. Asal dia menangkan aku satu babak saja, aku nanti
ajarkan dia semacam ilmu entengi tubuh, tapi kapan dia bisa menang beruntun dua kali,
disebelah ilmu entengi tubuh itu, aku ajarkan lagi serupa senjata rahasia. Coba timbang,
pertaruhanku ini adil atau tidak?"
"Imam tua ini benar licik dan lucu," pikir Bok Djin Tjeng. "Tapi dia ada satu laki-laki sejati,
sekali dia berkata, dia tidak pernah tarik pulang lagi". Maka ia lantas jawab : "Baik, baiklah
diatur begini. Aku memangnya kuatirkan Sin Tjie sia-siakan waktunya yang berharga,
sekarang ada ini ketika yang baik, aku terima baik permintaanmu. Sekarang kau boleh
main, sesukanya, setiap hari delapan kali, sepuluh kali, masa bodo!"
Bhok Siang jadi sangat girang, demikian juga Sin Tjie. Tidak tempo lagi, keduanya lantas
duduk berhadapan, untuk mulai dengan pertempurannya.....
Hari itu juga mereka main dua kali juga. Habis main, dia menetapi janji, dia kata pada
bocah she Wan itu : "Sekarang aku ajarkan kau satu jurus ilmu entengi tubuh. Ya, cuma
satu jurus saja, tapi jikalau kau yakinkan dengan sungguh-sungguh, faedahnya kau akan
dapatkan seumur hidupmu. Nah, kau lihatlah dengan waspada."
Baru habis dia mengucapkan, tak tertampak lagi gerakan kakinya, tahu-tahu tubuh imam
itu sudah mencelat keatas sebuah pohon didekat mereka, ketika ia lompat dengan
jumpalitan, tahu-tahu ia sudah kembali berada didepannya si bocah.
Sin Tjie kagum hingga ia melengak, setelah sadar ia tepuk-tepuk tangan, ia bersorak.
"Sekarang hayo kau mulai pelajarkan," Bhok Siang kata. Dan ia terus ajarkan ilmu entengi
tubuh itu yang dinamakan "Poan in seng liong" atau "Naga naik merayap dimega". Untuk
itu, Sin Tjie mesti berlompatan dengan enjot tubuh.
Dihari kedua, Sin Tjie kalah dua kali berturut-turut, maka pada hari itu seperti bunyinya
perjanjian, ia tidak peroleh pengajaran apa juga. Tapi di hari ketiga, ia main bagus sekali.
Ia lepaskan kedua sayap, ia menyerang di tengah dan ia menang dua-dua kalinya.
Tak puas Bhok Siang Toodjin.
"Mari lagi!" ia mengajak.
Mereka main pula dua kali, dengan kesudahan seri, satu kalah, satu menang. Turut jumlah,
si imam kalah tiga. Atas ini, imam itu ajarkan si bocah dua rupa ilmu entengi tubuh.
Sin Tjie turut ajaran itu, ia terus berlatih, sampai ia pandai jalankan.
"Kau tahu, apabila aku menghadapi lawan, aku gunai senjata apa?" tiba-tiba tanya guru
istimewa ini.
Sin Tjie tidak tahu, ia menggeleng-gelengkan kepala.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Bhok Siang Toodjin jumput papan caturnya, untuk diangkat.
"Inilah senjatanya! Menerangkan dia.
Anak itu heran, walaupun ia tahu, papan catur itu terbuat dari baja. Ia menyangka, karena
sangat gemar main tiokie, imam ini sengaja bikin papan catur luar biasa itu, dan papan
catur ini terus dibawa-bawa, mungkin dikuatirkan rusak, dibuatnya dari logam kuat itu.
Siapa sangka, itu adalah alat-senjata.
Bhok Siang jumput seraupan biji catur.
"Dan ini adalah senjata rahasiaku!" ia tunjuki si bocah. Ia tertawa.
Belum sempat Sin Tjie menanya atau si imam telah lemparkan biji-biji catur itu, belasan
biji, kemudian ia angkat papannya, untuk dipakai menanggapi.
Aneh sekali, dengan menerbitkan suara nyaring, semua biji catur itu jatuh kedalam papan
catur itu. Lebih aneh pula, jatuhnya tidak beruntun, hanya berbareng semua, tanpa meletik
lagi.
Si imam tertawa, lalu ia kata : "Buat bisa menggunai senjata rahasia, paling dulu orang
mesti melatih tenaga, lalu belajar menyerang dengan tepat, supaya penyerangan tentu
cepat dan pelahannya, berat dan entengnya. Sekarang mari kau mulai!"
Bhok Siang benar-benar ajarkan Sin Tjie bagaimana mesti menimpuk, bagaimana tenaga
mesti dikumpul ditangan, bagaimana harus mengincar sasaran.
Bukan main girang Sin Tjie, ia belajar dengan rajin.
Tanpa terasa, setengah tahun Bhok Siang Toodjin menenamu di atas gunung - gunung
Hoa San - selama itu setiap hari dia main tiokie dengan Sin Tjie, berbareng dia ajari bocah
itu menggunai senjata rahasianya - biji-biji catur serta ilmu entengi tubuh. Ia seperti lupa
pulang. Ia pun mengajari dengan sungguh-sungguh.
Selama Bhok Siang Toodjin berdiam di Hoa San, kebetulan musim panas, maka itu telah
diatur, pagi sampai siang, Sin Tjie belajar silat, tengah-hari sampai lohor, mereka berdua
bertempur atas papan tiokie. Dan selama itu, permainan catur Sin Tjie jadi liehay sekali,
hingga ia telah melebihi gurunya ini. Tapi dasar si imam "suka menang", dia selalu suruh
Sin Tjie pegang biji putih dan jalan terlebih dahulu, tapi ini justru mengakibatkan, ia lebih
banyak kalah daripada menang....
Sin Tjie gunai biji jalan bukan untuk serang serampangan saja, hanya Bhok Siang Toodjin
didik ia untuk serang jalan darah, sekali timpuk, dengan belasan biji, dia mesti bisa
mengenai sasaran dengan jitu. Ilmu senjata rahasia jang aneh itu dipanggil "Boan thian
hoa ie", atau "Hujan bunga diseluruh langit". Ini ada pelajaran sangat sulit. Ia mulai dari
satu biji, lalu ditambah, ia sudah belajar empat bulan, Baru ia bisa gunai tiga atau empat
biji, dan yang kena, Baru satu atau dua. Sebagai sasaran ada selembar papan dimana
dilukiskan tubuh manusia dengan tanda-tanda jalan darah, diwaktu diserang, papan itu
tidak dipancar hanya dipegangi oleh si empeh gagu, untuk dilarikan, setiap sang guru
serukan jalan darah mana yang musti diserang.
Pada suatu hari, sedang Sin Tjie berlatih, si gagu berlari-larian dengan papannya, dan si
guru sedang berseru dengan pengunjukan-pengunjukannya; ketika Sin Tjie sudah
menimpuk jitu tiga biji, dan hendak menimpuk terus, sekonyong-konyong ia terkejut,
hingga ia serukan jeritan tertahan. Ia lari kepada si gagu, untuk tarik dia ini! Si gagu kaget,
segera ia menoleh. Tidak tahunya, dibelakangnya, tahu-tahu berdiri orang hutan, yang
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
bersikap hendak menerkam dia. Ia menjadi tidak senang, ia ayun papan jang dipegangnya,
untuk dipakai menyerang.
Cepat luar biasa, Bhok Siang Toodjin mencelat kepada si gagu ini, tubuh siapa ia tarik
mundur, berbareng dengan mana, ia serukan muridnya : "Sin Tjie, kau jang layani dia!"
Anak ini tahu, guru itu hendak uji dia, dia tidak menolak, malah segera dia lompat kedepan
orang hutan itu.
Entah kenapa, berhadapan dengan orang, orang-hutan itu putar tubuhnya, untuk ngeloyor
pergi, maka melihat demikian, Sin Tjie gerakan sebelah tangannya, akan tepuk
bebokongnya, hingga saking kesakitan, binatang liar itu perdengarkan pekiknya berulangulang.
Dia menjadi gusar, dia berbalik, lalu tangannya jang panjang dan berbulu,
menyambar! Sin Tjie berkelit, dengan lompat kesamping, dari mana ia berniat menyerang,
tetapi mendadakan, dibelakangnya ada menyambar angin. Ia tahu, tentu ada lain musuh
yang bokong padanya. Tak keburu ia memutar tubuh, maka itu, ia menjejak tanah, untuk
berlompat tinggi sambil jumpalitan, dengan begitu, apabila ia sudah berbalik, ia dapati si
pembokong adalah satu orang-hutan lain, yang sama besarnya. Sebenarnya, sejak belajar
silat, belum pernah ia berkelahi dengan lain orang, namun demikian, tak jeri ia
menghadapi dua binatang buas itu. Segera ia menyerang, dengan mainkan tipu-tipu dari
Hok-houw-tjiang, Tangan harimau.
Suara berisik membuat Bok Djin Tjeng muncul. Ia saksikan pertempuran itu, ia lihat
bagaimana beberapa kali orang-orang hutan itu kena dihajar, saban-saban keduanya
perdengarkan pekikan-pekikan dari kesakitan.
"Bocah ini tidak mensia-siakan cape-lelahku," pikir guru ini, jang merasa puas.
Setelah berulang-ulang merasai pukulan-pukulan jang menyakiti tubuh, kedua orang-hutan
itu tidak berani berkelahi rapat, keduanya main lompat-lompatan, kadang-kadang saja
mereka menubruk.
Sesudah mengawasi sekian lama, Bok Djin Tjeng dapat kenyataan, walaupun ilmu silatnya
telah digunai dengan baik, tenaganya Sin Tjie kurang sekali, semua pukulannya melainkan
menerbitkan rasa sakit, tidak bisa melukai, maka itu, ia masuk kedalam, untuk ambil
pedang.
"Sambut ini!" kata ia ketika ia keluar pula, seraya lemparkan pedang kepada muridnya.
Sin Tjie berlompat, akan papaki pedang, untuk disambar dengan tangannya, setelah mana,
ia bisa berkelahi dengan terlebih gesit pula. Saban-saban ia membacok atau menikam,
untuk mana, kedua binatang hutan itu pun berlaku gesit, senantiasa mereka lompat
menyingkir.
"Jangan binasakan mereka!" Bhok Siang serukan anak muda itu.
Sin Tjie menyahuti, lalu ia mendesak hebat. Kali ini, asal ia mau, ia bisa tikam sesuatu dari
binatang itu, akan tetapi sekarang ia melainkan mengancam, cuma ia lukai sedikit lengan,
pundak dan kepala orang hutan itu.
Kelihatannya kedua binatang itu mempunyai perasaan. Mereka mengerti orang tidak
hendak binasakan mereka. Ini terbukti, kapan mereka lompat jauh, Sin Tjie tidak mengejar,
anak itu malah berhenti bersilat, dia mengawasi saja mereka. Mereka insyaf bahwa orang
mengasihani kepada mereka, maka kemudian mereka berpekik, lalu keduanya rubuhkan
diri, sepasang tangan mereka dipakai menutup kepala mereka masing-masing, cuma mata
mereka mengawasi si anak muda, dengan sinar mohon diberi ampun....
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Sin Tjie berhenti menyerang, ia mengerti orang sudah menyerah.
Si gagu girang, ia lari kedalam, untuk ambil dadung, buat belenggu kedua binatang itu.
Mulanya kedua orang-hutan coba berontak, mereka berpikir dan pertontonkan gigi
mereka, tapi tenaganya si gagu kuat sekali, diakhirnya, mereka menyerah, mereka tidak
berani melawan lebih jauh.
Dua-dua Bok Djin Tjeng dan Bhok Siang Toodjin puji Sin Tjie, jang lantas dianjurkan untuk
belajar lebih jauh dengan sungguh-sungguh.
Bukan kepalang girang Sin Tjie. Ia pun merasakan bagaimana hasilnya latihan kerasnya.
Disebelah itu, girang ia mendapati dua orang hutan itu, ia sendiri mencarikan buahbuahan,
untuk piara mereka.
Selang tujuh atau delapan hari, kedua orang-hutan itu jadi jinak sekali, keduanya mengerti
kesajangan si anak muda terhadap mereka, maka itu, walaupun tidak lagi dicangcang,
mereka tidak mau kabur.
Sin Tjie lantas beri nama "Tay Wie" kepada yang lelaki dan "Siauw Koay" kepada yang
perempuan, ia biasakan memanggil mereka hingga keduanya tahu namanya masingmasing.
Bok Djin Tjeng dan Bhok Siang Toodjin tertawa melihat kedua binatang itu jadi demikian
jinak dan mengerti maksud orang.
Setelah binatang itu tahu rumah, jinak dan mendengar kata, Sin Tjie lepaskan mereka
hingga mereka merdeka untuk pergi cari makan sendiri, mencari bebuahan diatas gunung.
Pada suatu hari terjadilah suatu hal kebetulan.
Tay Wie dan Siauw Koay pergi mendaki gunung, untuk cari makanan. Dengan berani
Siauw Koay merambat ditembok gunung, atau mendadakan kakinya terpeleset, tiada
ampun lagi, pegangannya terlepas, dia jatuh.
Tembok gunung itu adalah jurang dalamnya empat puluh tumbak lebih.
Tay Wie kaget, tapi kapan dia mengawasi lebih jauh, dia lihat kawannya tidak jatuh terus
ke jurang hanya nyangkut pada suatu cabang pohon dimana kebetulan ada sebuah gua
kosong, jang mulut guanya sudah lumutan. Disini Siauw Koay berpegangan pada mulut
gua, naik tidak bisa, turun juga tidak bisa.
Dalam sibuknya, Tay Wie lari pulang, untuk cari Sin Tjie, buat beri kabar. Ketika itu, sang
majikan lagi berlatih dengan pedang. Binatang ini tidak bisa bicara, maka juga ia berpekik
tak hentinya.
Sin Tjie heran, apabila ia lihat tubuhnya orang hutan itu lecet disana-sini, berdarah bekas
kena tusukan duri pepohonan, sedang romannya seperti ketakutan. Tidak tempo lagi, ia
cari A Pa, si gagu, untuk diajak bersama, mengikuti binatang piaraan itu pergi kejurang.
Sesampainya di tepi jurang, Tay Wie menunjuk-nunjuk kearah Siauw Koay, ia berpekik tak
sudahnya, kaki tangannya digeraki berulang-ulang. Karena ini, Sin Tjie dan A Pa segera
dapat lihat si orang-hutan betina dalam bahaya itu. Tidak tempo lagi, Sin Tjie lari pulang
untuk ambil dadung, yang ia lemparkan kearah binatang piaraannya itu, ia sendiri lalu
memegangi ujungnya bersama A Pa.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Siauw Koay sudah lelah sangat, ketika ia lihat dadung, ia jambret, ia pegangi dengan
keras, dengan begitu, sebentar kemudian ia dapat ditarik naik. Ia terluka dibeberapa
tempat, syukur tidak hebat. Kemudian, dengan perdengarkan pekikan berulang-ulang, ia
tunjuki tangannya kepada Sin Tjie.
Sin Tjie heran apabila ia dapati ditelapakan tangan kedua orang hutan itu nancap dua rupa
benda luar biasa, ketika ia coba cabut, benda itu nancap keras, Siauw Koay sendiri
menjerit-jerit keras, rupanya sangat kesakitan. Benda itu susah dicabut.
"Apa mungkin ada musuh disini?" Sin Tjie tanya dirinya sendiri. Ia menjadi curiga dengan
tiba-tiba. Lalu, dengan tanda-tanda tangan, ia tanya Siauw Koay, siapa yang sudah serang
padanya.
Dengan menggerak-gerakkan kedua tangannya, Siauw Koay beritahu bahwa ketika ia ulur
tangannya kearah dalam gua, ia kena sambar atau tertusuk benda itu.
Bukan main herannya ini anak muda. Bagaimana dalam gua itu ada senjata rahasia?
Sebab benda luar biasa itu tak lain tak bukan, mesti senjata rahasia adanya. Tidakkah gua
itu jauh dari sana-sini? Dengan masih terus merasa aneh, Sin Tjie ajak A Pa dan dua
binatang piaraannya itu untuk cabut benda aneh itu, yang pun ia kasih lihat.
Dua-dua Bok Djin Tjeng dan Bhok Siang turut merasa aneh.
"Aku gemari senjata rahasia, pernah aku lihat pelbagai bentuk senjata rahasia dari lain-lain
orang, tetapi yang seperti ini, mirip ular, inilah yang pertama kali," menyatakan Bhok
Siang. "Lao Bok, kali ini runtuhlah aku dari ujian..."
"Coba keluarkan dulu," usulkan Bok Djin Tjeng.
Bhok Siang masuk kekamarnya, untuk ambil pisau kecil, dengan itu ia potong daging
telapakan tangannya Siauw Koay, untuk keluarkan benda aneh itu.
Siauw Koay tahu orang hendak tolong dia, dia tidak berontak. Setelah benda dicabut,
lukanya diobati dan dibungkus. Ia nampaknya merasa puas, sedang Tay Wie lantas usapusap
dia dan carikan dia kutu.....
Dua potong senjata rahasia itu panjangnya masing-masing dua tjoen delapan hoen,
berbentuk kepala ular dengan lidah diulur keluar, lidahnya bercagak tiga, setiap cagaknya
tajam. Seluruh tubuh ular berwarna hitam gelap, kotor dengan lumut, tapi kapan Bhok
Siang telah keriki lumutnya, tertampaklah sepotong benda mengkilap - emas! "Pantas
timbangannya berat, kiranya terbuat dari emas," kata imam ini. "Sungguh berbahagia
orang yang menjadi pemilik senjata rahasia ini! Sekali menggunai, dia buang emas
beberapa tail..."
Sekonyong-konyong Bok Djin Tjeng terperanjat sendirinya, lalu ia berseru: "Inilah senjata
rahasia Kim Coa Long-koen!"
"Kim Coa Long-koen?" menegaskan Bhok Siang sambil melengak. Ia berdiam sebentar,
akan melanjuti sesaat kemudian: "Kau maksudkan Hee Soat Gie? Bukankah, kabarnya, dia
telah meninggal dunia sejak belasan tahun jang lampau?" Dia Baru mengucap demikian,
atau dengan roman kaget, dia berseru: "Tidak salah, benar dia!"
Imam ini lantas bulak-balik senjata rahasia model ular itu, lalu dibagian perutnya ia tampak
satu ukiran huruf "Soat". Huruf ini kedapatan pada senjata rahasia yang kedua.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
"Soehoe, siapa itu Kim Coa Long-koen?" tanya Sin Tjie pada gurunya, yang masih
tercengang, hingga sejak tadi, guru ini diam saja.
"Nanti saja aku beri keterangan kepadamu," sahut sang guru kemudian. "Tootiang, coba
bilang, kenapa senjata rahasianya bisa berada dalam gua itu?"
Bhok Siang Toodjin tidak menjawab, dia hanya berdiam berpikir.
Disebelahnya merasa aneh, dua sahabat itu nampaknya jadi tegang sendirinya. Karena ini,
Sin Tjie tidak berani menanyakan terlebih jauh.
Malam itu, habis bersantap, Bok Djin Tjeng dan Bhok Siang duduk pasang omong. Sin Tjie
mendengari dengan diam saja, karena ia tak mengerti apa yang diomongi itu. Ia melainkan
perhatikan kata-kata "pembunuhan karena permusuhan" dan "pembalasan dendaman".
Pun ada kata-kata rahasia lainnya, yang gelap untuknya.
"Jadinya," kemudian kata si imam tiba-tiba," Kim Coa Long-koen telah datang kemari
untuk menyingkir dari musuh-musuhnya?"
Jawaban Bok Djin Tjeng ada menyimpang. "Melihat kepandaiannya, sebenarnya tak ada
perlunya dia jauh-jauh dari Kanglam menyingkir dan sembunyikan diri ketempat sunyi ini."
"Apa mungkin dia masih belum mati?" Bhok Siang tanya pula.
"Dia adalah seorang luar biasa," sahut Bok Djin Tjeng. "Selama ini kita cuma dengar
namanya belum pernah kita menemui sendiri kepadanya. Orang bilang dia telah meninggal
dunia tetapi siapa juga tidak tahu kenapa dan cara bagaimana dia meninggalnya."
"Dia memang aneh sepak terjangnya...." Sang imam menghela napas. "Ada kalanya dia
telengas sekali, ada kalanya dia mulia dan berbudi, sehingga apa dia jahat, apa dia baik,
orang melainkan bisa menduga-duga saja. Beberapa kali pernah aku mencoba cari dia,
tetapi senantiasa gagal..."
"Sudah, tak perlu kita main duga-duga saja," memutus Bok Djin Tjeng. "Besok kita pergi
ke guanya untuk melihat-lihat!"
Dan besok paginya Bok Djin Tjeng ajak Bhok Siang Toodjin, Sin Tjie dan A Pa, dengan
membekal senjata dan dadung, pergi kejurang yang kemarin. Sin Tjie hunjuki dimana
letaknya gua.
"Hati-hati," pesan Bok Djin Tjeng, ketika Bhok Siang nyatakan dia suka turun untuk
memasuki gua itu. Kemudian si imam libat pinggangnya dengan dadung dan kawannya,
bersama si gagu, kerek dia turun secara pelahan-lahan.
Didepan mulut gua, Bhok Siang berhenti, segera ia mengawasi kedalamnya. Ia tampak
kabut, hingga sekalipun tanah tak terlihat tegas. Diam-diam hatinya bercekat walaupun dia
ada satu jago, jang telah luas pengalamannya. Ia mengawasi terus. Biasanya, di tempat
gelap, lamaan mata orang menjadi biasa, tetapi disini, imam itu rasai malah semakin
guram. Ia hanya merasa, gua ini mestinya dalam sekali. Ia pun menduga-duga apa
tubuhnya muat apabila ia coba memasuki gua itu....
Bhok Siang tak mau mundur dengan begitu saja. Ia lantas bungkus sebelah tangannya,
lalu ia ulur itu kedalam gua. Ia memasukinya dengan pelahan-lahan. Segera ia merasakan
tangannya membentur suatu benda tajam dimulut gua - benda yang nancap dimulut gua
itu. Ia duga itu adalah Kim-Coa-tjoei -"bor ular emas". Ia mencabut semuanya, jang
berjumlah empat belas biji. Ia ulur tangannya lebih jauh, sampai pipinya mengenai mulut
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
gua, ia tidak meraba lain benda. Sampai disitu Barulah ia kuatir, orang-orang diatas, yang
menahani tubuhnya, nanti lelah.
"Tarik aku!" ia perdengarkan suara seraya ia mengedut.
Bok Djin Tjeng dengar suara itu, ia menarik dengan pelahan-lahan.
Lagi kira dua tumbak sampai diatas, setelah kakinya dapat injak batu dilamping jurang itu,
Bhok Siang menjejak, dengan begitu, cepat sekali ia telah sampai diantara kawankawannya.
"Lihat ini!" berseru ia kepada Bok Djin Tjeng, sambil ia perlihatkan tangannya dalam mana
tergenggam empat-belas benda tajam, dan aneh jang seperti didapati Siauw Koay. "Lauw
Bok, kita dapat harta karun! Emas begini banyak!..." ia tertawa.
Sebaliknya dari sahabat itu, Bok Djin Tjeng perlihatkan wajah sungguh2.
"Ini hantu simpan bendanya di dalam gua, apakah maksudnya?" kata dia kemudian. "Ada
benda apa lagi didalam gua itu? Nanti aku pergi lihat...."
"Percuma kau pergi melihat," kata Bhok Siang. "Mulut gua ada terlalu kecil, tubuhmu tak
muat dalam itu!"
Bok Djin Tjeng berpikir, ia diam saja. Ia tunduk.
"Soepeh, apakah bisa aku yang pergi?" tiba-tiba Sin Tjie tanya.
"Mungkin kau bisa," sahut Bhok Siang sambil tertawa. "Jurang ada begini dalam, apa kau
berani?"
"Aku berani, soepeh," jawab bocah itu. "Soehoe, aku yang pergi boleh tidak?"
Bok Djin Tjeng masih asyik berpikir dalam hatinya ia bilang : "Orang kang-ouw gaib itu
simpan senjata rahasianya didalam gua sini, mesti ada maksudnya, maka jikalau gua itu
tidak dicari tahu terlebih jauh, sungguh sayang...Akan tetapi siapa tahu, ada tersembunyi
ancaman bencana apa didalamnya? Kalau bocah ini diantap pergi seorang diri, tidakkah
itu ada menguatirkan?...." Kemudian ia jawab muridnya : "Aku kuatirkan bencana dalam
gua..."
"Aku bisa waspada, soehoe," sang murid mendesak.
Melihat murid itu demikian berani dan bernapsu, akhirnya sang guru manggut.
"Baiklah," ia beri ijin akhirnya. "Tapi kau mesti coba dulu. Kau nyalakan api, umpama api
itu mati, jangan kau paksa masuk!"
"Aku mengerti, soehoe," kata sang murid, yang segera persiapkan sebatang obor, sedang
pedangnya ia tidak lupakan. Ia cekal pedang ditangan kanan dan obor ditangan kiri. Lebih
dahulu daripada itu, ia ikat pinggangnya dengan dadung.
Kapan dadung telah diulur turun, cepat sekali Sin Tjie telah sampai dimulut gua. Ia turut
pesan gurunya, paling dulu ia sodorkan obor kedalam gua. Ia dapatkan obornya tidak
padam, hal ini membuat ia girang. Maka lantas, dengan hati-hati, ia merayap masuk
kedalam gua itu. Dadung dipinggangnya ia tidak loloskan. Ia mesti jalan sambil merayap,
setelah kira sepuluh tumbak lebih, terowongan mulai mendaki. Ia maju terus, kira
setumbak lebih, Baru ia sampai ditempat terbuka dimana ia bisa bangkit berdiri. Ia tidak
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
takut, ia maju terus.
Sebentar saja, anak ini lihat jalan menikung. Ia semakin waspada, ia maju sambil cekal
keras pedangnya. Ketika ia telah lalui tiga tumbak, ia menghadapi sebuah kamar batu. Ia
hampirkan mulut pintu, ia menyuluhi dengan obornya.
Tiba-tiba ia terperanjat, sampai ia keluarkan keringat dingin.
Duduk diatas batu, ditengah-tengah kamar, ada satu rerongkong manusia, lengkap dengan
kepala dan tangannya, dan kedua tangannya rebah diatas pangkuan.
Dengan hati memukul, Sin Tjie awasi tulang-ulang manusia itu, setelah itu baru ia
memandang kesekitar kamar. Syukur untuk ia, disitu tidak ada lagi lain pemandangan
yang mengerikan.
Malang-melintang ditanah didepan rerongkong itu ada belasan kim-coa-tjoei. Disamping
rerongkong ada terletak sebuah pedang. Ditembok kamar ada sederetan gambar ukiran
dari tubuh manusia lengkap, cuma sikapnya berlainan, kakinya dipakai menendang, mirip
dengan orang yang lagi berlatih silat. Ia awasi semua gambar itu, ia perhatikan, tak
mengertilah ia. Entah apa maksudnya gambar-gambar itu.
Di ujung dari gambar ukiran yang penghabisan, dengan diukir juga, ada beberapa baris
dari enambelas huruf.
Sin Tjie dekati, lalu ia membaca. Begini bunyinya: "Mustika berharga, ilmu rahasia,
diberikan kepada yang berjodoh. Siapa masuk dalam pintuku, menemui bencana jangan
penasaran."
Sin Tjie masih hendak perhatikan kamar itu ketika ia dengar samar-samar suara orang
memanggil, lantas ia bertindak keluar, tempo ia sampai ditikungan, ia kenali suaranya
Bhok Siang Toodjin, yang masih memanggil-manggil namanya. Lantas ia menyahuti, terus
ia merayap keluar.
Bok Djin Tjeng dan Bhok Siang, diatas jurang, menantikan sekian lama, selama itu, mereka
pun ulur dadung makin lama makin panjang, karena itu, setelah menantikan pula sekian
lama, sang murid masih belum kembali, keduanya berkuatir.
"Nanti aku lihat," kata Bhok Siang, yang lantas saja merayap turun. Ia tidak bisa masuki
terowongan, maka dari mulut itu, ia teriaki muridnya berulang-ulang. Ia merasa hatinya
lega kapan ia dengar jawaban muridnya, yang pun lantas keluar.
Dengan satu tanda, Bok Djin Tjeng dan A Pa tarik dadung, maka dilain saat, dua-dua Bhok
Siang dan Sin Tjie kembali diantara mereka, tetapi Sin Tjie dengan pakaiannya kotor dan
mukanya berlepotan debu dan lumut. Bocah ini pun perlihatkan roman tegang.
Dua-dua Bok Djin Tjeng dan Bhok Siang duga anak ini menghadapi suatu apa yang luar
biasa, dari itu mereka antap orang tetapkan hati.
Lagi sesaat Barulah Sin Tjie bisa tuturkan apa yang ia tampak dalam kamar batu gua itu.
"Tidak salah lagi, rerongkong itu mesti ada rerongkong Hee Soat Gie," berkata Bok Djin
Tjeng. "Aku tidak sangka, seorang kosen luar biasa bisa akhirkan penghidupannya
ditempat ini. Sungguh sayang...."
"Apakah artinya pesanannya enam-belas huruf itu?" tanya Bhok Siang.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Bok Djin Tjeng berdiam sesaat, Baru ia menjawab.
"Kelihatannya Kim Coa Long-koen mesti simpan benda berharga, entah mustika apa,"
berkata dia. "Dia mempunyai ilmu silat yang liehay sekali, mestinya ia tinggalkan itu dalam
guanya, setahu dengan cara apa. Mungkin dia nantikan orang jang berjodoh dengannya
untuk hadiahkan warisannya itu. Dia ada seorang dengan tabiat koekoay sekali, rupanya
dia anggap, siapa nanti peroleh warisannya itu, ialah jang dianggap sebagai muridnya.
Dengan kata 'pintuku', tentu dia maksudkan golongannya. Tapi mungkin juga, didalam
kamarnya itu ada suatu ancaman malapetaka...."
"Melihat bunyinya pesan, itu mungkin benar," kata Bhok Siang. "Hanya entah keanehan
apa adanya itu..."
Bok Djin Tjeng menghela napas, lalu ia kata: "Kita tak harap warisan ilmu silat dan
mustikanya itu, tetapi, Sin Tjie, besok pergilah kau memasuki pula gua ini, kau mesti
galikan lobang, untuk kubur rerongkong Kim Coa Long-koen, yang kita hormati sebagai
tjianpwee, orang yang tertua. Kau mesti nyalakan lilin dan pasang hio dan hunjuk
hormatmu sambil berlutut. Secara begini kita jadi hormati dia."
Sin Tjie manggut, ia suka dengar perkataan gurunya itu.
Bhok Siang Toodjin pun setuju pikiran sahabatnya itu.
Besoknya pagi Sin Tjie pergi pula kejurang dengan bekal juga pacul. Ia pergi berdua saja
sama A Pa, si gagu. Bok Djin Tjeng dan Bhok Siang tidak turut, karena mereka anggap,
gua itu tidak ada bahayanya. Sin Tjie bekal tiga batang obor, karena ia tahu ia bakal
berdiam lama didalam gua.
A Pa kerek turun anak ini.
Dengan cepat Sin Tjie dapat merayap ke tikungan dimana ia bisa bangun untuk berdiri,
terus saja ia hampirkan kamar. Paling dulu ia gali lobang didekat pintu, untuk pendam
obornya, supaya ia tak usah pegangi terus obornya itu, dengan begitu, ia bisa bergerak
dengan leluasa. Habis itu Barulah ia hadapi rerongkong Kim Coa Long-koen.
"Soehoe bilang dia ada seorang kosen luar biasa, entah kenapa dia menutup mata disini,"
ia berpikir. "Setelah dia meninggal dunia, tak ada orang kubur mayatnya, sungguh
kasihan...."
Bocah ini lantas jatuhkan diri didepan rerongkong itu, untuk paykoei.
"Teetjoe ada Wan Sin Tjie," berkata ia dalam hatinya, setelah ia manggut beberapa kali,
"dengan kebetulan saja, teetjoe dapat menemui jenasah tayhiap ini. Hari ini ingin teetjoe
kubur jenasah tayhiap, harap tayhiap nanti beristirahat dengan tenang dan kekal disini..."
Baru habis Sin Tjie hunjuk hormat itu, dari arah luar gua telah mengembus angin dingin,
yang rupanya meniup dari dalam jurang, sampai hawa dinginnya membuat ia bergidik,
bulu romanya pada bangun berdiri.
Habis itu, Sin Tjie lantas mulai menggali lobang. Ia tadinya duga, tanah didalam kamar itu
mestinya keras, siapa tahu, begitu ujung pacul mengenai tanah, hatinya menjadi lega.
Tanah itu empuk. Karena ini, ia bisa bekerja dengan cepat.
Tiba-tiba terdengar satu kali suara membeletuk. Itulah tanda udjung pacul mengenai
barang keras, mungkin besi. Untuk dapat kepastian, Sin Tjie ambil obor, untuk dipakai
menyuluhi dekat-dekat. Segera ia dapatkan selembar papan besi. Ia memacul terus tanah
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
disekitar besi lembaran itu, kemudian ia angkat besinya.
Dibawah lembaran besi itu ada sebuah peti besar dua kaki persegi.
Dengan dorongan perasaan ingin tahu, Sin Tjie angkat peti besi itu, yang tingginya kirakira
satu kaki. Beratnya peti itu tidak luar biasa, maka itu bisa diduga, isinya mesti tak
banyak.
Oleh karena tutup peti tidak dikunci, dengan gampang Sin Tjie dapat buka itu. Peti itu
cetek sekali, hingga Sin Tjie menjadi heran.
"Heran," pikir si anak muda. "Peti besar dan tinggi, kenapa dalamnya cetek?"
Didalam peti terletak selembar sampul diatas mana ada tulisan delapan huruf besar, yang
berbunyi : "Siapa dapati petiku, boleh buka surat ini."
Melihat demikian, Sin Tjie jumput sampul itu, untuk dibuka dan keluarkan suratnya, yang
warnanya sudah berubah menjadi kuning-dekil. Ia beber surat itu, lantas ia baca: "Barang
dalam peti ini, diwariskan kepada yang berjodoh. Hanya siapa dapatkan peti, mesti lebih
dahulu kubur tulang-tulangku."
Bersama surat itu, didalam sampul, ada dua sampul lain, sampul-sampul yang lebih kecil.
Diatas sampul yang satu tertulis: "Aturan membuka peti". Diatas sampul yang kedua ada
tulisan : "Cara-cara mengubur tulang-tulangku".
Setelah membaca ini Baru Sin Tjie tahu, peti itu ada lapisannya. Lantas ia angkat peti itu
untuk digoyang-goyang. Sekali ini, ia dengar suara apa-apa dari dalam peti.
Didalam hatinya, bocah ini kata : "Aku melainkan berkasihan rerongkongnya terlantar,
maka aku kubur padanya, sama sekali aku tidak ingin temahai barang-barangnya."
Lantas Sin Tjie buka sampul jang bertulisan "Cara-cara mengubur tulang-tulangku".
Didalam situ ada selembar kertas putih dengan tulisannya : "Djikalau kamu bersungguhsungguh
hati hendak mengubur tulang-tulangku, setelah menggali lobang, tolong gali
lebih jauh tiga kaki dalamnya, disitu Barulah pendam aku. Dengan aku berdiam lebih
dalam ditanah, dapatlah aku bebas dari gangguannya segala kutu dan semut."
Setelah membaca, Sin Tjie berkata dalam hatinya: "Aku hendak jadi orang baik, tak boleh
aku kepalang tanggung, baik aku turuti pesannya."
Dan ia angkat pula paculnya, untuk menggali lebih jauh.
Kali ini tanah itu kecampuran batu, tidak gampang untuk memacul leluasa seperti tadi,
maka tak perduli dia telah berlatih, bocah ini toh mandi keringat. Ketika ia menggali dalam
hampir tiga kaki, mendadakan ujung paculnya membentur pula suatu benda keras, hingga
terdengarlah suara nyaring.
Karena tadi telah dapati pengalaman, walaupun ia merasa heran, Sin Tjie gali terus tanah
itu. Kembali ia dapati sebuah peti besi, jang terlebih kecil, cuma satu kaki persegi.
"Orang gagah luar biasa ini benar-benar koekoay," pikir dia. "Entah apa lagi dia simpan
dalam peti ini."
Ia angkat peti, yang ia bisa buka dengan gampang. Kembali ia lihat selembar kertas jang
ada tulisannya. Apabila ia sudah baca bunyinya, ia kaget hingga ia mandi keringat dingin.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Surat dari peti yang kecilan berbunyi sebagai berikut: "Kau benar-benar ada seorang baik
hati dan jujur. Karena kau urus penguburanku, sudah selayaknya aku balas kebaikanmu
dengan barang mustika dan ilmu kepandaian rahasia.
Jikalau peti jang besar dibuka, dari dalamnya bakal menyambar keluar anak-anak panah
beracun. Surat dan peta yang berada didalam peti itu pun palsu semuanya, malah ada
racunnya juga. Itu semua ialah untuk ajar adat kepada orang-orang jahat.
Barang yang tulen berada dalam peti kecil ini."
Sin Tjie insyaf, ia tidak mau sia-siakan tempo lagi. Ia letaki kedua peti dipinggiran, ia
rapikan lobang galiannya itu, lalu dengan sikap menghormat, ia pindahkan tulangtulangnya
Kim Coa Long-koen, akan diletaki dengan hati-hati, sesudah mana, ia uruki
dengan tanah, atasnya ia bikin rata, setelah ini, ia kembali soja-koei beberapa kali.
Sampai disitu, selesailah sudah ia dengan kewajibannya sebagai "ahli waris", maka
dengan pondong kedua peti, Sin Tjie bertindak keluar kamar, terus sampai ditikungan.
Disini sekarang ia bisa lihat segala apa dengan nyata, karena hatinya lega bukan main. Ia
dapatkan mulut gua tersusun batu, rupanya sengaja Kim Coa Long Koen atur demikian,
untuk mencegah orang masuk kedalam guanya ini. Ia lantas singkirkan semua batu itu,
hingga disitu jadi terbuka satu terowongan yang cukup lega. Ia buka gua ini supaya besok
lusa ia bisa ajak kedua gurunya masuk kesitu untuk memeriksa.
Sesampainya dimulut terowongan, Sin Tjie memanggil A Pa sambil tarik dadung, maka
dilain saat ia sudah dikerek naik oleh si gagu. Lekas-lekas ia lari pulang, untuk menemui
kedua gurunya.
Ketika itu Bok Djin Tjeng dan Bhok Siang Toodjin sedang main catur, mereka tunda
permainannya, akan dengari penuturannya murid mereka. Sin Tjie menuturkan segala apa
dengan jelas.
Bhok Siang lihat surat-surat itu, diam-diam dia terperanjat dalam hatinya. Bok Djin Tjeng
pun dapat perasaan sebagai dia. Kemudian ia buka sampul yang bertuliskan "Aturan
membuka peti", ia ambil suratnya, untuk dibaca, begini: "Dikiri dan kanan peti ini ada
pesawat rahasianya, maka itu, untuk membukanya, peti mesti dipegang dengan kedua
tangan dan dibukanya dengan keras dan berbareng, Baru tutupnya akan terbuka."
Bhok Siang Toodjin dan Bok Djin Tjeng mengulurkan lidah mereka saking kagum. Itulah
hebat.
"Jiwanya Sin Tjie seperti telah dihidupkan pula!" berkata imam itu. "Coba dia temaha
sedikit saja, dia tidak kubur dulu jenasah dan lantas mendahului membuka peti, tentu
anak-anak panah beracun tidak akan beri dia ampun!...."
Ia lantas suruh si gagu ambil sebuah tong besar, dikiri dan kanan itu, kira sebatas peti
besi, dia bikin dua lobang, kemudian peti itu diletaki dalam tong itu, terus atasnya tong
ditutup dengan papan tutupannya.
"Mari," Bhok Siang mengajak Sin Tjie.
Berdua mereka masuki sebelah tangan mereka masing-masing kedalam lobang tong,
untuk pegangi peti dibagian pentolannya, lalu dengan beri tanda, keduanya menarik
dengan berbareng, dengan dikageti. Menyusul itu terdengarlah satu suara menjeblak.
Itulah rupanya, ada tanda dari terbukanya lapisan yang kedua. Lalu menyusul itu
terdengar dua rupa suara beruntun, berbunyi seperti barang nancap dan nyaring
"dung,dung", hingga tong itu sedikit menggetar.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Sin Tjie tunggu sampai suara sudah berhenti, ia hendak buka tutup tong itu.
"Tunggu!" Bok Djin Tjeng mencegah sambil tarik lengan muridnya.
Baru guru ini tutup mulutnya atau segera terdengar suara susulan seperti barusan.
Masih Bok Djin Tjeng menunggu sekian lama, Baru ia buka tutup tong, untuk dibalik, maka
untuk keheranan mereka, mereka dapati tutup tong itu tertancap banyak anak panah,
sampai beberapa puluh batang.
Pat Tjhioe Sian-wan Bok Djin Tjeng ambil jepitan, untuk jepit dan cabut bergantian semua
gandewa itu, yang ia letaki dipinggiran. Ia takut untuk cekal semua senjata itu.
Melihat semua itu, Bhok Siang Toodjin menghela napas.
"Ini orang pandai memikir dalam sekali," memuji dia. "Rupanya dia kuatir, dengan
penyerangan pertama saja, penyerangannya itu nanti gagal, maka ia atur serangan
susulannya yang kedua kali...."
Lantas imam ini, Kwie-Eng-Tjoe si Bajangan Iblis, jumput keluar peti besi dari dalam tong
itu, maka dapatlah mereka lihat, setelah lapis yang kedua terbuka, didalam situ ada kawatkawat
malang-melintang. Terang itu ada kawat-kawat yang merupakan pesawat, yang
membikin anak-anak panah bisa melesat menyambar sendirinya sebagai kesudahan dari
ditariknya per rahasia.
Dengan gunai jepitan, Kwie-Eng-Tjoe Bhok Siang Toodjin singkirkan semua kawat itu,
disebelah bawah itu ia tampak sejilid buku dengan kalimatnya "Kim Coa Pit Kip", atau
"Kitab Rahasia Kim Coa". Dengan "Kim Coa", Ular emas, pasti dimaksudkan Kim Coa
Long-koen.
Dengan terus gunai jepitan itu, Bhok Siang balik beberapa halaman dari kitab rahasia itu,
didalamnya kedapatan tulisan huruf-huruf kecil berikut rupa-rupa gambar atau peta, juga
peta bumi. Sejumlah gambar orang memperlihatkan pelbagai sikap latihan silat. Gambargambar
lainnya adalah contoh rupa-rupa alat senjata.
Semua orang tonton kitab itu dengan kekaguman.
Habis itu, Bhok Siang buka peti besi yang kecil, yang tidak pakai pesawat rahasia lagi,
isinya adalah sebuah kitab serupa seperti kitab yang pertama itu, sama ukuran dan
romannya, sama kalimatnya, akan tetapi kapan telah dibalik-balik lembarannya, isinya
beda dari kitab yang pertama itu: beda tulisannya, gambarnya, petanya. Yang belakangan
ini adalah kitab yang sejati.
"Benar-benar Kim Coa Long-koen sangat luar biasa," memudji Bok Djin Tjeng, si Lutung
Sakti Tangan Delapan. "Untuk menghadapi orang jang tak sudi kubur rerongkongnya, dia
telah asah otaknya membuat ini kitab palsu serta panah rahasianya yang beracun.
Bukankah ia telah menutup mata? Kenapa ia bersiaga begini rupa terhadap orang yang
masih belum diketahui bermaksud buruk atau baik?"
"Dia adalah seorang, yang bisa dianggap cupat pandangannya," menyatakan Bhok Siang
Toodjin, "maka juga ia telah dapatkan hari akhirnya begini rupa."
Bok Djin Tjeng manggut-manggut, ia menghela napas pula.
"Sin Tjie, pergi simpan kedua peti besi ini berikut semua isinya," kemudian kata sang guru
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
kepada muridnya. "Kim Coa Longkoen berpemandangan sempit, kitabnya ini tidak ada
faedahnya untuk dibaca."
Sin Tjie turut kata gurunya, ia benakan kedua buku, ia tutup kedua peti, lalu ia bawa pergi
untuk disimpan.
Sejak itu bocah ini lanjuti latihan silatnya dengan ber-tambah-tambah rajin, Bhok Siang
sangat sayangi dia hingga dia diwariskan kepandaian ilmu entengkan tubuh dan senjata
rahasia, tak ada yang guru kedua ini sembunyikan. Karena habis itu, selang beberapa
bulan, imam ini pamitan untuk turun gunung, buat kembali hidup berkelana.
Sin Tjie merasa berat untuk berpisahan tapi tak dapat ia mentjegah guru ini. Maka
selanjutnya, ia belajar terus dibawah pimpinan tunggal dari gurunya. Bok Djin Tjeng juga
telah wariskan kepandaiannya kepada muridnya ini yang berbakat dan rajin dan ulet,
hingga beberapa tahun telah lewat seperti tanpa dirasai. Maka akhirnya, ketika sampai
ditahun keenam-belas dari Kaisar Tjong Tjeng dari ahala Beng, Sin Tjie telah masuk usia
dua-puluh tahun.
Setelah sepuluh tahun lebih terlatih, sekarang Sin Tjie telah punyakan kepandaian yang
berarti. Dari Bok Djin Tjeng ia peroleh terutama ilmu silat pedang Hoa San Pay, sedang
dari Bhok Siang Toodjin, ia dapatkan ilmu entengkan tubuh dan senjata rahasia biji catur
(wie-kie-tjoe). Ia jadi telah gabung-warisan ilmu kedua kaum. Tapi sementara itu, sudah
belasan tahun ia tak pernah turun gunung, maka mengenai urusan dunia, ia ada gelap
sekali, kecuali jang ia dapat dari penuturan-penuturan kedua gurunya, sedang sebaliknya,
dunia kang-ouw juga tak tahu yang kaum Hoa San Pay telah punyakan satu murid-penutup
seperti anak muda ini.
Pada suatu pagi dari permulaan musim semi, selagi Sin Tjie berlatih silat dengan Tay Wie
dan Siauw Koay temani dia, tiba-tiba A Pa muntjul dari dalam seraya terus gerak-gerakkan
tangannya. Ia mengerti, tentulah gurunya panggil padanya, tidak ayal lagi, ia berhenti
berlatih, dengan cepat ia bertindak masuk kedalam kamar gurunya. Untuk keheranannya,
ia dapati dua orang asing, yang tubuhnya besar, berdiri disamping gurunya itu. Ia heran
karena ia tahu, kecuali Bhok Siang Toodjin, lain orang belum pernah mendaki puncak
tertinggi dari gunung Hoa San ini. Ia pun tidak kenal dua orang itu.
"Sin Tjie, inilah Ong Toako dan ini Kho Toako," berkata sang guru begitu ia tampak
munculnya murid itu. "Mari kamu bikin pertemuan."
Karena disebutnya panggilan "toako", Sin Tjie duga dua orang itu adalah sahabat-sahabat
gurunya, ia lantas maju mendekati untuk memberi hormat sambil bersoja-koei seraya
memanggil : "soesiok!"
Tapi dua orang itu lekas-lekas paykoei, untuk balas kehormatan itu, seraya ber-ulangulang
mereka kata: "Tak berani aku terima hormat ini, Wan Soesiok, silakan bangun!"
Sin Tjie melengak. Dia panggil mereka soesiok (paman guru), sekarang mereka panggil dia
soesiok juga! Tidakkah itu aneh? Bok Djin Tjeng tertawa berkakakan.
"Kamu semua bangun!" berkata dia.
Anak muda itu lantas berbangkit, untuk pandang dua tetamu itu, hingga sekarang ia bisa
melihat lebih tegas: Mereka dandan sebagai orang tani, nampaknya mereka gesit,
melainkan wajahnya tegang atau likat.
Pat Tjhioe Sian-wan tertawa pula, tapi sekarang sambil terus berkata kepada muridnya itu:
"Belum pernah kau turut aku turun gunung, karena itu kau tidak tahu berapa tinggi tingkatKang
Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
derajatmu. Kamu bertiga tak usah seedjie dan main soja-koei terhadap satu dengan lain,
tak usah juga kamu saling memanggil soesiok. Baiklah kamu memanggil saudara satu
sama lain menuruti usia kamu masing-masing."
Nyata kedua orang she Ong dan she Kho itu ada saudara-saudara seperguruan, Bok Djin
Tjeng itu ada soesiok, paman guru mereka, meski benar mereka terlebih tua sedikit
daripada Sin Tjie; dalam hal derajat, Sin Tjie ada lebih tinggi setingkat.
"Kedua toakomu ini datang dari Shoasay atas titahnya Tjiangkoen Lie Tjoe Seng," sang
guru menerangkan pula. "Di Shoasay ada urusan penting yang mesti dirundingkan, maka
itu besok aku mesti turun gunung."
Sin Tjie heran tapi ia tidak mencegah.
"Soehoe, aku toh boleh turut, supaya aku bisa lihat Tjoei Siokhoe?" mohon dia , yang
tidak bisa lupai paman-angkat itu. Pernah beberapa kali ia minta turun gunung akan
sambangi sang paman, saban-saban gurunya ini mentjegah.
Mendengar permintaan muridnya itu, Bok Djin Tjeng tertawa.
Kedua pemuda she Ong dan Kho itu duga guru dan murid itu hendak bicara, mereka minta
perkenan, lantas mereka pergi keluar.
Segera juga sang guru berkata pada muridnya: "Sekarang ini tentara rakyat sedang maju,
kedua propinsi Siamsay dan Shoasay bakal lekas dirampas pihak kita, maka itu sekarang
ada ketikanya untuk kau turun gunung, buat sekalian menuntut balas kepada musuh
ayahmu. Kau telah minta perkenan buat kau pergi bunuh kaisar Tjong Tjeng, aku selalu
menolaknya, kau tahu apa sebabnya?"
"Mungkin, karena kepandaianku belum cukup," sahut sang murid.
"Itu ada salah satu sebab," jawab sang guru. "Masih ada satu sebab lain, jang terlebih
penting. Kau duduk, mari kita bicara pelahan-lahan."
Sin Tjie menurut, ia duduk didepan gurunya.
"Selama beberapa tahun ini, suasana di tapal batas ada tegang sekali," menerangkan Bok
Djin Tjeng. "Bangsa Boan kandung maksud jang tak dapat kita duga-duga, tidak ada satu
hari yang mereka lewatkan tanpa niat menerjang masuk ke Tionggoan. Kaisar Tjong Tjeng
memang senantiasa bersangsi, akan tetapi dibanding dengan kaisar-kaisar yang telah
marhum, Kee Tjeng atau Thian Kee, dia masih terlebih baik. Umpama karena dendaman
pribadi , kau nerobos kedalam istana, kau bunuh dia, maka penggantinya tentu puteranya
yang belum dewasa. Dengan putera mahkota belum tahu apa-apa, pemerintahan pasti
bakal terjatuh kedalam tangannya menteri kebiri. Apabila ini sampai terjadi, aku kuatir
Negara kita bakal terampas lain bangsa. Dengan begitu, tidakkah kau bakal jadi rakyat
yang paling berdosa? Marhum ayahmu berkorban selagi menangkis serangan bangsa
Boan, cita-citanya adalah merampas Liauw-tong, sekarang didunia baka, apabila dia
ketahui perbuatanmu, pasti dia akan murka dan akan kutuk kau sebagai anak poet-tiong
poet-hauw!" (tak setia dan tak berbakti).
Sin Tjie terkejut, hingga ia mandi keringat dingin.
"Urusan Negara adalah urusan besar, urusan pribadi adalah urusan kecil," menjelaskan
pula sang guru. "inilah sebabnya kenapa aku cegah kau pergi bunuh kaisar Tjong Tjeng.
Akan tetapi keadaan sekarang ada lain. Giam Ong bakal segera rampas Siamsay dan
Shoasay, mungkin dalam satu atau dua tahun dia akan duduki ibu kota Pakkhia. Apabila
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
cita-cita ini tercapai, Giam Ong yang bakal pegang pimpinan. Setelah rakyat semua
bersatu padu, kenapa kita mesti kuatirkan lagi bangsa Boan di Liauw Tong nanti terjang
kita?"
Bergolak darah Sin Tjie mendengar kata-kata yang bersemangat dari gurunya itu.
"Sekarang ilmu silatmu telah ada dasarnya," berkata pula sang guru. "Memang ilmu silat
tidak ada batasnya, akan tetapi semua kepandaianku, aku telah wariskan kepadamu, maka
mengandal kepada dirimu sendiri, aku percaya kau akan bisa berbuat banyak. Kau tinggal
membutuhkan latihan lebih jauh dan pengalaman, kau sudah boleh turun gunung. Besok
aku akan berangkat, tak dapat kau turut langsung bersama, kau harus tunggu sampai satu
bulan, lantas kau boleh berangkat sendiri, kau menuju langsung kedalam angkatan perang
Giam Ong di Shoasay untuk cari aku."
Sin Tjie girang, ia terima baik pesan guru itu.
"Baik soehoe, aku menurut," kata dia.
Bok Djin Tjeng telah beritahu banyak kepada muridnya ini tentang segala-galanya kaum
kang-ouw, tapi sekarang , ia telah ulangi itu agar murid ini ingat poma-poma, kemudian ia
tambahkan: "Kau jujur dan berhati-hati, aku percaya kepadamu, tetapi kau masih muda,
semangatmu sedang ber-kobar-kobar, maka pesanku sekarang adalah mengenai paras
eilok, kau mesti waspada luar biasa. Sudah banyak buktinya bagaimana orang gagahperkasa
rubuh ditangan orang perempuan, hingga tubuhnya bercelaka dan namanya
rusak! Kau ingat ini baik-baik!"
Sin Tjie terima pesan penting dari gurunya ini.
Besoknya pagi, belum terang tanah, Sin Tjie sudah bangun dari tidurnya, ia minta A Pa
nyalakan api dan masak nasi, sesudah barang makanan siap, ia pergi kekamar gurunya,
untuk undang guru itu dahar, akan tetapi kapan ia sampai didalam kamar, ia dapatkan
sebuah kamar kosong. Diluar tahunya, tadi tengah malam, guru itu sudah berangkat
bersama-sama si Ong dan Kho, kedua soeheng itu. Bengong ia mengawasi pembaringan
tak ada isinya dari gurunya. Tapi kapan ia ingat, segera juga ia bakal turun gunung, ia lari
ke dapur, untuk beritahukan itu kepada A Pa, si empeh gagu. Ia ada sangat gembira, siapa
tahu, A Pa sebaliknya berduka, dia putar tubuhnya dan ngeloyor keluar, meninggalkan
kawan ini.
Menampak demikian, Sin Tjie jadi terharu. Si gagu ini ada kawannya sepuluh tahun lebih,
mereka hidup rukun bagaikan saudara kandung, sekarang tiba-tiba mereka bakal berpisah,
tidak heran A Pa lesu dan berduka. Ia pun, dengan memikir sekelebatan saja, tak ingin
berpisah dari kawan ini....
Dengan cepat, delapan hari telah berselang, selama itu tetap Sin Tjie berlatih dengan rajin,
hanya sekarang, kapan ia memandang sekitarnya, ia merasa berat akan tinggalkan
gunungnya itu.
Malam itu, habis bersantap, ia duduk seorang diri menghadapi api. Ia pilih sejilid kitab
gurunya, ia baca itu. Kira-kira satu jam kemudian, selagi ia hendak padamkan api, untuk
tidur, A Pa bertindak masuk kedalam kamarnya, terus si gagu bicara dengan gerakan
tangan kaki. Itu artinya, ada orang asing jang telah datangi tempat mereka.
"Nanti aku lihat," kata Sin Tjie jang berniat keluar, tetapi A Pa cegah ia seraya beri tanda
bahwa dia sudah memeriksa tapi orang asing itu tidak kelihatan bekas-bekasnya. Ia masih
kuatir, ia keluar juga dengan ajak dua orang-hutannya. Ia meronda tanpa hasil,
sekembalinya, ia lantas masuk tidur.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Kira tengah malam, anak muda ini mendusin dengan kaget. Ia dengar suara berpekiknya
Tay Wie dan Siauw Koay. Ia lantas berbangkit, akan duduk untuk pasang kuping.
Mendadakan ia cium bau hio wangi, hingga ia terkejut dan dalam hatinya, berteriak:
"Celaka." Segera ia menahan napas, ia berloncat turun. Apamau, kedua kakinya hilang
tenaganya, ia injak tanah dengan tubuh terhuyung-huyung, hampir saja ia rubuh.
Berbareng dengan itu, pintu kamar tertembrak dari luar, terpentang karena satu dupakan
keras, lalu satu bajangan lompat masuk, menyusul mana, sebuah golok menyambar
kearah si anak muda.
Sin Tjie rasai kepalanya pusing sekali, akan tetapi ia masih sadar, ia mencoba kuati diri,
maka itu, ia dapat berkelit, akan egos bacokan, berbareng dengan mana, ia balas
menyerang dengan tangan kanannya.
Bajangan itu putar tangannya, untuk balik babat lengan lawan.
Menghadapi musuh gesit itu, Sin Tjie tidak mau memberi ketika, ia nyamping dan
menyerang pula dengan tangan kiri, hingga mengenai pundak orang itu. Dia telah gunai
tenaga besar.
Penyerang itu merasa kesakitan, tubuhnya limbung. Nampaknya ia heran, musuh jang
telah terkena asap hio pulas, masih demikian gagah. Ia tentu telah rubuh jikalau tidak satu
kawannya, yang menyusul masuk, tahan tubuhnya.
"Dia gagah?" kawan ini tanya.
Sin Tjie tidak perdulikan musuh ada berdua, ia hendak menyerang terus, tetapi
sekonyong-konyong kepalanya jadi sangat pusing, tidak ampun lagi, ia rubuh pingsan.
Entah berapa waktu telah lewat, waktu ia mendusin, ia rasai seluruh tubuhnya lemas dan
ngilu, ketika ia coba geraki tangan dan kakinya, ia kaget tidak terkira. Ia telah terbelenggu
seluruh tubuhnya? Api dalam kamarnya terang, ia lihat dua musuhnya asyik geledah
kamarnya, peti pakaiannya dibongkar.
"Celaka," pikir ia, yang jadi mendongkol, berbareng masgul dan menyesal. Ia sesalkan diri
tidak punya guna. Baru beberapa hari gurunya meninggalkan dia, dia sudah kena orang
serbu, dia kena dirubuhkan....Bagaimana nanti dia mampu menuntut balas untuk
ayahnya? Tapi ia sadar, maka ia lantas tutup kedua matanya, untuk berpura-pura belum
mendusin dari gangguan hio pulas, untuk mengawasi gerak-gerik orang, ia buka sedikit
matanya.
Orang yang satu kurus kering, usianya lima-puluh lebih, kulit mukanya kering. Orang yang
kedua ada satu pendeta yang tubuhnya besar dan gemuk. Melihat potongan tubuh dia ini,
ia percaya dia adalah yang barusan bertempur dengannya.
"Di gunungku ini ada barang berharga apa maka mereka datangi untuk dirampok?" pikir
dia. "Ada juga uang lima-puluh perak peninggalan soehoe, buat bekal aku dijalan?
Jangan-jangan mereka bukannya penjahat biasa....Pendeta ini kosen, si kurus juga tidak
lemah, mungkin mereka hendak mencari balas, tetapi kenapa mereka tak lantas binasakan
aku? Apa perlunya mereka menggeledah?"
Sembari berpikir, Sin Tjie coba kerahkan tenaganya, untuk bikin putus pengikat tubuhnya.
Ia tahu, dalam keadaan biasa, dadung itu tidak bisa rampas kemerdekaannya untuk
selamanya. Baru ia mencoba atau ia mundur sendirinya, hatinya mendongkol dan kecewa.
Dua orang tidak dikenal itu ada bangsa ahli, mereka tahu lawan liehay, diwaktu
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
membelenggu, mereka seling itu dengan sepotong bambu diantara kedua tangan, jikalau
si korban berontak, sebelum dadung putus, bambu itu akan pecah terlebih dahulu,
suaranya pasti meletak dan berisik, hingga orang akan ketahui percobaannya itu. Maka ia
lantas berdiam, untuk cari daya lain.
Sekonyong-konyong si hweeshio jadi kegirangan.
"Disini!" ia berseru.
Sin Tjie lihat, dari kolong pembaringan, pendeta itu seret keluar peti besi yang besar, peti
besi warisan Kim Coa Long-koen.
Si kurus-kering menoleh, ia pun nampaknya jadi sangat girang.
Berdua mereka lantas duduk disamping meja, mereka buka tutup peti, untuk keluarkan
isinya, itu jilid kitab jang berkalimat "Kim Coa Pit Kip".
Membaca kalimat itu, si gundul tertawa terbahak-bahak: "Benar-benar disini!" kata dia
dengan nyaring. "Soeko, tak kecewalah usaha kita selama lima-belas tahun mencari ini!"
Lantas dia balik lembarannya kitab itu, dia dapati banyak gambar lukisan serta huruf-huruf
halus yang merupakan keterangannya, saking girang, kepalanya digoyang-goyang, dia
garuk-garuk belakang kupingnya.
Mendadak si kurus berseru: "Eh, dia mau lari?" Dia menunjuk kepada Sin Tjie.
Anak muda ini terkejut, ia menduga orang pergoki ia telah sadar.
Si hweeshio agaknya kaget, ia menoleh dengan segera.
Sekonyong-konyong si kurus geraki sebelah tangannya, lalu sejenak saja, bebokongnya si
kepala gundul tertuncap pisau belati, yang masuk dalam sampai dibatas gagangnya,
sesudah mana, dia loncat minggir, untuk segera hunus pedangnya. Ia bersikap untuk bela
diri, terutama mukanya, yang dialingi pedangnya itu.
Si pendeta kaget, dia menoleh, dia tertawa meringis.
"Kita berdua saudara telah mencari lamanya lima-belas tahun, sekarang kita berhasil,
lantas kau hendak kangkangi sendiri, kau turunkan tangan jahat....Ha-ha-ha-ha! Ha-ha-ha!"
Itulah suara tertawa hebat dan seram sekali, sampai pun Sin Tjie bergidik.
Hweeshio itu ulur tangannya kebelakang, dia berniat mencabut pisau belati itu, akan tetapi
tangannya itu tak dapat menyampaikannya. Mendadak dia menjerit, lantas dia rubuh
terguling, dia berkelejatan, lalu seluruh tubuhnya diam....
Si kurus kuatir kepada gundul ini belum mati, ia maju untuk menikam dua kali.
Sin Tjie kaget, hatinya mencelos, menampak orang demikian telengas terhadap saudara
seperguruan sendiri.
"Jikalau aku tidak bunuh kau, apa mungkin kau tak nanti bunuh aku? Hm!" demikian si
kurus perdengarkan suaranya. Rupanya ia curigai kawan itu, makanya ia turun tangan
lebih dulu. Habis itu ia dupak dua kali tubuh gemuk dari si hweeshio...
(Bersambung bab ke 5)
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Si kurus ini tidak lihat Sin Tjie sudah sadar, dua kali dia perdengarkan tertawanya yang
seram, lantas dia sentil sumbu lilin, untuk dibuang ujungnya, hingga apinya menjadi
menyala terang sekali. Dia hampirkan meja, untuk balik lembarannya kitab "Kim Coa Pit
Kip", lantas ia membaca. Suara bacaannya menyatakan ia ada sangat gembira dan puas,
tubuhnya pun bergerak-gerak sedikit.
Beberapa lembaran pula dibalik, antaranya ada halaman yang seperti nempel, lantas ia
tempelkan jari tangannya di lidahnya, untuk dengan jari yang basah, bisa ia buka lembaran
itu. Ia menyolet ludah di lidahnya sampai beberapa kali.
Sin Tjie tetap mengintai, sampai tiba-tiba ia ingat, kitab itu ada racunnya. Dia duga, si
kurus ini tentu bakal keracunan. Tanpa merasa, saking kaget, ia perdengarkan seruan
tertahan.
Si kurus dengar suara orang, ia menoleh dengan segera justru Sin Tjie sedang buka kedua
matanya, maka dapatlah ia lihat sinar mata yang seperti ketakutan dari si anak muda. Ia
lantas berbangkit, dengan tindakan pelahan, ia hampirkan tubuhnya si kepala gundul,
untuk cabut pisau belati dari bebokongnya korban itu. Habis ini, dia dekati dua tindak pada
Sin Tjie.
"Kita berdua tidak bermusuhan akan tetapi hari ini tak dapat aku beri ampun padamu!"
kata dia dengan suara bengis, kedua matanya pun bersinar mengancam, kemudian
sembari angkat pisau belatinya, ia tertawa secara iblis, sampai dua kali.
"Jikalau aku lantas bunuh kepadamu, sampai di akhirat, kau nanti belum tahu sebabmusababnya,"
berkata dia, yang sikapnya sangat mengancam. "Aku ada Thio Tjoen Kioe
dari Tjio Liang Pay dari Kie-tjioe, Tjiatkang. Pihak kami Tjio Liang Pay dengan Kim Coa
Long-koen ada musuh mati-hidup. Dia telah perkosa satu adik perguruan kita jang
perempuan, dia kabur kemari, untuk belasan tahun kami cari dia ubak-ubakan, siapa tahu,
warisannya telah terjatuh kedalam tanganmu, bocah! Entah ada hubungan apa kau dengan
Kim Coa Long-koen, yang terang kau pasti bukan orang baik-baik, maka itu, jikalau aku
binasakan kau, tak nanti kau penasaran, tapi umpama kau hendak menuntut balas setelah
kau jadi hantu, kau boleh cari aku di Kie-tjioe! Ha-ha-ha-ha!..."
Si kurus ini belum tutup mulutnya atau sekonyong-konyong dia limbung, tubuhnya
sempoyongan kearah si anak muda.
Sin Tjie kaget, ia tahu ini adalah saat mati atau hidupnya, dalam saat bahaya itu, ia
kerahkan tenaganya, ia berontak, hingga belengguannya pada putus, bambunya
menerbitkan suara nyaring, setelah mana dia berlompat maju, untuk mendahului
menyerang.
Tiba-tiba orang itu terjengkang, terus tubuhnya rubuh sendirinya.
Sin Tjie heran, walaupun ia batal menyerang, ia toh lantas bersiap. Ia cekal sisa tambang,
untuk digunakan sebagai senjata. Ia bertindak mendekati, untuk melihat tegas.
Si kurus-kering itu kejutkan dua kakinya, lantas seluruh tubuhnya diam, tak berkutik lagi,
menyusul mana dari kedua matanya, dari hidungnya, dan kupingnya, terutama dari
mulutnya, lantas mengalir keluar darah hidup yang hitam. Maka sekarang teranglah dia
telah mati keracunan, racun yang berbisa dari halaman-halaman kitab Kim Coa Long-koen,
yang tadi dikenakan jari tangannya si kurus sendiri.
Segera Sin Tjie loloskan semua libatan tambangnya, lantas ia lari keluar kamarnya,
kekamar luar dimana ia dapatkan A Pa sedang terbelenggu, kedua matanya terbuka lebar,
tubuhnya tak bergeming. Maka ia lantas tolong si gagu itu.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Juga disitu Tay Wie dan Siauw Koay pada menggeletak, melihat mana, Sin Tjie berkuatir
sekali, ia kuatir kedua binatang piaraannya itu telah terbinasa karena tangan jahat musuh.
Ia lantas cari air, dengan itu ia banjur dua orang hutan itu.
Tidak antara lama, kedua binatang itu mulai berkutik kaki tangannya, tandanya keduanya
sudah sadar, hingga hati majikannya jadi lega.
"Apa jang telah terjadi?" tanya Sin Tjie kepada A Pa.
Si empeh gagu, dengan tanda-tanda tangannya, tuturkan bahwa ia kena dibokong hingga
ia jadi tertawan tanpa berdaya.
Sin Tjie mengerti, ia tidak bilang suatu apa.
Besoknya, setelah terang tanah, kedua mayat dibawa keluar, untuk dikubur, sesudah
mana, Sin Tjie pun lempar peti besi yang besar itu kedalam lobang kuburan itu. Ia anggap
itu adalah peti pembawa bencana.
Malamnya, sedang beristirahat, Sin Tjie bergidik sendirinya apabila ia bayangi
pengalamannya yang sangat berbahaya itu.
Tatkala peti besi didapatkan, bocah ini baru berumur dua-belas tahun, berselang delapan
tahun, hingga sekarang ia jadi satu pemuda, ia telah lupakan peti besi itu, akan tetapi
sekarang, melihat si pendeta dan si kurus demikian inginkan peti besi itu, hatinya jadi
bercekat.
"Mestinya Kim Coa Pit Kip ada berharga sekali," ia menduga-duga. "Kenapa mereka
mencari terus-terusan sampai lima-belas tahun? Kenapa mereka jadi adu jiwa karenanya?
Apakah itu yang tertulis dalam kitab tersebut?"
Lama Sin Tjie terganggu oleh semua itu, akhirnya ia seret keluar peti besi yang kecil, jang
ia letaki dikolong pembaringan, disebelah dalaman peti jang besar. Sebab ditaruh
disebelah dalaman, peti ini kealingan dan jadi tak terlihat si pendeta, perhatian siapa
sebaliknya telah ditumplak semua kepada peti yang besar itu terutama isinya. Peti ini telah
bergala gasi dan berdebu. Dari dalam peti ini, ia keluarkan kitab yang tulen. Ia balik-balik
halamannya, untuk memperhatikan semuanya dengan sungguh-sungguh. Dalam hal ilmu
pukulan dan mainkan senjata rahasia, buku itu beda dari pelajarannya Bok Djin Tjeng dan
Bhok Siang Toodjin, beda dalam hal "kelicinannya".
"Hampir saja aku bercelaka ditangan manusia jahat," pikir dia sambil terus perhatikan isi
kitab itu. "Kalau nanti aku berkelana, bagaimana aku mesti layani orang-orang semacam si
kurus dan si gundul ini? Kenapa aku tak mau yakinkan ini, sedikitnya untuk pembelaan
diri? Sebagai tambahan pengetahuan, ini pun pasti ada berharga sekali?..."
Karena memikir begini, Sin Tjie segera membaca dengan teliti, ia perhatikan gerak
geriknya peta. Tiga hari ia membaca terus menerus, ia dapat kenyataan bagaimana
bedanya itu dengan pengajaran gurunya, malah tak pernah ia dengar gurunya menuturkan
tentang ini macam ilmu silat yang asing baginya. Tapi ia cerdik, otaknya cerdas, walaupun
tanpa guru dengan membaca saja, kemudian ia dapat jalankan pelbagai ilmu pukulan
menurut kitab tersebut. Hanya ketika ia menyakini sampai dihari kelima, ia hadapi
kesukaran, ialah dibagian pelajaran tanpa peta.
"Baik aku menunda dulu," pikir Sin Tjie. Dan ia baca bagian ilmu silat pedang "Kim Coa
Kiam-hoat", terus ia melatih diri. Mulanya ia dapatkan jalan dengan baik, hanya lama-lama,
ia tidak ketemu jalan. Mendadakan ia ingat ukiran gambar-gambar ditembok kamar Kim
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Coa Long Koen, si Ular Emas. Tidakkah semua gambar itu ada hubungannya sama ini?
Ingat ini, tak peduli waktu lagi, Sin Tjie cari A Pa. Ia bekal tambang dan obor, ia ajak kawan
itu pergi ke jurang, hingga dilain saat, ia sudah berada di dalam gua Kim Coa Long-koen.
Karena mulut terowongan telah dibesarkan, dengan gampang ia bisa masuki tubuhnya.
Sampai didalam gua, Sin Tjie suluhi tembok, terus ia awasi, ia perhatikan sesuatu gerakan
tangan dan kaki. Dasar ia berotak terang, lantas ia dapat kenyataan, itulah ada gambar
penjelasan untuk bunyinya kitab bagian yang ia tidak mengerti. Maka bukan main
girangnya ia.
Tak tempo lagi, pemuda ini berlatih didalam kamar itu sambil ia ikuti sesuatu petunjuk dari
setiap ukiran. Kesudahannya ia jadi sangat girang. Satu kali ia dapat menjalankannya,
terus ia ulangi dan ulangi lagi, sampai ia ingat betul.
"Terima kasih!" kata ia kepada Kim Coa Long-koen, dimuka kuburan siapa ia bersoja koei
dua kali.
Pemuda ini hendak berlalu ketika ia tampak pedang aneh dari Kim Coa Long-koen, jang
masih menggeletak dipinggiran, yang tadinya ia tidak perhatikan. Pedang itu rada
bengkung bagaikan ular melilit diri, ekornya adalah yang merupakan gagangnya, sedang
ujungnya, jang tajam, bercagak dua seperti lidah ular. Cagak ini bisa dipakai menikam
berbareng menggaet senjata lawan.
"Tentu A Pa pikiri aku," pikir Sin Tjie, jang terus jumput pedang itu, untuk dibawa keluar,
begitu juga sejumlah Kim Coa Tjoei, senjata rahasia jang merupakan sebagai bor
istimewa.
Dimuka terowongan masih ada melintang sepotong batu, yang agak menyulitkan untuk
orang merayap keluar, iseng-iseng Sin Tjie gunai pedangnya akan bacok batu itu. Untuk
keheranannya, untuk kegirangannya, begitu ditabas, batu itu sapat! "Aha!" berseru
pemuda ini. Itulah sebatang pedang mustika! Ketika ia coba menusuk, batu pun dapat
ditikam bagaikan kayu saja! Bukan main girangnya pemuda ini, maka itu, ketika ia telah
kembali kerumah, tidak buang tempo lagi, ia terus berlatih pula dilapangan peranti dia
belajar silat. Mulanya ia jalankan ilmu pedang Hoa San Pay ajaran gurunya, nyata pedang
aneh itu cocok untuk dipakai, akan tetapi kapan ia telah mencoba Kim Coa Kiam-hoat,
kegirangannya meluap.
Selanjutnya, untuk belasan hari, tak ada bosannya, Sin Tjie yakinkan semua pengajaran
dalam kitab dari Kim Coa Long-koen, pelajaran senjata rahasia Kim-Coa-tjoei pun tak
dilupakan, yang tak kalah liehaynya dengan ajaran Bhok Siang Toodjin.
"Mungkin Kim Coa Long-koen tersesat tapi ia harus dikagumi," pikir Sin Tjie, jang jadi
menaruh harga kepada jago yang telah marhum itu.
Mempelajari kitab terlebih jauh, tiga halaman yang terakhir membuat Sin Tjie pusing
kepala. Ia membaca, ia melatih, tidak juga ia ketemu jalan. Ia memahami, ia tidak berhasil.
Toh ia merasa, ia tak salah mengertikannya. Begitu beda itu dengan pelajaran gurunya...
Malamnya, selagi rebahkan diri diatas pembaringannya, Sin Tjie pikirkan kitab rahasia itu.
Ia lihat sinar rembulan yang indah masuk dari jendela. Ia menghitung-hitung. Duapuluh
delapan hari telah lewat dengan lekas sejak pergi gurunya.
"Lagi dua hari, aku mesti susul soehoe," ia pikir. Tiba-tiba ia ingat sikap Thio Tjoen Kioe
yang telengas. "Kitab ini sangat luar biasa, apabila ini terjatuh dalam tangan orang jahat,
bahayanya untuk umum besar sekali. Kenapa aku tidak bakar saja?"
Sin Tjie tidak berpikir lama dan segera ia ambil putusan. Ia turun dari pembaringan, akan
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
sulut lampu, lalu ia ambil Kim Coa Pit-kip, tidak sangsi lagi, ia bakar itu.
Sekian lama, api menyala, membakar kitab, akan tetapi aneh, selagi semua lembaran habis
hangus menjadi abu, adalah halaman kulitnya utuh, cuma hitam saja.
"Aneh," pikir pemuda ini, apapula ketika ia coba beset, ia tak berhasil, sedang kedua
tangannya kuat. Karena ini, ia perhatikan lebih jauh kulit buku itu, dipencet-pencet,
disentil-sentil.
Segera ternyata, kulit buku itu terbuat dari tembaga campur emas dan dilapis entah
dengan bulu apa dan juga lapis dua, mirip dengan baju kaos pelindung diri dari Bhok
Siang Toodjin, hanya ini ada terlebih tipis.
Dengan gunai pisau, Sin Tjie coba korek akan buka kedua lapisan kulit buku itu. Untuk
keheranannya, didalam situ ia dapatkan dua lembar kertas, yang ia lantas tarik keluar.
Dihalaman depan, ia lihat tulisan bunyinya : "Gambar dari barang berharga." Dipinggiran
itu ada peta-bumi serta banyak tanda-tanda. Dibelakang peta itu terdapat tulisan yang
sebagai berikut bunyinya : "Siapa dapatkan harta, diminta dia pergi ke Tjio-liang di Kietjioe,
Tjiatkang, untuk cari Oen Gie, untuk dihadiahkan uang sepuluh ribu tail."
"Sungguh jumawa!" pikir Sin Tjie, karena jumlah itu besar sekali.
Sekarang pemuda ini periksa kertas yang kedua, yang memuat gambar ilmu pukulan,
apabila ia telah periksa dengan hati-hati, ia sadar. Ini adalah gambar penjelasan untuk
bagian ilmu silat didalam "Kim Coa Pit Kip", yang sampai sebegitu jauh masih kurang
jelas untuknya, hingga tak dapat ia melatih diri dengan itu. Maka sekarang kegirangannya
jadi meluap, hingga ia akhirnya menghela napas saking kagumi silat yang terrahasia itu.
Terang telah disengaja, penjelasan didalam kitab dibikin kurang jelas dan itu Barulah
terang apabila ini penjelasan dalam lipatan kulit halaman sudah diketemukan. Bagaimana
hebat! "Coba peta bumi ini tak didapatkan, atau didapatkannya oleh orang tolol, bukankah
harta besar itu bakal terus tak kedapatan?" pikir Sin Tjie.
Dua lembar kertas itu diselipkan pula kedalam kulit kitab dan disimpan.
Masih Sin Tjie radjin berlatih, sampai lewat lagi dua hari, sesudah mana, ia siapkan satu
buntalan sederhana, untuk ia berangkat susul gurunya. Ia ambil selamat berpisah dari A
Pa, siapa antar ia sampai ditengah gunung. Si empeh gagu ajak kedua orang hutan.
Berat Sin Tjie merasa akan, setelah sepuluh tahun, mesti berpisah dari A Pa, dari kedua
binatang piaraannya juga. A Pa sendiri ada masgul. Tapi juga kedua orang-hutan itu
mengerti, keduanya pegangi tangannya si anak muda, keduanya berpekik. Mereka ini
menahan orang berangkat.
Sin Tjie terharu.
"Aku mesti bawa mereka!" pikir dia, setelah mana, ia bicara dengan tangan pada A Pa.
A Pa merasa berat tetapi ia kasih kedua binatang itu dibawa, maka itu, ketika ia turun
gunung, Sin Tjie diiring oleh dua binatang liar itu.
Inilah untuk pertama kali Sin Tjie turun gunung, tidak heran apabila ia merasa asing dan
lihat segala apa seperti baru baginya. Ketika pada suatu hari ia sampai di Shoasay, ia lihat
gerakan tentara disana-sini dan disetiap tempat penting ada penjagaan tentara sukarela,
yang melakukan pemeriksaan keras kepada orang-orang yang berlalu-lintas.
Di sebuah pos, apabila tentara yang menjaga dapat tahu, pemuda ini hendak menghadap
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Giam Ong, tak ayal lagi, satu serdadu diperintah mengantarnya ke markas besar dari Lie
Tjoe Seng, sang jenderal.
Sebab Sin Tjie sebut dia muridnya Bok Djin Tjeng, Lie Tjoe Seng keluar sendiri untuk
menyambut, walaupun ia sedang repot.
Sin Tjie kagum akan lihat pemimpin tentara ini mengenakan pakaian sederhana tetapi
romannya gagah. Ia pun puas akan penyambutan manis dari pemimpin ini. Rupanya Bok
Djin Tjeng telah pujikan muridnya ini kepada kepala perang itu, hingga dia ini tidak berani
mengabaikannya.
"Sayang gurumu sedang pergi ke Kanglam," Giam Ong terangkan kapan tetamunya tanya
tentang Bok Djin Tjeng.
Sin Tjie menyesal, lantas hilang kegembiraannya, apalagi sesudah ia tanyakan Tjoei Tjioe
San, sahabat atau gurunya yang pertama itu, ia diberi keterangan, Tjioe San pun ikut Djin
Tjeng ke Kanglam, untuk kumpul rangsum tentara.
"Hendak aku susul soehoe," Sin Tjie nyatakan. "Nanti, setelah bertemu sama soehoe, aku
akan kembali kemari untuk membantu."
Lie Tjoe Seng lihat orang berniat tetap, ia tidak mencegah.
"Kau temani dia bersantap," kepala perang ini kata pada Lie Gam, sebawahannya yang
berpangkat Tie-tjiangkoen. Ia pun bekalkan uang sepuluh tail, uang mana Sin Tjie tak
berdaya menampiknya maka ia haturkan terima kasih.
Lie Gam ada ramah-tamah, melihat orang bawa-bawa orang-hutan dan pedangnya pun luar
biasa, pedang mana bisa menarik perhatian orang, sedang cara dandannya si anak muda
pun tak seperti orang kebanyakan, ia kasih pedang itu dititipkan didalam tangsi,
sementara dilain pihak, ia lantas siapkan dua perangkat pakaian peranti mahasiswa.
Sin Tjie anggap pikiran itu baik, ia suka menurut, maka demikian ia tukar dandanan dalam
perjalanannya ke selatan.
Pada suatu hari sampailah pemuda kita di Giok San sebelah timur dari Kangsay, habis
bersantap, ia pergi kepelabuhan, akan sewa perahu untuk melanjutkan perjalanan kearah
timur. Ia dapati sebuah perahu besar, yang tukang perahunya doyan persenan, sedang
penyewanya, saudagar Liong Tek Lin asal Siang-djiauw, Tjiatkang, untuk beli barang, tak
keberatan, karena dia lihat, pemuda itu ada satu sioetjay.
Disaat tukang perahu hendak jalankan perahunya, ditepian berlari-lari seorang anak muda
sambil dia berkaok-kaok minta dikasi menumpang untuk ke Kie-tjioe, katanya dia ada
urusan sangat penting dikota itu.
Sin Tjie ketarik mendengar suara nyaring orang tetapi halus. Iapun heran akan tampak
wajah orang itu.
"Apa benar ada satu pemuda begini ganteng romannya?" memikir dia.
Pemuda itu berumur delapan atau sembilan-belas tahun, kulitnya putih halus, mukanya
bersemu dadu, buntalannya tergendol dibelakangnya.
Liong Tek Lin merasa suka kepada anak muda itu, ia berikan perkenannya, maka tukang
perahu lantas pasang papan tangga, untuk orang naik kedalam perahunya.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Begitu lekas orang menaruh kedua kakinya diatas perahu, Sin Tjie terkejut. Ia merasakan
bagaimana perahu mendadakan seperti melesak kedalam air. Ia heran sebab si pemuda itu
kurus dan berat tubuhnya tak ada seratus kati. Kenapa dia ada begitu berat? Buntalannya
juga tak besar.
Sesampainya didalam perahu, pemuda itu beri hormat pada Tek Lin dan Sin Tjie, ia
menghaturkan terima kasih. Ia bilang she-nya Oen dan namanya Tjeng, bahwa ibunya
dikabarkan sakit, ia hendak lekas-lekas pulang untuk menyambanginya.
Nampaknya pemuda ini menaruh perhatian kepada Sin Tjie.
"Mendengar suaramu, saudara Wan, kau mestinya bukan penduduk sini?" tanyanya
kemudian.
"Aku asal Kwietang, tetapi dibesarkan di Siamsay," sahuti pemuda kita. "Inilah untuk
pertama kali aku pergi ke Kanglam."
"Ada urusan apa saudara datang ke Tjiatkang?" tanyanya pula.
"Untuk menyambangi sanak saja," terang Sin Tjie.
Selama itu perahu mereka asyik berlayar. Tiba-tiba dua buah perahu kecil, jang dikayuh
cepat, lewat melesat dikedua samping. Oen Tjeng awasi kedua perahu itu, yang lenyap
disebelah depan diantara tikungan, lalu kealingan bukit.
Disaatnya bersantap tengah hari, saudagar Liong baik budi, ia undang kedua anak muda
itu dahar bersama, Sin Tjie makan tiga mangkok, Oen Tjeng cuma satu. Selama itu, gerakgerik
pemuda she Oen ini ada halus.
Boleh dibilang Baru mereka habis bersantap, terdengarlah suara air dikayuh, lalu terlihat
dua buah perahu lewat disamping, dari sebuah diantaranya, seorang yang bertubuh besar,
yang berdiri dikepala perahu, melirik beberapa kali.
Menampak sikapnya orang diperahu kecil itu, alisnya Oen Tjeng berdiri dengan tiba-tiba,
matanya bersinar, wajahnya berubah menjadi padam.
Heran Sin Tjie akan lihat wajah orang itu.
"Dia begini muda dan cakap, mengapa romannya berubah sengit begini?" pikirnya.
Oen Tjeng dapat lihat keheranannya ini kenalan Baru, ia bersenyum, lantas wajahnya
pulang asal, sikapnya tetap lemah-lembut.
Sebentar kemudian, tukang perahu datang menyuguhi air teh.
Oen Tjeng minum secegluk, mungkin ia anggap teh itu kasar, ia kerutkan alis, lalu cawan
teh diletakinya diatas meja.
Sin Tjie keluar merantau untuk pertama kalinya, kecuali segala pengetahuan yang
didengar dari penuturan kedua gurunya, serta nasehat-nasehatnya mereka ini, begitupun
sedikit pengalaman diwaktu belum berusia sepuluh tahun, ia belum punyakan pengalaman
lainnya, akan tetapi disebelah itu, ia cerdik, otaknya hidup. Maka itu, ia duga, mungkin ada
hubungan apa-apa diantara pemuda itu serta keempat buah perahu kecil, entah urusan
apa itu.
Kedua perahu kecil itu lewat terus.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Mendekati sore, perahu besar berlabuh disebuah dusun. Sin Tjie ingin mendarat, untuk
pesiar. Tek Lin menolak, katanya tak dapat dia tinggalkan barang-barangnya.
"Ditempat tegalan sebagai ini, apa yang bisa dilihat?" nyatakan Oen Tjeng seraya ia
mainkan bibirnya secara memandang enteng, agaknya ia hendak menyindir.
Sin Tjie jujur, ia anggap orang jumawa, ia tidak memperdulikannya, malah ia bersenyum,
lalu ia mendarat seorang diri. Ia jalan-jalan sebentar, ia minum beberapa cawan arak,
setelah beli sedikit bebuahan, ia pulang keperahu, niatnya mengundang Tek Lin dan Oen
Tjeng, tapi dua orang itu sudah masuk tidur, maka iapun lantas rebahkan diri.
Pada tengah malam, dari kejauhan terdengar suara suitan samara-samar. Sin Tjie getap, ia
lantas mendusin. Diam-diam ia rapikan pakaiannya.
Tidak lama dari arah hilir terdengar suara pengayuh mengenai air, terang ada perahu lagi
mendatangi. Tiba-tiba Oen Tjeng mendusin, ia berbangkit akan duduk dengan mendadak.
Nyata ia tidur tanpa buka pakaian. Dari bawah selimut, dia hunus sebatang pedang jang
panjang. Dengan membawa itu, ia memburu ke kepala perahu.
Sin Tjie terkejut dan heran.
"Apa mungkin dia pengintai bajak?" menduga dia. "Mungkin orang hendak kerjakan
saudagar she Liong ini? Aku tidak boleh peluk tangan saja...."
Sin Tjie titip pedangnya kepada Lie Gam, dia cuma bekal pisau belati dan biji-biji caturnya,
maka itu ia turun dari pembaringan dengan bawa pisaunya itu.
Segera ternyata, perahu yang mendatangi sudah datang dekat. Dari perahu itu lantas
terdengar satu suara kasar : "Orang she Oen, apa benar kau tidak hargakan persahabatan
kang-ouw?"
"Kalau hargakan bagaimana? Kalau tidak, bagaimana?" tanya si anak muda.
"Dengan susah payah kami menguntitnya dari Boe-han, kau sendiri enak-enakan memegat
ditengah jalan dan memakannya sendiri!" jawab orang itu.
Liong Tek Lin mendusin karena suara berisik itu, ia mengintip keluar, untuk kagetnya,
sampai tubuhnya bergemetar, ia tampak empat buah perahu kecil, yang obornya dipasang
terang-terang. Ia tampak orang-orang dengan pelbagai alat-senjata terhunus.
"Jangan takut, inilah bukan urusanmu," Sin Tjie menghibur. Ia lantas menduga kepada
duduknya perselisihan itu.
"Apa...apa mereka bukannya bajak?" tegasi Tek Lin. Ia tidak dapat jawaban hanya ia
dengar suara nyaring dari Oen Tjeng: "Harta dikolong langit ada kepunyaan umum!
Mungkin emas ini kepunyaanmu sendiri?" demikian pemuda ini.
"Kau keluarkan itu dua ribu tail emas, kita bagi dua, perkara habis," bilang orang didalam
perahu kecil. "Kami suka berbuat baik kepadamu..."
"Foei!" Oen Tjeng menghina. "Kau mengharap demikian? Hm!"
Dua orang lain, yang romannya pun gusar, berkata pada orang yang pertama bicara: "See
Toako, buat apa adu mulut dengan anak biadab itu?" Lalu keduanya loncat naik ke perahu
besar.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Tek Lin sedang ketakutan, melihat orang bersenjata naik keperahunya, ia kaget tak terkira.
"Wan...Wan Siangkong, mereka turun tangan!..." menjerit dia.
Sin Tjie tarik mundur saudagar itu.
"Jangan takut, ada aku," ia menghibur.
Justru itu Oen Tjeng telah bergerak untuk papaki kedua orang itu, kaki kirinya menendang
seorang, sehingga dia itu terlempar kecebur kedalam sungai, sedang pedangnya
menyambar orang yang kedua. Dia ini menangkis dengan goloknya, tapi pedang ada tajam
luar biasa, golok terbacok kutung, menyambar terus kearah pundak, maka penyerang itu
tak ampun lagi rubuh mandi darah diatas perahu.
"See Loo Toa, jangan pertontonkan ini segala gentong kosong!" Oen Tjeng mengejek
sambil tertawa dingin.
"Hm!" bersuara si orang she See. "Gotong Lauw Lie kemari!"
Dari sebuah perahu kecil, dua orang naik keperahu besar, akan gotong si orang yang
dikatakan she Lie itu, jang luka hebat lengan kanannya.
Orang yang ditendang kecebur pun sudah berenang naik perahunya.
Segera terdengar suara nyaring dari si orang she See: "Kami dari pihak Liong Yoe Pang
tak pernah bentrok dengan kamu dari Tjio Liang Pay, pemimpin kami menghargai Ngotjouwmu,
tak ingin kami ganggu padamu, maka itu, jangan kau anggap kami dapat dibuat
permainan!"
Sin Tjie bercekat akan dengar disebutnya Tjio Liang Pay. Ia ingat: "Itu Thio Tjoen Kioe
yang datang mencuri kitab dipuncak Hoa San bukankah menyebut dirinya dari Tjio Liang
Pay?"
Sebagai jawaban, terdengarlah suaranya Oen Tjeng: "Jangan kau baiki aku! Kamu tak
menang, apa kamu hendak meng-ambil-ambil hati?"
See Loo Toa itu jadi gusar sekali.
"Kau bilang, kau hargakan aturan kang-ouw atau tidak?" dia tegaskan.
"Aku lakukan apa yang aku suka, aku tak memusingkan kamu!" ada jawaban si pemuda.
"Ingin aku omong jelas lebih dahulu," kata orang she See itu. "Kami gunai lebih dahulu
adat sopan-santun, habis itu Barulah senjata! Tak sudi aku nanti dikatai Ngo-tjouwmu
bahwa yang banyak menghina yang sedikit, yang tua mempermainkan yang muda!"
Kata-kata ini menunjuki pihak Liong Yoe Pang itu menghargai jang dikatakan Ngo-tjouw,
Lima tertua, dari pihak Oen Tjeng si anak muda bernyali besar itu.
Oen Tjeng tertawa dingin.
"Dengan kepandaian macam kepunyaanmu ini kau anggap dapat menghina aku?" dia
mengejek pula.
Mendengar sampai disitu, Sin Tjie percaya, senjatalah yang akan bicara terlebih jauh. Ia
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
mengerti sekarang : Liong Yoe Pang hendak membegal harta, Oen Tjeng mendahului,
Liong Yoe Pang jadi tidak senang, dia menyusul, tapi masih minta sebagian saja.
Tubuhnya Oen Tjeng kecil tapi berat, harta itu pasti berada dalam buntalannya.
"Kelihatannya mereka berdua sama-sama bukan orang baik-baik, baiklah aku berpura-pura
tak mengerti ilmu silat, aku tak bantu pihak mana saja..." pikir Sin Tjie.
Selagi Sin Tjie memikir demikian, pertempuran sudah lantas dimulai.
See Loo Toa berseru, lantas kira-kira sepuluh orangnya loncat naik ke perahu besar. Ia
pun turut naik dengan tangannya menyekal sebatang golok besar, ia berdiri didepan
mereka ini, terus ia angkat tangan, untuk memberi hormat.
"Saudara-saudaraku ini bukan tandingan kau," kata dia dengan merendah tapi sifatnya
menantang," maka itu biarlah aku See Loo Toa yang menggantikan mereka menyambut
pedangmu, pedang Ngo-hong-kiam dari Tjio Liang Pay yang menjagoi di Kanglam!"
"Hm!" Oen Tjeng bersuara. "Kau hendak maju sendiri atau berbareng beramai-ramai?"
See Loo Toa melengak, ia tertawa terbahak-bahak.
"Kau terlalu tak melihat mata!" katanya. "Masih ada sahabat siapa lagi dalam perahumu
ini? Undang dia keluar, untuk minta dia menjadi saksi. Tak suka aku apabila kemudian
kaum kang-ouw yang mengatakan See Loo Toa tak punya muka!" Lantas ia menambahkan
: "Sahabat dalam perahu, silakan kau keluar!"
Dua orang bertindak kedalam perahu, akan kata pada Tek Lin dan Sin Tjie : "Toako kami
undang djiewie!"
Tek Lin bergemetaran, tak dapat ia menjawab.
"Mereka melainkan inginkan kita sebagai saksi, tidak apa, mari kita keluar," kata Sin Tjie.
Dan ia tarik tangannya saudagar itu.
Oen Tjeng menjadi tak sabaran.
"Kau hendak pertontonkan kejelekanmu sendiri, jangan katai aku keterlaluan," kata dia.
"Mari mulai!"
Lantas dia mulai menyerang, membabat ke iga kiri lawan.
See Loo Toa bertubuh besar tetapi gesit, dengan goloknya, dia menangkis, lalu dengan
belakang golok, dia teruskan balas menyerang. Ini adalah serangan cepat sekali.
Oen Tjeng tidak sudi terima kebaikan hati lawan, yang serang ia hanya dengan belakang
golok.
"Jikalau kau mempunyai kepandaian, keluarkan semua itu!" dia berteriak. "Aku tak sudi
terima kebaikan hatimu!"
Ucapan congkak dan menantang ini diikuti dengan serangan pula, demikian sebat sampai
See Loo Toa, yang tidak menyangka dan karenanya jadi kurang waspada kaget tak terkira
ketika ujung pedang merobek baju di pundaknya sebab hampir ia tak keburu berkelit. Dia
tergetar hatinya mengingat ancaman bencana itu, tapi segera dia balas menyerang dengan
sengit.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Si anak muda sangat gesit, pesat gerak-geriknya, sambil menyingkir dari sesuatu
bacokan, berbareng ia seperti kurung lawannya dengan pedangnya senantiasa
berkelebatan disekitar tubuh lawan itu.
Setelah menyaksikan beberapa jurus, Sin Tjie segera dapat kenyataan, ilmu silat Oen
Tjeng terlebih tinggi daripada ilmu See Loo Toa, tak perduli orang ini mencoba pertunjuki
keulungannya, tanda dari banyak pengalaman, tak perduli goloknya berat dan pedang
enteng, dia kewalahan melayani kegesitan si anak muda. Selang sekian lama, dia mulai
bernapas mengorong dan keringatnya pun mulai membasahkan jidatnya, menyusul mana,
gerakannya juga tak lagi sepesat mulanya. Di sebelah dia, sianak muda perhebat
desakannya.
Sekonyong-konyong, berbareng dengan seruan Oen Tjeng, See Loo Toa merasai pahanya
tertusuk pedang, sehingga dengan muka pucat, dia lompat mundur, sembari lompat,
sebelah tangannya diayun, hingga tiga buah senjata rahasia berupa paku Touw-koet-tjiam
menyambar kearah lawan.
Si anak muda bulang-baling pedangnya dua kali, untuk sampok jatuh dua potong paku
berbahaya itu, sedang paku yang ketiga ia halau dengan egos diri.
Dua potong paku yang disampok terbang ke jurusan Sin Tjie, kearah dadanya.
Melihat demikian, Oen Tjeng menjerit.
"Celaka," pikir dia, jang menyangka dia akan celakai anak muda itu. Tadinya dia
menyangka Sin Tjie mengerti silat, akan tetapi ketika dua paku menyambar, pemuda itu
tidak berkelit dan juga tidak menangkis. Ia kuatir sekali menampak paku menjuju dada. Dia
Baru berteriak, dia hendak loncat untuk menolongi, atau kedua paku itu, setelah mengenai
dada si pemuda, runtuh sendirinya, jatuh tanpa menerbitkan bencana. Si pemuda sendiri
berdiam saja, seperti ia tak lagi diancam marah-bahaya.
Orang-orangnya See Loo Toa memasang banyak obor terang-terang, mereka semua
saksikan senjata rahasia menyambar kearah si pemuda, akan tetapi, melihat
kesudahannya, mereka melengak, saling mengawasi. Mereka anggap si pemuda liehay
walaupun romannya mirip satu sioetjay lemah tak berdaya... Tentu sekali orang tidak tahu
yang didadanya Sin Tjie dipasang baju kaos pemberian Bhok Siang Toodjin mustika Kimsie
Pwee-sim, yang tak mempan senjata tajam.
See Loo Toa heran melihat si pemuda tak rubuh karena pakunya itu, ia pun lihat si anak
muda lawannya tercengang; menggunai waktu yang baik itu, ia menimpuk pula dengan
lagi tiga batang pakunya.
Oen Tjeng menjerit bahna kaget karena bokongan tiga batang paku itu, dengan hati
terkesiap, ia mendak, untuk menyingkir dari paku yang arah kepalanya akan tetapi dua
yang menyambar kebawah, membuat ia bingung. Tak sempat dia berkelit, tak keburu dia
menangkis. Justru itu terdengarlah suara nyaring dua kali, seperti barang keras bentrok
barang keras, lalu kedua batang paku itu jatuh sendirinya ke lantai perahu sebelum
mengenai sasarannya.
Anak muda ini bermata celi, ia dapat tahu, orang yang runtuhkan dua batang paku itu
adalah si pemuda yang ia sangka satu anak sekolah belaka. Sebab Sin Tjie tak puas See
Loo Toa berlaku curang, dengan diam-diam tetapi dengan cepat sekali, dia telah jumput
dua batang paku yang jatuh didepannya dan gunai itu untuk punahkan dua serangan yang
terakhir dari orang tua itu.
Oen Tjeng manggut, untuk haturkan terima kasihnya kepada pemuda ini, setelah mana, ia
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
berlompat untuk menyerang lawannya. Ia menjadi sengit karena si orang tua bokong
padanya.
Walaupun dia heran atas gagalnya serangannya, See Loo Toa toh tidak alpa, maka itu,
begitu diserang, dia sudah siap, malah dengan satu bacokan yang hebat, ia mendahului.
Si anak muda jadi sangat mendelu karena melihat lawan demikian telengas, ia batal
menyerang, ia berkelit, Baru ia menyerang pula, dengan dahsyat sekali. Begitulah satu
tikamannya mengenai iga kanan See Loo Toa, hingga, bahna sakitnya, orang tua ini tak
dapat cekal lebih lama goloknya yang besar. Golok itu terlepas jatuh kelantai perahu.
Masih Oen Tjeng tidak puas dengan serangan yang kedua yang berhasil ini, justru senjata
lawan jatuh, dia lompat mendesak, untuk membacok kaki kanan orang.
"Aduh!" menjerit See Loo Toa, yang segera rubuh dengan pingsan.
Orang-orangnya orang she See itu menjadi kaget berbareng gusar, mereka lompat maju
untuk menolongi ketua itu, sekalian serang si anak muda.
Dalam sengitnya, anak muda itu tangkis semua penyerang, ia balas menikam dan
membabat, hingga lagi tujuh atau delapan orang rubuh karenanya.
Sin Tjie jadi tidak tega hati.
"Sudahlah, Oen Toako!" ia berseru. "Kasihlah mereka ampun."
Tapi Oen Tjeng lagi sengit, ia masih melukai dua orang lagi, hingga sisanya yang lain-lain
lompat keperahu mereka masing-masing, untuk tolong diri. Tak sanggup mereka melayani
si anak muda, yang seperti sudah kalap.
Oleh karena sudah tak ada musuh lagi, tiba-tiba Oen Tjeng tabaskan pedangnya kebatang
leher See Loo Toa, hingga kepala dan tubuh menjadi terpisah, menyusul mana kaki kirinya
mendupak, membikin tubuhnya Loo Toa terpental kedalam sungai! Kepala dia ini pun
dilempar bersama keair! Tak puas hati Sin Tjie akan tampak ketelengasan itu. Dia anggap
si anak muda keterlaluan, sebab setelah peroleh kemenangan, tak perlu ia ini berlaku
menuruti panasnya hati.
Sementara itu, ketika ia menoleh kepada Liong Tek Lin, Sin Tjie dapati saudagar besar ini
sedang mendelepok dilantai perahu saking kaget dan takut. Itu ada pemandangan hebat
dan mengerikan yang belum pernah ia tampak.
Sisa-sisa orang Liong Yoe Pang, yang kabur keperahu mereka, kabur terus bersama
masing-masing kendaraannya dengan tinggalkan kawan-kawan mereka yang menjadi
korban pedangnya si anak muda.
"Mereka hendak rampas uangmu, mereka gagal, sudah saja," kata Sin Tjie kepada si anak
muda. "Kenapa kau mesti kurbankan demikian banyak jiwa?"
Oen Tjeng mendelik kepada pemuda kita.
"Apakah kau tidak lihat bagaimana hinanya sikap mereka barusan?" anak muda ini
menjawab. "Mereka bokong aku, mereka mengepung, jikalau aku terjatuh dalam tangan
mereka, entah kekejaman bagaimana yang berlebih-lebihan mereka bakal limpahkan atas
diriku? Jangan kau anggap, karena kau telah tolongi aku, kau dapat sembarang memberi
nasihat kepadaku!"
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Sin Tjie ketemu batunya, dia bungkam. Melainkan dalam hatinya, dia kata : "Ini anak tidak
kenal cenglie dan budi..."
Oen Tjeng sendiri lantas susut bersih pedangnya, untuk dimasuki dalam sarungnya,
setelah mana ia menjura kepada si pemuda. Tiba-tiba dia tertawa manis sekali dan kata :
"Wan Toako, kau telah tolong aku, aku berterima kasih kepadamu!"
Sin Tjie jengah, toh dia balas hormat itu. Ia manggut dengan tak dapat buka mulutnya. Ia
heran orang demikian muda dan lemah lembut sikapnya tapi demikian telengas hatinya,
bagaikan serigala atau harimau; tetapi sekarang dia jadi begini manis budi, sejenak saja
lenyap kebengisannya itu.
Oen Tjeng panggil tukang-tukang perahu, jang ia perintah cuci bersih lantai perahu, untuk
singkirkan tanda-tanda darah. Semua tubuh musuh telah terjatuh kedalam air, hanyut atau
tenggelam.
"Tolong sediakan aku barang makanan," Oen Tjeng menitah lebih jauh kepada anak-buah
perahu, sesudah mana, dia undang Sin Tjie dahar dan minum bersama diatas perahu itu
sambil gadangi si Puteri Malam jang permai. Sembari bersantap, dia tidak omong tentang
pertempuran barusan, dia tidak timbulkan juga soal ilmu silat.
Beberapa cawan air kata-kata telah turun lewat di tenggorokan mereka.
"Besok hari entah jam berapa saja, menghadapi arak menanyakan langit baru, aku kuatir
langit biru tak akan memperdulikannya!" kata anak muda ini selagi minum.
Sin Tjie heran mendengar orang mendadakan menggunakan kata-kata bentuk sajak, ia
menyahuti tetapi dengan "ya, ya" saja dan manggut-manggut.
Dimasa kecil, pemuda ini ikuti Eng Siong belajar surat beberapa tahun, lalu setelah
terdidik lebih jauh oleh Bok Djin Tjeng, walaupun ia masih gemar membaca, ia tak
berkesempatan belajar lebih jauh dengan mendalam, dari itu, ada sangat berbatas
pengetahuannya tentang ilmu surat.
"Saudara Wan," berkata pula si anak muda, "rembulan indah, angin sejuk, malam ada
begini permai, apakah tak baik kita bersyair saling sambut?"
"Aku tidak mengerti ilmu sajak," sahut Sin Tjie dengan cepat.
Oen Tjeng bersenyum, dia berdiam.
"Mari minum!" demikian undangnya kemudian.
Kendaraan air jalan terus, kedua anak muda itu belum berhenti minum dan makan.
Tiba-tiba terlihat mendatangi sebuah perahu kecil, yang melawan air, akan tetapi pesat
lajunya. Oen Tjeng lihat perahu itu, tiba-tiba wajahnya berubah, lalu ia perdengarkan
tertawa dingin beberapa kali, kemudian ia keringi pula cawannya.
Perahunya Liong Tek Lin besar dan memakai layar, jalannya menuruti aliran, lajunya
sangat pesat, maka itu, selagi perahu kecil pun mendatangi cepat, sebentar kemudian,
keduanya sudah saling mendekati.
Sekonyong-konyong Oen Tjeng lemparkan cawan araknya, tubuhnya turut mencelat,
hingga dilain saat, ia sudah sampai dibelakang pada jurumudi. Tanpa kata apa-apa, ia
rampas pengayuh kemudi, ia uwit itu, hingga kepala perahu lantas bergeser kearah kiri,
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
menghadapi tepat perahu kecil yang lagi mendatangi itu. Sia-sia saja anak buah perahu
kecil egos diri, perahunya sudah ketabrak, hingga terdengarlah satu suara berisik, kepala
perahu dongak keatas.
"Celaka!" Sin Tjie berseru, bahna kaget.
Tiga bajangan mencelat dari perahu kecil itu, naik keperahu saudagar yang besar. Gerakan
tubuh mereka menandakan mereka mengerti ilmu silat baik sekali.
Didalam perahu kecil ada lima orang, kecuali ini tiga, yang berhasil tolong diri, masih ada
si jurumudi dan satu anak buahnya, yang mengayuh perahu. Mereka ini tak dapat loncat
seperti itu tiga orang, mereka kecebur air sambil menjerit: "Tolong!"
Air dibahagian sungai itu deras sekali, karena kecebur, dua tukang perahu itu lebih banyak
menghadapi bencana daripada keselamatan.
"Anak muda ini kejam," pikir Sin Tjie, yang terus bekerja. Ia masih sempat lihat kedua
tukang perahu timbul pula, mendadak ia putuskan dadung lajar, ia gigit ujungnya, lantas ia
menjejak keras, tubuhnya melayang kedalam sungai, tergantung oleh dadung layar itu. Ia
gunai kedua tangannya, akan sambar masing-masing satu orang. Sang dadung bawa ia
terayun kembali keperahu, bersama dua tukang perahu itu.
"Bagus!" berseru empat orang dengan pujiannya. Mereka ini ada Oen Tjeng si anak muda
dan itu tiga orang yang Baru loncat naik dari perahu kecil, yang menjadi sangat kagum.
Sin Tjie letaki kedua orang diatas perahu, lantas ia hampirkan kursinya, akan duduk pula
dengan tenang, hingga dengan demikian, ia dapat ketika akan awasi tiga orang asing itu.
Yang pertama ada seorang tua diatas usia lima-puluh tahun, tubuhnya kurus kering,
kumisnya jarang. Yang kedua, umur empat-puluh lebih, bertubuh besar dan kasar. Yang
ketiga ada seorang perempuan umur kurang lebih tiga-puluh tahun.
Sambil tertawa suram, si orang tua kata pada pemuda kita: "Tuan, kau liehay sekali,
bolehkah aku tanya she dan namamu yang mulia dan siapa gurumu?"
Sin Tjie berbangkit, ia manggut dengan halus.
"Boanseng adalah she Wan," ia menyahut dengan manis. "Kedua tuan ini terancam
bahaya, tak tega aku melihatnya, maka itu boanseng telah angkat mereka dari permukaan
air. Sama sekali tak berani boanseng sengaja banggakan kepandaian dihadapan
lootjianpwee, maka mohon lootjianpwee maafkan."
Orang tua ini heran menampak pemuda ini demikian halus gerak-geriknya, lalu ia hadapi
Oen Tjeng dan tertawa dingin.
"Tak heran kau, bocah cilik, makin menjadi-jadi nyali besarmu, kiranya kau punyakan
pembantu yang begini liehay!" berkata dia, suaranya tajam. "Adakah dia ini sahabatmu
yang baik?"
Wadjahnya Oen Tjeng menjadi merah.
"Aku pandang kau sebagai orang tertua jang dihormati, aku minta sukalah kau hargai
sedikit dirimu!" ia menegur.
Hatinya Sin Tjie tak enak.
"Nampaknya mereka bukan orang-orang baik-baik, tak dapat aku antap diriku terseret
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
kedalam arus mereka," ia berpikir. Karena ini, ia lantas kata pada si orang tua: "Aku dan
saudara she Oen ini tak kenal satu dengan lain, secara kebetulan saja kami bertemu disini,
jadi tak ada bicara hal persahabatan diantara kami berdua. Ingin aku mengucapkan
sepatah dua patah kata, jikalau ada urusan diantara kamu berdua pihak, baiklah itu
didamaikan agar kerukunan tak sampai terusak..."
Belum sempat si orang tua menyahuti, atau Oen Tjeng, dengan matanya mendelik, berkata
pada pemuda kita : "Jikalau kau takut, pergilah kau naik kedarat!"
Sin Tjie berdiam, tetapi didalam hatinya, dia kata : "Belum pernah aku menemui orang
kasar semacam dia ini!"
Si orang tua sementara itu dapat duga pemuda ini bukanlah kawannya si anak muda,
karena mana, ia menjadi girang sendirinya.
"Sahabat Wan," berkata dia "kau tidak punyakan hubungan dengan si orang she Oen ini,
itulah bagus! Harap kau tunggu sampai aku sudah beres berurusan dengannya ini, nanti
kita pasang omong, bolehlah kita ikat tali persahabatan!"
Sin Tjie tidak menjawab, dia cuma manggut, lantas ia mundur kebelakang Oen Tjeng.
Lantas si orang tua hadapi Oen Tjeng dan kata : "Kau masih berusia sangat muda,
perbuatan kau telengas sekali. See Loo Toa bukan tandinganmu, itu pun sudah cukup,
kenapa dan kau kehendaki jiwanya?"
"Tapi aku bersendirian saja, kamu ada orang-orang lelaki bertubuh besar dan berjumlah
banyak, kamu maju dengan berbareng, tanpa aku berlaku bengis, apa mungkin terjadi?"
balas si anak muda. "Kau masih menegur aku, apakah kau tak takut orang nanti katakan
kamu si tua menghina si kecil, yang banyak kepung yang sedikit? Jikalau kamu punya
kepandaian, pungutlah emas orang, kenapa mesti tunggu aku? Apakah kamu hendak
serakahi yang sudah sedia saja? Apakah itu bukannya tak tahu malu?"
Sin Tjie dengar suaranya terang dan halus, kata-kata yang tajam sehingga si orang tua
bungkam karenanya.
Tiba-tiba si orang perempuan, yang alisnya berdiri dengan mendadakan, turut bicara:
"Kacung cilik, orang tuamu manjai kau hingga kau makin tak tahu aturan!" dia
membentak. "Sungguh ingin aku tanya yayamu, ibumu juga, siapa sudah ajar kau hingga
dimatamu ini tak lagi ada orang yang terlebih lanjut usianya!"
"Orang tua yang ingin dihormati juga mesti ada sertanya!" kata Oen Tjeng. "Orang tua
yang hendak menang sendiri, dia tak berharga untuk dihormati!"
Orang tua itu menjadi sangat mendongkol hingga dia keprak meja dikepala perahu dan
meja itu menjadi melesak, apabila dia telah angkat tangannya, tangan itu menjumput
potongan-potongan kayu meja, yang menjadi hancur bekas tercengkeram.
Nyata tangan orang tua ini kuat bagaikan besi.
"Eng Loo-ya-tjoe!" berkata Oen Tjeng, "tentang kepandaianmu yang liehay, aku sudah
tahu, maka tak usahlah kau jual lagak didepan yang mudaan! Jikalau kau hendak
pertontonkan kepandaianmu itu, pergi kau pertontonkan kepada sekalian yayaku!"
Kembali orang tua itu gusar.
"Jangan kau coba gertak aku dengan sebut-sebut beberapa yayamu itu!" ia membentak.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
"Siapa yayamu itu? Jikalau mereka punyakan kepandaian, tak nanti mereka antap anakgadisnya
diperkosa orang, sehingga tak nanti anak-gadisnya itu lahirkan bocah haram
seperti kau ini!"
Meluap hawa amarahnya Oen Tjeng, yang berbareng pun jadi sangat berduka, hingga
wajahnya menjadi merah padam, gusar, malu dan bersedih. Sekelebatan, cahaya matanya
menyala bagaikan api.
Si orang bertubuh besar dan si orang perempuan lihat itu, mereka tertawa berkakakan.
Sin Tjie awasi si anak muda, kedua matanya dia ini mengalirkan air mata. Ia heran dan
terharu dengan berbareng.
"Nampaknya dia jauh lebih berpengalaman daripadaku, mengapa sekarang dia
menangis?" dia berpikir.
Biar bagaimana, anak muda ini kena diperhina - dia bersendirian, dia diperhina juga.
Karena ini, semangatnya Sin Tjie jadi terbangun, berniat ia membantu anak muda ini,
apabila saatnya sudah sampai.
"Apakah faedahnya untuk menangis?" kata si orang tua, dengan tajam, lagu-suaranya
mengejek. "Kau lekas keluarkan emas itu. Kami juga tidak serakahi, dari uang itu, kami
nanti pisahkan sejumlah untuk tunjang jandanya See Loo Toa..."
Tubuhnya Oen Tjeng bergemetar.
"Jikalau kau hendak bunuh, bunuhlah!" ia menantang, sambil menangis. "Aku tidak
hendak menyerahkannya!"
"Hm!" berseru si orang tua, yang sementara itu lihat perahu besar itu laju terus dengan
cepat, maka ia lantas jumput jangkar besar yang terikat rantai, ia lempar itu jauh ketepian,
hingga dilain saat, perahu berhenti dengan tiba-tiba.
Berat jangkar kira-kira dua ratus kati maka bisalah diduga besarnya tenaga orang tua ini,
siapa lantas tegaskan Oen Tjeng : "Kau hendak serahkan atau tidak?"
Anak muda itu angkat tangan kirinya, akan susuti air matanya.
"Baiklah, aku nanti serahkan!" katanya, yang segera lari kedalam perahu, akan sedetik
kemudian keluar pula, sambil kedua tangannya membawa satu bungkusan, yang mestinya
berat.
Si orang tua ulur tangannya, untuk sambuti bungkusan itu.
"Foei! Begini gampang!" mendadak si anak muda berseru. Dengan sekonyong-konyong ia
menimpuk dengan bungkusan itu, kearah sungai, hingga dilain saat terdengarlah suara
tercebur jang nyaring. Lantas dia menantang : "Jikalau kau berani, bunuhlah aku! Jikalau
kau menghendaki emas, jangan harap!"
Tidak terkira kemurkaannya si orang tubuh besar, ia menjerit, ia angkat goloknya
membacok anak muda jang licik itu, yang berbareng pun mempermainkan kepadanya.
Habis membuang bungkusan, Oen Tjeng pun segera hunus pedangnya, maka itu, setelah
diserang dan berkelit, dia balas menerjang, beruntun sampai dua kali.
"Tahan ! Tahan!" berseru si orang tua.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Si orang bertubuh besar, kawannya orang tua ini, lompat mundur dua tindak, Si orang tua
sendiri terus awasi anak muda itu.
"Benar-benar, naga melahirkan naga, burung hong menetaskan burung hong!" kata dia.
"Ada orang semacam ayahnya, ada anaknya semacam dia ini! Kalau hari ini aku antap
terus kau main gila dihadapanku si orang tua, bocah cilik, aku bukan si orang she Eng
lagi!"
Hampir tak kelihatan lagi, orang tua ini tutup kata-katanya dengan tahu-tahu tubuhnya
sudah berada didepannya si anak muda.
Oen Tjeng rupanya telah siap, ia menyambut dengan satu tusukan hebat. Tapi si orang tua
benar-benar liehay. Dia bertangan kosong, dia berkelit dari tikaman itu, lantas dia
merangsak. Mau atau tidak, anak muda itu mundur. Malah ia mesti mundur terus, karena
desakannya si orang tua, jang gerakannya membuat si anak muda tak sempat menyerang
dia. Sia-sia saja Oen Tjeng menyekal pedang panjang, tak mampu ia gunai itu.
Sedetik saja, Sin Tjie telah dapat lihat bahwa Oen Tjeng bukan tandingan orang tua itu,
yang sangat gesit. Dengan ini pun telah dibuktikan dengan segera. Baru bisa luputkan diri
dari sepuluh gebrak lebih, atau lengan kanan si anak muda sudah kena ditotok, atas mana
dia rasai tangannya kesemutan dan kaku, hingga pedangnya lantas terlepas dari cekalan
dan jatuh dilantai perahu.
Begitu pedang jatuh, si orang tua menyontek dengan kakinya yang kiri, hingga pedang
terangkat mumbul, hingga gampang saja dia menanggapinya dengan tangannya yang kiri,
lalu dengan menyekal ujungnya pedang itu, dengan tangan kanan dengan satu gerakan
saja, dia bikin senjata itu patah dua! Oen Tjeng kaget hingga mukanya pucat.
Si orang tua masih berkata : "Jikalau aku tidak tinggalkan suatu tanda dalam tubuhmu,
aku kuatir kau nanti melupakan liehaynya aku si orang tua!" Dan lalu, dengan ujung
pedang yang patah itu, dia menggurat kemukanya si anak muda! Oen Tjeng kaget dan
ketakutan, mukanya pucat, cepat-cepat dia mundur, untuk menyingkir dari serangan itu,
atas mana, si orang tua desak padanya, hingga dilain saat, ujung pedang, yang dipegang
dengan tangan kiri, hampir mampir dimuka orang.
"Celaka dia...." pikir Sin Tjie, yang merasa sayang muka demikian cakap dan putih nanti
meninggalkan cacat.
Oen Tjeng sendiri, dalam takutnya, telah keluarkan jeritan.
Dengan sebat Sin Tjie rogo sebutir biji caturnya dengan apa ia lantas menimpuk kearah
pedang si orang tua.
"Trang!" demikian satu suara nyaring.
Si orang tua terkejut, justru waktu itu ia sedang kegirangan karena segera ia bakal dapat
coret muka orang yang cakap-ganteng, sedang tangannya pun tergetar, sesemutan sakit,
hingga tak sanggup dia cekal lebih lama pedangnya itu, yang lantas terlepas dan jatuh.
Melihat demikian, dari ketakutan, Oen Tjeng menjadi girang sekali, hatinya lega dengan
tiba-tiba. Tidak buang tempo lagi, ia loncat kearah Sin Tjie, untuk berlindung dibelakang
dia ini, lengan siapa ia pegangi dengan keras, agaknya ia hendak memohon perlindungan.
Orang tua itu, orang she Eng seperti dia telah perkenalkan diri, bernama Tjay. Dia adalah
pangtjoe, atau ketua, dari Liong Yoe Pang, satu kawanan di Tjiat-kang Selatan dimana,
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
kecuali Ngo-tjouw dari Tjio Liang Pay, dia adalah orang tertangguh satu-satunya. Adalah
biasanya bagi dia, apabila dia bertempur dia tak suka gunai senjata. Inilah disebabkan dia
telah yakin ilmu silat Eng-djiauw-kang, Kuku Garuda, sehingga tangannya jadi kuat
melebihi golok atau pedang yang biasa. Maka itu, ia tak kepalang kagetnya apabila ia
dapatkan, pedangnya dilepaskan orang hanya dengan timpukan sebutir biji catur. Ia kaget
berbareng malu, hingga mukanya menjadi merah. Seumur hidupnya, ini adalah malu besar
pertama yang ia pernah alami.
"Kenapa bocah ini besar sekali tenaganya?" pikir dia, jang masih tertjengang.
Si orang tubuh besar dan wanita pun segera lihat liehaynya Sin Tjie, mereka merasa
bahwa dilanjutinya pertempuran tidak akan membawa bahagia untuk mereka, maka justru
emas telah dibuang ke sungai, mereka anggap baiklah sudahi urusan sebelum perkara
berlanjut hebat.
"Loo-ya-tjoe, marilah!" si nyonya segera mengajak. "Dengan memandang mata kepada
sahabat she Wan ini, hari ini kita kasih ampun pada bocah ini..."
"Hm!" Oen Tjeng menghina, selagi si orang tua belum sempat buka mulutnya. "Melihat
orang liehay, lantas hendak angkat kaki! Jadi tukang menghina si lemah tapi jeri kepada si
kuat - tak malu?"
Sin Tjie kerutkan alis.
"Anak licik," memikir ia " diri sendiri Baru lolos dari bahaya besar, sekarang kembali
sudah mengeluarkan kata-kata tajam, sedikit juga tidak mau memandang orang...."
Benar-benar wanita itu menjadi sangat mendelu karena perkataan si orang muda ini, tapi
ia pun berdiam, karena ia insyaf, melayani salah, tidak melayani salah juga... Sampai
disitu, si orang tua buka mulutnya. Dasar ia berpengalaman.
"Lauwtee, kau liehay," berkata dia kepada Sin Tjie. "Rembulan permai, cuaca indah, angin
pun sejuk, bagaimana jikalau kita berdua main-main sebentar?"
Pangtjoe dari Liong Yoe Pang menantang. Dia ingin coba-coba Eng-djiauw-kangnya yang
telah dia yakinkan lebih dari dua-puluh tahun lamanya. Dia mau percaya, melihat usia
muda orang, jikalau bertanding, tidak nanti dia kalah dari si anak muda.
Sin Tjie bersangsi. Ia telah pikir: "Jikalau aku layani dia, walaupun belum pasti aku kalah,
tapi setelah bergebrak, itu artinya aku bantu Oen Tjeng. Dia ini tua, nampaknya dia
berpandangan cupat, dia pun licin, pertempuran tentu tidak ada faedahnya. Kenapa aku
mesti tanam bibit permusuhan?"
Maka itu lekas-lekas ia memberi hormat.
"Aku yang muda Baru pertama kali ini menginjak dunia kang-ouw, belum tahu aku
tingginya langit dan tebalnya bumi," berkata ia, "maka itu, dengan kebisaanku ini yang
tidak berarti, cara bagaimana aku berani melayani lootjianpwee?"
Eng Tjay bersenyum.
"Aku tidak sangka, dia begini muda tapi bisa sekali dia bawa diri," pikirnya. Ia gunai ketika
ini, untuk undurkan diri. Maka ia kata saja : "Sahabat Wan, kau sungkan sekali..."
Tiba-tiba matanya mendelik, mendekati Oen Tjeng. Dia kata: "Dibelakang hari mesti ada
satu waktu yang aku si orang tua kasih rasa liehaynya kepadamu, bocah nakal!"
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Terus ia menoleh kepada kawannya, yang bertubuh besar.
"Mari kita pergi!" ia mengajak.
"Berapa besar juga liehaymu, aku sudah tahu!" mendadak Oen Tjeng buka mulut pula.
"Kau lihat orang liehay, terang kau tidak berani melayaninya!"
Anak muda ini sengaja mengejek, untuk menghina, buat puaskan kemendongkolannya. Ia
pun sangat ingin saksikan pertempuran diantara mereka berdua. Ia percaya si anak muda
liehay dan si orang tua bukan tandingannya, toh ia hendak memaksakan.
Eng Tjay jadi serba salah. Dan Sin Tjie jadi tidak senang untuk sikap orang itu.
Dalam murkanya, ketua Liong Yoe Pang kendalikan diri.
"Saudara Wan, walaupun kau masih muda sekali tetapi kau kenal persahabatan," berkata
dia. Lebih dahulu daripada itu kembali dia mendekati kepada si anak muda yang mulutnya
liehay itu. "Sahabat, mari kita main-main segebrak saja, supaja itu bocah tidak tahu diri
tidak katakan aku tak punya nyali!"
"Oh, lootjianpwee, mengapa kau bersatu pandangan sebagai dia?" kata Sin Tjie sambil
bersenyum. "Dia omong main-main saja..."
"Kau jangan kuatir, aku pun tidak sungguh-sungguh," Eng Tjay mendesak.
Kembali Oen Tjeng perdengarkan kata-katanya yang dingin dan tajam : "Bilangnya tidak
takut tapi masih tidak mau turun tangan! Masih omong tentang persahabatan saja! Ah,
lebih baik jangan bertempur, dah! Sampai umurku begini besar, belum pernah aku tampak
kejadian semacam ini! Maka aku bilang, lebih baik jangan bertempur!..."
Luber hawa-murka Eng Tjay, hingga dengan tiba-tiba dia sampok muka Sin Tjie, akan
tetapi belum sampai serangan itu pada sasarannya, dia sudah tarik pulang kembali
tangannya. Lantas dia kata: "Sahabat Wan, mari, mari, aku ingin belajar kenal dengan
kepandaianmu!"
Melihat demikian, Sin Tjie tidak bisa mundur pula. Tanpa loloskan bajunya, jang panjang,
dia lompat ketengah kalangan.
"Aku harap lootjianpwee berkasihan terhadapku..." memohon dia.
"Kau baik sekali, sahabat Wan. Silakan!" sahut Eng Tjay tapi sambil menantang.
Sin Tjie tahu, apabila ia terus merendahkan diri, itu berarti penghinaan kepada si orang
tua, dari itu, tanpa bilang suatu apa, ia segera kirim kepalannya jang pertama. Ia bersilat
dengan ilmu pukulan "Ngo-heng-koen" atau "Koentauw Panca logam".Ia serang dada
sebagai sasaran.
Eng Tjay bertiga kawannya sangka si anak muda liehay sekali, maka itu, melihat orang
datang-datang menyerang dengan Ngo-heng-koen, mereka lantas saja memandang
enteng.
Oen Tjeng sendiri kecele bukan main, mukanya sampai pucat.
Ketua Liong Yoe Pang menjadi girang, lantas dia balas menyerang, dengan seru, hingga
setiap pukulannya mengeluarkan sambaran angin menderu-deru. Ia percaya, sebagai jago
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Eng-djiauw-kong, dengan tiga jurus saja, ia akan dapat rubuhkan pemuda ini atau
sedikitnya ia bakal dapat pukul pecah Ngo-heng-koen.
Diluar dugaan dengan sederhana, melainkan dengan andali keentengan tubuh, Sin Tjie
luputkan diri dari pelbagai serangan yang berbahaya, hingga karenanya, sekarang ia
membuat terkejut dan heran kepada lawan yang tua itu. Ia merasa aneh, ilmu silat umum
sebagai Ngo-heng-koen itu bisa diubah menjadi kegesitan tubuh demikian rupa. Biasanya
Ngo-heng-koen dipakai secara keras, untuk menyerang hebat.
Lantas pertempuran berlanjut, sebagai kesudahan dari mana, ketua Liong Yoe Pang itu
jadi semakin heran. Tak dapat dia desak, untuk mendekati tubuh pemuda itu, hingga
akhirnya, dia menjadi sibuk sendirinya.
"Teranglah orang ini mengalah terhadapku..." pikir dia. "Kalau terus berlangsung begini,
tentu Oen Tjeng bakal perhina kembali padaku..."
Inilah yang membuat ia sibuk dan kuatir. Maka kembali ia mencoba menyerang, ia berlaku
sungguh-sungguh ketika ia keluarkan jurus Eng-djiauw-kong. Ia berlaku cepat, semua
sasarannya ada tempat-tempat berbahaya.
"Eng-djiauw-kangnya ada begini rupa, inilah bukannya hasil dari satu hari satu malam,"
pikir dia. "Aku harus berikan muka padanya, jikalau aku tidak mengalah, Oen Tjeng tentu
bakal buka pula bacotnya..."
Oleh karena memikir begini satu kali Sin Tjie sengaja berlaku ayal.
Eng Tjay girang sebab ia bakal dapat lowongan, tetapi ia juga tidak berniat mencelakai
pemuda itu, ia ingin robek saja baju orang, karena ini juga sudah berarti kemenangan.
Demikian ia telah jambak pundak lawan. Ia telah mengenai sasarannya, akan tetapi segera
ia menjadi heran luar biasa. Ia kena pegang sepotong daging yang menjadi keras dan licin
dengan tiba-tiba, hingga ia mirip dengan nelayan yang menangkap ikan tapi lolos pula
saking licinnya sang ikan. Hal ini membuat ia heran dan terkejut.
Sin Tjie berkelit untuk segera lompat mundur dua tindak. "Aku menyerah," kata dia.
"Kau sengaja mengalah!" kata Eng Tjay sambil memberi hormat.
Tapi Oen Tjeng segera nyelah, katanya : "Dia benar-benar mengalah kepadamu, kau tahu
tidak? Jikalau kau tahu, ja sudah!"
Padam wajahnya jago Liong Yoe Pang itu. Ia merasa tersinggung. Disaat ia hendak buka
mulut, mendadak ada terlihat cahaya obor terang-terang didarat, beberapa puluh orang
nampak sedang mendatangi, diantaranya ada yang ber-teriak-teriak: "Eng Loo-ya-tjoe, apa
bocah itu sudah kena dibekuk? Kami hendak iris-iris dia, untuk balaskan sakit hati See
Loo Toa!"
Oen Tjeng lihat orang datang dalam jumlah besar sekali, mau atau tidak, hatinya ciut juga.
"Saudara-saudara Lauw, kamu berdua kemari!" ada jawaban pangtjoe dari Liong Yoe
Pang.
Segera rombongan itu telah sampai ditepian, akan tetapi perahu berlabuh jauh dari
mereka, maka dua diantaranya segera terjun keair, akan selulup dan berenang
menghampirkan perahu, cepatnya seperti ikan berenang. Begitu lekas mereka raba tepi
kendaraan air, keduanya sudah loncat naik.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
"Bungkusan berharga itu sudah dibuang bocah ini kedalam sungai, pergi kamu engko dan
adik selulup dan cari!" Eng Tjay kasi keterangan. Ia menunjuk kearah mana tadi Oen Tjeng
lemparkan bungkusannya.
Dua saudara Lauw itu lantas terjun pula kesungai, dalam sejenak, mereka sudah lenyap
dari permukaan air.
Oen Tjeng masih ada dibelakang Sin Tjie, ia betot tangan baju orang.
"Tolong aku, mereka hendak bunuh padaku..." ia memohon sambil berbisik.
Pemuda kita menoleh, ia lihat roman yang berduka, hingga ia jadi merasa kasihan, tanpa
berayal, ia manggut.
"Kau tarik jangkar," Oen Tjeng minta pula.
Belum Sin Tjie menyahuti atau ia telah merasai lemasnya tangan Oen Tjeng, tangan yang
halus dan lemah seperti tak ada tulang-tulangnya....
Eng Tjay lihat anak muda itu berbisik kepada si orang she Wan, ia lantas memasang mata,
akan tetapi, dia masih kalah sebat.
Dengan sekonyong-konyong Oen Tjeng sambar meja, dengan itu ia menimpuk kepada
ketiga musuhnya.
Si orang tubuh besar dan nyonya tidak menyangka, tak ampun lagi, keduanya rubuh
kecebur ke air. Eng Tjay masih sempat sambuti meja, ia telah menyambarnya sambil
lompat berkelit. Ia menyekal meja demikian keras, hingga kaki meja itu perdengarkan
suara patah berkerekekan. Ia luput dari bahaya tetapi ia bingung terhadap dua kawannya
yang kecebur itu, karena ia tahu, mereka tak bisa berenang, sedang dua saudara Lauw -
itu waktu - sudah berenang ketengah untuk selulupi bungkusan emas. Ia lempar meja
kesungai, supaya dua kawannya pakai untuk pepegangan. Tapi ia gusar sekali, lantas saja
ia serang si anak muda.
Oen Tjeng masih cekali dua potong kaki meja, ia tangkis serangan dengan gunai sepasang
kaki meja itu sebagai senjata. Ia terutama lindungi mukanya.
"Lekas!" ia teriaki Sin Tjie.
Cepat luar biasa, pemuda kita sambar rantai jangkar, ia menarik dengan kaget dan keras,
hingga dilain saat, jangkar itu terangkat dari gili-gili, melayang pulang keperahu.
Melihat demikian, Eng Tjay kaget, tapi segera ia lompat menyingkir.
Oen Tjeng pun kaget dan turut menyingkir juga dari sambaran jangkar itu, dengan begini,
ia jadi terpisah dari jago tua itu.
Akan tetapi Sin Tjie sendiri berlaku tenang, ia sambuti jangkar, untuk diletaki perlahanlahan
dikepala perahu.
Justru karena jangkar diangkat, perahu itu segera saja hanyut dibawa air deras, dengan
lekas orang-orang didarat ditinggalkan kendaraan air ini.
Selagi ia kagumi si pemuda, Eng Tjay pun kaget melihat jalannya perahu, tanpa berani
banyak omong pula, ia menjejak perahu, untuk loncat kearah darat.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Sin Tjie tahu maksudnya, ia tahu juga, tak nanti orang tua itu sampai ditepi, lekas-lekas ia
angkat papan jembatan perahu, ia lempar itu ke air disebelah depan si djago tua.
Eng Tjay sedang bingung, dia merasa pasti yang dia bakal kecebur keair, maka bagaimana
lega hatinya, akan tampak selembar papan jatuh didepannya, ngambang dimuka air, maka
segera dia injak itu, untuk dipakai menjejak pula, akan berlompat terus, dengan begitu,
bisalah ia sampai dipinggiran sungai, kakinya menginjak daratan. Berbareng berhati lega
dan girang, ia pun jadi bersyukur kepada si pemuda, yang telah menunjukkan kebaikan
hati kepadanya. Ia juga kagumi liehaynya pemuda ini.
"Ah!" Oen Tjeng berseru, dengan lesu. "Kembali kau berbuat baik terhadap
dia!....Sebenarnya kau bantui aku atau dia itu? Apakah bukan lebih baik akan antap dia
kecebur? Dia toh tidak bakal kelelap mampus..."
Sin Tjie tahu orang beradat aneh, ia tidak mau melayani bicara, ia hanya bertindak
kedalam perahu, akan rebahkan diri, buat tidur.
Oen Tjeng kecele, dengan masgul, ia pun masuk.
Perahunya sendiri hanyut terus... Dihari kedua, tengah hari, perahu sampai di Kie-tjioe. Sin
Tjie menghaturkan terima kasih pada Liong Tek Lin, ia kasih persen sepotong perak pada
tukang perahu.
"Jangan, biar aku yang berikan sekalian," Tek Lin mencegah. Saudagar ini insyaf, si
pemuda adalah yang hindarkan bahaya, karenanya, ia berterima kasih kepadanya.
Sin Tjie tidak hendak memaksa, ia membilang terima kasih pula, lalu ia pamitan.
"Aku tahu, kau juga tak nanti ijinkan aku bayar uang sewa perahu tapi aku tak sudi kau
yang bayarkan," berkata Oen Tjeng, yang lantas rogoh buntalannya, akan keluarkan
sepotong perak beratnya kira-kira sepuluh tail.
"Ini untuk kau!" katanya pada tukang perahu kepada siapa ia lempar uang perak itu.
Tukang perahu itu tercengang.
"Aku tak punya uang kecil...."katanya.
"Siapa ingin kau mengembalikannya?" jawab si anak muda. "Itu semua untukmu!"
Tukang perahu itu sangsi.
"Tak usah demikian banyak...."katanya.
"He, banyak bacot!" bentak Oen Tjeng. "Berapa aku suka kasih, aku kasih, buat apa kau
ngoceh saja! Nanti aku bolongi perahumu sehingga tenggelam, Baru kau tahu!"
"Terima kasih, terima kasih, tuan," kata tukang perahu itu kemudian. Ia tahu orang
telengas, ia tak berani membantah pula. Ia jumput uang itu.
Oen Tjeng lantas buka bungkusannya, sehingga berkilauan cahaya kuning-emas dari kirakira
tiga-ratus potong emas yang tiap potong terdiri dari kira-kira sepuluh tail.
Dengan tangan kanannya, si anak muda pecah uang itu jadi dua tumpukan, yang
setumpuk diantap diatas meja, yang setumpuk lagi, ia bungkus pula, bungkusannya terus
ia gendol dibelakangnya. Dengan kedua tangan, ia tolak tumpukan yang satu itu kedepan
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Sin Tjie.
"Untuk kau!" katanya.
"Apa?" tanya Sin Tjie. Ia tidak mengerti.
Oen Tjeng tertawa dengan manis.
"Apakah kau sangka benar-benar aku buang harta ini kedalam kali?" tanyanya. "Itulah
tolol! Biar mereka selulup timbul, untuk mencarinya, jikalau mereka berhasil, tentu mereka
akan pungut sebungkusan batu saja!"
Lalu ia tertawa geli sekali.
Sin Tjie menghela napas. Anak muda ini lebih muda daripada ia, toh satu tua-bangka
sebagai Eng Tjay masih kena diperdayakan! "Aku tidak membutuhkan ini, kau ambil
sendiri," ia menampik. "Aku bantui kau bukan karena uang."
"Tetapi inilah pemberianku kepadamu," si anak muda mendesak. "Uang ini bukannya kau
yang ambil sendiri! Kenapa berpura-pura jadi koentjoe palsu?"
Sin Tjie menggeleng kepala.
Tek Lin ada satu saudagar yang banyak hartanya, tetapi menghadapi dua orang itu, ia
heran sekali. "Yang satu tak menghargai uang, yang lain tak memandangnya. Yang satu
mendesak mengasih, yang lain keras menolak."
"Tidak peduli kau suka atau tidak, aku mesti berikan padamu!" kata si anak muda
akhirnya, suaranya keras, tandanya ia gusar. Lalu dengan sekonyong-konyong ia lompat
kedarat! Sin Tjie tercengang, tapi segera ia mendusin, ia pun lompat, untuk menyusul.
Oen Tjeng bisa lari keras, akan tetapi sejenak saja, ia dapat didahului.
"Tunggu!" Sin Tjie kata sambil ia pentang kedua tangannya, untuk menghalangi. "Kau
bawa emasmu itu!"
Anak muda itu coba nerobos, kekiri dan kanan, sia-sia saja, tak mampu ia lewati si
pemuda, dalam sengitnya, mendadakan ia serang mukanya pemuda itu.
Sin Tjie tangkis serangan itu, ia menolak dengan tangan kiri. Sebenarnya ia tidak gunai
tenaga, akan tetapi si anak muda mundur tiga tindak.
Menampak bahwa ia tak sanggup tobloskan cegatan, mendadak Oen Tjeng jatuhkan diri,
untuk duduk ditanah, dengan tiba-tiba juga ia menangis sesenggukan.
"Kau sakit?" tanya Sin Tjie, jang heran dan kuatir. Ia sangka tangkisannya membuat anak
muda itu merasai sakit pada lengannya.
"Foei!" berseru Oen Tjeng, yang lompat bangun dengan tiba-tiba, terus ia loncat lagi,
untuk menyingkir.
Sin Tjie melongo ia awasi Oen Tjeng lenyap dari pandangan matanya.
(Bersambung bab ke 6)
"Benar-benar koekoay!" kata ia sambil ngeloyor balik ke perahu. Ia kagumi kepandaian
anak muda itu, tetapi ia heran tabeat yang mendelukan tapi juga menggelikan. Terpaksa ia
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
bungkus tumpukan uang itu, untuk dibawa pergi, dari Tek Lin, ia ambil selamat berpisah.
Ia pergi kekota, akan cari sebuah hotel.
"Tak lega hatiku jikalau uang ini aku tidak dapat kembalikan kepada si anak muda," ia
berpikir selagi ia duduk terpekur dalam kamarnya. "Aku kasihan padanya, sebab itu aku
bantu dia,maka jikalau aku terima pemberiannya itu, tidakkah namaku jadi jelek? Dia
bilang dia ada orang Tjioliang, kenapa aku tidak susul dia dirumahnya? Jikalau dia tetap
menolak, aku nanti letaki uang di rumahnya itu dan tinggal pergi!...."
Karena ini besokannya, setelah cari keterangan tentang jalanan ke Tjio-liang, Sin Tjie
gendol bungkusannya, ia menuju ketempat itu, jang terpisahnya dari kota Kietjioe cuma
dua-puluh lie, hingga tak ada setengah jam, ia sudah sampai.
Tjio-liang ada satu dusun kecil, yang berdampingan sama bukit Lan Ko San. Nama dusun
itu, dan bukitnya juga, mempunyai cerita dongeng sebagai berikut : Di jaman purbakala
ada satu tukang kayu yang pergi ke bukit itu mencari kayu bakar. Dia ketemu dua dewa
asyik main catur. Dia menonton. Ketika satu babak berakhir dan ia menoleh pada
kampaknya, kampak itu "bonyok" sendirinya. Dan ketika ia pulang, rumahnya, orangnya
semua, sudah berubah, karena ternyata, dia telah pergi untuk lamanya beberapa puluh
tahun. "Lan Ko" berarti "kampak bonyok", demikianlah, gunung itu ada dua puncak yang
tersambung satu pada lain dengan satu batu besar dan panjang, yang merupakan
penglari. Itu pasti bukan batu buatan manusia dan terpalangnya disitu bukan pekerjaan
manusia juga, maka orang-orang tua anggap itu ada buah-kesaktian dewa. Maka itu,
tempat itu dipanggil "Tjio-liang" yang berarti "penglari".
Selagi berjalan untuk cari rumah orang she Oen, Sin Tjie berpapasan dengan seorang tani
perempuan.
"Enso, numpang tanya, disini dimana tinggalnya keluarga Oen?" tanyanya.
Orang perempuan itu terkejut nampaknya.
"Tidak tahu!" sahutnya. Dan air mukanya berubah tak senang, dia pun lantas berjalan
pergi dengan cepat.
Sin Tjie heran, akan tetapi ia jalan terus. Ia sampai pada sebuah toko.
"Numpang tanya disini dimana tinggalnya keluarga Oen?" ia tanya pemilik toko.
"Ada apa saudara tanya keluarga Oen?" balik tanya si tuan toko dengan tawar.
"Aku hendak kembalikan serupa barang," Sin Tjie terangkan.
"Kalau begitu, kau ada sahabatnya si orang she Oen! Habis, untuk apa kau
menanyakannya kepadaku?" kata tuan toko itu.
Sin Tjie heran berbareng jengah.
"Kenapa seorang dagang begini kasar kelakuannya?" tanya ia kepada diri sendiri.
Ia ngeloyor, lalu ia hampirkan dua bocah yang lagi memain diujung jalanan. Ia keluarkan
sepuluh uang tangtjhie, ia sesapkan itu dalam tangannya satu bocah.
"Saudara kecil, mari antar aku kerumah keluarga Oen!" minta dia.
Bocah itu sudah genggam uang yang diberikan padanya, atau ia segera kembalikan.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
"Rumah keluarga Oen? Itu dia yang besar!" jawabnya. "Aku tak sudi pergi kerumah itu!"
Kembali Sin Tjie menjadi heran, akan tetapi segera ia mengerti, rupanya keluarga Oen itu
tak disukai sesama penduduk sehingga tak ada orang yang ingin bergaul dengannya. Ia
hanya tidak tahu, apa yang menyebabkan kesungkanan itu. Ia segera bertindak kearah
rumah besar yang ditunjuk si bocah.
Dari jauh-jauh sudah terdengar suara riuh dari banyak orang, yang datang dari arah rumah
keluarga Oen itu, dimana pun berkerumun puluhan orang tani yang pada bawa pacul dan
garu. Selagi mendekati, Sin Tjie dengar nyata teriakan mereka : "Kamu telah aniaya tiga
orang, apa boleh dengan begitu saja? Orang she Oen, lekas keluar, ganti jiwa!"
Diantara mereka itu ada tujuh atau delapan orang perempuan dengan rambut riap-riapan
yang sambil duduk ditanah, menangis menggerung-gerung, dan menjerit-jerit.
"Saudara, kau sedang bikin apa?" tanya Sin Tjie pada satu orang.
"Siangkong ada orang asing, kau tentu tidak tahu kejadian ini," sahut orang yang ditanya
itu. "Keluarga Oen ini ada cabang atas disini, mereka menjagoi. Kemarin mereka pergi
menagih sewa tanah kekampung. Empeh Thia minta tempo, buat beberapa hari saja, tapi
si empeh dijoroki, dia rubuh, kepalanya, kena batu, terus dia binasa. Anak dan keponakan
empeh Thia gusar, mereka membelai, tetapi mereka kena dilabrak hingga luka-luka. Coba
pikir, siangkong, apa tuan tanah begitu tidak kejam?"
Selagi petani itu memberi keterangan kepada pemuda kita, suara riuh bertambah-tambah,
ada orang tani yang gunai garunya menyerang pintu, ada yang jumput batu-batu untuk
dipakai menimpuk kedalam pekarangan.
Sekonyong-konyong pintu pekarangan terbuka lebar, satu bajangan melesat keluar,
sebelum orang melihat tegas, sudah ada tujuh atau delapan petani yang terpelanting,
rubuh jauhnya dua-tiga tumbak, sehingga kepala mereka mengeluarkan darah! "Dia gesit
sekali," pikir Sin Tjie. Ia lantas mengawasi.
Bajangan itu ada seorang dengan tubuh kurus dan jangkung, kulit mukanya semu kuning
tetapi sepasang alisnya berdiri. Kelihatan nyata, dia mestinya pandai silat.
"Hai, kamu, mahluk-mahluk seperti anjing dan babi!" membentak orang itu. "Kenapa kamu
datang mengacau kemari?"
Orang ini menanya demikian, akan tetapi, belum sempat orang jawab dia, dia sudah
menyerang pula, hingga lagi beberapa orang terjatuh sungsang-sumbal.
Sin Tjie lihat orang bertenaga besar, dia melempar-lempari orang seperti sedang
melempar-lemparkan ikatan-ikatan jerami.
"Entah terkena apa dia dengan Oen Tjeng?..." pikirnya. "Coba itu malam dia ada beserta
Oen Tjeng, tentu leluasalah mereka melayani Eng Tjay, sehingga tak perlu aku berikan
bantuanku..."
Itu waktu seorang tani dari usia pertengahan dan dua orang muda majukan diri.
"Kamu telah bunuh orang, apa itu dapat disudahi secara begini saja?" tanya mereka.
"Memang benar kami ada orang-orang melarat akan tetapi sekalipun melarat, kami
mempunyai jiwa!"
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Si jangkung-kurus itu tertawa dingin.
"Hm! Hm! Jikalau belum aku mampusi lagi beberapa jiwa, tentu kamu belum tahu rasa!"
berseru dia. Mendadak tubuhnya mencelat maju, lantas si orang usia pertengahan kena
dicekuk pada bebokongnya, kapan tubuhnya telah diangkat, tubuh itu segera terlempar ke
ujung tembok timur! Kedua petani muda menjadi sangat gusar, dengan berbareng mereka
menyerang dengan pacul mereka.
Si kurus menangkis dengan tangannya yang kiri, sekejab saja kedua batang pacul kena
tersampok lepas dan terpental, menyusul mana, tubuhnya dua petani itu disambar
seorang dengan sebelah tangan, lantas diangkat untuk dilemparkan keatas batu besar
yang menjadi tunggul tiang bendera dimuka pintu pekarangan.
Sebegitu jauh dia menyaksikan, hati Sin Tjie panas, tetapi ia masih dapat berlaku sabar. Ia
pikir tak boleh ia lancang mencampuri urusan yang ia belum tahu duduknya.
"Baik aku tunggu sebentar, nati aku minta bertemu dengan Oen Tjeng, untuk kembalikan
uangnya, lantas aku pergi pula," pikirnya. Siapa tahu setelah lihat nasibnya si orang usia
pertengahan, ia pun tampak bencana yang mengancam kedua pemuda tani itu, dengan
mendadak saja ia ubah pikirannya. Lupa ia segala apa. Mendadak ia berlompat, dengan
sangat sebat ia sambuti tubuhnya kedua petani muda itu hingga tak usahlah mereka jatuh
terbanting! Kemudian dengan pelahan-lahan, ia turunkan tubuh mereka itu.
Gerak sebat dan luar biasa itu ada "Gak Ong Sin Tjiang", atau "Panah gaib dari Gak Hoei",
ialah salah satu pelajaran yang Sin Tjie peroleh dari Bhok Siang Toodjin. Sebenarnya dia
tak pikir untuk pertontonkan kepandaian yang istimewa itu, tetapi untuk tolong kedua
pemuda tani, ia tak dapat berbuat lain. Ia pun sudah pikir setelah ketahui rumah si orang
she Oeng, baik sebentar malam saja ia datang pula, untuk kembalikan emasnya Oen
Tjeng. Ia pun tahu, si jangkung-kurus akan jadi tidak senang, maka untuk singkirkan
kerewelan, lantas ia memutar tubuh, akan bertindak pergi.
Kedua petani muda, yang ketolongan, berdiri bengong bahna kaget dan heran.
Si jangkung kurus tak terkecuali, ia heran dan kagumi kegesitan dan tenaga besar dari
pemuda tak dikenal ini. Tapi kapan ia lihat orang hendak pergi, ia memburu.
"Sahabat, tunggu dulu!" menegur dia sambil tepuk pundaknya pemuda kita. Ia menepak
bukan menepak belaka, berbareng ia telah gunai ilmu mengerahkan tenaga "Tjian kin lat" -
"Tenaga seribu kati".
Sin Tjie tidak berkelit, cuma dengan turunkan sedikit pundaknya, ia sudah bebas dari
tepakan yang akan merupakan bandulan seribu kati itu. Iapun tidak lakukan serangan
membalas, Ia cuma memutar tubuh.
Kembali si jangkung-kurus terkejut.
"Apakah tuan ada undangan mereka itu untuk mempersulit aku?" tanya dia.
Ditanya begitu, Sin Tjie lekas memberi hormat.
"Maafkan aku," ia mohon. "Aku kuatir nanti terbit perkara jiwa, yang bisa membuat banyak
berabe, maka dengan lancang aku tolongi mereka. Lauwhia mempunyai kepandaian begini
rupa, kenapa kau berpandangan sama seperti orang-orang dusun ini?"
Melihat sikap menghormat dan perkataan itu halus, sedang kepandaian orang pun ia puji,
si jangkung-kurus ini surut separuh hawa-amarahnya.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
"Kau she apa , tuan? Ada urusan apa kau datang ketempat kami ini?" ia tanya.
"Aku she Wan," Sin Tjie sahuti. "Ada satu sahabatku yang she Oen, apa dia tinggal
disini?"
"Aku pun orang she Oen. Siapa itu yang tuan cari?"
"Sahabat itu berumur delapan atau sembilan belas tahun, romannya cakap sekali, ia
dandan sebagai mahasiswa," Sin Tjie terangkan.
Si jangkung-kurus manggut-manggut. Lantas ia hadapi beberapa puluh orang tani itu,
yang masih belum bubaran.
"Apakah kamu cari mampus? Buat apa kamu masih berdiam disini?" ia tanya mereka,
suaranya, sikapnya, bengis sekali.
Melihat orang asing itu bicara bagaikan sahabat dengan si orang she Oen itu, sedang
keduanya mereka ini berilmu silat tinggi, orang banyak itu lantas saja ngeloyor pergi.
"Silakan masuk, tuan. Mari minum teh!" si jangkung-kurus lantas undang tetamu asing itu.
Sin Tjie terima baik undangan itu, ia turut masuk, maka ia dapati sebuah rumah jang besar,
dengan thia jang lebar, dibagian tengah ia lihat pian dengan empat huruf besar : "Sie Tek
Bian Tiang". Itu adalah pujian untuk kebijaksanaan kekal-abadi bagi keluarga itu.
Perabotan lainnya menunjukkan bahwa keluarga Oen ada satu keluarga besar dan
berharta.
Tuan rumah undang tetamunya duduk dan orangnya segera suguhi mereka air teh,
kemudian ia tanya siapa gurunya tetamu ini, menanya secara berulang-ulang.
Sin Tjie merasa, walau sikapnya ramah-tamah, tuan rumah itu masih kandung perasaan
tak puas terhadapnya, dari itu, ia berlaku hati-hati.
"Tolong minta Oen Tjeng Siangkong keluar, aku hendak serahkan serupa barang
kepadanya," ia minta tanpa jawab pertanyaan orang.
"Oen Tjeng itu ada adikku," sahut si jangkung-kurus. "Aku sendiri ada Oen Tjheng. Adikku
sedang pergi keluar, baik saudara tunggu sebentar."
Sebenarnya tak ingin Sin Tjie bergaul dengan tuan rumah ini, yang ia duga ada bangsa
cabang atas yang galak dan jahat, tetapi karena Oen Tjeng tidak ada, terpaksa ia
menunggu juga.
Sampai tengah-hari, Oen Tjeng masih belum kembali. Tak suka Sin Tjie serahkan emas
ditangan orang lain, terpaksa ia menunggu terus. Selama itu, Oen Tjheng telah perintah
siapkan barang hidangan yang lezat, terdiri dari masakan daging, ayam, ikan dan sayur,
hingga mau atau tidak, tetamu ini mesti turut dahar.
Sampai mulai lohor, selagi matahari mulai doyong ke Barat, masih Oen Tjeng belum
pulang. Sampai itu waktu, habis sudah kesabaran Sin Tjie. Ia lantas letaki bungkusannya
diatas meja. Sekarang ia pikir, karena itu ada rumahnya Oen Tjeng, tak perlu ia bersangsi
pula.
"Inilah barang adikmu itu, tolong saudara sampaikan kepadanya," ia bilang. "Ijinkan aku
pamitan...."
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Justru itu, dari luar rumah terdengar suara tertawa riuh, suaranya orang-orang
perempuan. Sin Tjie kenali, diantaranya ada suara tertawanya Oen Tjeng.
"Nah, itu adikku pulang!" berkata Oen Tjheng, yang segera berbangkit, untuk pergi keluar.
Sin Tjie putar tubuhja, untuk turut, tetapi tuan rumah mencegah.
"Harap saudara Wan duduk saja dulu," ia minta.
Sin Tjie heran, akan tetapi ia batal ikut keluar. Aneh, ia menunggu sekian lama, tidak juga
Oen Tjeng muncul. Oen Tjheng adalah yang kembali sendirian.
"Adikku hendak salin pakaian, sebentar ia keluar," kata tuan rumah ini.
Masih pemuda ini menantikan sekian lama, Baru kelihatan Oen Tjeng muncul, dengan
wajah berseri-seri.
"Saudara Wan, aku sangat bersyukur dengan kunjunganmu ini!" katanya.
"Kau lupai barang ini, saudara Oen, aku bawakan," bilang Sin Tjie. Ia tunjuk bungkusan
emas diatas meja.
"Kau tak lihat mata padaku, bukan?" Oen Tjeng tanya, tampangnya berubah.
"Tidak, itulah aku tak berani," sahut Sin Tjie. "Aku hendak pergi sekarang."
Ia memberi hormat kepada dua saudara itu.
Oen Tjeng tidak membalas hormat, ia hanya cekal tangan baju orang.
"Aku larang kau pergi!" katanya.
Pemuda itu melengak.
Oen Tjheng nampaknya heran, wajahnya pun berubah.
"Ada satu hal aku hendak tanyakan kepada kau, Wan Toako," Oen Tjeng, menambahkan.
"Maka aku harap hari ini kau berdiam sama kami disini."
"Aku mempunyai urusan penting di kota Kie-tjioe, lain hari saja aku mampir pula kemari,"
Sin Tjie menampik.
"Ah, tidak," Oen Tjeng mencegah, dengan memaksa.
"Kalau Wan toako mempunyai urusan penting, tak dapat kita halangi dia," Oen Tjheng
turut bicara. "Jangan kita menghambat dia."
"Baik!" kata Oen Tjeng akhirnya. "Jikalau kau tetap hendak pergi, bawalah ini bungkusan
bersamamu! Kau tak sudi berdiam di rumahku, terang kau tak pandang mata kepadaku!"
Sin Tjie berdiam.
"Kau baik sekali, saudara Oen,baiklah," sahut ia akhir-akhirnya.
Dengan tiba-tiba, Oen Tjeng jadi sangat girang.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
"Lekas siapkan kue!" ia menitah kepada bujang.
Oen Tjheng nampaknya tak senang, tetapi ia tidak meninggalkan mereka, ia terus duduk
menemani, hanya selama itu, ia bicara kadang-kadang saja.
Oen Tjeng ajak tetamunya bicara tentang pelbagai kitab. Mengenai ilmu syair, Sin Tjie
merasa asing, tapi mengenai ilmu perang, itu adalah keyakinannya sejak masih kecil. Tuan
rumah bisa imbangi kegemaran tetamunya, ia lantas omong banyak tentang peperangan.
"Heran," pikir Sin Tjie. "Dia bertabeat aneh akan tetapi pembacaannya luas."
Dipihak lain, Oen Tjheng beda dari adiknya itu. Dia mengerti ilmu silat dengan baik akan
tetapi budek atau buta mengenai ilmu surat. Nampaknya ia sebal mendengari orang bicara
hal sastera tetapi toh ia tidak hendak undurkan diri... Karena merasa tak enak hati
sendirinya, Sin Tjie ajak si jangkung-kurus itu bicara tentang ilmu silat, suka dia melayani,
akan tetapi belum mereka bicara banyak, Oen Tjeng sudah lantas menyelak dan geser
pembicaraan ke lain soal.
Dimata Sin Tjie, dua saudara itu beda satu dari lain. Dan juga, walaupun Oen Tjheng ada
sang kakak, nampaknya dia jeri terhadap adiknya, sama sekali dia sungkan bentrok. Malah
kalau kena disenggapi, kakak ini tertawa....
Sementara itu juga kelihatan nyata, Oen Tjeng bermaksud baik, kecuali sangat ramahtamah,
dia senantiasa berseri-seri, dia gembira sekali.
Kapan sang sore tiba, orang menghadapi pula barang hidangan, kali ini, semua-semua ada
lebih hebat daripada yang disuguhkan tadi tengah hari.
"Aku merasa lelah, ingin aku tidur siang-siang," kata Sin Tjie sehabis bersantap.
"Tempat kediamanku ini ada satu tempat kecil, maka adalah sukar untuk mendapat
kunjungan tetamu sebagai kau ini, saudara Wan," berkata Oen Tjeng. "Sebenarnya aku
ingin sekali kita menghadapi lampu untuk pasang omong tentang pelbagai soal, tetapi
sebab kau lelah dan ngantuk, baiklah, besok saja kita bicara lebih jauh."
"Saudara Wan, mari tidur dikamarku," berkata Oen Tjheng.
"Dikamarmu mana bisa ketempatan tetamu?" kata Oen Tjeng. "Tentu saja kamarku!"
Wajah Oen Tjheng, sang kanda, berubah.
"Apa?" tegasi dia.
"Ada apa sih jeleknya?" Oen Tjeng tanya. "Aku sendiri akan tidur sama ibu!"
Bukan kepalang tak senangnya Oen Tjheng, tetapi tanpa bilang suatu apa, malah tanpa
permisi lagi dari Sin Tjie, dia ngeloyor pergi.
"Hm, tak tahu aturan!" Oen Tjeng , sang adik, ngoceh sendirian. "Dia tak kuatir orang nanti
tertawai!"
Tak enak hatinya Sin Tjie karena engko dan adik itu bentrok karena urusannya.
"Sudah biasa bagi aku akan tinggal ditempat sunyi, untukku tak usah saudara terlalu
memusinginya," kata dia.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Oen Tjeng lantas saja bersenyum.
"Baik, aku tak akan terlalu memusingi!" katanya. Tapi toh ia sembat tjiaktay, ia bawa itu :
"Mari turut aku!"
Sin Tjie mengikuti. Mereka melewati dua pekarangan dalam, sampai diruangan ketiga
dimana dari arah timur mereka mendaki tangga lauwteng. Dimuka kamar, tuan rumah
menolak daun pintunya.
Sekelebatan, mata Sin Tjie kesilauan. Hidungnya pun segera terserang serupa bau harum.
Kamar itu diterangi sebatang lilin besar, yang apinya terang. Kelambu terbuat dari kain
mahal, sedang sprei tersulam burung hong warna kuning. Ditembok ada gambar seorang
wanita lukisannya Tong In. Didepan pembaringan ada satu meja yang lengkap dengan
bakhie, kertas dan lainnya perabot-tulis, malah pitnya sampai enam-tujuh batang. Diujung
meja sebelah barat ada satu pot bunga soei-sian, sedang diatas para-para ada seekor
burung nuri putih.
Dia datang dari gunung, tak heran Sin Tjie kagum dengan kamar ini, hingga ia tercengang.
"Inilah kamarku," Oen Tjeng beritahu. Ia tertawa. "Baik saudara beristirahat disini satu
malam ini."
Tanpa tunggu tetamunya menyahuti, Oen Tjeng singkap moeilie, akan berlalu pergi.
Sin Tjie periksa seluruh ruangan, sampai ia tak dapatkan sesuatu apa jang mencurigai,
Baru ia tutup pintu. Selagi ia hendak buka baju, untuk naik tidur, tiba-tiba ia dengar
ketokan pada pintu, ketokan yang pelahan sekali.
"Siapa?" tanya ia.
Pertanyaan itu dijawab sama tertolaknya daun pintu dan muncullah satu bujang
perempuan umur enam atau tujuh belas tahun, romannya cantik dan cerdik, ditangannya
ada sebuah nampan.
"Wan siauwya, silakan dahar tiat-sim," ia mengundang. Ia letaki nampan diatas meja.
Itu adalah semangkok yan-oh.
Pemuda ini ada puteranya satu kepala perang, akan tetapi sejak masih kecil sekali, ia telah
tinggal didalam desa, diatas gunung jang sunyi, maka itu, belum pernah ia tampak
minuman istimewa itu, tidak heran, ia tak tahu apa itu yan-oh. Ia pun Baru pernah kali ini
bicara dengan orang perempuan remaja, ia likat sendirinya, wajahnya menjadi bersemu
dadu.
"Namaku Goat Hoa, Wan Siauwya," kata si kacung sembari tertawa manis. "Siauwya yang
tugaskan aku melayani kepadamu. Jika Siauwya perlu apa-apa, perintah saja aku, nanti
aku kerjakan."
"Tidak apa-apa lagi," bilang Sin Tjie dengan ringkas. Ia pun memang tak tahu apa lagi
yang ia butuhkan.
Goat Hoa undurkan diri pelahan-lahan.
"Itulah buatan siauwya sendiri istimewa untuk Wan Siauwya!" kata dia.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Sin Tjie melengak, tak tahu apa ia mesti bilang.
Goat Hoa bertindak keluar sembari tertawa, dengan pelahan ia tarik rapat daun pintu.
Sin Tjie buka bajunya, ia singkap selimut dan naik keatas pembaringan. Itu adalah satu
pembaringan yang harum sekali sehingga bisa bikin orang tak sadar akan dirinya....
Tanpa curiga, Sin Tjie jatuh pulas. Akan tetapi tengah malam, ia sadar karena ia dengar
suara tertawa pelahan diarah jendela - tertawa cekikikan. Ia memang waspada dan getap.
Tiba-tiba terdengar ketokan pelahan pada jendela, dua kali, yang segera disusul dengan
suara tertawa empuk dan kata-kata: "Rembulan bercahaya, angin sejuk, malam
indah....Saudara Wan, tak kuatirkah kau akan mensia-siakan waktu yang begitu bagus?"
Sin Tjie kenali suaranya Oen Tjeng. Ia menoleh kearah jendela. Diantara kelambu, ia
tampak sinar rembulan yang permai. Ia pun lihat bajangan orang bergelantungan didepan
jendela, kaki diatas kepala dibawah. Orang itu sedang mengintai kedalam kamar.
"Baik, aku nanti pakai baju dan keluar," pemuda ini menyahuti.
Tertarik rasa heran Sin Tjie, ia jadi sangat ingin tahu kelakuannya tuan rumah yang luar
biasa itu. Hendak ia ketahui, sebenarnya tuan rumah itu ada orang macam apa. Setelah
pakai baju, ia selipkan pisau belati di pinggangnya. Begitu pentang daun jendela, bau
wangi menyerang hidungnya.
Nyatalah kamar itu mempunyai jendela yang menghadap taman bunga.
Oen Tjeng sendiri sudah mendahului loncat turun dari payon rumah dimana ia barusan
bergelantungan.
"Mari turut aku!" ia mengundang sambil terus bertindak lebih dahulu. Ditangannya, ia
menenteng sebuah naya.
Tanpa bilang suatu apa, Sin Tjie mengikuti.
Tuan rumah itu keluar dari dalam taman dengan jalan loncati tembok pekarangan,
sesampainya diluar, ia berlari-lari dengan cepat menuju kebukit dan lalu mendakinya.
Sin Tjie terus mengikuti sambil berlari-lari juga.
Hampir sampai dipuncak, Oen Tjeng menikung, sampai dua kali, lantas mereka sampai
disatu tempat dimana angin halus mendesir-desir, bau harum datang dari empat penjuru
dimana terdapat pohon-pohon bunga. Sinar rembulan ada indah sekali, mirip dengan salju
putih, hingga tertampak nyata bunga-bunga mawar putih dan kuning.
"Mirip dengan tempat pertapaan!" Sin Tjie memuji saking kagum.
"Semua pohon bunga ini adalah hasil tanamanku sendiri," Oen Tjeng kasi keterangan.
"Kecuali ibu dan bujang-bujang perempuan, lain orang, siapapun dilarang datang kemari!"
Dengan tenteng terus nayanya, Oen Tjeng jalan didepan, pelahan-lahan.
Sin Tjie mengikuti terus, dengan perasaan seperti melayang-layang. Tanpa merasa,
sekarang hilanglah sikap berhati-hatinya.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Mereka sampai disebuah paseban kecil mungil.
"Silakan duduk," Oen Tjeng mempersilakan seraya ia turunkan nayanya, untuk buka itu,
akan keluarkan satu poci arak berikut dua cangkirnya, cangkir-cangkir mana terus ia
tuangi penuh arak dari potji tersebut.
"Disini orang dilarang dahar barang berjiwa," kata pemuda she Oen ini. Dan ia keluarkan
beberapa rupa sayur.
Sin Tjie dapatkan semua itu adalah terbuat dari jamur, bokdjie dan lainnya.
Masih Oen Tjeng keluarkan serupa barang dari dalam nayanya itu, ialah sebatang seruling
kuningan.
"Aku nanti tiup serupa lagu untuk kau dengar," kata dia.
Sin Tjie manggut.
Segera anak muda itu tiup alat musiknya itu, suaranya pelahan.
Sin Tjie asing dengan alat-alat tetabuhan akan tetapi waktu itu ia rasai dirinya bagaikan
terapung-apung diawang-awang, ia seperti merasa berada diwilayah dewa-dewa, bukan
lagi didalam dunia... Oen Tjeng meniup habis satu lagu, ia tertawa.
"Kau gemar lagu apa?" tanyanya. "Nanti aku mainkan untukmu..."
"Ah, kau tahu banyak sekali?" kata Sin Tjie. "Mengapa kau begini cerdas?"
Pemuda itu angkat dahinya, ia tertawa.
"Apa benar?" katanya.
Ia angkat pula serulingnya, ia tiup lagi sebuah lagu, yang tekukannya terlebih halus dan
merdu.
Sejak dia dilahirkan, belum pernah Sin Tjie mengalami suasana sebagai ini.
"Apakah lagu ini enak didengarnya?" tanya pula Oen Tjeng sehabis meniup.
"Didalam dunia ada lagu begini merdu, mimpi pun aku tak pernah," sahut pemuda she
Wan ini.
Kedua mata Oen Tjeng memain, ia bersenyum.
Mereka duduk dekat satu dengan lain, hidungnya Sin Tjie dapat tangkap bau harum,
kecuali harumnya bunga mawar juga sedikit wangi yantjie dan pupur, hingga kembali ia
merasa, anak muda disampingnya ini benar-benar tak punyakan sifat keperwiraan... "Kau
suka dengar atau tidak aku meniup seruling?" Oen Tjeng tanya selagi orang berpikir.
Sin Tjie manggut.
Kembali Oen Tjeng bawa seruling kepinggir mulutnya, akan mulai meniup pula.
Kembali Sin Tjie mendengari dengan pikiran turut melayang-layang pula.Sedangnya
begitu, mendadak suara seruling berhenti, disusul sama suara patahnya alat musik tiup
itu.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Pemuda kita terkejut.
"Eh, eh, kenapa? Kenapa?" tanyanya. "Bukankah kau...kau meniupnya dengan baik-baik."
Oen Tjeng tunduk.
"Biasanya tak pernah aku tiup seruling untuk lain orang dengari..." sahutnya dengan
pelahan. "Mereka semua cuma gemar geraki golok, mainkan pedang. Mereka tak suka
dengar lagu..."
"Tapi aku tidak dustakan kau, sesungguhnya aku suka mendengari," Sin Tjie bilang.
"Toh besok kau bakal pergi! Begitu kau pergi, kau tidak bakal kembali. Untuk apa aku tiup
pula serulingku?"
Dalam herannya, Sin Tjie mengawasi.
Oen Tjeng berhenti sebentar, lalu ia menambahkan : "Aku insyaf tabeatku buruk, akan
tetapi tak dapat aku atasi diriku... Aku tahu kau sebal terhadapku, didalam hatimu, kau tak
melihat mata padaku..."
Heran dan bingung adalah si anak muda, hingga ia diam saja.
"Itulah sebabnya mengapa kau selanjutnya tak bakal datang pula," kata lagi Oen Tjeng.
"Ini adalah untuk pertama kali aku berkelana," berkata Sin Tjie kemudian. "Tak bisa aku
mendusta. Kau bilang, didalam hatiku, aku tak memandang mata kepadamu, bahwa aku
sebal terhadapmu. Bicara hal yang benar, tadinya benar aku beranggapan demikian, akan
tetapi sekarang adalah lain."
"Apa?" tanya Oen Tjeng, dengan pelahan.
"Ya. Aku lihat, tentu ada apa-apa yang mendukakanmu, maka juga tabeatmu jadi luar biasa
begini. Apakah itu? Apa bisa kau tuturkan itu kepadaku?"
Sahabat itu berdiam, sampai sekian lama, sampai mendadak ia angkat kepalanya.
"Suka aku memberitahukan kepadamu, namun aku kuatir kau nanti tak memandang mata
kepadaku," kata dia.
"Itulah tak akan terjadi!" Sin Tjie memastikannya.
Oen Tjeng kertak giginya.
"Baiklah!" katanya kemudian. "Aku nanti beri keterangan padamu!"
Sin Tjie mengawasi, ia mendengari.
"Ketika dahulu ibuku masih muda remaja, ia telah kena diperhina oleh satu manusia
busuk, karenanya, terlahirlah aku," demikian pemuda itu menerangkan. "Celakanya,
engkong luarku, yang hendak labrak orang busuk itu, sudah tidak sanggup lakukan itu,
karena ia tak dapat memenangkannya. Baru belakangan engkong dapat kumpul lebih dari
sepuluh kawan yang liehay, bersama-sama mereka barulah manusia busuk itu dapat
dibikin kabur. Begitulah maka aku tidak punyakan ayah...."
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Bicara sampai disitu, Oen Tjeng berhenti, air matanya lantas mengalir.
"Kalau begitu, tak dapat kau dipersalahkan, tak dapat juga ibumu disesalkan," kata Sin
Tjie, yang menghibur. "Jang salah adalah manusia busuk itu."
"Akan tetapi lain orang tak sependapat sebagai kau," kata Oen Tjeng. "Di depan, mereka
tak berani bilang suatu apa, dibelakang, diam-diam mereka caci aku, mereka pun caci
ibu..."
"Hm, siapa si manusianya yang demikian hina-dina?" seru Sin Tjie. "Baik, aku janji
padamu, aku nanti bantu kau menghajar manusia jahil mulut itu! Sekarang tak lagi aku
jemu terhadapmu, umpama kau suka anggap aku sebagai sahabat, pasti aku akan datang
pula kepadamu!"
Oen Tjeng girang hingga ia loncat berjingkrak.
Melihat tingkah orang itu, Sin Tjie tertawa.
"Aku janji untuk kembali, kau girang bukan?" tanyanya, tertawa.
"Kau toh bilang, kau bakal datang kembali."
"Memang tidak nanti aku memperdayakan kau."
Sekonyong-konyong ada suara berkeresek dibelakang mereka. Sin Tjie menduga ada
orang, ia segera berbangkit sambil putar tubuh. Ia pun segera dengar suara yang dingin
sekali. Katanya : "Tengah malam buta-rata kasak-kusuk disini, kamu bikin apa, he?"
Orang itu jangkung dan kurus. Dia adalah Oen Tjheng. Wajahnya suram-guram karena
hawa amarah yang meluap-luap. Dia berdiri tegak dengan kedua tangan dipinggang.
Oen Tjeng pun kaget, akan tetapi kapan ia kenali Oen Tjheng, sang kakak, ia gusar.
"Perlu apa kau datang kemari?" dia menegur.
"Tanyalah dirimu sendiri!" Oen Tjheng membalas.
"Aku sedang gadangi rembulan bersama saudara Wan ini! Siapa undang kau?" sang adik
menegur pula. "Siapa juga dilarang datang kemari, kecuali ibuku! Samyaya bilang ini! Kau
berani melanggarnya?"
Oen Tjheng tunjuk Sin Tjie.
"Dia ini? Kenapa dia datang kemari?" ia balik tanya.
"Aku undang dia! Kau tak berhak mencampurinya!"
Tak enak hatinya Sin Tjie karena engko dan adik itu bentrok karena dia.
"Sudah cukup kita gadangi rembulan, mari kita pulang," katanya.
"Aku tidak sudi pulang!" kata Oen Tjeng. "Kau duduk!"
Sin Tjie duduk pula.
Oen Tjheng berdiri diam, tapi hatinya terang tak tenteram.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
"Semua bunga ini adalah tanaman tanganku sendiri, aku larang kau melihatnya!" kata Oen
Tjeng dengan gusar kepada kandanya itu.
"Aku telah lihat semuanya, sekarang aku hendak cium baunya," Oen Tjheng jawab.
Benar-benar ia dekati beberapa tangkai bunga, untuk dicium berulang-ulang.
Meluap hawa-amarahnya Oen Tjeng, dia berloncat bangun, dia sambar pohon bunga, dia
cabuti itu dengan kedua tangannya, setiap kali ia mencabut, ia terus lemparkan. Ia berbuat
itu sambil menangis.
"Baik, baik, kau menghina aku, kau menghina aku!" dia berteriak-terial. "Sekarang aku
cabut pohon-pohon mawar ini, siapa pun tak bisa melihatnya lagi! Sekarang tentu Barulah
kau puas!"
Lebih daripada dua-puluh pohon mawar telah menjadi korban.
Oen Tjheng tetap sangat gusar, akan tetapi dia bungkam, ia putar tubuhnya dan bertindak
dengan mengarungi penasaran. Baru beberapa tindak, ia toh menoleh dan berkata : "Aku
berlaku baik terhadapmu, begini rupa kau perlakukan aku. Coba pikir sendiri olehmu, kau
punyai liangsim atau tidak?"
Oen Tjeng menangis.
"Siapa kesudian kau berlaku baik kepadaku?" kata dia. "Jikalau kau tidak suka lihat
padaku, pergi kau minta semua yaya usir aku dari sini! Aku akan berdiam disini bersama
saudara Wan ini! Pergi kau mengadu kepada yaya semua, aku tak takut!"
Oen Tjheng menghela napas, lantas ia ngeloyor pergi. Ia tunduk, nampaknya ia berduka
sekali.
Oen Tjeng kembali kedalam paseban dan duduk.
"Kenapa kau bersikap begini kepada kandamu?" tanya Sin Tjie.
"Dia bukannya engko kandungku!" sahut Oen Tjeng. "Ibuku ada dari keluarga Oen, dan
disini ada rumahnya engkong luarku. Dia adalah anaknya engko tjintong ibu. Maka
benarnya dia adalah kakak misanku. Coba aku punyakan ayah, pasti kami punyakan
rumah sendiri, tak usah kami tinggal dirumah lain orang dimana kita jadi terima
penghinaan."
Ia menangis pula.
Sin Tjie tetap heran, terutama atas perangainya yang aneh ini.
"Aku lihat dia bersikap baik terhadapmu, adalah kau, kau yang berlaku galak
terhadapnya..." katanya.
Oen Tjeng angkat kepalanya, tiba-tiba ia tertawa.
"Jikalau aku tidak galaki dia, dia bakal lakukan segala apa yang bukan-bukan!" jawabnya.
Walaupun ia merasa aneh atas kelakuan lucu tapi aneh ini, sebentar nangis, sebentar
tertawa, kapan Sin Tjie ingat dirinya, yang juga sebatang kara, ia jadi bersimpati terhadap
pemuda ini.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
"Juga ayahku orang telah aniaya hingga binasa," katanya. "Ketika itu aku Baru berumur
tujuh tahun. Ibuku pun meninggal dalam tahun itu..."
"Apakah kau telah menuntut balas?" tanya Oen Tjeng.
"Malu aku menerangkan, aku tak beruntung..."
"Jikalau kau hendak menuntut balas, aku nanti bantu padamu!" menyatakan Oen Tjeng.
"Tidak perduli musuhmu itu bagaimana liehay, aku pasti bantu kau!"
Sin Tjie sangat bersyukur, hingga ia cekal keras tangan orang.
"Terima kasih," kata dia.
Oen Tjeng tarik tangannya akan tetapi toh kena dicekal juga. Ia antapkan.
"Dalam hal boegee kau terlebih pandai sepuluh lipat daripadaku," kata pemuda she Oen.
"Akan tetapi mengenai penghidupan dalam kalangan sungai telaga, kau rupanya masih
asing sekali, maka itu dibelakang hari, aku nanti bantu kau dengan pikiran."
"Kau baik sekali. Aku tak punya kawan yang usianya berimbang, Baru sekarang aku
menemui kau..."
"Melainkan adatku jelek," mengakui Oen Tjeng sambil tunduk. "Aku kuatir nanti datang
suatu hari yang aku berbuat salah terhadapmu..."
"Aku pandang kau sebagai sahabat, aku tahu tabeatmu ini, umpama kau kejadian berbuat
salah, aku tak akan buat perhatian," Sin Tjie bilang.
Oen Tjeng jadi sangat girang, ia menghela napas lega.
"Adalah didalam hal ini yang hatiku tak tenang," ia bilang.
Sin Tjie lihat perubahan sikap orang. Sekarang Oen Tjeng jadi sangat lemah-lembut,
lenyap ketelengasannya waktu ditengah sungai.
"Aku hendak bicara sama kau, saudara Oen, entah kau suka dengar atau tidak..." katanya.
"Didalam dunia ini, cuma tiga orang jang aku dengar perkataannya," sahut anak muda itu.
"Yang pertama adalah yayaku, yang kedua ibuku, dan yang ketiga...kau!"
Hatinya Sin Tjie tergerak.
"Nyata kau hargai aku," katanya. "Sebenarnya, perkataan siapa juga, asal yang pantas,
harus kita dengar."
"Hm, tak mau aku sembarang dengar! Siapa perlakukan baik padaku, asal aku...aku suka
padanya, tidak perduli kata-katanya pantas atau tidak, aku suka dengar dia. Jikalau
manusia yang aku jemu, biar dia omong pantas, tidak nanti aku dengar!"
Sin Tjie tertawa.
"Kau bertabeat bocah! Berapa usiamu sekarang?"
"Delapan belas tahun. Kau?"
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
"Aku lebih tua dua tahun."
Oen Tjeng tunduk, mendadak wajahnya berubah merah.
"Aku tidak punya engko, apa tidak baik jikalau kita angkat saudara?" ia bicara dengan
pelahan, masih ia tunduk.
Sin Tjie ada terlalu teliti untuk segera terima baik tawaran itu. Ia masih belum ketahui jelas
pemuda ini sekalipun orang sendirinya telah mempercayainya.
Oen Tjeng tidak dapat jawaban, ia bangun berdiri, mendadak ia lari.
Sin Tjie terkejut, ia memburu. Ia lihat orang lari keatas puncak.
"Ia beradat keras sekali. Tak dapat dia disinggung, tak boleh dia tak terkabul
keinginannya..."
Ia jadi kuatir pemuda itu nampak bencana, maka ia memburu dengan cepat, kali ini ia
gunai ilmu entengi tubuh, atau ilmu lari keras, ajaran Bhok Siang Toodjin. Maka dalam
beberapa rintasan saja, sudah dapat ia menyandak, malah ia segera mendahului, akan
menghalang disebelah depan.
"Adik Oen, kau gusar kepadaku?" tanyanya.
Mendengar ia dipanggil "adik", Oen Tjeng girang dengan tiba-tiba. Ia berhenti lari, lantas ia
duduk.
"Kau tidak lihat mata padaku, kenapa kau panggil aku adik?" tanya dia.
"Kapan aku tak lihat mata padamu?" balas tanya Sin Tjie. "Mari, mari, mari, disini saja kita
angkat saudara!"
Benar-benar keduanya berdiri berendeng, lalu mereka paykoei dengan berbareng,
menghadap si Puteri Malam, akan angkat sumpah sebagai saudara, untuk hidup senang
dan susah ber-sama-sama. Kemudian mereka berbangkit. Lantas kepada Sin Tjie, Oen
Tjeng memberi hormat sambil menjura seraya memanggil: "Toako!" Suaranya pelahan.
Sin Tjie balas hormat itu.
"Baik aku panggil kau djie-tee," ia bilang. Djie-tee adalah adik. "Sekarang sudah jauh
malam, mari kita pulang dan tidur."
Oen Tjeng menurut lantas mereka balik ke paseban, untuk benahkan naya, lalu dengan
bergandengan tangan, mereka lari pulang.
"Jangan kau banguni ibu, kita tidur disini saja," kata Sin Tjie sesampainya mereka didalam
kamar.
Mukanya Oen Tjeng merah mendadak, tangannya menolak.
"Kau....kau...." katanya yang terus tertawa. "Sampai besok..."
Dia lari keluar kamar, hingga anak muda kita menjadi melengak.
"Aneh!" pikirnya.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Besoknya pagi-pagi, Sin Tjie sudah bangun seperti biasa, terus ia bercokol diatas
pembaringan, untuk bersamedi, tapi ketika Goat Hoa muncul dengan tiamsim dan air, ia
loncat turun.
"Terima kasih," kata ia kepada kacung itu.
Kemudian, selagi anak muda ini dahar tiamsim, Oen Tjeng muncul didalam kamarnya.
"Toako, di luar ada datang satu nona, "katanya sambil tertawa. "Katanya dia datang untuk
menagih emas. Mari kita lihat."
"Baik," sahut Sin Tjie.
Maka keduanya lantas pergi keluar, ke thia besar. Disini mereka saksikan satu
pertempuran dahsyat : Oen Tjheng sedang layani satu nona. Dikedua pinggiran dua orang
tua asyik menonton sambil duduk. Orang tua yang satu menyekal sebatang tongkat, yang
lain bertangan kosong.
Oen Tjeng hampirkan orang tua yang memegang tongkat dikuping siapa ia terus berbisik,
atas mana orang tua itu menoleh kepada Sin Tjie, untuk dipandang dengan perhatian,
sesudah mana, dia manggut-manggut.
Sin Tjie lihat wanita yang lagi bertanding itu, yang ia taksir umurnya delapan atau
sembilan-belas tahun, kedua belah pipinya bersemu merah, parasnya cantik sekali. Ia
menduga-duga, siapa nona itu.
Pertempuran itu berlangsung sepuluh jurus lebih, dua-dua tetap tangguh nampaknya.
Sekonyong-konyong hati Sin Tjie tergerak, ia bersangsi.
Nona itu tiba-tiba merangsek, ujung pedangnya menyambar kearah pundak Oen Tjheng.
Mereka memang berkelahi dengan gunai senjata tajam. Gegaman Oen Tjheng adalah tantoo,
golok sebatang. Tusukan itu hebat sekali, tapi yang ditusuk segera menangkis.
Jikalau pedang kena tertangkis, mestinya terpental. Tapi si nona gesit dan liehay, tak
tunggu pedangnya disampok, dia telah putar itu, untuk dikelitkan akan diteruskan
menusuk leher! Oen Tjheng kaget, ia mencelat mundur tiga tindak.
Masih si nona tak mau berhenti, dia juga loncat akan menyusul, akan menusuk pula, buat
menabas beberapa kali ketika tusukannya lolos dan beberapa tabasannya tidak memberi
hasil. Desakannya itu ada sangat membahayakan.
Sekarang Sin Tjie sudah lihat nyata gerak-gerakan tubuh orang, kaki dan tangan. Nona itu
bukan murid dari Hoa San Pay akan tetapi sedikitnya dia mesti pernah terima didikan dari
salah satu murid Hoa San Pay itu, kalau tidak, tidak nanti dia sanggup layani terus pada
Oen Tjheng. Tidak perduli dia garang, pedangnya liehay, akan tetapi didalam hal latihan
dan ketenangan, dia bukan tandingannya pemuda she Oen ini, yang hatinya mantap.
Oen Tjeng pun lihat si nona bukan lawannya itu kakak misan, maka sambil bersenyum
tawar, dia kata seorang diri : "Hm, dengan kepandaian seperti ini berani datang untuk
menagih emas!..."
Memang, setelah gagalnya desakannya itu, si nona mulai kendor gerakannya, tetapi
didepan ia, Oen Tjheng tetap seperti biasa, malah sekarang, pemuda ini mulai mendesak,
satu bacokan demi satu bacokan yang mengancam sekali.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Sin Tjie lihat keadaan telah sampai disaat paling genting, mendadakan ia lompat maju
kedalam kalangan, menyelak diantara kedua orang yang lagi bertempur itu. Ia menempuh
bahaya, karena justru itu, pedang dan golok lagi saling sambar, hingga dia mesti menjadi
talenan.
Oen Tjeng kaget hingga ia menjerit.
Kedua orang tua juga loncat bangun dari kursi mereka, akan tetapi mereka masih tak
sempat memburu untuk mencegah perbuatan berbahaya itu.
Akan tetapi Sin Tjie tak tampak bencana walaupun golok dan pedang sambar ia. Dengan
tangan kanan, dengan pelahan, ia tolak lengannya Oen Tjheng. Dengan tangan kiri,
dengan pelahan juga, ia sambuti lengannya si nona. Ia bebas dari serangan sebab segera
ia mendak diantara mereka, cuma kedua tangannya membujur keatas.
Dengan tangkisan semacam ini, tidak ampun lagi, kedua tangan dari dua-dua penyerang
kena tertolak mundur, dengan begitu, dengan sendirinya juga, pedang dan golok mereka
tak dapat meminta korban.
Coba ia inginkan itu, dengan leluasa Sin Tjie bisa teruskan merampas pedang dan golok
orang itu, tapi ia sudah tidak berbuat demikian, ia kuatir Oen Tjheng mendapat malu dan
menjadi tak senang. Juga dengan cara ini, ia telah membuat kaget dua orang yang adu
jiwa itu, sebab tidak saja tangan mereka tertolak, tubuh mereka juga mesti mundur
beberapa tindak, supaja mereka tak usah rubuh terbalik. Tanpa merasa, tangkisan Sin Tjie
telah menggempur juga kuda-kuda mereka itu. Maka mereka menjadi kaget dan heran,
mereka menjadi gusar juga.
Oen Tjheng gusar berhubung dengan kejadian semalam dipuncak dimana ia tak dapat
muka dari adik misannya ia malu sendirinya terhadap pemuda tetamunya itu.
Si nona tak dikenal menjadi gusar karena ia menyangka Sin Tjie, yang keluar dari dalam,
adalah konconya lawan itu. Akan tetapi ia insyaf kegagahan orang itu, ia tahu ia tak bakal
berhasil, dari itu bukannya ia menegur atau menyerang, ia hanya loncat pula, mundur,
untuk angkat kaki.
"Nona, tunggu dulu!" Sin Tjie mencegah apabila ia lihat sikap orang. "Aku hendak bicara!"
"Tak dapat aku lawan kamu!" berseru nona itu dalam murkanya. "Bakal ada lain orang
yang terlebih pandai dariku, yang akan datang pula akan menagih emas! Kau ingin apa?"
Sin Tjie menjura kepada nona itu.
"Jangan gusar, nona," berkata dia. "Aku ingin ketahui she dan namamu yang terhormat..."
"Foei!" si nona berludah. "Siapa sudi ngobrol denganmu!"
Dengan satu loncatan, nona ini mencelat keluar pintu.
Sin Tjie menjejak dengan kaki kirinya, tubuhnya mencelat hingga ia dapat lewati nona itu,
didepan siapa ia menghalang.
"Jangan pergi dulu!" kata dia. "Aku bantu padamu!"
Nona itu melengak, ia mengawasi.
"Kau siapa?" tanya dia.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
"Aku orang she Wan," jawab Sin Tjie.
Nona itu berdiam, ia mengawasi dengan matanya mencilak.
"Apakah kau kenal An Toa-nio?" tanya si nona.
Sin Tjie rasai tubuhnya seperti menggigil, telapakan tangannya panas.
"Aku Sin Tjie!" ia memperkenalkan diri. "Kau toh Siauw Hoei?"
Mendadak si nona kegirangan hingga ia lupa akan dirinya. Ia sambar tangannya si anak
muda dan tarik itu.
"Benar, benar!" serunya. "Kau benar-benar Wan Toako!"
Tapi segera si nona lepas pula cekalannya, mukanya menjadi merah. Ia jengah.
Oen Tjeng saksikan itu semua, ia menjadi tak leluasa sendirinya.
Oen Tjheng sebaliknya lantas berseru : "Aku kira kau siapa, saudara Wan, kau kiranya ada
mata-matanya Lie Tjoe Seng yang dikirim kepada kami disini!"
Sin Tjie tertjengang. Ia benar-benar tak mengerti.
"Aku kenal Giam Ong, itulah benar," kata dia. "Tapi itu tak dapat diartikan aku adalah
mata-mata dia. Nona ini ada sahabat lamaku, sudah lebih dari sepuluh tahun kami
berpisah dan tak pernah bertemu satu dengan lain. Kenapa kamu berdua bentrok?
Bagaimana jikalau aku beranikan diri untuk damaikan kamu kedua pihak."
"Jikalau dia keluarkan emas yang aku minta, baru urusan dapat diselesaikan," kata Siauw
Hoei.
"Apakah demikian gampang?" kata Oen Tjheng dengan mengejek.
"Saudara, mari aku ajar kenal," berkata Sin Tjie. "Nona ini ada nona An Siauw Hoei. Ketika
kami masih kecil, kami tinggal bersama. Sampai sekarang ini, sudah sepuluh tahun kami
tak pernah saling bertemu."
Dengan dingin Oen Tjheng awasi si nona, ia tidak memberi hormat, ia pun diam saja.
Tak enak hatinya Sin Tjie karena sikap orang itu.
"Bagaimana kau kenali aku?" pemuda ini lalu tanya si nona An.
"Itulah tanda diatas jidatmu!" jawab Siauw Hoei. "Bagaimana aku bisa lupakan itu? Ketika
kita masih kecil, ada datang orang hendak culik aku, dengan mati-matian kau tolong
padaku dan kau kena dilukai. Apakah kau telah lupa?"
Memang dijidatnya Sin Tjie ada sedikit tanda luka.
Anak muda ini tertawa, dia kata: "Pada hari itu kita sedang main masak-masakan dengan
pakai mangkok dan kwali kecil!"
Wajahnya Oen Tjeng menjadi berubah.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
"Pergilah kamu pasang omong, aku hendak masuk kedalam..." kata dia. Terang dia tidak
puas.
"Tunggu sebentar!" Sin Tjie mencegah. Ia kaget untuk sikapnya pemuda itu. "Siauw Hoei,
bagaimana duduknya maka kau jadi bentrok dengan Oen Toako ini?"
"Aku bersama...bersama Tjoei Soeheng..." kata Siauw Hoei. Tapi segera ia dipegat.
"Tjoei Soeheng?" demikian Sin Tjie. "Apa bukannya Siokhoe Tjoei Tjioe San?"
"Dia ada cucu keponakannya Siokhoe Tjoei Tjioe San," Siauw Hoei terangkan. "Kami
mengantari sejumlah uangnya Giam Ong untuk propinsi Tjiatkang. Dia ini orang busuk,
ditengah jalan dia merampasnya!..." Dia tuding Oen Tjeng.
Baru sekarang Sin Tjie ketahui, emasnya Oen Tjeng itu ada hartanya Giam Ong. Jangan
kata Giam Ong pernah sambut ia secara terhormat, dan gurunya - Tjoei Tjioe San - sedang
bantui Giam Ong itu, walaupun hanya karena Tjoei Tjio San, An Toa-nio dan Siauw Hoei
bertiga saja, pasti dia bantui pihaknya Siauw Hoei ini. Lain dari itu, emas itu Giam Ong
kirim jauh dari Siamsay ke Tjiatkang, mestinya itu ada penting sekali. Bukankah Giam Ong
lagi bergerak untuk tolong rakyat? Bagaimana ia bisa tak berikan bantuannya? Maka
lantas ia ambil putusannya, ia kata kepada Oen Tjeng : "Saudara, tolong kau lihat aku, baik
kau kembalikan emasnya itu."
"Hm!" Oen Tjeng jawab. "Kau ketemui dulu kedua yayaku ini, Baru kita bicara."
Mendengar kedua orang tua itu adalah yayanya Oen Tjeng (engkong), Sin Tjie pikir, harus
ia beri hormatnya, sebab ia toh telah angkat saudara dengan cucu mereka itu. Tidak ayal
lagi, ia hampirkan mereka didepan siapa ia paykoei.
Si orang tua, yang memegang tongkat, berseru : "Ah, mana aku sanggup terima
kehormatan ini? Saudara Wan, silakan bangun!"
Dimulut orang tua ini mengucap demikian, akan tetapi dengan kedua tangannya - setelah
ia senderkan tongkatnya dipinggiran kursi - ia pegang kedua ujung bahu si anak muda,
untuk dikasih bangun, untuk mana ia telah kerahkan tenaga khie-kangnya.
Sin tjie terkejut kapan ia rasai cekalan yang keras, yang membikin tubuhnya seperti
hendak terangkat, apabila ia diam saja, tentu tubuhnya bakal terapung tinggi. Maka untuk
mencegah, ia lekas-lekas kerahkan juga tenaganya. Secara begini, tanpa terganggu, ia
bisa manggut terus sampai empat kali.
Oran tua itu kaget dalam hatinya.
"Liehay khiekangnya anak ini," berpikir ia. "Dengan latihanku dari puluhan tahun masih
aku tidak sanggup angkat tubuhnya..." Maka ia lantas saja tertawa berkakakan dan terus
kata: "Tjeng-djie bilang saudara Wan mempunyai boegee liehay, itulah benar!" Artinya
Tjeng-djie adalah "anak Tjeng" atau "si Tjeng".
"Inilah sam-yaya, "Oen Tjeng terangkan. Kemudian ia menunjuk kepada orang tua yang
bertangan kosong. "Ini adalah Ngo-yaya," ia tambahkan.
"Rupanya mereka ini adalah dua diantara Ngo-tjouw dari Tjio Liang Pay," pikir Sin Tjie.
"Tjouw" berarti ketua atau leluhur kaum. Maka itu, ia pun memanggil : "Yaya".
Sam-yaya itu, "engkong" ketiga, ada Oen Beng San, dan Ngo-yaya, ada Oen Beng Go.
Mereka tidak senang dipanggil "yaya", maka itu mereka diam saja.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Sin Tjie heran atas kelakuan itu, ia pun jadi tak senang.
"Ayahku ialah panglima pahlawan penentang musuh, jenderal di Liauwtong, dengan aku
angkat saudara dengan cucu kamu, itu toh tak merendahkan derajatmu?" kata dia dalam
hatinya. Tapi segera ia menoleh kepada Oen Tjeng: "Aku minta saudaraku, kau
kembalikanlah emasnya nona ini."
"Kau senantiasa menyebut nona, nona saja, tetapi lain orang, tak kau perhatikan!"
membalas Oen Tjeng.
"Saudara, kita yang meyakinkan ilmu silat, kita harus hargakan kehormatan," berkata pula
Sin Tjie. "Emas itu ada kepunyaan Giam Ong, waktu kau rampas, kau tidak ketahui,
karenanya, itu tak menjadi soal. Sekarang kita telah mengetahuinya, apabila kita tidak
mengembalikannya, itu artinya kita tak me-mandang-mandang."
Oen Beng San dan Oen Beng Go juga tidak tahu suatu apa mengenai emas itu, mereka
sangka itu ada satu kepunyaan suatu saudagar besar, Baru sekarang mereka ketahui dari
keterangan Siauw Hoei dan Sin Tjie, dengan sendirinya mereka pun merasa tak
enak.Memang mereka tahu pengaruhnya Giam Ong , yang ditunjang oleh banyak sekali
orang-orang kang-ouw kenamaan. Mereka mengerti, apabila mereka tetap tidak
mengembalikannya, dibelakang hari mesti tak henti-hentinya datang orang-orang yang
akan menagihnya. Dan inilah berbahaya untuk keselamatan mereka.
Oen Beng San lantas tertawa. Dia berkata kepada Sin Tjie : "Dengan memandang kepada
saudara Wan, pulangilah!"
Kata-kata ini ditujukan kepada Oen Tjeng.
"Tidak, Sam-yaya, itu tak bisa jadi!" kata cucu ini.
"Kau telah berikan separuh kepadaku, yang separuh itu aku akan kembalikan lebih dahulu,
"kata Sin Tjie pada adik angkat ini.
"Jikalau kau sendiri yang inginkan itu, aku punya yang separuh lagi pun aku akan
serahkan padamu," jawab Oen Tjeng. "Siapa sih yang sudi berpandangan cupat? Siapa
sudi anggap emas beberapa ribu tail itu sebagai mustika? Tapi kalau dia yang inginkan,
tak suka aku menyerahkannya!" Dan dia tunjuk Siauw Hoei.
Nona An maju setindak. Ia jadi sangat gusar.
"Habis kau ingin bagaimana untuk kembalikan itu?" tanya dia dengan bengis. "Kau
sebutkan saja!"
Oen Tjeng tidak jawab nona itu, ia hanya pandang Sin Tjie.
"Sebenarnya, kau hendak bantu dia atau aku?" dia tegaskan toako itu.
Sin Tjie bersangsi tapi ia menjawab : "Aku tidak bantu siapa juga, aku cuma hendak turut
perkataan guruku..."
"Gurumu? Siapa itu gurumu?" Oen Tjeng tanya.
"Guruku ada orang penting dalam angkatan perangnya Giam Ong."
"Hm!" Oen Tjeng perdengarkan ejekannya. "Pulang pergi, kau toh bantui dia! Baik emas
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
itu ada disini! Dengan akal aku telah curi itu, maka juga, kau pun mesti gunai akal untuk
mencuri kembali! Aku kasi tempo tiga hari! Jikalau kau mempunyai kepandaian, kau
ambillah! Jikalau lewat tiga hari, aku tak akan sungkan-sungkan lagi!"
Sin Tjie segera tarik tangan baju Oen Tjeng.
"Adikku, mari!" berkata dia, jang terus mengajak orang ke satu pojok. "Tadi malam kau
bilang kau dengar perkataanku, kenapa sekarang, belum selang setengah harian, kau
sudah berubah?"
"Jikalau kau perlakukan aku baik, aku pasti dengar kata-katamu," sahut Oen Tjeng.
"Kenapa aku tak perlakukan baik padamu?" tanya Sin Tjie. "Apa benar tak dapat aku ambil
emas itu?"
Kedua matanya pemuda Oen itu menjadi merah.
"Kau bertemu sama sahabat lama, lantas kau tidak pandang ornag lagi," dia kata." Bisa
apa jikalau aku kangkangi harta Giam Ong? Paling juga orang bunuh aku! Ya, memang
dalam hidupku ini, tak ada orang mengasihani aku..."
Hampir airmatanya pemuda ini keluar meleleh.
Sin Tjie berkasihan tapi ia tidak puas.
"Kau adalah saudara angkatku, dia adalah anaknya sahabatku," kata dia dengan
penjelasannya. "Dua-dua aku pandang sama, tidak ada yang aku bedakan lebih tebal atau
lebih tipis, kenapa kau jadi begini rupa?"
"Sudahlah, jangan banyak omong, dalam tempo tiga hari, kau datanglah curi emas itu!"
Oen Tjeng pegat.
Masih Sin Tjie hendak tarik tangan orang akan tetapi kali ini Oen Tjeng halau tangannya
dan lantas lari kedalam.
Oleh karena perdamaian gagal, terpaksa Sin Tjie ajak Siauw Hoei berlalu dari rumah
keluarga Oen itu, bersama-sama mereka pergi kerumahnya seorang tani untuk
menumpang nginap. Disini Sin Tjie tanya duduknya emas itu. Siauw Hoei ceritakan dia
antar bertiga, entah bagaimana, ditengah jalan mereka terpisah, hingga akhirnya emas
didapati Oen Tjeng.
Siauw Hoei cerita tidak terlalu jelas, agaknya dia ragu-ragu maka Sin Tjie tidak tanya melitmelit.
Pada malam hari itu, kira-kira jam dua, Sin Tjie ajak nona An pergi kerumah keluarga Oen.
Begitu ia lompat naik keatas genteng, ia dapatkan api dipasang terang-terang diseluruh
thia yang lebar. Oen Beng San dan Oen Beng Go, dua saudara, duduk makan-minum
bersama, Oen Tjheng dan Oen Tjeng dampingi mereka. Ia tidak tahu emas disimpan
dimana, ia mencoba pasang kuping, supaya ia bisa peroleh sedikit penghunjukkan.
Tiba-tiba Oen Tjeng, dengan tertawa dingin, kata seorang diri : "Emas ada disini! Siapa
punyakan kepandaian, dia boleh ambil!"
Siauw Hoei betot Sin Tjie yang berada disebelah depannya.
"Rupanya dia tahu kita sudah berada disini," ia berbisik.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Sin Tjie manggut akan tetapi matanya terus mengawasi kearah thia. Maka ia bisa lihat Oen
Tjeng keluarkan dua bungkusan, untuk diletaki diatas meja, buat segera dibuka, dibeber,
hingga diantara sinar api bergemirlapanlah cahaya emas berkilau-kilau. Sesudah beber
emas itu, Oen Tjeng duduk, dituruti oleh Oen Tjheng, kakaknya. Mereka juga letaki golok
dan pedang mereka, untuk gantikan itu dengan cawan arak, buat mereka turut minum dan
makan.
"Begini rupa mereka bikin penjagaan, tanpa kekerasan, cara bagaimana emas itu bisa
dapat dirampas?" pikir Sin Tjie.
Siauw Hoei pun terdiam.
Lebih dari setengah jam mereka sudah menantikan, orang-orang dibawah itu masih tidak
hendak berlalu, maka akhirnya Sin Tjie tarik tangannya Siauw Hoei , untuk diajak pulang
kerumah penginapan mereka. Ia tahu, malam itu mereka tidak berdaya... Dihari kedua,
paginya, Siauw Hoei pasang omong dengan Sin Tjie. Ia beritahukan bahwa ibunya ada
sehat walafiat dan ibu itu sering ingat si anak muda.
Sin Tjie rogoh sakunya, akan keluarkan sepotong gelang emas yang kecil.
"Inilah pemberian ibumu kepadaku," kata dia. "Kau lihat, dulu lenganku ada sebesar
gelang ini tetapi sekarang?...."
Siauw Hoei tertawa. Ia awasi lengan orang.
"Engko Sin Tjie, selama ini kau kerjakan apa saja?" tanya dia.
"Setiap hari aku belajar silat, lain kerjaan tak ada," Sin Tjie sahuti.
"Pantas ilmu silatmu liehay sekali!" si nona memuji. "Ketika kemarin kau tolak aku, kudakudaku
turut gempur..."
"Tapi, kenapa kau pun gunai ilmu pedang Hoa San Pay?" Sin Tjie tanya. "Siapa ajarkan itu
padamu?"
Matanya si nona merah dengan tiba-tiba, ia berpaling kelain arah.
"Tjoei Soeko yang ajari..."sahut ia selang sesaat. "Dia ada dari Hoa San Pay."
"Apakah dia mendapat luka?" Sin Tjie tanya. "Mengapa kau berduka?"
"Mana dia mendapat luka?" balik si nona. "Dia tidak perdulikan orang, dia pisahkan diri
ditengah jalan..."
Malamnya, kedua anak muda ini berangkat pula kerumah keluarga Oen. Di thia besar tetap
ada menanti empat orang, melainkan si orang-orang tua telah bertukar orang-orangnya.
Mestinya mereka ini berdua ada yang lain-lainnya dari Ngo-tjouw, kelima tetuanya
keluarga itu. Dan tentunya, tiga yang lain lagi sembunyi.
"Ada orang-orang liehay bersembunyi disini, kita mesti waspada," Sin Tjie kisiki Siauw
Hoei.
Si nona manggut, alisnya mengkerut. Tiba-tiba ia dapat pikir sesuatu, lantas saja ia loncat
turun.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Sin Tjie berkuatir untuk nona ini, ia segera menyusul, mengikuti.
Siauw Hoei pergi kebelakang dapur. Disini ia nyalakan api, lantas ia sulut setumpuk kayu
bakar, maka tak berselang lama, api itu lantas berkobar-kobar, menjilat-jilat keatas.
Sekejab saja keluarga Oen menjadi kacau. Sejumlah tjhungteng, dengan membawa air dan
gala, lari kearah dapur, untuk padamkan api.
Siauw Hoei lari balik kedepan, Sin Tjie bersama dia. Pemuda ini ketahui akalnya si pemudi.
Di dalam thia, api lilin terus menyala terang, tetapi empat penjaganya telah tidak ada.
Siauw Hoei girang tak kepalang.
"Mereka pergi padamkan api!" berseru dia.
Dengan bergelantungan dipayon, nona ini loncat turun kebawah, dari antara jendela, ia
loncat masuk kedalam thia.
Sin Tjie telad contohnya nona ini.
Sebentar saja mereka berdua sudah sampai dipinggir meja. Siauw Hoei maju lagi setindak,
tangannya berbareng diulur, untuk jumput emas.
Sin Tjie kaget ketika ia menaruh kakinya, ia rasai menginjak tempat yang tak berdasar
kuat. Segera ia insyaf kepada lobang jebakan. Ia menyambar dengan tangan kanannya,
untuk tolong Siauw Hoei, sembari menyambar, ia pun berloncat. Tapi ia sudah terlambat,
sambarannya gagal. Ia sendiri telah sampai di tiang tengah, dengan tangan kiri, ia sambar
tiang itu, kaki kirinya diletaki didasarnya tiang.
Sedetik saja, papan jebakan telah membalik diri, dengan Siauw Hoei telah kejeblos
kedalam, lenyap dari muka lantai.
Kaget dan berkuatir, Sin Tjie loncat ke jendela. Adalah niatan dia untuk cari pesawat
rahasianya jebakan itu, untuk tolongi Siauw Hoei. Ia Baru sampai diluar jendela atau ada
angin sambar ia. Ia mengerti, ada orang bokong padanya. Dengan sebat ia menangkis
dengan tangan kanan, hingga tangannya itu bentrok dengan tangan si penyerang, yang
belum dikenal siapa. Penyerang itu agaknya mencoba membetot tapi, penyerangnya itu,
yang tersempar, rubuh tubuhnya, hanya saking gesit, dia ini bisa berlompat bangun
dengan cepat, malah dia segera lompat naik ke genteng juga, untuk menyusul.
Begitu lekas ia ada diatas genteng dan memandang kesekitarnya, Sin Tjie bergidik tanpa
kedinginan. Nyata ia telah dikurung oleh sejumlah orang, yang tubuhnya kate dan
jangkung tidak merata. Iapun lihat, orang yang barusan ia kena sempar rubuh Oen Tjheng
adanya. Ia insyaf bahwa ia sedang terancam melainkan ia belum tahu, bagaimana sikap
keluarga Oen itu. Maka dengan berdiam diri, ia awasi mereka itu - ia berlaku tenang dan
waspada.
Dari lima tertua pemuda kita sudah kenal dua, ialah Sam-tjouw Oen Beng San dan Ngotjouw
Oen Beng Go. Dari tiga yang lian, ia lihat satu yang bertubuh kekar luar biasa, siapa
sekarang berdiri ditengah-tengah. Dia ini jauh lebih tinggi-besar dari empat lainnya. Ketika
dia tertawa dengan mendadak, suaranya pun nyaring sekali.
"Kami berlima saudara tinggal didusun yang sepi tetapi sekarang ada orang sebawahan
yang liehay dari Giam Ong berkunjung kepada kami, inilah ada satu kehormatan yang
besar sekali!" demikian suaranya, yang tak kalah nyaringnya, bagaikan suara lonceng
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
saja.
Segera Sin Tjie maju setindak, untuk beri hormat sambil menjura kepada orang tua itu.
"Aku yang muda menghadap tjianpwee," kata dia. Ia tidak mau berlutut, karena ia kuatir
nanti ada yang bokong. Ia memberi hormat supaya orang tidak katakan dia tidak kenal
adat sopan-santun.
Oen Tjeng berada diantara pihak pengurung, ia majukan diri.
"Ini Toa-yaya!" kata dia, dengan suaranya yang cempreng. "Ini djie-yaya. Dan ini Soeyaya."
Sin Tjie menjura kepada sesuatu yaya yang disebutkan.
Yang tertua dari Ngo Tjouw dari Tjio Liang Pay ialah Oen Beng Tat, yang kedua Oen Beng
Gie, dan yang keempat Oen Beng Sie. Mereka ini, bersama Sam-yaya dan Ngo-yaya balas
hormat itu. Walaupun begitu, mereka mengawasi dengan tajam.
Diantara kelima Ngo-tjouw, Oen Beng Gie yang kedua, adalah yang paling keras
perangainya. Begitulah dia ini menegur: "Kau masih muda sekali tapi nyalimu nyata tak
kecil, kau berani melepas api membakar rumahku!"
"Itulah perbuatan sembrono dari kawanku," mengaku Sin Tjie dengan sikapnya yang
menghormat. "Aku merasa sangat menyesal. Syukur api tak membahayakan hebat. Biarlah
besok aku yang muda datang pula kemari untuk minta maaf. "Dengan sebenarnya, api
telah lantas dapat dibikin padam, tak menjalar lebih jauh.
Oen Beng Sie, tertua yang keempat, bertubuh jangkung dan kurus, dia adalah engkongnya
Oen Tjheng, potongan tubuhnya romannya, mirip benar dengan cucunya itu. Dia ini
menyambungi saudaranya bicara.
"Kami tinggal disini sudah beberapa puluh tahun," demikian katanya. "Selama sekian lama
itu, cuma ada orang-orang yang datang kemari untuk menghunjuk hormat, belum pernah
ada satu bocah yang berani berlaku kurang ajar! Siapa itu gurumu? Kenapa kau begini tak
tahu aturan?"
"Guruku sekarang berada dalam pasukan perangnya Giam Ong," Sin Tjie jawab, tetap
dengan hormat, tak perduli orang tegur ia secara bengis. "Aku mohon tjianpwee beramai
sudi kembalikan emasnya Giam Ong itu. Aku janji lain hari akan minta guruku menulis
surat kepada tjianpwee untuk haturkan terima kasihnya."
Pemuda ini tidak hendak sebutkan nama gurunya.
"Siapa itu gurumu?" tanya Oen Beng Tat, tertua yang pertama.
"Guruku itu jarang sekali berkelana dalam dunia Kang-ouw, karena itu tak berani aku yang
muda menyebutkan namanya," Sin Tjie jawab dengan hormatnya tak pernah ketinggalan.
"Hm!" berseru Oen Beng Gie, tertua yang kedua. "Dengan kau tidak sudi menyebutkannya,
mustahil kami tak mendapat tahu? Lam Yang, coba kau main-main dengan bocah ini!"
Dari antara rombongan itu keluar satu orang umur empat-puluh lebih, mukanya
berewokan. Dia adalah putera kedua dari Djie-yaya Oen Beng Gie ini. Dalam angkatan
kedua dari Tjio Liang Pay, dia ternama. Dia sudah lantas lompat kedepan Sin Tjie, untuk
terus kirim tonjokannya kearah muka.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Sin Tjie berkelit, atas mana menyusullah kepalan kiri orang she Oen itu.
Pemuda kita lantas berpikir: "Mereka berjumlah banyak, jikalau mereka maju satu persatu,
aku bisa celaka karena lelah. Jikalau aku tidak berlaku cepat, sulit untuk aku loloskan diri."
Maka itu, ketika kepalan kiri lawan sampai, mendadak Sin Tjie angkat tangan kanannya,
untuk menangkis sambil teruskan menyekal kepalan itu, setelah mana, ia menyempar
kebelakang sambil tubuhnya sendiri menyamping.
Lam Yang tidak sempat lepaskan kepalannya itu, belum sampai ia menancap kaki,
tubuhnya sudah terbetot kedepan, nyelonong, ketika kakinya injak genteng, genteng itu
pecah dan ia terjeblos dan rubuh. Sukur untuk dia, Beng Go, sang paman yang kelima,
masih keburu lompat untuk menarik dia, kalau tidak, tidak ampun lagi, dia pasti ngusruk
kebawah genteng. Mukanya menjadi merah bahna malu dan gusar, tidak ayal lagi, ia maju
menyerang pula. Ia menjadi sangat penasaran.
Sin Tjie sudah bersiap. Tak bergeming dia ketika lawan mengancam. Hanya ketika
serangan datang, ia putar tubuhnya, ia melengak, sambil berbuat mana, kakinya yang kiri
berbareng terangkat! Segera, Oen Lam Yang rubuh tengkurap! Menyusul sontekan kaki
kirinya itu, Sin Tjie pun ulur tangan kanannya, selagi kaki kirinya ditarik pulang, tangan
kanannya sudah sambar baju dibelakang penyerangnya itu, ia menjambak, ia mengangkat.
Maka tak sampailah mukanya Lam Yang beradu dengan genteng, malah dia terangkat
hingga dia dapat berdiri pula.
Bukan main mendongkolnya orang she Oen ini, tetapi tak dapat ia berkelahi lebih jauh,
maka setelah awasi si anak muda dengan mata melotot, ia mundur sendirinya.
"Ha, bocah ini benar-benar liehay!" berseru Beng Gie dalam gusarnya. "Biarlah loohoe
mencoba-coba main-main dengan muridnya seorang liehay!"
Djie-yaya ini segera juga geraki kedua tangannya, untuk mulai maju.
Dengan tiba-tiba, Oen Tjeng lompat kesamping orang tua itu, untuk berbisik : "Djie-yaya,
dia telah angkat saudara denganku, jangan kau lukai dia...."
"Setan cilik!" orang tua itu kata dengan sengit.
Masih Oen Tjeng cekal tangannya Beng Gie.
"Kau toh mengabulkan, Djie-yaya?" katanya.
"Kau lihat saja!" kata si orang tua dengan keras seraya tangannya menyempar, atas mana
pemuda itu terpelanting beberapa tindak, hampir saja dia rubuh tegruling.
Oen Beng Gie maju dua tindak kearah pemuda kita.
"Kau maju!" ia membentak.
"Aku tak berani," sahut Sin Tjie seraya ia rangkap kedua tangannya.
"Kau tak hendak menyebutkan nama gurumu, maka kau seranglah aku tiga jurus," Beng
Gie kata. "Nanti aku lihat, bisa atau tidak aku kenali siapa gurumu itu."
Panas juga hatinya Sin Tjie melihat kejumawaan orang tua ini.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
"Jikalau begitu, biarlah aku berlaku kurang ajar," kata dia akhirnya. "Apa jang aku bisa ada
sangat berbatas, karena itu, aku minta tjianpwee menaruh belas kasihan terhadapku..."
"Lekas mulai!" membentak pula Oen Beng Gie. "Siapa kesudian ngobrol denganmu!"
Sin Tjie segera menjura hingga dalam, sampai tangan bajunya mengenai genteng,
kemudian setelah ia mulai berbangkit, dengan tiba-tiba tangan bajunya itu menyambar
kearah si orang tua agung-agungan itu. Serangan itu mendatangkan siuran angin keras.
Beng Gie terperanjat. Inilah ia tidak sangka. Segera ia ulur tangannya, akan sambar tangan
baju itu.
Sin Tjie menyambar dengan tangan kiri, ketika ia disambar, ia berjingkrak, tangan kirinya
itu ditarik pulang, akan tetapi sebagai gantinya, tangan bajunya yang kanan menyambar
pula dengan tak kalah sebatnya, mengarah kemuka! Kembali Beng Gie terperanjat.
Kembali satu serangan sebat diluar dugaan. Tak sempat dia menangkis. Sedang dia
mempunyai latihan dari beberapa puluh tahun, selama separuh umurnya, ia hidup diantara
"gunung golok dan rimba tumbak," pengalamannya ada banyak sekali. Terpaksa ia
ngelengak kebelakang untuk luputkan diri dari sambaran itu.
Sin Tjie tidak mau kasih ketika untuk orang balas serang dia, segera dia memutar tubuh.
Oen Beng Gie sudah berdiri pula dengan tetap, ia lihat gerakan orang ia duga anak muda
ini hendak angkat langkah panjang, maka ia memikir untuk menghajar supaya pemuda itu
tak dapat lolos. Belum sampai tangan kanannya dikeluarkan, mendadak ia rasai pula
sambaran angin, kali ini ia tampak, kedua tangan Sin Tjie bergerak dengan berbareng,
mirip dengan sambaran ular, kedua tangan itu nyelusup kearah dua iganya! "Itulah tangan
baju belaka, apa artinya umpama kena terserang?" pikir jago tua ini. Maka ia ulur kedua
tangannya, dengan niat sambar tangan baju orang itu, untuk digentak.
Cepat luar biasa, kedua ujung tangan baju dari Sin Tjie sudah sampai pada sasarannya,
mengenai dengan jitu kepada atasan pinggang Djie-yaya dari Oen Tjeng. Dua kali telah
terdengar siara nyaring karena sambaran jitu itu.
Berbareng dengan kaget, Oen Beng Gie rasai ia sesemutan. Dilain pihak, lawannya sudah
loncat mundur. Setelah putar tubuhnya, anak muda ini mengawasi sambil berdiri tegak.
Oen Tjeng telah saksikan gerakan tubuh yang sangat gesit dan luar biasa itu, ia heran
hingga hampir ia berseru.
Oen Beng Gie malu dan mendongkol sekali. Tidak perduli ia adalah seorang dengan
banyak pengalaman, ia masih tidak bisa kenali, ilmu silat apa itu yang digunai si anak
muda, yang main ujung baju... Sebenarnya, pada pertama kali, Sin Tjie sudah gunai ilmu
silat Hok-houw-tjiang dari Bok Djin Tjeng, yang kedua kali , itulah ilmu mengentengkan
tubuh pengajaran Bhok Siang Toodjin, dan yang ketiga kali adalah buah-hasil peryakinan
dari "Kim Coa Pit Kip" peninggalan Kim Coa Long-koen. Ini ada ilmu pukulan "Siang Coa
Coan ek" atau "Sepasang ular nyelusup ke ketiak", sedang kedua tangannya sengaja
diumpati didalam ujung tangan baju. Tentu sekali Oen Beng Gie bingung karenanya,
sedang pertempuran mereka ada seperti sejurus demi sejurus dan tak ambil tempo lama.
Juga Oen Beng Tat dan tiga saudara lainnya berdiri bengong, mereka saling mengawasi,
hati mereka penuh dengan keheranan.
Dalam murkanya, Oen Beng Gie menyerang pula secara sangat mendadak. Wajah masih
merah-padam, alis dan kumisnya bagaikan bangun berdiri. Tangannya menyambar seraya
perdengarkan angin berkesiur.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Dibawah sinar si Puteri Malam, Sin Tjie lihat kepala musuh seperti mengebulkan uap,
suatu tanda jago tua itu dikrumuni hawa-amarah meluap-luap, dan gerakan kakinya ayal
akan tetapi mantap, menunjuki lweekang yang telah mentjapai puncak kesempurnaan.
Melihat demikian, tak berani ia untuk permainkan pula orang tua itu.
Atas serangan hebat itu, pemuda ini berkelit sambil mendak kate. Dua kali ia bebaskan diri
secara demikian ketika serangan lain menyusul dengan tangan yang sebelahnya. Ia pun
secara diam-diam sudah lantas gulung tangan bajunya. Selanjutnya ia melayani dengan
Hok-houw-tjiang, ilmu pukulan "Menakluki harimau".
Setelah penyerangannya yang pertama dan kedua itu, serangan-serangan Oen Beng Gie
tak lagi sesebat sebagai semula, akan tetapi setiap pukulannya hebat, berat, saban-saban
ada angin yang mengikutinya atau mendahului.
Sin Tjie terperanjat apabila satu kali ia tampak tegas telapakan tangannya. Tangan itu
bersinarkan cahaya merah bagaikan darah.
"Ha, kiranya dia ahli tangan jahat!..." katanya dalam hati. Itulah "Tjoe-see-tjiang" (tangan
Tjoe-see) atau "Ang-see tjhioe" (tangan Pasir Merah). Ia ingat keterangan gurunya perihal
liehaynya ilmu pukulan itu, yang tak boleh mengenai sasaran atau orang akan bercelaka.
Karena ini, lantas ia ubah sikapnya. Ia berkelahi dengan kedua tangannya digeraki pergi
dan pulang dengan pesat sekali, dengan tak ada putusnya, untuk cegah desakan
berulang-ulang lawannya.
Selagi pertempuran berjalan sangat seru, mendadak Oen Beng Gie rasai sakit pada lengan
kanannya, tidak tempo lagi ia mencelat jauh, akan pisahkan diri, setelah mana, ia lihat
bagian tangannya yang sakit itu. Lengan itu merah dan bengkak! Ia mengerti bahwa ia
telah kena dibentur, tapi ia pun segera mengerti, orang telah berlaku baik kepadanya,
kalau tidak, tangan itu bisa bercelaka. Walaupun begini, ia mendongkol, cuma sekarang
tak lagi ia hendak lanjuti pertempuran itu.
Selagi pertempuran tertunda itu, Oen Beng San, Sam-yaya, maju hampirkan anak muda
kita.
"Wan Lian-hia," katanya dengan tenang, "begini muda usia kaum boegeemu liehay sekali.
Marilah, loohoe ingin sekali belajar kenal dengan menggunai alat-senjata!"
Lekas-lekas Sin Tjie berikan jawabannya.
"Tak berani aku yang muda datang kesini dengan membekal senjata," ia menampik.
Sam-yaya itu tertawa besar.
"Kau kenal baik adat istiadat," katanya. "Tentang kau bisalah dibilang, karena boegee
liehay, nyalimu jadi besar. Tidak apa. Mari kita pergi ke lian-boe-thia!"
Lain-boe-thia itu adalah thia atau ruangan untuk belajar silat.
Sembari mengundang, Oen Beng San loncat turun kebawah genteng. Tindakan ini diturut
oleh semua rombongannya.
Sin Tjie loncat turun , ia ikut masuk kedalam rumah.
Selagi mereka itu berjalan, Oen Tjeng dekati si anak muda, akan kisiki dia : "Didalam
tongkat ada senjata rahasianya!"
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Bercekat hatinya Sin Tjie.
Tidak lama sampailah mereka di lian-boe-thia. Sin Tjie tampak tiga thia yang besar
ditengah-tengah mana ada satu pekarangan yang lebar. Kesitu pun lantas berkumpul lainlain
anggauta dari keluarga Oen yang besar itu, karena keluarga ini punyakan anggotaanggota,
lelaki dan perempuan, yang semua gemar ilmu silat. Semua mereka hendak
nonton pertandingan. Malah diantara mereka kedapatan bocah-bocah umur tujuh atau
delapan tahun.
Orang-orang yang muncul paling belakang ada satu nyonya umur kurang-lebih empatpuluh
tahun, dia didampingi Goat Hoa, itu kacung perempuan yang ditugaskan melayani si
tetamu anak muda.
"Ibu!" Oen Tjeng memanggil seraya maju menghampirkan apabila ia lihat nyonya itu.
Njonya itu mempunyai wajah yang eilok tetapi ia nampaknya berduka, ia tidak sahuti Oen
Tjeng, ia cuma melirik, kelihatannya ia tidak gembira.
"Kau hendak gunai senjata apa, kau boleh pilih sendiri!" berkata Oen Beng San setelah
mereka sudah berkumpul. Ia menunjuk kesekitarnya dimana ada terdapat para-para serta
pelbagai gegaman.
Sin Tjie mengerti, urusan ada sangat sulit untuk diselesaikan, tetapi disebelah itu, tak
ingin ia melukai orang. Ini adalah pengalamannya yang pertama, baru mulai berkelana
sudah menghadapi kesulitan. Ia berpikir bagaimana ia harus ambil putusan.
Oen Tjeng lihat kesangsian Sin Tjie, ia kata : "Sam yayaku ini paling suka anak-anak muda,
tidak nanti dia lukai padamu..."
Tapi dia disenggapi ibunya : "Tjeng Tjeng, jangan banyak mulut!"
Kelihatan ibu itu gusar.
Oen Beng San menoleh kepada Oen Tjeng, dia kata : "Kita lihat saja masing-masing punya
untung!" Lalu ia tambahan pada Sin Tjie : "Saudara Wan, kau gunai pedang atau golok?"
Sin Tjie terdesak, ia mesti berikan jawabannya. Ia melihat ke sekitarnya. Tiba-tiba ia
tampak satu bocah lelaki umur enam atau tujuh tahun, yang sedang dituntun oleh Goat
Hoa. Mestinya bocah itu ada anggauta keluarga yang termuda. Anak itu lagi pegangi
sebatang pedang kayu jang dicat beraneka warna. Pasti itu ada pedang yang menjadi alat
permainan bocah itu. Lantas saja ia hampirkan bocah itu.
"Saudara cilik, mari kasi aku pinjam pakai pedangmu, sebentar saja," ia minta.
Bocah itu berani, ia tertawa, ia serahkan pedang-pedangannya itu. Setelah sambuti itu
pedang kayu, Sin Tjie hampirkan Oen Beng San.
"Tidak berani aku yang muda menghadapi lootjianpwee dengan golok atau tumbak tulen,
dari itu aku pinjam pakai ini pedang kayu, untuk kita berlatih beberapa jurus saja." Berkata
dia.
Pemuda ini bicara merendah dan halus, tetapi ia nampaknya sabar dan tenang.
(Bersambung bab ke 7)
Oen Beng San murka sampai hampir dia tak sanggup kendalikan diri lagi, maka sebagai
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
pelabi, dia tertawa ter-bahak-bahak.
"Sudah beberapa puluh tahun loohoe berkelana didunia kang-ouw, belum pernah loohoe
ketemui siapa juga yang berani memandang enteng tongkatku Liong-tauw Koay-thung!"
kata dia. "Baiklah! Apabila kau benar punyakan kepandaian, hayo dengan pedang kau, kau
tabas kutung tongkatku ini!"
Liong-tauw Koay-thung ada tongkat berkepala naga-nagaan. Berbareng dengan
berhentinya kata-kata jumawa itu, tongkat tersebut dipakai membabat kepinggang Sin Tjie.
Sambaran itu diiringi dengan sambarannya angin juga, yang bersuara nyaring.
Oen Tjeng menjerit ketika ia lihat serangan yaya-nya itu. Ia tampak tubuh Sin Tjie seperti
terbawa tongkat yang liehay itu. Akan tetapi belum sampai tubuhnya anak muda ini
terlempar, atau tahu-tahu pedang kayunya sudah menyambar lempang kemuka si
penyerang.
Oen Beng San mundur seraya tarik pulang tongkatnya, tetapi ia tidak cuma menarik saja,
sebaliknya, ia segera dapat juga maju pula, untuk totok ulu-hati orang! "Ha, kiranya
tongkat ini dapat juga dipakai sebagai alat penotok jalan darah!" pikir Sin Tjie sambil ia
berkelit. "Aku mesti waspada!"
Sambil berkelit, pemuda ini lantas membabat dengan pedang-pedangannya itu.
Kalau itu ada pedang benar dan mengenai dengan tepat, tangan lawan yang menyekal
tongkat mesti sapat semua jarinya. Akan tetapi Oen Beng San bukannya lawan lemah. Dia
tahu baik sekali, sekalipun hanya pedang-pedangan, kalau ia terbacok, ia bakal terluka
juga. Maka segera ia lepaskan tangannya yang kanan, hingga ujung tongkat jatuh ketanah
dan tinggal pangkalnya yang lain jang tercekal di tangan kiri, lalu dengan dibantu lagi
tangan kanan, ia ulangi serangan susulannya yang tidak kalah berbahayanya.
Ditangan orang liehay, tongkat itu jadi seperti bertambah-tambah beratnya, maka siapa
lacur kena terserang, celakalah dia.
Sin Tjie kagum melihat kegesitan dan keliehayan lawan itu, karenanya, ia jadi bertanding
dengan terlebih hati-hati.
Setiap serangan Oen Beng San menerbitkan sambaran angin keras, malah kalau kebetulan
ia mengemplang tempat kosong, batu lantai hancur terlabrak dan muncrat meletik
berhamburan. Coba itu mengenai tubuh manusia, bagaimana hebatnya.
Sin Tjie tidak perdulikan liehaynya tongkat, dia melayani dengan tubuhnya yang enteng,
dengan gerakannya yang cepat dan pesat, sehingga ia bagaikan kupu-kupu yang terbang
molos sana molos sini. Disebelah itu, pedangnya pun saban-saban mencari bagian-bagian
yang lowong dari anggauta-anggauta lawannya, untuk membalas.
Tanpa merasa, saking cepatnya, pertempuran telah melalui banyak jurus, sesudah mana,
Oen Beng San menjadi kelabakan sendirinya. Ia sudah buka mulut besar tetapi buktinya,
belum dapat ia rubuhkan lawan ini. Ia jadi ingat bagaimana tongkatnya ini yang dia buat
andalan, sudah angkat namanya di Kanglam, belum pernah dia menemui tandingan, tetapi
sekarang, ia seperti dilece-lece bocah cilik. Apakah nama baiknya tak akan runtuh
karenanya? Oleh karena memikir begini, dalam penasarannya, Beng San ubah caranya
berkelahi. Ia jadi berlaku sangat gesit, hingga ia seperti libat lawannya ini dengan
tongkatnya itu.
Semua penonton mundur sedikit, mereka merasai sambaran angin tak hentinya. Ada
diantaranya yang nyender pada tembok thia, supaya tidak sampai kena kelanggar....
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Setelah perubahan sikapnya jago tua itu, Sin Tjie merasa inilah musuh pertama yang
paling tangguh yang ia pernah ketemukan. Tak dapat ia dekati lawan, sedang dengan
pedang kayunya, tak bisa ia tabas tongkat itu.
"Tidak bisa lain, mesti aku gunai ajaran soehoe," pikir dia akhirnya. Dan lantas ia mulai
dengan perubahannya, hingga sekarang ia tampaknya bergerak lambat atau ayal.
Sebagai ahli, Oen Beng San bisa lihat kelambatan bergerak dari lawannya yang muda ini.
Ia jadi sangat girang. Ia tidak hendak mensia-siakan ketika lagi. Begitu terbuka ketikanya,
ia menyapu dengan hebat.
Nampaknya Sin Tjie sudah lelah, ayal segala gerak-geriknya, akan tetapi ketika
pinggangnya disapu, mendadak ia sambar ujung tongkat. Ia menggunai tangan kiri, ia
menyekal dengan keras, ia menarik dengan kaget sambil menekan, berbareng dengan
mana tangannya yang kanan, yang menyekal pedang-pedangan, menyambar langsung
kedepan.
"Bret!" demikian satu suara nyaring, dari pecahnya cita.
Dan bajunya Oen Beng San, tertua ketiga dari Tjio Liang Pay, robek karenanya! Masih Sin
Tjie berlaku murah hati, jikalau tidak, ujung pedang pasti sudah menyambar terus kedada!
Oen Beng San kaget berbareng ia rasai telapakan tangannya sakit disebabkan gentakan
Sin Tjie, karena ia berbelit, ia terpaksa lepaskan tongkatnya jang tercekal keras lawannya
itu.
Sin Tjie ada berhati mulia, tak mau ia bikin malu jago tua itu, selagi menarik pulang
pedangnya, ia sodorkan tangan kirinya, berikut tongkat ditangannya, akan kembalikan
tongkat itu. Kejadian ini dilakukan dengan cepat luar biasa, kecuali ahli silat, jarang ada
yang bisa lihat pertukaran tongkat itu.
Sam-yaya itu mendongkol sangat, begitu ia sambuti tongkatnya, begitu ia menyerang pula!
Sin Tjie terkejut, ia heran. Orang sudah kalah, kenapa orang masih berlaku begini tidak
berkepantasan? Tetapi tidak sempat ia berpikir. Dengan sebat ia egos tubuh kebelakang,
dengan lompat mundur sedikit untuk bebeaskan diri dari serangan seumpama bokongan
itu.
Masih jago tua itu tidak mau mengerti, ia tarik tongkatnya untuk lagi sekali dipakai
menyerang pula. Tapi sekarang berbareng terdengar suara "Ser!" tiga kali, dari mulut
naga2an dari tongkat itu melesatlah tiga batang paku baja, menherang kearah tiga
penjuru: atas, tengah dan bawah! Djarak diantara kedua orang itu ada dekat, karena
serangan senjata rahasia itu membarengi totokan tongkat.
Oen Tjeng kaget, sampai ia berseru diluar keinginannya, hampir ia berlompat kalau tidak
ibunya tarik tangannya.
Sin Tjie terkejut, inilah ia tidak sangka. Tapi ia tidak menjadi gugup.
Ia lantas menyampok, beruntun tiga kali. Ia telah menggunai tipu silat "Kong tjiak kay
peng" atau "Burung merak buka sajap". Dengan tangkisannya ini semua tiga paku jatuh
ketanah. Inilah salah satu kepandaian istimewa dari Hoa San Pay. Setelah itu, ia tidak diam
saja, sambil maju setindak, ia tekan ujung tongkat dengan pedang-pedangannya.
Dengan tiba-tiba Oen Beng San merasai tenaga menekan yang berat sekali, sedang itu
waktu, ia belum sempat tarik pulang tongkatnya. Rupanya tadi ia percaya ia pasti akan
berhasil dengan serangan senjata rahasia itu. Ia mundur, akan tancap kaki, untuk pasang
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
kuda-kuda, guna pertahankan diri.
Sin Tjie menekan terus, sampai ujung tongkat mengenai tanah, sesudah mana, mendadak
ia angkat sebelah kakinya yang kiri, akan injak ujung tongkat.
Jago tua itu kerahkan tenaganya, untuk tarik pulang tongkatnya.
Sin Tjie tidak menginjak lama, dengan sekonyong-konyong ia angkat kakinya, sambil terus
mencelat mundur, maka itu, dengan gampang sekarang Beng San bisa angkat dan tarik
tongkatnya itu. Akan tetapi pada lantai, yang terbuat dari batu hijau, ada lobang bekas
kepala tongkat itu! Semua hadirin terperanjat; mereka saling mengawasi dengan
tercengang.
Oen Beng San kena dipecundangi, ia mendongkol bukan buatan. Dengan kedua
tangannya, ia lemparkan tongkatnya keatas wuwungan dari thia itu, hingga dilain saat
terdengarlah satu suara nyaring yang dahsyat, sebab tongkat itu membuat satu lobang
dan nembus keluar wuwungan! "Alat ini kena dikalahkan pedang kayumu, buat apa
dipakai lagi!" kata jago tua itu.
Sin Tjie tampak orang murka besar, didalam hatinya dia berkata: "Sebenarnya kau yang
kalah dari aku, bukannya tongkatmu yang kalah dari pedang-pedanganku!"
Memang tak ada faedahnya akan jago tua itu ngambul secara demikian.
Diantara Ngo Tjouw dari Tjio Liang Pay, yang paling liehay dengan senjata rahasianya
adalah Soe-yaya Oen Beng Sie. Jago tua jang keempat ini mempunyai dua puluh empat
batang hoei-too, golok terbang, dalam hal menggunai senjata mana, tak pernah ia gagal.
"Seratus kali lepas, seratus kali kena." Demikian istilahnya.
Setiap hoei-too itu beratnya setengah kati saja, semuanya disimpan dalam satu kantong
kulit yang digendol dibelakang. Lain orang gunai senjata rahasia secara menggelap atau
diam-diam, tetapi hoei-too dari Soe-yaya ini menyambar sambil berusara mengaung, mirip
dengan rayuan seruling. Jadi suara itu seperti merupakan pemberian ingat terdahulu
untuk lawan, sedang sebenarnya, suara itu justru untuk membikin lawan menjadi bingung
dan gugup.
Oen Beng Sie lihat kakaknya itu gagal, tanpa bicara lagi, ia lompat kedalam kalangan.
"Saudara Wan, permainan senjatamu untuk memunahkan senjata rahasia bagus sekali,"
berkata dia. "Bagaimana kalau sekarang kau sambut juga golok terbangku?"
Habis mengucap demikian, jago tua ini lolosi kantong kulitnya, jang dicantel
dipinggangnya, untuk dipindahkan kebebokongnya.
Sin Tjie mengerti bahwa akan percuma saja ia mengalah, dari itu, ia manggut.
"Harap saja lootjianpwee berlaku murah hati," jawabnya. Lantas ia hampirkan bocah tadi,
untuk kembalikan pedang kayu, setelah mana, ia kembali ketengah lian-boe-thia.
Semua penonton undurkan diri, antaranya ada yang menyingkir ke pintu. Suasana ada
tegang. Orang menginsafi liehaynya golok dari Soe-yaya itu, yang tak pernah gagal.
Umpama kata Sin Tjie sanggup menanggapinya, soal ada lain, akan tetapi apabila dia
mencoba berkelit selalu, dia mesti terancam malapetaka... "Lihat golok!" mendadak
terdengar seruan Oen Beng Sie.
Karena dua pihak sudah lantas siap, jago tua ini tak sia-siakan ketika lagi.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Golok menyambar sambil berkelebatan dan bersuara juga: "Swing!"
Selama itu Sin Tjie sudah pikir , golok terbang dari jago tua itu mestinya istimewa.
"Jikalau aku tanggapi, tak akan terlihat kepandaianku," demikian ia pikir. "Dengan jalan
itu, tak bisa aku takluki dia. Dia mesti dibikin menyerah dengan begitu rupa Barulah dia
nanti suka lepaskan Siauw Hoei dan kembalikan emas itu."
Karena ini, diam-diam ia telah keluarkan dua butir biji caturnya. Ketika golok menyambar,
ia kagumi ketangkasannya si jago tua. Ia tak berayal, untuk gunai biji caturnya. Tangan
kirinya lantas menimpuk, disusul dengan tangan kanan.
Segera sebutir biji catur tangan kiri itu mengenai golok dengan terbitkan suara pelahan,
berhentilah suara mengaung nyaring tadi dari golok tersebut. Sebab biji ini tepat nancap
dilobang kecil diujung golok. Segera setelah itu, terdengar suara nyaring lain. Ini kali ada
suara dihajarnya golok dengan biji catur dari tangan kanan, menyusul mana, hoei-too itu
terhalang menyambarnya dan terus jatuh kelantai.
Golok terbang berat setengah kati dan biji catur kecil dan enteng sekali, toh golok itu
kalah tenaga, maka ini telah menyatakan, bentrokan diantara dua senjata itu berbareng
juga membuktikan tenaga dari kedua orang yang lagi adu kepandaian itu. Tenaga Sin Tjie
ternyata berlipat lebih besar daripada tenaga Oen Beng Sie.
Wajah Soe-yaya dari Oen Tjeng ini berubah dengan sekejab, tetapi berbareng dengan ini,
dua batang goloknya sudah melayang pula, dengan berbareng.
Sin Tjie sudah siap pula dengan biji-biji caturnya, karena ia telah duga sikap lawan, maka
ketika ia diserang lagi, dengan dua golok, dengan cepat ia menimpuk dengan empat biji
catur, dengan berturut-turut. Maka dengan saling-susul, kedua golok pun jatuh seperti
yang pertama.
"Hm!" berseru Beng Sie. "Liehay! Liehay!"
Dimulut Soe-yaya itu perdengarkan pujiannya, tangannya sebaliknya dikerjakan terus,
malah kali ini enam batang golok dikasih menyambar. Dia pun sengaja sebar golok-golok
terbangnya itu kesegala penjuru. Ia insyaf, disatu arah saja, akan sia-sia penyerangannya
itu. Selagi menyerang, didalam hatinya, ia kata: "Apa mungkin kau sanggup pukul jatuh
pula sesuatu dari golokku ini?"
Oleh karena enam batang hoei-too yang terbang berhamburan, suara swingnya pun ramai
sekali. Akan tetapi suara itu berhenti dalam sekejab. Karena dua belas biji catur dari Sin
Tjie sudah bekerja pula, untuk memukul rubuh.
"Bagus!" Oen Beng Sie berseru pula, tapi dengan hati mendongkol sangat, dengan
penasaran. Dan kedua tangannya digeraki dengan hampir berbareng, menyambarkan
enam batang golok pula masing-masing. Maka itu, Baru enam hoei-too serang si anak
muda, atau enam yang lain sudah menyusul dengan segera. Serangan ini juga dilakukan
dengan tenaga penuh dan semangat bernyala-nyala.
Oen Beng Tat ada seorang yang berpengalaman, ia segera dapay kenyataan, anak muda
didepan mereka itu mesti ada muridnya seorang yang liehay sekali, maka itu ia kaget tak
terkira apabila ia saksikan saudaranya yang keempat menyerang secara demikian.
"Soetee, jangan celakai dia!" dia berseru, untuk mencegah.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Tapi cegahan ini sia-sia saja, karena hoeitoo sudah saling susul menyerang si anak muda.
Sin Tjie tidak menjadi bingung karena serangan hoeitoo yang seperti berantai itu, ia
berlompat sambil kerahkan kedua tangannya secara sangat cepat, ia bukannya menangkis
dan berkelit, ia hanya tanggapi setiap golok. Maka dilain saat, dua-belas batang golok
terbang itu telah bersarang diantara kedua tangannya kiri dan kanan, enam buah disetiap
tangan! Akan tetapi anak muda ini tidak cuma tangkap semua golok yang menyerang dia,
dia tidak pegang itu lama-lama, dengan lantas dia melempar-lemparkannya, dengan kedua
tangannya, hingga dalam beberapa kali saja, kedua tangannya sudah kosong pula. Dilain
pihak, semua hadirin menjerit bahna heran dan lalu melengak karenanya. Sebab
keduabelas golok itu menyambar kearah para-para senjata dan disana sejumlah tumbaktumbak
biasa dan tumbak cagak - pada terputus ujungnya terkena sambaran hoeitoohoeitoo
itu! Menyusul ini, semua lima Ngo Tjouw matanya bernyala-nyala, saking
mendongkolnya.
"Apakah kau dikirim oleh si Kim Coa Kan-tjat?" berseru mereka dengan suara jang sangat
bengis.
"Kim Coa Kan-tjat" berarti "Kim Coa si bangsat". Lima jago itu menegur secara demikian
karena mereka saksikan caranya Sin Tjie menanggapi golok-golok terbang itu.
Dengan sebenarnya, Sin Tjie sudah lakukan perlawanan dengan keluarkan ilmu silat yang
ia peroleh dari Kim Coa Pit Kip, kitab warisan Kim Coa Long-koen.
Tatkala dulu Kim Coa Long-koen Hee Soat Gie layani jago-jago Tjio Liang Pay itu, selagi
Oen Beng Sie serang dia dengan dua belas Hoeitoo, dia telah menyambuti semua golok
dengan tangan kosong, gerakannya mirip dengan gerakan Sin Tjie ini. Maka itu, mereka ini
jadi ingat kepada Kim Coa Long-koen itu, si Ular Emas.
Sin Tjie masih belum tahu, ada sangkutan apa diantara Kim Coa Long-koen dan jago-jago
Tjio Liang Pay ini, dari itu, ia tidak lantas keluarkan kepandaiannya menurut ajaran si Ular
Emas, adalah barusan, karena terancam bahaya, ia gunai itu diluar keinginannya. Itu
adalah ilmu silat yang dinamai "Tjian Tjhioe Koan Im Sioe-Ban po", atau "Koan Im Tangan
Seribu Menyambut selaksa Mustika".
Sebenarnya, atas pertanyaan itu, pemuda ini hendak berikan jawaban, akan tetapi sebelum
ia buka mulut, ia lihat dari luar paseban bertindak masuk tiga orang, diantara siapa ada
Siauw Hoei, yang ternyata telah ditelikung oleh dua orangnya Tjio Liang Pay. Teranglah si
nona Baru saja dikeluarkan dari lobang jebakan, untuk dihadapi kepada ketua mereka.
Melihat nona itu, tidak ayal lagi, Sin Tjie lompat jauh, akan pergi keluar paseban, guna
papaki nona itu. Ia berlompat dengan gerakan "It hong tjiong thian", atau "Burung hoo
terjang langit".
Menampak demikian, dengan masing-masing hunus senjatanya, Oen Beng Tat dan Oen
Beng Gie lari mengejar.
Sin Tjie tidak perdulikan orang susul ia, ia memburu terus kearah Siauw Hoei, Baru ia
datang dekat, ia sudah lantas disambut oleh dua orang yang iringi si nona, mereka ini
masing-masing gunai golok dan pedangnya.
Segeralah terdengar suara nyaring dua kali beruntun, golok dan pedangnya dua
penyerang itu terlepas dari cekalan mereka, terpental keras, sehingga mereka jadi
tercengang dan kaget. Sebab senjata mereka sudah bentrok dengan senjata toalooya dan
djilooya mereka! "Tolol!" kedua ketua itu mendamprat.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Sin Tjie sudah berlaku cerdik, ketika ia dipapaki serangan, ia bukan tangkis serangan itu,
ia hanya nelusup kebawah, justru itu Beng Tat dan Beng Gie sampai, mereka ini sudah
lantas serang si anak muda, hingga tak dapat dicegah lagi, senjata mereka berempat
bentrok satu dengan lain.
Lolos dari serangan, Sin Tjie sudah lantas sambar Siauw Hoei, akan bikin putus tambang
belenggu nona ini.
"Engko Sin Tjie!" Nona An berseru saking girang.
"Sambut ini!" kata Sin Tjie, yang lemparkan pedang si nona yang pun terikat tambang,
yang ia sudah lantas loloskan.
Siauw Hoei ulur tangannya, akan sambuti senjata itu.
Baru si nona pegang senjatanya, atau dua tumbak pendek dari Oen Beng Tat telah sambar
dia, hingga ia jadi kaget.
"Aduh!Aduh!...." demikian dua teriakan menyusul, teriakan dari kehebatan.
Dalam ancaman bahaya itu, mendadak didepannya Siauw Hoei menghalang dua tubuh
manusia, hingga tidak ampun lagi, mereka ini kena disapu Beng Gie, hingga keduanya
rubuh dengan berteriak kesakitan.
Mereka nyata ada dua orang yang barusan iringi Siauw Hoei, mereka melintang karena
dijoroki Sin Tjie. Beruntung mereka, ketuanya keburu urungi serangan tumbaknya dan
cuma dupak mereka.
Dua-dua Siauw Hoei dan Sin Tjie mundur, akan tetapi Beng Tat tidak mau sudah. Toa looya
ini melanjuti menyerang lebih jauh dengan tumbaknya. Tiba-tiba tumbaknya kena terlibat
tambang, hingga ia terkejut. Untuk melepaskan diri, terutama untuk cegah orang tarik dia,
ia barengi maju,akan menikam terus! Sin Tjie masih belum lepaskan tambang bekas
membelenggu Siauw Hoei ketika si nona terancam bahaya, ia gunai itu untuk sambar dan
lilit senjata Toa-yaya. Sebenarnya ia niat membetot tapi ia telah didahului Beng Tat, maka
menggunai ketikanya itu, ia kendorkan cekalannya hingga tambang jadi terlepas dari
tangannya, karena mana, Beng Tat ngusruk sendirinya, sukur setelah dua tindak, jago tua
ini bisa pertahankan diri.
Selagi orang terjerunuk, Sin Tjie tarik tangan Siauw Hoei, untuk ajak si nona lari kedalam
paseban dimana, bukannya ia menyerang atau menyingkir lebih jauh, ia hanya berdiri
diam.
Oen Beng Tat telah jadi sangat gusar, karena ia merasa sudah dipermainkan orang, ia
memburu kedalam paseban dengan diturut saudaranya.
Semua orang keluarga Oen juga telah berkumpul jadi satu. Mereka berdiri dibelakang Ngo
Tjouw mereka. Beng Tat dan Beng Gie persatukan diri kepada tiga saudara mereka apabila
mereka lihat si anak muda tidak lari menjingkir.
"Dimana adanya Kim Coa Kan-tjat?" Beng Tat tanya sambil menuding dengan tangan
kanan, karena tangan kirinya dipakai memegang tumbak pendeknya. "Lekas bilang!"
"Jikalau ada bicara, lootjianpwee, mari kita omong secara baik, tak usah kau bergusar."
Sahut Sin Tjie dengan sabar.
"Pernah apa kau dengan Kim Coa Long-koen Hee Soat Gie?" tanya Beng Gie, dengan
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
suara menyatakan kemurkaannya. "Dia ada dimana sekarang? Apakah dia yang perintah
kau datang kemari?"
"Seumurku, belum pernah aku lihat mukanya Kim Coa Long-koen," jawab Sin Tjie, dengan
tetap tenang, "maka cara bagaimana dia bisa perintah-perintah aku?"
"Apakah katamu ini?" Beng San, sam-yaya , tegaskan.
"Apa gunanya aku dustakan kamu?" sahut anak muda itu. "Secara kebetulan saja aku
bertemu sama ini saudara Oen Tjeng diatas sebuah perahu, berterima kasih atas
kebaikannya, kita berdua lantas ikat tali persahabatan. Ada hubungan apa kamu dengan
Kim Coa Long-koen?"
Ngo Tjouw nampaknya jadi lebih tenang, akan tetapi kecurigaannya masih belum lenyap.
"Apabila kau tidak sebutkan tempat sembunyinya Kim Coa Long-koen, hari ini jangan kau
harap bisa keluar dari Tjio-liang!" Beng Tat mengancam. Ia tidak jawab pertanyaan orang.
"Dengan andali kepandaian kamu ini kamu hendak menahan aku?" si anak muda tegasi.
"Aku kuatir kau tak nanti mampu berbuat demikian..." Masih Sin Tjie berlaku sabar sekali,
sikapnya menghormat. Lalu ia menambahkan : "Dengan Kim Coa Long-koen itu, aku tidak
bersanak tidak berkadang, sama sekali kita berdua belum pernah bertemu muka. Cuma,
untuk bicara terus-terang, dimana adanya dia sekarang, aku tahu, melainkan aku kuatir
disini tak ada seorangpun yang berani pergi menemukan dia...?"
Dengan mendadak, kumat pula kemurkaan Ngo Tjouw dari Tjio Liang Pay itu.
"Siapa bilang kami tidak berani?" seru Beng Tat, si Toa-yaya. "Selama sepuluh tahun ini,
tidak ada satu hari yang kami tidak cari dia! Kami berlima saudara, satu persatu jiwa kami,
suka kami antarkan ketangannya dia itu! Biar dia ada diujung langit, pasti kami akan cari
padanya! Dimana dia ada?"
Sin Tjie tertawa dengan tawar.
"Apa benar-benar kamu hendak pergi ketemui dia?" ia tanya.
Beng Tat maju setindak.
"Tidak salah!" jawabnya.
"Ada apa faedahnya akan bertemu dengannya?" tanyanya.
"He, sahabat kecil, siapa hendak main-main denganmu?" Beng Tat menegur. "Lekas kau
omong!"
Anak muda itu bersemu.
"Lootjianpwee semua ada bertubuh sehat wal'afiat," katanya, "masih mesti ditunggu lagi
banyak tahun untuk lootjianpwee menemui dia itu. Dia telah menutup mata!"
Mendengar jawaban ini, semua orang tertjengang, hingga mereka pada berdiri menjublak,
hanya adalah Oen Tjeng yang terdengar menjerit dan terus memanggil-manggil : "Ibu! Ibu!
Ibu, bangun!"
Sin Tjie heran, ia segan menoleh, maka terlihatlah olehnya, si nyonya usia pertengahan
sudah rubuh pingsan, tubuhnya berada dalam pangkuan si anak muda Oen Tjeng. Nyonya
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
itu tutup rapat mulutnya, mukanya pucat sekali.
Ngo Tjouw pun terkejut.
"Dosa!" kata Oen Beng San ber-ulang-ulang.
Beng Gie segera kata pada Oen Tjeng : "Tjeng Tjeng, lekas pondong ibumu kedalam!
Jangan kau mendatangkan malu, hingga orang nanti menertawainya!"
Oen Tjeng menangis dengan tiba-tiba, tapi ia menjawab dengan sengit. "Malu apa? Ibu
dengar ayah menutup mata, tentu saja ia kaget dan jadi bersusah hati karenanya!..."
"Nyonya eilok itu jadi ada isterinya Kim Coa Long-koen?" tanyanya dalam hatinya. "Dan
Oen Tjeng ini puteranya..."
Beng Gie gusar bukan main mendengar perkataan Oen Tjeng hingga ia kertak giginya
berulang-ulang.
"Toako, jikalau masih kau sayangi bocah ini, nanti aku yang ajar padanya!" kata ia dengan
keras pada Beng Tat, sang kanda.
"Siapa itu ayahmu?" Beng Tat bentak sang cucu. "Kau tidak mau lekas masuk?"
Oen Tjeng lantas pepayang si nyonya eilok, untuk diajak masuk kedalam. Nyonya itu
sudah sadar tapi ia masih sangat lemah.
"Kau minta Wan Siangkong menemui aku besok malam," ibu ini kata dengan pelahan.
"Aku hendak tanyakan dia."
Oen Tjeng manggut, terus ia menoleh pada Sin Tjie.
"Masih ada satu hari!" katanya. "Besok malam kau boleh datang pula untuk curi emas, aku
ingin lihat kau mampu atau tidak!"
Dengan roman sengit, ia lirik Siauw Hoei, habis itu ia pepayang ibunya dan bertindak
masuk.
"Mari kita pergi!" Sin Tjie ajak Siauw Hoei.
Lantas keduanya bertindak keluar.
"Pelahan dulu!" tiba-tiba Ngo-yaya Oen Beng Go mencegah sambil kedua tangannya
dipakai menghalangi. "Aku masih ingin tanya kau."
Sin Tjie rangkap kedua tangannya, untuk memberi hormat.
"Sekarang sudah jauh malam, lain hari saja aku kunjungi lootjianpwee," katanya.
"Kim Coa Kan-tjat itu dimana matinya? "Beng Go tanya. "Ketika dia mati, siapa yang lihat
padanya?"
Ditanya begitu, berpetalah dimatanya Sin Tjie kejadian itu malam didalam gua diatas
puncak gunung Hoa San ketika Thio Tjoen Kioe serang si pendeta.
"Terang sudah, kamu sedang cari warisan Kim Coa Long-koen," pikir dia. "Tidak, aku tidak
bisa kasi keterangan!"
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Maka ia jawab: "Aku ketahui itu dari pendengaran satu sahabat. Jikalau tidak keliru, Kim
Coa Long-koen meninggal dunia disebuah pulau diluar propinsi Kwietang."
Ngo Tjouw saling mengawasi, nampaknya mereka heran.
"Maka itu pergilah kamu kepulau itu dilaut Kwietang!" Sin Tjie kata. Terus ia memberi
hormat pula,dan tambahkan : "Aku yang muda tak dapat menemani lebih lama pula...."
"Jangan kesusu!" Oen Beng Go mencegah pula. Dia masih mau menanya melit-melit,
kembali dia lintangi kedua tangannya.
Sin Tjie keluarkan tangannya, untuk tolak lengan orang, tapi Beng Go segera tekuk
lengannya itu, untuk dipakai menggaet. Ia gunai tipu "Kim-na-hoat" akan cekal tangan si
anak muda.
Sin Tjie tidak niat bertempur pula, selagi kedua tangan mereka beradu, ia tarik Siauw Hoei
dengan tangan kiri, ia ajak si nona loncat akan lewati jago tua ini yang kelima.
Si nona adalah yang loncat lebih dahulu, akan lewat disamping jago tua itu, baju siapa pun
tidak sampai terlanggar.
Oen Beng jadi panas, hingga selagi tarik pulang tangan kanannya, ia bawa itu
kepinggangnya, maka dilain saat ia sudah tarik keluar sepotong cambuk lemas terbuat
dari kulit kerbau, senjatanya yang istimewa. Dengan itu, ia lantas serang bebokong si anak
muda dengan tipu pukulannya "Tjoen Ma toat kiang" atau "Kuda jempol meloloskan
pelana".
Jikalau lain orang bergegaman cambuk dari baja atau lain logam, Beng Go gunai bahan
kulit, yang lemas tapi ulet, yang ia biasa gunai sama hebatnya seperti logam.
Sin Tjie dengar suara angin dibelakangnya, sambil masih tarik tangan si nona An, ia
mendak seraya terus berlompat, dengan begitu, serangan cambuk jadi mengenai sasaran
kosong. Habis itu ia berlompat kearah tembok.
Oen Beng Go jadi sangat penasaran. Ia punyakan latihan dari beberapa puluh tahun
dengan cambuknya itu, siapa tahu, dengan gampang saja si anak muda lolos dari
serangannya. Maka tak mau ia berhenti dengan begitu saja. Meneruskan gerakan
tangannya, yang ia tarik pulang, ia rabih kaki Siauw Hoei.
Jago tua ini tahu, kepandaian si nona masih sangat berbatas, ia percaya ia akan berhasil
merubuhkan nona itu. Ia tidak pikir bahwa si anak muda ada bersama si nona.
Sin Tjie dengar suara anginnya cambuk lemas itu, sambil menoleh ia ulur tangan kirinya,
untuk menanggapi, guna lindungi Nona An. Ia berhasil dengan dayanya ini. Justru ia
sudah injak tembok, ia segera kerahkan tenaganya, akan tarik cambuk itu.
Beng Go menyerang sambil berlompat maju, tentang gerakannya si anak muda, ia tidak
pernah sangka, maka itu, ia kaget tidak terkira ketika cambuknya kena ditangkap dan terus
ditarik, percuma ia mencoba akan pertahankan diri, tubuhnya kena tertarik hingga
terangkat, hingga kedua kakinya tak menginjak tanah. Maka dengan tergantung
sedemikian rupa, tak mampu lagi ia kerahkan tenaganya.
Ngo-yaya ini ingin bikin terang mukanya, ia pasti akan berhasil jika ia sanggup bikin Siauw
Hoei rubuh, siapa nyana, ia justru jadi bertambah malu karena si anak muda pecundangi
padanya. Malah dengan tergelantung demikian rupa, ia sekarang terancam bahaya.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Oen Beng Sie kuatirkan saudaranya itu, ia ayun tangannya akan terbangkan dua buah
goloknya, hingga dengan perdengarkan suara "Swing! Swing!" kedua hoeitoo menyambar
kearah bebokongnya si anak muda. Sie-yaya ini hendak tolongi adiknya, tidak niat ia
mencelakai orang.
Melihat ada serangan golok, Sin Tjie lepaskan cekalannya kepada cambuk lemas, ia tarik
Siauw Hoei, buat diajak terus lompat turun keluar tembok. Akan tetapi sebuah golok sudah
mendekati kakinya, dengan gesit ia jejak itu, hingga golok jadi berbalik, membentur golok
yang kedua, hingga dua-duanya lantas jatuh kebawah.
Sementara itu Beng Go ada di kaki tembok, kemana ia jatuh tanpa bahaya ketika Sin Tjie
lepaskan cekalan cambuk. Kapan ia lihat turunnya golok, ia sambar dengan cambuknya,
dengan niat dililit. Apamau, selagi ia menyabet, cambuknya itu putus sendirinya, hingga ia
jadi kaget. Maka untuk luputkan diri dari sambaran golok, ia rubuhkan diri untuk
bergulingan dengan gerakannya "Lay louw ta koen" atau "keledai malas bergulingan". Ia
sudah berlaku cepat sekali tetapi tidak urung ujung golok mengenai ujung bajunya hingga
baju itu robek. Maka itu, waktu ia bangkit bangun, ia keluarkan keringat dingin, mulutnya
ternganga.
Tidak pernah ia sangka, dalam keadaaan seperti itu Sin Tjie telah bisa bikin cambuknya
tertekuk patah hingga jadi hilang kekuatannya.
Oen Beng Tat saksikan itu semua, ia menggeleng-geleng kepala. Lain-lain saudaranya pun
heran dan kagum.
"Bocah itu Baru berumur kurang-lebih dua-puluh tahun, umpama kata ia belajar silat sejak
dalam kandungan, temponya toh tak lebih dari dua-puluh tahun, maka heran sekali,
kenapa dia ada begini liehay?" kata Oen Beng Gie si Djie-yaya.
Akan tetapi Oen Beng San sangat penasaran.
"Si bangsat Kim Tjoa ada sangat liehay, dia toh rubuh ditangan kita!" katanya. "Besok
malam bocah itu bakal datang pula, besok nanti kita layani dia pula!"
Sampai disitu, keluarga Oen itu bubaran, sedang Sin Tjie dan Siauw Hoei dengan tidak
kurang suatu apa sudah kembali kepondok mereka dirumahnya si orang tani.
Nona An sangat kagumi ini sahabat sejak kecil, ia memuji tidak putusnya.
"Tjoei Soeko biasa puji tinggi gurunya," katanya "tapi aku percaya gurunya itu tak nanti
sanggup tandingi kau!"
"Apa sih namanya Tjoei Soekomu itu?" Sin Tjie tanya. "Dan siapakah gurunya?"
"Gurunya itu adalah murid dari Bok Loo-tjouwsoe dari Hoa San Pay, katanya gelarannya
ada Tong-pit-Thie-shoei-phoa. Mendengar gelaran itu, yang berarti pit kuningan dan
shoeiphoa besi, pada mula kalinya aku tertawa tak hentinya. Tak ingat aku akan tanyakan
soeko tentang nama gurunya itu."
Sin Tjie manggut, didalam hatinya, ia kata: "Kiranya Tjoei Soeko itu ada muridnya Toasoeheng,
maka dia mesti panggil soesiok padaku..."
Ia tidak beritahukan Siauw Hoei tentang hubungannya ini dengan Hie Bin atau Tong-pit-
Thie-shoei-phoa.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Kemudian keduanya masuk tidur.
Dimalam kedua, Sin Tjie minta Siauw Hoei menanti saja di pondokan.
Siauw Hoei insaf, kepandaiannya masih belum berarti, malah tadi malam, ia seperti bantu
merintangi kawan ini, maka ia menurut akan berdiam di rumah meski sebenarnya sangat
ingin ia turut.
Sin Tjie tunggu sampai sudah tengah malam, Baru ia berangkat. Ia ambil jalan seperti
kemarinnya untuk pergi kerumah keluarga Oen itu. Ketika ia sampai diluar tembok, ia lihat
di-mana-mana gelap, tidak ada cahaya api seperti kemarinnya. Tadinya ia mau terus
masuk ketika dengan tiba-tiba ia dengar seruling merayu tiga kali, berhenti sedetik setiap
rintasan.
"Itulah Oen Tjeng memanggil aku," pikir anak muda ini yang otaknya tajam. "Ngo Tjouw
ada licin tapi Oen Tjeng masih ingat persahabatan."
Maka ia, urung lompat naik keatas tembok, anak muda ini memutar tubuh, akan bertindak
kearah dari mana suara seruling datang. Ialah dari Bwee Koei San, bukit yang bertaman
bunga mawar. Selagi ia mendaki, dari jauh-jauh ia sudah tampak dua orang sedang duduk
didalam paseban, ketika ia mendekati, ia lihat mereka itu adalah orang-orang perempuan.
Diantara sinarnya si Puteri Malam, kelihatan juga, satu diantaranya lagi tempeli seruling
kepada bibirnya, hingga segera terdengar irama merayu-rayu.
"Itu toh suara serulingnya Oen Tjeng?..." pikir pemuda ini, yang menjadi heran dan curiga.
Karena ini, selagi mendekati, ia bertindak dengan pelahan-lahan.
Orang perempuan yang meniup seruling itu bertindak keluar paseban, untuk papaki si
anak muda.
"Toako!..." katanya dengan pelahan.
Sin Tjie terkejut, hingga ia berdiri melongo. Nona itu Oen Tjeng adanya, anak muda yang ia
anggap sebagai sahabatnya! Ia masih berdiam sekian lama, Baru ia tanya : "Kau....kau...."
katanya tak lancar.
Oen Tjeng tertawa geli, suaranya pelahan.
"Sebenarnya aku adalah seorang perempuan," ia kasi keterangan. "Sampai sebegitu jauh
aku telah abui kau, toako, harap kau jangan buat kecil hati."
Lantas ia memberi hormat sambil menjura.
Sin Tjie balas hormat itu. Sekarang Barulah lenyap kecurigaannya sekian lama mengenai
perangainya Oen Tjeng, tentang sifat-sifat kewanitaannya.
"Namaku adalah Oen Tjeng," berkata pula si nona. Ia rupanya dapat mengerti keheranan si
anak muda. "Sebegitu jauh aku perkenalkan diri Tjeng, sebenarnya masih kurang satu
huruf Tjeng lagi..."
Dan ia tertawa dengan manis.
Dengan dandan sebagai satu nona, Oen Tjeng Tjneg benar elok dan manis sekali, alisnya
bagus, matanya jernih, pipinya dadu, bibirnya seperti buah engtoh.
"Dasar aku yang tolol, orang perempuan tak aku kenali..." pikir Sin Tjie.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
"Disana ibu; ibu ingin bicara denganmu," kemudian berkata pula si nona. "Mari!"
Sin Tjie bertindak kedalam paseban, terus ia memberi hormat.
"Pehbo," ia memanggil sambil ia perkenalkan diri.
Nyonya itu berbangkit untuk membalas hormat.
"Jangan pakai adat-peradatan," katanya.
Sin Tjie lihat kedua matanya nyonya itu merah dan bengul, romannya sangat lesu, tanda
dari kedukaan hati yang hebat.
"Menurut Tjeng Tjeng, ibunya ini telah diganggu orang jahat hingga terlahirlah dia," pikir
anak muda kita. "Orang jahat itu tentu Kim Tjoa Long-koen adanya. Kelihatan nyata sekali,
lima ketua dari keluarga Oen sangat benci pada Kim Tjoa Long-koen, sebab ketika Tjeng
Tjeng sebut dia itu sebagai ayah, ia ditegur oleh Djie-yaya. Sebaliknya ibunya mendengar
hal kematiannya Kim Tjoa Long-koen, telah pingsan karenanya, tanda kedukaan yang
hebat. Bukankah disini mesti ada terselip suatu rahasia? Apakah adanya itu? Baik aku
hiburkan dia..."
Nyonya itu berdiam sekian lama, Baru ia bicara pula.
"Dia.....apakah benar dia telah menutup mata?" tanyanya. "Wan Siangkong, apakah kau
lihat sendiri dia meninggal?"
Anak muda itu manggut.
"Wan Siangkong baik terhadap Tjeng Tjeng, inilah aku tahu," kata pula si nyonya yang
elok tetapi laju itu. "Maka itu pasti aku tidak akan berlaku sebagai sekalian yayanya itu,
yang anggap kau sebagai musuh. Aku minta sukalah kau tuturkan aku tentang
meninggalnya dia..."
Mengenai sifatnya Kim Tjoa Long-koen, Sin Tjie masih gelap dan ragu-ragu. Gurunya
sendiri, yang bicara dengan Bhok Siang Toodjin, mengatakan si ular emas ada seorang
berperangai luar biasa, cara hidupnya ada diantara sesat dan tak sesat. Akan tetapi, sejak
ia dapatkan "Kim Tjoa Pit Kip" dan peroleh ilmu silat dari kitab pusaka itu, diam-diam ia
kagumi orang luar biasa itu, yang otaknya sangat cerdas, dan diam-diam juga ia pandang
si orang aneh sebagai gurunya. Biar tidak langsung dia toh dappat pelajaran berharga dari
Kim Tjoa Long-koen. Maka itu, mendengar Ngo Tjoue mendamprat Kim Tjoa Long-koen
sebagai "kan-tjat", bangsat yang hina dan licik, ia jadi gusar sekali, cuma karena ia belum
tahu duduknya hal, tak bisa ia bilang suatu apa. Sekarang ia dengar suaranya ibu dari
Tjeng Tjeng, ia kembali dapat pemandangan lain.
"Belum pernah aku bertemu dengan Kim Tjoa Long-koen," ia jawab pertanyaan si nyonya,
"akan tetapi walaupun demikian, dia dan aku ada sebagai guru dan murid, karena
sebagian dari ilmu silatku aku dapat pelajarkan dari beliau. Aku pikir tidak leluasa untuk
tuturkan jelas hal Kim Tjoa Long-koen setelah ia menutup mata, aku kuatir orang jahat
nanti pergi menyatroni dan merusak kuburannya itu...."
Baru si nyonya mendengar kata terakhir dari si anak muda, ia lantas saja tergeletak rubuh,
sehingga Tjeng Tjeng mesti sambar tubuhnya,untuk ditolongi.
"Ibu, Ibu!" memanggil si nona. "Keraskan hatimu, ibu...."
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Tidak lama pingsannya nyonya ini, lalu ia sadar pula. Ia lantas menangis.
"Delapan-belas tahun lamanya aku nantikan dia, aku harap dengan sangat dia datang
untuk sambut kami ibu dan anak, supaya kami bisa berlalu dari sini, siapa sangka justru
dialah sendiri yang sudah pergi lebih dahulu..." mengeluh nyonya Kim Tjoa Long-koen ini.
"Dan Tjeng Tjeng sama sekali belum pernah lihat muka ayahnya..."
"Jangan berduka, pehbo," Sin Tjie menghibur. "Sekarang ini Hee lootjianpwee sedang
tidur dengan senang dialam baka. Tulang-tulangnya semua akulah yang kubur dengan
baik-baik."
"Oh, kau yang menguburnya, Wan Siangkong?" kata si nyonya. "Budimu ini ada sangat
besar, aku tidak tahu bagaimana nanti aku membalasnya."
Ia segera berbangkit, untuk memberi hormat.
Sin Tjie sibuk, untuk mencegah.
"Tjeng Tjeng, hayo kau paykoei kepada Wan Toako!" nyonya ini titahkan gadisnya.
Tanpa bilang suatu apa, Tjeng Tjeng lantas jatuhkan diri berlutut didepan si anak muda,
sehingga dia ini repot berlutut juga untuk membalas hormat, buat sekalian mengasih
bangun kepada nona itu.
"Apakah dia meninggalkan surat untuk kami?" kemudian nyonya itu tanya pula.
Ditanya begitu, Sin Tjie ingat pesan dari Kim Tjoa Long-koen bahwa siapa "dapatkan
warisannya, dia mesti pergi ke Tjio-liang di Kie-tjioe, Tjiatkang untuk cari Oen Gie, untuk
serahkan emas banyaknya sepuluh laksa tail." Pesan itu membikin ia bingung, lalu ia tak
perhatikan lebih jauh. Ia sendiri pun tidak tergiur hatinya oleh itu harta besar, malah ia
bayangi, jangan-jangan Kim Tjoa Long-koen bercelaka karena harta besar itu. Ia juga ingat
baik-baik kata-kata gurunya bahwa harta besar bisa mendatangkan malapetaka. Karena
ini, ia rada jemu dengan petanya Kim Tjoa Long-koen itu. Sampai sekarang nyonya ini
menanyakannya.
"Maaf, pehbo," katanya, "aku memberanikan diri untuk tanya apa pehbo bernama Gie?"
Ibunya Tjeng Tjeng nampaknya terperanjat.
"Benar," jawabnya. "Bagaimana kau ketahui itu?" Belum sampai si anak muda sahuti ia, ia
sudah tambahkan : "Tentu kau ketahui itu dari surat peninggalannya! Apakah Wan
Siangkong bawa suratnya itu sekarang?"
Tegang sekali sikapnya si nyonya selagi ia menanyakan demikian.
Disaat Sin Tjie hendak jawab nyonya itu, mendadak ia menjejak dengan kaki kanannya,
segera tubuhnya lompat mencelat melewati lankan, menyambar kesuatu gerombolan
pohon mawar.
Oen Gie danTjeng Tjeng, ibu dan anak, kaget dan heran, keduanya segera mengawasi
anak muda itu.
Tiba-tiba terdengar satu jeritan "Aduh!" kemudian tertampak Sin Tjie gusur keluar satu
orang, tubuh siapa diam saja, karena rupanya dia telah ditotok jalan darahnya. Dengan
jambak bebokongnya, pemuda ini bawa orang itu kedalam paseban dimana dia itu
digabruki kelantai.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
"Eh, inilah tjit-pehhoe!" Tjeng Tjeng bersuara tertahan.
Oen Gie pun mengenalinya, ia lantas menghela napas panjang.
"Wan Siangkong, tolong kau merdekakan dia," mintanya. "Didalam rumah keluarga Oen
ini, kecuali kita berdua ibu dan anak, tidak ada orang lain lagi yang pandang kami sebagai
orang dalam..."
Sin Tjie lihat sikap lesu nyonya itu, ia dengar suara yang lemah bersedih. Lantas saja ia
tepuk jalan darahnya orang tawanannya itu, atas mana dia ini keluarkan jeritan perlahan,
lalu mendusin.
Nyatalah orang ini ada Oen Lam Yang dengan siapa Sin Tjie pernah bertempur. Dia adalah
anak Oen Beng Gie dan turut runtunan, dia ada anak ketujuh dalam keluarga Oen itu.
"Tjit-pehhoe!" Oen Tjeng tegur mamaknya itu., "kami sedang bicara di sini,mengapa kau
mencuri mendengari? Sama sekali kau tidak hargai derajatmu sebagai orang yang terlebih
tua!"
Kedua matanya Oen Lam Yang bersinar, rupanya ia mendongkol, tapi sebentar saja, lantas
ia ngeloyor pergi dengan tak bilang suatu apa. Rupanya ia jeri atas keliehayan si anak
muda, yang barusan cekuk ia dengan gampang, sedang kemarinnya, ia pun gagal layani
anak muda itu. Akan tetapi, setelah beberapa tindak diluar paseban, dia menoleh dan kata
dengan sengit : "Perempuan tidak tahu malu pasti bisa melahirkan satu anak perempuan
tidak tahu malu juga! Sudah sendiri mencuri lelaki, sekarang pun anak sendiri diajari curi
lelaki juga!"
Tapi Tjeng Tjeng tidak bisa antap hinaan itu, sambil hunus pedangnya ia loncat keluar
paseban, untuk menyusul.
"Eh, tjit-pehhoe, mulutmu kotor sekali!" ia berseru. "Apa kau bilang?"
Oen Lam Yang putar tubuhnya lalu ia berdiri tegak.
"Eh, kacung hina, kau hendak berontak?" tanyanya. "Yaya semua yang perintah aku
datang kemari! Habis kau mau apa?"
"Jikalau kau hendak bicara dengan kita, kau boleh bicara terus-terang!" Tjeng Tjeng tegur.
"Kenapa kau curi dengar pembicaraan kita?"
"Kita? Hm!" Oen Lam Yang menghina, sambil tertawa dingin. "Entah orang hutan dari
mana datang kemari yang lantas dimasuki dalam lingkungan kita! Muka terang delapanbelas
turunan dari keluarga Oen telah kau bikin malu!"
Mukanya Tjeng Tjeng menjadi merah saking malu. Ia menoleh pada ibunya.
"Ibu, dengarlah kata-katanya itu!" katanya.
"Tjit-ko, mari, aku hendak bicara denganmu," kata Oen Gie dengan pelahan.
Oen Lam Yang kasih dengar suara :" Hm!" lantas ia bertindak menghampiri, sikapnya
jumawa sekali.
"Kita ibu dan anak hidup menderita," berkata si nyonya kemudian. "Kita berterima kasih
kepada lima yaya dan semua saudara, yang masih mengijinkan kita tinggal belasan tahun
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
dalam rumah keluarga Oen ini. Tentang urusan si orang she Hee, belum pernah aku
omong suatu apa terhadap Tjeng Tjeng, tetapi sekarang setelah dia menutup mata, selagi
tjitko ketahui semua dengan baik, tolong kau tuturkan itu kepada Wan Siangkong dan
Tjeng Tjeng...."
"Kenapa aku yang mesti menuturkan?" tanya Oen Lam Yang dengan mendongkol. "Inilah
urusan kamu, kamu sendiri yang harus menceritakan asal jangan kamu tahu malu!"
Nyonya itu menghela napas.
"Baiklah," sahut dia. "Aku tahu, dia pernah tolongi jiwamu, aku percaya, sedikitnya kau
masih bersukur terhadapnya, siapa tahu kau sama saja dengan semua anggauta keluarga
Oen ini, semuanya bong in pwee gie - semua tidak kenal budi-kebaikan!"
Oen Lam Yang jadi sangat gusar.
"Dia pernah tolong jiwaku, itu benar!" katanya dengan sengit.
"Tapi kenapa dia tolongi aku? Baiklah, aku nanti tuturkan semua, supaya kalau kau yang
menceritakannya, tak bisa kau menambahi bumbu hingga aku akan jadi orang macam apa
tahu!"
Ini mamak yang ketujuh lantas duduk.
"Orang she Wan, Tjeng Tjeng," katanya, mulai, "nanti aku tuturkan bagaimana duduknya
hingga kami kenal Kim Tjoa Kan-tjat, aku nanti jelaskan semua dengan terang supaya
kamu ketahui bagaimana jahatnya kantjat itu!"
"Jikalau kau omong jelek tentang dia, tak suka aku mendengari!" memotong Tjeng
Tjeng.Dan ia tutupi kupingnya.
"Tjeng Tjeng, kau dengarilah!" berkata sang ibu. "Ayahmu yang telah meninggal dunia ini,
walaupun dia tak dapat dikatakan orang baik seluruhnya, akan tetapi apabila dia dipadu
dengan keluarga Oen, dia masih terlebih baik beratus lipat!"
"Hm, kau lupa bahwa kau pun she Oen!" mengejek Oen Lam Yang sambil tertawa dingin.
Oen Gie tidak perdulikan ejekan kakak itu.
Maka Oen Lam Yang segera mulai dengan penuturannya : "Itu adalah kejadian pada duapuluh
tahun yang telah lampau. Ketika itu aku baru berumur dua puluh satu tahum. Ayah
telah utus aku ke Yang-tjioe untuk bantui liok-siokhoe..."
"Kiranya," pikir Sin Tjie," Ngo Tjouw dari Tjio Liang Pay bukan cuma berlima saudara
hanya berenam..."
Liok-siokhoe adalah paman yang keenam.
"Ketika aku sampai di Yang-tjioe, aku tak dapat menemui Liok-siokhoe," Lam Yang
melanjuti. "Pada suatu malam aku pergi keluar, untuk bekerja, apa celaka, karena kurang
waspada, aku gagal..."
"Kau tidak jelaskan, kerjaan apa itu yang kau lakukan," kata Oen Gie dengan dingin. Lam
Yang mendongkol, ia gusar.
"Aku toh satu laki-laki, aku berani berbuat, mustahil aku takut menyebutkannya?" katanya
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
dengan sengit. "Aku telah dapat lihat satu nona yang cantik sekali, aku lompat masuk
kedalam pekarangannya , untuk memetik bunga. Nona itu tolak aku, maka aku lantas
bunuh dia. Nona itu masih dapat ketika untuk menjerit dan jeritannya itu terdengar orang.
Ada beberapa guru silat yang menjadi tjinteng rumah itu, mereka itu keluar mengepung
aku. Aku tidak sanggup layani begitu banyak orang, akhirnya aku kena ditangkap...."
Sin Tjie bergidik sendirinya mendengar orang cerita tentang kekedjian dan kekejamannya
sendiri tanpa merasa jengah atau malu. Istilah "petik bunga" itu adalah perkosaan
terhadap orang perempuan. Ia pikir, kenapa Oen Lam Yang sedemikian jahat.
"Orang lantas kirim aku kepenjara," mamaknya Oen Tjeng Tjeng itu melanjuti. "Aku tidak
takut. Aku ingat, liok-siokhoe toh ada di kota Yang-tjioe. Untuk seluruh Kanglam,
boegeenya paman itu tidak ada tandingannya. Aku percaya, asal paman ketahui
kegagalanku, pasti dia bakal datang menolongi aku. Akan tetapi sepuluh hari sudah aku
menanti-nanti, tidak juga paman muncul. Sementara itu surat keputusan telah datang dari
pembesar lebih atas, aku telah diputuskan hukuman mati, yang mesti dijalankan didalam
kota Yangtjioe juga. Satu pegawai penjara beritahukan aku keputusan itu. Sampai itu
waktu Barulah aku ketakutan..."
"Hm! Aku menyangka kau tak kenal takut!..." Tjeng Tjeng mengejek.
Lam Yang tidak gubris keponakannya ini.
"Selang tiga hari, sipir bui datang dengan arak secawan besar dan sepiring daging,"
demikian ia meneruskan ceritanya. "Aku tahu artinya makan besar ini, ialah besok aku
bakal jalankan hukumanku. Aku pikir, semua orang memang satu kali mesti mati, hanya
aku, aku merasa sayang atas diriku sendiri. Aku masih muda dan belum cukup merasai
kesenangan....Tapi aku keraskan hati, aku dahar, aku minum, aku habiskan daging dan
arak itu, sesudah mana, aku pergi tidur. Tepat pada tengah malam, aku tersedar karena
ada orang tepuk-tepuk pundakku dengan pelahan. Aku segera geraki tubuh, untuk
bangun. Lantas aku dengar kisikan di kupingku : "Jangan bersuara! Aku akan tolong
padamu!" Orang itu lantas gunai senjatanya, akan tabas kutung pesawat borgolan di
tangan dan kakiku. Itulah senjata yang tajam luar biasa, karena borgolan besi terpapas
dengan beberapa bacokan saja. Habis itu dia tarik tanganku, dia ajak aku menyingkir dari
penjara. Kita kabur sampai diluar kota, disebuah kuil tua. Selama diajak lari, aku turut saja.
Memang aku tak dapat berbuat lain. Dia itu larinya pesat sekali, tenaganya pun besar luar
biasa, tak bisa aku lepaskan diri dari cekalannya. Karena separuh ditarik, aku jadi tidak
terlalu cape. Setelah dia nyalakan lilin diatas meja suci, Baru aku dapat lihat tegas
romannya, ialah satu pemuda yang cakap- ganteng, usianya lebih muda beberapa tahun
daripadaku, mukanya putih-bersih. Hm!"
Lantas saja ia berpaling kepada Oen Gie dan Tjeng Tjeng bergantian, akan lirik itu ibu dan
anak.
"Aku lantas kasih hormat pada pemuda itu seraya menghaturkan terima kasih." Lam Yang
cerita lebih jauh setelah ia mengejek ibu dan anak itu dengan lirikannya. "Dia sangat
jumawa, dia tak balas hormatku itu. Dia kata : "aku seorang she Hee, apa kau ada orang
she Oen dari Tjio Liang Pay?" Aku manggut. Sementara itu aku lihat dia masih cekal
senjata tajamnya yang tadi dipakai menabas kutung rantai borgolanku. Itu adalah pedang
warna hitam, anehnya adalah ujung pedang terpecah dua sebagai cagak."
Didalam hatinya, Sin Tjie kata : "Itulah dia pedang Kim Tjoa Kiam yang aku dapatkan." Ia
diam saja, ia mendengari terus.
"Habis itu aku tanya namanya," Oen Lan Yang bercerita terus. "Tak usah kau ketahui
namaku!" jawabnya. "Biar bagaimana, dibelakang hari, tidak nanti kau berterima kasih
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
kepadaku!" Aku jadi sangat heran. Pikirku, dia telah tolongi jiwaku, tentu saja aku mesti
senantiasa ingat budinya itu, ingat seumur hidupku. "Aku tolong kau untuk kepentingan
pamanmu yang keenam," ia menambahkan. "Mari turut aku!"
"Dengan keheran-heranan, aku ikuti dia. Kita pergi ketepi sungai Oen Hoo, kita naik atas
sebuah perahu dan masuk kedalamnya. Dengan ringkas dia suruh tukang perahu
berangkat, keselatan. Sesudah menyingkir dari Yangtjioe lebih dari sepuluh lie, Baru
hatiku mulai lega. Itu artinya, pembesar negeri tidak akan mampu susul pula padaku."
"Dari sakunya, anak muda itu keluarkan sepasang ngo-bie-tjie, ialah semacam senjata
mirip dengan tempuling. Aku kenali itu sebagai gegaman liok-siokhoe. Biasanya tidak
pernah liok-siokhoe terpisah dari gegamannya itu, maka aku heran, kenapa ngo-bie-tjie itu
berada ditangannya penolongku yang tidak dikenal itu.
"Liok-siokhoemu itu adalah sahabat karibku!" kata dia sambil tertawa. Ia tertawa beberapa
kali, lalu dengan tiba-tiba mukanya jadi berperongos bengis. Tanpa merasa, aku menggigil
saking heran, kaget dan jeri.
"Disini ada sebuah peti," katanya kemudian. "Aku ingin kau bawa pulang itu kerumah.Dan
ini surat kau serahkan pada ayahmu, pada mamak dan pamanmu semua!" Dia menunjuk
pada sebuah peti didalam perahu itu. Itulah peti yang besar sekali yang ditutup dan dipaku
keras, lalu dilibat dengan dadung.
"Kau mesti pulang dengan lekas, jangan kau singgah ditengah jalan," dia pesan. "Peti ini
mesti dibuka dengan tangan sendiri oleh mamakmu yang pertama!"
Aku terima baik pesan itu.
"Dalam satu bulan ini, aku akan datang berkunjung kerumahmu," dia berkata pula. "Kasih
tahu pada semua tertua dirumahmu supaya mereka sambut aku secara baik-baik!"
"Itulah kata-kata tidak keruan juntrungannya, akan tetapi aku toh terima juga. Setelah
memesan dan aku menerimanya, se-konyong-konyong dia sambar jangkar rantai dari atas
perahu, hingga rantainya berbunyi berisik. Segera ia lemparkan itu, malah beruntun semua
empat-empatnya jangkar."
"Bagus!" berseru Tjeng Tjeng tanpa ia merasa.
"Cis!" meludah Lam Yang, hingga ludahnya itu menodai lantai paseban,yang sangat
bersih.
Sekitar paseban ditanami pohon kembang mawar, Tjeng Tjeng tanam itu dengan
tangannya sendiri. Paseban itu, terutama lantainya, sangat bersih karena si nona sangat
resik. Sekarang ia lihat paseban diludahi, ia jadi berduka.
Sin Tjie tampak roman menyesal sahabatnya, ia ulur sebelah kakinya, akan gusak-gusak
ludah itu.
Melihat kelakuan itu, si nona menoleh pada pemuda ini, agaknya ia sangat berterima
kasih.
Oen Gie lihat kelakuan dua anak muda itu, ia manggut dengan pelahan. Nyata ia puas
dengan tingkah-laku pemuda itu.
"Terang dia telah perlihatkan tenaga besarnya padaku, tetapi aku tidak dapat terka apa
artinya itu," Oen Lam Yang melanjutkan untuk kesekian kalinya. "Dengan kekuatannya itu,
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
dia telah bikin putus rantai-rantai jangkar. Kemudian Baru dia kata padaku: "Jikalau kau
tidak lakukan pesanku ini, contohnya adalah ini jangkar!"
"Setelah itu, dia rogo sakunya, akan keluarkan sepotong goan-po kelantai perahu sambil
berkata : "Inilah ongkos jalanmu!" Tanpa tunggu jawabanku, dia sambar dua potong gala,
sepotong ditiap tangan. Ketika dengan tangan kiri ia tancapkan gala kedalam sungai,
tubuhnya segera turut terangkat naik dan melayang ketengah air. Menyusul itu ia
tancapkan gala yang kanan, tubuhnya turut melayang juga, sedang gala kiri, ia cabut, ia
angkat, untuk ditancapkan pula kearah depan. Secara demikian, dalam beberapa gerakan
saja, ia sudah sampai ditepian dimana ia letaki kaki seraya memutar tubuh. "Kau sambut
ini!" ia berseru, menyusul mana dua batang gala ditimpuki kearah perahu. Aku tidak berani
sambuti kedua gala itu, yang jadi nancap digubuk perahu. Selagi aku kaget dan kagum,
dari tepian aku dengar seruannya yang panjang, lantas tubuhnya lenyap ditempat gelap."
"Sungguh gagah Kim Tjoa Long-koen," pikir Sin Tjie.
Pemuda ini cuma memikir didalam hati, tidak demikian dengan si pemudi.
"Dia ada satu enghiong, satu hoo-kiat!" Tjeng Tjeng berseru dengan pujiannya. Enghiong
atau hookiat adalah satu pahlawan atau orang gagah.
"Satu Enghiong ? Cis!" Oen Lam Yang mengejek. Ketika itu aku pandang dia sebagai tuan
penolong. Melihat sinar matanya, yang tajam dan bengis, dia rupanya sangat benci aku,
akan tetapi aku mau percaya itulah tabeatnya yang koekoay, maka aku tidak
memperdulikannya lebih jauh. Setelah itu aku lanjuti perjalanan pulang. Semua kuli, yang
aku suruh gotong peti bilang, peti itu berat sekali. Aku duga, tentunya liok-siokhoe peroleh
untung besar, bahwa peti itu terisi emas dan perak dan mustika lainnya. Aku pun percaya,
setelah dengan susah payah aku bawa pulang itu, semua paman dan mamak akan
hadiahkan aku sedikitnya satu bagian dari harta itu. Maka juga, aku sangat bergembira.
Ketika akhirnya aku sampai dirumah, yah, mamak dan paman, semua puji aku, mereka
katakan, Baru pertama kali aku pergi bekerja, aku telah peroleh hasil yang tidak dapat
dicela..."
"Memang tidak dapat dicela!" Tjeng Tjeng menyelak dengan ejekannya.
"Sudah kau bunuh satu nona remaja, kau juga pulang dengan gondola sebuah peti besar!"
"Tjeng Tjeng, diam!" Oen Gie melarang. "Kau dengarkan cerita pehhoe."
Oen Lam Yang tidak ladeni keponakannya itu.
"Malam itu kami berkumpul," demikian lanjutan penuturannya. "Lilin dinyalakan terangterang
di seluruh thia. Empat bujang gotong peti besar. Ayah beserta keempat mamak
duduk ditengah ruangan. Aku sendiri adalah yang loloskan semua dadung, kemudian aku
cabut setiap pakunya.
Aku masih ingat benar ketika toapehhoe sambil tertawa berkata : "Entah lauwliok kepincuk
oleh si cantik siapa, ia sampai lupa daratan dan tak mau pulang, dia cuma suruh ini bocah
bawa pulang petinya ini! Mari! Mari kita lihat mustika apa yang dia antar pulang!" Aku
lantas buka tutup peti, diatas mana ada sepotong sampul surat yang ada tulisannya, yang
berbunyi : 'Lima saudara Oen harus buka bersama' Itulah huruf-huruf yang indah, yang
bukan buah-kalam liok-siokhoe. Aku serahkan surat itu pada toa pehhoe.
"Toa pehhoe sambuti surat tetapi ia tidak lantas buka untuk dibaca. "Coba lihat dulu, apa
isinya bungkusan!" kata dia. Peti besar itu memang berisikan sebuah bungkusan besar
sekali, yang atasnya diampar kertas. Bungkusan itu dijahit rapat.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
"Liok-teehoe, coba ambil gunting, guntingi benang itu," toa pehhoe kata pada encim yang
keenam. "Aku heran, liok-tee boleh menjadi begini terliti..."
"Encim lantas ambil gunting, akan putuskan semua benang, sesudah mana, ia buka
bungkusan itu. Dengan tiba-tiba dari dalam bungkusa menyambar tujuh atau delapan
batang anak panah beracun..."
Tjeng Tjeng menjerit sendiri saking kaget.
"Itulah kepandaian yang umum dari Kim Tjoa Long-koen," kata Sin Tjie dalam hatinya. Ia
tidak jadi heran dan kagum seperti si nona.
"Mengingat kejadian itu, aku bersuku kepada Thian," Oen Lam Yang kata dengan
pujiannya. "Coba aku keburu napsu, aku yang buka bungkusan itu, mana jiwaku masih
dapat hidup sampai sekarang ini? Semua gandewa itu mengenai dengan telak kepada
tubuh encim keenam. Semua ada gandewa beracun yang liehay sekali, yang mengenai
darah lantas menutup tenggorokan. Hampir tidak berseru lagi, encim keenam rubuh,
anggauta tubuhnya semua berubah menjadi hitam. Dan ia mati tak berampun lagi!..."
Berkata demikian, Lam Yang menoleh pada Tjeng Tjeng.
"Itulah perbuatan bagus dari ayahmu!" kata dia dengan ejekannya. "Karena kejadian itu,
seluruh thia menjadi gempar. Ngo-siok lantas menyangka jelek padaku, dia suruh aku
yang buka bungkusan besar itu. Dengan terpaksa, aku menurut. Aku berdiri jauh-jauh, aku
buka bungkusan dengan pakai gala untuk menggaet dan menggower. Sukur tidak ada
gandewa lainnya yang menyambar. Kau tahu, apa isinya bungkusan itu?" ia tanya si nona.
"Apakah itu?" Tjeng Tjeng balik tanya.
Oen Lam Yang kasi dengar suara nyaring ketika ia menjawab : "Itulah mayat entjek
keenam!"
Tjeng Tjeng kaget hingga parasnya menjadi pucat.
Oen Gie rangkul puterinya itu, untuk dipeluki, untuk tetapkan hatinya.
Untuk sesaat, keempat orang berdiam semua.
"Coba bilang, dia kejam atau tidak?" kemudian Oen Lam Yang mulai lagi, dengan
pertanyaannya. "Sebenarnya sudah cukup dia bunuh lioksiokhoe, maka apa perlunya dia
bungkus mayatnya dan dikirim pulang secara demikian?"
"Kau tidak hendak sebutkan sebabnya kenapa dia berbuat demikian!" Oen Gie sahuti
kakak itu.
"Hm, kau tentunya anggap harus demikian," Lam Yang balas.
Oen Gie memandang kelangit yang luas akan lihat bintang-bintang, agaknya ia tersemsem.
Kemudian, sembari memandang puterinya, ia kata dengan pelahan : "Ketika itu, Tjeng
Tjeng, aku berusia lebih tua satu tahun daripadamu sekarang ini. Akan tetapi aku masih
bersifat seperti kanak-kanak, apa juga aku tak mengerti. Dirumah ini, semua mamak dan
paman, tidak ada kejahatan yang mereka tidak lakukan. Aku tidak sukai mereka itu. Melihat
mayat liok-siokhoe, aku tidak berduka. Inilah aku bicara terus-terang. Aku melainkan
heran, dia yang ilmu silatnya liehay, cara bagaimana dia kena dibinasakan! Aku umpatkan
diri dibelakang ibu, aku tidak berani mengucap apa-apa. Kemudian adalah toapehhoe yang
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
membuka surat, untuk dibacakan dengan nyaring. Dua-puluh tahun sudah lewat tetapi aku
masih dapat bayangi kejadian malam itu, toapehhoe gusar hingga mukanya pucat, hingga
suaranya menggetar. Aku ingat, beginilah dia membaca : "Kepada yang terhormat, Tujuh
saudara Oen dari Tjio Liang Pay! Aku kirimkan bersama ini satu mayat lengkap, harap
kamu suka terima dengan gembira.
Orang ini sudah perkosa encie kandungku, habis itu dia bunuh encieku itu, kemudian lagi,
dia juga binasakan ayah, ibu dan dua saudara tuaku, hingga semua lima anggauta dari
keluargaku mati terbunuh ditangannya! Melainkan aku sebatang kara yang bisa kabur
meloloskan diri dari ancaman malapetaka hebat itu, untuk terus berkelana. Baru sekarang
aku pulang, untuk menuntut balas! Hutang darah itu mesti ditebus sepuluh lipat, dengan
cara demikian Barulah aku bisa puaskan hatiku. Aku mesti bisa bunuh lima-puluh jiwa
anggauta keluargamu yang lelaki dan perkosa sepuluh anggauta perempuan ! Jikalau
jumlah ini tak dapat aku penuhkan, aku sumpah tak mau aku menjadi manusia! Hormatnya
Kim Tjoa Long-koen Hee Soat Gie."
Habis membaca, Oen Gie menghela napas lega.
"Engko Lam Yang, benar atau tidak liok-siokhoe, telah bunuh semua anggauta
keluarganya?" dia tanya Lam Yang.
Orang yang ditanya manggut.
"Kami ada bangsa laki-laki, kami sudah masuk Jalan Hitam," jawabnya dengan bangga,"
maka untuk kami, merampas harta-benda, membunuh orang dan membakar rumah adalah
pekerjaan biasa! Liok-siokhoe lihat wanita cantik, dengan jalan perkosa dia masih tak
dapatkan maksudnya, kalau karenanya dia cabut golok dan membunuhnya, itu mungkin
terjadi."
Oen Gie menarik napas panjang.
"Kamu orang-orang lagi, diluaran kamu sudah lakukan kedosaan besar, kita orang-orang
perempuan didalam rumah, mana kita dapat tahu?...."
"Sesudah baca surat itu, toapehhoe tertawa berkakakan," demikian Oen Lam Yang mulai
pula dengan ceritanya. "Dia kata :" Dia hendak datang kemari, itulah bagus! Kalau tidak,
kita mesti pergi cari dia! Kalau dia umpatkan diri, kemana kita mencarinya?"
"Walaupun toapehhoe bilang demikian, ia tapinya berlaku teliti. Sejak malam itu,
penjagaan diperkeras. Malah dua orang segera diutus ke Kim-hoa dan Giam-tjioe untuk
panggil pulang tjit-siokhoe dan pat-siokhoe."
Sin Tjie heran.
"He, kenapa mereka bersaudara sedemikian banyak?" pikirnya.
"Ibu," Tjeng Tjeng juga tanya," kiranya kami masih punyakan Tjit-yaya dan Pat-yaya?
Kenapa aku tidak tahu?..."
"Mereka adalah saudara tjintong dari yayamu," terangkan Oen Gie. "Memang, mereka itu
tidak tinggal disini."
"Tjit-siokhoe tinggal di Kim-hoa, pat-siokhoe di Giamtjioe," kata Lam Yang. "Mereka ada
keluarga kita tetapi orang luar jarang yang ketahui. Akan tetapi Kim Tjoa Long-koen benar
liehay. Begitu lekas tjit-siokhoe dan pat-siokhoe berangkat menudju kemari, ditengah jalan
mereka dipegat dan dibinasakan oleh dia. Dia sungguh seperti malaikat muncul dan hantu
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
selam, entah kapan terjadinya, pada suatu malam dia telah masuk kedalam rumah kita, dia
telah curi lima-puluh batang tjiam yang kita biasa pakai diwaktu pungut panen. Setiap kali
dia bunuh satu orang kita, ditubuh korbannya itu dia tancap sebatang tjiam. Rupanya dia
hendak wujudkan sumpahnya, sebelum dia binasakan lima-puluh orang kita, dia tidak mau
berhenti...."
"Dirumah kita ini sama sekali ada seratus orang lebih, cara bagaimana tak mampu kita
melawan dia?" tanya Tjeng Tjeng. "Dia berjumlah berapa banyak orang?"
"Dia bersendirian saja," sahut Oen Lam Yang. "Kantjat itu belum pernah berani perlihatkan
diri, kita juga tidak tahu dimana dia sembunyikan diri. Terang dia menantikan,asal ada
orang kita yang mencil sendirian, lantas dia bunuh mati. Ayah jadi gusar berbareng sibuk,
sampai ayah undang belasan orang Kang-ouw datang ke Tjio-liang ini, untuk setiap hari
atau malam berpesta besar disini, guna tunggui kantjat itu. Diluaran juga kita sudah
tempelkan surat-surat pengumuman, akan tantang dia secara berterang, untuk satu
pertempuran yang memutuskan. Akan tetapi tak mau dia terima tantangan kita itu. Melihat
kita berjumlah banyak, dia tidak pernah datang-datangpula. Maka itu, selang setengah
tahun, sahabat-sahabat kang-ouw itu pada pamitan pulang satu demi satu. Tapi, begitu
lekas rumah kita sepi, engkoh yang ketiga dari kamar kedua dan adik lelaki kesembilan
dari kamar kelima telah kedapatan mati tenggelam didalam empang, pada tubuh mereka
tertancap masing-masing sebatang tjiam. Nyata sekali, kantjat itu pandai sekali mengatasi
diri, ia bisa menanti dengan sabar sampai berbulan-bulan, akan datang pula disaat
pilihannya. Sejak itu beruntun selama sepuluh hari, setiap harinya ada saja orang kita
yang binasa sebagai korbannya, sampai di Tjio-liang ini, tukang-tukang peti-mati
kehabisan peti untuk merawat korban-korban itu, hingga kita mesti pergi beli peti dikota
Kie-tjioe. Tentu saja, terhadap orang luar, kita siarkan berita bahwa kita terganggu iblis
jahat dan penyakit hebat. Adik Gie, kau tentunya masih ingat baik-baik itu hari-hari yang
menggiriskan?"
"Ketika itu, seluruh desa pun gempar saking ketal," Oen Gie jawab. "Rumah kita telah
dijaga dan dirondai setiap siang dan malam, malah ayah bersama semua yaya meronda
juga dengan bergiliran, sedang semua orang perempuan dan anak-anak pada
sembunyikan diri didalam rumah, tidak ada yang berani keluar dari pintu hek sekalipun
satu tindak."
"Walaupun demikian," menyambung Lam Yang dengan gigi bertjatrukan," kedua enso dari
kamar keempat, pada suatu malam lenyap dua-duanya, diculik diluar tahu kita. Kita sudah
menduga, mereka itu tentu bakal terbinasa ditangan si kantjat, siapa tahu selang satu
bulan lebih, kedua enso itu telah berkirim surat dari Yangtjioe dalam mana mereka
memberi tahu bahwa oleh si kantjat mereka sudah dijual dirumah hina dimana mereka
dipaksa mesti melayani tetamu-tetamu lelaki selama satu bulan. Soe-yaya menjadi
demikian mendongkol, sehingga ia rubuh pingsan. Tidak bisa lain, terpaksa kita kirim
orang dan uang ke Yangtjioe untuk tebus kedua enso itu..."
Sin Tjie bergidik sendirinya.
"Hebat pembalasannya Kim Tjoa Long-koen," pikir ia. "Memang ia harus balaskan sakit
hati ayah, ibu, encie dan kedua engkohnya, akan tetapi setelah musuh besarnya sudah
terbinasa, sikap selanjutnya ini rada keterlaluan..."
Pemuda ini goyang-goyang kepala.
"Yang paling hebat," menyambung pula Oen Lam Yang," setiap perajaan Toan-ngo, Tiong
Tjioe dan penutup tahun, dia tentu-tentu kirimkan kami sepucuk surat berikut sepotong
surat perhitungan dalam mana dia peringati bahwa kami masih berhutang beberapa jiwa
lelaki dan beberapa orang perempuan. Tjio Liang Pay telah malang-melintang di Kanglam
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
beberapa puluh tahun lamanya, sekarang mereka dipermainkan secara begini rupa oleh
dia satu orang, bagaimana kami tidak berduka dan lelah? Mau kita menuntut balas, akan
tetapi musuh sangat licin dan gagah. Ayah dan beberapa paman pernah tempur dia secara
perseorangan, semuanya bukan tandingan dia itu. Maka juga pihak kami jadi putus asa,
kita cuma bisa ambil putusan akan bela diri secara beramai-ramai. Asal kita menjaga
dengan keras, dia tidak pernah muncul, sampai bulanan pun tidak. Kalau kita alpa, lantas
dia muncul dan bekerja. Demikian selama dua tahun, besar dan kecil, sama sekali dia telah
binasakan tigapuluh delapan jiwa. Tjeng Tjeng, hayo bilang, pantas atau tidak kita benci
dia?"
"Kemudian bagaimana?" tanya si nona, yang tidak jawab pertanyaan mamak itu.
"Baik ibumu saja yang melanjuti," sahut sang mamak dengan lesu.
Sampai disitu, Oen Gie awasi Sin Tjie, wajahnya berduka.
"Wan siangkong," katanya dengan pelahan," kau telah rawat jenasah dia, maka sekarang,
apa jua boleh aku tak usah sembunyikan kepadamu. Hanya aku minta sebentar, tolong kau
tuturkan aku perihal meninggalnya dia itu, supaya kita ibu dan anak mendapat tahu,
dengan begitu...."
Nyonya ini tidak bisa bicara terus, ia menangis sesenggukan, sehingga ia mesti menunda
beberapa detik untuk legakan hati.
"Ketika itu aku tidak tahu kenapa dia demikian kejam, malah aku tidak ingin
mengetahuinya," kemudian nyonya Hee ini mulai dengan keterangannya. "Ayah larang aku
keluar dari pekarangan rumah walaupun setindak juga, aku jadi sangat masgul. Maka itu
setiap hari aku cuma bisa memain didalam taman. Malah ayah bilang, tanpa ada beberapa
engko yang temani, siang pun orang perempuan dilarang berkeliaran didalam
pekarangan."
"Dalam bulan ketiga, selagi bunga-bunga mekar indah dan harum baunya, ingin aku pergi
kebukit untuk tengok pohon-pohon bungaku, apamau disebabkan sepak terjangnya Kim
Tjoa Long-koen itu, tak dapat aku puasi hatiku, aku mesti dikeram didalam rumah. Pernah
aku memikir untuk membolos sendirian akan tetapi aku tidak berani karena bengisnya
ayah."
"Pada suatu hari aku pergi memain didalam taman, bersama encie ketiga dari kamar kedua
serta enso dari kamar kelima. Bersama kita ada engko Lam Yang serta kaupunya engko
Liam Tjoe. Jadi kita ada berlima. Dengan gembira kita main ayunan, yang diayun makin
lama makin tinggi, hingga kita bisa melihat keluar tembok pekarangan dimana tertampak
pohon-pohon yanglioe yang hijau-segar serta bunga-bunga toh yang gompiok-indah."
"Disaat kita sedang bergembira, se-konyong-konyong engko Liam Tjoe menjerit sekali,
Begitu lekas kita memeriksa, nyata dadanya engko Liam Tjoe itu telah tertikam sebatang
bor Kim-tjoa-tjoie, hingga ia habis nyawanya seketika juga. Engko Lam Yang! Aku ingat
betul, kau sudah lantas lari masuk kedalam rumah, kau tinggalkan kita bertiga berada
didalam taman!"
Mukanya Lam Yang menjadi merah.
"Seorang diri aku tidak dapat lawan dia, apa itu bukan berarti aku akan antari jiwa secara
kecewa?" katanya, untuk bela diri: "Aku lari ke dalamuntuk minta bantuan..."
Oen Gie tidak gubris bantahan saudara itu, ia lanjuti ceritanya: "Selagi aku bingung karena
belum tahu duduknya perkara, tiba-tiba seorang berkelebat diatas tembok, dia lompat
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
turun kebawah, tepat kepadaku, yang masih berdiri diatas ayunan. Dengan sekuat tenaga,
ia ayun ayunan itu, lalu ia peluk pinggangku. Aku rasakan seperti aku terbang melayang
ditengah udara, aku percaya kita berdua bakal jatuh mati. Kakiku tidak injak lagi papan
ayunan."
"Orang itu cekal aku dengan tangan kiri, ketika ia turun diluar tembok, tangan kanannya
sambar secabang pohon yanglioe, habis mana, dengan turuti cabang yang meroyot turun,
ia turun ketanah, dengan begitu, aku terhindar dari bahaya. Dalam bingung, aku pukuli dia
pada mukanya. Ketika ia tekan pundakku, lantas seluruh tubuhku jadi lemas, akan
kemudian lenyaplah tenagaku. Tapi aku dengar suara berisik dibelakangku. Itulah orangorang
yang susul aku.
"Tidak antara lama, siraplah suaranya sekalian pengejar itu. Terang mereka telah
ketinggalan jauh. Masih aku dibawa lari terus, sampai akhirnya kita berhenti disebuah gua
dilamping jurang yang nampaknya seperti jurang tergantung. Sampai disitu, dia totok pula
padaku, hingga aku jadi dapat pulang tenagaku. Ia awasi aku sambil bersenyum
menyengir."
"Tiba-tiba aku ingat kedua enso yang bernasib malang. Maka aku pikir, daripada terhina,
lebih baik aku binasa. Begitulah aku loncat, akan benturkan kepalaku kebatu gunung. Dia
lihat sikapku itu, dia kaget, dia lantas jambret bebokongku. Cegahan ini membikin gagal
kenekatanku itu. Tapi aku telah kena bentur juga batu, tidak keras, karena mana, aku jadi
dapat ini tanda...."
Oen Gie tunjuki jidatnya, dibagian ujung, yang ketutupan rambut, dimana ada satu cacat,
melihat mana, waktu itu lukanya itu tentu bukan enteng. Ia menghela napas.
"Coba itu waktu dia tidak jambret aku, coba dia antap aku benturkan diri, hingga aku
terbinasa, urusan tidak bakal jadi berlarut-larut. Untuk dia sendiri, mungkin itu ada banyak
baiknya. Tapi karena dia berhasil mencegah aku, dia justru jadi terancam, Karena lukaku
itu, aku pingsan, ketika kemudian aku sadar, aku dapati aku sedang rebah diatas sepotong
permadani didalam gua itu. Aku kaget hingga hampir aku pingsan pula, Baru hatiku lega
apabila aku dapati kenyataan, pakaiannya rapi seperti tadinya. Mungkin karena melihat
aku nekat, jangkitlah yang jernih, dia tidak ganggu aku," kata nyonya ini.
(Bersambung bab ke 8)
"Rupa-rupanya dia kuatir aku nanti berlaku nekat pula, selama dua hari terus-terusan dia
jaga aku," Oen Gie bercerita lebih jauh. "Dia matangi sendiri bahan makanan, untuk aku
dahar. Aku melainkan menangis, tidak sudi aku layani dia. Hari ketiga lewat, datang hari
keempat. Dalam empat hari saja, aku telah jadi kurus bukan main. Ia masaki aku daging
kuah, dengan sabar ia bujuki aku untuk dahar daging kuah itu. Tetap aku tidak perdulikan
padanya. Tiba-tiba dia jambak aku, untuk bikin kepalaku melenggak, hidungku terus
ditutup, sesudah mana, selagi mulutku terpentang, dia paksa cekoki kuah daging itu.
Secara demikian, mau atau tidak, aku kena tenggak separuh dari isinya mangkok. Baru
setelah itu, ia tidak jambak pula padaku. Dengan sengaja aku sembur mukanya, aku ingin
bikin dia gusar, supaya dia bunuh aku, sebab tak ingin aku nanti diperkosa dia, tak sudi
aku diperlakukan sebagai kedua enso, yang dijual pada rumah hina. Sedikitpun ia tidak
gusar, ia tertawa saja. Dengan sabar ia susuti mukanya, ia awasi aku dengan diam saja,
Baru kemudia dia menghela napas."
"Malam itu dia rebahkan diri dimulut gua.
"Aku hendak nyanyikan satu lagu, apa kau suka dengar?" dia kata padaku.
"Aku tidak suka dengar," aku jawab dia.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Dengan tiba-tiba dia kegirangan hingga dia lompat berjingkrakan.
"Aku sangka kau gagu, kiranya kau bisa bicara!" katanya gembira.
"Diluar keinginannku, aku tertawa. Aku anggap lucu yang dia sangka aku tidak bisa bicara.
Kemudian secara mendamprat, aku kata padanya: "Siapa yang gagu? Bertemu sama
orang jahat, aku memang tidak sudi bicara!"
"Dia tidak layani aku bicara, sebaliknya dengan suara muluk, dia nyanyikan satu lagu
pegunungan. Dia nyanyi terus, sampai lanjut malam, hingga sang rembulan muncul
dengan keindahannya. Masih saja dia bernyanyi. Seumurku, aku hidup terkurung didalam
rumah, mana pernah aku dengar nyanyian semacam itu? Itulah nyanyian percintaan
diantara orang-orang lelaki dan perempuan...."
"Kau tidak sudi dengarkan tapi toh kau dengari, bukan?" mendadakan Oen Lam Yang
campur bicara. "Siapa mempunyai kesabaran akan dengarkan cerita burukmu ini?"
Lantas dia bertindak keluar paseban, tindakannya lebar.
"Tentu dia pergi untuk mengadu pada yaya semua," kata Tjeng Tjeng.
"Biar saja, aku tidak takut!" sahut Oen Gie.
"Kalau begitu,ibu, hayo lanjuti ceritamu," sang puteri minta.
"Kemudian lagi, dengan lapat-lapat aku ketiduran sendiri," Oen Gie melanjuti. "Besoknya
pagi aku mendusi, aku tidak lihat dia. Aku lantas memikir untuk minggat. Tapi setelah aku
melongok kemulut gua, aku putus asa. Gua itu berada dipuncak bukit, disebuah lamping,
diempat penjurunya, tidak ada jalanan untuk turun. Cuma orang-orang sebagai dia, yang
sempurna ilmu silatnya dan bisa ilmu mengentengkan tubuh, bisa naik dan turun dengan
merdeka.
"Kira-kira tengah-hari, dia pulang. Dia bawakan aku banyak barang perhiasan, yantjie dan
pupur. Aku tidak inginkan itu, aku jumput, aku lemparkan kedalam jurang. Dia tidak gusar,
malah dia gembira sekali."
"Kapan sang malam sampai, kembali dia bernyanyi untukku."
"Dilain harinya, dia pergi untuk kembali dengan bawakan aku banyak barang mainan,
antaranya anak ayam yang berciap-ciap dan anak kucing yang mengeong-ngeong, juga
anak burung dan anak kura-kura yang merayap pergi-datang. Tentu saja tak tega aku akan
lemparkan semua binatang itu kedalam jurang. Dia rupanya ketahui perasaanku itu. Maka
hari itu, terus seantero hari, dia temani aku memain dengan keempat binatang itu, yang
kita pun kasih makan. Malamnya, kembali dia nyanyi untuk aku dengari."
Melihat yang dia tidak niat ganggu aku, aku menjadi sedikit lega, hingga aku jadi suka juga
dahar. Hanya sampai lebih dari satu bulan, tetap aku tidak suka bicara dengannya.
Meskipun demikian rupa sikapku terhadapnya, tidak pernah dia hunjuk kegusarannya,
terus-menerus dia bersikap lemah-lembut terhadapku. Sekalipun ayah dan ibuku belum
pernah berlaku baik sebagai dia terhadap aku."
"Adalah pada suatu hari ketika dengan sekonyong-konyong datang perubahan atas
dirinya. Dengan tiba-tiba saja dia awasi aku dengan rupa bengis dan sikap mengancam,
hingga aku jadi ketakutan, hingga aku menangis."
"Dia awasi aku sekian lama, lantas ia menghela napas sendirinya.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
"Sudah, jangan nangis," dia bujuk aku akhirnya.
"Pada malam itu aku pergoki dia menangis seorang diri, suaranya pelahan sekali, akan
tetapi aku tahu, dia menangis dengan sangat sedih. Dia menangis diluar gua. Apamau,
malam itu turun hujan.
Dia tidak mau masuk kendati juga hujan turun dengan lebat. Aku jadi tidak tega.
"Mari masuk," aku kata padanya.
Dia tidak perdulikan ajakanku itu.
"Kenapa kau menangis?" aku tanya pula.
"Secara mendadak saja dia menyahuti, dengan bengis : "Besok adalah hari ulang setahun
dari matinya ayah, ibu, encie dan kedua kandaku! Dalam itu satu hari saja, seluruh
keluargaku musnah terbinasa dalam tangannya seorang dari keluargamu! Maka besok aku
mesti bunuh lagi orang keluargamu, sedikitnya mesti satu jiwa! Sekarang ini rumahmu
dijaga sangat keras dan kuat! Keluargamu sudah minta bantuannya Lie Tjwee Toodjin dari
Ngo Bie Pay dan Tjeng Beng Siansoe dari Siauw Lim Pay! Tapi aku tidak takut!"
"Habis mengucap demikian, dia lantas pergi. Dia pergi sampai magrib dihari yang kedua,
masih dia belum kembali. Tanpa merasa aku jadi senantiasa ingat dia. Diam-diam aku
meng-harap-harap pulangnya dia."
Diam-diam Tjeng Tjeng lirik Sin Tjie, akan lihat orang memandang hina atau tidak kepada
ibunya itu,akan tetapi ia dapati pemuda itu duduk dengan tetap tenang dan perhatiannya
sangat tertarik. Menampak demikian, diam-diam ia merasa girang.
Oen Gie melanjuti :
"Selagi cuaca mulai menjadi gelap, dia masih belum kembali juga. Dua-tiga kali aku telah
melongok kemulut gua. Ketika untuk keempat kalinya aku melongok pula, aku tampak
tubuh empat orang diatas puncak, kelihatannya bagaikan bajangan saja. Mereka itu
sedang saling kejar."
"Aku coba mengawasi dengan teliti, maka akhirnya, dengan samar-samar, bisa juga aku
mengenalinya. Orang yang terdepan adalah dia, lalu satu imam, disusul sama satu
pendeta yang menyekal sebatang sian-thung, tongkat yang panjang sebagai toya. Orang
yang keempat ada ayah dengan senjatanya yang istimewa, tongkat berkepala naganagaan.
Dia sendiri cekal pedang Kim Tjoa Kiam. Sendirian saja dia layani tiga lawan,
nampaknya dia terancam bahaya. Sebab sesampainya dipuncak itu, mereka lantas
bertempur."
"Sekarang aku dapat melihat terlebih tegas. Pendeta yang bersenjatakan tongkat itu liehay
sekali, ia dapat mendesak, akan akhirnya mengemplang dengan tongkatnya itu. Aku kaget
hingga aku menjerit, sebab aku lihat dia telah sangat terdesak, aku kuatir dia tak dapat
menghalau bahaya. Tapi dengan pedangnya, dia bisa menangkis, malah tangkisa itu
membuat sapat ujungnya tongkat."
"Ayah dapat dengar jeritanku, ia menoleh kearah aku, lantas ia tidak berkelahi lebih lama,
ia berlari-lari menuju aku."
"Menampak sikap ayah, dia jadi sibuk sekali. Dia desak kedua lawannya, itu imam dan
pendeta, lantas dia tinggalkan, untuk dia susul ayah. Karena ini, dia pun dikejar kedua
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
orang beribadat itu."
"Tidak lama sampailah mereka dilembah dimana dia telah dapat mencandak ayah, untuk
cegah ayah mendekati aku, dia serang ayah, hingga kembali mereka berdua jadi
bertempur. Baru beberapa jurus, si imam dan si pendeta pun sudah datang, diaorang lalu
mengepung pula padanya."
"Ayah lantas gunai ketika untuk menyingkir dari pertempuran itu, untuk ia ber-lari-lari pula
kearah aku. Selama itu, mereka telah mendatangi aku semakin dekat. Aku girang sekali.
"Ayah, lekas!" aku teriaki ayahku.
"Sebagai orang kalap, dia desak kedua lawannya, lalu dia lari akan susul ayah. Dia
berhasil dia serang ayah dengan hebat, hingga ayah terdesak mundur. Sebentar saja, ayah
jadi terancam bahaya.
"Selagi aku berpikir untuk lari kepada ayah, untuk tolongi dia, si imam dan si pendeta
sudah menyusul pula, maka kembali mereka bertempur pula."
"Eh, Gie, bagaimana dengan kau?" ayah teriaki aku.
"Aku tidak kurang suatu apa, ayah, jangan kuatir," aku jawab.
"Baik!" ayah bilang. "Nanti aku bereskan dahulu ini kantjat!"
Bertiga mereka kepung pula dia.
"Kim Tjoa Long Koen," terdengar suaranya si imam dari Ngo Bie Pay," aku hendak bicara
denganmu supaya kau mengerti. Kami dari Ngo Bie Pay tidak bermusuh denganmu, kita
tidak punya sangkutan apa juga, tapi sekarang aku telah campur tahu urusanmu, ini
melulu disebabkan perbuatanmu keterlaluan. Aku janji akan tidak bantu siapa juga asal
kau suka hentikan permusuhan, supaya selanjutnya kau tidak satroni pula keluarga Oen.
Aku ingin supaya urusan diselesaikan mulai hari ini."
"Sambil kertak gigi, aku dengar dia menjawab:
"Habis, apa aku tidak boleh balas sakit hatinya ayah dan ibuku, encie dan kandakandaku?"
demikian tanyanya.
"Kau sudah binasakan banyak jiwa, aku anggap pantaslah kau merasa puas," kata si
imam. "Aku minta, dengan memandang mukaku, sukalah kamu kedua pihak habiskan
persengketaan ini."
"Tapi dia tidak menjawab, malah dengan tiba-tiba dia serang si pendeta. Karena ini, lagilagi
mereka jadi bertempur."
"Senjatanya si imam ada liehay, imamnya sendiri berilmu silat tinggi. Disamping dia,
tongkatnya si pendeta perdengarkan suara angina men-deru-deru. Tongkat itu masih bisa
digunai dengan sempurna walaupun ujungnya sudah terkutung."
"Aku lihat dia terancam. Dia mandi keringat. Dia terdesak. Tiba-tiba aku tampak dia
sempoyongan, hampir-hampir dia rubuh terguling. Justru itu, tongkatnya si pendeta
menyambar. Masih dia bisa luputkan diri dari bahaya dengan berkelit miring."
"Justru karena dia berkelit, dia dapat lihat mukaku. Menurut keterangannya belakangan,
hari itu dia sudah sangat letih, urat-uratnya lemas semua. Akan tetapi kapan dia dapat lihat
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
aku, dan dia dapat perasaan aku sangat memperhatikan padanya, tiba-tiba bangkitlah
semangatnya, tenaganya jadi kumpul pula. Maka ketika dia bikin perlawanan lebih jauh,
Kim-tjoa-kiam jadi sangat berbahaya."
"Nona Oen, jangan takut!" dia serukan aku. "Kau lihat!"
"Entah bagaimana dia telah gunai senjatanya, mendadak terdengar si pendeta keluarkan
jeritan yang menyeramkan, tubuhnya rubuh, lalu bergelundungan kebawah. Kemudian
ternyata, batok kepalanya yang gundul telah tertancap bor Kim-tjoa-tjoei."
"Ayah dan si imam jadi kaget."
"Segera datang saatnya dia serang ayah. Gunai ketika yang baik, si imam membokong dari
belakang. Tapi dia tidak kena ditikam bebokongnya. Dalam ancaman bahaya itu, ia
mendahulukan memutar tubuh, sambil berkelit, tangan kirinya diulur, dua jarinya menusuk
kedua matanya si penyerang. Sambil berbuat demikian, dia berseru keras."
"Imam itu terkejut, lekas-lekas ia tunduk, untuk selamatkan diri dari totokan itu kearah
mata. Selagi ia tunduk, lengan kanannya telah menyambar. Itulah lengan yang menyekal
pedang. Tidak ampun lagi, tubuh si imam terbabat pedang, sehingga dengan satu jeritan
mengerikan, dia rubuh binasa."
Tjeng Tjeng berseru mendengar cerita ibunya itu. Ia kagum.
"Habis itu, dia kembali serang ayah."
"Ketika itu muka ayah telah jadi pucat hingga seperti tak ada darahnya, terang ia kaget dan
jeri karena dapatkan dua kawannya yang liehay telah dibinasakan dengan cepat. Ayah
menangkis secara sembarangan. Tidak lagi ayah bisa mainkan tongkatnya dengan
sempurna.
"Aku lantas lari keluar gua."
"Tahan! Tahan!" aku berseru berulang-ulang.
"Mendengar teriakan aku, dia berhenti menyerang."
"Inilah ayahku," aku perkenalkan dia kepada ayah.
Dia pandang ayah dengan mata bengis. "Kau pergi, aku kasi ampun padamu!" ia kata pada
ayah.
"Ayah tercengang, lalu ia putar tubuhnya, untuk pergi."
"Itu hari, seantero hari aku belum dahar, tubuhku lemas, ditambah dengan kaget karena
menyaksikan pertempuran hebat itu, dan berbareng aku girang sekali karena ayah dikasih
ampun, mendadak aku rubuh sendiri."
"Dia lihat aku rubuh, segera ia lompat untuk kasih bangun padaku. Aku tidak pingsan,
selagi ia membungkuk, aku lihat ayah mengawasi dengan mata bersinar bengis. Tiba-tiba
ayah ayun tongkatnya dipakai mengemplang bebokongnya. Tentu sekali dia tidak
menyangka, karena perhatiannya ada padaku, yang dia hendak tolongi. Aku kaget, aku
berseru:" Awas!"
"Dia pun kaget, segera dia putar tubuh. Akan tetapi tongkat sudah sampai, bebokongnya
kena terhajar. Syukur untuk dia, dia telah berkelit, serangan itu tidak parah. Sambil putar
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
tubuh, tangannya menyambar menyekal tongkat, yang dia dapat rampas, setelah mana,
tongkat itu dilempar kelembah. Dia tidak berhenti sampai disitu, sambil merangsak, dia
serang ayah, dengan kedua tangannya."
"Ayah gugup. Rupanya ia menyesal karena serangannya gagal dan ia kaget tongkatnya
kena dirampas. Ketika serangan datang, ia putus asa, bukannya ia berkelit atau
menangkis, ia justru berdiam seraya tutup kedua matanya.
"Dengan mendadak saja, dia tarik pulang serangannya. Dia menoleh kepadaku,lantas dia
menghela napas. Kemudian dia pandang ayah dan kata : "Lekas kau pergi, jangan tunggu
sampai pikiranku berubah, nanti kau tak dapat ampun lagi!"
"Sampai disitu, tanpa bilang apa juga, ayah putar tubuhnya, akan angkat kaki sambil
berlari-lari."
"Dia awasi ayah pergi, lantas dia menoleh kepadaku. Tiba-tiba ia muntahkan darah,
darahnya menyemprot kebajuku..."
Tjeng Tjeng terkejut, hingga ia keluarkan seruan tertahan. Kemudian : "Sam yaya tak tahu
malu!" katanya. "Depan berdepan dia tidak berani lawan musuh, dia membokong dengan
tangannya yang jahat!"
Oen Gie menghela napas.
"Sebenarnya dia adalah musuh kita," katanya, melanjuti. "Dia pun telah binasakan
beberapa puluh orang dari keluarga kita. Akan tetapi melihat dia dibokong, tak dapat aku
diam saja, makanya aku sudah berseru. Mungkin ini yang dinamakan takdir celaka. Habis
itu dengan sempoyongan, dia bertindak kedalam gua, lantas dia ambil obatnya untuk terus
dimakan. Masih beberapa kali ia muntahkan darah. Aku kaget dan berkuatir, sehingga aku
menangis sendiri."
"Dia terluka akan tetapi dia gembira."
"Kenapa kau menangis?" dia tanya aku.
"Sebab kau terluka parah," jawabku.
Dia tertawa.
"Jadi kau menangis untukku?" tanyanya pula.
"Aku berdiam aku tidak menjawab. Tetap aku berduka."
"Sebentar kemudian, dia kata padaku: "Sejak semua anggauta keluargaku dibunuh oleh
pamanmu yang keenam, sejak itu sudah tidak ada lagi orang yang menaruh perhatian atas
diriku, yang menyayangi aku. Hari ini aku telah bunuh lagi satu kandamu tjintong, maka itu
sama sekali sudah berjumlah empat-puluh orang yang aku binasakan. Sebenarnya masih
ada sepuluh orang lagi, yang mesti jadi korban pembalasanku, akan tetapi sekarang,
memandang kepada airmatamu, aku janji aku akan hentikan pembunuhan terlebih jauh.
Nyata masih ada kau seorang yang memperhatikan aku."
"Aku menangis saja, aku tidak jawab dia."
"Juga orang-orang perempuan keluargamu, sejak hari ini aku tidak akan ganggu pula,"
demikian dia kata lagi. "Kau tunggu sampai lukaku ini sudah sembuh, aku nanti antar kau
pulang..."
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
"Masih aku berdiam, tak tahu aku apa perasaanku saat itu. Aku cuma merasa lega yang dia
telah berjanji untuk hentikan pembunuhan-pembunuhan terlebih jauh."
"Sdjak itu selanjutnya, beberapa hari, akulah yang masak nasi dan masak air, dengan
sungguh-sungguh aku rawati dia," Oen Gie cerita lebih jauh. "Pada suatu hari, dia
pingsan, terus selama satu hari, dia tak sadar akan dirinya. Aku jadi berkuatir, aku kuatir
dia bakal tak ketolongan. Aku lantas menangis, menangis saja, sampai kedua mataku pada
merah dan bengul. Selagi aku menangis, sekonyong-konyong dia buka matanya, dia
tertawa."
"Tidak apa, tak nanti aku mati," katanya.
"Selang lagi dua hari, benar-benar kesehatannya mulai pulih. Dia bisa bangun dan jalanjalan.
Itu malam dia beritahukan aku, sebetulnya luka bekas bokongan ayah ada hebat
sekali, akan tetapi ia tertolong obat dan kuat hatinya. Dia bilang, asal dia mati, aku pun
bakal mati kelaparan. Seorang diri, pasti aku tidak bisa berlalu dari gua itu, dilain pihak,
tidak ada orang dari rumahku yang berani datang menyatroni., kalau tidak, selama itu
tentulah sudah ada datang orang, entah siapa. Aku anggap dia omong dari hal yang
benar."
"Ibu," Tjeng Tjeng kata," dia berlaku baik sekali kepadamu, dia ada orang baik."
Setelah mengucap demikian, nona ini menoleh pada Sin Tjie.
Anak muda ini merasakan mukanya panas, ia melengos kelain arah.
"Dengan pelahan-lahan kesehatannya maju terus," Oen Gie mulai pula. "Selama itu, suka
sekali dia bicara dengan aku tentang masanya kanak-kanak. Dia bilang bagaimana
ayahnya, ibunya,s angat sayang dia, bagaimana kedua engkonya, encienya, sangat
menyinta dia. Katanya pernah satu kali dia jatuh sakit sampai ibunya tidak tidur tiga hari
tiga malam. Akan tetapi pada suatu malam, liok-siokhoe telah bunuh ibunya itu, ayahnya,
saudara-saudaranya!"
"Diluar aku lihat dia kejam dan telengas, akan tetapi bicara tentang kekeluargaannya,
nyata ia ada berbatin baik, halus martabatnya. Begitulah ia perlihatkan aku sepotong oto
merah yang tersulam indah. Dia kata, itulah oto sulaman ibunya sendiri ketika dia masuk
umur satu tahun..."
Selagi mengucap demikian, Oen Gie rogo sakunya dari mana ia keluarkan oto yang ia
omongi itu, yang ia letaki diatas meja.
Sin Tjie lihat oto itu tersulam satu bayi montok tanpa pakaian, wajahnya manis dan sangat
menyenangi. Sulamannya sendiri benar-benar indah. Tiba-tiba ia terharu sendirinya. Ia jadi
ingat, sejak masih sangat kecil, ia sudah tidak punya ayah dan ibu....
"Sering-sering dia nyanyikan lagu pegunungan untuk aku dengari," kembali Oen Gie
melanjuti. "Diwaktu senggangnya, dia ambil kayu untuk dibikin menjadi barang-barang
permainan untukku. Dia kata aku adalah satu bocah yang tak mengerti apa-apa..."
"Akhir-akhirnya dia sembuh seluruhnya. Akan tetapi, walaupun sudah sembuh, aku lihat
dia tidak punya kegembiraan. Aku jadi heran. Pada suatu hari, aku tanyakan sebabnya.
Jawabannya mengherankan aku. Dia bilang dia merasa tidak tegah meninggalkan aku."
"Kalau begitu baiklah aku berdiam terus disini menemani kau!" kataku tanpa berpikir lagi.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
"Mendengar perkataanku itu, dia jadi girang bukan main. Dia pergi kepuncak, dia loncat
naik turun disebuah pohon kayu besar, dia berjingkrakan, dia jumpalitan bagaikan kera.
Kemudian dia beritahukan aku, dia telah dapatkan selembar peta dari suatu tempat dimana
ada disimpan banyak emas dan barang permata. Katanya ketika dulu Pangeran Yan Ong
rampas tahta-kerajaan, dari Pakkhia ia menerjang ke Lamkhia, Baginda Kian Boen kabur
dari kota raja, sebelum kabur, raja itu telah pendam harta besarnya disuatu tempat
rahasia. Setelah naik tachta, Yan Ong coba cari harta itu diseluruh kota Lamkhia, tidak ada
hasilnya. Kemudian Yan Ong utus Sam Po Thaykam beberapa kali berlayar mengarungi
samudera, ke Selatan, katanya untuk membuat penyelidikan dimana kaisar Kian Boen
bersembunyi, tapi sebenarnya guna cari harta itu."
Diam-diam Sin Tjie manggut-manggut sendirinya.
"Jadi itulah peta yang aku dapatkan dalam kitab Kim Tjoa Pit Kip," pikirnya. "Itu jadi ada
peta yang melukiskan tempat rahasia itu..."
"Dia ceritakan padaku bahwa seumur hidupnya Kaisar Beng Seng Tjouw tetap tak dapat
cari peta itu - adalah setelah berselang beberapa ratus tahun, secara kebetulan saja, dialah
yang mendapatinya. Setelah sekarang dia sudah puas menuntut balas, dia hendak mulai
cari harta karun itu. Dia janji, begitu lekas dia berhasil mendapati harta besar itu, dia bakal
kembali untuk sambut aku. Maka itu, katanya, sekarang dia hendak antarkan aku pulang."
Nyonya ini berhenti sebnetar, ketika sesaat kemudian ia melanjuti, ia ada sengit sekali. Dia
kata : "Ketika aku sampai dirumah, semua orang pandang hina kepadaku. Aku jadi
mendongkol dan gusar sekali. Aku sebal terhadap mereka.Mereka tidak punya
kemampuan untuk melindungi satu gadis keluarganya, setelah aku pulang dengan tubuh
putih-bersih, mereka perhina aku. Maka itu selanjutnya aku tidak perdulikan mereka, tak
suka aku bicara dengan mereka itu!"
"Ibu, kau berbuat benar!" kata Tjeng Tjeng.
"Setelah tiga bulan aku berada dirumah, selama mana aku harap-harap dia," bercerita pula
Oen Gie. "Pada suatu malam aku dengar suara nyanyian lagu pegunungan diluar jendela
kamarku. Aku kenali baik sekali suara nyanyian itu. Dia datang! Lekas-lekas aku buka
jendela, aku kasih dia masuk. Pertemuan ini ada sangat menggirangkan aku, dan malam
itu, kami berdua lantas hidup sebagai suami-isteri, hingga kemudian, anak, terlahirlah
kau....Perangkapan jodoh itu telah terjadi karena keinginanku sendiri, sampai sekarang
aku tidak menyesal karenanya. Orang bilang dia perkosa aku, itulah tidak benar! Tjeng
Tjeng, selama sekian lama itu ayahmu tetap perlakukan baik padaku, kami berdua sangat
saling menyinta. Selama itu dia selalu hormati aku, belum pernah dia paksa aku."
Diam-diam Sin Tjie puji keberaniannya nyonya ini. Ia pun terharu untuk dengar riwayat
percintaan yang demikian sulit.
"Rupa-rupanya, dengan kedatangannya ini, Hee lootjianpwee telah dapatkan tempat
rahasia dari harta besar itu," kata Sin Tjie.
Nyonya itu manggut.
"Dia bilang dia masih belum dapat cari," sahutnya. "Akan tetapi dia kata dia sudah
dapatkan endusan hingga dia merasa, segera dia akan dapat mencarinya. Maka itu kami
telah berdamai untuk dihari kedua, pagi-pagi, pergi minggat. Diluar tahu kami,
pembicaraan kami itu ada yang curi dengar. Besoknya fajar sebelum terang tanah, aku
sudah lantas siapkan pakaianku. Aku pun telah tinggalkan sepotong surat untuk ayah.
Disaat kami hendak berangkat, tiba-tiba ada orang ketok pintu kamarku. Pasti sekali aku
kaget dan takut.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
"Jangan kuatir," dia kata padaku," biar dalam kepungan satu pasukan perang, kita kaan
dapat noblos keluar!"
Lantas saja dia buka pintu.
"Yang ketok pintu itu ada ayah bersama toapeh dan djipeh bertiga. Mereka tidak bawa
senjata, malah pakaiannya pun thungsha, baju panjang yang dilapis makwa, baju luar
yang pendek. Kami heran memandang dandanan mereka itu.
"Urusan kamu berdua aku sudah tahu," berkata ayah." Inilah takdir celaka yang telah
ditetapkan sebelum kamu terlahir. Biarlah selanjutnya kitaorang menjadi satu dengan lain,
supaya tak usah lagi kita main angkat senjata."
"Dia menyangka ayah semua kuatir dia nanti melakukan pembunuhan pula, dia bilang :
"Kau jangan takut, aku telah berjanji dengannya untuk tidak bunuh lagi anggota-anggota
keluargamu!"
"Walaupun demikian, tak dapat kamu berlalu dengan diam-diam," ayah bilang. "Adalah
pantas apabila kau melamar dengan terang dan menikah dengan upacara."
"Dia girang sekali mendengar kata-kata ayah. Tidak tahunya dia kena terjebak ayah."
"Jadi ayahmu dustakan dia, bukankah?" Sin Tjie tanya.
Oen Gie manggut.
"Ayah lantas berikan dia tempat dikamar samping," nyonya ini melanjuti. "Segala apa
segera diatur untuk perayaan pernikahan. Dia ada cerdik sekali. Semua arak, barang
makanan dan air, yang ayah perintah suguhkan, lebih dahulu dia kasi anjing yang
cobakan, tapi meski anjing makan itu tanpa akibat, dia masih tidak minum dan dahar itu,
tidak dia cobai. Dia tunggu sampai malam, semua itu dia buang keluar. Untuk tangsel
perutnya sendiri, dia pergi kepasar Tjio-liang dimana dia beli barang makanan dan dahar."
"Pada suatu malam ibu datang dengan semangkok bubur biji teratai. "Suguhkan ini pada
baba mantu," ibu kata padaku."
"Aku benar-benar tidak menduga suatu apa, aku sangka ibu menyayangi dia, dengan
gembira aku bawa bubur teratai itu kedalam kamarnya. Dia pun girang sekali melihat aku
datang dengan barang makanan, dia sambuti itu, tanpa curiga, dia makan bubur itu. Dia
Baru mengirup beberapa kali, selagi dia bicara denganku, mendadakan air mukanya
berubah menjadi pucat. Segera ia berbangkit.
"Oh, A Gie, hatimu telengas!" dia tegur aku.
Aku kaget tidak terkira.
"Apa?" aku tanya.
"Kenapa kau racuni aku?" tanya dia.
Sin Tjie dan Tjeng Tjeng bergidik sendirinya.
Sekejab saja, seluruh paseban dan sekitarnya jadi sangat sunyi. Akan tetapi sekejab saja
juga, atau mendadak terdengarlah suara tertawa ramai dan menyeramkan yang datangnya
dari luar paseban. Kapan Sin Tjie menoleh, dia tampak lima bersaudara Oen sedang
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
berdiri diluar paseban.
"A Gie, bagus!" Oen Beng San berseru. "Urusanmu yang busuk kau tuturkan kepada
orang luar! Apakah kau masih punyakan muka?"
Mukanya nyonya yang bernasib buruk itu menjadi pucat dan merah bergantian. Ingin dia
bicara tetapi tercegah sendirinya. Maka ia lantas menoleh kepada Sin Tjie dan puterinya.
"Sudah sembilan belas tahun, belum pernah aku omong sepatah kata jua dengan ayah,"
berkata dia," dan selanjutnya, aku pun tidak nanti bicara pula dengannya! Aku tidak takut
terhadap mereka! Kau sendiri, kau takut atau tidak?"
"Engko Sin Tjie tidak kenal takut!" Tjeng Tjeng jawab.
"Bagus! Kalau begitu, aku nanti bercerita terus!" kata nyonya yang tak beruntung ini, yang
sekarang tiba-tiba nyalinya jadi besar, dia tak lemah lagi sebagaimana biasanya. Malah dia
sengaja perbesar suaranya:
"Aku lantas saja menangis. Aku tidak tahu bagaimana harus bicara, aku tidak tahu juga
mesti berbuat apa. Dengan sebenarnya aku tak tahu suatu apa tentang racun itu. Aku
bersusah hati karena dia menyangka jelek terhadapku. Selagi begitu, pintu kamar ada
yang tendang dan gembrak, lantas menyerbu masuk banyak orang dengan pelbagai alatsenjatanya."
"Orang-orang yang berbaris dimuka pintu itu waktu adalah mereka ini semua!" melanjuti
ia. "Ditangannya itu telah tergenggam masing-masing senjata rahasia."
Ayah masih juga punya liang-sim.
"A Gie, kau keluar." Dia panggil.
"Aku tahu mereka tunggu aku keluar, Baru mereka hendak menyerang dengan senjata
rahasia mereka. Kamar ada sempit, kemana dia bisa singkirkan diri? Maka aku menjawab:
"Aku tidak mau keluar! Kamu baik bunuh juga aku!"
"Ketika itu, dia duduk diatas kursi dengan alis mengkeret. Dia menyangka aku
bersekongkol dengan ayah semua, dia jadi sangat bersusah hati, hingga dia tak niat untuk
melakukan perlawanan. Akan tetapi kapan dia dengar penolakanku untuk keluar, bahwa
aku rela binasa bersama dia, sekonyong-konyong dia berlompat bangun."
"Apakah kau tahu bubur teratai ini dicampuri racun?" dia tanya aku, suaranya tak lagi
sebengis tadi.
"Aku jumput mangkok bubur itu, aku lihat masih ada sisanya, lantas saja aku minum satu
ceglukan.
"Jikalau bubur ini ada racunnya, mari kita mati bersama!" kataku.
"Dia sampok mangkok bubur itu hingga terlempar hancur, akan tetapi aku telah
meminumnya. Lantas saja dia tertawa.
"Bagus!" katanya. "Mari kita mati bersama!..." Segera dia berpaling kepada ayah semua,
dia menegur : "Kamu gunakan cara rendah sekali, apa kamu tidak malu?"
Toapeh gusar sekali.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
"Siapa racuni padamu?" katanya. "Jikalau kau andali ilmu silatmu yang liehay, mari keluar,
kita bertempur!"
"Baik!" dia jawab tantangan itu. Dia tuntun tanganku untuk diajak keluar dari kamar.
"Diluar telah diatur panggung pelatok Bwee-hoa-tjhung, diatas itu dia ditantang akan
layani ayah bersama mamak dan paman semua bertempur. Dia tidak perdulikan yang dia
bakal dikepung.
"Dia benar tidak diracuni dengan racun, tetapi kemudian aku dapat tahu, bubur teratai itu
telah dicampuri Tjoei-sian-bit yaitu madu tercampur obat pulas, yang kekuatannya kendor,
yang membuat orang yang memakannya jadi ber-angsur-angsur kehilangan tenaganya,
akan akhirnya orang nanti rubuh dan tidur seperti mayat, selang satu hari satu malam
Baru orang akan sadar sendirinya. Mereka itu tidak niat meracuni, mereka hendak
merobohkan dengan pengaruh obat pulas itu, untuk selanjutnya mereka siksa padanya!"
Oen Gie bicara dengan sengit, menyatakan kemarahannya yang besar yang tertahan, yang
Baru sekarang dapat dilampiaskan.
Ketika itu Oen Beng San berseru," Eh, orang she Wan, kau berani atau tidak melayani
berbareng kita berlima bersaudara?"
Pada dua hari yang sudah, karena ingat mereka adalah orang-orang tertua dari Tjeng
Tjeng , Sin Tjie berlaku hormat terhadap mereka, akan tetapi sekarang, setelah mendengar
penuturan Oen Gie dan mengetahui mereka ada orang-orang jahat, ia tidak sudi
menghormati lagi, malah dia mendongkol dan gusar.
"Hm!" jawabnya. "Kamu boleh maju berbareng sepuluh saudara, aku masih tidak jeri!...."
Belum sampai Sin Tjie tutup mulutnya, atau satu bajangan telah menerjang kedalam
paseban.
"Bocah tidak tahu adat, menggelindinglah kau keluar!" bajangan itu membentak.
Sin Tjie lihat seorang dengan tubuh besar dan kekar, rambutnya yang riap-riapan dililit
sepotong gelang tembaga yang berkilauan, sedang bajunya adalah jubahnya kasee, maka
dia tahu, itu adalah satu pendeta tauwtoo. Pada dua malam yang sudah, belum pernah dia
lihat orang beribadat ini.
Tauwtoo itu adalah Teng Seng, satu bandit besar dari Hoolam. Dia Baru datang, dia
kunjungi lima saudara Oen untuk beritahu dia niat "bekerja" sama-sama jago-jago dari
Tjio-liang itu. Kapan dia ketahui keluarga Oen, yang kenamaan di Selatan dan Utara
Sungai Besar jeri terhadap satu bocah, dia jadi panas hati, maka dia lantas maju paling
dulu. Ia ingin ajar adat pada bocah ini....
Sin Tjie lihat gerakan orang, dengan sebat ia berkelit kekanan, berbareng mana tangan
kirinya menyambar, menjambak rambut panjang orang itu, setelah mana, ia menyempar, ia
lepaskan cekalannya. Tidak ampun lagi, tubuh besar dari si pendeta terlempar ke pohon
mawar, yang banyak durinya, hingga mukanya, bahunya, pahanya, kena tertusuk duri
pohon bunga itu, sehingga keluar darah!
Itulah bantingan atau hajaran yang si tauwtoo tidak pernah sangka.
Melihat demikian, Oen Gie tertawa dingin. Dia berkata : "Pada malam itu, mereka berlima
bersaudara mengepung dia satu orang. Sebenarnya dia sanggup melayani, apa celaka, dia
sudah minum madu obat pulas, makin lama, dia berkelahi makin lelah. Disebelah itu, lima
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
saudara itu berkelahi secara mengepung yang dinamakan "Oen-sie Ngo-heng-tin", maka
dikepung secara demikian, sulit untuk dia meloloskan diri..."
"A Gie!" membentak Oen Beng San. "Apakah kau buka rahasia kepada orang luar?"
Oen Gie tidak perdulikan lagi ayahnya itu, kepada Sin Tjie dia melanjuti penuturannya:
"Kelihatan nyata dia ingin lekas-lekas pukul rubuh salah satu musuhnya, dengan begitu,
dia akan dapat pecahkan barisan pengurung itu. Akan tetapi dia berkelahi dengan semakin
lama semakin kendor, tubuhnya sempoyongan semakin hebat. Maka itu, aku teriaki dia:"
Kau pergi lekas! Untuk selamanya, aku tidak akan tinggalkan padamu!"
Suaranya nyonya ini menyedihkan secara dahsyat, melebihkan dahsyatnya jeritannya
kemarin ini.
Tjeng Tjeng kaget bukan main.
"Ibu!" dia memanggil.
Sin Tjie lihat sinar mata si nyonya kabur dan napas memburu, ia tahu nyonya itu
mendongkol dan berduka sangat. Terang sekali dia tak dapat bicara lebih jauh karenanya.
"Sudah, pehbo, silakan kau kembali kekamar untuk beristirahat," kata anak muda ini.
"Sekarang aku hendak pasang omong dengan ayahmu beramai, besok aku nanti datang
pula..."
"Tidak! Tidak!" kata Oen Gie seraya tarik ujung bajunya. Nyonya ini bisa pula bicara
dengan lekas sekali. "Sudah sembilanbelas tahun aku menahan didalam hatiku, tak dapat
tidak, hari ini aku mesti keluarkan semua! Wan siangkong, kau dengari aku...."
Suara itu tercampur tangisan. Sin Tjie manggut.
"Aku akan mendengari," ia jawab.
Masih saja, nyonya ini pegangi ujung bajunya si anak muda.
"Mereka inginkan jiwanya!" berkata ia, meneruskan. "Dan yang terlebih penting daripada
itu, mereka juga mengharap harta karun! Terus dia layani mereka bertempur, lalu lagi
sejurus, dia terluka, tak dapat dia menahan diri, dia rubuh dari pelatok-pelatok itu. Mereka
tahu dia punyakan peta dari tempat rahasia harta karun disembunyikan, mereka memaksa
dia untuk serahkan peta itu. Tapi dia jawab : "Peta itu tidak ada padaku! Siapa berani, dia
boleh ikut aku untuk mengambilnya!"
"Jawaban itu membuat mereka menghadapi kesulitan," melanjuti si nyonya. "Jikalau dia
dimerdekakan, apabila sebentar dia sadar dari pengaruhnya obat pulas, lantas tidak ada
orang yang sanggup kendalikan dia lagi! Jikalau dia dibinasakan saja, lantas peta itu
untuk selama-lamanya bakal lenyap, harta karunnya tak akan ada orang yang akan
dapatkan... Maka akhirnya ayahku adalah yang berikan pikirannya yang bagus! Ha,ha!
Sungguh cerdik dia, bukankah?"
"Ketika itu dia mulai jatuh pulas, aku sendiri pingsan. Ketika ini digunai mereka untuk
menggeledah tubuhnya. Inilah aku ketahui sebab aku sudah lantas ingat akan diriku.
Mereka tidak dapatkan peta itu, yang tidak tersimpan ditubuhnya. Maka mereka jadi sengit,
mereka melakukan penganiayaan hebat dan kejam, ialah urat-urat tangan dan kakinya
telah dipotong putus!Dengan ini mereka hendak bikin percuma kepandaian ilmu silat
liehay itu, supaya selanjutnya ilmu silat itu tak dapat digunakan pula! Habis itu Barulah dia
dilepaskan dari belengguan. Dia masih dipaksa untuk serahkan peta bumi yang diarah
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
sangat itu. Tidakkah itu ada cara cerdik sekali?"
Sin Tjie terkejut. Nyatalah pikirannya si nyonya menjadi waswas seketika.
"Pehbo, baiklah kembali saja, beristirahat," katanya.
"Tidak!" jawab Oen Gie. "Asal kau pergi, mereka bisa aniaya aku sampai binasa! Aku
hendak tuturkan semua, Baru aku puas! Kau tahu, mereka bawa dia pergi! Lima
bersaudara itu tidak percaya satu kepada lain! Bersama mereka ada turut dua jago dari
Ngo Bie Pay. Mereka semua ingin peroleh harta karun! Entah bagaimana, kemudian
ternyata, dia bisa loloskan diri dan kabur! Mungkin dia telah berikan mereka peta itu,
hingga, begitu lekas mereka kegirangan, penjagaannya jadi kendor. Mereka semua ada
cerdik sekali, akan tetapi Kim Tjoa Long-koen bukannya seorang tolol! Bertujuh mereka
telah dapatkan selembar peta, mereka saling berebut. Lima saudara itu bersekongkol,
mereka curangi kedua jago Ngo Bie Pay sampai dua-duanya binasa!....."
Oen Beng Gie dari luar paseban berseru dengan ancamannya :
"A Gie! Jikalau kau tetap ngaco-belo, awas!"
"Untuk apa aku mesti awas?" Oen Gie balik menanya sambil tertawa. "Apa kamu sangka
aku masih takut mampus?" Dia menoleh kepada si anak muda, akan berkata : "Peta yang
mereka dapati adalah yang palsu! Lima saudara itu pergi ke Lamkhia, mereka gali sana
dan gali sini, sampai setengah tahun lamanya, mereka hamburkan lebih dari selaksa tail
perak, tapi sepotong kecil perak jua mereka tak dapatkan! Ha-ha! Sungguh tak ada yang
lebih memuaskan daripada ini!"
Siasia saja lima saudara Oen itu kertak gigi mereka diluar paseban. Mereka jeri terhadap si
anak muda, tidak berani mereka lancang menerjang kedalam paseban itu.
Habis berkata-kata demikian, Oen Gie berdiam melongo, kemudian dengan pelahan-lahan,
Baru ia berkata pula. Suaranya pelahan :
"Setelah kepergiannya itu, selanjutnya aku tak peroleh lagi kabar dari atau tentang
dia....Urat-urat tangan dan kakinya telah diputuskan, dia mirip dengan satu manusia
tapadaksa....Dia beradat tinggi dan keras, karenanya, apabila dia tidak mati lantaran lukalukanya
itu, tentu mati karena mendongkol yang tak terlampias...."
Dari luar, Oen Beng Tat menantang :
"Orang she Wan!" katanya," kau telah dengar perkataan dia tentang kami keluarga Oen
mempunyai Ngo-heng-tin, jikalau kau benar satu laki-laki, mari keluar, kau coba terjang!"
"Kau pergilah!" Oen Gie dului si anak muda menjawab. Nyonya ini hendak mencegah.
"Jangan kau layani mereka bertempur!"
Sin Tjie tahu,apabila mereka bertempur satu sama satu, tidak ada seorang juga dari lima
saudara itu yang nempil terhadapnya, akan tetapi apabila berlima mereka maju berbareng,
sedang mereka pun punyai Ngo-heng-tin, barisan "Panca-logam", itulah lain.
Menurut Oen Gie, Ngo-heng-tin itu berdasarkan Kim, Bok, Soei, Hoh dan Touw, ialah emas,
kayu, air, api dan tanah (ngo-heng), yang berhubungan satu dengan yang lain, yang saling
ganti perubahannya. Maka itu, memang itu adalah "barisan" yang sulit untuk digempur.
Dan lagi, ketika pertama kali mereka bertanding, mereka tidak mendendam satu dengan
lain, masing-masing bisa berlaku sungkan, akan tetapi sekarang dia tekah ketahui rahasia
mereka, dan mereka menyangka ia punya hubungan dengan Kim Tjoa Long-koen, pasti
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
sekali mereka akan pandang ia sebagai musuh besar. Mereka bangsa telengas, mereka
siap-sedia akan gunai segala tipu-daya, mungkin dia dibikin celaka. Satu kali dia tak
berhati-hati, dia bisa tak ketolongan. Karena ini, sangsilah dia.
"Apa? Kau tidak berani?" Oen Beng Gie tanya dengan ejekannya. "Kalau begitu hayo kau
berlutut tiga kali dan manggut-manggut kepada kami, nanti kami ijinkan kau pergi!..."
Itulah ejekan yang hebat.
Oen Beng Sie, dengan suara seram, pun berkata : "Sekarang ini walaupun kau berlutut
dan manggut-manggut, sudah kasip!"
Lantas saja Sin Tjie berkata dengan nyaring :
"Katanya Ngo-heng-tin dari keluarga Oen ada liehay sekali tapi aku yang muda ingin
mencoba-cobanya, untuk belajar kenal, namun saat ini aku letih sekali, maka kamu
ijinkanlah aku beristirahat barang satu jam! Akur?" tanyanya.
"Satu jam ialah satu jam!" jawab Oen Beng Gie dengan mengejek. "Walaupun kau
beristirahat sampai delapan atau sepuluh hari, toh tak nanti kau mampu lolos!"
"Jangan-jangan binatang ini hendak menggunai akal-muslihat," Beng San kata dengan
pelahan. "Baik kita lantas kerjakan dia!"
"Djie-tee telah berikan perkataan padanya, biarlah dia hidup lebih lama satu jam," Beng
Tat bilang. "Biarlah dia beristirahat, supaya dia tak usah sampai mati menyesal! Melainkan
kita harus jaga jangan sampai dia kabur!"
"Kasi dia beristirahat didalam thia," Oen Beng Go usulkan. "Disana kita kurung padanya."
Oen Beng Tat akur, lalu dengan suara nyaring, dia kata: "Orang she Wan, pergi kau ke
Lian-boe-thia untuk beristirahat. Dengan berdiam disini, kami kuatir kau lolos...."
"Baik!" sahut Sin Tjie tak bersangsi sedikit jua. Lantas dia berbangkit.
Oen Gie dan putrinya jadi bingung sekali, mereka tidak berdaya untuk mencegah. Maka
terpaksa mereka ikuti anak muda itu.
Didalam Lian-boe-thia , ruang latihan silat, Oen Beng Tat si Toa-yaya sudah lantas
perintahkan orang-orangnya nyalakan puluhan batang lilin, dengan begitu, seluruh
ruangan jadi terang sekali.
"Kapan nanti sebatang lilin ini telah menyala habis, bukankah telah cukup waktunya
untukmu beristirahat?" tanya tertua Ngo Tjouw dari Tjio Liang Pay.
Sin Tjie tidak menjawab, dia melainkan manggut, habis itu dia lantas duduk atas sebuah
kursi yang diletaki di-tengah-tengah ruangan itu.
Lima saudara Oen angkat masing-masing sebuah kursi, untuk mereka duduk sendiri.
Mereka mengurung di lima penjuru dengan sikapnya Ngo-heng. Mereka juga duduk diam
dan meram, untuk sekalian beristirahat juga. Akan tetapi dibelakang mereka berkumpul
enam belas orang lain diantara siapa ada Oen Lam Yang dan Oen Tjheng, semua orang
angkatan terlebih muda, semuanya duduk atas masing-masing sebuah kursi kate.
Sin Tjie lihat kedudukannya enam belas orang itu, ia dapati mereka ambil sikap delapan
penjuru, atau Pat-kwa, maka itu lengkaplah Ngo-tjouw punya barisan Ngo-heng Pat-kwa-tin
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
itu, yang ringkasnya disebut Ngo-heng-tin.
"Benar-benar sulit untuk memecahkan barisan ini dan lolos," pikir si anak muda, sambil
duduk diam, kedua tangannya dikasi turun. Ia merasa, dibawah kepungan dua puluh satu
orang itu, paling bisa ia membela diri, untuk lolos, sukar sekali. Ia pun insaf, jikalau lamalama
ia dikurung, tenaganya bisa habis, hingga akhirnya, dia bakal dirubuhkan juga. Kim
Tjoa Long-koen yang demikian liehay masih tidak sanggup pecahkan Ngo-heng-tin ini,
maka pasti tin ini ada punyakan perubahan-perubahan luar biasa.
Selagi sibuk berpikir, tiba-tiba si anak muda ingat beberapa halaman terakhir dari Kim Tjoa
Pit Kip. Itulah bagian-bagian yang pertama kali membingungkannya, karena ia tak dapat
menginsyafi artinya, sampai perlu ia pergi pula kedalam gua untuk meyakinkan gambargambar
di tembok gua, untuk diakuri dengan bunyinya kitab pusaka itu, sesudah mana,
Barulah ia mengerti. Melainkan itu waktu ia masih belum insaf, apa perlunya ilmu silat
yang nampaknya kusut sekali itu. Siapa bisa dengan satu gebrakan saja menyerang
keempat atau ke delapan penjuru? Toh ilmu itu ada untuk melayani serangan berbareng
dari pelbagai penjuru itu?
Terus Sin Tjie memikir, hingga ia menduga, tentulah Kim Tjoa Long-koen, setelah lolos
dari tangan musuh-musuhnya, telah sembunyikan diri untuk memikirkan jalan guna
pecahkan ngo-heng-tin itu dan dia akhirnya berhasil menciptakan ilmu silat istimewa ini.
Tentu sekali maksud Kim Tjoa Long-koen untuk kembali ke Tjio-liang, guna menuntut
balas, maka sayanglah urat-urat tangan dan kakinya telah terputus hingga dia tak dapat
bersilat terlebih jauh. Maka, untuk dijadikan warisan, ilmu silat itu dicatat rapi dalam
kitabnya, dalam gambar-gambar ditembok gua. Dan sengaja dia bikin kitab yang palsu,
yang diperlengkapi dengan panah rahasia dan beracun, guna menjaga kalau-kalau pihak
Tjio Liang Pay mencurinya.
"Syukur aku telah dapati kitab itu dan dapat memahamkan juga semua isinya," pikir
pemuda ini lebih jauh. "Dengan gunai ilmu silat itu, kecuali dapat lolos dari bahaya, aku
juga dapat tolong lampiaskan dendaman Kim Tjoa Long-koen, maka didunia baka, pastilah
dia akan bersenyum puas, hingga tak sia-sialah capai lelahnya menciptakan ilmu silat
itu...."
Sin Tjie menjadi gembira hingga ketika ia buka kedua matanya, wajahnya ada terang-riang.
Ia dapatkan lilin hampir habis terbakar, tinggal hanya satu dim saja.
Lima saudara Oen juga membuka mata, mereka heran apabila mereka tampak roman
bergembira dari anak muda itu, tak dapat mereka menerka pikiran anak muda ini. Akan
tetapi mereka percaya betul ketangguannya Ngo-heng-tin, mereka tidak terlalu perhatikan
sikap orang itu, mereka cuma membuka mata lebar-lebar, untuk bersiaga kalau-kalau
orang lompat melesat untuk kabur....
Kembali Sin Tjie rapati kedua matanya. Ia mencoba ingat diluar kepala segala
pengunjukan Kim Tjoa Long-koen. Kemudian ketika ia sampai dibahagian "Koay too tjhan
loan ma" atau "Dengan golok cepat memotong guni awut-awutan", mendadak ia keluarkan
keringat dingin, ia terkejut sendirinya.
"Celaka!" demikian ia menjerit dalam hati. "Habis ini, pertempuran membutuhkan golok
atau pedang mustika, untuk bikin lawan tak berani datang dekat, senjata tajam itu perlu
untuk membikin kalut kepungan , akan tetapi Kim Tjoa Kiam tidak ada padaku,
bagaimana?"
Selama itu Tjeng Tjeng terus awasi si anak muda, hatinya lega melihat air muka terang dari
pemuda itu, tapi sekarang ia pun terperanjat mendapati orang mandi keringat, romannya
berkuatir.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
"Belum sampai bertempur, hatinya sudah goncang, bagaimana nanti?" pikir dia. Maka ia
menjadi turut bingung sendirinya.
Sin Tjie awasi lilin, yang hampir padam, ia sendiri masih belum peroleh daya, bukan main
sibuknya dia.
Itu waktu satu bujang perempuan bertindak kedalam ruangan, tangannya menyekal
secawan air teh, ia hampirkan si anak muda.
"Wan siangkong, silakan minum teh," katanya.
Selagi kusut pikiran itu, Sin Tjie sambuti cawan teh dengan tidak ragu-ragu, malah ia terus
antar cawan kemulutnya, akan tetapi disaat bibir dan cawan hampir nempel, mendadakan
terdengar suara nyaring didepan mukanya sendiri dan tangannya tergetar, untuk
kagetnya, ia dapatkan cawan sudah terpukul terlepas panah-tangan, jatuh hancur dilantai.
Masih anak muda ini sempat lihat Tjeng Tjeng menarik pulang tangannya, maka ia tahu,
adalah si nona yang sudah serang cawan itu. Maka berbareng kaget, ia insaf.
"Sungguh berbahaya!" kata ia dalam hatinya. "Kenapa aku jadi begini goblok? Kenapa tak
ingat aku yang mereka juga bisa kasi aku minum obat pulas?"
Justru itu waktu, bagaikan guntur, Oen Beng Go mendamprat : "Ada ibunya, ada gadisnya.
Keluarga Oen telah tidak menumpuk jasa-jasa baik maka juga telah terlahirlah anak hinadina
ini yang bersekongkol dengan orang luar!"
Tjeng Tjeng tahu, dialah yang dicaci, dia tidak mau mengalah.
"Ya, leluhur keluarga Oen telah menumpuk banyak sekali jasa-jasa baik! Mereka telah
perbaiki jembatan-jembatan, jalan-jalan besar, mengamal terhadap orang-orang melarat!
Segala macam perbuatan baik, mereka lakukan!"
Itulah sindiran belaka terhadap Ngo Tjouw yang tidak ada kejahatan yang tidak dilakukan
mereka.
Oen Beng Go jadi demikian murka sehingga dia lompat bangun sambil berjingkrak, dia
hendak hajar cucu atau cucu-keponakan itu, akan tetapi Oen Beng Tat menghalangi dia.
"Sabar, ngo-tee," kata engko ini. "Jaga itu bocah saja!"
Pada waktu itu, telah lenyap roman berkuatir dari Sin Tjie, sebagai gantinya, anak muda ini
kembali berwajah riang-gembira. Serangan Tjeng Tjeng dengan panah rahasia terhadap
cawan seperti memberikan ia ilham.
"Kenapa aku tidak mau gunai senjata rahasia?" demikian pikirnya. "Dalam hal senjata
rahasia, walaupun Kim Tjoa Long Koen masih tak dapat menandingi aku! Bukankah pada
tubuhku juga ada baju kaos istimewa hadiah dari Bhok Siang Toodjin? Kenapa aku tidak
mau antap orang hajar beberapa kali bebokongku, supaya berbareng dengan itu aku bisa
pecahkan Ngo-heng-tin ini?"
Sekejab saja, pemuda ini ambil putusannya. Tidak lagi dia tunggu habisnya sebatang lilin,
segera ia berbangkit.
"Cukup!" katanya. "Silakan kamu beri pengajaran kepadaku!"
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Oen Beng Tat lantas perintah orang-orangnya tukar semua lilin.
"Ini kali, kalau ada keputusan menang atau kalah, bagaimana?" Sin Tjie tegaskan.
"Jikalau kau menang, pergi kau bawa emas itu!" jawab Oen Beng Tat. "Jikalau kau tidak
berhasil, nah, tak usah omong banyak lagi!"
Sin Tjie mengerti, jikalau dia yang kalah, jiwanya tidak bakal tertolong lagi, akan tetapi
apabila dia yang menang, orang masih bisa menyangkal. Maka ia kata pula :
"Kalau begitu, keluarkanlah emas itu! Begitu aku menang, aku hendak segera bawa pergi!"
Lima saudara Oen itu kagum. Sudah terkepung, lagi menghadapi bahaya maut, anak muda
ini masih berkeras kepala. Tetntu sekali, mereka tidak kuatir. Mereka tahu, Kim Tjoa Longkoen
yang liehay masih tak mampu dobrak ngo-heng-tin, apapula bocah ini.
Setelah asah pikiran belasan tahun, Ngo Tjouw berhasil menciptakan Ngo-heng-tin,
setelah itu, mereka melatih diri dengan sempurna. Ngo-heng-tin ada pusaka bagi Tjio
Liang Pay. Buat layani tiga sampai empat-puluh musuh masih leluasa, apapula akan
hadapi satu orang. Biasanya tak sembarangan Ngo Tjouw gunai barisannya ini, ia kuatir
orang lihat dan menirunya, sekarang terpaksa mereka pakai karena Sin Tjie terlalu
tangguh untuk mereka, sehingga mereka tak kuatir nanti ditertawai orang banyak
berkelahi dirumah sendiri secara mengeroyok.
"Kau keluarkan emas itu!" akhirnya Beng Tat titahkan Tjeng Tjeng.
Nona ini sangat menyesal, Jikalau ia tahu bakal jadi begini rupa, pasti dari siang-siang ia
sudah kembalikan emas itu. Ia tidak berani bantah yaya itu, terpaksa ia pergi ambil
bungkusan emas itu, diletaki diatas meja dalam ruang itu.
"Jangan letaki secara demikian," kata Oen Beng San. "Tjheng, kau atur berdiri semua
emas itu, bikin menjadi peta!"
Oen Tjheng menyahuti, ia ambil bungkusan emas itu, akan sepotong demi sepotong dia
letaki di lantai, diatur semacam gambar Thay-kek (dunia bundar), hingga diluar itu,
seputarnya, merupakan pat-kwa.
"Mari!" berseru lima saudara One begitu lekas sepuluh potong emas itu selesai diatur,
mereka lantas bergerak, senjata mereka pun lalu dihunus.
Sin Tjie sambut tantangan itu, akan tetapi disaat ia hendak mulai lompat maju, sekonyongkonyong
terdengar suara tertawa ber-gelak-gelak diatas rumah, disusul dengan kata :
"Orang-orang tua dari keluarga Oen! Aku Eng Tjay datang berkunjung untuk menanggung
dosa!"
Lima saudara Oen terkejut.
"Silakan turun!" mereka mengundang.
Menyusul undangan itu, belasan orang lompat turun dengan saling susul dari atas
genteng ruangan latihan silat itu, sesuatu orangnya tak rata tubuhnya, ada yang tinggi,
ada yang kate, tetapi yang bertindak dimuka adalah Eng Tjay, pang-tjoe atau ketua dari
partai Liong Yoe Pang.
Justru itu Sin Tjie berpaling kepada Tjeng Tjeng. Ia tampak, biarpun si nona mencoba
mentenangkan diri, pada wajahnya ada ketegangan.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Oen Beng Tat sudah lantas tanya tetamunya yang tak diundang itu.
"Lao Eng, sahabatku, tengah malam buta-rata kau berkunjung kegubukku ini, apakah
maksudmu? Lu Djie Sianseng dari Hong-gam juga turut datang bersama!"
Sembari mengucap, Toa-yaya ini rangkap kedua tangannya untuk memberi hormat kepada
satu orang yang berada dibelakang Eng Tjay. Orang itu dandan sebagai seorang
mahasiswa, usianya pertengahan.
Eng Tjay tidak jawab pertanyaan, atau teguran itu, hanya dia kata : "Oen Loo-ya-tjoe, kau
berbahagia sekali! Kau telah dapatkan seorang cucu perempuan yang ilmu silatnya
sempurna, yang otaknya cerdas sekali, tidak saja See Loo-toa kami serta belasan saudara
lainnya rubuh ditangannya, malah aku sendiri si tua-bangka turut mendapat malu juga!...."
Beng Tat heran. Memang dia dan saudara-saudaranya belum tahu hal bentrokan diantara
Tjeng Tjeng dan rombongan dari Liong Yoe Pang itu. Yang pasti adalah, diantara Tjio
Liang Pay dan Liong Yoe Pang, ada pergaulan. Dimana sekarang mereka lagi menghadapi
lawan tangguh, Ngo Tjouw tidak inginkan keruwetan baru.
"Lao Eng, apakah yang diperbuat cucu kami terhadapmu?" Beng Tat tanya dengan sabar.
"Tidak nanti kami melindungi pihak yang bersalah. Siapa bunuh orang, dia berhutang jiwa,
siapa berhutang uang, dia mesti membayar dengan uang juga! Tidakkah demikian?"
Ketua dari Liong Yoe Pang itu melengak.
"Heran!" pikirnya. "Kenapa tua bangka ini yang biasa tekebur sekali hari ini jadi begini
pandai omong? Mustahil dia jeri terhadap Lu Djie sianseng sampai begini macam
jerinya?"
Tapi segera juga ia tampak Sin Tjie diantara rombongan tuan rumah itu, ia jadi bertambahtambah
heran. Maka ia kembali berpikir.
"Tua bangka ini mempunyai pembantu yang liehay sekali, mungkin Lu Djie sianseng juga
tak nanti sanggup lawan dia. Baiklah aku lihat selatan untuk menyimpan lajar...."
Maka ia lantas menyahut dengan tenang: "Kami dari Liong Yoe Pang belum pernah
bentrok dengan pihakmu, maka itu dengan memandang kepada kamu lima saudara,
sukalah aku bikin habis kematian See Loo Toa, anggap saja dia mesti sesalkan
kepandaiannya sendiri yang cetek, melainkan mengenai emas itu...." Dia menyapu dengan
matanya kepada sepuluh potong emas dilantai, lalu dia melanjuti: "Kami telah mengikuti
jalanan jauhnya beberapa ratus lie, kami telah bercape-lelah dan bercape-hati, buang
ongkos juga, malah ada orang kami yang sampai mengantari jiwanya, semua itu adalah
usaha kami untuk hidup dalam dunia kang-ouw...."
Eng Tjay berhenti sampai disitu.
Oen Beng Tat heran, ia mengawasi. Segera hatinya menjadi lebih tenteram. Teranglah
sudah, Eng Tjay datang bukan untuk pembalasan hanya guna emas itu.
"Semua emas itu ada disini, jikalau kau menginginkannya, pergilah ambil, tidak ada
halangannya," berkata dia.
Eng Tjay heran hingga ia menatap wajah tuan rumahnya. Kenapa ketua Tjio Liang Pay itu
jadi demikian baik budi? Ia tadinya mau menyangka orang hendak mengejek padanya,
tetapi ia dapati air muka tenang dan biasa, tidak ada bajangan kepalsuan. Maka ia kata:
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
"Oen Toaya, jikalau kau sudi memberikannya separuh saja dari jumlah itu, untuk kami
pakai menunjang korban-korban yang terbinasa dan terluka, bukan main berterima
kasihnya aku...."
"Silakan kau ambil sendiri," Beng Tat berikan persetujuannya.
Eng Tjay angkat kedua tangannya untuk memberi hormat.
"Terima kasih!" ujarnya, terus ia memberi tanda kepada orangnya, maka dua orang segera
maju kearah emas, mereka ini membungkuk untuk jumput potongan-potongan emas itu.
Akan tetapi, Baru tangan mereka raba emas atau mereka telah rasai pundak mereka
masing-masing ada yang tolak dengan pelahan, atas mana tubuh mereka jadi terdorong
kebelakang, hingga mereka mesti mundur beberapa tindak, kalau tidak, tentu mereka
rubuh. Lekas-lekas mereka angkat muka, akan memandang, maka tampaklah mereka Sin
Tjie berdiri didepan mereka.
Dengan tenang, pemuda ini segera berkata kepada ketua Liong Yoe Pang :
"Eng Loo-ya-tjoe, emas ini adalah uang belanja tentaranya Giam Ong, maka jikalau kau
ambil, pastilah itu kurang sempurna!"
Nama Giam Ong di utara ada menggetarkan, adalah di Selatan, kaum kang-ouw tak terlalu
memperdulikannya, maka itu, Eng Tjay lantas menoleh pada Lu Djie Sianseng.
"Lihat, dia sebut-sebut nama Giam Ong untuk gertak kita!" katanya sambil tertawa.
Lu Djie Sianseng itu ada menyekal sebatang hoentjwee yang besar, dia menyedot satu
kali, dia kebulkan asapnya, dia ulangi dan ulangi itu, gerak-geriknya ada tenang sekali.
Sebelum jawab ketua Liong Yoe Pang itu, ia melirik pada si anak muda, ia menatapnya.
Sin Tjie dapat kenyataan, tenang dia ada, mahasiswa itu tapinya ada angkuh atau agungagungan,
dari itu tak puaslah hatinya. Kapan ia lihat sinar matanya, dan kulit mukanya
yang bersemu dadu, ia percaya dia mestinya ada seorang kang-ouw kenamaan, mungkin
dia mempunyai kepandaian istimewa karenanya, tak berani ia memandang enteng. Malah
ia lantas saja menjura.
"Apakah tjianpwee she Lu?" tanya ia. "Akuyang muda Baru kali ini mulai berkelana, dari
itu maafkanlah aku tidak kenal tjianpwee..."
Lu Djie Sianseng kepulkan pula asap hoentjweenya, sekali ini tepat kearah muka si anak
muda, kemudian kapan ia menyedot lagi, ia keluarkan asapnya diantara kedua lobang
hidungnya. Maka bagaikan sepasang naga melilit, asap itu bergulung-gulung melayang....
Sin Tjie tidak murka karena lagak orang itu, tidak demikian dengan Tjeng Tjeng, yang
hatinya panas, hingga mau ia menegurnya. Tapi Oen Gie lihat sikap puterinya, dia tekan
pundaknya.
Tjeng Tjeng menoleh dengan cepat, ia lihat ibunya meng-geleng-geleng kepala dengan
pelahan. Ia mengerti cegahannya sang ibu, ia terpaksa telan pula kemendongkolannya.
Lu Djie Sianseng ketruk-ketruki hoentjweenya, akan buang bersih sisa-sisa abu dan
tembakau, lalu dengan pelahan-lahan, ia mengisi pula.
Juga Ngo Tjouw nampaknya tak sabaran mengawasi tingkah-laku dibuat-buat itu, akan
tetapi mereka tahu, mahasiswa ini adalah seorang kang-ouw kenamaan selama beberapa
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
puluh tahun, sebisa-bisa mereka kendalikan diri. Mereka pernah dengar bagaimana
dengan ilmu silatnya Hoo Koen, koentauw burung Hoo, Lu Djie Sianseng tidak punyakan
tandingan di Selatan dan Utara Sungai Besar, sedang hoentjwee itu adalah senjatanya
yang istimewa, senjata mana selain bisa dipakai menotok jalan darah juga bisa dibuat
menggaet senjata lawan. Namun mereka belum pernah saksikan sendiri kegagahannya.
Maka meng-harap-haraplah mereka yang jago itu nanti bentrok sama Sin Tjie, sukur kalau
si anak muda kena dipecundangi, dengan begitu, pekerjaan mereka akan jadi lebih ringan.
Lu Djie Sianseng keluarkan tekesan api dari sakunya, ia menekes-nekes, akan tetapi ia
masih tidak hendak lantas sulut hoentjweenya itu.
Selagi jago Hoo Koen itu ayal-ayalan, tiba-tiba diatas genteng muncul seorang lain, malah
dia ini segera berseru : "Kembalikan emasku!"
Menyusul itu seorang perempuan muda loncat turun. Tetapi dia tidak bersendirian, dia
segera diikut oleh seorang muda yang sifatnya kasar, dibelakang siapa ada lagi seorang
usia pertengahan, umur lima puluh tahun lebih, yang dandan sebagai seorang dagang,
tangan kirinya memegang shoei-phoa, tangan kanannya menyekal sebatang pit, sedang
romannya lucu....
Sin Tjie kenali Siauw Hoei, ia girang berbareng kaget, ia kuatir juga. Ia girang karena
datangnya bala-bantuan, melainkan ia belum tahu, bagaimana dengan kepandaiannya dua
kawan dari nona An itu. Dilain pihak, ia berkuatir untuk Oen Gie dan Tjeng Tjeng. Dipihak
sana, ialah Tjio Liang Pay, ada pula Liong Yoe Pang, itu artinya ia menghadap dua lawan
tangguh. Ia mesti bela diri, ia pun perlu lindungi ibu dan gadisnya. Atau kalau kawankawannya
Siauw Hoei lemah sebagai si nona sendiri, ia pun sibuki mereka itu....
Suasana sungguh-sungguh tidak menggembirakan pemuda ini.
Itu waktu dari pihak Tjio Liang Pay sudah lantas ada yang maju untuk rintangi Siauw Hoei,
yang mereka tegur.
"Lekas kembalikan emasnya tuan-tuan besarmu!" kata si anak muda yang romannya kasar
itu seraya terus saja membungkuk, akan jumput emas dilantai itu.
Sin Tjie kerutkan alis mengawasi kesembronoannya.
"Dia begini sembrono, tentu dia tak dapat diharap," pikirnya.
Oen Lam Yang lihat orang hendak jumput uang, ia ayun kakinya untuk tendang tangannya
si anak muda.
"Tjoei Soeko, awas!" Siauw Hoei berseru. Ia lihat gerakan si orang she Oen itu.
Walaupun ia sembrono, pemuda itu tapinya awas dan sebat. Ia berkelit kesamping, untuk
elakkan tendangan, setelah itu sambil merangsak, ia balas menyerang, dengan dua tangan
berbareng.
Oen Lam Yang tidak sudi mengalah, ia keluarkan dua-dua tangannya, untuk menangkis,
hingga empat tangan bentrok, setelah mana, keduanya terdampar mundur sendirinya
sampai beberapa tindak.
Si anak muda penasaran, ia maju pula.
"Hie Bin, tahan!" berseru kawannya yang mirip saudagar.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Sekarang Sin Tjie ingat kepada kawannya Siauw Hoei, dengan siapa si nona sama-sama
mengantar emas itu. Bukankah Siauw Hoei bilang, sebab ia berpisah dari sang kawan,
emas jadi kena disambar Tjeng Tjeng? Anak muda sembrono itu jadinya ada Giok-bin Kimkong
Tjoei Hie Bin, keponakan Tjoei Tjioe San. Karena itu, apa mungkin si orang dagang
ada toasoehengnya sendiri, Tong-pit Thie-shoeiphoa Oey Tjin? Maka ia lantas awasi
senjata ditangannya orang dagang itu. Itulah sebatang pit yang bergemirlapan, maka tak
salah lagi, pit terbuat dari tembaga tulen. Karena ia tidak bersangsi pula, dengan gembira
ia maju kepada si orang dagang itu, ia mendekati sambil berlompat, tanpa siasiakan tempo
lagi, ia tekuk lututnya sambil manggut.
"Toasoeheng, terimalah hormatnya siauwtee Wan Sin Tjie!" katanya.
Saudagar itu ulur kedua tangannya untuk mengangkat bangun, ia awasi anak muda ini,
lantas saja ia jadi girang sangat.
"Oh, soetee!" katanya. "Kau masih begini muda? Sungguh tak disangka-sangka olehku
kita dapat bertemu disini!"
Siauw Hoei maju selagi orang bicara.
"Engko Sin Tjie, itulah dia Tjoei Soeko!" ia perkenalkan si anak muda sembrono.
Sin Tjie menoleh pada si anak muda, ia manggut.
Siauw Hoei lihat bebokongnya pemuda she Wan itu ketempelan rumput kering, ia ulurkan
tangannya akan kepriki itu pelahan-lahan. Atas ini Sin Tjie bersenyum, tanda terima
kasihnya.
Hie Bin lihat kelakuan pemudi dan pemuda itu, ia tak puas.
"Eh, Hie Bin, kenapa kau tidak tahu aturan?" tiba-tiba Oey Tjin tegur muridnya itu. "Lekas
kau kasi hormat pada soesiokmu ini!"
Kembali orang she Tjoei itu tak puas. Bukankah Sin Tjie lebih muda daripadanya? Maka ia
menghampirkan dengan tindakan pelahan, dengan ayal-ayalan juga ia hendak paykoei.
"Jangan, jangan, tak usah!" Sin Tjie lekas-lekas mencegah, ia menghalangi dengan kedua
tangannya.
Hie Bin batal berlutut, ia menjura saja.
"Siauw-soesiok!" ia memanggil.
Ia membahasakan "Siauw-soesiok" atau paman kecil.
"Apa sih siauw soesiok toa-soesiok?" Oey Tjin menegur pula. "Biarpun kau terlebih tua,
soesiok tetap terlebih tua tingkatnya!"
Sin Tjie tertawa pada soe-tit itu, atau "murid keponakan".
"Panggil saja aku siok-siok!" katanya dengan manis.
"Siok-siok baik.....?" kata Hie Bin.
Lu Djie Sianseng mesti menonton saja orang menjalankan tata-hormat soetee dengan
soeheng dan soe-tit dengan soesiok, kalau tadi dia yang membuat orang tak sabaran,
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
sekarang dialah yang habis sabarnya sendiri. Dia anggap orang seperti tak pandang mata
sekali kepadanya. Maka juga kedua matanya lantas mencilak.
"Kamu semua orang-orang apa?" tegur ia dengan jumawa.
Teguran ini membuat orang kaget. Bahwa sekarang ia buka mulut, kiranya ia mempunyai
suara yang nyaring sekali, seperti suara burung hantu yang menciutkan nyali. Suara itu
pun tajam sekali.
Akan tetapi Hie Bin tidak takut. Dia maju satu tindak.
"Emas ini ada emas kami!" kata dia. "Emas ini telah kena kamu curi! Guruku telah ajak aku
kemari untuk mengambilnya kembali!"
Lu Djie Sianseng tidak segera menjawab, sambil dongak kewuwungan, ia kebul-kebulkan
asap hoentjweenya.
"Hm! Hm!" dia perdengarkan tertawa dingin.
Hie Bin mendongkol atas lagak orang itu.
"Sebenarnya emas ini hendak kau pulangkan atau tidak?" ia tegaskan. "Jikalau kau tidak
dapat mengambil putusan, hayo titahkan maju orang yang berhaknya!"
Lu Djie Sianseng tertawa dua kali, suara tertawanya pun aneh. Kemudian ia menoleh pada
Eng Tjay, untuk kata dengan jumawa: "Kau beritahukan bocahh ini, siapa adanya aku!"
Eng Tjay turut titah itu.
"Inilah Lu Djie Sianseng yang termashyur namanya!" katanya. "Kau jangan kaget! Kau
masih muda sekali, jangan kau tidak tahu adat!"
Tentu sekali Hie Bin tidak kenal Lu Djie Sianseng ini.
"Aku tidak perduli entah dia sianseng apa!" katanya dengan mendelu dan sikap
memandang enteng. "Kami datang untuk ambil pulang emas kami!"
Tiba-tiba maju pula Oen Lam Yang, yang hatinya masih panas.
"Ambil kembali emas? Tak demikian gampang!" ia mengejek. "Jikalau kau ada punya
kepandaian, mari layani aku dahulu, Baru kita bicara pula!"
Orang she Oen ini menantang, akan tetapi belum dia sampai dapat jawaban, tangannya
sudah melayang.
Itulah serangan tidak di-sangka-sangka, maka pundaknya Hie Bin terhajar bogem-mentah.
Dia jadi sangat gusar, dia segera menyerang, untuk membalas. Tangan kirinya menyambar
cepat sekali. Serangan ini mengenai perut, hingga Lam Yang merasai sakit.
Buat sedetik, kedua mundur, akan saling mengawasi dengan mata mendelik, habis itu,
mereka sama-sama maju pula, akan mulai bertempur.
Segera juga terdengar suara dakduk atau bakbuk beberapa kali. Itulah suara dari kepalan
yang mampir dikepala atau tubuh masing-masing. Mereka berkelahi dengan sengit sekali,
sampai mereka alpa dengan pembelaan diri, dari itu, kepalan masing-masing dapat
mengenai sasarannya.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Sin Tjie saksikan perkelahian itu, diam-diam ia menghela napas.
"Kenapa muridnya Toasoeheng begini tak punya guna?" pikir dia. "Jikalau dia hadapi
musuh tangguh, dengan satu dua tonjokan saja dia tentu sudah tak tahan...Apakah
mungkin Tjoei Siokhoe juga tidak pernah berikan dia suatu pengunjukan?"
Hie Bin itu djudjur, cuma adatnya keras dan semberono, karena itu, biarnya dia belajar
silat, perhatiannya kurang. Dua bagian saja dari kepandaiannya Oey Tjin, belum ia
dapatkan. Cuma karena bertubuh kuat yang membikin ia sanggup pertahankan diri dari
beberapa tonjokan. Tetapi ia berkelahi dengan hebat.
Kemudian datanglah saatnya pertempuran berakhir. Dengan kepalan kanan, Hie Bin
mengancam. Lam Yang berkelit kekanan. Dengan cepat luar biasa, tangan kiri Hie Bin
menyambar. Serangan ini tidak dapat dielakkan Lam Yang, dia kena dihajar keras,
menyusul suara tonjokan, tubuhnya yang besar rubuh terbanting, hingga dia pingsan.
Kemenangan ini membikin Hie Bin girang sekali, dengan bangga ia menoleh kearah
gurunya, ia harap gurunya nanti puji padanya. Diluar harapan, ia dapati sang guru merah
wajahnya karena murka, hingga ia jadi heran.
"Aku menang, kenapa soehoe gusari aku?" pikir dia.
Siauw Hoei hampirkan kakak seperguruan itu, muka siapa bengap dan kuping kanannya
berdarah, dengan sapu tangannya, dia menyusuti.
"Kenapa kau tidak kelit sesuatu pukulannya?" nona ini kata dengan pelahan. "Kenapa kau
melawan dengan keras saja?"
"Untuk apa berkelit?" Hie Bin jawab. "Dengan main berkelit, tidak nanti aku berhasil
menghajar dia!"
Tiba-tiba terdengar suara hebat dari Lu Djie Sianseng.
"Jangan kau berjumawa karena kau dapat rubuhkan satu lawan!" kata orang dengan
dandanan mahasiswa itu. "Kau inginkan emas?"
Se-konyong-konyong dia berlompat, kedua kakinya diletaki atas dua potong emas, sedang
hoentjweenya ditekankan kesepotong emas lainnya.
"Tidak perduli kau menjotos atau mendupak," katanya," asal kau mampu geser emas ini
dari kakiku, kau boleh ambil semua!"
Para hadirin melengak atas kata-kata ini, melengak karena Lu Djie sianseng terlalu
jumawa.
Hie Bin jadi mendongkol sekali.
"Jangan kau menyesal!" katanya dengan sengit.
Lu Djie Sianseng tertawa besar sambil melengak.
"Kau dengar, dia kuatir aku menyesal!" katanya kepada Eng Tjay, tetap dia dengan
sikapnya yang jumawa itu.
Eng Tjay menjawab hanya dengan tertawa kering.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
"Baik, aku nanti coba!" berseru Hie Bin.
Orang semberono ini lompat tiga tindak, hingga ia datang dekat pada si tekebur itu, lantas
dia ayun kaki kanannya dan menyapu kearah potongan emas yang ditekan hoentjwee.
Dimatanya Sin Tjie, tendangan itu ada tendangan berat dua-tiga ratus kati. Ia percaya,
tidak perduli bagaimana kuatnya Lu Djie Sianseng, emas itu mesti kena tergeser, kecuali
dia itu gunai ilmu gaib. Maka ingin ia menyaksikan kesudahan pertaruhan itu.
Disaat kakinya Hie Bin sampai, belum sampai potongan emas kena ditendang, tiba-tiba,
dengan sebat sekali, Lu Djie Sianseng angkat hoentjweenya, dipakai memapaki kaki
dengan ujung hoentjwee itu, tepat mengenai dengkul.
Dengan mendadakan Hie Bin rasai kakinya itu kaku dan tak bertenaga, tidak ampun lagi,
dengkulnya tertekuk, hingga dia rubuh dengan berlutut!
Lu Djie sianseng segera rangkap kedua tangannya, ber-ulang-ulang ia tertawa besar
sambil ia berkata: "Ah, jangan, tak sanggup aku terima!"
Dia memberi hormat untuk tampik kehormatan. Dia anggap Hie Bin berlutut untuk beri
kehormatan padanya! Itulah sebenarnya suatu penghinaan.
Siauw Hoei terperanjat, dia lari pada Hie Bin, untuk kasih bangun pemuda itu, buat
dipepayang sampai didepannya Oey Tjin.
"Oey soepeh, dia main gila, lekas soepeh ajar adat padanya!" nona ini minta.
Dalam gusarnya, Hie Bin mendamprat : "Kau gunai akal busuk! Kau bukannya satu
hoohan!"
Oey Tjin menotok pada pinggang muridnya, lalu pada pahanya, sembari berbuat demikian,
dia kata dengan pelahan : "Apa lain kali kau berani pula berlaku semberono begini?"
Murid itu berdiam, hatinya bersyukur.
Lu Djie Sianseng tercengang kapan ia saksikan korbannya dapat ditolong secara demikian
cepat. Ia tidak mengerti kenapa ditempat begini sepi sebagai Tjio-liang ada ahli ilmu totok
yang demikian liehay.
Selagi orang berdiam, Oey Tjin ketek shoeiphoanya.
"Perhitungan ini telah dimasuki buku!" kata dia. Lalu dia geraki tangan kanannya, yang
menyekal pit. Terang dia hendak maju, untuk cuci malu muridnya.
Sin Tjie lihat sikap Toa-soeheng itu, dia berpikir: "Dia adalah murid kepala dari Hoa San
Pay, aku adalah soeteenya maka sudah selayaknya aku mesti mendului maju!"
Maka ia lantas berseru: "Toa-soeheng, biar siauwtee yang maju lebih dulu! Jikalau aku
tidak berhasil, Baru soeheng yang menggantikan!"
"Soetee, baik aku saja yang maju," jawab Oey Tjin dengan pelahan.
Soeheng ini ragu-ragu untuk ijinkan adik seperguruan itu wakilkan dia. Soetee ini masih
terlalu muda, meskipun gurunya telah berikan pelajaran sempurna, ia kuatir sang soetee
kurang latihan, kurang pengalaman, hingga ia kuatir, soetee ini bukan tandingan Lu Djie
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Sianseng yang liehay itu. Dia pun percaya, dengan terima murid terakhir itu, yang masih
"kecil", tentunya sang guru sangat sayangi murid bungsu itu, apabila karena pertempuran
ini Sin Tjie terluka, gurunya tentu berduka, dia bakal ditegur, dia bakal malu sendirinya.
Kalau tadi dia antapkan Hie Bin maju, itulah sekalian untuk beri ajaran pada murid
semberono ini agar ia selanjutnya bisa berhati-hati. Dia harap Hie Bin insyaf dan nanti
belajar lebih jauh dengan sungguh-sungguh.
Akan tetapi Sin Tjie tidak mau mengerti.
"Toasoeheng," katanya dengan pelahan juga," dipihak mereka ada banyak orang liehay,
sedang lima orang tua itu mempunyai barisan Ngo-heng-tin yang berbahaya sekali,
mungkin sebentar bakal terjadi pertempuran dahsyat. Soeheng sebagai kepala perang,
maka biar siauwtee yang maju lebih dulu."
Oey Tjin kagum untuk soetee ini, yang tahu aturan, yang hendak menghormati kakak
seperguruan. Ia juga lihat kesungguan hati soetee itu.
"Baik, soetee," kata ia akhirnya. "Harap kau hati-hati."
Sin Tjie manggut pada soeheng itu, lalu ia memutar tubuh, untuk hampirkan Lu Djie
Sianseng.
"Aku juga hendak menendang emas ini, apa boleh?" dia tanya ahli silat Hoo Koen itu. Ia
bersikap tenang sekali.
Lu Djie Sianseng dan kawan-kawannya dari Liong Yoe Pang heran. Barusan si anak muda
bertubuh kekar dan semberono tekah dapat ajaran getir, kenapa sekarang ada pemuda
lain yang tidak tahu mampus?
Melihat orang jauh terlebih muda daripada Hie Bin, Lu Djie Sianseng makin memandang
rendah.
"Baik," sahut dia. "Ingin aku jelaskan dahulu, jikalau nanti kau jalankan kehormatan besar
kepadaku, tak berani aku terima itu!"
Kata-kata yang terakhir ini mengandung ejekan.
Habis itu, jago Hoo Koen itu tekan emas dengan hoentjweenya.
Sin Tjie ambil sikap sama seperti Hie Bin, dia maju tiga tindak, lantas dia angkat kakinya
yang kanan, untuk menyapu.
Hie Bin menonton, dia kaget, dia menjerit:
"Siauw-soesiok, jangan! Dia nanti totok kakimu!"
Ngo Tjouw dari Tjio Liang Pay sebaliknya tak mengerti. Dia tahu pemuda ini liehay, akan
tetapi cara sapuannya itu semberono. Maka mereka menduga, apa mungkin pemuda ini
mengerti ilmu menghentikan jalan darahnya hingga dia tak jeri untuk ditotok?
(Bersambung bab ke 9)
Semua mata ditujukan kepada Sin Tjie, kearah kakinya. Malah Oey Tjin sudah bersiap,
andaikata Lu Djie Sianseng kembali totok dengkul orang, dia hendak turun tangan guna
bantu soetee itu, sesudah mana, mau dia terus serang musuh jumawa itu.
Selagi kakinya Sin Tjie bergerak maju, cepat luar biasa, Lu Djie Sianseng pun geraki
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
hoentjweenya untuk dipakai menyerang, seperti tadi dia totok dengkulnya Hie Bin. Akan
tetapi si anak muda ini cuma menggertak, selagi tangannya si mahasiswa bergerak, dia
pun segera tarik pulang kakinya itu, dengan begitu totokan Lu Djie Sianseng mengenai
sasaran kosong. Justru disaat itu pemuda kita menyapu pula dengan kaki kirinya itu, yang
tadi ia tekuk balik, maka sekejab saja, emas potongan itu kena tersempar.
Sampai disitu, Sin Tjie tidak lantas berhenti. Sebaliknya, dia bergerak terus. Kembali kaki
kanannya menyambar.
Lu Djie Sianseng menjadi mendongkol sekali, dia totok bebokong orang.
Sin Tjie egos tubuh kekanan, sambil membungkuk, sembari berbuat demikian, tangan
kirinya menyambar. Ia berhasil menyampok kekanan kepada emas itu disaat kakinya Lu
Djie Sianseng diangkat, karena untuk totok si anak muda, ia mesti bergerak.
Bergerak terlebih jauh, Sin Tjie kerjakan kaki kirinya. Ia mendahului, akan gunai ketika
selagi tubuh lawan itu digeser, kakinya diangkat. Ini kali pun ia berhasil karena emas
tersempar, disambut oleh tangan kanannya.
Dalam tempo yang pendek, tiga potong emas tersimpan dalam tangan baju yang kanan
dari anak muda ini, sesudah mana ia berdiri dengan tenang.
"Aku hendak ambil semua emas ini," berkata dia. "Lu Lootjianpwee toh menetapkan
janji?"
Kata-kata ini ditutup dengan satu gerakan yang sebat, selagi orang tunggui jawabannya
sianseng itu, sedangnya si sianseng sendiri belum sempat menjawabnya.
Semua orang kagum, karena tahu-tahu Sin Tjie sudah kantongi semuanya sepuluh potong
emas itu, malah orang-orang Liong Yoe Pang dan Tjio Liang Pay serukan pujian mereka
tanpa merasa.
Mukanya Lu Djie Sianseng jadi merah-padam, tanpa bilang suatu apa tangan kirinya lantas
melayang, menyambar si anak muda, menyusul mana, kaki kanannya menjejak ugalugalan
kaki Sin Tjie.
Inilah serangan istimewa menurut ilmu silat Hoo Koen.
Sin Tjie berkelit dari dua-dua serangan itu, kapan ia lantas didesak, ia cepat mundur. Ia
lihat lawan itu geraki kedua tangannya, kedua kakinya, tubuhnya dipasang mendak,
dibangunkan berdiri. Itulah gerakannya burung hoo menyambar-nyambar.
Menghadapi ilmu silat lawan yang luar biasa itu, Sin Tjie tidak berani rapatkan diri, ia main
berputaran, untuk setiap kali menyingkir. Secara begini, diam-diam ia bisa perhatikan
sesuatu serangan atau gerakan lawan itu. Makin hebat ia diserang, makin cepat ia
luputkan diri.
Lu Djie Sianseng lihat orang selalu menyingkir, tak berani lawan dekati dia, dia percaya,
bocah itu cuma gesit tubuhnya, kepandaian silatnya tidak seberapa, dengan sendirinya,
dia jadi memandang enteng, hingga sembari berkelahi, dia tertawa ter-bahak-bahak. Lupa
dia bagaimana tadi emasnya telah disambar dengan kecepatan istimewa. Begitulah dia
gunai kesempatan untuk sedot hoentjweenya, akan kepulkan asapnya.
Selama ber-putar-putar, Sin Tjie mulai mengerti ilmu silat lawan itu, dari itu ia girang sekali
menonton kejumawaan lawan, bertempur sambil sedot hoentjwee dan kepulkan asap.
Secara mendadak dia merangsak mendekati, tangan kirinya diulur kebatang hidung lawan
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
kepala besar itu, untuk disampok.
Lu Djie Sianseng terperanjat. Inilah serangan yang ia tidak sangka-sangka. Tapi ia tidak
mau berlaku ayal-ayalan, sambil kelit hidungnya, ia pun menangkis dengan hoentjweenya,
yang ia lekas-lekas geraki dari bawah keatas.
Sin Tjie tidak singkirkan kepalannya dari serangan hoentjwee itu, ia buka kepalannya, ia
sambuti senjata lawan itu dengan satu sambaran, untuk menyekal. Oleh karena Lu Djie
Sianseng sedang menyerang, tak sempat ia tarik pulang hoentjweenya itu. Ia kaget, segera
ia menarik dengan keras.
Inilah apa yang Sin Tjie duga. Selagi si sianseng menarik dengan keras, untuk mana dia
pakai kedua tangannya, dia bikin iga kanannya kosong. Ketika yang baik ini tidak
disiasiakan lagi oleh si anak muda. Sebat luar biasa, ia menotok ke jalan darah thian-hoehiat.
Lu Djie Sianseng terkejut sesudah kasip, tahu-tahu dia rasai tubuhnya sebelah kanan
gemetar dan habis tenaganya, hingga hoentjweenya terlepas diluar keinginannya.
Selagi begitu, Sin Tjie lihat Tjeng Tjeng tertawa hihi-hihi. Ia senang lihat si nona bergirang,
lantas saja ia sodorkan hoentjwee kearah mulutnya lawan itu. Tapi yang ia sodorkan
bukan ujung hoentjwee piranti menyedot, hanya ujung tempat tembakau, yang apinya
sedang menyala, sebab Baru saja tadi disedot pemiliknya.
Lu Djie Sianseng sedang tercengang, ia kaget ketika api membakar kumisnya, sampai
mengeluarkan asap.
"Soetee, jangan bersenda-gurau!" Oey Tjin teriaki adik seperguruan itu. Diam-diam ia
kagumi keliehayan soetee itu.
Sin Tjie tarik pulang ujung hoentjwee, untuk ditiup apinya, tapi justru karena ini, sebab ia
meniup dengan keras, api meletik berhamburan, abu tembakau turut terbang juga, hingga
antaranya ada api yang menyambar muka Lu Djie Sianseng.
Menampak demikian, Oey Tjin lompat kearah orang she Lu itu. Tak dapat ia tak tertawa
memandang kejadian lucu itu, akan tetapi lekas-lekas ia totok jalan darahnya si lawan,
yang sudah tidak berdaya disebabkan totokannya Sin Tjie. Disebelah itu, ia sambar
hoentjwee dari tangan Sin Tjie, untuk dikembalikan pada pemiliknya, ia jejalkan
ditangannya dia itu.
Lu Djie Sianseng masih tercengang ketika ia lihat semua orang memandang dia sambil
tertawa, tidak tempo lagi, dia lemparkan hoentjweenya, lantas dia memutar tubuh, untuk
lari pergi.
Eng Tjay memburu kawan itu, yang ia sambar tangan bajunya, untuk ditarik, buat dicegah
kepergiannya, akan tetapi Lu Djie Sianseng tolak dia hingga dia terpelanting terhuyunghuyung.
Tak hentikan tindakannya, kawan itu lari terus sehingga dilain saat dia sudah
menghilang.
Pihak Tjio Liang Pay saksikan liehaynya Sin Tjie, mereka kagum tetapi tidak kaget,
memang mereka tahu pemuda ini tak dapat dibuat permainan, tidak demikian
pandangannya pihak Liong Yoe Pang. Mereka ini pandang jagonya - Lu Djie Siansengbagaikan
malaikat, tidak tahunya sekarang, satu bocah permainkan dia mirip sebagai anak
kecil.
Oey Tjin sendiri kagumi soetee itu, akan tetapi dia bukan melainkan kagum saja,
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
berbareng ia heran. Soetee itu menotok jalan darah. Ia tahu itu. Itulah totokan "It-tjie-sian"
atau "Satu Jeriji" dari Hoa San Pay. Yang aneh adalah caranya Sin Tjie berkelit, berputarputar,
demikian juga caranya dia kower emas untuk dilemparkan masuk kedalam saku
baju. Itulah pelajaran yang ia tidak pernah dapatkan dari gurunya.
"Tidak mungkin soehoe sayangi ini murid bungsu dan karenanya dia diajarkan ilmu yang
ber-beda-beda," pikir ia. Itu adalah gerakan yang berlainan sekali dengan semua gerakan
ilmu silat Hoa San Pay.
Hie Bin adalah yang merasa paling aneh, karena ia tidak sempat lihat bergeraknya tangan
si anak muda, si paman cilik itu.
Dan Tjeng Tjeng dan Siauw Hoei, mereka tertawa haha-hihi hingga mereka merasai perut
mereka mulas tanpa sakit, saking lucunya pemandangan barusan itu.
Oey Tjin ketek pula shoeiphoa, terus dia kata: "Tadi telah dijanjikan, kalau tiga potong
emas yang diinjak dan ditindih dapat digeser, semua emas itu akan dikembalikan kepada
kami, maka itu disini aku haturkan banyak-banyak terima kasih!" Ia terus saja beri hormat,
lalu ia titahkan Hie Bin : "Punguti semua emas itu!"
Memang, selagi Sin Tjie hendak layani Lu Djie Sianseng, semua potongan emas telah
dikeluarkan dari dalam tangan bajunya.
Eng Tjay saksikan Hie Bin hendak pungut uang, kedua matanya bersinar diantara
berkilauannya emas itu. Mana ia rela membiarkan harta itu terjatuh kedalam tangan lain
orang? Maka ia maju untuk terus tolak tubuhnya Hie Bin, hingga dia ini mundur dengan
sempoyongan.
"Eh, apa kau mau?" tanya Hie Bin, dengan gusar. "Apa kau juga hendak coba-coba?"
Menampak demikian, Oey Tjin maju.
"Hie Bin, mundur!" ia serukan. Terus ia kasi hormat pada Eng Tjay, pada siapa, sambil
tertawa, ia bilang : "Selamat berbahagia! Tuan, tokomu itu apa mereknya? Tuan biasanya
berdagang apa? Pasti sekali kau peroleh kemajuan hingga meluas keempat penjuru lautan
dan hartamu berjumlah besar sampai memenuhi tiga sungai!"
Oey Tjin ini memang asal saudagar, dia adalah seorang jenaka, maka itu sekalipun sedang
menghadapi pertempuran, dia masih sempat ngoceh tidak keruan.
"Siapa bergurau denganmu?" Eng Tjay membentak dengan murka. "Aku adalah Eng Tjay,
ketua dari Liong Yoe Pang. Aku masih belum belajar kenal dengan she dan namamu,
tuan?"
"Sheku yang rendah ada Oey dan namaku melainkan satu huruf Tjin," sahut toasoeheng
dari Sin Tjie. "Itulah huruf Tjin yang berarti 'tulen', tulen yang tidak ada keduanya. Harga
barang-barangku adalah harga tetap tulen, hingga barang seharga satu tail tidak nanti aku
jual dengan satu tail satu boen, sedang pembeli anak kecil dan tua, tidak nanti aku
perdayakan! Tuan berdagang apa, sukakah kau membantu dengan berhubungan
denganku?"
Eng Tjay sebal dengan ocehan itu, ia jadi semakin mendongkol dan gusar.
"Ambil senjataku!" dia berseru kepada rombongannya.
Lantas salah satu orangnya bawakan tumbaknya yang besar, ia sambuti itu, untuk segera
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
ditarik kebelakang, lalu diteruskan menikam orang didepannya.
Oey Tjin lompat berkelit kekiri.
"Ayo!" dia berseru. "Kami orang dagang, emas itu tak suka kami tidak mendapatkannya!"
Dia lantas simpan pesawat hitungnya, dia membungkuk akan punguti emas dilantai.
Ngo Tjouw insaf orang ini liehay dan Eng Tjay bukan tandingannya, tetapi juga mereka
tidak sudi kehilangan emas itu, maka Beng Gie dan Beng Go segera lompat maju kedalam
kalangan.
"Untuk punyakan uang tak demikian gampang!" mereka berseru.
Oey Tjin lihat rangsekan hebat, sambil mendak, ia menggeser kekanan, dari sini tangan
kirinya dipakai menyerang dengan pukulannya "Keng Tek kwa pian" atau "Oet-tie Kiong
menggantung ruyung". Ini adalah serangan dari samping.
Serangannya Beng Gie dan Beng Go adalah turut runtunan Ngo-heng-tin. Mereka tampak
bahaya, tidak ajal lagi, mereka mundur sendirinya. Tapi justru mereka mundur, Beng Tat
dan Beng San menggantikan maju. Dengan tangan kanan, Beng San tangkis serangannya
Oey Tjin tadi, sedang Beng Tat hajar bebokong lawan.
Sejak Oey Tjin keluar dari perguruan dan berkelana, belum pernah ia menemui tandingan
yang liehay, dan walaupun ia suka bergurau, ia teliti dan hati-hati. Inilah sifatnya yang
membikin ia belum pernah gagal. Barulah sekarang, menyerbu Ngo-heng-tin, ia
menghadapi lawan-lawan yang tidak boleh dipandang ringan. Ia bisa egos tubuh dari
serangan Beng Tat, atau kedua lawan itu mundur, lalu Beng Sie menyusul serang ia.
Begitu selanjutnya, lima saudara itu maju dan mundur saling ganti, sebentar berdua,
sebentar sendiri, hingga kendatipun mereka cuma berlima, gerakan mereka mirip dengan
gerakan beberapa puluh orang.
Mau atau tidak, Tong-pit Thie-shoeiphoa menjadi terkejut. Ia tidak mengerti, ilmu berkelahi
cara apa itu yang lawan-lawannya gunai. Benar-benar serangan mereka, atau lebih benar
pengurungan mereka, merupakan sebagai tin, barisan istimewa. Kalut serangan itu tapi
rapi maju dan mundurnya.
Sesudah melayani sekian lama, tanpa ia bisa serang secara berarti kepada musuhmusuhnya,
atau satu diantaranya, Oey Tjin lantas ubah sikap. Ialah ia berlaku tenang, ia
tempatkan diri ditengah. Ia sambut sesuatu serangan, tidak mau ia balas merangsak.
Tentu saja, dengan begini, ia jadi kena dikurung.
Eng Tjay girang sekali mendapati orang kena dikepung, cuma bisa beladiri, tidak bisa
membalas. Ia anggap ini adalah ketikanya untuk ia turun tangan terlebih jauh. Maka ia
tunggu saatnya, lalu ia menusuk dengan hebat dengan serbuan "Leng tjoa pok kie", atau
"Ular menubruk", salah satu ilmu silat tumbak Yoo-kee-tjhio, ilmu tumbak keluarga Yo. Ia
menikam bebokong.
"Oey soepeh, awas!" berseru Siauw Hoei, memperingati. Nona ini kaget atas bokongan itu.
Oey Tjin adalah murid kepala dari Bok Djin Tjeng, dia telah wariskan ilmu silat Hoa San
Pay, coba lima saudara Oen tidak gunai Ngo-heng-tin, walaupun mereka mengepung
berlima, tidak nanti mereka berhasil. Demikianpun bokongan Eng Tjay, tak perduli dia
menjadi ketua Liong Yoe Pang.
Begitu lekas serangan sampai, mendadak Oey Tjin putar tubuhnya, berbareng dengan itu,
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
tangannya pun bergerak. Tepat sekali, tumbak kena ditangkis sambil terus dicekal. Itu
adalah gerakan ilmu silat tangan kosong melawan senjata, yang sukar dijakinkannya, tapi
Oey Tjin tekah berlatih beberapa puluh tahun. Maka begitu lekas dapat menyekal, dia
terusi membetot tumbak itu. Berbareng membetot lawan, dia pun menoleh kesamping
sambil dengan tangan kirinya menangksi serangan Beng San, sedang kaki kanannya
digeser setengah tindak, guna menghindari jejakan Beng Gie, yang datang dari belakang.
Menyusul betotannya Oey Tjin, Eng Tjay terdengar menjerit keras. Dia tak mau lepaskan
tumbaknya, maka itu tubuhnya kena terangkat naik, terlempar melewati kepala orang,
terus jatuh terbanting dilantai. Akan tetapi jeritannya bukan disebabkan terbantingnya itu.
Hanya selagi dia terbetot, ketika tubuhnya mendekati Oey Tjin, lawannya ini lepaskan
tumbak yang dicekal, pundaknya kiri dipakai menggempur iga kanan lawan hingga ketua
Liong Yoe Pang itu merasakan sakit hebat sampai kesumsumnya.
Segera beberapa orang Liong Yoe Pang maju untuk tolongi ketua itu.
Dalam rombongan Liong Yoe Pang itu ada ketua mudanya, Boe-pangtjoe Khoe Kak Lian,
murid kepala Eng Tjay yang bernama Boen Hoa dan murid kedua bernama Tjhio Thong
Tjouw. Mereka ini jadi sangat gusar, hingga tanpa bilang suatu apa, mereka lompat
menyerang.
Oey Tjin layani tiga musuh baru itu, Baru beberapa jurus, ia telah berhasil membanting
mereka satu demi satu, malah Boen Hoa patah lengan kanannya, hingga dia terluka parah.
Setelah itu, tidak ada lagi orang Liong Yoe Pang yang berani maju. Maka selanjutnya, Oey
Tjin terus melayani Ngo Tjouw dari Tjio Liang Pay.
Pertempuran seru sekali, hingga keenam orang tertampak bagaikan bajangan saja yang
saling sambar. Ada kalanya Oey Tjin dapat lolos dari kepungan atau segera ia terkurung
pula, saking gesitnya kelima lawan, yang cara pengepungannya tak pernah menjadi rancu.
"Benar hebat," memikir Oey Tjin akhirnya, sesudah lama juga ia berkelahi dengan tidak
ada hasilnya. Tidak pernah ada satu diantara musuh yang dapat ia serang. Mau atau tidak,
ia sibuk sendirinya.
Juga lima saudara Oen menjadi heran dan kagum. Tidak mereka sangka lawan ini, yang
mirip dengan satu pedagang atau orang biasa saja, demikian liehay. Sudah dikepung
hebat, pembelaannya tetap rapat dan rapi.
Selagi pertempuran berlangsung makin seru, Oey Tjin lihat tegas cara penyerangan lawanlawannya.
Ada kalanya seorang hendak menendang, atau mendadakan dia berkelit
kesampung dari mana menyeranglah lain kawannya. Ada waktunya seorang mementang
kedua tangan untuk rangkul dia, hingga dia mesti mundur, atau dari belakangnya, satu
kaki mendupak dia!
Selagi penyerangan lawan jadi semakin hebat, macamnya serangan pun bertambah
beraneka-warna, hal ini membuat ia jadi repot, maka untuk tidak menempuh bencana siasia,
mendadakan ia keluarkan seruan panjang, kedua tangannya lantas keluarkan pit dan
shoeiphoa - Tong-pit Thie-shoeiphoa. Didalam hatinya dia pikir : "Kamu berlima, aku
sendirian, tidak ada halangannya akan aku gunai senjata." Maka itu sekarang selagi
menyerang, saban-saban ia cari jalan darah lawan-lawannya.
Belum terlalu lama, lima saudara Oen telah menjadi repot, maka mereka tidak sudi mensiasiakan
tempo, dengan mendadak Oen Beng Tat berseru dengan suitannya.
Oen Tjheng dan Oen Lam Yang mengerti tanda dari ketua itu, dengan bergantian mereka
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
lempar-lemparkan gegamannya masing-masing ketua itu, yang menyambuti dengan baik,
hingga selanjutnya mereka juga bersenjata semua. Hingga karena itu, golok kongtoo,
ruyung joanpian, tongkat besi dan lainnya, saling sambar.
Pertempuran kali ini berlanjut tidak saja lebih seru malah terlebih berbahaya, sebab
semuanya menyekal senjatanya masing-masing. Dari itu, para hadirin menjadi tercengang,
mereka gembira tapi hati mereka berkedutan.
Tjoei Hie Bin sibuk bukan main melihat gurunya terancam bahaya kepungan yang sangat
kuat itu, ia tahu ia tidak punya guna akan tetapi ia sayang sekali gurunya, maka dengan
melupakan segala apa, ia berseru dengan putar goloknya, ia lompat, untuk menyerbu
kedalam Ngo-heng-tin. Ia Baru loncat tiga tindak atau didepannya ada berkelebat satu
bajangan, yang tangannya segera menekan pundaknya. Ia kaget, ia ayun goloknya, untuk
membacok, tapi apamau, tekanan orang itu begitu berat sehingga ia tak sanggup geraki
pundaknya.
"Tjoei Toako, tak dapat kau pergi, sia-sia kau antarkan jiwamu!" demikian satu suara
cegahan.
Kapan pemuda she Tjoei ini mengawasi, ia kenali Sin Tjie sebagai penghalang itu. Tadi ia
telah saksikan pemuda itu pecundangi Lu Djie Sianseng, masih ia kurang percaya akan
kegagahan orang, tetapi sekarang Barulah ia menginsafi tenaganya yang besar luar biasa.
Tak dapat ia tak dengar kata lagi.
Sin Tjie tarik pulang tangannya seraya terus berkata : "Jangan kau sibuk! Gurumu masih
sanggup layani mereka!"
Lantas anak muda ini awasi pula pertempuran, sedang Hie Bin terpaksa berdiri melongo,
untuk turut menonton terus.
Sin Tjie perhatikan jalannya pertempuran tapi kadang-kadang ia dongak keatas genteng,
diwaktu begitu agaknya dia berada dalam kesulitan pikiran.
Segera Siauw Hoei datang mendekati.
"Engko Sin Tjie, pergi tolongi Oey Soepeh," kata nona ini. "Berlima mereka kepung satu
orang, sungguh mereka tak tahu malu!"
Sin Tjie tidak menjawab, dengan satu gerakan tangan, ia suruh nona itu mundur.
Siauw Hoei tidak dapat muka, ia mundur dengan lesu.
Tjeng Tjeng saksikan lagaknya nona An itu, diam-diam ia bergirang.
Selama pertempuran berjalan dengan seru itu, Oey Tjin tidak pernah berhasil dengan
pitnya, dengan shoeiphoanya, untuk menotok atau sambar senjatanya lawan. Malah
senjata mereka tidak pernah bentrok satu dengan lain. Lima saudara itu singkirkan
bentrokan, sebagaimana Oey Tjin pun tak inginkan itu.
Lagi sesaat, sekonyong-konyong Sin Tjie lompat menghampiri Siauw Hoei.
"Adik Siauw Hoei, maafkan perbuatan tadi," kata dia. "Tadi aku sedang memikirkan
sesuatu. Sekarang aku berhasil memecahkan pikiranku itu."
"Disaat sebagai ini apa masih ada soal maaf?" jawab si nona. "Lekas kau pergi bantui Oey
Soepeh!"
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Sin Tjie tertawa.
"Aku telah berhasil memecahkan pikiranku, aku tidak kuatir lagi!" katanya.
"Kau benar aneh! Kenapa kau tidak bedakan urusan enteng dan berat, penting dan tidak
penting? Kalau ada kesukaran, apa kau tidak bisa tunggu sampai pertempuran sudah
selesai Baru kau memikirkannya pula?" tanya Siauw Hoei.
Kembali Sin Tjie tertawa.
"Yang aku pikirkan justru ada soal pertempuran ini!" sahutnya. "Aku pikirkan bagaimana
aku bisa pecahkan barisan Ngo-heng-tin ini. Apakah kau tidak dapat ingat atau lihat
bagaimana senjata mereka tidak pernah bentrok satu pada lain?"
"Ja, aku pun herani itu," jawab Siauw Hoei.
"Pokoknya tin mereka ada kecepatan," Sin Tjie menjawab. "Sesuatu bentrok senjata
berarti mensia-siakan tempo. Maka itu, untuk melawannya, guna memecahkan, kecepatan
juga yang dibutuhkan. Kita mesti menangkan kecepatan mereka itu, Baru kita akan
berhasil."
"Mereka telah terlatih sempurna, mereka sangat gesit, bagaimana dapat kita lombainya?"
tanyanya.
Sin Tjie bersenyum.
"Lihat saja, aku akan coba-coba!" sahutnya. Ia menoleh pada Siauw Hoei dan berkata :
"Coba pinjamkan aku tusukan rambutmu!"
Siauw Hoei loloskan tusukan rambutnya yang terbuat dari batu pualam dan serahkan itu.
Sin Tjie menyambuti, ia dapatkan satu tusuk konde yang bagus sekali.
"Aku akan gunai tusuk konde ini untuk layani mereka," katanya.
Hie Bin dan Siauw Hoei tertawa. Mereka anggap orang lagi main-main. Tidakkah tusukan
batu kumala itu regas sekali, gampang patah? Bagaimana itu dapat dipakai sebagai alatsenjata?
Sin Tjie tidak ambil mumet dua orang itu terheran-heran, ia hanya awasi pertempuran, lalu
ia teriaki Toa-soehengnya itu : "Toasoeheng, soet-touw menciptakan it-bok, maka injaklah
kian-kiong dan jalan di kam-wie!"
Itulah istilah-istilah dari Pat-kwa.
Oey Tjin dengar itu, ia melengak sendirinya, tak dapat ia lantas mengerti itu. Tidak
demikian dengan Oen-sie Ngo Loo, lima ketua keluarga Oen itu, mereka ini terperanjat.
"He, kenapa bocah itu bisa ketahui rahasia Ngo-heng-tin?" pikir mereka. Mereka anggap
temponya terlalu singkat untuk menginsafi itu.
Sin Tjie tidak perdulikan kakak seperguruan itu mengerti atau tidak, kembali ia
perdengarkan suaranya : "Toasoeheng, phia-hoh menakluki khe-kim, maka jalanlah di Tjinkiong,
keluar dari lie-wie!"
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Selama pertempuran yang telah berjalan lama itu, Oey Tjin pun gunai pikirannya, sebab ia
dapat kenyataan, secara keras, secara halus, masih ia tak dapat pecahkan Ngo-heng-tin. Ia
ingat lawan-lawannya kurung ia menuruti garis-garis Pat-kwa, akan tetapi beberapa kali ia
sudah coba mendobrak, saban-saban ia gagal. Tapi setelah dengar suara soeteenya yang
kedua kali, ia pikir pula.
"Baik aku mencoba," ia ambil putusan. Ia lantas menunggu.
Sebentar kemudian, datanglah saat yang baik. Dengan tiba-tiba ia ambil jalan tjin-kiong,
untuk keluar dari lie-wie. Dan ia berhasil! Ia dapatkan satu lowongan! Segera ia hendak
nyeplos. Mendadakan Sin Tjie serukan pula : "Jalan ke kian-wie! Jalan ke kian-wie!"
Dikedudukan kian-wie itu ada menjaga dua saudara Oen, Beng San dan Beng Sie. Tapi
Oey Tjin percaya soeteenya itu, ia tidak mau sia-siakan waktu, tanpa berpikir lagi, ia
menerjang kearah kian-wie itu.
Beng San dan Beng Sie Baru menjaga, lantas mereka mesti pecah diri, untuk lowongan
mereka diisi oleh Beng Tat dan Beng Go. Itu adalah menurut cara-cara kepungan mereka.
Justru mereka hendak memecah diri, disaat itulah Oey Tjin menerjang kearah mereka.
Maka itu, selagi lowongan sedang terbuka, Oey Tjin geraki pitnya dan alat penghitungnya
kekiri dan kanan, untuk cegah dua saudara itu merintangi dia. Dia berlompat dengan luar
biasa pesat, hingga tahu-tahu dia sudah lolos dari kurungan dan segera berdiri didamping
Sin Tjie!
Lima saudara Oen tercengang, lekas-lekas mereka undurkan diri, akan berdiri berbaris.
Nampaknya mereka menyesal. Tapi Oen Beng Tat segera bicara.
"Kau bisa lolos dari Ngo-heng-tin, kepandaianmu bukan kepandaian sembarang," kata
ketua Ngo-tjouw dari Tjio Liang Pay. "Apakah tuan ada dari Hoa San Pay? Bagaimana tuan
membahasakannya terhadap Lootjianpwee Bok Djin Tjeng?"
Begitu lekas ia sudah merdeka, kumat pula kejenakaannya Oey Tjin. Begitulah ia tertawa
geli seorang diri.
"Bok Lootjianpwee itu adalah guruku yang bidjaksana," ia menyahut. "Kenapa? Apakah
aku sebagai murid telah membuat malu kepada guruku itu?"
Beng Tat tidak gubris orang menggoda dia.
"Pantas, pantas!" katanya. "Memang aku telah lihat, ilmu silatmu ada dari Hoa San Pay."
Oey Tjin tidak hiraukan pengutaraan itu. Dia kata : "Kita sudah bertempur! Kamu berlima
telah kepung aku satu orang, aku tidak sanggup pukul rubuh kepadamu, kamu sendiri
tidak mampu jambak kepadaku! Inilah dia yang dibilang cara berdagang yang maha adil,
atau setengah kati itu ialah delapan tail! Sekarang bagaimana hendak diaturnya dengan
emas ini?" Ia tidak tunggu jawabannya Ngo Tjouw, ia menoleh kepada Eng Tjay ketua
Liong Yoe Pang dan kata : "Tuan saudagar, perhubungan dagang kita berdua sudah putus
pembicaraannya, mengenai emas ini, bagianmu sudah tidak ada lagi!"
Eng Tjay malu sekali, ia insaf tak dapat ia lawan dia itu, akan tetapi ia toh menyahuti:
"Orang she Oey, jangan kau tekebur! Nanti datang satu hari yang kau toh bakal terjatuh
dalam tanganku!"
Oey Tjin tertawa, dia kata : "Jikalau ditoko tuan ada lain barang lagi, silakan berhubungan
dengan tokoku, perkara rugi tidak menjadikan soal! Kita toh ada langganan-langganan
lama! Perkara harganya barang, kita nanti boleh damaikan pula secara istimewa...."
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Bukan kepalang mendongkolnya ketua Liong Yoe Pang. Berkelahi dia kalah, adu mulut
pun ia tak ungkulan, maka dengan terpaksa, ia ajak rombongannya ngeloyor pergi.
Rombongannya Beng Tat juga tidak perdulikan berlalunya orang-orang Liong Yoe Pang
itu, Beng Tat sendiri lantas kata kepada lawannya yang tangguh itu : "Melihat kepandaian
kau, kau adalah seorang gagah dari jaman ini, maka mengenai emas ini, dengan
memandang kepadamu aku hendak atur begini: Kami suka menyerahkannya separuh..."
Jago Tjio Liang Pay ini takut juga terhadap Hoa San Pay, ia jadi tak ingin menambah
musuh. Ia anggap pertimbangannya itu pantas.
Oey Tjin tertawa.
"Coba uang ini ada kepunyaanku sendiri," jawabnya. "walaupun sekarang ada masa tidak
aman dan mencari uang bukannya gampang, asal sahabat membutuhkannya, tak
halangannya untuk diambil semua sekalipun. Akan tetapi aku harap saudara
mengetahuinya. Uang ini ada uang belanja tentaranya Giam Ong! Muridku yang tolol ini
diberi tugas mengantarnya, emas itu kena diambil oleh orangmu, saudara, maka kalau
sekarang aku pulang dengan tidak bersama emas yang utuh, bagaimana aku dapat
memberi tanggung-jawabnya?"
Belum lagi Beng Tat beri penyahutan, Beng Gie sudah tak dapat kendalikan diri.
"Untuk kembalikan emas kepadamu, itu pun boleh!" serunya dengan murka. "Tapi mesti
dengan dua syarat!"
"Jikalau barang ada harganya, shoeiphoa boleh dikeluarkan untuk menghitungnya," kata
Oey Tjin dengan tenang. "Bukankah segala apa dapat didamaikan? Bukankah tak ada
halangannya untuk kita saling tawar dengan pelahan-lahan? Karena aku hendak
membayar kontan, tolong kau sebutkan harganya, nanti kami timbang pula...."
"Tidak ada tawar-menawar lagi!" kata Beng Gie dengan sengit. "Syarat yang pertama,
untuk mendapati emas ini, kamu mesti mengantar barang kepada kami. Tentang barang
antarannya, banyak atau sedikit tidak menjadi soal. Inilah aturan kami, satu kali kami telah
dapatkan suatu barang tak dapat itu dikembalikan secara gampang-gampang!"
Oey Tjin bersenyum. Ia tahu inilah soal muka, soal kehormatan. Tjio Liang Pay suka
mengembalikan emas, itu artinya segala apa sudah beres. Maka tidak lagi ia hendak
bersenda-gurau, sebaliknya, dengan sungguh-sungguh dia menyahuti: "Kalau tuan-tuan
bilang demikian, dengan segala senang hati aku suka menerimanya. Besok pagi aku nanti
pergi kekota Kie-tjioe untuk membeli, mempersiapkan barang-barang persembahan itu,
nanti aku sendiri yang mengantarkannya. Aku pun masih hendak sajikan beberapa meja
hidangan untuk undang tuan-tuan serta beberapa saudara penduduk sini untuk
menemaninya."
Mendengar itu, Beng Gie nampaknya puas.
"Baik!" berkata dia. "Sekarang syarat kedua. Bocah she Wan ini mesti ditinggalkan disini!"
Oey Tjin terkejut.
"Kamu sudi pulangi emas, aku berikan kamu muka terang," pikirnya. "Kenapa kamu
hendak timbulkan urusan lain lagi?"
Toasoeheng ini masih belum tahu jelas duduknya hubungan diantara keluarga Oen dan
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
soeteenya itu, perihal Kim Tjoa Long-koen dan Oen Gi. Sin Tjie tahu rahasia orang, cara
bagaimana dia bisa dilepaskan secara begitu saja? Adalah keinginannya Ngo Tjouw untuk
binasakan pemuda ini, guna lampiaskan hati mereka. Terutama adalah keinginan Ngo
Tjouw mendapati peta harta karunnya Kim Tjoa Long-koen, yang mereka sangka disimpan
si anak muda. Dan mereka masih percaya, tidak perduli Sin Tjie gagah, Ngo-heng tin tentu
bakal dapat rubuhkan padanya.
Itulah syarat yang hebat, tapi mendengar itu, Oey Tjin tertawa.
"Soeteeku ini ada seorang yang gembul sekali gegaresnya," berkata dia. "dengan kamu
suka beri tempat dia disini, itulah bagus sekali, hanya saja, nasi untuk satu tahun, dia
bakal gegares habis dalam tempo enam bulan, aku kuatir tuan-tuan nanti rugi!...."
Hie Bin kenal baik tabiat gurunya, mendengar perkataan gurunya yang belakangan ini, ia
percaya pertempuran bakal diulangi lagi, maka itu ia cekal keras-keras senjatanya. Dengan
mata tajam ia pandang musuh.
Beng Tat tak perdulikan godaan itu, ia gusar.
"Saudara mudamu tadi ajarkan kau bagaimana harus loloskan diri dari Ngo-heng-tin,"
katanya sambil tertawa dingin. "Kelihatannya dia ketahui baik tentang tin kami ini, maka
itu, baik kami undang dia untuk mencoba-coba kepandaiannya itu!"
Ketua Tjio Liang Pay ini andali betul Ngo-heng-tin. Sebenarnya tin itu terdiri dari lima
rintasan, tapi menghadapi Oey Tjin, Baru digunai sampai yang kedua, jadi masih ada tiga
rintasan lainnya.
Oey Tjin telah rasai hebatnya tin, maka ia pikir, "Aku dengan pengalamanku beberapa
puluh tahun, tak dapat aku menoblos keluar, bagaimana lagi dengan soeteeku ini? Benar
dia dapat tunjuki jalan padaku tetapi dia hanya sebagai orang diluar kalangan, pikirannya
tentu sehat, dia dapat melihat jalan. Kalau dia disuruh maju, aku kuatir dia gagal...."
Karena ini, ia jawab: "Ngo-heng-tin ada sangat liehay, barusan aku telah mengalaminya
sendiri. Soeteeku ini berumur tak setua cucumu, tuan-tuan, kenapa kamu hendak
mempersulit dia? Umpama tuan-tuan tak puas terhadapnya, baik majukan siapa saja untuk
ajar adat kepadanya!"
Oey Tjin bicara mengalah tapi maksudnya justru berkeras. Ia percaya, jikalau satu lawan
satu, Sin Tjie tak akan dapat dikalahkan mereka berlima.
Oen Beng San tertawa dingin.
"Hoa San Pay sangat kenamaan, siapa tahu Baru lihat Ngo-heng-tin yang tidak berarti,
orangnya sudah ketakutan hingga dia umpatkan kepala dan sembunyikan ekor!" katanya.
"Kalau begitu, sejak hari ini, apa Hoa San Pay masih bisa angkat namanya dalam dunia
kang-ouw?"
Hie Bin jadi sangat gusar, ia muncul tanpa perkenan.
"Siapa bilang Hoa San Pay jeri terhadapmu?" dia berteriak.
"Kalau demikian, kau saja yang maju!" Beng San mengejek sambil tertawa.
Hie Bin benar tidak tahu takut, dia hendak maju lebih jauh.
Sin Tjie tarik keponakan-murid itu.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
"Tjoei Toako, kasi aku yang maju lebih dahulu," paman cilik ini kata dengan pelahan,"
apabila aku gagal, Baru kau membantui..."
Hie Bin manggut.
"Baik," jawabnya. "Begitu lekas kau membutuhkan bantuan, panggillah aku dengan
namaku, aku akan lantas maju, tidak usah kau sebut-sebut Tjoei Toako atau Tjoei Djieko!"
Sin Tjie bersenyum, ia manggut.
Siauw Hoei merasa lucu, dia tertawa geli.
"Eh, kau tertawakan apa?" Hie Bin menegur sambil melotot.
"Tidak apa-apa, aku merasa lucu sendiri," sahut si nona.
Masih Hie Bin hendak menegasi, tapi Sin Tjie sudah lompat kedepan, sebelah tangannya
memegangi tusukan rambutnya Siauw Hoei.
"Ngo-heng-tin dari Tjio Liang Pay begini liehay tapi seumur hidupku belum pernah aku
melihatnya!" kata dia.
"Pupukmu masih belum kering, kau tahu apa?" berseru Beng Gie. "Bagaimana kau bisa
kenali Ngo-heng-tin kita?"
Sin Tjie berlaku tenang.
"Loo-ya-tjoe semua hendak menahan aku, inilah soal yang minta pun aku tak berani,"
katanya pula. "Baiklah, mari kita gunai ketika baik ini supaya aku bisa belajar kenal
dengan keliehayan Ngo-heng-tin!"
"Hati-hati, siauw-soesiok!" Hie Bin berteriak, memperingati. "Mana mereka kandung
maksud baik!"
Sin Tjie menoleh pada si semberono, ia tertawa.
"Mereka orang-orang tua, tidak nanti mereka perdayakan kita anak-anak dengan usia
muda!" katanya. "Jangan kuatir, Tjoei Toako!" ia terus menoleh kepada Ngo Tjouw, akan
lanjuti : "Aku hendak maju sekarang, harap looyatjoe semua menaruh belas kasihan..."
Orang-orang Tjio Liang Pay heran. Dari kata-katanya, terang anak muda itu jeri, akan tetapi
sikapnya sangat tenang, tindakannya pelahan dan tetap, tak tertampak roman kuatir atau
bingung. Mereka jadi tak dapat menerka hati orang.
Ngo Tjouw tahu orang liehay, mereka tidak berani memandang enteng. Dengan satu tanda
gerakan tangan, mereka mulai bersiap. Beng Gie dan Beng San mencelat kekanan, ketiga
saudaranya turut, akan ambil kedudukannya masing-masing, maka sebentar saja, si anak
muda sudah dikurung.
Sin Tjie bawa sikap seperti ia tidak engah, dia malah memberi hormat ketika dia tanya :
"Apakah kita orang main-main dilantai datar?"
"Ya, tak usah dipanggung Bwee-hoa-tjhung lagi!" sahut Beng Tat. "Kau keluarkan
senjatamu!"
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Sin Tjie perlihatkan tusuk kondenya.
"Tuan-tuan ada dari angkatan tua, aku yang muda mana berani berbuat tidak hormat
dengan menggunai senjata tajam?" katanya. "Dengan kumala ini saja aku mohon
pengajaran dari kamu semua!"
Kata-kata ini membuat semua orang, sahabat dan lawan, menjadi heran. Ada yang anggap
anak muda ini sangat tekebur. Apa artinya sebatang tusuk konde? Kebentur sedikit saja
tentu bakal patah! Bagaimana itu bisa diadu dengan senjata Ngo Tjouw?
Oey Tjin berdiam sedari tadi. Ia tahu, percuma saja ia turut bicara. Diam-diam ia siapkan
kedua rupa senjatanya, untuk menolong disaat sutee itu terancam bahaya. Pada Hie Bin
dan Siauw Hoei ia beri kisikan: "Musuh kita terlalu kuat, jumlah kita juga terlalu sedikit,
apabila sebentar aku beri tanda, kamu mesti loncat naik keatas genteng untuk menyingkir,
aku dan Wan Soetee akan memegat dibelakang. Tidak perduli kami berdua menghadapi
ancaman hebat, jangan kamu bantu kami!"
Dua orang yang dipesan itu berikan janji mereka.
Oey Tjin memesan demikian untuk lindungi dua anak muda itu, supaya mereka pun tidak
merintangi ia dan soeteenya itu. Ia percaya, ia dan sang soetee pasti dapat loloskan diri
andaikata mereka menghadapi bahaya. Dia juga memikir, andaikata dia gagal mendapat
pulang emas itu, dilain hari dia akan kembali bersama lebih banyak pembantu, ialah djiesoeteenya,
Poan-sek-san-long Kwie Sin Sie suami-isteri, sahabatnya, Pouw Sian Taysoe
dari kuil Hoa Giam Sie di Hoopak, dan gurunya, Bok Djin Tjeng, atau Bhok Siang Toodjin.
Asal seorang tandingi satu orang, lima saudara Oen itu tentu mati daya, Ngo-heng-tin akan
pecah. Nampaknya Oey Tjin lucu, sebenarnya dia bisa berpikir jauh. Dia tak pilih Sin Tjie
sebab dia kuatir soetee ini kurang latihan.
Walaupun semua sudah siap sedia, Sin Tjie masih kata pada lima jago keluarga Oen itu :
"Looyatjoe semua sudi beri pengajaran padaku, kenapa masih ada yang ditahan, sehingga
aku merasa tin ini belum lengkap?"
Beng Tat heran.
"Apakah yang kurang lengkap?" tanya dia.
"Disebelah Ngo-heng-tin, masih ada barisan pembantu sebelah luar yaitu Pat-kwa-tin."
Sahut Sin Tjie. "Kenapa Pat-kwa-tin juga tidak diatur sekalian, supaya aku bisa menambah
puas pemandangan mataku?"
Beng Gie lantas saja membentak : "Inilah kau yang mengatakannya, maka kalau sebentar
kau mati jangan kau menyesal!" Terus dia berpaling pada Oen Lam Yang: "Lam Yang, mari
maju semua!"
Oen Lam Yang ada ketua dari angkatan kedua dari Tjio Liang Pay, dengan suatu tanda,
muncullah lima-belas kawannya yang tadi disiapkan untuk kepung Sin Tjie.
Oey Tjin lihat rombongan itu terdiri dari lelaki dan perempuan, diantaranya ada dua
pendeta. Mereka semua mengatur diri disebelah belakang Ngo Tjouw, mereka bergerakgerak,
ber-putar-putar, gerakan mereka semua beres dan rapi, sehingga Oey Tjin yang
luas pengalamannya jadi heran dan kagum. Orang berlari-lari tetapi tidak terdengar suara
tindakan mereka.
"Wan Soetee tidak tahu urusan," pikir toasoeheng ini. "Dengan dia layani Ngo Tjouw saja,
umpama ia terancam, aku bisa nyerbu untuk menolongi, sekarang barisan ditambah
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
dengan lapis yang kedua, dengan jumlah sampai enam-belas orang, mana ada lowongan
lagi untuk menerjang masuk? Jangan-jangan seekor lalat juga sukar molos...."
Soeheng ini terus berdiam, ia terbenam dalam keragu-raguan.
Sin Tjie didalam kurungan tetap berlaku tenang. Ia jepit tusuk konde kumala dengan
jempol dan jeriji tengah kanan, tangan kirinya diangsurkan kedepan, ia pasang kuda-kuda
dengan kaki kiri didepan, setelah itu, ia geraki tubuhnya lebih jauh, akan lari berputaran,
setelah empat atau lima balik, ia teruskan.
Ngo Tjouw juga lantas bersiap, semua mata mereka dipakai mengawasi anak mdua dalam
kurungan itu.
Sin Tjie berputaran saja, ia tidak lantas menyerang.
Ketika dahulu Kim Tjoa Long-koen lolos dari tangannya Ngo Tjouw dari Tjio Liang Pay ia
keram diri didalam guanya, setiap saat, setiap waktu, ia asah otak memikiri jalan untuk
pecahkan Pat-kwa Ngo-heng-tin. Ia tidak mengerti, kenapa kurungan Ngo-heng-tin tidak
dapat digempur, dan asal yang satu bergerak, empat yang lainnya lantas menyusul,
menyusul tak hentinya, sampai lawan sudah kena dirubuhkan. Beberapa tahun telah
dilewati, hasilnya tetap tidak ada, jalan tidak didapati.
Pada suatu pagi Kim Tjoa Long-koen mencari hawa dipuncak Hoa San, tiba-tiba ia lihat
seekor ular merayap berliku-liku, kapan binatang itu dengar tindakan orang, dia berhenti
berjalan, dia melingkar, kepalanya diangkat. Itulah kebiasaan ular, untuk bersiap melawan
atau menyerang musuh, tanpa diserang lebih dahulu, ia tidak akan mendahului.
Tiba-tiba saja, Kim Tjoa Long-koen sadar. Inilah caranya untuk pecahkan Ngo-heng-tin!
Sehingga bukan main girangnya dia. Itulah gerakan : "Bergerak belakangan, menindas
lawan". Ia lantas pulang, kembali ia asah otak. Ia gunai tempo satu bulan, Baru ia insyaf
kelemahan Ngo-heng-tin, dan bagaimana caranya harus menerjang pecah. Semua ini
lantas dicatat dalam Kim Tjoa Pit Kip, sebab walaupun ia telah dapatkan rahasia itu, ia
sendiri tak dapat menuntut balas. Dengan urat-uratnya telah dibikin putus, ia tidak bisa
bersilat lagi seperti dulu. Ia sukar percaya akan ada orang yang nanti dapatkan kitabnya
ini atau umpama kata itu diketemukan seratus tahun atau seribu tahun kemudian, pasti
Ngo Tjouw sudah lama mati dan tulang-tulangnya telah lebur menjadi tanah. Biar
bagaimana, ia pun masih mengharap-harap. Jikalau Ngo-heng-tin tidak terpecahkan, pasti
Ngo Tjouw akan menjagoi untuk selama-lamanya, sedang mereka ada orang-orang jahat.
Sekarang Sin Tjie hendak gunai daya "bergerak belakangan, menindas lawan" itu, maka
itu, ia melanjuti berputaran terus, tidak henti-hentinya, sehingga semua lawannya turuti ia
ber-putar-putar juga akan awasi dia.
Dari bergerak pelahan pada mulanya, anak muda ini bergerak pesat, setelah sekian lama,
ia mulai jadi pelahan pula, jadi kendor, selama itu tetap tidak terlihat sikapnya hendak
mulai menerjang. Sebaliknya, dia lantas berhenti berputaran, dia duduk, kedua tangannya
dikasih turun kedengkul, tubuhnya diam, cuma tampangnya berseri-seri.
Semua orang menjadi heran. Pihak Oen tidak tahu, inilah tipu-daya, guna mengabaikan
penjagaan lawan, untuk bikin lawan habis sabar.
Benar saja, Oen Beng Gie tidak puas, sehingga ia geraki kedua tangannya untuk
menyerang. Ia berada dibelakang Sin Tjie, ia bisa membokong si anak muda.
"Djieko, jangan bikin kacau tin!" Beng Go cegah kandanya itu.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Beng Gie dapat dicegah, maka itu, berlima mereka masih berputaran, selalu siap-sedia
untuk menerjang begitu lekas lawan bergerak.
Belum lama dia duduk diam, Sin Tjie menguap, terus ia rebahkan diri, tidur celentang,
kedua tangannya ditekuk, dipakai sebagai bantal, untuk mengalaskan kepalanya.
Ngo Tjouw masih terus berputaran, meskipun mereka merasa aneh. Mereka jadi
bertambah waspada. Mereka mau menyangka, anak muda itu bakal gunai entah akal apa.
Disebelah belakang, enam belas orang dibawah pimpinannya Oen Lam Yang turut
bergerak-gerak terus juga, akan tetapi mereka tak seulet lima ketua mereka, sesudah lewat
banyak tempo beberapa diantara mereka jadi letih, keringat mereka mengucur keluar,
napas mereka mengorong.
"Aku hendak lihat, tua-bangka, sampai kapan kamu dapat bersabar," kata Sin Tjie dalam
hatinya, mendapati tidak ada orang yang hendak serang ia. Selagi rebah, ia curi lihat
gerakan lawan.
Mendadak anak muda ini membalik tubuh, sehingga ia jadi rebah tengkurap, kedua
tangannya ketindihan tubuhnya. Kemudian lagi, terdengarlah suara menggerosnya,
sebagai tanda bahwa ia ketiduran, tidur pulas.
Inilah kejadian aneh dalam medan pertempuran. Ini pun lucu. Hie Bin, Siauw Hoei, Tjeng
Tjeng, dan Oen Gie juga, hampir tertawa, tapi juga hati mereka kebat-kebit, saking kuatir.
Umpamanya Ngo Tjouw menyerang, celakalah anak muda itu, yang memasang bebokong.
Cuma Oey Tjin yang mengerti soetee itu sedang uji kesabarannya lawan, untuk pancing
lawan itu, meski begitu, ia juga berkuatir untuk nyali besar dari soetee itu. Itulah
keberanian melewati batas. Apabila serangan datang, bagaimana itu dapat dielakkan?
Benar-benar Beng Tat tidak bersabar lagi, ia hendak gunai ketikanya yang baik ini. Begitu
lekas ia memberi tanda, dengan tangan kiri dikibaskan kekanan, menyambarlah empat
batang hoei-too dari Beng Sie, adiknya yang ketiga. Empat hoeitoo itu terbang menyambar
kebebokong Sin Tjie.
Semua orang pihak si anak muda terperanjat, malah ketika empat hoeitoo mengenai
sasarannya, Oen Gie tutupi muka, hatinya mencelos.
Dipihak Oen, semua orang bergirang, ada yang bersorak, sehingga dari enam-belas
anggauta Pat-kwa-tin, tujuh atau delapan antaranya berhenti berputaran.
Justru disaat itu, dengan sekonyong-konyong tubuhnya Sin Tjie mencelat bangun, empat
golok terbang dibelakangnya meluruk jatuh kelantai, kemudian terlihat tubuhnya melesat,
melewati sela-sela lima saudara Oen, selagi mereka ini mengawasi dengan heran kepada
bekerjanya hoeitoo yang memberi akibat luar biasa itu. Tahu-tahu Sin Tjie telah sampai
dibelakang Oen Lam Yang, bebokong siapa ia tepuk keras sehingga menerbitkan suara
nyaring, atas mana orang she Oen itu berteriak-teriak segera dia muntahkan darah hidup,
belum sempat dia tahu apa-apa, tubuhnya disambar si anak muda, diangkat, dilempar
kedalam Ngo-heng-tin!
Setelah ini, Sin Tjie tidak hentikan gerakannya. Selagi lima-belas orang Pat-kwa-tin
bingung, ia serang mereka satu demi satu, dengan kepalan, dengan tendangan, dengan
totokan juga, dan setiap korbannya, tubuhnya ia sambar, ia balingkan kedalam tin.
Oen Tjheng dan beberapa orang lagi mempunyai boegee cukup baik tapi Baru dua tiga
gebrak, mereka pun kena dirubuhkan dan dilemparkan, sehingga didalam tin, bukan
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
musuh yang terkurung, tetapi orang sendiri yang rebah malang-melintang. Secara begitu,
Pat-kwa-tin telah terpukul pecah, tidak terkecuali Ngo-heng-tin sendiri.
Selama keadaan katjau itu, lima saudara Oen pun repot, akan tanggapi orang-orangnya,
yang dilempar-lemparkan kearah mereka. Waktu yang baik itu digunai Sin Tjie untuk
lompat maju akan totok Oen Beng Sie, siapa kecuali sedang repot juga masih terheranheran
karena golok terbangnya tidak membinasakan lawan, sehingga hatinya ciut
sendirinya. Tapi sekarang ia diserang, dengan sebat ia memapaki lawan dengan empat
buah goloknya yang liehay, yang menjurus kearah dada.
Sin Tjie tidak perdulikan datangnya empat hoeitoo, ia tidak berkelit, malah ia antapkan
dadanya terbuka, tangannya lurus kedepan, tiga jarinya menjuju tenggorokannya
penyerang dengan hoeitoo itu, benar selagi golok-golok terbang mengenai sasaran dan
jatuh sendirinya, jerijinya mengenai jalan darah soan-kie-hiat sehingga lawannya rubuh.
Oen Beng San lihat saudaranya terancam bahaya, ia hendak menolongi, ia menyerang
dengan tongkatnya kearah kempolan kanan.
Sin Tjie lihat tongkat menyambar, ia tertawa dan berkata: "Tongkat ini sudah dibuang
tetapi sekarang diambil pula!" Selagi mulut bersuara, tangannya tidak diam saja, ia maju
akan sambar tubuhnya satu kawannya Lam Yang, akan pakai tubuhnya dia ini akan papaki
tongkat!
Beng San anggap lawannya tidak bisa menyingkir lagi, maka itu ia terperanjat melihat ia
ditangkis dengan orangnya sendiri, syukur ia masih keburu menarik pulang tongkatnya
itu, serta buang dengan kaget kesamping, dimana ada Beng Tat.
"Toako, awas!" ia berseru.
Beng Tat lihat sambaran tongkat adiknya, ia menangkis dengan sepasang tumbak
pendeknya, sehingga kedua senjata bentrok keras dan menerbitkan lelatu api!
Selagi dua saudara itu repot sendirinya, Sin Tjie menerjang Beng Go, mulanya tangannya
yang kiri menyambar, lalu menyusul tangan kanannya, dengan tusuk konde kumala, ia
arah kedua matanya musuh itu.
Beng Go mundur, dengan cambuk kulitnya, ia lindungi diri; ia sudah mesti lantas
menangkis berulang-ulang, sebab serangannya si anak muda saling susul, karena ia
lantas didesak keras. Ia sibuk melihat cahaya kumala berkeredepan, Baru sekarang ia
mengerti liehaynya senjata istimewa itu, yang seperti tak hendak berpisah dari kedua
matanya.
Dua kali ujung tusuk konde sudah mengenai kulit mata, untung karena sebatnya dia
berkelit, Oen Beng Go masih bisa hindarkan bahaya, akan tetapi karenanya, semangatnya
hampir terbang pergi. Dalam ancaman bahaya itu, ia tidak sempat menyingkir, ia terlalu
repot dengan dayanya melindungi matanya itu. Maka akhir-akhirnya, tusukan mengenai
juga matanya, tidak perduli ia coba egoskan kepala itu. Ia lepaskan cambuk kulitnya, ia
tutup matanya dengan kedua tangannya. Baru sekarang ia jatuhkan diri, untuk menyingkir
sambil bergulingan, akan tetapi jari tangannya si anak muda toh telah keburu mampir
dibelakangnya, sehingga ia lantas rubuh tak berkutik lagi.
Ngo Tjouw yang kelima ini ada sangat kenamaan, dengan cambuk kulit itu, diwaktu
bertempur diatas loeitay di Oen-tjioe, dengan beruntun dia telah rubuhkan dua-belas orang
kosen dari Tjiatkang, sehingga untuk beberapa puluh tahun, orang malui ia. Apa lacur,
sekali ini ia jatuh merek ditangannya seorang anak muda sehingga selain ia sendiri malu,
para penonton pun heran dan kaget sekali.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Oey Tjin tidak menjadi kecuali, dia heran melihat liehaynya soetee ini. Itulah gerakan
tangan yang ia belum pernah lihat. Ia merasa, sekalipun disaat mudanya guru mereka,
masih guru itu tak bisa bersilat seperti anak muda ini. Ilmu silat apakah itu? Dari mana
soetee ini dapat pelajarinya?
Hie Bin ada begitu girang sehingga ia bersorak sendirinya.
Siauw Hoei, yang pun bergirang, cuma bersenyum.
Oen Gie dan Tjeng Tjeng bergirang dalam hati saja. Sudah terlalu lama mereka dikekang
sehingga tak berani mereka sembarangan perlihatkan wajah kegirangan.
Untuk Sin Tjie, inilah pertempuran pertama melayani orang-orang kenamaan, ia empos
semangatnya, ia berlaku sungguh-sungguh. Ia pun tidak main pandang-pandang lagi.
Maka itu dengan tangan kiri ia mainkan tipu-tipu daya dari Hok-houw-tjiang, Tangan
Menakluki Harimau dari Hoa San Pay, dengan tangan kanan ia bersilat dengan gerakgerakan
"Kim-coa-ciam", "Jarum ular emas", dari Kim Tjoa Pit Kip. Yang pertama adalah
pelajaran Pat-tjhioe Sian-wan Bok Djin Tjeng si Lutung Sakti Tangan Delapan, yang
belakangan adalah dari Kim Coa Long Koen Hee Soat Gie, hingga umpama kata kedua
orang liehay itu hadir bersama, mereka juga cuma mengenali separuh saja. Maka tidaklah
heran apabila Ngo Tjouw dari Tjio Liang Pay kena dibikin terbenam dalam keheranan.
Sehabis merubuhkan Oen Beng Go, Sin Tjie lantas terjang Oen Beng Gie. Ia gunai
siasatnya yang tadi, akan tetap serang satu lawan, akan bulang-balingkan tusukan rambut
dimatanya lawan itu, yang saban-saban ia tusuk, sehingga Ngo Tjouw yang kedua lantas
saja jadi repot seperti adiknya tadi.
Oen Beng Tat saksikan ancaman bahaya itu, mendadak ia berseru nyaring, lantas ia tolak
terpelanting satu muridnya yang ada didepannya, sehingga si murid keluar dari kalangan,
sedang Oen Beng San, yang mengerti maksud kanda tua itu, gunai kakinya akan dupak
dan sempar sesuatu orangnya yang bergeletakan dilantai. Dengan tindakan ini, mereka
bikin lantai bersih dari segala perintang, secara begitu, hendak mereka lanjutkan
kepungannya menurut gerak-gerakan Ngo-heng-tin, tidak perduli jumlah mereka sudah
kurang dua.
Sin Tjie lanjuti desakannya terhadap Oen Beng Gie, tidak pernah ia hendak memberi
kelonggaran, secara begini tetap tidak berjalan lancarlah Ngo-heng-tin itu. Selagi Beng Tat
dan dua saudaranya bingung, Beng Gie sudah kena dihajar pundak kirinya.
Oen Beng San hendak tolong kakaknya itu, dengan tongkatnya, dengan serangan "Lie
Kong shia tjio" atau "Lie Kong memanah batu", ia menghajar kearah bebokong. Berbareng
dengan dia, Oen Beng Tat dengan sepasang siang-kek, tumbak cagaknya, menyerang
kekiri dan kanan lawan. Beng Gie sendiri, dengan menahan sakit mencoba melayani terus,
tak ingin dia bikin kacau gaya tinnya.
Sin Tjie berkelit dari bokongan kedua lawan dibelakang dan sampingnya itu, ia masih
mendesak Beng Gie, tapi karena musuh-musuh geraki Ngo-heng-tin, ia kembali tunjuki
kegesitannya, kelincahannya. Ia senantiasa mengegos tubuh, berkelebatan sana dan sini,
sampai mendadak ia apungi tubuhnya itu, mencelat tinggi, tusukan rambutnya diselipkan
dikepalanya, sebelah tangannya dipakai menjambret penglari dimana ia bergelantungan.
Tiga jago dari Tjio Liang Pay lagi mengepung dengan seru apabila mereka dapati lawan
hilang dalam sekejab, hingga mereka jadi sangat heran. Sama sekali mereka tak tampak
tubuh lawan itu mencelat ketinggi. Justru itu, sekonyong-konyong ada angin menyambar
diatas kepala mereka, sehingga mereka terperanjat, sebab mereka duga, itulah bukan
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
angin sembarangan. Mereka lantas geraki tubuh, untuk berkelit, tapi sudah kasep, dua-dua
Beng San dan Beng Gie telah terkena timpukan, keduanya rubuh rebah dilantai tanpa
berkutik.
Beng Tat loncat kepada ketiga saudaranya, terus ia membungkuk. Ia niat tolong mereka
itu, yang terserang jalan darahnya. Selagi ia membungkuk serangan datang pula. Ia ada
dari Tjio Liang Pay, ia liehay sekali, maka dengan putar sepasang tumbak cagaknya
diatasan kepalanya, ia cegah biji-biji catur mengenai tubuhnya. Begitulah belasan biji
catur kena disampok jatuh, hingga menerbitkan suara tingtong-tingtong. Ia putar terus
siangkeknya, sebab ia kuatir lawannya melanjuti menyerang ia dengan senjata rahasia
yang istimewa itu.
Selagi ketua Ngo Tjouw ini geraki siangkeknya itu, mendadak ia dengar seruan kaget pada
pihaknya, lalu ia rasai tangannya tergetar, sepasang tumbaknya seperti tertahan atau
tersangkut entah barang apa. Iapun menjadi kaget, dengan segera ia kerahkan tenaganya,
untuk menarik dengan keras. Justru ia berbuat demikian, justru siangkek itu terlepas dari
cekalannya. Maka berbareng kaget, ia lompat kesamping hingga tiga tindak, kedua
tangannya dipakai melindungi mukanya.
Ternyata siangkek bukannya terlepas terlempar hanya pindah kedalam tangannya Sin Tjie,
yang telah lompat turun dari penglari selagi jago tua itu repot membela diri. Dengan ayun
kedua siangkek dengan kedua tangannya, anak muda itu berseru : "Lihat!"
Sekejab saja, kedua tumbak cagak melesat, kearah kedua tiang yang besar didalam lianboe-
thia itu, nancap melesak hampir separuhnya, hingga kedua tiang tergentar, sampai
genteng-genteng diatasnya bersuara berkresekan, hingga beberapa orang yang berdiri
dipintu lari keluar, mereka kuatir ruang itu rubuh ambruk...
Ketika dahulu Bok Djin Tjeng ajarkan Sin Tjie ilmu pedang, dia pernah menimpuk dengan
pedang sampai pedangnya masuk nancap kedalam batang pohon. Itulah ilmu pedang
yang Bhok Siang Toodjin puji tak ada tandingannya. Dan sekarang ini, Sin Tjie perlihatkan
kepandaiannya itu, melainkan ia tak gunai pedang hanya tumbak cagak.
Oey Tjin kenal baik ilmu pedang itu, dia begitu kagum hingga dia serukan : "Wan Soetee,
sungguh sempurna timpukanmu "Sin Liong Hoan Bwee!" (Naga sakti perlihatkan ekor)."
Sin Tjie menoleh, sambil tertawa.
Beng Tat sendiri berdiri tercengang, karena dihadapannya, empat saudaranya sudah
rebah tidak berdaya.
Sin Tjie bertindak menghampirkan soehengnya, ia cabut tusukan rambut dari kepalanya,
untuk dikembalikan kepada Siauw Hoei, siapa menyambutinya dengan girang sekali.
Oen Beng Tat tidak berdiam lama-lama. Tjio Liang Pay yang demikian kesohor, sekarang
runtuh ditangannya satu bocah. Sekejab saja, ia niat berlaku nekat, dengan benturkan
kepala ke tiang rumah, akan tetapi sekejab kemudian ia berpikir lain.
"Aku sudah berusia lanjut, tak dapat aku membalas sakit hati ini," pikirnya," akan tetapi
selama masih ada secarik napasku, pastilah aku tak mau sudah saja!...."
Maka itu, ia lantas hadapi Oey Tjin.
"Semua emas disana, kamu boleh ambil dan bawa pergi!" katanya.
Mendengar perkataannya orang tua itu, tanpa tunggu ulangan lagi, Hie Bin maju akan
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
jumputi semua potongan emas, untuk dimasuki kedalam kantong kulitnya, perbuatannya
itu diawasi oleh beberapa puluh orang-orang Tjio Liang Pay, tak satu diantaranya berani
maju mencegah. Karena Sin Tjie telah bikin mereka tunduk, semangat mereka gempur.
Oen Beng Tat hampirkan Beng Gie, dia ini rebah tanpa bisa bergerak sedikit juga, kecuali
matanya yang masih bisa berjelilatan. Sebagai ahli tiam-hiat, tukang totok jalan darah, ia
segera totok jalan darah "in-thay-hiat" dari adik itu, lalu ia mengurut-urut. Akan tetapi tak
dapat ia sadarkan saudaranya itu, walau ia sudah ulangi percobaannya menolongi lagi. Ia
jadi heran sekali.
Kemudian Beng Go, Beng San dan Beng Sie pun didekati, untuk ditolong, akan tetapi
totokannya, urutannya terhadap tiga saudara itu, tidak memberikan hasil seperti terhadap
Beng Gie. Maka sekarang insyaflah ia, totokannya Sin Tjie adalah dari lain golongan, yang
beda daripada kebisaannya sendiri. Ia pikir untuk minta tolong Sin Tjie tetapi ia segan
membuka mulut, dari itu dengan terpaksa, ia menoleh pada Tjeng Tjeng, ia memberi tanda
dengan gerakan bibir.
Tjeng Tjeng bisa duga, toa-yaya itu mohon ia mintakan pertolongannya Sin Tjie, tetapi ia
berpura-pura tidak mengerti.
"Toa-yaya memanggil aku?" ia tanya, ia menegasi.
"Setan alas, kacung licin!" Beng Tat mendamprat dalam hati, ia mendongkol bukan
kepalang. "Sampai disaat ini, kau masih main gila terhadapku! Kau lihat, habis ini, aku
nanti hukum kamu ibu dan anak!" Sambil kertak gigi, ia terpaksa kata: "Kau harus minta
dia sadarkan keempat yayamu..."
Tjeng Tjeng lantas hampirkan Sin Tjie, ia memberi hormat, lalu dengan suara nyaring , ia
kata pada anak muda itu : "Toayayaku mohon kau suka sadarkan empat yayaku itu!"
"Baiklah," jawab Sin Tjie tanpa berpikir pula. Dan lantas ia bertindak maju. Benar
sedangnya ia hendak membungkuk, kupingnya dengar ketikan shoeiphoa dari
toasoehengnya yang terus kata padanya:
"Wan soetee, benar-benar kau tidak mengerti barang sedikit juga kitab ilmu dagang! Saat
ini ada saatnya harga barang bisa dikasi naik, kenapa kau tidak hendak gunai ketika
menaikinya? Coba kau menghitung....Jangan kuatir kau menyebutkan harga berapa juga,
orang toh bakal memakannya!"
Sin Tjie tahu, toasoeheng itu sangat jemu terhadap Tjio Liang Pay dan sekarang saudara
ini hendak lampiaskan hatinya, walaupun ia kurang setuju, akan tetapi dimana toasoeheng
itu ada beserta, ia mesti beri kemerdekaan kepada toasoeheng itu.
"Baiklah toasoeheng, aku turut kau," ia bilang. Ia batal menotok sadar empat korbannya
itu.
"Keluarga Oen ini, ditempat kediamannya ini, telah menganggu sangat pada sesama
penduduknya," Oey Tjin lantas berkata, "mereka melepas hutang dengan bunga berat,
mereka memeras juga. Diempat dusun dari Kie-tjioe ini, suara penasaran memenuhi
jalanan! Selama dua hari ini aku telah bikin penyelidikan dengan jelas sekali. Maka itu Wan
soetee, jikalau kau hendak obati orang, kau mesti minta angtiap berisi. Tentu sekali,
jumlah uang itu kita sendiri tidak inginkan, aku hanya hendak gunai itu untuk tolong
penduduk sini yang pernah dan sedang menderita karena keluarga Oen ini!"
Sin Tjie percaya perkataannya sang toasoeheng mengenai kejahatannya keluarga Oen, ia
sendiri telah membuktikannya disaat pertama kali ia sampai di Tjio-liang. Tidak ada orang
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
yang sudi berikan ia keterangan waktu ia tanyakan alamatnya keluarga itu, agaknya semua
orang sangat jemu dan jeri. Ia juga telah saksikan bagaimana Oen Tjheng labrak orangorang
yang minta keadilan dari pihak mereka.
"Benar, toasoeheng!" sahutnya, yang hatinya tergerak. "Memang penduduk sini telah
menderita sangat. Bagaimana soeheng hendak berbuat?"
Oey Tjin mengetik atas biji-biji shoeiphoanya, yang dikasi turun dan naik, mulutnya pun
mengoceh: "Liok siang it kie ngo tjin it, sam it sam sip it, djie it tiam tjok ngo," demikian
seterusnya.
Siauw Hoei rupanya telah biasa dengan lagak lagunya soepeh itu, ia melainkan
bersenyum, tidak demikian dengan Sin Tjie yang Baru pertama kali ia bertemu
soehengnya, walau ia merasa lucu, ia diam saja. Adalah pihak Tjio Liang Pay, yang jadi
sangat mendongkol, kemendongkolan mana tak dapat mereka lampiaskan.
Tjeng Tjeng adalah satu kecuali, meski juga ia ada anggauta asli dari keluarga Oen, ia
sampai tertawa cekikikan.
Oey Tjin telah habis mengitung, ia goyang kepalanya.
"Wan Soetee, aku telah hitung uang pengobatanmu," katanya. "Menolong satu jiwa,
ongkosnya empat-ratus pikul beras putih."
"Empat ratus pikul?" Sin Tjie tegasi.
"Tidak salah! Empat ratus pikul beras putih nomor satu yang mulus, tidak boleh
kecampuran kendati juga sebutir pasir dan sepotong pesak hancur, dan dacinnya,
gantangnya, batoknya, tidak boleh ada yang dipalsukan!" soeheng itu beri kepastian. Ia
bicara tanpa perdulikan Beng Tat setuju atau tidak, senang atau tidak.
"Disini ada empat orang, maka jumlah semua jadi seribu enam ratus pikul?" Sin Tjie
tegaskan pula.
Oey Tjin tertawa.
"Wan Soetee, kau pandai menghitung didalam hati!" kata dia. "Kau menghitung tanpa
pakai shoeiphoa, kau bisa lantas menjumlahkan, seorang empat ratus pikul, empat orang
jadi seribu enam ratus pikul."
Mendengar kata guru itu, Hie Bin kata dalam hatinya : "Apanya yang aneh? Aku juga bisa
menjumlahkan itu tanpa pakai pesawat hitung lagi!"
Si semberono ini tidak tahu gurunya lagi bergurau.
Kemudian Oey Tjin awasi Beng Tat dan kata pada jago tua itu: "Besok pagi kau sediakan
itu beras seribu enam ratus pikul, aku ingin bagi-bagikan itu kepada penduduk sekitar sini,
satu orangnya stau gantang. Begitu lekas kau telah sediakan cukup seribu enam ratus
pikul maka soeteeku ini bakal bikin sadar empat adikmu itu!"
Disini tidak ada perdamaian lagi dan Beng Tat cuma tahu menurut.
"Dalam tempo begini pendek bagaimana bisa dikumpulkan beras demikian banyak?"
berkata ketua Tjio Liang Pay itu. "Semua persediaan didalam rumahku juga tak lebih dari
tujuh - atau delapan puluh pikul."
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
"Ongkos pemeriksaan penyakit sudah ditetapkan, pemotongan harga tidak dapat
diberikan," Oey Tjin bilang. "Akan tetapi aku suka memandang kepadamu, aku suka beri
keringanan ialah pembayaran dengan angsuran. Begini, asal kau selesai membagi empat
ratus pikul, kami tolong satu orang, kau membagi sampai delapan ratus pikul, kami tolongi
orang yang kedua, demikian seterusnya. Umpama kau tidak sanggup membuat
persediaan, kami suka memberi tempo sampai sepuluh hari atau setengah bulan, atau
setengah tahun sampai satu tahun. Soeteeku ini, asal dia diundang, tentu dia bakal datang
untuk menolong, tidak nanti dia main beri alasan ini dan itu."
"Empat saudaraku ini, bergerak pun tidak mampu, cara bagaimana mereka dapat menanti
sampai setengah bulan?" pikir Beng Tat. "Tidak bisa lain, aku mesti turuti kehendaknya."
Maka ia lantas berikan jawabannya : "Baik, besok aku akan mulai membagi beras itu!"
Oey Tjin tertawa.
"Tuan, kau sungguh seorang dagang yang baik sekali!" ia memuji. "Sedikitpun kau tidak
meminta pengurangan. Maka jikalau lain kali ada barang baik, aku minta sukalah
sembarang waktu kau berhubungan denganku!"
Beng Tat berdiam saja walaupun orang terus menerus permainkan ia, tapi karena
pembicaraan sudah beres, ia lantas saja ngeloyor kedalam meninggalkan tetamu-tetamu
tak diingini itu.
Sin Tjie lantas kasi hormat pada Oen Gie dan Tjeng Tjeng.
"Sampai besok!" katanya.
Pemuda ini tahu, Beng Tat membutuhkan pertolongannya, hatinya tenteram akan antapkan
ibu dan anak itu berdiam terus dirumahnya itu.
Kemudian empat orang itu, dengan gembira, dengan bawa emas, meninggalkan rumahnya
Beng Tat, akan kembali kepondokan mereka dirumah si orang tani.
Tatkala itu sudah fajar,mereka tidak lantas masuk tidur, hanya Siauw Hoei terus pergi
kedapur, untuk siapkan barang hidangan, kemudian sambil bersantap, mereka duduk
pasang omong tentang kemenangan mereka, semuanya gembira sekali.
"Wan Soetee," berkata Oey Tjin sambil angkat mangkok mie-nya, "baru-baru ini aku
dengan soehoe omong bahwa soehoe telah terima satu murid baru, yang usianya masih
sangat muda, berhubung dengan itu, aku telah bicara main-main dengan djie soehengmu
Poan Sek San-long Kwie Sin Sie suami-isteri, bahwa murid-murid kami, umpama murid
kepala, sudah berusia tiga-puluh lebih, sekarang dengan tiba-tiba soehoe berikan mereka
satu siauw-soesiok, paman kecil, tidakkah mereka nanti pada merasa likat dan itu akan
mengakibatkan kesulitan? Aku tak sangka soetee, kau begini liehay, jangan kata aku, toasoehengmu,
telah ketinggalan jauh, juga djie-soehengmu, yang didelapan belas propinsi
belum pernah ada tandingannya, turut penglihatanku, masih tak dapat tandingkan kau.
Maka dibelakang hari, kemajuannya Hoa San Pay kita, kebesarannya akan mengandal
kepada kau seorang. Disini tidak ada arak, baik aku berikan selamat dengan kuah mie ini
saja!"
Benar-benar toasoeheng yang jenaka ini bawa mangkok mie kemulutnya, akan hirup
kuahnya!
Sin Tjie berbangkit dengan tergesa-gesa, diapun segera minum kuah mie-nya.
"Dengan kebetulan saja hari ini aku beruntung peroleh kemenangan," berkata ia," maka
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
toasoeheng, tidak berani aku terima pujianmu ini. Malah aku hendak minta agar
selanjutnya sukalah kau berikan aku pelbagai pengunjukan."
"Sikapmu yang merendah dan berhati-hati ini, untuk dalam Rimba Persilatan, sukar
didapat," berkata dia. "Lekas duduk, mari kita dahar!"
Oey Tjin gunai sumpitnya beberapa kali, lalu ia berpaling kepada Hie Bin.
"Asal kau peroleh satu bagian saja dari kepandaiannya pamanmu," katanya," kau akan
dapat gunai itu untuk seumur hidupmu!"
Hie Bin telah saksikan liehaynya Sin Tjie, sejak itu ia telah kagumi sangat pamannya ini,
benar ia semberono, akan tetapi mendengar kata-kata gurunya, mendadakan ia dapat satu
ingatan baru, lalu dengan tiba-tiba ia berlutut didepan paman cilik itu, akan manggut
beberapa kali.
"Aku mohon siauw-soesiok berikan pengajaran kepadaku," ia memohon.
Dengan tergesa-gesa, Sin Tjie berlutut juga, untuk membalas hormat.
"Jangan, jangan, tak berani aku terima hormatmu ini!" kata ia. Ia pun lantas angkat bangun
soetit itu. (Dibelakang hari, karena ingat budinya Tjoei Tjioe San, yang telah ajarkan ia silat
dan tolong jiwanya, Sin Tjie ajarkan juga Hie Bin beberapa rupa ilmu kepandaian, setelah
mana, orang semberono ini selanjutnya telah jadi berubah bagaikan seorang lain).
Habis bersantap, empat orang ini masuk juga untuk tidur, tapi mereka tak dapat
beristirahat lama, sang pagi sudah lantas datang, Baru saja mereka bangun, diluar sudah
ada suara orang mengetok pintu, kemudian masuklah satu orang yang membawa karcis
namanya Oen Beng Tat. Dia ini undang Oey Tjin berempat.
"Kamu pandai sekali membikin penyelidikan," kata Tong-pit Thie-shoeiphoa sambil
tertawa. "Dengan lekas sekali kamu telah dapat ketahui tempat mondok kami!"
Lantas mereka dandan dan ikut utusan Beng Tat itu. Ketika sebentar kemudian mereka
tiba dirumah keluarga Oen, disana sudah berkumpul banyak sekali penduduk kampung,
sedang dilain pihak, dengan saling-susul, datang tukang-tukang pikul dari dalam kota
yang angkut beras. Beng Tat sudah kirim orang-orangnya kedalam kota Kie-tjioe, untuk
beli beras itu.
Kota Kie-tjioe ada sebuah kota besar di Tjiatkang timur, kotanya pun makmur, akan tetapi
untuk beli beras mendadak demikian banyak, sulit juga. Beras ada tapi segera orang
menaiki harga, hingga Beng Tat mesti membayar lebih mahal beberapa ratus tail perak.
Lebih dahulu Toayaya ini minta Oey Tjin periksa jumlah berasnya, habis itu, ia mulai
membagi-bagikannya kepada sekalian penduduk kampung. Mereka ini belum tahu
duduknya hal, mereka semua heran kenapa tidak hujan tidak angin, jago-jago yang jahat
dan kejam itu mendadak-sontak menjadi dermawan dan mengamal beras demikian
banyak.
Oey Tjin saksikan Beng Tat membagi beras dengan rapi, walaupun itu dilakukan dengan
sangat terpaksa, karena ini, tidak lagi ia menggoda jago tua itu, ia tidak mau mengejek.
Begitu lekas empat ratus pikul beras telah terbagi habis, tanpa ajal lagi, Sin Tjie totok
Beng Gie dan urut-urut padanya, hingga jago she Oen yang kedua ini lantas saja sadar,
cuma sebab ia telah ditotok sejak tadi malam dan diantapkan telalu lama, ia masih lemah,
hingga ia cuma dapat menungkuli saja kemendongkolannya.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Pembagian beras dilakukan terus, sampai magrib, sampai habis semuanya seribu enam
ratus pikul, selama mana, setiap empat ratus pikul, dengan menetapi janji, Sin Tjie totok
sadar tiap jago she Oen itu hingga akhirnya, sadarlah semuanya empat jago. Diakhirnya
anak muda ini menjura kepada Ngo Tjouw dari Tjio Liang Pay itu.
"Harap dimaafkan, aku yang muda telah berbuat banyak kesalahan," katanya.
Oey Tjin tertawa, dia kata kepada kelima tuan rumahnya: "Walaupun kamu telah
hamburkan seribu enam ratus pikul beras, hal mana tentunya membikin sedikit sakit
hatimu, akan tetapi karena itu namamu telah dapat diperbaiki tidak sedikit. Inilah satu
perbuatan amal yang untuk kamu ada banyak kebaikannya. Maka janganlah kamu tidak
menginsyafinya!"
Habis itu, Oey Tjin hendak ajak kawan-kawannya berlalu dari rumah keluarga Oen itu
tetapi justru waktu itu, dari dalam bertindak keluar sambil berlari-lari dua orang
perempuan, yang didepan Oen Gie, yang dibelakang gadisnya, Tjeng Tjeng.
"Wan Siangkong, apa kau hendak pergi sekarang?" Oen Gie tanya.
Anak muda itu manggut.
"Benar pehbo, siauwtit hendak berangkat sekarang," jawabnya seraya terus minta pamit.
Tubuhnya Oen Gie gemetar dengan tiba-tiba.
"Dimana sebenarnya kuburan dia?" nyonya ini tanya. "Wan siangkong, tolong kau ajak
aku pergi melihat kuburannya itu..."
Sin Tjie belum sempat menjawab atau ia dengar suara angin menyambar, hingga ia
terperanjat. Segera ia menoleh dan berlompat, dan dilain saat dengan beruntun ia dapat
sanggapi empat potong hoeitoo, golok terbang. Akan tetapi menyusul itu, Oen Gie
menjerit keras,lalu tubuhnya terhuyung rubuh. Dibelakangnya kelihatan tertancap
sebatang golok terbang, nancapnya dalam sekali, karena hampir gagang golok turut
terpendam!
Nyonya yang naas itu rubuh tanpa berkutik pula.
Tjeng Tjeng menjerit, ia tubruk ibunya itu, tangannya diulur, untuk cabut golok itu.
"Jangan cabut!" Oey Tjin mencegah. "Djika dicabut, dia akan menutup mata!"
Sin Tjie segera ketahui, siapa yang sudah lakukan pembokongan itu, maka tanpa bilang
suatu apa, ia menimpuk dengan empat hoeitoo ditangannya terhadap Oen Beng Sie.
Soe-yaya itu telah umbar napsu amarahnya, ia mendongkol yang Sin Tjie tidak rubuh
karena bokongannya tetapi ia puas dengan rubuhnya Oen Gie. Habis menyerang, ia berdiri
mengawasi dengan senyuman iblisnya, maka itu, ia bisa lihat si anak muda serang ia.
Untuk luputkan diri dari hoeitoo, yang bisa makan tuan, ia berkelit sambil gulingkan
tubuhnya. Ia berhasil. Habis diserang, dia lompat bangun.Akan tetapi berbareng dengan
itu, ia rasai bebokongnya, juga paha kanannya, menjadi baal dengan tiba-tiba, menyusul
mana ia rubuh sendirinya.
Sin Tjie tahu, jago Tjio Liang Pay ini ahli golok terbang, sudah sewajarnya saja dia akan
pandai menyelamatkan diri dari golok-goloknya yang liehay itu, maka itu, ia sudah lantas
bertindak. Begitu lekas ia menimpuk dengan empat ia susul serangannya dengan dua
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
butir biji caturnya. Malah karena ia gusar untuk ketelengasannya jago tua itu, ia menimpuk
secara hebat. Beng Sie tidak dapat tolong dirinya, ia rubuh seketika, napasnya berhenti....
Kapan si anak muda memandang Tjeng Tjeng, ia tampak si nona numprah ditanah sambil
peluki tubuh ibunya, saking sedih, nona ini menangis tanpa mengeluarkan suara. Ia lantas
menghampirkannya, hingga ia lihat tegas sipatnya golok terbang itu, yang masih nancap
dibelakang si nyonya. Ia insyaf nyonya itu sukar dapat ditolong pula. Maka tidak ayal lagi,
ia menotok dua kali, setiap kalinya didekat iga, untuk menutup jalan darah, secara
demikian, nyonya yang malang nasibnya itu jadi tak usah menderita lebih lama lagi.
Karena totokan itu, Oen Gie bisa buka kedua matanya. Ia lagi menanggung sakit, ia
meringis karena mencoba melawan itu, akan tetapi ia bisa pandang gadisnya sambil
bersenyum.
"Jangan bersusah hati, Tjeng," katanya kepada anak daranya itu. "Sekarang aku dapat
susul ayahmu, untuk menemuinya, dengan berada didamping ayahmu itu, tidak akan ada
lagi orang yang berani menghina aku...."
Tjeng Tjeng menangis tersedu-sedu, ia manggut tetapi tak dapat ia mengucapkan katakata.
Oen Gie memandang Sin Tjie, ia berkata pula : "Wan Siangkong, ada satu hal tentang
mana mesti kau beritahu aku dengan sebenar-benarnya, tak dapat kau
menyembunyikannya sedikit juga..."
"Apakah itu, pehbo?" tanya si anak muda. Ia ini mengucurkan air mata saking terharu.
"Dia meninggalkan surat wasiat atau tidak?" Oen Gie tanya. "Dia pernah menyebut-nyebut
aku atau tidak?"
"Hee Lootjianpwee telah meninggalkan seperangkat peta ilmu silat," Sin Tjie jawab.
"Ketika kemarin aku pecahkan Ngo-heng-tin, aku telah gunakan ilmu silat yang
didapatinya dari peta itu. Dengan begitu bisalah dianggap aku telah balaskan dia punya
sakit hati, hingga dendamannya terlampias sudah."
"Apakah dia tidak meninggalkan surat untukku?" Oen Gie tanya pula.
Sin Tjie menggelengkan kepala.
"Tidak," sahutnya dengan pelahan.
Nyonya itu nampaknya putus asa.
"Setelah dia minum itu racun, habislah tenaganya," berkata nyonya ini dengan lemah.
"Diatas langit, rohnya lootjianpwee tentu ketahui itu," Sin Tjie menghibur," tentu ia tidak
akan sesalkan pehbo."
"Tentu dia telah menutup mata karena sakit dan berduka," Oen Gie kata pula. "Pada
mulanya, tentu sekali dia menyangka akulah yang racuni dia. Maka sekarang, walau
duduknya perkara sudah jadi terang, toh sudah kasep..."
Sin Tjie sangat berduka, apapula kapan ia lihat kedua tangannya si nyonya telah
dilonjorkan dan wajahnya berubah. Tiba-tiba ia ingat pesannya Kim Tjoa Long-koen yang
termuat didalam peta dalam Kim Tjoa Pit Kip. Didalam kitab itu toh ada disebut namanya
Oen Gie. Maka lekas-lekas ia rogoh sakunya.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
"Pehbo, lihat ini!" berkata ia seraya perlihatkan tulisannya Kim Tjoa Long-koen.
Oen Gie sudah mulai rapatkan kedua matanya ketika ia lantas membukanya pula. Sesaat
itu, mendadak saja ia jadi segar pula.
"Ya, inilah tulisan dia, tulisan dia!" katanya separuh berseru. "Aku kenali tulisan dia!"
Bukan main terharunya Sin Tjie akan tampak kegirangan si nyonya mirip dengan
kegirangan satu bocah.
Oen Gie baca tulisan dipinggir peta itu : "Siapa dapati mestika, dia mesti pergi ke Tjioliang
di Kie-tjioe, Tjiatkang, untuk cari Oen Gie. Kepadanya harus diserahkan uang emas
sejumlah sepuluh laksa tail...."
"Itulah dimaksudkan aku!" berseru pula si nyonya. Tiba-tiba saja ia tertawa, air mukanya
jadi terang dan ramai. Ia sambar tangannya si anak muda, untuk dicekal dengan keras.
"Nyata dia tidak sesalkan aku!....Aku tak mau menerima uangnya itu.... Asal aku ketahui
dia masih ingat aku, dia masih pikiri aku....Sekarang aku hendak pergi, aku hendak pergi
menemui dia..."
Sin Tjie tahu tenaga si nyonya sudah hampir habis, maka ia ingin menghiburi Tjeng Tjeng.
Oen Gie sudah tutup kedua matanya, atau tiba-tiba ia buka pula.
"Wan Siangkong, lagi dua hal aku hendak minta dari kau," katanya. "Dan aku ingin kau
menerimanya dengan baik."
"Silahkan sebutkan itu, pehbo," Sin Tjie lantas berikan jawabannya. "Segala apa yang aku
sanggup, pasti aku akan menyanggupinya."
"Yang pertama-tama aku ingin kau nanti kubur aku didampingnya," berkata nyonya yang
bernasib buruk itu. "Dan kedua....kedua...."
Sekonyong-konyong ia berhenti.
"Yang kedua.....apakah itu, pehbo?" Sin Tjie tegaskan. "Silahkan pehbo
menyebutkannya...."
"Yang kedua itu....Kamu....kamu...." ia lantas tunjuk Tjeng Tjeng. Tak dapat ia
meneruskannya, lantas kedua matanya ditutup rapat, kepalanya teklok, dan ia tidak
berkutik lagi.
Sin Tjie segera raba dada orang, napasnya si nyonya sudah berhenti jalan.
Tjeng Tjeng mendekam ditubuh ibunya, ia menangis meng-gerung-gerung. Tapi ia tak
menangis lama, segera ia pingsan.
Sin Tjie terkejut.
"Adik Tjeng, adik Tjeng!" ia memanggil, berulang-ulang.
"Tidak apa-apa," Oey Tjin bilang. "Itulah disebabkan kedukaannya yang sangat...."
Soeheng ini nyalakan api tekesan, ia sulut sepotong sumbu, dengan itu ia asapkan
hidungnya si nona, maka tidak lama, setelah berbangkis, Tjeng Tjeng ingat akan dirinya. Ia
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
buka kedua matanya dengan pelahan-lahan, nampaknya ia seperti hilang ingatannya.
"Bagaimana rasamu, adik Tjeng?" Sin Tjie tanya, dengan pelahan.
Nona itu tidak menjawab.
Oey Tjin dan Siauw Hoei merasa aneh. Mereka tidak tahu hubungan diantara Sin Tjie dan
Oen Gie dan gadisnya nyonya ini. Dimata mereka, ibu dan anak itu mesti ada anggauta
keluarga Oen akan tetapi kenapa mereka justeru dicelakakan Ngo Tjouw dari Tjio Liang
Pay?
"Adik Tjeng, mari kau turut kami," kata Sin Tjie dengan air mata bercucuran. "Tak dapat
kau tinggal disini lebih lama pula..."
Tjeng Tjeng masih bungkam tetapi ia dapat manggut.
Tanpa bilang suatu apa, tanpa likat juga, Sin Tjie pondong tubuhnya Oen Gie, untuk terus
dibawa bertindak keluar. Diwaktu begitu, ia tidak ambil mumet lagi kepada keluarga Oen.
Tjeng Tjeng berbangkit, ia ikuti anak muda itu.
Oey Tjin, bersama-sama Siauw Hoei dan Hie Bin, pun segera bertindak akan tinggalkan
tuan rumah.
Beng Tat dan tiga saudaranya dan yang lainnya pula, berdiri melongo, hati mereka panas.
Bukankah mereka telah dianggap sebagai bukan manusia lagi? Tidak satu diantara
rombongannya si anak muda gubris mereka dan mereka mesti antapkan saja orang bawa
pergi dua anggauta keluarganya itu - anak perempuan, keponakan dan cucu!
Mereka menginsyafi liehaynya si anak muda dan soehengnya dia ini, mereka jeri, hingga
tak berani mereka maju untuk menghalangi.
Sekeluarnya dari pekarangan, Oey Tjin berikan seratus tail perak pada Hie Bin, muridnya.
"Kau bawa uang ini kepada petani yang rumahnya kita tumpangi," kata dia. "Kau berikan
uang ini kepada mereka, lalu kau minta mereka pindah malam ini juga!"
Hie Bin sambuti uang itu tetapi ia awasi gurunya, agaknya ia heran.
"Kenapa dia mesti pindah sekarang juga?" tanyanya.
"Pihak Tjio Liang Pay tidak dapat berbuat apa jua terhadap kita, pasti sekali mereka akan
tumpleki kemendongkolannya terhadap lain orang," sang guru menerangkan. "Petani itu
beri tempat menumpang kepada kita, pasti sekali diaorang bakal disatroni keluarga Oen
itu."
Baru sekarang sang murid mengerti.
"Soehoe benar," ia memuji. Dan ia lantas lari kerumahnya si orang tani, untuk serahkan
uang itu, buat minta mereka pindah lantas.
Sin Tjie tunggu sampai orang she Tjoei itu kembali, Baru mereka melanjuti perjalanan,
akan tinggalkan desa Tjio Liang itu. Mereka lakoni perjalanan terus selama tigapuluh lie
lebih, Baru mereka singgah disebuah kuil tua dan rusak diatas satu bukit.
Tiga huruf "Leng Koan Bio" yang sudah hampir hapus adalah namanya kuil yang tak
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
terawat itu.
"Disini kita beristirahat," Oey Tjin bilang.
Mereka memasuki ruangan rusak dan kotor disana-sini, dengan gala-gasinya juga. Mereka
duduk diruang tengah dimana tubuhnya Oen Gie diletaki didamping mereka.
"Bagaimana hendak kita urus jenazah nyonya ini?" tanya Oey Tjin. Itu adalah soal paling
penting. "Apakah kita kubur disini saja atau kita pergi kekota untuk merawatnya dahulu
dengan baik?"
Sin Tjie tidak menjawab, ia kerutkan alisnya.
"Umpama kita pergi kekota untuk merawatnya dahulu," menyatakan Oey Tjin, "Aku kuatir
kita tidak merdeka. Pembesar negeri tentu akan menanyakannya dengan melit. Kita boleh
tidak usah kuatir tapi pasti sudah kita bakal ngalami kesulitan dan berabeh."
Dengan pikirannya ini, Oey Tjin menginginkan nyonya itu dikubur disitu saja.
"Tidak, itu tak dapat dilakukan!" Tjeng Tjeng nyatakan tak setuju.
"Ibu telah menyatakan ia ingin dikubur bersama-sama ayah..."
"Dimanakah dikuburnya ayahmu itu?" tanya Oey Tjin.
Tjeng Tjeng diam. Tak dapat ia menjawabnya. Ia tidak tahu dimana letaknya kuburan
ayahnya itu. Maka ia awasi Sin Tjie.
"Digunung Hoa San kita!" kata Sin Tjie tanpa tunggu ditanya lagi.
Oey Tjin heran, tak terkecuali Tjeng Tjeng sendiri.
"Ayahnya itu adalah Kim Tjoa Long-koen Hee Lootjianpwee, itu orang kang-ouw gagah
dan aneh," Sin Tjie terangkan pula.
Usianya Oey Tjin tak berjauhan dengan usianya Kim Tjoa Long-koen, ketika ia mulai dapat
perkenan akan berkelana, namanya Kim Tjoa Long-koen sudah menggetarkan dunia
Rimba Persilatan, maka itu, berbareng heran ia pun menjadi kagum, hingga dengan
sendirinya, ia tambah menghormati nyonya yang rebah didamping mereka.
"Aku mempunyai satu usul," kata ia kemudian setelah ia berpikir sekian lama. "Aku harap
nona tidak buat kecil hati..."
Tjeng Tjeng lihat Oey Tjin sudah berusia lanjut.
"Silakan utarakan itu, loopeh," kata dia.
Oey Tjin tunjuk Sin Tjie.
"Dia ini ada soeteeku, dari itu tak dapat aku terima kau panggil loopeh padaku," kata ia.
"Kau memanggil toako saja."
Hie Bin segera melirik pada Tjeng Tjeng.
"Begini gayanya, apa aku bukan mesti panggil koh padamu?" pikir dia.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
"Kau toh cuma satu bocah perempuan..."
Tjeng Tjeng menoleh pada Sin Tjie, Baru ia menjawab.
"Apa yang toako bilang pasti aku akan dengar," sahut ia, yang lantas ubah panggilannya.
"Ah, benar-benar celaka!" pikir pula Hie Bin, hatinya gentar, ia tergugu. "Dengan tidak
malu-malu lagi dia panggil toako pada soehoe!"
Si tolol ini sibuk memikirkannya, sudah punya paman cilik, sekarang ia bakal punyai lagi
satu bibi demikian muda-belia...
Tentu sekali Oey Tjin tidak pernah sangka apa yang dipikirkan muridnya itu yang berdiri
dengan melongo.
"Ibumu ingin dikubur bersama ayahmu, pasti mesti kita wujudkan keinginannya itu,"
berkata pula Oey Tjin pada si nona, yang dalam sedetik saja menjadi adik perempuannya.
"Tapi pelaksanaannya itu sulit sekali. Jangan kita sebut-sebut dahulu halnya perjalanan
dari sini ke Hoa San yang ribuan lie jauhnya, hingga untuk angkut layon saja sudah sukar.
Umpamakan saja kita bisa sampaikan gunung Hoa San. Adik tentu tidak ketahui berapa
tingginya gunung itu. Dari kaki gunung saja layon tak dapat dibawa naik kepuncak..."
Tjeng Tjeng mengawasi dengan tercengang.
"Begitu?" tanyanya. "Habis bagaimana?"
"Masih ada satu jalan lain," sahut Oey Tjin. "Kita sambut tulang-tulang mendiang ayahmu
itu, untuk dibawa kemari, untuk dikubur bersama jenazah ibumu. Jalan ini aku rasa ada
kurang tepat. Sekarang ini ayahmu sudah berdiam dengan tenang, adalah kurang
sempurna untuk ganggu ia dengan kepindahan tempat kuburannya."
Tjeng Tjeng bingung, hingga ia menangis pula.
"Habis?" tanya dia.
"Oleh karena semua kesulitan itu," ujar pula Oey Tjin, "aku pikir baiklah jenazah ibumu
dibakar, lantas tulang dan abunya kita antar ke Hoa San untuk dikubur bersama ayahmu..."
Tjeng Tjeng tercengang. Kurang setuju ia dengan usul itu. Akan tetapi, apa daya? Maka
diakhirnya, selang beberapa saat, ia manggut, tapi air matanya mengucur dengan deras.
Oey Tjin lantas ajak Sin Tjie dan Hie Bin pergi keluar, untuk kumpuli rumput dan kayu
bakar sedapat-dapatnya, untuk mengumpulkan itu, mereka ambil tempo sekian lama,
setelah itu, tubuhnya Oen Gie dibawa keluar, akan dilain saat, pembakaran telah dimulai.
Sakit hatinya Tjeng Tjeng, ia mendekam ditanah dan menangis mengulun. Sejak
dilahirkan, ia seperti hidup menyendiri disebuah rumah-tangga yang istimewa, kecuali
ibunya, tidak ada seorang lain juga yang menyayangi dia, sebaliknya, senantiasa orang
tertawakan dia, sindir padanya, atau paling ringan, orang lirik ia secara dingin. Suasana
keluarga yang luar biasa itu membuat ia mempunyai tabeat yang luar biasa itu, ia jadi aneh
dan bandel. Sekarang, setelah ibunya meninggalkan ia sebatang-kara, ia pun mesti lihat
tubuh ibunya diantara api yang berkobar-kobar besar.
Oey Tjin semua tahu orang sangat berduka, dan percuma saja untuk hiburkan atau
nasihati padanya, dari itu semua berdiam, mengantapkan dia umbar kedukaannya itu.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Banyak waktu dilewatkan untuk tunggu pembakaran mayat selesai. Sin Tjie telah cari
sebuah guci, maka setelah api padam, ia kumpuli abu dan sisa tulang-tulang, untuk
dimasuki kedalam guci itu, buat ditutup rapat. Ia menjura dua kali kepada abu itu dan kata
dalam hatinya : "Pehbo, aku harap kau tenangkan hatimu, pasti sekali aku nanti antar
pehbo ke Hoa San untuk dikubur bersama dengan baik-baik, tidak nanti aku sia-siakan
pesan pehbo...."
Oey Tjin lihat segala apa telah selesai, lalu ia kata pada Sin Tjie.
"Kita hendak antar emas ini ke Kioe-kang, Kangsee. Selama ini Giam-ong sudah kirim
sejumlah saudara ke Kang-souw, Tjiatkang, seluruh Kangsee dan An-hoei untuk mencari
hubungan disana, untuk persiapan mereka diselatan nanti menyambut begitu lekas kita di
Tionggoan sudah mulai angkat senjata. Kau berhasil merampas pulang emas ini, soetee,
tak kecil jasamu ini."
"Tadinya aku tak tahu bahwa emas ini demikian berharga," kata Tjeng Tjeng. "Coba tidak
djiewie toako datang sendiri, pastilah aku telah membikin gagal usaha besar dari Giam
Ong."
"Asal kau ketahui itu, itulah bagus," Hie Bin campur bicara.
Tidak biasanya Tjeng Tjeng nyerah kalah bicara, ia tahu pemuda itu maksudkan dia, maka
wajahnya jadi berubah. Lantas dia kata pula : "Jikalau bukan Oey Toako sendiri yang antar
emas ini, aku kuatir ditengah jalan nanti terbit onar pula!"
Inilah sindiran hebat untuk Hie Bin, yang dianggapnya tidak berguna, sudah tidak mampu
lindungi emas itu.
Masih Hie Bin hendak melawan bicara akan tetapi Oey Tjin deliki ia, untuk cegah ia banyak
mulut.
"Jikalau Wan Soetee dan Oen Kohnio tidak punya urusan penting, bagaimana andainya
kita pergi bersama ke Kioe-kang?" tanya Oey Tjin kemudian.
"Siauwtee memikir untuk pergi dulu ke Lamkhia untuk menemui soehoe sekalian mohon
pengunjukannya," sahut Sin Tjie. "Di Lamkhia juga aku hendak menemui Tjoei Siokhoe."
"Soehoe bersama saudara Tjioe San sudah kembali ke Siamsay," Oey Tjin menerangkan.
"Sekarang ini suasana sudah genting sekali, mungkin pergerakannya Giam Ong tinggal
menunggu waktunya saja."
Hatinya Sin Tjie tergerak.
"Dengan begitu telah sampailah saatnya sakit hati ayah dibalaskan!" pikir dia, yang kedua
matanya lantas menjadi merah. Segera ia kata : "Jikalau begitu, siauwtee hendak lantas
pergi ke Siamsay untuk menemui soehoe, tidak jadi siauwtee pergi ke Kioe-kang.
Bagaimana pikiran toako?"
Soetee ini hargakan toakonya itu maka ia menanya demikian.
"Giam Ong hendak bergerak, dia sedang membutuhkan banyak pembantu," sahut Oey
Tjin. "Soetee mempunyai kepandaian begini sempurna, dengan soetee pergi ke Siamsay,
untuk bantu dia, itulah bagus sekali. Aku percaya, soetee, dibelakang hari kau akan
berbuat banyak untuk rakyat."
"Dalam hal itu aku mengharap pimpinan soeheng," kata soetee ini, yang halus sekali budi
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
pekertinya.
Oey Tjin tertawa menampak sikap yang halus itu.
"Tak dapat aku telad kau," katanya. "Disini saja kita berpisah!"
Soeheng ini berbangkit, ia angkat kedua tangannya, lantas ia memutar tubuh, untuk
bertindak pergi.
Hie Bin kasi hormat pada paman ciliknya, untuk pamitan.
"Engko Sin Tjie, rawat dirimu baik-baik," Siauw Hoei pesan ketika ia pun pamitan dari itu
kawan semasa kecil.
Si anak muda manggut.
"Tolong sampaikan hormatku kepada encim," ia pesan. "Tolong sampaikan pada encim
bahwa aku senantiasa ingat dia."
"Ibu juga sering sebut kau, engko," bilang si nona. "Apabila ibu tahu kau sudah jadi begini
besar, pasti ia akan jadi sangat girang. Nah, aku pergi!"
Nona ini memberi hormat, segera ia susul Oey Tjin. Mereka menuju ke selatan. Beberapa
kali ini nona masih menoleh, untuk lambai-lambaikan tangannya, sehingga Sin Tjie sabansaban
membalasnya, sampai tiga orang itu sudah lenyap dari pandangan matanya.
"Hm!" tiba-tiba terdengar suaranya Tjeng Tjeng. "Kenapa kau tidak susul dia untuk
lambaikan tangan pula?"
Sin Tjie melengak. Inilah ia tidak sangka. Ia pun tidak tahu hatinya nona ini.
"Kenapa kau tidak turut dia pergi bersama?" Tjeng Tjeng kata. "Dengan susul dia,
bukankah kau tak akan merasa berat sebagai ini....?"
Baru sekarang Sin Tjie insyaf sebab-musabab marahnya nona ini. Ia tidak jadi gusar,
sebaliknya, ia tertawa.
"Kau belum tahu," katanya. "Ketika aku masih kecil, aku hadapi ancaman bahaya besar,
itu waktu adalah ibunya nona itu yang tolong aku. Sejak masih kecil itu kami biasa
bermain berdua saja."
Tjeng Tjeng jadi semakin mendongkol, ia jumput sepotong batu dan timpuki itu secara
sembarangan kepada tangga batu, sehingga muncratlah lelatu api.
"Itulah persahabatan rapat sekali!" katanya kemudian, dengan dingin.
Sin Tjie tahu adat koekoay si nona, ia antapkan saja. Tapi ini justru membuat nona itu
makin panas hatinya.
"Dengan dia kau bicara dengan gembira, sambil tertawa-tawa, tapi melihat aku, kau
masgul!" katanya.
"Kapannya aku masgul, tak gembira bicara denganmu?" Sin Tjie tanya.
"Ya, itu orang manis-budi, selagi kau kecil, kau sangat disayangi, akan tetapi aku, aku
tidak punya ibu...."
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Lantas ia menangis.
"Ah, jangan kau turuti saja adatmu," kata Sin Tjie dengan masgul. "Sekarang harus kita
berdamai, bagaimana kita mesti berbuat selanjutnya."
Mendengar begitu, mukanya Tjeng Tjeng berubah menjadi merah-dadu.
"Apakah yang hendak didamaikan lagi?" katanya. "Pergi kau susul adikmu Siauw Hoei itu!
Aku ada satu anak sengsara, biarkan aku terumbang-ambing diujung langit dan pojok
laut..."
Bingung Sin Tjie untuk menjawab. Iapun mesti pikirkan, bagaimana hendak diatur
mengenai nona ini. Ia merasa sulit hingga ia diam saja.
Tjeng Tjeng lihat orang bungkam dan bengong saja, ia jumput guci abu dan tulang ibunya,
ia lantas bertindak pergi.
"Kau hendak pergi kemana?" tanya si anak muda.
"Perlu apa kau perdulikan aku?" balik tanya si nona. Ia bertindak terus kearah utara.
Dengan terpaksa Sin Tjie mengikuti. Nona itu tetap diam saja, Sin Tjie coba mengajaknya
bicara, dia itu tidak memperdulikannya.
Akhirnya sampailah mereka dikota Kim-hoa.
Setelah ambil pondokan, Tjeng Tjeng pergi akan beli seperangkat pakaian orang lelaki,
berikut sepatu dan ikat kepalanya, untuk ia menyamar sebagai satu pemuda.
Sin Tjie tahu, karena berlalunya dengan kesusu, nona itu tidak bekal banyak uang, maka
selagi si nona keluar, ia selipkan dua potong emas dalam saku bajunya. Tapi kapan Tjeng
Tjeng kembali dan dapati uang itu, iabawa kekamarnya si anak muda, untuk dikembalikan.
Dan malam itu ia keluar seorang diri, untuk "bekerja" dirumahnya satu penduduk
hartawan, hingga ia jadi mempunyai lima-ratus tail perak.
Besok paginya, kota jadi gempar karena kecuriannya si hartawan itu.
Segera Sin Tjie ketahui itu tentu ada perbuatan kawan wanitanya, ia jadi kerutkan alis. Ia
cerdik dan gagah tapi ia seperti habis daya akan layani ini nona luar biasa. Untuk
memohon, ia tak mau, ia sungkan, akan tetapi untuk tinggal pergi nona itu, ia tidak tega,
itulah tak dapat dilakukan. Ia ada satu gadis remaja dan sekarang yatim-piatu, sebatang
kara. Apa bisa ia antapkan dia berkelana seorang diri? Ia jadi sangat bingung!
Dihari besoknya itu, dua anak muda ini meninggalkan Kim-hoa, akan menuju ke Gie-ouw.
Si nona masih mendongkol, ia jalan didepan, hingga si pemuda mesti ikuti dia.
Mereka sudah lalui tiga puluh lie lebih tatkala cuaca menjadi buruk dengan tiba-tiba, awan
mendatangi secara cepat, udara jadi mendung tandanya sang hujan bakal segera turun
membasahi bumi. Keduanya lantas cepatkan tindakan mereka, akan tetapi belum sampai
lima lie, air langit itu sudah turun juga, malah lantas dengan lebat.
Sin Tjie sedia payung, ia tidak kuatirkan air hujan, tapi Tjeng Tjeng tidak, dari itu, ia lantas
saja lari keras, untuk cari tempat meneduh. Apa lacur, disitu tidak ada rumah orang, tidak
ada kuil atau paseban umum dimana orang bisa berlindung dari serangan air langit itu.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Sin Tjie bisa lari lebih pesat, dengan cepat ia dapat menyusulnya, ia sengaja melewati,
untuk dari sebelah depan, ia serahkan payungnya.
"Pakai ini," katanya.
Tanpa menjawab, Tjeng Tjeng tolak payung itu.
"Adik Tjeng," berkata si anak muda," kita berdua sudah angkat saudara, kita telah
bersumpah untuk hidup dan mati bersama, untuk senang dan susah dipikul bersama juga,
kenapa sekarang kau gusari kokomu?"
Mendengar demikian, nona ini menjadi lebih sabar.
"Jikalau kau tidak ingin bikin aku gusar, kau mesti turut aku dalam satu hal," kata dia.
"Sebutkan itu," bilang Sin Tjie. "Jangan kata Baru satu, sepuluh juga dapat aku
menerimanya!"
"Baik, kau dengar," kata nona itu. "Sejak hari ini kau jangan ketemui pula nona An dan
ibunya! Jikalau kau terima baik permintaanku ini, aku segera akan hatur maaf
terhadapmu...."
Kata-kata ini ditutup dengan tertawa yang manis.
Sin Tjie menjadi sulit sekali. Ia berhutang budi pada An Toanio, ia mesti balas budi itu,
maka kenapa sekarang, tak ada sebab tak ada lantaran, tak dapat ia menemui nyonya yang
budiman itu? Sebagai seorang jujur dan kenal budi, tak dapat ia sembarang mengiakan si
nona.
Selagi orang terbenam dalam keragu-raguan, Tjeng Tjeng kata :
"Memang aku sudah duga tak nanti kau tega meninggalkan itu adik Siauw Hoei...."
Ia lantas putar tubuhnya dan lari dengan pesat.
"Adik Tjeng! Adik Tjeng !" Sin Tjie terperanjat dan memanggil-manggil.
Si nona tidak meperdulikannya, dia lari terus.
Sukur untuk mereka, sesudah beberapa pengkolan, mereka dapati sebuah paseban. Si
nona lantas singgah di paseban itu, si anak muda susul dia.
Pakaian Tjeng Tjeng kuyup basah semua. Itu waktu musim panas, dia memakai pakaian
yang tipis, tapi setelah sekarang pakaiannya lepek, maka berpeta tegaslah potongan
tubuhnya. Ia merasa tidak enak sendirinya apabila ia tampak si anak muda turut masuk
bersama, sedang anak muda itu pun likat. Lantas saja ia menangis.
"Kau menghina aku, kau menghina aku...." Katanya sambil menangis terus.
"Inilah aneh! Kapannya aku hinakan kau?" pikir si anak muda. Ia tidak bilang apa-apa, ia
buka baju luarnya, untuk kerebongi itu pada tubuh si nona. Ia pakai payung, bajunya itu
tidak basah.
Tjeng Tjeng ingat kebinasaan ibunya, dengan tiba-tiba saja ia menangis, ia menangis
menggerung-gerung.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Sin Tjie sibuk sendirinya, tak tahu apa ia mesti buat untuk mendiamkan nona ini, terpaksa
ia berdiam saja.
Untung berselang tidak lama, hujan mulai redah dan akhirnya berhenti.
Tjeng Tjeng masih saja menangis, akan tetapi sambil menangis itu, satu kali ia melirik si
anak muda. Justru itu, Sin Tjie sedang mengawasinya, hingga dengan sendirinya, sinar
mata mereka bentrok satu dengan lain. Ia lekas berpaling, kembali ia menangis keras.
Sin Tjie jadi habis sabar.
"Aku hendak lihat, berapa banyaknya sih air matamu!" pikir dia. Dan dia
mengantapkannya.
Ketegangan itu berjalan terus sampai sekian lama, sampai mendadak terdengar tindakan
kaki, yang datangnya dari arah utara, apabila keduanya menoleh, mereka tampak satu
petani muda sedang tuntun satu nyonya muda memasuki paseban itu. Si nyonya rupanya
sedang sakit, ia merintih saja.
Rupanya si petani ada suaminya nyonya itu, nampaknya ia sangat merasa kasihan,
berulang-ulang ia menghiburkannya.
Oleh karena disitu ada orang asing, Tjeng Tjeng berhenti menangis.
"Baik, aku nanti mencoba," pikir Sin Tjie, yang dengan tiba-tiba dapat satu pikiran.
Tidak lama, pasangan suami-isteri muda itu meninggalkan paseban.
Tjeng Tjeng lihat hujan sudah berhenti betul, ia berniat melanjutkan perjalanannya, akan
tetapi disaat ia berbangkit, untuk bertindak keluar, sekonyong-konyong Sin Tjie menjerit:
"Aduh! Aduh!...." Ia kaget sekali, segera ia menoleh, hingga ia tampak si anak muda,
dengan terbungkuk-bungkuk sedang pegangi perutnya, anak muda itu lantas mendeplok
di lantai. Masih saja ia teraduh-aduh dan pegangi perutnya, mukanya meringis menahan
sakit.
Dalam kagetnya, Tjeng Tjeng lompat mendekati. Ia lihat jidatnya Sin Tjie mandi keringat!
"Kau kenapa?" tanyanya. "Apakah perutmu sakit?"
Sin Tjie tidak menyahuti, sedang dalam hatinya, ia berpikir : "Bersandiwara tidak boleh
kepalang-tanggung...." Dan ia tahan ambekannya, hingga ketika si nona raba tangannya,
tangannya itu dingin bagaikan es.
"Kau kenapa, kenapa?" tanya pemudi ini, yang jadi sibuk bukan main.
Si anak muda merintih, ia tidak menjawab.
Tanpa merasa, nona itu menangis, saking bingung dan berkuatir.
"Adik Tjeng, sakitku ini tak dapat disembuhkan," kemudian kata Sin Tjie dengan suara
lemah. "Tidak usah kau perdulikan aku, pergilah kau berangkat...."
"Tapi kenapa, tidak keruan-keruan kau sakit?" tanya si nona.
"Sejak masih kecil aku ada punya serupa penyakit," sahut Sin Tjie dengan susah," ialah
tak dapat aku dibikin mendongkol atau gusar, asal orang menerbitkannya, hatiku pepat,
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
lantas penyakitku itu kumat, perutku sakit....Aduh!.....Aduh!....Sakit amat!..."
Tjeng Tjeng jadi demikian sibuk hingga lupa dia pada adat sopan-santun, ia tubruk si anak
muda untuk dirangkul, dipeluki, lalu ia urut-urut dada si anak muda.
Sin Tjie merasa likat sendirinya karena orang peluki ia.
"Engko Sin Tjie, dasar aku yang salah..." nona itu mengaku kemudian. "Sudah, engko, aku
minta kau jangan bergusar lagi..."
Sin Tjie pikir : "Apabila aku tidak terus bersandiwara, dia bisa sangka aku ada satu
pemuda ceriwis..." maka ia tunduk terus, ia merintih.
"Aku bakal tidak hidup lebih lama pula," ia mengeluh," kalau nanti aku menutup mata,
tolong kau kubur mayatku, habis itu tolong kau beri kabar pada Oey Toako..."
Ia merintih pula, ia mengeluh, akan tetapi dalam hatinya, ia tertawa geli.
"Tak dapat kau mati," Tjeng Tjeng menangis. "Kau tidak tahu, aku bergusar secara mainmain
saja, aku gusar bohong, sengaja aku hendak gaduh padamu, sedang hatiku,
sebenarnya, aku suka, aku sangat sukai kau....Jikalau kau mesti mati, mari kita mati
bersama...."
Heran Sin Tjie, kaget dia.
"Ah, kiranya dia menyintai aku...." Pikirnya. Hatinya lantas memukul. Ia girang, Ia pun likat,
dalam bimbang, ia jadi berdiam saja.
Tjeng Tjeng masih saja berkuatir, ia sangka si pemuda benar-benar bakal mati, maka ia
merangkul dengan keras sekali.
"Engko, engko, tak dapat kau mati!...." katanya.
Mereka berada demikian dekat, Sin Tjie membaui harum istimewa, hatinya goncang. Tapi
mendadak ia seperti sadar.
"Sakit hatiku belum terbalas, cara bagaimana aku sudah main cinta?" demikian ia pikir.
"Satu laki-laki mesti berlaku terus-terang! Bagaimana aku dapat pedayakan satu anak
dara?"
"Aku bergusar bohong, jangan kau anggap sebenar-benarnya," kembali si pemuda berikan
pengakuannya.
Tiba-tiba saja Sin Tjie tertawa.
"Sakitku juga sakit bohong, jangan kau anggap sebenar-benarnya!..." kata dia, yang
kembali tertawa berkakakan.
Tjeng Tjeng terperanjat, hingga ia melengak. Dengan tiba-tiba ia lepaskan rangkulannya,
dia lompat bangun, menyusul mana sebelah tangannya melayang kekupingnya si anak
muda, hingga Sin Tjie rasai kepalanya pusing, matanya berkunang-kunang.
Tjeng Tjeng tutupi mukanya, terus dia lari.
Sin Tjie bingung sekali.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
"Tadi dia bilang dia menyayangi aku, dia tak dapat hidup tanpa aku, kenapa sekarang dia
gusar dan pukul aku?" pikirnya.
Dalam bingungnya, Sin Tjie lompat bangun, untuk susul si nona, akan mengikuti
dibelakangnya.
Tjeng Tjeng sudah umbar adatnya, habis itu hatinya lega, ketika ia menoleh, ia lihat tanda
merah bergelang dipipi kiri si anak muda, bekas gaplokannya, lantas hatinya jadi lemah.
Tapi ia masih likat. Tanpa kehendaknya, ia telah beberkan rahasia hatinya, ia malu
sendirinya, ia jengah sekali.
Itu magrib mereka sampai di Gie-ouw, lantas mereka cari hotel.
Tjeng Tjeng lantas minta disediakan barang makanan, Sin Tjie duduk di satu meja, untuk
bersantap bersama-sama.
Tiba-tiba si pemudi tertawa sendirinya.
"Mau apa ikuti orang saja, sungguh menjemukan...." Katanya.
Sin Tjie raba pipinya, ia pun tertawa.
"Perutku sakit, itulah sakit bohong," katanya. "Yang benar-benar sakit adalah ini...."
Ia maksudkan pipinya sasaran gaplokan itu.
Tjeng Tjeng tertawa pula. Itulah tertawa yang membuat mereka berdua akur pula, hingga
mereka bisa bersantap dengan bernapsu, kemudian mereka pasang omong dengan asyik.
Malam itu mereka tidur dalam kamar masing-masing. Puas hatinya Tjeng Tjeng akan
saksikan pemuda itu ada satu laki-laki terhormat.
Besoknya pagi, Sin Tjie kata pada si nona : "Adik Tjeng, pekerjaan kita paling penting
sekarang ini adalah antar abu ibumu ke gunung Hoa San untuk dikubur disana."
"Benar," sahut si nona. "Sebenarnya, bagaimana duduknya maka kau dapat menemui
kuburan ayahku?'
"Nanti kita bicara ditengah jalan saja," jawab pemuda itu.
Si pemudi menuruti, dari itu, setelah sarapan, mereka melanjuti perjalanan, menuju
keutara. Adalah selagi berjalan, Sin Tjie tuturkan kejadiannya bagaimana ia ketemukan
tulang-tulangnya Kim Coa Long-koen didalam gua, bagaimana ia dapati peti besi yang
berisi kitab atau peta berharga. Ia tuturkan semua dengan jelas.
Tjeng Tjeng girang berbareng berduka.
Sin Tjie lanjuti penuturannya tentang sepak-terjangnya Thio Tjoen Kioe dan si pendeta,
yang datang dan bekerja bersama tapi akhirnya saling menjahati.
Bergidik Tjeng Tjeng mendengar cerita itu.
"Thio Tjoen Kioe itu ada muridnya Soe-yaya," terangkan ia kemudian. "Dia ada seorang
yang jahat sekali. Dan itu hweeshio, bukankah pada mukanya ada tanda bekas satu luka?"
"Benar, itu benar," Sin Tjie mengasi kepastian.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
"Dia ada Goh In, ia muridnya djie-yaya," Tjeng Tjeng kasi keterangan lebih jauh. "Sejak
ayah lenyap, yaya semua kirim belasan muridnya kesegala penjuru untuk mencari, telah
ditetapkan setiap tiga tahun mereka mesti memberi kabar berhasil-tidaknya penyelidikan
mereka. Dua binatang itu ada sangat jahat, pantas mereka terima kebinasaan mereka
secara demikian rupa!"
Nona ini berhenti sebentar, lalu ia menambahkan : "Ayah telah menutup mata, setelah
mati, dia masih bisa atur daya untuk binasakan musuh-musuhnya, sungguh luar biasa
sekali!" ia jadi bangga sekali.
"Yayamu semua tahu ada hubungan diantara aku dan ayahmu itu, aku percaya mereka
bakal berdaya lebih keras untuk mencari tahu hal harta besar itu dan kuburan ayahmu,"
Sin Tjie utarakan kemudian.
"Tapi mereka tahu juga mereka tidak sanggup lawan kau, percuma saja mereka bikin
dirinya tambah sibuk saja," kata si nona. "Coba ayah masih hidup dan ia tahu kau telah
hajar mereka kucar-kacir begini rupa, entah betapa girangnya ayah!...Tapi ibu telah
menyaksikannya sendiri kau labrak mereka, tentu ibu akan menyampaikannya kepada
ayah.... Coba kau kasih lihat pula tulisannya ayah kepadaku."
Sin Tjie perlihatkan apa yang diminta si nona.
"Ini ada barang ayahmu, harus ini dipulangi kepadamu," ia bilang.
Tjeng Tjeng tidak menjawab, dengan penuh perhatian ia awasi peta dan tulisan ayahnya
itu, nampaknya ia berduka berbareng bersuka-ria juga.
Sejak itu, setiap ada kesempatan, selagi singgah dipemondokan, ia suka keluarkan peta
itu, untuk diawasi, untuk dibuat main.
Pada suatu hari dua anak muda ini sampai di Siong-kang, tiba-tiba si pemudi kata :
"Engko, begitu lekas kita sampai di Lam-khia, paling dulu kita cari itu mustika berharga!"
Sin Tjie heran.
"Kau maksudkan apa?" tanyanya.
"Bukankah dalam peta ayah ada disebutkan hal mustika berharga?" si nona baliki.
"Bukankah ayah telah menulis, siapa dapatkan mustika itu, ia mesti berikan itu sepuluh
laksa tail emas? Maka teranglah sudah, mustika itu mesti berharga besar sekali."
Rupanya Sin Tjie Baru ingat.
"Kau benar, akan tetapi mengurus urusan kita ada lebih penting," ujarnya dengan
perlahan.
Pemuda ini senantiasa ingat gurunya dan habis menemui gurunya, hendak ia menuntut
balas untuk ayahnya.
"Kita telah punyakan petanya, aku pikir, dengan cari mustika itu, tidak nanti kita sia-siakan
banyak tempo," si nona utarakan.
"Habis, buat apa kita punya harta besar itu?" Sin Tjie tanya.
"Adik Tjeng, aku harap sukalah kau menjadi orang baik-baik, jangan kau terpancing oleh
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
harta besar...."
Tapi Tjeng Tjeng menjebikan bibir, waktu dia masih juga dinasehati, dia jadi tidak puas
hingga itu malam tak mau dia dahar....
Dihari kedua, perjalanan dilanjutkan.
"Engko," kata si nona, selagi berjalan," aku cuma ambil emasnya Giam Ong dua ribu tail,
mereka itu jadi sibuk luar biasa, sampai toasoehengmu turun tangan sendiri untuk
merampas pulang emas itu. Kenapa sikapnya Giam Ong demikian cupat?"
"Keliru jikalau kau anggap Giam Ong cupat pikiran," Sin Tjie kasi mengerti. "Aku pernah
bertemu sendiri dengannya, dia ramah tamah dan budiman, ia tak sayang uangnya untuk
menolong mereka yang membutuhkannya. Dia lagi berdaya untuk membebaskan rakyat
jelata dari kesengsaraan, karenanya ia jadi sangat hemat. Dia adalah satu enghiong, satu
hookiat terbesar! Emas dua ribu tail itu ia sangat butuhkan, pasti sekali tak bisa ia
antapkan lenyap."
"Kalau demikian, itulah lain," Tjeng Tjeng bilang. "Sekarang umpamakan kita hadiahkan
Giam Ong dengan dua-puluh laksa tail emas, sampai dua ratus laksa tail emas, bagaimana
kau pikir, tidakkah itu bagus?"
Sin Tjie sadar dengan tiba-tiba, hingga dia lupa akan dirinya. Dia sambar tangannya si
nona dan cekal itu dengan keras.
"Adik Tjeng, kenapa pikiranku jadi begini butek?" berseru dia. "Syukur kau
memperingatinya!"
Tjeng Tjeng lepaskan tangannya.
"Tak perlu aku dengan pujianmu," katanya. "sudah cukup bagiku asal kemudian kau
kurangi teguranmu."
Pemuda itu tertawa.
"Umpama berhasil kita mencari harta besar itu dan kita menghadiahkannya kepada Giam
Ong, sungguh itu ada satu berkah besar untuk rakyat jelata!" katanya dengan girang.
Maka keduanya lantas numprah ditepi jalanan, mereka beber petanya Kim Tjoa Long-koen,
untuk diperdatakan dengan seksama.
(Bersambung bab ke 10)
Ditengah-tengah peta itu ada satu bundaran kecil warna merah, disamping itu diberi tanda
antaranya empat huruf halus, bunyinya : "Goei Kok Kong Hoe", yang berarti "Istana Goei
Kok-Kong". Goei Kok-Kong itu adalah "Pangeran (hertog) Goei".
Masih saja mereka menelitinya.
"Menurut bunyinya keterangan," berkata lagi Sin Tjie kemudian, "harta besar itu
disimpannya didalam tanah dari sebuah kamar yang mencil didalam pekarangan istana
pangeran Goei itu., jikalau disitu kita menggali kita akan dapati suatu lapis lembaran besi
dibawah mana akan kedapatan sepuluh peti besi yang besar. Itulah dia harta besar itu."
"Maka kalu nanti kita sampai di Lamkhia, baik kita lantas cari istana Goei Kok-kong itu,"
sarankan si pemudi. "Asal kita berhasil mendapati istana itu, selanjutnya mesti kita
punyakan daya lain!"
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
"Goei Kok-kong itu ada gelaran kebangsawanan dari Tay-tjiangkoen Tjie Tat," Sin Tjie
terangkan pula. "Jendral itu ada salah satu menteri besar dari kerajaan Beng. Istananya
mestinya luar biasa sekali, umpama kata kita dapat memasukinya, pasti sulit untuk
menggali sana dan menggali sini untuk cari harta itu..."
"Sekarang ini tak ada gunanya kita pikirkan itu terlalu jauh," Tjeng Tjeng bilang. "Buat apa
kita menduga-duga saja? Nanti setelah sampai di Lamkhia Barulah kita berdaya pula."
Sin Tjie anggap si nona benar, ia menurut.
Kembali mereka lakukan perjalanan mereka, sampai lewat pula beberapa hari, sampailah
mereka di Lamkhia, kota yang dituju itu, yang dengan lain nama disebut Kim-leng, satu
kota bertembok batu yang dipandang sebagai kota paling besar di "kolong langit", sedang
disanapun adanya Beng Hauw-leng, ialah makam raja-raja ahala Beng. Itulah ibukota
pertama sejak dibangunnya kerajaan Beng oleh Beng Tha-tjouw, kaisar Beng yang
pertama. Walau kota itu pernah mengalami kekalutan besar, kotanya masih tetap indah
dan ramai.
Sin Tjie berdua Tjeng Tjeng ambil tempat di hotel dengan mengaku mereka datang ke
Lamkhia untuk mencari sahabat , dari itu dihari kedua, si anak muda panggil jongos untuk
dimintai keterangan dimana pernahnya istana Goei Kok-kong.
Jongos itu bingung. Ia bilang tak tahu ia perihal istana itu.
Tjeng Tjeng sangka orang mendusta, ia jadi gusar.
"Goei Kok-kong ada menteri nomor satu yang besar jasanya dari kerajaan kita, kenapa kau
bilang tidak ada istana Goei Kok-kong disini?" ia bentak.
"Jikalau memang benar ada istana itu silakan siangkong cari sendiri," jawab si jongos.
"Benar-benar aku tidak tahu."
Tjeng Tjeng anggap jongos itu kurang ajar, ia ayun tangannya untuk memberi bogem
mentah, tetapi Sin Tjie cegah dia, hingga kesudahannya si jongos ngeloyor pergi sambil
menggerutu sendiri...
"Mari kita cari," mengajak Sin Tjie pada kawannya.
Tjeng Tjeng menurut, berdua mereka keluar dari hotel itu. Itu hari mereka mengidar
dengan sia-sia saja, tak dapat mereka peroleh keterangan perihal istana Pangeran Goei
itu. Mereka ulangi mencari dihari kedua, hasilnya tetap sia-sia saja, demikianpun ketika
mereka lanjuti penyelidikan sampai tujuh atau delapan hari.
Sin Tjie berniat keras mencari balas, ia ingin tunda dulu menyelidiki tentang istana itu,
akan tetapi kawannya penasaran.
"Mari kita cari terus," Tjeng Tjeng bilang.
Mereka kembali putar-putaran didalam kota beberapa hari lamanya, tapi hasilnya tetap
tidak ada kecuali capai-lelah.
Menurut keterangan yang mereka peroleh sampai sebegitu jauh, katanya turunan dari
Taytjiangkoen Tjie Tat atau Goei Kok-kong itu adalah raja muda dengan kekuasaan atas
bala tentara didalam kota Lamkhia, bahwa istananya Baru beberapa tahun yang lalu
dibangunkannya, sedang tentang istananya Goei Kok-kong, tak ada yang mengetahuinya.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Saking penasaran, Tjeng Tjeng usulkan untuk diwaktu malam satroni onghoe atau
istananya raja muda she Tjie itu.
Sin Tjie tidak setuju, ia tentang usul itu dengan bilang, karena istana ada pendirian baru,
tak mungkin harta karun didapatkan disana, atau umpama kata benar harta tersimpan
disana, dengan berdua saja, apa mereka bisa buat? Sebaliknya apabila mereka gagal,
rahasia jadi ketahuan oleh raja muda itu, yang pastinya akan cari sendiri harta itu. Istana
pasti terjaga kuat sekali.
Puterinya Kim Coa Long-koen itu dapat dikasi mengerti.
Dilain harinya, diwaktu sore dua orang ini pergi kesungai Tjin Hoay Hoo yang kesohor ,
untuk menyewa perahu pelesiran, buat mencoba menghibur diri setelah buat banyak hari
mereka putar-kayun dengan siasia.
"Ayahmu ada satu enghiong, setelah mendapati peta, dia sendiri masih belum berhasil
mencari tempatnya harta karun itu, inilah benar sulit," si pemuda nyatakan.
"Akan tetapi ayah menulis dengan jelas sekali, mustahil ia keliru," si pemudi bertahan.
"Karena harta itu bukan cuma satu tail atau dua tail emas, pasti sekali tempat simpannya
sulit untuk gampang-gampang dicari sembarang orang..."
"Kalau begitu, mari kita cari lagi satu hari, apabila tetap kita gagal, kita berangkat dari
sini," Sin Tjie bilang akhirnya.
"Kita mencari sampai lagi tiga hari!" kata Tjeng-Tjeng.
Di sungai itu, dari beberapa penjuru, terdengar suara seruling yang diiringi dengan
nyanyian-nyanyian. Selain itu, terdengar juga suaranya penggayu-penggayu dari pelbagai
perahu pelesiran lainnya, sedang cahaya api memain sebagai bajangan di permukaan air.
Tjeng Tjeng tenggak beberapa cawan arak, mukanya yang dadu jadi bersemu lebih merah,
hingga diantara sinar api, ia nampaknya jadi bertambah-tambah cantik.
Sin Tjie tertawa.
"Baik aku turut kau, kita mencari lagi tiga hari!" kata Sin Tjie.
Nampaknya si nona puas.
Itu waktu dari perahu tetangga terdengar suara nyanyian bercampur tertawa dan omongan
gembira, bukan main tertarik hatinya si nona. Pengaruh air kata-kata pun sudah mulai
menarinya.
"Engko," kata Tjeng Tjeng sembari tertawa, "bagaimana jikalau kita panggil dua nona
untuk mereka nyanyi, akan temani kita minum?"
Mukanya Sin Tjie merah dengan tiba-tiba mendengar pertanyaan itu. Bukankah ia ada satu
pemuda alim?
"Apakah kau sudah sinting?" tanyanya. "Kenapa kau ngaco?"
Anak-anak perahu paling girang kalau penumpangnya berpelesiran dengan nona-nona
tukang nyanyi, dengan itu mereka mengharapi hadiah, maka itu, mendengar perkataan
penumpang yang satunya itu, tanpa tunggu si penumpang lain sahuti kawannya, dia
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
sudah nyelak.
"Semua siangkong yang pelesiran di Tjin Hoay Hoo, tidak ada satu yang tidak undang
nona-nona tukang nyanyi untuk menemaninya," katanya.
"Jikalau siangkong kenal salah satu tukang nyanyi, nanti aku panggil dia..."
"Jangan, jangan," Sin Tjie goyangi tangan.
"Disini ada berapa nona yang paling kesohor?" Tjeng Tjeng sebaliknya menanya.
"Ada, ada, siangkong !" sahut tukang perahu itu. "Seperti Pian Giok Keng, Lioe Djie Sie,
Tang Siauw Wan dan Lie Hiang Koen. Mereka ini pandai juga ilmu surat dan bersyair,
mereka adalah sioetjay-sioetjay wanita!"
"Nah, kau coba panggil Lioe Djie Sie dan Tang Siauw Wan berdua!" Tjeng Tjeng
menyuruh. Ia tidak perdulikan kawannya.
Tukang perahu itu celangap.
"Rupa-rupanya siangkong Baru untuk pertama kali ini datang ke Lamkhia?" bilangnya.
"Habis kenapa?"
"Nona-nona yang kenamaan itu, pergaulannya cuma dengan pemuda-pemuda bangsawan
atau sedikitnya sioetjay," sahut tukang perahu itu. "Umpama orang dagang biasa saja,
apabila dia hendak menemui nona-nona itu, kendati dia angkut semua hartanya, tidak
nanti si nona sudi melayaninya. Jangan kata mengundang datang, melihat romannya saja
tak dapat..."
"Cis, segala bunga raya saja demikian bertingkah!" kata Tjeng Tjeng. Dia dipanggil
siangkong karena tetap dia dandan sebagai pria.
"Disini ada nona-nona lainnya yang eilok, baik aku panggil dua saja diantaranya," kata
tukang perahu kemudian.
"Sekarang kami hendak pulang, lain hari saja," Sin Tjie bilang.
"Aku belum puas!" kata Tjeng Tjeng sambil tertawa. Ia memandang si tukang perahu dan
lalu kata : "Pergi kau panggil mereka."
Selagi Sin Tjie bungkam, tukang perahu itu, yang girang tak kepalang, sudah lantas buka
suara nyaring beberapa kali, untuk memanggil dua nona yang ia kenal.
Sebentar saja, sebuah perahu terhias datang menghampirkan, dari situ lantas muncul dua
nona, yang terus naik keperahunya Tjeng Tjeng. Mereka kasi hormat kepada kedua anak
muda.
Sin Tjie berbangkit, untuk memberi hormat, mukanya merah padam bahna jengah.
Tjeng Tjeng lihat perubahan air muka kawan itu dalam hatinya ia tertawa geli.
Kedua nona tukang nyanyi itu tidak cantik tetapi mereka dibikin bersinar oleh yantjie dan
pupur. Segera yang satu meniup seruling dan yang lain bernyanyi.
Tjeng Tjeng kerutkan alis mendengar suara seruling dan nyanyian itu, tak sedap dia
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
mendengarnya.
Sin Tjie pun kerutkan alis.
"Dasar kau!" katanya, menyesali kawannya. "Makin lama kau jadi makin angot!"
Tjeng Tjeng tertawa.
"Sudah, sudah!" katanya. "Apa belum cukup kau tegur aku? Nanti aku meniup seruling
untuk kau dengar..."
Ia ambil seruling dari tangannya si nona manis, ia celup saputangannya kedalam arak, lalu
saputangan itu dipakai menyusuti seruling itu, sampai sekian lama, Barulah ia masuki
kedalam mulutnya sendiri, untuk dicoba pelahan-lahan. Atau dilain saat, ia telah mulai
perdengarkan sebuah lagu.
Segeralah terdengar sebuah lagu yang lain sekali dari lagunya si bunga raya barusan!
Di Tjio-liang, diatas bukit bunga mawar, Sin Tjie pernah dengar lagu yang mnearik hati ini,
maka teringatlah ia dengan kejadian diatas bukit itu, sedang sekarang, suasana ada lain -
sungai ada indah, dihadapan mereka ada arak wangi, ada nona-nona manis...
Kedua nona manis itu duduk bengong apabila mereka dengar tiupan lagu itu.
Sin Tjie mendengari dengan asyik sekali, sampai ia tidak tahu sebuah perahu pelesiran
yang besar yang mendekati perahunya sendiri, tahu-tahu ada suara tertawa nyaring
disusul pujian : "Sungguh merdu! Sungguh merdu!"
Menyusul itu, tiga orang lelaki pun lantas naik keperahunya pemuda dan pemudi ini tanpa
mereka itu minta perkenan lagi.
Tjeng Tjeng tidak suka atas kelakuan orang itu, yang ia pandang sebagai gangguan. Ia
letaki serulingnya, ia lirik mereka itu dengan mata tajam.
Dari tiga tetamu yang tidak diundang itu, yang jalan ditengah ada seorang dengan kipas
ditangan, bajunya tersulam, umurnya kira-kira tiga-puluh tahun, alisnya kasar, matanya
kecil, mukanya pun kasar. Dibelakang dia ini ada dua kee-teng atau hamba, yang
membawa lentera atau tengloleng yang bertuliskan tiga huruf : "Tjong Tok Hoe" atau
artinya "Gedung Tjong Tok".
Sin Tjie berbangkit, ia menyambut sambil memberi hormat.
Kedua bunga raya itu memberi hormat sambil menjura.
Cuma Tjeng Tjeng yang duduk tetap, tidak bergeming.
Orang itu tertawa, ia bertindak masuk ke ruangan dalam perahu.
"Maaf, maaf!" katanya dengan gembira, lalu ia jatuhkan diri atas sebuah kursi, untuk mana
ia tidak nantikan undangan lagi.
"Maaf tuan, apa she dan namamu yang besar?" Sin Tjie tanya.
Pemuda ini sabar dan selalu berlaku manis-budi.
Orang yang ditanya belum menyahuti, atau salah satu bunga raya dului ia dengan berkata
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
: "Inilah Ma Kongtjoe dari Tjongtok-hoe dari Hong-yang."
Kongtjoe ini tidak jawab Sin Tjie, dia hanya mengawasi Tjeng Tjeng dengan kedua
matanya yang sipit.
"Kau dari rombongan wayang mana?" ia tanya nona kita, yang ia sangka ada satu
pemuda. "Merdu sekali tiupan serulingmu! Kenapa kau tidak hendak layani toa-ya-mu ini?
Ha-ha-ha!"
Sepasang alisnya Tjeng Tjeng bangun. Ia gusar orang anggap dia ada satu anak wayang.
Sebenarnya ia hendak tegur kongtjoe itu tetapi Sin Tjie kedipi dia.
"Inilah saudaraku, kami datang ke Lamkhia untuk cari sahabat," anak muda kita
menjawab.
"Kamu cari sahabat, siapa itu?" tanya Ma Kongtjoe. "Ini hari kamu telah bertemu
denganku, mari kita bersahabat! Dengan bersahabat dengan aku, aku tanggung kamu
nanti tidak kekurangan makan dan pakai!"
Ia tertawa pula.
Sin Tjie jadi mendongkol, akan tetapi ia masih dapat mengatasi dirinya. Ia tidak perlihatkan
roman gusar.
"Taydjin Ma Soe Eng itu pernah apa dengan tuan?" tanyanya.
"Ma Taydjin itu adalah pamanku!" sahut Ma Kongtjoe dengan roman sangat bangga.
Itu waktu dari perahu pelesirannya si kongtjoe ini muncul pula seorang lain, pakaiannya
perlente tetapi kepalanya kecil dengan mata kecil juga, sedang kumisnya caplang. Ia
lantas menjura kepada Ma Kongtjoe.
"Kongtjoe-ya," katanya sambil tertawa. "saudara ini pandai sekali meniup seruling."
Melihat dandanan orang, Sin Tjie merasa pasti orang ini gundalnya pemuda itu.
"Keng Teng, pergi kau bicara dengan mereka," kata Ma Kongtjoe.
Itulah titah yang cuma dimengerti orang yang dipanggil Keng Teng itu, yang sebenarnya
ada orang she Yo. Dia ini lantas hadapi Sin Tjie dan Tjeng Tjeng untuk terus berkata :
"Ma Kongtjoe ini adalah keponakannya Ma Taydjin, Tjongtok dari Hongyang, dan dia
sangat gemar ikat persahabatan. Ma Taydjin sangat sayang keponakannya ini, hingga dia
perlakukannya sebagai puteranya sendiri saja. Djiewie, baiklah kamu pindah, untuk tinggal
bersama-sama Ma Kongtjoe!"
Sin Tjie tdiak enak hati mendengar kata-kata itu, terutama ia kuatir Tjeng-Tjeng gusar,
akan tetapi diluar sangkaanya, ia lihat nona itu tertawa dengan ramah-tamah.
"Itulah bagus sekali," katanya Tjeng Tjeng. "Mari kita berangkat sekarang!"
Ma Kongtjoe girang seperti ia mendapati mustika yang terjatuh dari langit, dia sambar
tangannya Tjeng Tjeng untuk ditarik. Tapi Tjeng Tjeng mendahului tarik tangannya sendiri,
untuk dipakai membetot satu bunga raya, tubuh siapa ditolak kepada Kongtjoe itu, hingga
mereka itu jadi saling tabrak!
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Sin Tjie heran, ia diam saja.
Tjeng Tjeng segera berbangkit.
"Aku lagi memberi hadiah kepada dua nona ini dan tukang perahu," katanya. "seorangnya
lima tail perak..."
"Jangan, nanti akulah yang menghadiahkannya!" berkata Ma Kongtjoe itu. "Besok kamu
pergi kepada tukang uangku untuk terima hadiahmu ini!" Ia tambahkan kepada bunga raya
itu dan tukang perahu.
"Apakah bukan lebih baik hadiahkan sekarang saja?" tanya Tjeng Tjeng dengan tertawa
manis.
"Ya, ya , sekarang pun boleh!" kata Ma Kongtjoe hampir berseru, lantas ia ulapi tangannya
kepada salah satu orangnya, maka satu kee-teng lantas keluarkan uang lima-belas tail,
yang dia letaki diatas meja.
Tukang perahu dan kedua nona bunga raya itu menghaturkan terima kasih, kemudian si
tukang perahu kembali pada penggayunya.
Ma Kongtjoe terus menatap Tjeng Tjeng, sampai sebentar kemudian perahu sudah sampai
di tepi.
"Nanti aku cari joli," Keng Teng bilang.
"Eh, tunggu dulu," tiba-tiba Tjeng Tjeng kata, romannya agak terperanjat. "Aku kelupaan
serupa barang di tempatku, perlu aku pulang dulu untuk mengambilnya."
"Nanti aku titahkan orangku yang pergi ambil," Ma Kongtjoe bilang. "Tak usah kau yang
pulang sendiri. Saudara yang baik, dimana kau tinggal?"
"Aku mondok di kuil Hoat Hoa Sie diluar pintu kota Kim-Coan-moei," sahut Tjeng Tjeng.
"Tapi barangku itu tak dapat lain orang yang mengambilnya."
Yo Keng Teng sudah lantas bisiki Ma Kongtjoe.
"Awasi dia, jangan kasi dia molos!"
"Benar, benar!" kata Kongtjoe itu dengan mata membelalak. Terus ia pandang "pemuda"
itu dan kata: "Kalau begitu, saudara yang baik, aku nanti temani kau pergi bersama!"
Ma Kongtjoe ulur tangannya, untuk sengklek bahu orang.
Tjeng Tjeng tertawa geli, tapi ia menyingkir kesamping.
"Tidak, aku tidak ingin kau turut!" ia menolak.
Semangatnya Ma Kongtjoe seperti meninggalkan pergi raganya melihat kelakuan yang
menggiurkan itu.
"Kau lihat, Keng Teng," katanya , "apabila saudara yang baik ini dandan sebagai satu
nona, pastilah didalam kota Kimleng ini tidak ada satu gadis jua yang nempil
dengannya!..."
"Engko, mari kita pergi," Tjeng Tjeng mengajak kawannya. Dan ia sambar tangannya Sin
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Tjie, untuk dituntun pergi.
Ma Kongtjoe melirik kepada Keng Teng, ia lantas mengikutnya, maka gundalnya itu,
bersama dua pengiringnya, turut mengikuti ia, hingga berempat mereka berjalan
dibelakang dua pemuda itu. Si Kongtjoe sendiri kemudian cepati langkahnya, untuk susul
Tjeng Tjeng, supaya berdua mereka berada berdampingan, untuk bicara sambil ter-tawatawa.
Tjeng Tjeng melayaninya seperti acuh tak acuh.
Sudah lebih dari sepuluh hari Tjeng Tjeng dan Sin Tjie putar-kayun dikota Kimleng, luar
dan dalam, maka itu, mereka ingat baik letaknya tempat. Sekarang Tjeng Tjeng, yang jalan
didepan, menuju ke tempat yang makin lama makin sepi, Sin Tjie segera bisa duga pikiran
si nona.
"Ma Kongtjoe ini benar ceriwis tetapi kesalahannya tak demikian besar hingga ia harus
menemukan kematiannya," pikir anak muda she Wan ini. "Soehoe sering bilang padaku,
siapa yakinkan ilmu silat, tak dapat ia membinasakan orang yang tak selayaknya binasa.
Inilah pantangan untuk kita. Bagaimana aku dapat cegah si Tjeng Tjeng?"
Dengan tiba-tiba, pemuda ini hentikan tindakannya.
"Saudara Tjeng, mari kita pulang!" ajak ia.
Tjeng Tjeng menyambutnya sambil tertawa manis.
"Pergi kau pulang sendiri," sahutnya.
Ma Kongtjoe girang bukan buatan.
"Benar, benar!" katanya nimbrung. "Pergi kau pulang sendiri!"
Kongtjoe ini demikian tertarik hatinya, ia tak dapat artikan ajakan "pulang" dari si anak
muda. Bukankah mereka sedang menuju kepondokannya si anak muda (Tjeng Tjeng)?
Kenapa sekarang anak muda lainnya mengajak pulang lagi?
Sin Tjie menggeleng kepala, ia pun menghela napas.
"Dia lagi menghadapi saat mampusnya, dia masih belum menyadarinya..." pikirnya.
Selama itu mereka telah sampai ditempat dimana terdapat hanya kuburan. Ma Kongtjoe
mulai berat tindakannya karena mereka sudah jalan jauh. Tidak biasanya keponakan
tjongtok itu jalan kaki demikian lama. Napasnya pun mulai sengal-sengal.
"Apa sudah dekat?" tanyanya.
"Sudah sampai!" sahut Tjeng Tjeng dengan suara nyaring, yang disusul sama tertawanya
yang panjang.
Ma Kongtjoe tercengang, dia melengak.
"Sudah sampai? Ini toh kuburan?" pikirnya.
Yo Keng Teng si gundal menjadi curiga, hatinya jadi tidak tenteram. Akan tetapi mereka
berempat, dan dua pengiringnya itu - ia tahu - ada bertenaga, karenanya, dapat ia hiburkan
diri juga.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
"Apa yang mereka berdua, anak-anak sekolah, dapat perbuat?" pikirnya pula.
"Saudara, sudahlah!" katanya kemudian. "Sudah, tak usah kamu pulang lagi. Mari kita
beramai pergi ke gedung kongtjoe kami, disana bisa kita duduk minum..."
Tjeng Tjeng tertawa dingin.
"Pergilah kamu pulang sendiri!" Sin Tjie bilang maksudnya baik. "Baik kau jangan turut
kami!"
Pemuda ini membuka jalan hidup.
Tapi Ma Kongtjoe berempat adalah bangsa gentong kosong, otak mereka tak dapat
tangkap nasihat yang diberikan secara samar-samar itu. Malah si kongtjoe bawa aksinya.
"Saudara, aku sudah letih sekali," katanya, dengan tingkah dibikin-bikin. "Tolong, kau
pegangi aku..."
Kongtjoe ini berada didamping Tjeng Tjeng, ia bisa ulur tangannya kepundak nona kita,
untuk menggelendotkan dirinya.
Se-konyong-konyong saja, satu cahaya putih berkelebat.
Sin Tjie mengeluh dalam hatinya, ingin ia mencegah, akan tetapi kepalanya Ma Kongtjoe
sudah mendahului jatuh ketanah dan menggelinding, darah muncrat, membasahkan
tubuhnya, yang lantas turut rubuh juga.
Keng Teng kaget hingga ia berdiri menjublak, demikian juga kedua pengikutnya.
Tjeng Tjeng lompat kepada gundal itu dan dua kawannya, satu kali dengan satu kali, ia
babat batang leher mereka, sebelum mereka sempat sadar dari tercengangnya, hingga roh
mereka pergi susul rohnya kongtjoe mereka.
Sin Tjie tidak mencegah lagi, karena ia pikir, si kongtjoe sudah binasa, perlu mereka
singkirkan saksi-saksi, untuk mencegah ancaman bencana dibelakang hari. Menghapus
rumput mesti dicabut berikut akar-akarnya.
Tjeng Tjeng susuti pedangnya dibajunya Ma Kongtjoe, ia bersenyum saking puas hatinya.
"Orang-orang sebangsa mereka ini cukup diberi hajaran, perbuatan kau ini rada bengis,"
kata Sin Tjie.
Tapi si nona mendelik.
"Tak dapat aku terima keceriwisannya!" jawabnya. "Siapa tahu, kejahatan apa mereka
sudah perbuat dan apa lagi yang akan terjadi dibelakang hari?"
Sin Tjie anggap si nona benar juga. Memang Ma Kongtjoe tentu siap sedia mencelakai
orang apabila napsu-hatinya tak tercapai. Akan tetapi, ia toh kata : "Memang sesuatu telur
busuk mesti dibunuh mati, tetapi aku ingin kau mengatasi diri sendiri. Bagaimana apabila
keliru terbunuh satu orang baik-baik? Apakah itu tidak hebat? Bisa-bisa pergaulan kita
putus..."
Tjeng Tjeng tertawa.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
"Itulah tak nanti aku lakukan," katanya. "Mari bantui aku."
Dengan cara mendupak, Tjeng Tjeng singkirkan mayat Ma Kongtjoe kedalam gombolan,
perbuatan diturut oleh Sin Tjie, hingga keempat mayat tak kelihatan lagi.
"Mari kita pulang," si nona mengajak.
Tiba-tiba Sin Tjie tarik ujung baju kawannya.
"Sembunyi!" katanya.
Mereka lantas lompat, untuk sembunyi dibelakang sebuah kuburan.
Suara tindakan dari banyak kaki terdengar, datangnya dari arah timur dan barat. Cuaca
yang gelap pun lantas menjadi terang, karena orang-orang yang datang - jumlahnya
belasan - membawa tengloleng.
Selagi rombonga itu mendatangi dekat satu pada lain, yang di timur perdengarkan tepukan
tangan tiga kali, lantas datang sambutan dua kali dari rombongan barat, disusul dengan
dua kali lagi. Setelah ini, mereka bergabung menjadi satu, tanpa sepatah kata juga, mereka
lantas duduk didepan sebuah kuburan.
Jarak diantara mereka ini dengan Sin Tjie berdua kira-kira sepuluh tumbak, tak dapat
Tjeng Tjeng dengar suara bicara, karena ia ingin mengetahuinya, ia bertindak, untuk
mendekatinya.
"Tunggu dulu..." Sin Tjie mencegah seraya ia tarik ujung baju si nona.
"Tunggu apa lagi?" nona itu tanya.
Sin Tjie ulapkan tangannya, untuk cegah kawan itu bicara.
Tjeng Tjeng menanti, dengan tidak sabaran. Disaat seperti itu, detik-detik waktu dirasakan
lambat jalannya.
Tapi segera datang sambaran angin, yang cukup besar, hingga daun-daun pohon dan
rumput perdengarkan suara berisik.
Berbareng dengan suara berisik itu, Sin Tjie sambar lengan si nona, untuk diajak
berlompat, hingga dilain saat, mereka sudah berada dibelakang kuburan tanpa ada
seorang juga dari antara rombongan itu yang dapat lihat mereka berdua. Disini mereka
lantas mendekam, untuk pasang kuping sambil pasang mata.
Tjeng Tjeng sementara itu kagumi kawannya itu, terutama kegesitannya dan tenaganya. Ia
pun merasai sopannya ini anak muda, sebab tangannya segera dilepaskan dari
cekalannya dia itu.
"Dia benar ada satu koentjoe, cuma dia rada kering..." pikir nona ini, yang sendirinya
sangat bergembira.
Segera mereka dengar satu suara sedikit serak : "Saudara-saudara perlukan datang dari
tempat yang jauh, untuk membantu kepadaku, aku sangat berterima kasih."
Satu suara lain jawab pengutaraan bersyukur itu : "Guruku sedang sakit, sudah kira-kira
sebulan ia tak dapat bangkit dari pembaringan, dari itu dia telah minta Twie-hong-kiam
Ban Hong Ban Soesiok pimpin kami dua-belas muridnya datang kemari untuk disuruhKang
Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
suruh oleh Bin Loosoe."
"Gurumu itu, Liong Ya-tjoe, sudi bantu aku, aku sangat berterima kasih kepadanya." Kata
pula si suara rada serak.
"Pedang Twie-hong-kiam Ban Soeheng telah menggetarkan wilayah selatan, sekarang
soeheng telah datang sendiri ke Kimleng ini, mustahil kita nanti tak berhasil? Begitu lekas
aku melihatmu, Ban Soeheng, hatiku lantas saja lega tak terkira."
"Itulah pujian belaka!" terdengar suara orang yang ketiga. "Kami dari Tiam Tjhong Pay
justru kuatirkan kami nanti tak dapat berbuat suatu apa untuk membantu Bin loosoe..."
Suara orang ini kecil tetapi terang.
Hatinya Sin Tjie tergetar juga. Ia ingat, di waktu-waktu senggang gurunya suka rundingkan
ilmu pedang dari pelbagai partai, atau kaum persilatan lainnya, diantaranya empat partai
terbesar ialah Boe Tong Pay, Koen Loen Pay, Hoa San Pay dan Tiam Tjhong Pay, bahwa
setiap partai punyakan ilmu-ilmu silatnya yang istimewa. Sekarang ini yang datang, si
orang she Ban, ada dari Tiam Tjhong Pay. Jauh dari tempat ribuan lie, orang datang ke
Kimleng ini, apakah maksud mereka itu?
Setelah kedua saling bicara secara sungkan itu, kembali terdengar tepukan tangan dari
kejauhan, suara mana disambut oleh rombongan dimuka kuburan ini. Atas sambutan itu,
lalu muncul lagi tiga rombongan lain, yang datangnya saling susul. Mendengar dari
pembicaraan mereka, Sin Tjie ketahui dia ini ada dari kalangan mana.
Rombongan yang pertama adalah rombongan Siauw Lim Sie dari Pouw-thian, Hokkian,
yang dipimpin oleh Sip Lek Taysoe, kam-ih atau kepala dari ruang Tat Mo In dari kuil partai
Siauw Lim Pay.
Rombongan yang kedua adalah kawanan bajak dari sepanjang pesisir Tjiatkang dari
Hokkian, yang dipimpin sendiri oleh Pek-hay Tiat-keng The Kie In si ikan lodan, yang jadi
Tjong-bengtjoe atau ketua dari bajak-bajak dari tujuh puluh dua pulau di sepanjang
propinsi-propinsi tersebut.
Dan rombongan yang ketiga adalah partai Tiang Pek Pay dari gunung Tiang Pek San di
Liauw-tong dengan dipimpin sendiri oleh ketiga ketuanya, yang dikenal dengan julukannya
jaitu Tiang Pek Sam Eng atau tiga jago Tiang Pek ialah Soe Peng Kong, Soe Peng Boen
dan Lie Kong.
Sin Tjie jadi makin heran. Mereka itu, semuanya ada orang-orang kang-ouw kenamaan.
Apa perlunya mereka berkumpul di Lamkhia? Mereka hendak bantu si orang she Bin
dalam urusan apa? Orang she Bin ini hampir tak hentinya menghaturkan terima kasihnya
kepada mereka itu. Teranglah sudah, mereka itu sengaja diundang datang.
Tjeng Tjeng pun heran, ingin ia tanya Sin Tjie, tapi untuk ber-hati-hati, ia coba atasi diri
sendiri. Ia insyaf, dimuka orang-orang liehay itu, sedikit saja ia berkelisik, mereka bakal
dapat tahu, atau sedikitnya mereka bakal bercuriga.
Segera terdengar pula suaranya si orang she Bin : "Aku Bin Tjoe Hoa...."
"Inilah nama yang aku pernah dengar," berpikir Sin Tjie. "Tidak salah, aku dengarnya dari
soehoe. Dia ini orang macam apa? Ah, kenapa aku bolehnya lupa?"
Si orang she Bin lanjuti omongannya : "Saudara-saudara, aku sangat bersyukur yang
saudara-saudara telah datang untuk membantu aku, karena itu, harap saudara-saudara
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
suka terima hormatku..."
Sin Tjie percaya orang she Bin itu berlutut untuk hunjuk terima kasihnya itu, karena ia
dengar suara-suara yang merendah dan yang mempersilakan orang berbangkit.
"Jangan berbuat begini, Bin Djieko, tak sanggup siauwtee menerimanya," demikian
terdengar juga.
Kemudian terdengar pula suaranya Bin Tjoe Hoa itu : "Selama beberapa hari ini, Thio Sim
It soeheng dari Koen Loen Pay, beberapa tootiang dari Ngo Bie Pay, dan beberapa
soeheng dari Hoa San Pay juga pasti bakal datang semuanya..."
"Oh, dari Hoa San Pay juga bakal ada yang datang?" tanya satu suara. "Inilah bagus
sekali! Murid siapakah dia itu?"
Sin Tjie heran, tapi ia kata dalam hatinya: "Bagus pertanyaan ini! Aku memang ingin
menanyakannya..."
Segera terdengar jawabannya Bin Tjoe Hoa : "Mereka adalah beberapa soeheng muridmuridnya
Tjio Poan San Long...."
"Kalu begitu, mereka adalah muridnya djie-soeheng," pikir Sin Tjie.
"Apakah Bin Djieko bersahabat kekal dengan Kwie Sin Sie suami isteri?" ada suara yang
menanya pula. "Inilah bagus! Dengan adanya mereka itu, tak usah kita kuatirkan lagi
kepada kan-tjat she Tjiauw itu!"
"Mana dapat aku sendiri yang bersahabat dengan suami-isteri she Kwie itu?" ada
jawabannya Bin Tjoe Hoa. "Adalah murid kepalanya, Bwee Kiam Hoo, yang bersahabat
karib denganku."
"Bwee Kiam Hoo?" tanya satu suara lain. "Dia toh Boe Eng Tjoe si Bajangan Tak Ada yang
dengan sebatang pedangnya telah taklukkan tujuh jago di jalanan propinsi Shoatang,
bukankah?"
"Tidak salah, benarkah dia?" Bin Tjoe Hoa berikan kepastian.
Sin Tjie masih heran akan tetapi sekarang hatinya lega.
"Disini turut orang dari pihakku, rupanya mereka ini berada di pihak benar," pikir ia. "Baik
aku jangan muncul diantara mereka, apabila ada ketikanya , aku nanti bantu mereka
secara diam-diam saja."
Lalu kembali terdengar suaranya Bin Tjoe Hoa : "ketika dulu hari kandaku terbinasa
teraniaya secara hebat itu, untuk lebih daripada sepuluh tahun aku telah berkelana
kesegala tempat untuk cari musuhku itu, tak juga aku berhasil mengetahui, siapa
sebenarnya dia. Adalah baru-baru ini, aku memperoleh penghunjukkan dari
persaudaraaan Soe dan Tiang Pek San kandaku telah terbinasa ditangannya kantjat she
Tjiauw itu! Aku sumpah, apabila tidak dapat aku balaskan sakit hati kandaku itu, tak sudi
aku jadi manusia!"
Menjusul itu terdengarlah suatu suara keras. Rupanya dengan semacam senjata, Bin Tjoe
Hoa perkuatkan sumpahnya dengan membacok atau memukul batu bongpay dari kuburan.
Lantas terdengar suara seorang lain : "Tiat-pwee Kim Go Tjiauw Kong Lee si Buaya Emas
Berbokong Besi adalah seorang kang-ouw yang juga berkenamaan, aku tidak sangka dia
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
bisa berbuat demikian macam. Entah dari mana kedua saudara Soe itu ketahui rahasia
pembunuhan itu?"
Mendengar lagu-suaranya, orang ini menyatakan kesangsian.
Bin Tjoe Hoa tidak tunggu Soe Peng Kong dan Soe Peng Boen menjawab sendiri, ia
mendahuluinya : "Kedua saudara Soe telah tuturkan jelas kepadaku duduknya
penganiayaan terhadap kandaku itu di Shoa-tang, untuk itu ada buktinya, maka haraplah
Taysoe tidak usah sangsi lagi."
Orang yang menyatakan ke-ragu-raguan nya itu tidak menanya lebih jauh, lalu terdengar
suaranya seorang lain lagi : "Tjiauw Kong Lee itu telah berdiam untuk puluhan tahun
dikota Kimleng ini, pengaruhnya telah mendalam dan kuat, sekarang kita hendak gempur
dia, harus kita ber-hati-hati...."
"Memang kita harus ber-hati-hati," jawab Bin Tjoe Hoa. "Aku tahu, dengan seorang diri
saja, tak dapat aku gempur dia, maka itu aku telah besarkan hati mengundang saudarasaudara
sekalian. Besok pada jam yoe-sie tepat aku undang saudara-saudara untuk
menghadiri satu perjamuan sederhana dirumahku di gang Tjhia-lam diluar kota Selatan,
aku harap sangat kedatangan saudara-saudara."
Suara jawaban ramai menerima undangan itu; ada yang mengucap terima kasih, ada yang
minta orang she Bin itu tak sungkan-sungkan.
Kemudian Bin Tjoe Hoa berkata pula : "Kali ini jumlah sahabat-sahabatku ada banyak, tak
usah disangsikan lagi yang pihak musuh tak mengetahuinya, maka kalau besok saudarasaudara
datang, baik kita menggunai tanda, ialah sesuatu saudara angkat tangan terhadap
orang-orang ku yang menyambut dimuka pintu, dengan tunjuki tiga jari tangan kanan ialah
jeriji-jeriji tengah, manis dan kelingking, yang dikasi turun sambil dengan pelahan pun
mengucapkan "kang-ouw gie khie, poat too siang tjie." Dengan cara ini dapat kita cegah
seumpama musuh kirim mata-matanya."
"Itu benar!" menyatakan beberapa suara setuju. "Kita semua datang dari empat penjuru,
banyak diantara kita yang belum kenal betul satu dengan lain, maka untuk selanjutnya,
baik tetap kita gunai pertandaan ini."
Usul ini pun telah dapat persetujuan.
Kemudian, setelah ditetapkan juga, siapa mesti dikirim kerumah keluarga Tjiauw, untuk
membuat penyelidikan, me-nyerep-nyerepi kabar, pertemuan rahasia itu ditutup, lalu
mereka bubaran.
Setelah orang sudah pergi jauh, Barulah Sin Tjie berdua berani bergerak, untuk duduk
beristirahat. Tjeng Tjeng merasa kakinya pada kaku.
"Toako, besok kita pergi menonton keramaian, bukan?" si nona tanya.
"Pergi menonton sih boleh, akan tetapi kau mesti dengar perkataanku," jawab Sin Tjie.
"Tak dapat kau timbulkan gara-gara."
"Memangnya siapa yang hendak membikin ribut?" Tjeng Tjeng menjawab.
Habis itu, mereka berlalu, untuk pulang.
Besoknya tengah-hari, seluruh kota Kimleng menjadi gempar karena perkara pembunuhan
gelap atas dirinya Ma Kongtjoe serta gundal dan pengiring-pengiringnya. Sin Tjie berdua
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
dengar kabar itu, berdua Tjeng Tjeng, ia keram diri dalam kamar. Akan tetapi kapan sang
magrib datang, setelah salin pakaian, mereka pergi keluar, ke gang Tjhia-lam dimana,
dengan tindakan lambat, mereka perhatikan sebuah rumah besar yang muka pintunya
diterangi tengloleng, banyak tetamu yang datang saling susul.
Dengan berani, tapi dengan sikap biasa, Sin Tjie dan Tjeng Tjeng bertindak kepintu,
kepada penjaga pintu, mereka tunjuki tiga jari mereka seraya menyebut "Kang-ouw gie
khie, poat too siang tjie", dengan begitu, satu penyambut beri hormat pada mereka dan
seorang lainnya lagi antar mereka kedalam dimana mereka disuguhkan teh, lantas she dan
nama mereka ditanyai. Dengan enak saja mereka ngaku she Thia dan Boen.
"Sudah lama kau dengar nama besar dari djiewie," kata penyambut itu dengan pujiannya,
walaupun ia sebenarnya tak kenal kedua tetamu ini.
Tjeng Tjeng geli didalam hatinya, ia berpikir : "Aku sendiri Baru pertama kali denga she-ku
ini, kau sebaliknya telah dengar sejak lama..."
Sementara itu, tetamu yang datang semakin banyak, maka untuk menyambut mereka,
penyambut ini mohon diri, untuk layani mereka. Didalam hatinya ia anggap, mereka ini
berdua entah muridnya siapa.
Sin Tjie berdua tidak usah menunggu lama, lantas orang semua diundang duduk
berkumpul, karena rapat hendak dimulai. Mereka duduk di pinggiran dengan ditemani oleh
murid kelima dari Bin Tjoe Hoa. Yang lainnya juga ada anak-anak muda. Hati mereka lega
karena orang tidak perhatikan mereka.
Pertemuan dibuka dengan keringkan arak tiga idaran, Bin Tjoe Hoa hampirkan sesuatu
tetamunya, untuk memberi selamat datang kepada mereka dengan secawan arak. Kapan
tuan rumah ini hampirkan meja mereka, Sin Tjie dapat lihat tegas tuan rumah ini, seorang
umur empat puluh delapan atau sembilan tahun, lengannya berurat kasar, romannya
cerdik, tindakannya gagah, tanda ilmu silatnya tinggi, akan tetapi kedua matanya bengul
dan merah, suatu tanda ia sedang bersedih untuk kandanya, rupanya selama beberapa
hari ini, ia menangis saja.
"Dia sangat mencintai saudaranya, dia harus dihormati," pikir Sin Tjie. "Dia bikin
undangan kepada begini banyak sahabatnya, mestinya si orang she Tjiauw itu, musuhnya,
berpengaruh besar sekali."
Bin Tjoe Hoa menjura tiga kali kepada semua tetamunya, ia ber-ulang-ulang menghaturkan
terima kasih, ia undang pula sekalian tetamu keringkan cawan mereka.
Rombongannya Sin Tjie membalas hormat, terutama karena mereka dari golongan muda.
Mendadak salah seorang muridnya Bin Tjoe Hoa muncul dengan kesusu, ia hampirkan
gurunya, untuk berbisik, setelah mana, kelihatan tuan rumah itu jadi sangat girang, lekaslekas
ia letaki cangkirnya diatas meja, lantas ia lari kearah pintu, kapan sebentar kemudian
ia kembali, ia berserta tiga orang yang ia perlakukan hormat sekali. Ia juga undang ketiga
tetamu itu duduk dikepala meja.
"Pasti mereka ini adalah orang-orang kenamaan," pikir Sin Tjie, yang awasi mereka.
Orang pertama, yang dandan sebagai satu pelajar, menggendol sebatang pedang panjang
dibelakangnya, kedua matanya bersinar dan sikap-dedeknya angkuh. Orang kedua
berumur tiga-puluh lebih. Dan yang ketiga, umur dua puluh dua atau dua puluh tiga tahun,
adalah sorang perempuan yang eilok parasnya, tapi sikapnya adem.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
"Bwee toako datang tepat sekali, aku sangat bersukur." Terdengar suaranya Bin Tjoe Hoa.
Pelajar itu tertawa.
"Urusan Bin Djieko mana dapat kami tak campur tahu?" kata dia.
"Kalau begitu, dia pasti ada Bwee Kiam Hoo, muridnya Djie-soeheng kwie Sin Sie," pikir
Sin Tjie. "Kenapa dia begini jumawa?"
Bwee Kiam Hoo berkata pula :
"Dalam urusan sebagai ini, guruku tentu tak berkeinginan untuk mencampur tahu, tetapi
aku sendiri adalah lain, maka itu, aku telah undang dua orang lain untuk bantu kau, Bin
Djieko. Ini adalah sam-soeteeku Lauw Pwee Seng dan ini ngo-soemoay Soen Tiong Koen."
"Sungguh aku beruntung," mengucap Bin Tjoe Hoa. "Memang sudah sejak lama aku
dengar namanya Sin-koen Thaypo dan Soen Liehiap!"
Orang she Bin ini tidak berani sebut gelarannya Soen Tiong Koen, maka ia memanggil
"liehiap" (wanita gagah). Kaum kang-ouw djuluki si nona "Hoei Thian Mo-lie" atau "Hantu
perempuan yang terbang kelangit", atau ringkasnya, Hantu Perempuan. Sebab Soen Tiong
Koen terlalu disayang gurunya, dan karena mengandali boegeenya yang liehay, ia jadi
galak dan telengas juga, hingga umumnya orang jadi jeri terhadapnya.
Kemudian Bin Tjoe Hoa perkenalkan Sip Lek Taysoe, Tiang Pek Sam Eng, Pek-hay Tiang
Keng dan Twie-hong kiam Ban Hong, juga yang lain-lain, kepada tiga tetamu yang
terbelakang ini.
Perjamuan dilanjuti pula, sampai satu muridnya Bin Tjoe Hoa hampirkan gurunya untuk
serahkan dua lembar ang-tiap lebar, membaca surat mana, mulanya orang she Bin itu
berubah wajahnya, lalu kemudian ia tertawa kering.
"Tjiauw Loodjie benar-benar liehay!" berkata dia dengan nyaring. "Pihak kami belum
sempat cari dia, dia sudah mendahului datang kepada kami. Bwee toako, Baru kamu
sampai, dia sudah lantas dapat tahu?"
Ia serahkan angtiap itu kepada orang she Bwee ini.
Surat yang satu bertuliskan kata-kata: "Hormatnya adik yang muda, Tjiauw Kong Lee,"
sedang yang kedua memuat nama-namanya Bin Tjoe Hoa, Sip Lek Taysoe, Tiang Pek Sam
Eng dan yang lain-lain, tak terkecuali nama Bwee Kiam Hoo bertiga. Mereka semua
diundang untuk besok sore berkunjung kerumahnya orang she Tjiauw itu, untuk hadirkan
perjamuan.
"Sebagai tee-tauw-Coa, Tjiauw Loo-djie benar-benar liehay," kata orang she Bwee ini. "kita
orang tak dapat menjadi kiang-liong akan tetapi boleh juga kita mencoba-coba
melawannya!"
"Tee-tauw-Coa" berarti "ular setempat", yang dimaksudkan sebagai tuan rumah, dan
"kiang-liong" adalah "naga yang tangguh", yang sebagai tetamu endonan. Tegasnya,
walaupun kosen, tak dapat layani ular setempat....
Kemudian Bin Tjoe Hoa kata pada muridnya : Pergi kau undang masuk pada pembawa
surat undangan ini!"
Murid yang diperintah itu lantas pergi keluar.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Semua orang menunda cawan arak mereka, semua mata diarahkan kepintu, darimana si
murid tadi kembali dengan diikuti seorang laki-laki, berumur kurang lebih tiga puluh tahun,
bajunya baju panjang, tindakannya sabar, romannya tenang, sesampai didepan Bin Tjoe
Hoa, ia itu memberi hormat sambil menjura, terus ia berkata : "Guruku dengar kabar para
tjianpwee telah datang ke Kimleng ini, ia undang para tjianpwee untuk besuk datang, beromong-
omong dengannya, maka teetjoe ini dikirim untuk mengundangnya."
Bwee Kiam Hoo tertawa dingin.
"Tjiauw Loo-djie mengadakan pesta Hong-boen!" katanya. Lalu ia menoleh pada pembawa
surat undangan itu dan kata : "Eh, apa namamu?"
Meski juga ia diperlakukan tak dengan hormat, utusan itu tetap berlaku sopan santun.
"Teetjoe bernama Lo Lip Djie," sahutnya.
Bwee Kiam Hoo membentak dengan pertanyaannya pula: "Tjiauw Loodjie undang kita, dia
mengatur tipu daya keji macam apa? Apakah kau ketahui itu?"
Tetap dengan hormat, Lip Djie menyahuti : "Guruku dengar para Tjianpwee telah datang
dikota Lamkhia, ia sangat kagum dan menghargainya, ingin dia bertemu dengan tjianpwee
semua, dari itu ia tidak kandung maksud lainnya."
"Hm, bagus benar kata-katamu!" kata pula Kiam Hoo. "Aku tanya kau: Ketika dulu Tjiauw
Kong Lee aniaya kandanya saudara Bin Tjoe Hoa ini, kau turut saksikan sendiri kejadian
itu atau tidak?"
"Itulah urusan sangat panjang, maka guruku undang para tjianpwee," sahut Lip Djie.
"Adalah maksud guruku, kesatu untuk memberi penjelasan kepada para tjianpwee, dan
kedua, ingin dia menghaturkan maaf kepada Bin Djie-ya."
"Bagus betul!" berseru Kiam Hoo. "Orang telah dibunuh mati, apa itu dapat dihabiskan
dengan penghaturan maaf saja?"
"Pada waktu itu, guruku telah didesak sampai ia habis daya, karenanya ia kesalahan turun
tangan," kata pula Lip Djie. "Sejak itu hari, sampai sekarang ini guruku masih tetap
menyesal...."
"Kalau begitu, pada waktu kejadian kau menghadapinya sendiri!" berteriak Hoei Thian Molie
Soen Tiong Koen.
"Aku tidak saksikan itu sendiri," jawab Lip Djie, "akan tetapi guruku ada seorang baik,
tidak nanti dia membunuh secara sembarangan..."
"Celaka, kau masih membantah!" berseru pula si Hantu Wanita, yang tubuhnya
mendadakan mencelat dari kursinya, kearah pembawa surat itu, selagi dia berlompat,
pedangnya berkelebat, lalu dengan tangan kirinya, dia tekan dadanya utusan ini.
Lo Lip Djie terkejut, dengan tangan kanan, ia tolak tangan kiri si nona. Ia gunai tipu
gerakan "Tiat boen soe" atau "Palang pintu besi."
"Celaka, tangan kanannya itu bakal kutung!" kata Sin Tjie kepada Tjeng Tjeng. Ia terkejut
melihat sikapnya Soen Tiong Koen dan daya pembelaan si utusan.
"Apa kau bilang?" tanya Tjeng Tjeng.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Belum sempat Sin Tjie menyahuti si nona, atau Lo Lip Djie sudah perdengarkan seruan
hebat, bahu kanannya telah terbacok sapat.
Semua hadirin jadi kaget, semua berbangkit.
Lo Lip Djie berdiri dengan muka pucat, akan tetapi ia tidak rubuh, dengan tangan kiri ia
beset ujung bajunya, untuk dipakai membalut lukanya, kemudian ia membungkuk, akan
jumput lengannya yang kutung itu, buat dibawa pergi dengan tindakannya yang lebar.
Para hadirin tercengang melihat orang sedemikian tangguh, hingga mereka berdiam
seraya saling mengawasi saja.
Soen Tiong Koen susuti darah pada pedangnya, dengan tenang ia kembali ke kursinya,
untuk duduk dengan anteng, akan minum araknya seperti biasa saja.
"Orang ini bandel dan bertingkah, gurunya tentu galak dan jahat melebihkan dia," berkata
Kiam Hoo. "Bagaimana besok, kita hadirkan pesta perjamuannya atau tidak?"
"Pasti kita mesti pergi!" kata Ban Hong. "Jikalau kita tidak pergi, tentu dia akan pandang
sebelah mata pada kita!"
"Baiklah malam ini kita kirim orang untuk membuat penyelidikan," usulkan Pek-hay Tiang
Keng The Kie In si Ikan Lodan. "Kita cari tahu secara rahasia, dia sebenarnya undang
siapa-siapa untuk bantui pihak dan besok dia telah atur tipu-daya atau tidak..."
"The totjoe benar!" Bin Tjoe Hoa puji tetamunya itu., ketua umum kawanan bajak. "Turut
dugaaanku, tentunya Tjiauw Kong Lee telah mengatur persiapan kuat. Maka dari pihak
kita, saudara-saudara siapa yang sudi bercape-lelah akan intai musuh kita itu?"
"Siauwtee suka pergi!" mengatakan Twie-hong-kiam Ban Hong si Pedang Angin.
Bin Tjoe Hoa berbangkit, ia isikan satu cawan arak, yang ia bawa kepada tetamunya itu.
"Silakan minum, toako!" ia memberi selamat.
Ban Hong menyambuti dan meminumnya kering sekali cegluk.
Sampai disitu, pembicaraan telah selesai, maka setelah perjamuan dilanjuti lagi sekian
lama, orang semua bubaran.
Sin Tjie kasi tanda gerakan tangan kepada Tjeng Tjeng, terus ia ikuti Ban Hong dengan si
nona mengiringi ia. Perbuatan mereka tak diketahui oleh orang Tiam Tjhong Pay itu.
Itu waktu sudah kira-kira jam dua. Ban Hong pulang kehotelnya untuk salin pakaian, lantas
ia keluar pula, menuju ketimur. Sin Tjie berdua terus menguntit hingga mereka dapati
orang she Ban itu menikung dan menembusi tujuh atau delapan pengkolan jalan besar,
kemudian, setelah mengitari sebuah rumah besar, dia lompat naik untuk memasuki
pekarangan.
Sin Tjie saksikan gerakan pesat orang itu.
"Tidak kecewa dia dijuluki Twie-hong-kiam," pikirnya.
Mereka juga berlompat, untuk menguntit terus.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Dari sebuah kamar tampak sinar terang. Kamar itu dilewati oleh Ban Hong. Tapi Sin Tjie
ingin tahu, berdua Tjeng Tjeng, ia hampirkan jendela, dari sela-sela, ia mengintip kedalam.
Didalam kamar itu kedapatan tiga orang yang sedang duduk, yang duduk madap keluar
ada seorang usia lima-puluh lebih, sepasang alisnya mengkerut, wajahnya berduka.
"Lip Djie bagaimana?" tanya dia setelah menghela napas.
"Lo Soeko telah pingsan beberapa kali, tapi sekarang darahnya sudah berhenti keluar,"
sahut orang yang duduk dibawahannya.
Sin Tjie lantas menduga, orang tua itu tentulah Tjiauw Kong Lee bersama dua muridnya.
Mereka pun lagi omong hal lukanya Lo Lip Djie, si utusan pembawa surat.
Terdengar orang yang ketiga berkata: "Soehoe, baik kita minta beberapa saudara untuk
mengadakan perondaan disekitar rumah kita ini, aku kuatir musuh nanti kirim orang untuk
intai kita..."
Orang tua itu menghela napas pula.
"Dirondai atau tidak, sama saja," jawabnya. "Sekarang ini aku sudah peserah kepada
takdir. Besok pagi kamu antar soebo, soemoay serta soeteemu yang kecil kerumah
keluarga Gouw di Ouw-tjioe."
"Soehoe, harap kau tidak putus asa!" berkata murid itu tanpa ia mengiakan titah gurunya
itu. "Kita didalam kota Lamkhia ini toh mempunyai lebih daripada dua ribu saudara, jikalau
kita lakukan perlawanan, apa musuh bisa berbuat terhadap kita?"
Masih orang tua itu menghela napas.
"Lawan kita telah undang orang-orang kang-ouw yang sangat kenamaan," katanya.
"Percuma-cuma saja , kita akan buang jiwa jikalau kita lawan keras kepada mereka itu.
Maka, kalau nanti aku terbinasa, aku minta sukalah kamu rawat baik-baik pada soeboe,
soemoay dan soeteemu itu. Mereka semua mengandal atas tunjangan kamu beramai..."
Lantas orang tua itu mengucurkan air mata.
"Soehoe, jangan soehoe mengucapkan begitu," kata murid yang lainnya. "Ilmu silat
soehoe tinggi, hingga soehoe bis amenjagoi di kanglam, umpama kata soehoe tak dapat
memenangkan mereka, toh tidak nanti soehoe bakal kena dikalahkan. Kita terdiri dari dua
puluh lima soeheng-tee, kecuali Lo Soeko, masih ada dua puluh empat, mustahil kita tidak
sanggup lawan mereka itu? Kenapa soehoe tidak mau undang sahabat-sahabat soehoe
dipelbagai tempat, supaya mereka datang membantu?"
"Dulu dimasa muda, aku pun berdarah panas sebagai kamu," kata guru itu.
"kesudahannya, seperti kau lihat, onar menjadi begini rupa. Sekarang ini aku terserah, aku
hendak kasi diriku dibunuh mereka, untuk membayar hutang jiwa, dengan begitu urusan
menjadi beres...."
Terharu Sin Tjie dan Tjeng Tjeng dengar pembicaraan guru dan murid-muridnya itu.
"Kelihatannya Tjiauw Kong Lee ini bukan seorang jahat," memikir pemuda kita. "Mungkin
dulu dia telah berbuat salah tetapi sekarang ia sudah insaf dan menyesal...."
"Soehoe!" tiba-tiba seru seorang murid.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
"Oleh karena soehoe berkeputusan tidak hendak lawan mereka," berkata murid ini dengan
jawabannya, "marilah malam ini juga kita berangkat untuk menyingkirkan diri, sedikitnya
untuk sementara waktu..."
"Mana dapat tindakan itu diambil?" berseru seorang murid yang lainnya. "Soehoe
kenamaan, apa mungkin kita jeri terhadap musuh?"
"Apa sih kenamaan atau tidak kenamaan?" kata Tjiauw Kong Lee, orang tua itu. "Sekarang
ini aku tidak pikiri soal kenamaan lagi. Menyingkir juga tak dapat kita menyingkir untuk
selama-lamanya. Maka besok pagi, kamu semua berangkat, aku akan berdiam sendirian
disini, untuk layani mereka!"
Kedua murid itu menjadi sibuk.
"Aku suka temani soehoe!" berseru mereka.
"Apa?" berseru juga sang guru. "Selagi ancaman malapetaka mendatangi, kau tak suka
dengar perkataanku?"
Dua murid itu tunduk, mereka bungkam.
"Pergilah, kamu bantui soebo berkemas-kemas," Tjiauw Kong Lee menitah. "Juga lihat,
kereta sudah siap atau belum."
"Baik soehoe," sahut kedua murid, akan tetapi kaki mereka tidak bergerak. Mereka seperti
terpaku disitu.
Tjiauw Kong Lee awasi mereka itu, ia menghela napas pula.
"Baik, kamu suruh semua berkumpul disini!" akhirnya guru ini.
Baru setelah titah ini, kedua murid itu bertindak keluar.
Sin Tjie ajak Tjeng Tjeng segrea menyingkir kepojok yang gelap. Tapi justeru karena
menyingkir kesitu , selagi pasang mata, mereka lihat dua tubuh sedang mendekam dipojok
tembok sebelah barat. Sin Tjie mengawasi, hingga samar-samar ia kenali tubuh seperti
tubuhnya Ban Hong, sedang yang satunya lagi adalah satu tubuh langsing dengan baju
merah, hingga ia pun kenali Hoei Thian Mo-lie Soen Tiong Koen.
Jadi rupanya, setelah tadi menuju kebelakang, orang she Ban itu pergi sambut kawan
perempuan itu.
Gemas Sin Tjie apabila ia ingat ketelengasan si Hantu Wanita tadi, yang secara getas
membabat kutung sebelah lengannya Lo Lip Djie. Orang Hoa San Pay tak selayaknya
berbuat demikian bengis dan kejam. Maka mau ia memberi ajaran.
"Kau berdiam disini, aku larang kau bergerak!" pemuda ini pesan Tjeng Tjeng, dikuping
siapa ia berbisik.
Nona itu geraki tubuhnya, ia bersenyum.
"Aku justru ingin bergerak..."katanya.
Sin Tjie tidak menegur, ia malah bersenyum juga. Lantas ia menyelinap ditempat gelap itu,
ia jalan mutar, hingga ia berada di sebelah belakangnya Ban Hong dan Soen Tiong Koen.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Dua pengintai itu sedang memasang mata kedalam kamar, perhatian mereka dipusatkan,
hingga mereka tidak tahu orang membayangi mereka. Rupanya mereka tak curiga sedikit
juga.
Sin Tjie hunjukkan kegesitannya. Setelah datang dekat, dia lompat melesat kebelakang
nona Soen itu, selagi lewat, tangannya diulur, akan menyambar pedang, sehingga pedang
itu sekejab saja berpindah tangan tanpa si nona engah!
Tjeng Tjeng lihat kawannya kembali kepadanya, tapi kapan ia tampak kawan ini curi
pedangnya Soen Tiong Koen, ia tidak puas.
"Kau simpan ini!" kata Sin Tjie dengan pelahan seraya sodorkan pedang curian itu.
Melihat ini, Barulah Tjeng Tjeng girang. Ia lantas sambuti pedang itu. Kemudian berdua
mereka mengintai pula di jendela.
Selama itu, hampir beruntun, datang dua-puluh orang lebih. Karena mereka terlihat tegas,
kenyataan yang paling tua berusia kira-kira empat puluh dan yang termuda Baru belasan
tahun. Tidak salah lagi, mereka adalah murid-muridnya Tjiauw Kong Lee ini.
Sesampainya didalam kamar, semua murid itu beri hormat pada guru mereka, lantas
mereka berdiam diri, tidak ada yang buka suara.
Tjiauw Kong Lee awasi mereka semua, ia perlihatkan air muka guram.
"Dimasa mudaku, aku hidup dalam dunia Rimba Hijau," kata guru ini. "Sekarang ini tak
perlu aku umpatkan apa jua terhadap kamu semua. "
Sin Tjie pandang semua murid itu, mereka angkat kepala, tapi masih mereka berdiam saja.
Terang sudah, semua murid itu benar-benar tidak ketahui hal-ikhwal guru mereka itu.
"Sekarang musuh telah datang, ingin aku jelaskan kamu semua duduknya permusuhan,"
kata pula guru itu.
(Bersambung bab ke 11)
Lagi-lagi Tjiauw Kong Lee menghela napas.
"Sebagai orang rimba hijau, aku ambil kedudukan diatas bukit Siang Liong Kong,"
demikian ia mulai. "Pada tahun itu, pada suatu hari aku terima laporan dari beberapa
saudara pengawas tentang bakal lewatnya serombongan "minyak air" dibawah gunungku.
Itulah rombongannya bekas tootay dari Souwtjioe dan Siongkang, yang bersama
keluarganya dalam perjalanan pulang kekampung halaman mereka. Adalah kebiasaan kita
kaum rimba hijau, kita hidup dari pembegalan atau perampasan, apapula hartanya
pembesar-pembesar jahat, yang makin tak dapat dikasi hati. Laginya, dengan membegal
satu lepasan pembesar, hasilnya berlipat seratus kali daripada kita ganggu rombongan
saudagar, sedang harta mereka biasanya harta tidak halal dan pantaslah bila kita
merampasnya. Maka bulatlah tekadku untuk merampasnya. Turut keterangan lebih jelas,
bekas tootay itu ada orang she Khoe dan rombongannya bakal lewat diwaktu lohor. Apa
yang menyulitkan kita, terkabar bekas tootay itu pakai pelindung yang bukan orang
sembarangan, sebab dia adalah Bin Tjoe Yap, pemimpin Hwee Yoe Piauw Kiok dari
Tjeelam, Shoatang. Bin Tjoe Yap itu adalah kandanya Bin Tjoe Hoa ini."
Baru mendengar sampai disitu, Sin Tjie dan Tjeng Tjeng lantas saja mengerti duduknya
hal.
"Beginilah kiranya," pikir pemuda kita. "Tjiauw Kong Lee hendak merampas, Bin Tjoe Yap
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
hendak membelainya. Sebagai piauwsoe, itulah kewajibannya Bin Tjoe Yap. Rupanya
mereka telah bertempur, Bin Tjoe Yap kalah, dia mati terbunuh...."
Sembari pasang kuping, Sin Tjie juga tidak lepas mata terhadap Ban Hong dan Soen Tiong
Koen, maka itu ia dapat melihat ketika nona Soen satu kali meraba bebokongnya, dia
terperanjat karena pedangnya tak ada ditempatnya, hingga dia kaget dan berjingkrak
karenanya, segera dia memberi tanda pada Ban Hong, lantas keduanya angkat kaki dari
rumahnya si orang she Tjiauw itu.
Diam-diam Sin Tjie tertawa dalam hatinya. Ia terus mendengari :
"Bin Tjoe Yap itu, dalam kalangan kang-ouw, ada kenamaan," Tjiauw Kong Lee melanjuti.
"Dia ada satu ahli silat dari Boe Tong Pay...."
"Oh, persaudaraaan Bin itu ada dari Boe Tong Pay," Sin Tjie pikir. "Menurut soehoe, Boe
Tong Pay adalah pusat utama dari pelajaran ilmu silat pedang diseluruh negara dan
ketuanya ada punya pergaulan luas dengan lain-lain kaum persilatan. Pantas sekarang Bin
Tjoe Hoa bisa undang demikian banyak orang kosen."
"Mulanya tak berani aku segera turun tangan," Tjiauw Kong Lee bercerita pula, "malah aku
segera turun gunung untuk membikin penyelidikan sendiri. Malam itu aku mengintai
dirumah penginapan. Apa yang aku saksikan membuat perutku hendak meledak saking
gusar dan mendongkol. Diluar dugaan, Bin Tjoe Yap ada seorang yang kemaruk paras
eilok, dan dia telah incar puteri kedua dari Khoe-Tootay. Untuk ini, dia telah bersekongkol
sama Thio Tjeetjoe, pemimpin Hoei Houw Tjee. Rencana mereka adalah Thio Tjeetjoe akan
turun tangan didekat Hoei Houw Tjee, selagi perampasan dilakukan, Bin Tjoe Yap nanti
berpura-pura melakukan perlawanan, tapi dia akan berpura-pura kalah , supaya Thio
Tjeetjoe dapat binasakan Khoe Tootay sekeluarga kecuali gadisnya yang kedua itu, yang
mesti dirampas bersama semua hartanya. Setelah itu, Bin Tjoe Yap akan berpura-pura
berlaku nekat, untuk tolong nona Khoe itu. Apabila si nona sudah dapat ditolong, kata Bin
Tjoe Yap, dia pasti jadi sebatang kara, tidak ada pelindungnya lagi, hingga ia percaya,
nona itu akan berhutang budi padanya dan nanti suka serahkan diri untuk menjadi
isterinya. Thio Tjeetjoe bersedia melakukan rencana itu, karena ia pun temahai hartanya
tootay itu. Aku dengar semua itu, aku gusar, lantas aku pulang, untuk ajak sekalian
saudara bersiap didekat Hoei Houw Tjee, guna rintangi rencana itu. Benarlah, pada jam
yang disebutkan, rombongan Khoe Tootay sampai di jalanan gunung bagian kiri dari Hoei
Houw Tjee, sarangnya Thio Tjeetjoe itu."
"Ah, inilah lain," pikir Sin Tjie. Tadinya ia menduga, begal dan piauwsoe perebuti harta
saja. Ia mendengari terus :
"Waktu itu tak dapat aku sabarkan diri," kata Tjiauw Kong Lee yang melanjuti. "Aku
junjung pantang kita kaum Rimba Hijau mengenai soal paras eilok. Kita boleh buntu jalan,
kita boleh menjadi begal, tapi kita tetap mesti jadi satu laki-laki, tidak demikian ada Bin
Tjoe Yap. Kenapa dia jadi begitu hina, sedang dia ada satu piauwsoe? Sebagai piauwsoe,
dia menyalahi tugas, dia bikin turun derajatnya, dan sebagai orang gagah, dia perhina
martabat sendiri! Segera setelah munculnya rombongan Khoe Tootay, Thio Tjeetjoe dan
laskarnya pun keluar, dengan banyak berisik, mereka mengancam hendak membegal. Bin
Tjoe Yap maju kemuka, dengan tingkahnya yang tengik, ia berlagak hendak melindungi
keluarga Khoe itu. Aku habis sabar, tidak tunggu sampai mereka lanjuti sandiwara mereka,
aku keluar dari tempat tersembunyi. Adalah maksudku untuk cegah kejadian busuk itu,
akan tetapi kita kedua pihak tak mendapat kecocokan, hingga kita jadi bentrok. Dengan
pedangnya, Bin Tjoe Yap benar-benar liehay, untungnya bagiku, dia sedang gusar dan
kalap, dia seperti tak dapat kendalikan diri, maka kebetulan aku dapat ketika, aku telah
kena bacok dia sehingga dia binasa...."
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
"Soehoe, manusia keji semacam dia pantas dibinasakan!" berseru satu murid, yang
potong omongan gurunya. "Kenapa kita mesti jeri? Kalau besok mereka datang, kita
bongkar rahasianya Bin Tjoe Yap ini, umpama dia norek hendak menuntut balas juga,
mustahil diantara rombongannya tidak ada orang-orang yang jujur ?"
"Kau benar," Sin Tjie kata dalam hatinya, mendengar kata-katanya murid itu. "Umpama
benar keterangannya orang she Tjiauw ini, dia pantas dihargai. Aku kuatir masih ada lain
urusan lagi diantara mereka itu...."
Tjiauw Kong Lee menghela napas pula sebelum ia menutur lebih jauh.
"Setelah membinasakan Bin Tjoe Yap, aku menginsyafi bahaya yang bakal ancam aku,"
demikian guru itu. "Gurunya Bin Tjoe Yap ada Oey Bok Toodjin, bersama guru ini ada
banyak saudara-saudaranya seperguruan, diaorang itu tentunya tidak mau mengerti dan
bakal menuntut balas. Bagaimana aku sanggup lawan mereka semua? Beruntung untuk
aku, saudara-saudaraku dapat pengaruhi Thio Tjeetjoe, lantas aku paksa dia untuk
menulis surat keterangan yang menuturkan persekutuan mereka, bahwa maksud Bin Tjoe
Yap ada untuk ganggu nona Khoe itu. Thio Tjeetjoe telah tulis surat pengakuannya itu."
"Khoe Tootay merasa sangat bersyukur yang aku telah tolongi dia, dia sampai menulis
sehelai kertas dalam mana ia juga tuturkan dengan jelas duduknya perkara itu, untuk
mana dia paksa dua piauwsoe dari Hwee Yoe Piauw Kok bubuhkan tanda-tangannya,
untuk menguatkan surat keterangan itu. Kedua piauwsoe itu tidak tahu maksudnya Bin
Tjoe Yap, mereka tidak mendendam sakit hati padaku, sebaliknya, mereka bersyukur,
karena kalau tidak, tentu nama mereka akan turut bercacat. Karenanya, kita menjadi
sahabat-sahabat. Karena kejadian itu, tak dapat aku terus menduduki Siang Liong Kong,
terpaksa aku membubarkan diri, kemudian dengan bawa itu dua surat bukti, aku pergi ke
Boe Tong San, untuk menemui Oey Bok Toodjin, guna jelaskan duduknya hal."
"Diluar dugaanku, pihak Boe Tong Pay telah terlebih siang mendengar kabar perihal
kebinasaannya Bin Tjoe Yap, mereka telah berpapasan denganku selagi aku Baru ditengah
perjalanan. Mereka berniat ganggu aku, baiknya aku dapat pertolongan seorang kang-ouw
yang luar biasa, siapa terus antar aku naik ke Boe Tong San hingga aku dapat menemui
Oey Bok Toodjin. Dibantu oleh penolong itu, aku ceritakan duduknya kejadian. Oey Bok
Toodjin ada seorang jujur, ia suka percaya keteranganku, maka ia larang murid-muridnya
musuhkan aku. Akan tetapi, untuk nama baiknya Boe Tong Pay, ia kehendaki aku jangan
uwarkan hal itu kepada umum. Aku berikan janjiku. Maka setelah turun gunung, terus aku
tutup mulut. Inilah sebabnya kenapa hampir tidak ada orang kang-ouw yang ketahui
rahasia itu. Pada waktu itu, Bin Tjoe Hoa masih kecil. Aku percaya, dia pun tidak tahu halihwalnya
engko itu."
"Apakah kedua surat keterangan itu masih ada, soehoe?" tanya satu murid.
"Justru kedua surat itu yang membuat sulit padaku," sahut sang guru. "Duduknya begini:
Pertama-tama aku mesti sesalkan mataku, yang seperti buta, hingga aku tak dapat kenali
wajah manusia. Baru pada musim rontok tahun yang lalu, satu sahabat menyampaikan
berita kepadaku bahwa adiknya Bin Tjoe Yap sudah rampungkan pelajaran silatnya, bahwa
adik ini, mengetahu kandanya binasa ditangan aku, dia hendak cari aku untuk menuntut
balas. Tentu saja, aku lantas berdaya untuk selamatkan diriku. Turut penyelidikanku, Tiang
Pek Sam Eng bersahabat rapat dengan Bin Tjoe Hoa itu. Tiga jago dari Tiang Pek San itu
ada kenalanku untuk banyak tahun, kami bersahabat rapat, cuma sudah belasan tahun,
kami tak bertemu satu sama lain. Aku masih ingat bagaimana diwaktu muda kami bekerja
dan hidup bersama dalam dunia Rimba Hijau, maka itu, ingin aku minta perantaraannya.
Demikian, aku telah berangkat mencari Tiang Pek Sam Eng...."
Salah satu murid menyelak: "Jadi ketika tahun lalu soehoe pergi ke Liauwtong, hingga
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
seantero tahun Soehoe tidak berada di rumah, sebenarnya soehoe lagi urus perkara ini?"
"Benar," Tjiauw Kong Lee manggut. "Aku telah pergi ke Liauwtong untuk cari Tiang Pek
Sam Eng dirumahnya. Ketika itu adalah akhir tahun, hawa udara sangat dingin, aku duga
dua saudara Soe mesti berada dirumahnya. Tidak kebetulan untuk aku, aku tidak lantas
dapat menemui kedua saudara itu. Turut keterangan orang dirumahnya, mereka kebetulan
dipanggil oleh Kioe Ong-ya di Kian-tjioe-wie. Tapi sudah telanjur, terpaksa aku
menantikan. Selang beberapa hari Soe Peng Kong dan Soe Peng Boen Barulah pulang.
Bukan main girangku bertemu sama sahabat-sahabat lama, demikian juga dua saudara
itu."
"Tidak ayal lagi, aku tuturkan maksud kedatanganku. Untuk itu, perlu aku jelaskan
duduknya permusuhanku dengan keluarga Bin itu. Soe Peng Kong berjanji suka menolong
aku, malah ia bertepuk dada memastikan urusan bakal beres. Karenanya, aku serahkan dia
dua surat keterangan itu. Peng Kong bilang, kedua surat itu perlu diperlihatkan kepada Bin
Tjoe Hoa. Ia malah kata, pabila Tjoe Hoa sudah lihat surat-surat itu, tidak nanti dia punya
muka untuk menuntut balas lebih jauh, mungkin dia akan minta orang perantaraan untuk
menghaturkan maaf padaku, serta untuk mohon agar aku tidak siarkan cerita kebusukan
kakaknya itu. Alasannya Peng Kong itu masuk diakal, aku percaya padanya."
"Dua saudara itu layani aku dengan telaten dan gembira sekali, hingga aku suka berdiam
lamaan dirumahnya. Aku pun sedang punyakan tempo terluang. Setiap hari kami pergi
berburu atau pergi menonton wayang. Kemudian pada suatu hari, Peng Kong omong
kepadaku bahwa bintangnya kerajaan Beng sudah guram, selagi kami mempunyai
kepandaian silat, kenapa kami tidak mau mencari junjungan baru, katanya. Dia hunjuk,
kami bakal peroleh pangkat besar, anak-isteri hidup mewah dan agung. Tidakkah kami
bakal jadi menteri pendiri kerajaan? Aku tercengang mendengar ajakan itu. Aku tanya apa
kami bakal pergi menghamba kepada Giam Ong ? Peng Kong tertawakan aku, dia bilang
Giam Ong adalah berandal rumput dan tidak bakal peroleh kemajuan. Dia lalu
menjebutkan kerajaan Boan, yang katanya angkatan perangnya kuat, rangsumnya banyak,
bahwa bangsa asing itu bakal segera datang menyerbu. Dia kata, kalau aku suka terima
ajakannya, dia dua saudara bakal pujikan aku kepada Kioe Ongya, supaya aku diterima
bekerja. Mendengar itu, tiba-tiba saja aku jadi gusar, hingga aku tegur mereka, mereka
sebenarnya bangsa apa, kenapa sebagai cucu Oey Tee, mereka suka menjadi kacung
bangsa asing! Aku katakan, apa dengan begitu kami tidak akan jadi cucu yang berdosa
besar dan setelah mati, mana kami ada muka untuk bertemu dengan leluhur kita?"
Mendengar ini, Sin Tjie manggut-manggut sendirinya.
"Dia seorang cerdas, dia dapat bedakan yang benar dan tidak benar," pikirnya. Maka ia
kagumi orang she Tjiauw ini.
"Untuk sementara itu, kami bentrok," Tjiauw Kong Lee melanjutkan penuturannya itu. "Di
hari kedua, kami baik pula seperti biasa dan mereka berdua kembali berlaku ramah-tamah
dan perlu. Peng Kong akui kemarin ia sinting, tak tahu dia, dia sudah ngoceh apa, dia
minta aku tidak buat pikiran. Kami adalah sahabat-sahabat dari belasan tahun, tentu saja
urusan demikian dapat kami bikin habis. Lagi belasan hari aku berdiam di Liauwtong, Baru
aku pulang."
"Benar-benar aku tidak sangka, dua saudara Soe itu adalah dua ekor srigala atau anjing!
Teranglah, bukan mereka pergi pada Bin Tjoe Hoa untuk akuri kita, mereka justru ciptakan
gelombang, mereka sengaja ogok orang she Bin itu, hingga Bin Tjoe Hoa bersiap sedia
untuk satroni aku. Selama setengah tahun, aku masih belum ketahui rahasianya dua
saudara Soe itu, sampai sekarang ini, mereka muncul dengan mendadakan dikota
Lamkhia ini, malah Bin Tjoe Hoa telah undang orang-orang liehay untuk bantu dia. Aku
percaya, dua surat keterangan itu tentu masih berada pada dua saudara Soe itu. Sudah
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
berselang banyak tahun sejak kejadian itu, maka sekarang ini, mereka yang menjadi saksi,
yang ketahui perkara, tentu sudah menutup mata atau entah dimana tinggalnya mereka
sekarang apabila mereka masih hidup. Tanpa bukti dan saksi, bagaimana aku bisa bela
diri? Tentu sekali, Bin Tjoe Hoa tidak nanti percaya aku. Malah mungkin, dia bakal jadi
semakin gusar dan akan tuduh aku mengarang cerita untuk fitnah kandanya itu. Aku heran
sikapnya dua saudara Soe itu. Kami toh bersahabat kekal, umpama mereka ingat
bentrokan, tapi kami sudah baik pula. Kenapa sekarang mereka datang bersama Bin Tjoe
Hoa ? Aku duga mereka semua ingin tumpas pihakku."
Mendengar keterangan itu, dua puluh empat muridnya Tjiau Kong Lee jadi sangat gusar,
gusar terutama terhadap dua saudara Soe, sehingga ingin diaorang tempur mereka itu.
"Sabar," Tjiauw Kong Lee bilang. "Sekarang pergi kamu undurkan diri. Ingat, apa yang aku
terangkan kepada kamu ini, jangan kamu bikin bocor. Saking terpaksa saja, aku telah buka
rahasia ini kepada kamu semua. Aku sudah berjanji sama Oey Bok Toodjin, untuk tutup
rahasianya Bin Tjoe Yap, aku hendak menetapkan janji. Lebih suka aku merekalah yang
tak berkepantasan daripada aku yang menyalahi janji!" ia menghela napas. "Pergi kamu
panggil soemoay dan soeteemu!"
Dengan wajah masih gusar, murid-murid itu pergi keluar. Tapi menyusul keluarnya
mereka, moielie lantas tersingkap pula dan sekarang datangnya satu nona umur enam
atau tujuh belas tahun serta satu bocah usia delapan atau sembilan tahun.
Si nona bercucuran air mata, ia berseru memanggil "Ayah!" lantas ia tubruk Tjiauw Kong
Lee.
Ayah itu usap-usap rambut gadisnya, untuk sekian lama, ia tak dapat bicara. Si anak
sendiri telah menangis sesenggukan.
Si bocah mengawasi dengan pentang mata lebar-lebar, tak tahu ia kenapa encienya itu
menangis.
"Apakah ibumu telah siapkan segala apa?" Kong Lee tanya kemudian.
Nona itu tidak menjawab, ia cuma manggut.
"Jikalau nanti adikmu tambah usianya, kau baik-baik ajari dia bersekolah dan meluku,"
kata ayah itu pula. "Tetapi ingat, jangan perkenankan dia turut dalam ujian untuk
memperoleh pangkat. Juga jangan kau ajarkan pula dia ilmu silat."
"Adik justeru perlu belajar ilmu silat, supaya dibelakang hari dia dapat menuntut balas,"
kata si nona.
"Ngaco!" Kong Lee membentak. "Apakah kau hendak gaduh aku hingga aku mati gusar!"
Tapi cuma sedetik saja, dia melanjuti dengan sabar : "Didalam Rimba Persilatan, saling
mendendam dan saling membalas, entah sampai kapan habisnya! Maka itu tak ada lebih
baik daripada menjadi rakyat jelata yang lurus dan damai selama hidup kita. Dasarnya
adikmu tidak sempurna, jikalau dia belajar silat, tidak nanti dia mendapat kepandaian yang
berarti, tidak separuh dari semua kepandaianku. Lihat contohnya aku sendiri, aku telah
terdesak begini rupa, sehingga aku tidak bakal akhirkan usiaku secara damai. ....Ah, tak
dapat aku tunggu kau hingga kau berumah-tangga, ini adalah ganjalan untuk
hatiku....Pergi kau beritahukan mereka semua, setelah aku mati nanti, urusan Kim Liong
Pang kita baik semuanya diserahkan kepada Kho Siokhoemu yang menjadi Hoe-pangtjoe,
biar mereka semua dengar titahnya...."
Sin Tjie heran.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
"Aku dengar Kim Liong Pang adalah satu partai besar diwilayah Kanglam ini, siapa tahu,
Tjiauw Kong Lee adalah yang menjadi pangtjoe, ketua. Mereka beranggauta banyak dan
besar pengaruhnya, kenapa sekarang Tjiauw Kong lee bersikap begini lemah? Benarbenar
aneh!"
"Sekarang aku pergi cari Kho Siokhoe," berkata si nona.
"He, kenapa kau masih tidak ketahui sikapku?" sang ayah menegur. "Pamanmu itu
bertabeat keras, jikalau dia datang dan ketahui urusanku ini, apa kau anggap dia mau
sudah saja orang perhina aku begini rupa? Satu kali dia datang, perang bakal segera
terbit, entah berapa banyak jiwa akan melayang! Diumpamakan aku ketolongan, luput dari
bahaya kematian, akan tetapi karena itu, mungkin beberapa ratus saudara kita bakal
terbinasa, apabila sampai terjadi demikian, mana bisa hatiku tenang? Tidak, aku tidak
tega! Hayolah kau lekas pergi!"
Nona itu menangis, tapi ia paykoei kepada ayahnya dua kali, sesudah mana, ia tuntun
tangan adiknya, untuk diajak pergi. Ketika ia sampai dipintu, tiba-tiba ia berhenti dan
menoleh.
"Ayah!" katanya. "Apa mungkin, kecuali dari mati, tidak ada jalan yang kedua untuk
menghindarinya?"
"Tentang itu aku telah pikirkan selama beberapa hari dan malam," sahut sang ayah.
"Apakah aku tidak bakal bergirang andaikata bisa aku terluput daripada kematian?
Didalam dunia ini, cuma ada satu orang yang bisa tolong aku, akan tetapi orang itu
kebanyakan sudah tidak berada lagi didalam dunia..."
Kong Lee menghela napas pula.
Wajahnya si nona bercahaya dengan tiba-tiba, ia hampirkan ayahnya dua tindak.
"Ayah, siapakah orang itu?" tanyanya." Siapa tahu kalau-kalau dia belum meninggal
dunia...."
"Dia orang she Hee," sahut ayah itu. "gelarannya ialah Kim Coa Long-koen."
Selagi gadisnya masih berdiam, Tjiauw Kong Lee menambahkan: "Dialah orang yang aku
maksudkan si orang kang-ouw yang luar biasa. Dialah juga yang ketahui jelas perkaraku
dengan Bin Tjoe Yap. Ketika dulu dua-belas murid kepala dari Boe Tong Pay hendak
ganggu aku, dialah yang sendirian saja mundurkan jago Boe Tong San, untuk tuturkan
duduknya hal, hingga perkara jadi dapat dibikin habis. Sekarang ini Oey Bok Toodjin
sudah meninggal dunia dan Kim Coa Long-koen sendiri katanya pada belasan tahun telah
orang aniaya hingga sekarang dia pun tak berada dalam dunia lagi. Coba dia masih
hidup....Ah, sudahlah, pergilah kamu....."
Dengan sangat berduka, si nona berlalu.
Sin Tjie beri tanda pada Tjeng Tjeng, mereka tinggalkan jendela, untuk kuntit nona Tjiauw
itu, kapan mereka telah sampai ditaman bunga, dimana tidak ada lain orang, mendadakan
pemuda kita berlompat, akan lombai nona itu, untuk berdiri didepannya.
"Nona Tjiauw, mau atau tidak kau tolongi ayahmu?" tanya ia secara mendadakan.
Nona itu terkejut, hingga ia melengak, atau segera ia hunus pedangnya.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
"Siapa kau?" ia membentak.
"Jikalau kau hendak tolong ayahmu, mari ikut aku!" kata Sin Tjie, yang tidak jawab teguran
orang. Lantas dengan satu loncatan tinggi dan jauh, dengan "It Hoo Tjiong Thian" ia
mencelat untuk lewati tembok pekarangan.
Tjeng Tjeng, yang berdiam saja, telad contoh kawannya itu.
Nona Tjiauw kembali melengak, terutama ia tidak sangka orang itu demikian liehay ilmu
entengkan tubuh, maka kemudian, tanpa ayal lagi, ia pergi susul mereka. Ia telah
mengubar sejurus tempo ia lihat orang masih terus lari keras, hingga ia bersangsi dan
hentikan tindakannya, lantas ia memutar tubuh, untuk pulang. Tapi Baru ia berbalik,
mendadak ia rasakan sampokan angin dipinggangnya, tali pedang dipinggangnya kendor
dan terlepas, menyusul mana, ia pun rasakan sebelah tangannya sesemutan, cekalannya
lepas sendirinya, hingga dilain saat pedangnya sudah terampas orang yang ia tak kenal
itu.
Sin Tjie pun sudah lantas berdiri didepan nona ini.
Bukan main kaget dan herannya nona Tjiauw.
"Jangan takut, nona," Sin Tjie berkata. "Jikalau ada niatku mencelakai kau, aku dapat
lakukan itu secara gampang sekali. Aku ada sahabat dari keluargamu, maka kau mesti
dengar perkataanku apa yang aku bilang!"
Nona itu manggut, tapi Sin Tjie lihat orang masih ragu-ragu.
"Ayahmu sedang terancam bahaya maut, kau berani tidak menempuh bahaya untuk tolong
dia?" Sin Tjie tanya. Ia tidak perduli orang bersangsi atau curiga.
"Asal ayah dapat tertolong, walaupun tubuhku hancur-lebur, aku membelainya," kata si
nona kemudian.
"Ayahmu itu seorang baik," Sin Tjie bilang. "Dia lebih suka korbankan diri sendiri daripada
mesti lakukan pertempuran besar yang bakal meminta banyak korban. Orang semacam
dia, langka, dari itu aku suka bantu dia. Aku pastikan ini!"
Melihat sikap orang dan mendengar perkataannya, nona Tjiauw tidak bersangsi lagi, malah
ia lantas tekuk lututnya, untuk paykoei.
"Jangan nona!" Sin Tjie mencegah. "Perlu aku jelaskan padamu, walau begini, aku tidak
merasa pasti kita bakal berhasil atau tidak."
Nona Tjiauw itu tidak dapat tekuk lutut, lengannya dicekal si anak muda, ia merasai satu
tenaga yang besar, hingga tubuhnya seperti terangkat naik. Karena ini, semakin kuatlah
kepercayaannya.
"Sekarang mari ajak kami ke kamar tulis," Sin Tjie minta. "Disana aku hendak menulis
sepucuk surat untuk ayahmu."
"Sebenarnya siapa djiewie berdua?" tanya nona Tjiauw. "Apa tidak lebih baik djiewie
bicara langsung sama ayah?"
"Kita pasti bekerja cepat," Sin Tjie bilang. "Kapan sebentar ayahmu baca suratku, tidak
nanti dia berputus asa terus, tidak nanti dia hendak cari kematiannya pula! Kita tak boleh
ayal-ayalan, inilah tindakan yang pertama."
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Entah bagaimana, Nona Tjiauw lantas saja mempercayai habis.
"Kalau begitu djiewie, marilah!" ia mengundang.
"Inilah rahasia," Sin Tjie peringati." Kecuali kau sendiri, lain orang tak boleh lihat kita!"
Nona itu manggut.
Bertiga mereka loncati tembok pekarangan, untuk masuk kedalam. Nona rumah ajak
kedua tetamunya kedalam sebuah kamar yang kecil dimana ia keluarkan kertas dan pit, ia
gosoki juga baknya. Kemudian ia mundur, akan duduk disedikit jauh.
Sin Tjie sudah lantas menulis.
Tjeng Tjeng berada didampingnya kawan ini, melihat "surat" yang ditulis Sin Tjie ia
terperanjat.
Sin Tjie lipat surat itu, untuk dimasuki kedalam sampul, yang ia tutup rapat.
"Besok pagi tepat jam sin-sie," ia pesan si nona, "kau pergi ke hotel Hin Liong kamar no.3
huruf Oey, disana aku nanti tunggui kau."
Nona Tjiauw manggut.
Sekarang Sin Tjie serahkan suratnya.
"Sampaikan surat ini segera pada ayahmu," ia kasi tahu. "Tapi kau mesti janji satu hal
kepadaku."
"Aku nanti turut pesanmu," sahut si nona.
"Tidak perduli apa yang ayahmu tanyakan, terutama jangan kau beritahu dia tentang
roman dan usiaku!" pesan pemuda kita.
Nona Tjiauw heran sekali.
"Kenapa begitu?" tanyanya.
"Asal kau beritahu, tak dapat aku bantu kau!" ada jawaban si anak muda.
Nona itu melengak tapi ia lantas manggut.
"Baik, aku turut kau," jawabnya.
Sin Tjie tarik tangannya Tjeng Tjeng.
"Sudah cukup, mari kita pergi!"
Nona Tjiauw lihat orang berlompat keluar pekarangan, gesitnya bagaikan burung terbang,
hingga kembali ia jadi kagum. Tapi ia beragu-ragu ketika ia berlari-lari kekamar ayahnya,
yang pintunya sudah ditutup. Ia coba menolaknya dengan sekuat tenaga, tidak ada
hasilnya. Ia jadi heran dan kuatir. Ia lari ke jendela, dengan satu toyoran, ia bikin daun
jendela menjeblak terbuka, terus saja ia berloncat masuk, justru ayahnya lagi bawa satu
cawan kebibirnya.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
"Ayah!" berseu gadis ini, yang kaget tak terkira. Ia bisa duga perbuatannya ayah itu.
"Ayah, lihat ini dulu!"
Tjiauw Kong Lee menunda cawannya, ia mengawasi dengan mendelong.
Nona itu buka sampul surat, ia sodorkan suratnya kepada ayahnya itu.
"Baca ini, ayah!" kata dia.
Kong Lee tidak lihat surat hanya lukisan serupa pedang. Dengan mendadakan saja,
cawannya terlepas dari cekalannya, sehingga cawan itu jatuh kelantai dan hancur
bergomprangan!
Si nona kaget sehingga ia berjingkrak. Tapi segera ia tampak perubahan air mukanya
ayahnya itu, yang dari duka dan suram mendadakan jadi bercahaya kegirangan.
"Dari mana datangnya surat ini?" ayah itu tanya, kedua tangannya bergemetar. "Siapa
berikan ini padaku? Apakah dia sendiri yang datang? Ah, apakah benar-benar dia telah
datang?"
Nona itu tidak lantas jawab ayahnya, ia hanya mendekati, untuk turut lihat bunyinya surat.
Ia pun tidak lihat lain daripada gambarnya sebatang pedang yang panjang, yang romannya
luar biasa, pedang berkepala ular-ularan, lidahnya bercabang dua bagaikan cagak. Ia tidak
mengerti, pedang itu ada punya khasiat apa hingga ayahnya mendadakan jadi demikian
girang.
"Ayah, apakah ini?" akhirnya dia balik tanya ayah itu.
"Asal dia datang, jiwa tua dari ayahmu akan ketolongan!" berkata ayah itu. "Apakah kau
telah bertemu dengannya?"
Masih si anak dara heran.
"Dia siapa, ayah?" tegasinya.
"Dia yang melukiskan gambar pedang ini?" sahut ayah itu.
Baru sekarang gadis itu manggut.
"Dia pesan aku akan besok pergi cari dia ditempatnya," ia terangkan.
"Apakah dia tidak bilang bahwa aku pun perlu turut bersama?"
"Dia tidak bilang itu."
"Orang gagah luar biasa itu memang aneh perangainya," Kong Lee bilang. "Siapa juga
mesti dengar perkataannya. Maka pergilah besok kau seorang diri!....Ah sedetik saja kau
terlambat datang ayah akan sudah tidak dapat lihat pula padamu..."
Nona Tjiauw terkejut. Sekarang ia ingat cawan yang ayahnya bawa kemulutnya. Jadi itulah
cawan berisikan racun. Lantas saja ia ambil sesapu, akan sapui pecahan cawan, akan
keringkan racunnya.
"Sekarang baik ayah tidur," kata ia, yang terus layani orang tua itu.
Sebentar kemudian nyonya Tjiauw dan semua muridnya Kong Lee dengar kabar yang
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
melegakan hati itu, semuanya bergirang, walau mereka masih belum pasti, "tuan
penolong" itu akan berhasil atau tidak menolong mereka. Tapi mengingat ketua Kim Liong
Pang itu berlega hati, mereka mau percaya ancaman bahaya sudah dapat diredakan.
Karena ini batallah orang menyingkir pergi dan bubaran....
Ketika itu, Sin Tjie dan Tjeng Tjeng sudah berlalu dari rumahnya Tjiauw Kong Lee.
"Kau melukis pedang, apakah artinya itu?" Tjeng Tjeng tanya.
"Apakah kau telah tidak dengar sendiri?" Sin Tjie baliki. "Dia sendiri bilang, didalam dunia
ini, asal ayahmu datang, jiwanya bakal ketolongan. Gambar pedang itu adalah gambarnya
Kim Coa Kiam kepunyaan ayahmu."
Tjeng Tjeng manggut, tetapi ia berdiam.
"Kenapa kau hendak tolongi dia?" sesaat kemudian ia tanya.
"Aku lihat Tjiauw Kong Lee itu seorang baik," jawab Sin Tjie. "Dia telah dibikin celaka oleh
sahabatnya yang busuk. Apa mungkin kita melihat kematian dan tak menolongnya?
Apalagi dia adalah sahabatnya ayahmu."
"Ah, aku menyangka kau melihat gadisnya cantik, jadi kau hendak menolong dia...." Kata
si nona.
"Adik Tjeng, kau pandang aku orang macam apa?" Sin Tjie gusar.
"Oh, oh, jangan gusar!" Tjeng Tjeng tertawa. "Kenapa dan kau suruh gadis orang datang
kehotel kita untuk cari padamu?"
Mau atau tidak, si anak muda turut tertawa.
"Matamu picik, tak tahu aku bagaimana harus mengobatinya," katanya.
"Hayo sudah, mari turut aku!"
"Hm!" si nona bersuara tetapi kembali dia tertawa. Ia lari keras kearah barat, untuk
menyusul.
Sin Tjie tahu tenaganya nona itu, ia sengaja lari sedang-sedang saja, untuk bikin mereka
lari berendeng.
Mereka berlari-lari tidak seberapa lama, sampailah mereka dirumah Bin Tjoe Hoa.
Sin Tjie tarik tangan si nona, untuk ajak dia lompati tembok pekarangan, buat masuk
kesebelah dalam. Dipojok tembok, mereka umpetkan diri.
"Didalam rumah ini banyak sekali orang-orang liehay, asal mereka dapat pergoki kita,
gagallah usaha kita," Sin Tjie bisiki kawannya.
"Jikalau kau hendak bantui nona cantik itu, aku tidak ijinkan!" kata Tjeng Tjeng tapi sambil
tertawa. "Sebaliknya, aku nanti mengacau, aku nanti berteriak-teriak, berkaok-kaok!"
Sin Tjie tertawa, dia tak memperdulikannya.
Keduanya mendekam sekian lama, apabila mereka dapati suasana tetap sunyi, mereka
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
bertindak maju dengan pelahan-lahan. Kebetulan sekali untuk mereka, satu bujang lelaki
melintas sendirian, dengan tiba-tiba saja dia itu dibekuk seraya diancam untuk tutup
mulut.
"Dimana kamarnya tetamu-tetamu she Soe?" Sin Tjie tanya.
Bujang itu ketakutan, ia berikan keterangannya.
"Baik, kau tunggu disini," Sin Tjie bilang. Ia totok urat gagu orang itu habis dia
melemparkannya ketempat pepohonan yang lebat.
Dengan hati-hati, mereka cari kamarnya dua saudara Soe. Langsung mereka menuju ke
jendela. Dengan pakai tenaganya tetapi pun dengan hati-hati, Sin Tjie bongkar daun
jendela. Ia bisa bekerja tanpa menerbitkan suara, setelah mana, ia loncat masuk.
Tjeng Tjeng pun turut masuk.
Peng Kong dan Peng Boen liehay, mereka sedang tidur tapi mereka segera mendusi.
Celakanya untuk mereka, mereka kalah sebat, Baru mereka hendak menegur, jari
tangannya Sin Tjie sudah menotok jalan darah mereka sehingga mereka jadi mati daya.
Begitulah mereka cuma bisa lihat, api dinyalakan, orang merogo kebawah bantal mereka.
Sin Tjie rasai tangannya membentur benda dingin, ia tahu, itulah senjata tajam, maka itu,
berdua mereka lantas geledah latji dan lemari. Mereka dapati beberapa potong pakaian
dan uang, juga senjata rahasia. Masih mereka mencari terus tatkala mereka dengar
tindakan kaki diluar kamar. Maka lekas-lekas Sin Tjie tiup padam apinya.
Didalam gelap mereka mencari terus, malah Sin Tjie geledah saku bajunya orang itu.
Untuk kegirangannya, ia dapati segumpal kertas. Ia ambil semua itu, yang ia masukkan
kedalam sakunya.
"Sudah dapat!" ia bisiki Tjeng Tjeng.
"Mari kita pergi," mengajak si nona. "Rupanya diluar ada orang."
"Tunggu sebentar," sahut Sin Tjie, yang lantas meraba ke meja dengan jeriji tangannya
yang kanan.
Nyatalah, dengan jeriji tangan, ia menulis enam huruf besar yang berarti: "Hormat dari
adikmu Tjiauw Kong Lee". Ia menekan keras, enam huruf itu melesak seperti pahatan pada
batu!
Dengan loncati pula jendela, dua kawan ini berlalu dari dalam kamarnya dua saudara Soe
itu. Cuaca diluar ada gelap seperti tadinya.
Sekonyong-konyong ada angin berkesiur, lalu sebatang pedang menyambar kearah si
pemuda. Sin Tjie tidak lompat, tanpa kelit ia ulur tangan kirinya, untuk memapaki, cekal
lengannya si penyerang. Tapi penyerang itu sebat sekali, ujung pedangnya mendahului
mengenai ulu hati. Sin Tjie tidak takut, karena ia pakai baju kaos mustika Bhok Siang
Toodjin, ia tidak terluka sedikit juga.
Penjerang itu terperanjat apabila ia rasai ujung pedangnya mengenai barang yang empuk,
ia pun kaget akan rasai lengannya tercengkeram lima jari tangan yang kuat bagaikan sepit
besi, sedang dilain pihak, satu tamparan menyambar kearah mukanya. Dia lekas berontak
sambil berkelit, tapi pedangnya sudah kena terampas. Dalam kagetnya, dia loncat mundur,
terus dia kabur.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Penyerang gelap ini ada Twie-hong-kiam Ban Hong. Dia telah dapat tugas dari Bin Tjoe
Hoa, untuk intai Tjiauw Kong Lee, ia pergi seorang diri. Tapi Hoei Thian Mo-lie Soen Tiong
Koen juga pergi dengan diam-diam, untuk turut mengintai, maka itu, mereka jadi bekerja
sama-sama. Mereka sedang memasang mata ketika tanpa ketahuan lagi, pedangnya nona
Soen disambar Sin Tjie. Mereka kaget, meski mereka tahu, pihak pencuri itu tidak
bermaksud jahat. Coba mereka dibokong, tentu celakalah mereka. Karena ini, keduanya
lantas kabur pulang.
Ban Hong mendongkol bukan main, ia malu sekali, sebab Baru saja keluar, Baru
melakukan pengintaian, orang telah rubuhkan dia. Dan Soen Tiong Koen lebih-lebih
mendongkolnya, nona ini gusar sekali, sebab pedangnya hilang.
Twie-hong-kiam tidak dapat tidur, maka itu, ia pergi keluar kamarnya, untuk mencari angin,
guna legakan pikiran. Tiba-tiba ia lihat api berkelebat didalam kamarnya dua saudara Soe.
Ia kenali, api apa adanya itu. Ia lantas menghampirkan, ia sembunyi diluar jendela, untuk
serang dengan mendadakan pada orang didalam itu sebentar selagi dia keluar. Ia percaya,
dengan satu gebrak saja, ia bakal berhasil. Tapi ia gagal, malah ia dapat malu, karena
pedangnya pun kena dirampas.
Didalam partai Tiam Tjhong Pay, Ban Hong adalah yang paling liehay untuk ilmu
pedangnya Twie-hong-kiam yang semuanya terdiri dari enam puluh empat jurus, hingga di
Selatan, ia sangat dimalui. Didalam ilmu silat, malah dia melebihi toasoehengnya Liong Tit
yang menjadi tjiang-boen-djin, ahliwaris partainya. Sekarang ia menghadapi orang yang
tidak mempan senjata, ia sampai mau menduga apa ia sedang layani hantu.
Tidak ayal lagi, ia bertepuk tangan keras-keras untuk memberi tanda kepada kawankawannya.
Sin Tjei dan Tjeng Tjeng tinggalkan si penyerang yang kabur setelah anak muda itu
berhasil selamatkan diri dari penyerangan gelap, mereka loncati tembok untuk menyingkir,
tapi mereka segera dengar tepukan tangan riuh di empat penjuru, tandanya orang-orang
kaumnya Bin Tjoe Hoa sudah bergerak.
"Mari kita sembunyi," Sin Tjie ajak kawannya. Ia tidak mau berlaku semberono ditempat
dimana ada berkumpul banyak orang liehay itu. Mereka lantas mendekam dikaki tembok.
Diatas genteng segeralah terdengar suara kaki dari orang-orang yang mundar-mandir.
"Eh, apakah ini?" kata Tjeng Tjeng kepada kawannya. "Coba kau raba!"
Ia pegang tangannya Sin Tjie, untuk dibawa ketempat yang ia suruhnya meraba.
Sin Tjie raba kaki tembok, yang sudah penuh lumut. Ia kena pegang batu yang berlobang
disana-sini, seperti ukiran. Ia mengusut-usut dengan ikuti jalannya ukiran itu.
"Inilah huruf Tee," pikirnya. Ia meraba lebih jauh, ia meng-usut-usut pula. Ia menemui
huruf "Soe". Maka ia meraba terus. Sebagai huruf ketiga, ia dapati huruf "Kong", lalu huruf
keempat huruf "Kok". Masih ia meraba terus, hingga ia menemui huruf terakhir, jaitu huruf
"Goei".
Tjeng Tjeng juga turut meraba-raba terus.
Sebagai kesudahan, bukan main girangnya Sin Tjie. Untuk banyak hari, mereka sudah
mencari istana Goei Kok-kong, hasilnya sia-sia belaka, siapa tahu sekarang, diluar
sangkaan, dengan tiba-tiba mereka menemuinya. Inilah yang dibilang : "Orang mencari
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
sampai sepatu besi yang dipakainya rusak, tak nampak, sekalinya ketemu, begini sedetik
saja." Sebab apabila digabung, kelima huruf itu berbunyi " Goei Kok Kong Soe Tee",
artinya "Istana Goei Kok-kong hadiah kaisar"
Rupa-rupanya, setelah turun menurun banyak tahun, Goei Kok-kong pindah rumah, rumah
yang lama telah dijualnya kepada orang lain, kemudian orang tak ingat lagi istana lama itu.
Selagi Sin Tjie berdiam dengan kegirangan, ia rasai gatal atau geli pada pundaknya,
hingga ia egos lehernya itu.
Itulah Tjeng Tjeng, yang saking girang, sampai lupa segala apa, dia bernapas dari
hidungnya di pundak si pemuda sekali.
"Hus, jangan nakal!" Sin Tjie bentak, tapi dengan pelahan. 'Lihat, musuh datang!"
Benarlah, tiga bajangan lompat lewati tembok, masuk kedalam rumahnya si orang she Bin
itu.
"Mari!" pemuda ini mengajak. 'Lekas!"
Menggunai kesempatan tidak ada orang datang kearah mereka, mereka keluar dari tempat
sembunyi, mereka lari dengan keras, hingga dilain saat sampailah mereka dihotel mereka
dengan tidak kurang suatu apa.
Tatkala itu sudah jam empat, semua penumpang hotel lainnya sudah pada tidur, seluruh
hotel jadi sunyi-tenteram.
Tjeng Tjeng lantas nyalakan lilin, dan Sin Tjie rogo keluar surat-surat yang ia rampas dari
sakunya dua saudara Soe. Paling dulu ia jumput dua sampul, yang sudah kuning
menandakan tuanya, suratnya dikeluarkan satu persatu. Untuk kegirangan mereka,
benarlah itu ada surat-surat keterangannya Thio Tjeetjoe dan Khoe Tootay, ialah suratsurat
yang membuat Tjiauw Kong Lee jadi putus asa dan nekat.
Tjeng Tjeng tertawa.
"Sekali ini kau berhasil menolong jiwa ayahnya," katanya," entah dengan apa dia nanti
balas budimu ini...."
"Dia! Dia siapa?" tanya Sin Tjie heran.
Masih Tjeng Tjeng tertawa, malah tertawa geli.
"Siapa lagi, tentunya nona puterinya Tjiauw Kong Lee!" sahutnya. Tak mau Sin Tjie
meladeni orang yang bersifat ke-kanak-kanakan itu. Ia gunai ketikanya untuk membaca
dua surat keterangan itu.
"Apa yang Tjiauw Kong Lee katakan, benar semuanya." Kata dia habis membaca. "Coba
dia mendusta sedikit saja, tidak nanti aku sudi bantu dia, supaya aku tidak usah bentrok
dengan banyak orang kang-ouw apapula dari angkatan tertua, apalagi diantara mereka
termasuk murid-muridnya djie soeheng."
Tjeng Tjeng tertawa pula.
"Dan itu yang dipanggil Hoe Thian Mo-lie sungguh cantik!" menggoda ia.
"Dia itu telengas," Sin Tjie bilang. "Dia berbuat tak berkepantasan! Kenapa tidak keruKang
Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
keruan dia tabas kutung lengan orang?" dia berdiam sebentar. "Apabila aku tidak kuatir
djie-soeheng berkecil hati, pasti aku sudah ajar adat padanya." Kembali ia berdiam, lalu ia
menambahkan : "Sebabnya aku minta nona Tjiauw datang kemari adalah untuk
sembunyikan sepak-terjang kita ini. Apabila diantara kita saudara-saudara seperguruan
terbit sengketa, itu sungguh tidak bagus terhadap soehoe yang telah rawat dan didik aku."
Sekarang Sin Tjie periksa surat-surat yang lainnya, tiba-tiba saja ia jadi sangat gusar, air
mukanya suram.
"Kau lihat!" katanya kepada si nona.
Belum pernah Tjeng Tjeng lihat pemuda ini demikian gusar, malah waktu menghadapi
lawan tangguh, dia ada tenang sekali. Sekarang muka orang merah-padam, urat-uratnya
seperti melingkar keluar. Hingga mau atau tidak, ia heran dan kaget sekali. Buru-buru ia
menyambuti surat yang diangsurkan dan baca itu.
Itulah suratnya Kioe-Ong-ya To Djie Koen, pangeran Boan yang disebut-sebut
persaudaraan Soe. Itulah surat rahasia untuk dua saudara Soe itu. Mereka ini diberi
perintah, sesudah memfitnah Tjiauw Kong Lee hingga Kong Lee tumpas, mereka mesti
gunai ketika untuk merampas kekuasaan dalam Kim Liong Pang, supaya anggautaanggauta
perkumpulan rahasia ini bisa dijadikan pekakas, penyambut dari dalam, bagi
penyerbuan bangsa Boan kepada Tionggoan. Peng Kong dan Peng Boen dianjurkan akan
tancap kekuasaan di Kanglam, supaya sambil selidiki rahasia negara, mereka cari kawankawan
orang-orang kang-ouw, untuk bekerja bersama. Mereka mesti sambut serbuan
angkatan perang Boan agar serbuan itu pasti berhasil.
Tjeng Tjeng begitu murka hingga tak dapat ia mengucapkan kata-kata. Ia muda dan besar
kepala, tapi ia mencintai negerinya. Dalam murkanya, setelah sadar, ia hendak robek surat
rahasia itu.
Sin Tjie sambar surat penting itu.
"Hei, adik Tjeng, kenapa kau begini semberono?" menegur dia.
Tjeng Tjeng sadar dengan cepat.
"Kau benar," katanya. "Inilah surat bukti!"
"Apakah kau tahu, kenapa dua saudara Soe tidak hapuskan surat ini?" Sin Tjie tanya.
"Aku tahu," jawab si pemudi. "Dia hendak pakai ini untuk pengaruhi Bin Tjoe Hoa!"
"Begitulah pasti," Sin Tjie membenarkan," Aku telah pikir, habis menolongi Tjiauw Kong
Lee, aku hendak lepas tangan, untuk tidak campur lebih jauh urusan mengenai mereka,
siapa tahu disini menyelip urusan amat besar ini. Jangan kata Baru bentrok dengan djiesoeko,
biar ada rintangan lain yang terlebih besar, aku tidak takut."
Bukan main kagumnya Tjeng Tjeng terhadap pemuda ini.
"Memang kita harus campur tangan," iapun kata. "Umpama kata djie-soeheng itu mengadu
kepada gurumu, aku percaya gurumu bakal benarkan pihakmu. Toako, aku bersalah...."
"Apa?"
Pemudi ini tunduk.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
"Aku telah goda padamu...." Katanya.
Mendengar itu, Sin Tjie tertawa.
"Sudah, pergilah kau tidur!" kata dia. "Sekarang aku hendak memikirkan daya upaya
dengan cara bagaimana kita bisa hadapi kawanan pengkhianat itu."
Tjeng Tjeng menjadi jinak, ia menurut.
Besoknya pagi, kapan ia mendusi dari tidurnya, Sin Tjie terus bercokol diatas
pembaringan, untuk bersamedhi, akan pelihara napasnya, akan bikin jalan darahnya
sempurna. Diam-diam ia merasa sangat gembira karena semakin lama ia rasai
kemajuannya terus bertambah. Kapan kemudian ia turun dari pembaringan, ia lihat diatas
meja sudah disajikan dua mangkok lektauw serta sepiring yoetiauw. Ia tahu itu ada
sajiannya Tjeng Tjeng hanya ia tidak tahu, kapan itu disiapkannya.
Tiba-tiba saja si nona muncul sambil terus tertawa.
"Hweeshio tua, apa kau sudah selesai sembahyang?" tanyanya.
"Ah, kau bangun pagi-pagi sekali!" kata Sin Tjie sambil tertawa juga.
"Kau lihat ini!" kata si nona, yang tidak sahuti pemuda itu. Dari belakangnya, ia tunjuki
satu bungkusan besar, yang ia letaki dimeja, untuk terus dibuka. Itulah dua perangkat
pakaian baru. Ia tambahkan: "Kita telah bunuh Ma Kongtjoe, perlu kita tukar pakaian."
"Kau memikir sempurna," Sin Tjie puji.
Berdua mereka lantas duduk, untuk bersantap.
Belum lama habis dahar, satu jongos datang bersama satu orang, jongos itu lantas kata :
"Apakah kau cari kedua tetamu ini? Aku tanyakan she dan namanya orang, kau tak dapat
menyebutnya...."
Sin Tjie dan Tjeng Tjeng lihat nona Tjiauw.
Nona itu tunggu sampai jongos sudah berlalu, ia lantas berlutut didepan pemuda kita.
Sin Tjie membalas hormat, sedang Tjeng Tjeng mengangkat bangun.
Nona itu likat bukan main menampak satu "pemuda" cekal lengannya, untuk kasi ia
bangun, mukanya merah, akan tetapi karena ingat, mereka adalah penolong ayahnya, ia
tidak berontak.
"Nona Tjiauw, apakah namamu?" Tjeng Tjeng tanya.
"Namaku Wan Djie," sahut nona itu. "Djiewie sendiri?"
Tjeng Tjeng tunjuk kawannya, dia tertawa ketika ia menyahuti: "Kau tanya dia saja! Dia
sangat galak, dia larang aku bicara!"
Mengetahui orang bergurau, Wan Djie bersenyum.
"Djiewie telah tolong ayahku, budi ini yang sangat besar, walau tubuhku hancur-lebur,
masih tak dapat dibalas," katanya.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
"Ayahmu ada satu tjianpwee," Sin Tjie bilang, "sudah seharusnya kami dari angkatan
muda melakukan sesuatu apa untuknya. Tak usah kau pikirkan itu. Tolong sampaikan
kepada ayahmu untuk sebentar sore ia melanjuti mengadakan perjamuannya yang sudah
ditetapkan itu. Disini ada dua bungkusan, tolong kau bawa pulang untuk diserahkan pada
ayahmu itu, bilang apabila sudah sampai saatnya yang genting, Baru dia buka untuk
umumkan kepada orang banyak, tentu akan ada buah-hasilnya yang istimewa. Karena dua
rupa barang ini sangat penting, jagalah supaya tidak ada orang yang pegat dan rampas
ditengah jalan!"
Tjiauw Wan Djie lihat kepadanya diserahkan dua bungkusan, yang satu panjang dan
romannya berat, mirip dengan alat senjata, yang lainnya kecil dan enteng sekali. Ia
menyambutinya dengan kedua tangan dengan sikap menghormat sekali, lalu ia memberi
hormat seraya menghaturkan terima kasih. Habis itu Barulah ia pamitan dan bertindak
keluar.
"Mari kita kuntit dia, untuk melindunginya secara diam-diam," Sin Tjie kata pada
kawannya. "Kita mesti jaga supaya kawanan telur busuk itu tak dapat merampasnya
kembali."
Tjeng Tjeng manggut.
Mereka lantas siap, setelah menutup pintu, mereka bertindak keluar. Mendekati thia,
mereka lantas umpatkan diri. Disitu masih ada si nona Tjiauw, entah kenapa, dia tidak
segera pulang.
"Suruh kuasa hotel datang!" terdengar kata nona itu. "Naga emas ulur kukunya, mega
hitam memenuhi langit!"
"He, apakah dia bilang?" tanya Sin Tjie pada Tjeng Tjeng.
Muda ia ada, nona Hee luas pengetahuannya mengenai dunia kang-ouw.
"Mungkin itu kata-kata rahasia kaumnya," ia menyahut.
Wan Djie bicara sama jongos yang tadi, yang romannya rada katak, tapi sekarang dia
berubah sikap dan menyahuti ber-ulang-ulang," Ya, ya!" Terus saja ia undurkan diri.
Tidak lama muncul kuasa hotel, dia menjura dalam kepada si nona.
"Nona hendak menitah apa?" tanyanya. "Aku akan segera melakukannya."
"Aku adalah Tjiauw Toa-kohnio" nona itu perkenalkan diri. "Pergi kau kerumahku, bilang
aku ada punya urusan penting disini, kau minta semua soeko-ku datang kemari!"
Kaget kuasa itu mengetahui ia berhadapan sama Tjiauw Toa-kohnio, nona besar she
Tjiauw, segera saja ia lari keluar, untuk loncat naik atas kudanya, yang ia kasi lari pergi. Ia
sendiri yang jalankan titah itu.
Selang lama juga, kuasa hotel itu sudah balik lagi bersama dua puluh lebih orang yang
dandan seperti guru silat, yang semuanya bekal senjata. Mereka lantas hampirkan nona
Tjiauw.
"Aku tidak sangka begini besar pengaruhnya Kim Liong Pang disini," kata Sin Tjie.
"Sekarang tak usah kita turut mengantari. Sebentar saja kita hadirkan perjamuan dirumah
orang she Tjiauw itu."
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Berdua mereka masuk pula kedalam, sedang Tjiauw Wan Djie dan rombongannya
berangkat pulang. Sesudah siang Barulah Sin Tjie ajak kawannya pergi kerumah Kong Lee
dimana ternyata sudah mulai banyak orang datang berkumpul. Mereka ikut sekalian
tetamu itu masuk ke dalam thia.
Tjiauw Kong Lee sambut tetamunya dimuka pintu, ia manggut kepada dua anak muda ini,
yang ia sangka ada murid-muridnya musuh, ia tidak memperhatikannya.
Begitu lekas semua tetamu sudah datang lengkap, tuan rumah undang mereka ambil
tempat duduk, ia lantas membuka pertemuan. Caranya ini beda dengan cara
pertemuannya Bin Tjoe Hoa kemarin ini. Tuan rumah pun ada ketua Kim Liong Pang.
Barang santapan sangat istimewa, kokinya pun koki yang kesohor dari kota Kimleng,
sedang araknya ada arak Lie-tjeng Tin-siauw simpanan dua puluh tahun.
Bin Tjoe Hoa bersama Sip Lek Taysoe, Tiang Pek Sam Eng, Boe-eng-tjoe Bwee Kiam Hoo,
Hoei-thian Mo-lie Soen Tiong Koen dan sejumlah yang lain lagi, duduk dimeja pertama.
Tjiauw Kong Lee sendiri yang layani sesuatu tetamu itu, sikapnya ramah-tamah.
"Silakan minum!" kata dia.
Bin Tjoe Hoa angkat cawannya, dengan tiba-tiba saja ia banting itu kelantai, hingga arak
berhamburan, cawannya pecah hancur sambil menerbitkan suara berisik!
"Orang she Tjiauw!" dia berkata dengan bengis. "Disini telah hadir sahabat-sahabat karib
dari Rimba persilatan, mereka semua telah memberi mukanya, maka didepan mereka,
ingin aku tanya, bagaimana hendak diatur mengenai sakit hatinya saudaraku yang kau
telah bunuh? Bilanglah!"
Pertanyaan dimajukan secara sangat terkonyong-konyong, dan caranya pun garang
sekali, hal ini membuat sukar kepada Tjiauw Kong Lee. Justru itu berbangkitlah Gouw
Peng, murid kepala ketua Kim Liong Pang ini.
"Orang she Bin," berkata Gouw Peng, yang hendak wakilkan gurunya, "Baik kau mengerti
duduknya hal. Kandamu itu kemaruk paras eilok, dia bermaksud jahat, karenanya dia telah
merusak undang-undang dari kita kaum Rimba Persilatan. Guruku..."
Belum habis Gouw Peng ber-kata-kata, mendadak ada sambaran angin kearah mukanya,
maka lekas ia berkelit sambil tunduk, menyusul mana, dengan memberikan suara keras,
sebatang paku tiga persegi panjangnya lima dim nancap di meja!
Gouw Peng segera hunus goloknya.
"Bagus betul!" muridnya Kong Lee berseru. "Kau telah bokong Lo Soetee kami, yang kau
telah babat kutung sebelah lengannya, sekarang kau kembali membokong aku, oh,
perempuan bangsat!"
Dia lantas bertindak maju, untuk tempur penyerangnya, ialah Hoei-thian Mo-lie Soen Tiong
Koen, si Hantu Wanita.
"Jangan!" Tjiauw Kong Lee cegah muridnya. Kemudian sambil tertawa, ia menoleh kepada
nona Soen itu seraya bilang: "Nona Soen ada ahli dari Hoa San Pay, mengapa kau berpadu
pandangan dengan muridku?...."
Bin Tjoe Hoa pun gusar, biji matanya menjadi merah, selagi tuan rumah ber-kata-kata, dia
jumput sepasang sumpitnya, dengan itu ia timpuk sepasang mata tuan rumah.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
"Bangsat tua, hari ini aku akan adu jiwa denganmu!" dia mendamprat.
Tjiauw Kong Lee lihat serangan itu, ia lantas sambar sumpitnya sendiri, dengan itu ia
sambut serangan sumpit sambil sumpit lawan itu dijepit, untuk terus diletaki diatas meja.
Sikapnya tuan rumah tenang dan sabar sekali.
"Saudara Bin, mengapa kau begini murka?" tanyanya. "Disini masih ada ketika untuk
kitaorang omong dengan baik-baik. Mana orang? Lekas ambilkan Bin Djie-ya sepasang
sumpit baru!"
Bin Tjoe Hoa terperanjat dalam hatinya apabila ia saksikan musuh itu demikian liehay.
"Pantas kandaku terbinasa ditangannya...." Pikir dia.
Bwee Kiam Hoo lihat Bin Tjoe Hoa keok dalam satu jurus, dimana dia berada dekat dengan
tuan rumah, dengan tiba-tiba ia ulur tangan kanannya, akan sambar lengannya tuan rumah
itu, sembari berbuat demikian, dia bilang : "Tjiauw Toaya, sungguh kau liehay! Mari kita
ikat persahabatan...."
Tjiauw Kong Lee lihat tangan orang diulur, cepat luar biasa ia egos tubuhnya, sambil
berkelit, ia pun lompat minggir.
Tangannya tetamu itu tidak ditarik pulang, atau dia tak dapat lakukan itu, tangan itu kena
sambar belakang kursi, hingga diantara suara berkeresek yang nyaring, patahlah belakang
kursi itu!
Sibuk juga Tjiauw Kong Lee menampak pihak musuh demikian galak, diantaranya ada
yang sudah pale kepalannya dan cabut senjatanya, sedang dipihaknya sendiri, semua
murid dan beberapa sahabatnya sudah lantas siap sedia. Ia sibuk karena kuatir
pertempuran akan segera mengambil tempat sementara Kim Coa Long-koen, yang ia
harap-harap, masih juga belum muncul, untuk datang sama tengah. Ia kuatir banyak jiwa
bakal dikorban dalam pesta perjamuan ini. Karenanya ia melirik kepada gadisnya, yang
duduk disamping.
Tjiauw Wan Djie sedang pegangi dua bungkusan pemberiannya dua pemuda yang dia
Baru kenal, ia pun tidak kurang sibuknya, kapan ia lihat tanda dari ayahnya, ia segera buka
bungkusan yang panjang itu, yang ternyata ada dua batang pedang. Tidak ayal lagi, ia
bawa itu kehadapan ayahnya, untuk diletaki diatas meja.
Tjiauw Kong Lee lihat kedua pedang itu, ia bingung, karena ia tidak tahu apa artinya itu.
Bukan main ia ragu-ragu.
Dipihak lawan, Twie-hong-kiam Ban Hong kenali pedangnya, dan pedangnya Soen Tiong
Koen, bukan main malunya ia. Ia jumput kedua pedang itu, satu diantaranya ia lantas
serahkan pada Hoei-thian Mo-lie.
Soen Tiong Koen sambuti pedangnya sambil terus menantang: "Siapa mempunyai
kepandaian, mari kita bertempur secara terus-terang! Mencuri pedang orang, apakah itu
perbuatan satu hoohan?"
Tjaiuw Kong Lee diam saja, ia mengawasi si nona. Benar-benar ia tidak tahu duduknya hal.
Nona Soen garang sekali, ia maju dua tindak, dengan ujung pedangnya yang tajam, ia
tusuk dadanya tuan rumah.
Tjiauw Kong Lee mundur dua tindak, menyusul itu murid yang kedua telah serahkan
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
padanya goloknya, yang ia terus sambuti, akan tetapi ia tidak gunai itu untuk balas
menyerang.
Soen Tiong Koen penasaran yang serangannya kena dikelit, ia maju pula, sambil ia tusuk
pundak kiri orang.
Ketua Kim Liong Pang jadi putus asa, dengan terpaksa ia geraki goloknya untuk
membacok pedangnya si penyerang. Kalau si nona menusuk dengan terusan tipu-silat
"Heng in lioe soei", atau "Mega berjalan bagaikan air mengalir", adalah dia gunai tipu
bacokan "Tiang khong lok goan", atau "Dari udara jatuhlah seekor burung belibis".
Jikalau bacokan ini mengenai sasarannya, tak dapat tidak, pedangnya Soen Tiong Koen
mesti terlepas dari tangannya dan terlempar jatuh, akan tetapi dia liehay, dia turunkan
pedangnya kebawah dan luputlah dia dari ancaman bencana mendapat malu. Akan tetapi
ini bukan tindakan berkelit melulu, karena pedangnya turun, ia pun mendak pedang itu
lantas diteruskan, untuk dipakai menikam perutnya tuan rumah. Ini ada semacam tipu silat
yang liehay sekali.
Tidak perduli Tjiauw Kong Lee telah punyakan latihan beberapa puluh tahun, tak
menyangka ia untuk serangan yang berbahaya itu, hingga tak sempat ia menangkisnya,
maka tidak ada jalan lain, ia enjot kakinya akan berlompat tinggi, mencelat melewati
kepalanya si nona. Ia berhasil meluputkan perutnya dari tikaman, akan tetapi celana
disebelah pahanya kena terobek ujung pedang!
"Sungguh berbahaya...." Kata dia dalam hatinya, selagi ia putar tubuh dengan cepat, kuatir
lawan nanti lanjuti serangan susulannya.
Akan tetapi Soen Tiong Koen tidak dapat desak dia, sebab dua muridnya sudah maju,
akan menahan si nona. Dilain pihak, ia girang sekali kapan gadisnya telah buka dan beber
bungkusan yang kedua, karena ia kenali kedua surat penting yang "lenyap" ditangannya
dua saudara Soe!
Soen Tiong Koen telah tempur dua musuh, yang menbenci sangat padanya, hingga
mereka ini berkelahi dengan sangat sengit. Mereka sangat ingin membalas sakit hatinya
Lo Lip Djie, soeheng mereka.
Si nona bertempur dengan tabah, tidak perduli dia dikepung berdua. Dia masih bisa
bersenyum ewa. Dia melayani dengan sebelah tangan - tangan kiri - dipakai menolak
pinggang. Sebab dialah yang dapat mendesak dua musuhnya itu.
Tjiauw Kong Lee sambuti dua lembar surat dari tangan gadisnya.
"Tahan! Tahan!" ia berseru berulang-ulang. "Aku hendak bicara!"
Mendengar perkataan gurunya, kedua muridnya, yang sedang terdesak, mendengar kata,
akan tetapi satu diantaranya, lambat mundurnya.
"Duk!" demikian satu suara, dia kena didupak dadanya oleh Soen Tiong Koen, yang
menyerang tak perduli pertempuran sudah ditunda. Segera dia muntahkan darah hidup,
mukanya menjadi pucat sekali.
Soen Tiong Koen gusar sekali yang orang telah sambar pedangnya, ia anggap itu ada satu
hinaan besar bagi dirinya, maka ia jadi sengit luar biasa. Maka sekarang ia berlaku bengis
sekali.
Tjiauw Kong Lee atasi diri sebisa-bisanya.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
"Sahabat-sahabat, tolong dengar dahulu padaku!" ia berseru.
Suasana sudah tegang sekali, akan tetapi orang toh mulai jadi sabar pula.
Tjiauw Kong Lee lihat keadaan reda, dia bicara pula : "Sahabat she Bin ini sesalkan aku
yang aku telah bunuh kandanya, penyesalannya itu tepat. Memang kandanya itu, Bin Tjoe
Yap, telah terbinasa ditanganku!...."
Ruangan yang sunyi senyap jadi terganggu pula dengan tangisannya Bin Tjoe Hoa, yang
menangis dengan tiba-tiba.
"Hutang uang bayar uang, hutang jiwa bayar jiwa!" berteriak ia sambil sesenggukan.
"Benar, hutang jiwa bayar jiwa!" beberapa sahabatnya tetamu ini berseru, suara mereka
nyaring, hingga ruangan jadi berisik pula.
"Sahabat-sahabat, sabar!" Tjiauw Kong Lee serukan. "Disini dua pucuk surat, aku minta
sukalah beberapa lootjianpwee yang terhormat membacanya, habis itu, umpama mereka
anggap aku benar-benar mesti mengganti jiwa, aku segera akan bunuh diriku sendiri,
jikalau aku kerutkan alisku, aku bukan satu hoohan lagi!"
Kata-kata ini membuat orang heran, hingga ingin sesuatunya melihat surat-surat itu,
hingga untuk sesaat, suara mereka jadi bergemuruh pula.
"Sabar, sahabat-sahabat!" Tjiauw Kong Lee bilang. "Aku silakan Bin Djie-ya pilih tiga
lootjianpwee, untuk mereka baca surat ini!"
Bin Tjoe Hoa tidak tahu surat itu apa bunyinya, tanpa bersangsi lagi, ia terima baik
sarannya tuan rumah.
"Baik!" menyambut dia. "Aku mohon Sip Lek Taysoe, Totjoe The Kie In dan Boe-eng-tjoe
Bwee Toako bertiga yang membacanya!"
Sip Lek Taysoe bertiga terima baik tugas itu, mereka sambuti kedua surat, lalu berdiri
disamping meja, mereka sama-sama membaca, dengan pelahan.
Tiang Pek Sam Eng kasak-kusuk bertiga, muka mereka pias.
Sip Lek Taysoe adalah yang pertama membaca habis, lanats saja dia berkata: "Menurut
pendapat pinceng, Bin Djie-ya, baiklah permusuhan ini dibikin habis sampai disini, kamu
kedua musuh harus menjadi sahabat satu dengan lain!"
Pendeta ini ada Kam-ih dari ruang Tat Mo Ih dari Siauw Lim Sie, kepandaiannya dalam
ilmu silat Gwa-kee, bagian luar, sudah sempurna sekali, ia pun kenamaan, maka
itu,mendengar perkataannya itu, semua orang tercengang.
Bin Tjoe Hoa heran dan penasaran dengan berbareng, maka ia majukan dirinya, untuk
dapat baca juga kedua surat itu. Membaca surat pengakuan Thio Tjeetjoe, masih tidak
seberapa, akan tetapi setelah baca habis surat Khoe Tootay, ia jadi melengak. Ia malu
bercampur bingung, ia pun bersusah hati, hingga karenanya, ia jadi berdiam menjublek,
mulutnya bungkam.
Tiba-tiba terdengar suara nyaring dari Bwee Kiam Hoo: "Inilah surat-surat palsu! Siapakah
yang hendak dipedayakannya!"
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Menyusul itu, dengan mendadak, ia robek kedua surat!
Bukan kepalang kagetnya Tjiauw Kong Lee. Ia tidak sangka, di hadapan demikian banyak
orang, Bwee Kiam Hoo berani berbuat demikian rupa. Bukankah itu bagaikan surat jimat
untuknya? Ia juga jadi sangat gusar, hingga tak dapat ia bersabar pula. Sambil angkat
goloknya, dia berseru: "Orang she Bwee, apa benar kau begini tidak tahu malu?"
"Entah siapalah yang tidak tahu malu!" Bwee Kiam Hoo jawab dengan dingin. "Kau telah
bunuh kanda orang, sekarang kau ciptakan ini surat-surat palsu untuk membikin orang
sangat penasaran! Surat-surat semacam ini, apabila aku keram diri didalam rumah, dalam
satu hari aku bisa tulis banyaknya seratus pucuk!"
Sip Lek Taysoe, juga The Kie In, percaya kesalahan ada di pihaknya Bin Tjoe Hoa, akan
tetapi mendengar kata-katanya Bwee Kiam Hoo, mereka jadi bimbang. Apakah tak
mungkin kedua surat itu palsu adanya?
Untuk sesaat, ruangan jadi sunyi senyap.
Gouw Peng Kong murid kepalanya Tjiauw Kong Lee jadi meluap darahnya karena gurunya
diperhina demikiam macam, merah mukanya, kedua matanya hampir loncat melejit, dia
berlompat, dengan goloknya, dia bacok orang she Bwee itu.
Boe-eng-tjoe si Bajangan Tak Ada egos sedikit tubuhnya, berbareng dengan itu,
pedangnya telah tercekal dengan terhunus ditangannya, selagi sinar pedang berkelebat,
Gouw Peng menjerit. Goloknya kena ditangkis keras hingga terlepas dan terlempar,
menyusul mana, ujung pedang mengancam tenggorokannya.
Itulah menyatakan liehaynya murid Hoa San Pay ini.
"Kau tekuk lutut!" Kiam Hoo berseru dengan titahnya yang bengis. "Dengan berlutut,
Bwee Toaya akan beri ampun kepada sepotong jiwamu!""
Murid-murid lain dari Tjiauw Kong Lee tidak senang toako mereka diperhina secara
demikian, mereka hunus senjata dan maju ke tengah ruangan.
Dipihak Bin Tjoe Hoa, sejumlah guru silat dan sahabat-sahabat undangannya juga maju,
maka tak dapat dicegah lagi, kedua pihak lantas bertempur. Berisik suara beradunya
pelbagai alat-senjata.
Gouw Peng mundur sampai tiga tindak, tapi ujung pedang senantiasa iringi dia. Musuh itu
pun mengancam: "Jikalau kau tidak tekuk lutut, aku akan tikam padamu!"
"Kau tikamlah!" Gouw Peng menantang. "Tikamlah! Buat apa bersikap sebagai orang
perempuan!"
Tjiauw Kong Lee mencelat ke atas kursi.
"Semua tahan!" ia berseru dengan suara nyaring. "Lihat aku!"
Ia geraki tangannya, yang memegang golok, maka golok itu lantas mengancam batang
lehernya sendiri.
"Hutang jiwa mesti dibayar dengan jiwa!" ia berteriak pula. "Maka aku nanti bayar jiwanya
Bin Tjoe Yap! Murid-muridku, kamu semua mundur!"
Semua murid itu taat kepada guru mereka, dengan menyesal mereka mundur, dengan
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
roman sedih, mereka awasi guru mereka itu.
Karena pertempuran telah berhenti, ruangan jadi tenang pula.
Tjiauw Kong Lee telah menjadi putus asa, benar-benar dia hendak habisi jiwa sendiri. Tapi
mendadakan, ia dengar suara gadisnya:
"Ayah!" berseru Tjiauw Wan Djie. "Ayah, mana itu surat lainnya? Dia bilang dia bakal
datang untuk tolong kau!"
Kong Lee merogo keluar selembar kertas tanpa tulisan, dia beber itu, untuk ditunjuki
kepada semua hadirin di pihak musuhnya, ia ulapkan itu beberapa kali, hingga semua
orang dapat lihat, disitu ada terlukis gambar sebatang pedang yang luar biasa. Mereka itu
tidak mengerti, mereka mengawasi seperti tercengang.
Tjiauw Kong Lee lihat orang berdiam, dia berseru: "Kim Coa Tayhiap, kau datang
terlambat!" Menyusul itu, dia ayun goloknya ke arah tenggorokannya!
Dalam saat yang sangat genting ini, mendadakan terdengar satu suara berkontrang,
seperti suatu benda membentur golok, lantas goloknya ketua Kim Liong Pang itu terlepas
dari cekalan, jatuh ke lantai hingga bersuara nyaring!
Dan tahu-tahu, disampingnya Tjiauw Kong Lee berdiri seorang anak muda yang romannya
cakap-ganteng, usianya kira-kira duapuluh tahun lebih. Semua orang pihak tetamu tidak
lihat tegas munculnya pemuda ini, yang Sin Tjie adanya.
Bersama-sama Tjeng Tjeng, pemuda ini diam menyaksikan jalannya pertempuran itu, yang
diseling dengan pelbagai pertempuran. Ia mulanya percaya, dengan diperlihatkannya
kedua surat keterangan itu, urusan bakal dapat dibereskan, persengketaan akan dapat
didamaikan, hingga tak usah ia tonjolkan diri didepan orang banyak itu, terutama untuk
cegah perselisihan atau bentrokan dengan muridnya djie-soehengnya. Maka adalah di luar
dugaannya, justru Bwee Kiam Hoo yang telah mengacau. Tidak ada jalan lain, terpaksa ia
mesti muncul juga.
Jiwanya Tjiauw Kong Lee terancam, untuk cegah ketua Kim Liong Pang itu dari kematian,
ia timpuk golok dengan sebutir biji caturnya.
Selagi orang keheran-heranan, Sin Tjie berkata dengan nyaring:
"Kim Coa Long Koen sedang berhalangan, tak dapat dia datang sendiri kemari, dari itu dia
melainkan utus puteranya serta saudaranya dia ini, untuk mendamaikan kamu kedua
pihak!"
Semua orang yang tertua dari pihaknya Bin Tjoe Hoa melengak sejak tadi. Mereka semua
tahu, siapa adanya Kim Coa Long-koen yang kenamaan, yang sepak-terjangnya tak
ketahuan, tapi yang katanya sudah lama menutup mata, hingga mereka heran, kenapa
mendadak dia muncul di sini, walau cuma wakilnya.
Wan Djie sementara itu telah hampirkan ayahnya.
"Ayah, inilah dia!" dia bisiki orang tua itu.
Tjiauw Kong Lee juga tergugu, kapan ia telah pandang itu anak muda, ia mendelong,
pikirannya bekerja keras. Ia juga ragu-ragu.
"Siapa kau?" berteriak Soen Tiong Koen dengan tegurannya. "Siapa yang perintah kau
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
datang kemari untuk mengadu-biru?"
Didalam hatinya, Sin Tjie kata: "Benar aku berusia lebih muda daripadamu, akan tetapi
derajatku lebih tinggi satu tingkat! Tunggu sebentar, apabila aku telah perkenalkan diri,
aku mau lihat, apa kau tetap ada begini kurang ajar....."
Tapi ia menjawab dengan tenang.
"Aku ada orang she Wan," sahutnya dengan sabar. "Kim Coa Long-koen Hee Toa-hiap
utus aku menemui soehoe Tjiauw Kong Lee ini. Aku punyakan sedikit urusan ditengah
jalan, lantaran itu aku tertangguh beberapa hari, sehingga aku terlambat sampainya disini.
Aku menyesal sekali."
Soen Tiong Koen baru berumur dua puluh lebih, tak tahu ia tentang nama besar dari Kim
Coa Long Koen Hee Soat Gie, ia pun bertabeat aseran, maka ia sudah lantas berteriak:
"Apakah itu Kim Coa, Tiat Coa, si ular emas, si ular besi? Lekas kau turun, jangan kau
menggerecok hingga menjadi perintang!"
Tjeng Tjeng perdengarkan suara di hidung, dia ulur lidahnya.
Soen Tiong Koen lihat dia dihinakan, dia jadi mendongkol. Dengan tiba-tiba saja ia lompat
mencelat, dengan pedangnya ia tikam perutnya nona itu. Hebat sekali serangannya ini,
karena itu adalah tipu silat pedang Hoa San Pay "In lie tiauw toh" atau "Di dalam mega
menyolok buah toh". Inilah ilmu pedang ciptaan Pat-tjhioe Sian Wan Bok Djin Tjeng, ketua
dari Hoa San Pay.
Mana sanggup Tjeng Tjeng kelit tikaman itu?
Sin Tjie kenal baik tipu tikaman itu, ia gusar bukan main terhadap Soen Tiong Koen.
Kenapa nona ini demikian kejam, menyerang secara demikian telengas kepada orang
bukannya musuh? Itulah serangan yang akan membawa kebinasaan.
"Kau terlalu!" kata ia di dalam hatinya, seraya ia berlompat ke depan Tjeng Tjeng, kaki
kanannya terus terangkat, untuk dipakai menjejak, hingga pedang Hoei Thian Mo-lie jadi
terinjak ujungnya, terinjak terus di lantai!
Sin Tjie gunai ilmu jejakan dari Kim Coa Long-koen, yang ia dapat cangkok dari kitab Kim
Coa Pit Kip, hingga tak seorang juga didalam ruangan itu yang mengenalnya. Banyak
orang menjadi heran, tanpa merasa ada yang berseru kagum, ada juga yang saling
mengawasi satu pada lain.
Soen Tiong Koen kerahkan tenaganya, untuk tarik pulang pedangnya itu, akan tetapi
maksud hatinya tak kesampaian. Injakan anak muda yang ia tidak kenal itu seperti nancap
di lantai. Justru begitu, tangan kiri si anak muda menyambar ke arah mukanya, tak dapat
ia luputkan diri dengan cuma pelengoskan muka, terpaksa ia lepaskan cekalannya, ia
lompat mundur.
Sin Tjie masih mendongkol, ia jumput pedang dikakinya itu, dengan satu gerakan dari
kedua tangannya, ia bikin patah senjata itu, terus ia lemparkan ke lantai!
Boe-eng-tjoe Bwee Kiam Hoo dan Sin-koen Thaypo Lauw Pwee Seng adalah dua soeheng
Soen Tiong Koen, mereka ini saksikan sang soemoay dipecundangi, mereka murka. Pwee
Seng hendak lantas turun tangan, akan tetapi Kiam Hoo yang licik tarik dia.
"Tunggu sebentar, tunggu apa yang dia hendak bilang!" kata soeheng ini.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Benar-benar Sin Tjie lantas bicara.
"Kandanya Bin-ya Tjoe Hoa dahulu, kelakuannya tak dapat dibenarkan, karena itu dia kena
dibinasakan oleh Tjiauw soehoe, yang tak bisa antap saja perbuatan busuk. Kejadian itu
diketahui jelas sekali oleh Kim Coa Long-koen, siapa juga bilang, untuk ketahui duduknya
perkara, dua pucuk surat telah ditulis untuk membuktikannya. Kim Coa Long-koen juga
telah ajak Tjiauw Soehoe pergi ke Boe Tong San untuk menghadap sendiri kepada Oey
Bok Toodjin, ketua dari Boe Tong Pay, untuk menjelaskan duduknya perkara. Itulah pun
menjadi sebab kenapa Oey Bok Toodjin telah sudahi perkara itu. Dua surat yang
dimaksudkan itu mestinya inilah adanya....." Dia menundjuk kepada robekan kertas di
lantai. "Barusan tuan ini telah robek surat-surat berharga itu, entah apa maksudnya?" Dia
tambahkan seraya tunjuk juga Bwee Kiam Hoo.
Puas Tjiauw Kong Lee mendenagr perkataan-perkataan itu, hingga ia mau percaya,
pemuda ini benarlah diutus Kim Coa Long-koen. Ia cekal tangan gadisnya, hatinya sendiri
memukul keras.
Bwee Kiam Hoo tapinya tertawa dingin.
"Itulah dua pucuk surat palsu!" berkata dia. "Si orang she Tjiauw telah berpikir yang
bukan-bukan untuk mengelabui orang! Buat apa kalau dua pucuk surat itu tidak dirobek?"
Sin Tjie masih berlaku sabar.
"Ketika kami berdua hendak berangkat kemari, Kim Coa Long-koen telah beritahukan kami
tentang bunyinya dua surat itu," kata ia. "Dua surat yang dirobek itu, bukankah ini Taysoe
dan loosoe itu telah membacanya sendiri?" tambahkan ia, seraya ia memberi hormat pada
Sip Lek Taysoe dan The Kie In. "Mari kita bicarakan isinya surat itu, itu benar dusta atau
tidak, nanti akan dapat diketahui."
"Baik, bicaralah!" berkata Sip Lek Taysoe dan The Kie In.
Sin Tjie berpaling kepada Bin Tjoe Hoa.
"Bin-ya," katanya, "jikalau aku bicara, kesudahannya sungguh tidak akan membikin
bercahaya muka kandamu, dari itu, apa aku mesti bicara terus atau jangan?"
Urat-urat dikepalanya Tjoe Hoa pada bangun.
"Kandaku bukan orang semacam yang kau hendak sebutkan!" dia berseru bahna gusar.
"Pasti sekali inilah surat palsu!"
Sin Tjie tidak hendak berbantah pula. Ia menoleh pada kawannya.
"Adik Tjeng, silakan kau bacakan bunyinya kedua surat itu!" ia minta.
Tjeng Tjeng terima perintah itu tanpa bilang suatu apa, mulanya ia mendehem beberapa
kali, lantas ia mulai membacakan, diluar kepala. Ia berotak sangat terang, satu kali saja ia
baca kedua surat itu selama di hotel, segera ia ingat semuanya. Ia baca lebih dahulu surat
pengakuannya Thio Tjeetjoe, lalu surat tanda terima kasih dari Khoe Tootay. Ia membaca
dengan tenang, suaranya halus tetapi terang.
Orang-orang dalam rombongan Bin Tjoe Hoa sudah lantas kasak-kusuk apabila "pemuda"
ini telah membacakan beberapa puluh huruf , terang mereka itu mulai rundingkan isi surat,
dan ketika baru saja pembacaan dilakukan separuh, Bin Tjoe Hoa sudah menjerit.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
"Berhenti!" teriak dia. "Bocah, siapakah kau?"
Tjeng Tjeng belum sempat menjawab, Bwee Kiam Hoo sudah nyelah.
"Bocah ini kebanyakan ada orangnya si orang she Tjiauw!" kata Boe-eng-tjoe si Bajangan
Tak Ada. "Atau dia adalah orang yang diundang untuk membantu pihaknya. Siapa berani
pastikan jikalau tidak lebih dahulu mereka bersekongkol?"
Bin Tjoe Hoa seperti sadar mendengar kata-kata itu.
"Kau bilang kau adalah orang suruhannya Kim Coa Long-koen!" dia berseru. "Siapa bisa
buktikan kau bukannya orang palsu yang datang kemari untuk ngaco-belo saja?"
"Habis apa kau inginkan untuk bikin kau percaya betul?" Sin Tjie tanya.
Bin Tjoe Hoa balingkan pedangnya yang panjang.
"Banyak orang kang-ouw bilang Kim Coa Long-koen liehay boegeenya," berkata dia, "itu
melainkan kata-kata saja dan belum pernah ada orang yang menyaksikannya, apabila kau
benar ada turunan dari Kim Coa Long-koen itu, pasti kau telah mewarisi kepandaiannya
itu. Asal kau dapat menangkis pedangku ini, Baru aku mau percaya!"
Orang she Bin ini memandang enteng Sin Tjie yang masih berusia demikian muda.
Umpama kata benar si pemuda ada anaknya Kim Coa Long-koen, pasti dia belum dapat
wariskan semua kepandaiannya orang kang-ouw luar biasa itu. Berapa liehaynya orang
muda ini? Ia percaya, dalam beberapa gebrak saja, ia akan dapat merubuhkannya, hingga
orang akan percaya surat-surat itu adalah surat-surat palsu belaka.
Sin Tjie jatuhkan diri di atas kursi, untuk berduduk. Ia cegluk araknya, ia jumput sumpit
untuk jepit sepotong daging, buat dikasi masuk kedalam mulutnya, untuk dikunyah.
"Untuk menangkan pedang di tanganmu itu, buat apa sampai mesti dapatkan warisan
kepandaiannya Kim Coa Long-koen...." Katanya sambil tertawa. "Orang telah permainkan
padamu, kau masih tidak insyaf, sayang, sungguh sayang....."
Bin Tjoe Hoa jadi bertambah-tambah mendongkol.
"Kapan orang permainkan aku?" dia berteriak. "Eh, bocah, apakah kau berani pieboe
denganku? Jikalau kau takut, pergilah kau menggelinding dari sini!"
Kembali Sin Tjie cegluk araknya, sikapnya sangat tenang.
"Sudah lama aku dengar ilmu pedang Boe Tong Pay adalah yang tunggal didalam dunia
Kang-ouw, maka hari ini marilah aku belajar kenal dengannya," kata ia dengan tetap sabar.
"Akan tetapi, sebelumnya main-main, perlu kita bicara dahulu. Jikalau aku dapat
menangkan kau, perselisihanmu ini dengan pihak Tjiauw Loosoe mesti dibikin habis, tidak
dapat diungkat-ungkat pula, umpama kata kau tetap memusuhinya, maka semua tjianpwee
yang hadir disini harus perdengarkan suaranya yang adil!"
"Itulah pasti!" berseru Bin Tjoe Hoa dengan bernapsu. "Disini ada Sip Lek Taysoe, The
Tjeetjoe dan yang lain-lain, yang menjadi saksi! Tapi jikalau kau tak dapat menangkan
aku?"
"Aku nanti menjura kepadamu untuk menghaturkan maaf," jawab si anak muda dengan
lantas. "Selanjutnya aku tidak akan campur tahu pula urusan ini."
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
"Baik!" berseru Bin Tjoe Hoa. "Nah, kau majulah!"
Tjoe Hoa segera putar pedangnya, hingga anginnya berbunyi "swing, swing!" Teranglah ia
ada sangat sengit hingga ia sengaja pertontonkan tenaganya. Didalam hatinya, ia pun
pikir: "Jikalau aku tidak berikan tanda mata kepadamu, ditubuhmu, pasti kau tidak insyaf
liehaynya Boe Tong Pay!"
Sin Tjie masih tetap tenang seperti tadinya.
"Kim Coa Tayhiap telah bilang padaku," ia berkata pula, "didalam Boe Tong Pay, ilmu
pedangnya yang paling liehay adalah Liang Gie Kiam-hoat. Ia pesan padaku, katanya,
dengan kepergianmu ini, apabila si orang she Bin tidak sudi mengerti, hingga pertempuran
mesti terjadi, kau mesti perhatikan ilmu pedangnya itu. Yang lain-lainnya tak usah
diperdulikan. Sekarang mari aku ajarkan kau beberapa tipu pukulannya untuk
memecahkannya."
Pemuda ini belum bicara habis atau dari antara rombongan tetamu, seorang usia
pertengahan lompat maju kearahnya sambil berseru: "Baik! Aku ingin saksikan bagaimana
Kim Coa Long-koen ajari kau memecahkan Liang Gie Kiam-hoat!"
Seruan itu disusul sama tusukan pedang ke muka Sin Tjie.
Anak muda ini egos mukanya ke kiri, terus ia loncat ke tengah-tengah ruangan. Sementara
itu, tangan kirinya masih cekali cawan araknya, tangan kanannya, dengan sumpit, sedang
menjepit sepotong paha ayam.
"Aku mohon tanya gelaranmu, tootiang?" katanya.
Penyerang itu memang ada satu toodjin, satu imam.
"Pintoo ada Tong Hian Toodjin," jawab imam itu. "Pintoo adalah murid Boe Tong Pay
angkatan kedua puluh tiga. Bin Tjoe Hoa ini adalah soeteeku!"
"Bagus, tootiang," kata pula Sin Tjie. "Dulu Kim Coa Tayhiap dan Oey Bok Tootiang telah
merundingkan tentang ilmu silat pedang di atas gunung Boe Tong San, itu waktu Oey Bok
Tootiang telah unjuk bahwa Liang Gie Kiam-hoat tjiptaannya itu tidak ada tandingannya di
dalam dunia ini, atas itu Kim Coa Tayhiap cuma tertawa saja, ia tidak membantahnya.
Maka beruntunglah hari ini kita bertemu disini, hingga kita dari angkatan muda bisa dapat
ketika untuk merundingkannya dan mencoba-coba."
Tong Hian Toodjin tidak bilang apa-apa lagi, ia beri tanda pada Bin Tjoe Hoa, lantas
keduanya menyerang dengan berbareng. Sebab "Liang Gie Kiam-hoat" seperti namanya
menunjuki "liang-gie", adalah ilmu berkelahi yang selamanya mesti dilakukan oleh dua
orang melawan satu atau lebih musuh.
Gesit luar biasa, Sin Tjie melejit dari dua tikaman itu yang hebat sekali, atas mana, ia
dirangsek pula.
"Tahan, tahan!" Tjeng Tjeng berseru. "Dengar dulu!"
Bin Tjoe Hoa dan Tong Hian hentikan serangan mereka, lantas mereka berdiri berendeng
dengan masing-masing pedangnya di depan dada. Ini dia yang dinamakan sikap "lianggie".
Mereka awasi pemuda ini.
"Wan Toako menerima baik untuk bertempur dengan Bin-ya satu orang, kenapa sekarang
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
ditambah satu tooya lagi?" tanya Tjeng Tjeng.
Matanya Tong Hian Toodjin mencilak.
"Engko kecil, teranglah kau ada merek palsu!" berkata imam ini dengan ejekannya. Tjeng
Tjeng tetap dandan sebagai satu pemuda. "Siapa sih yang tidak ketahui Liang Gie kiamhoat
mesti dilakukan berbareng oleh dua orang? Kau tidak tahu suatu apa, apa mungkin
Kim Coa Long-koen yang kenamaan juga tak tahu ini?"
Disengapi secara demikian, merah muka nona kita.
Sin Tjie segera datang sama tengah dengan kata-katanya: "Liang Gie kiam-hoatmu ini
memang didasarkan atas Im dan Yang, yang saling menghidupkan dan saling
menaklukkan. Siapa yang latihannya masih jauh daripada kesempurnaan, memang
digunainya itu harus dengan berdua, akan tetapi untuk ahli sejati, pasti cukup dengan satu
orang saja!"
Tjeng Tjeng tidak kenal Liang Gie kiam-hoat, karenanya ia telah menanyakannya. Tentu
saja ia tidak senang yang Sin Tjie mesti dikerubuti dua orang. Tapi ia tidak tahu, karena
pertanyaannya ini yang tolol, ia jadi sudah membuka rahasia sendiri. Karena ini juga, Sin
Tjie lekas-lekas tolongi kawannya ini.
Tong Hian dan Bin Tjoe Hoa saling mengawasi, dalam hatinya mereka pikir: "Tidak pernah
soehoe omong bahwa ilmu pedang ini bisa dipakai berkelahi dengan satu orang saja,
maka apa mungkin bocah ini cuma ngoceh tak keruan?"
Tjeng Tjeng sendiri telah lantas dapat pulang ketenangan dirinya. Ia lantas tertawa
gembira sekali terhadap kedua jago Boe Tong Pay itu. Ia kata: "Oleh karena djiewie maju
berdua dengan berbareng, aku anggap syarat taruhannya perlu ditambah berlipat!"
"Kau hendak bertaruh apa?" tanya Bin Tjoe Hoa.
"Aku inginkan," sahut Tjeng Tjeng, "umpama kata pihakmu yang kalah maka kecuali
dibulatkan janji kau tidak akan musuhkan pula kepada Tjiauw Loosoe ini, kau juga mesti
serahkan pada Wan Toako gedung besarmu di luar pintu Kim Coan-moe. Apa kau akur?"
Bin Tjoe Hoa pikir: "Sekarang ini, apa juga baiklah aku terima baik! Umpama bocah ini
tidak terbinasa di ujung pedangku, sedikitnya dia bakal terluka parah." Dia merasa pasti
sekali. Maka dia lantas berikan jawabannya: "Baik, aku terima pertaruhan ini! Umpamanya
kau juga hendak turut maju, hingga kita jadi dua pasang kami akur, supaya tidak usah
kamu nanti katakan kita yang tua menghina yang muda dan yang banyak curangi yang
sedikit!"
"Bagaimana kau bisa bilang yang banyak curangi yang sedikit?" tanya Tjeng Tjeng.
"Sungguh kau tidak tahu tingginya langit dan dalamnya bumi!"
Naik darahnya Bin Tjoe Hoa karena hinaan ini.
"Orang she Wan!" ia berseru kepada Sin Tjie. "Bagaimana jikalau kau kena kami lukakan?"
Tidak lantas pemuda kita berikan jawabannya, karena usul keluar dari Tjeng Tjeng tetapi
dialah yang ditanya. Tapi Tjiauw Kong Lee sudah lantas menalangi dia.
"Bin Djieko, gedungmu itu berapa harganya?" tanya ketua Kim Liong Pang ini.
"Baru pada bulan yang lalu aku beli gedung itu," sahut Bin Tjoe Hoa. "Aku beli itu dengan
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
harga delapan ribu tiga ratus tail."
"Kalau begitu, aku suka wakilkan Wan Toako." Bilang Kong Lee. "Kau tunggu sebentar."
Tuan rumah ini lantas bicara pelahan sekali pada gadisnya.
Tjiauw Wan Djie segera lari kedalam, untuk keluar pula dengan cepat dengan membawa
selembar kertas berharga dari bank.
Tjiauw Kong Lee lantas berkata pula: "Wan Toako ini hendak keluarkan tenaganya untuk
aku, aku sangat bersyukur kepadanya. Disini ada itu jumlah delapan ribu tiga ratus tail.
Umpama Wan Toako dengan sepasang tangannya tidak sanggup layani empat tangan dari
kamu, maka Bin Djie-ko boleh ambil cek ini. Dan kalau ada urusannya lain lagi, lain kali Bin
Djieko boleh cari aku. Siapa berhutang, dia mesti membayar!"
Ketua Kim Liong Pang ini pikir, umpama Sin Tjie tidak sanggup menangi lawan, tidak apa,
asal dia jangan jadi korban untuknya.
The Kie In, tjong-bengtjoe atau ketua pusat dari kawanan bajak dari tujuh puluh dua pulau
gembira dengan macam pertaruhan itu, dia lantas turut campur bicara.
"Bagus!" serunya. "Inilah pertaruhan yang maha adil, adil sekali! Bin-djieko, aku juga
hendak turut ambil bagian!" Dia lantas rogoh sakunya, akan keluarkan sepotong uang
goanpo emas, yang ia terus lemparkan ke atas meja, sambil ia tambahkan: "Mari kita
bertaruh tiga lawan satu! Goanpo itu berharga tiga ribu tail! Hayo, siapa berani lawan
dengan seribu tail saja?"
Tantangan itu tidak ada yang jawab, walau kembali pemimpin bajak itu ulangi sampai
beberapa kali. Sin Tjie masih demikian muda, mana dia sanggup lawan dua jago Boe Tong
pay? Tidak ada orang yang niat korbankan uang secara cuma-cuma.
Tapi Tjiauw Wan Djie muncul dengan tiba-tiba.
"The toapeh, suka aku terima pertaruhanmu ini!" katanya. Malah lantas dia loloskan
gelang emas yang sedang dipakai, ia letaki itu diatas meja.
Itulah gelang emas yang tertabur permata, sinarnya sampai memain berkeredepan.
The Kie In angkat gelang itu untuk diperiksa, kemudian ia kata: "Gelangmu ini berharga
tiga ribu tail, maka itu tidak sudi aku akan akali satu bocah. Aku akan tambah uangku lagi
enam ribu tail!"
Memang ia janjikan tiga lawan satu.
Pemimpin bajak ini lantas teriaki orangnya untuk letaki lagi dua potong goanpo emas
diatas meja.
"Aku pujikan supaya kaulah yang menang!" kata pula tjong-bengtjoe ini sambil tertawa. Ia
berkata-kata seraya hadapi nona Tjiauw. "Ini uang bisa dijadikan pesalinmu!"
Soen Tiong Koen panas hati menyaksikan semua itu.
"Aku pertaruhkan pedangku ini!" ia berseru. Ia lemparkan pedangnya yang tinggal
sepotong keatas meja.
(Bersambung bab ke 12)
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
"Siapa kesudian pedang patah itu!" Tjeng Tjeng bilang.
Semua orang pun heran.
"Aku bukan pertaruhkan pedangnya saja!" Soen Tiong Koen berteriak memberi
keterangan. "Aku juga bertaruh tiga lawan satu! Begini: Umpama kata ini bocah yang
beruntung memperoleh kemenangan, kau boleh tusuk aku tiga kali, akan tetapi sebaliknya
apabila dia yang kalah, dengan pedang buntung ini, aku nanti tikam kau satu kali saja! Kau
mengerti sekarang?"
Kembali semua orang merasa heran, apapula dipihak tuan rumah. Itu adalah pertaruhan
yang mereka belum pernah mengalami, walaupun banyak diantara mereka adalah jagojago
ulung. Antaranya ada yang sudah meleletkan lidah terlebih dahulu.
Tjeng Tjeng tertawa dengan manis sekali, sikapnya wajar.
"Kau begini cantik-molek, mana tega aku untuk tikam padamu?" berkata dia. Tentu saja itu
hanya ejekan belaka.
Lauw Pwee Seng jadi sengit.
"Bocah kurang ajar, jangan ngaco-belo!" dia membentak.
Tjeng Tjeng tidak gusar, dia tertawa terus.
Soen Tiong Koen awasi Tjiauw Kong Lee serta semua orangnya.
"Tadinya aku percaya Kim Liong Pang sedikitnya mempunyai beberapa orang liehay, siapa
tahu buktinya sekarang semuanya terdiri dari segala perempuan, segala bantong!"
Tjiauw Wan Djie tidak dapat antap orang pentang bacot lebar.
"Kalau perempuan, bagaimana?" tanya dia. "Aku terima tantanganmu!"
Empat atau lima muridnya Tjiauw Kong Lee lantas berbangkit.
"Soemoay, kita juga turut bertaruh!" kata mereka.
"Tidak usah, cukup aku sendiri!" Wan Djie menolak.
Soen Tiong Koen tertawa mengejek.
"Baik!" berseru dia. "The Totjoe, sukalah kau menjadi saksi!"
The Kie In adalah kepala bajak yang tak segan membunuh orang, akan tetapi menghadapi
ini macam pertaruhan, hatinya toh giris.
"Nona. Nona," katanya, untuk mencegah, "jikalau kamu hendak bertaruh, baiklah kamu
gunai segala yantjie atau pupur, buat apa kamu pakai cara ini?"
Wan Djie mendahului menjawab: "Dia telah babat kutung sebelah tangannya Lo Soekoku,
maka sebentar aku hendak bikin picak kedua matanya!"
Mendengar begitu, The Kie In lantas tutup mulut.
Bwee Kiam Hoo, dengan dingin turut bicara.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
"Nona Tjiauw, kau baik sekali terhadap muridnya Kim Coa Long Koen," ia menjindir,
"sehingga kau sudi menggantikan jiwanya...."
Merah mukanya nona Tjiauw itu tapi ia dapat menahan sabar.
"Kau sendiri hendak bertaruh atau tidak?" ia tanya. Ia menantang.
Tjeng Tjeng pun gusar terhadap orang Hoa San Pay itu. Maka ia menyelah.
"Kasihlah aku yang bertaruh dengan Boe-eng-tjoe!" katanya.
"Kau hendak bertaruh apa?" tanya Kiam Hoo.
"Aku juga hendak bertaruh tiga lawan satu!" jawab nona ini.
"Ya, bertaruh apa?" Kiam Hoo tegasi.
"Jikalau dia kalah, disini juga dimuka umum aku nanti panggil engkong tiga kali padamu,"
jawab Tjeng Tjeng. "Jikalau dia yang menang, untukmu cukup memanggil aku satu kali
saja!"
Mendengar ini, semua orang, kawan dan lawan, pada tertawa. Semua orang anggap
"pemuda" ini benar-benar nakal.
"Siapa mau bergurau denganmu?" kata Kiam Hoo. "Mari kita nantikan saja, apabila dia
yang menang, aku nanti minta pengajaran dari kau!"
Masih Tjeng Tjeng menggoda.
"Dengan begitu, sebatangmu itu menjadi terlebih liehay daripada Liang Gie Kiam-hoat dari
Boe Tong Pay!....." katanya.
"Aku dari Hoa San Pay," Kiam Hoo kasi keterangan. "Mereka itu benar dari Boe Tong Pay.
Sesuatu kaum mempunyai ilmu kepandaiannya sendiri, jangan kau mencoba mengadu
dan merenggangkan kami!"
Tong Hian jadi jemu mendengari orang adu mulut saja.
"Sudah, cukup!" ia berseru. "Eh, bocah, kau lihat!"
Ia bicara kepada Sin Tjie, yang ia segera serang pula.
Perbuatan ini diturut oleh Bin Tjoe Hoa, yang terus menikam dengan kakinya maju
menginjak apa yang dinamai pintu "hong-boen".
Mereka berdua menggunai masing-masing tangan kiri dan kanan, untuk bergerak menuruti
garis-garis patkwa delapan kali delapan menjadi enam puluh empat, gerakannya saling
menghidupkan, saling mematikan juga, sambaran anginnya bersiur-siur.
Ketika dahulu Kim Coa Long-koen rundingkan ilmu pedang dengan Oey Bok Toodjin dari
Boe Tong Pay itu, dia telah hunjuk bahwa Liang Gie Kiam-hoat masih ada bagianbagiannya
yang lemah, akan tetapi imam itu percaya benar ilmu pedang ciptaannya itu, ia
bersikap kukuh, sehingga ia kata: "Taruh kata benar masih ada kelemahannya pada ilmu
pedangku ini akan tetapi di kolong langit ini tidak ada orang yang sanggup
memecahkannya." Atas pengutaraan itu, Kim Coa Long-koen tidak bilang apa-apa.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Kemudian, ketika Ngo-tjouw dari Tjio Liang Pay seterukan Kim Coa Long-koen, diantara
orang-orang liehay yang mereka undang untuk membantu pihak mereka, ada juga ahli-ahli
pedang dari Boe Tong Pay, diwaktu menghadapi mereka ini, Kim Coa Long-koen tahu
pasti bagaimana mesti melayani diaorang itu. Benar saja, dalam beberapa gebrak saja, ia
telah berhasil pecahkan Liang Gie Kiam-hoat. Didalam Kim Coa Pit Kip, tentang Liang Gie
Kiam-hoat itu ditulis jelas, kelemahannya, cara menyerangnya, maka itu sekarang Sin Tjie
tidak berkuatir sama sekali. Demikian, atas serangan, dia berkelit, terus dia main berkelit
saja, dia gunai kegesitannya, kelicinannya.
Tong Hian Toodjin dan Bin Tjoe Hoa merangsek terus, satu tikaman demi satu tikaman,
akan tetapi sampai beberapa jurus, tidak juga mereka berhasil dapat menikam lawan yang
muda belia itu, sehingga selain mereka sendiri, para penonton pun menjadi heran, ratarata
orang mengagumi si anak muda.
"Ilmu entengkan tubuh dari anak muda ini benar-benar sempurna, boleh jadi sekali
benarlah dia ada murid Kim Coa Long-koen," menyatakan Tjit-tjap-djie-to Totjoe The Kie In
kepada Sip Lek Taysoe, pendeta dari Siauw Lim Sie.
Pendeta itu manggut-manggut.
"Dalam angkatan muda ada orang liehay sebagai dia, sungguh jarang didapat," ia
menyatakan akur.
Pertempuran berjalan semakin seru, karena Bin Tjoe Hoa telah jadi semakin sengit. Satu
kali ia injak garis tiong-kiong, ia tikam dada lawannya. Tong Hian Toodjin dilain pihak
menusuk kekiri, untuk disusul sama tikaman kearah kanan.
Sin Tjie kena terjepit, tak ada lowongan lagi untuk ia egos tubuhnya. Akan tetapi ia tidak
gugup, ia tidak kehabisan daya. Dengan tiba-tiba saja ia mendak, sebelah kakinya
dimajukan. Ia mendak demikian rendah, kepalanya pun dikasi tunduk, maka tahu-tahu
kepalanya itu sudah seruduk perutnya Tjoe Hoa. Ia masih tidak gunai tenaga penuh tetapi
jago Boe Tong Pay itu terpelanting mundur, terhujung-hujung, hampir dia rubuh
terjengkang.
Tong Hian Toodjin terperanjat, untuk cegah kawannya nanti diserbu, dia merangsek, dia
menyerang beruntun-runtun hingga tiga kali, selama mana, Sin Tjie kembali main mundur
atau berkelit.
Bin Tjoe Hoa pertahankan diri, ia gusar tak kepalang.
"Binatang," ia mendamprat.
Sin Tjie berkelahi dengan sikap damai, ia masih mengharap untuk redakan ketegangan,
supaya terciptalah perdamaian, akan tetapi Tjoe Hoa damprat ia secara demikian, tiba-tiba
saja hawa-amarahnya naik.
"Jikalau aku tidak perlihatkan kepandaianku, akan tindih mereka ini, urusan sukar
dibereskan," pikir dia. "Aku pun mesti cari ketika untuk hadapi Tiang Pek Sam Eng, jikalau
tidak, pasti orang tidak akan tunduk kepadaku....."
Maka ia lantas mencelat kesamping meja, akan sambar cawannya sendiri, untuk segera
cegluk isinya, sesudah mana, ia berseru berulang-ulang: "Lekas, lekas serang aku, aku
masih belum dahar kenyang!"
Kemurkaan Bin Tjoe Hoa bertambah-tambah, terang sekali orang telah sangat menghina
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
dia. Dalam murkanya itu, ia perhebat serangannya sehingga pedangnya perdengarkan
angin menderu-deru.
"Bin Soetee, sabar!" Tong Hian peringati. "Dia sedang pancing hawa-amarahmu!"
Tjoe Hoa insyaf, maka ia jadi sabar pula. Tapi berdua, mereka terus menyerang dengan
keras, mereka tetap merangsek, cahaya pedang mereka berkelebatan seperti mengurung
tubuh lawan.
Lagi beberapa jurus telah dikasi lewat. Dengan mendadak, dengan kelicinannya, Sin Tjie
dapat loncat keluar kepungan, untuk letaki cangkirnya diatas meja.
"Adik Tjeng, tambahkan arakku!" ia teriaki kawannya.
"Baik!" jawab Tjeng Tjeng.
Sin Tjie sambar sebuah kursi, ia sendiri berdiri ditepi meja, dengan kursi itu, ia rintangi
pelbagai tusukan pedang, sampai si nona sudah isikan cawannya, Baru ia sambar cawan
itu, lalu melepaskan kursinya, ia lompat pula ketengah ruangan. Disini ia makan ayamnya.
"Memang pada dasarnya Liang Gie Kiam-hoatmu ini ada bagiannya yang lemah," berkata
dia, "sudah begitu, tidak sempurna kamu menjalankannya, maka bagaimana dapat kamu
melukai aku?" Ia hirup araknya. "Ketika kau masih kecil, guruku suruh aku membuat
karangan. Sekarang aku sedang bergembira, mau juga aku membuat karangan pula!"
"Bocah, lihat pedang!" Tong Hian berseru. Tapi ia tidak menyerang.
"Utusan Kim Coa Long-koen sambil tertawa melayani berkelahi dua si tolol," Sin Tjie terusi
godaannya, untuk membangkitkan hawa-amarah mereka.
Tjeng Tjeng tertawa.
"Toako, apakah katamu?" tanyanya.
"Itulah kalimat karanganku," sahut Sin Tjie.
"Baik!" kata si nona. "Hayo kau membacakannya, aku akan mengingatinya, sebentar aku
nanti buat catatannya."
Nona ini tahu maksud kawannya itu, ia pun melayaninya.
"Pedang mustika itu adalah senjata untuk membunuh manusia," Sin Tjie lantas
menyebutkan karangannya. "Dan tolol adalah lain gelarannya si dungu. Satu ketololan
membuat berubah orang empunya wajah muka, dua ketololan bisa membikin orang
tertawa terpingkal-pingkal sambil menekan perut, akan tetapi dua si tolol yang memainkan
pedangnya dengan niatan membunuh orang, dia membuat aku menyemburkan arak
hingga air mataku keluar hingga aku berseru panjang!"
"Semburkan arak, keluarkan air mata, bagian itu perlu ditandai koma dan titik," Tjeng
Tjeng bilang.
Sementara itu Sin Tjie telah berkelit dari tiga tusukan berbareng dari kedua lawannya,
tidak pernah ia balas menyerang, ia main egos tubuh atau melejit saja.
"Aku adalah utusan Kim Coa Long-koen," ia lanjutkan, "aku suka tempatkan diriku sebagai
si pendamai Lou Tiong Lian, akan tetapi tuan berkukuh, tak mau sadar, terus-terusan
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
mengacau saja, hingga karenanya di empat penjuru, semua tuan-tuan telah menunda
cawannya, untuk menonton pertempuran. Sementara itu tiga pengkhianat bimbang dan
berduka hatinya, mereka memikirkan cara bagaimana mereka bisa meluputkan diri dari
ancaman bencana! Mereka itu justru harus dihajar rubuh!....."
Dengan tiba-tiba saja, Sin Tjie menimpuk Bin Tjoe Hoa dengan paha ayam yang tadi ia
jepit dengan sumpitnya, sumpitnya itu segera dipakai menyambut-menjepit pedangnya
Tong Hian yang dipakai menikam dia. Dia menjepit dengan keras, lantas ia menyempar
dengan keras juga.
"Lepaskan pedangmu!" dia pun berseru.
Berbareng dengan seruan itu, pedangnya Tong Hian kena tertarik hingga terlepas dari
tangannya dan jatuh kelantai, si imam sendiri sampai jatuh terjerunuk karena ia mencoba
menahannya. Karena ini, berbareng kaget dan malu, ia menyerang dengan tangan
kanannya, ia menyapu dengan kaki kirinya. Ia pikir akan gunai saat itu untuk rebut
kemenangan!
Sin Tjie menjejak dengan kedua kakinya, tubuhnya mencelat, akan menyingkir dari
ancaman bahaya itu, berbareng dengan itu, cangkir araknya terbang melayang, karena
dengan itu ia menimpuk kepada Bin Tjoe Hoa, mengenai tepat jalan darah kiok-tjie-hiat
tangan kiri dari orang she Bin itu, hingga segera dia ini merasakan tangannya itu baal,
hingga pedangnya terlepas dari cekalan dan terlepas seketika. Menyusul itu dengan satu
sambaran "Han yap ok tjoei" atau "Gowak menyambar air", ia jumput kedua pedangnya
lawan, untuk ia cekal dengan kedua tangannya, sembari pentang itu, ia berseru: "Kamu
belum pernah lihat satu orang mainkan Liang Gie Kiam-hoat bukan? Nah, sekarang
saksikanlah dengan perdata!"
Pemuda ini segera juga bersilat seorang diri ditengah-tengah ruangan itu, ia menyerang
kekiri, ia menyerang kekanan, ia membela dikiri, sesuatu jurusnya benar-benar cocok
sama ilmu pedang Liang Gie kiam-hoat yang disebutkan itu, gerakan kedua pedangnya itu
nampak kusut sekali, akan tetapi toh, sesuatunya sangat membahayakan pihak lawan.
Tidaklah aneh jikalau angkatan muda yang hadir disitu menjadi terheran-heran, tetapi juga
Sip Lek Taysoe, Twie-hong-kiam Ban Hong, The Kie In, Tiang Pek Sam Eng, Thio Sim It
dari Koen Loen Pay dan rombongan Bwee Kiam Hoo dari Hoa San Pay, turut mendelong
juga. Inilah pemandangan yang tak pernah mereka sangka-sangka.
Kedua pedang berseliweran, cahayanya yang mengkilap berkredepan, anginnya
menyambar-nyambar tidak berhentinya. Dan ketika enam puluh empat jurus telah habis
dijalankan, terdengar seruannya si anak muda, kedua pedang itu melesat keatas, nancap
di penglari wuwungan rumah, nancap dalam sekali!
Itulah ilmu timpukan pedang Hoa San Pay warisan istimewa Pat-tjhioe Sian Wan, yang Sin
Tjie dapat pelajarkan dengan sempurna.
Sampai disitu, Barulah pemuda ini undurkan diri.
Ruang pesta atau pertempuran itu jadi bergemuruh dengan sorakan dan tepukan tangan
riuh, karena kawan maupun lawan, semua memujinya.
Kapan gemuruh mulai reda, terdengarlah seruan gembira dari Tjeng Tjeng seorang,
suaranya nyaring dan terang: "Ha-ha! Bakal ada orang memanggil engkong padaku!"
Bwee Kiam Hoo, yang berdiri dengan pegangi pedangnya, bermuka merah-biru, saking
mendongkol dan malu.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
The Kie In lantas saja tertawa.
"Nona Tjiauw, kau telah menang, kau terimalah ini!" berkata dia, yang dorong emas
goanpo diatas meja kepada Tjiauw Wan Djie.
Nona itu memberi hormat.
"The Pehhoe, aku akan wakilkan kau memberi persen," katanya. Lantas dia kata dengan
suaranya yang nyaring: "Disini ada uang banyaknya sembilan ribu tail! Inilah uangnya The
Totjoe yang dibuat bertaruh secara main-main denganku! Tuan-tuan telah datang dari
tempat yang jauh sekali, menyesal tak dapat kami dari Kim Liong Pang melayaninya
dengan sempurna, kami malu sekali, maka itu, dengan jalan ini kami hendak 'pinjam bunga
untuk menghormati Sang Buddha'. Kamu semua pengiring dari pelbagai tjianpwee, mamak
dan paman, kanda dan kakak, kamu masing-masing, seorangnya, aku akan hadiahkan
banyaknya seratus tail! Hadiah ini besok hari aku akan perintah orangku
mengantarkannya kehotel kamu masing-masing!"
Dipihak tetamu, orang puas dengan cara penyelesaiannya pihak Kim Liong Pang ini, akan
tetapi Bin Tjoe Hoa dan Tong Hian Toodjin, yang kena dipecundangi, tampangnya lenyap
cahaya terangnya. Mereka malu dan mendongkol bukan main.
Habis puterinya bicara, Tjiauw Kong Lee hadapi para tetamunya.
"Dahulu hari itu, karena perangaiku keras dan perbuatanku semberono, aku telah
kesalahan tangan hingga mencelakai kandanya Bin Djie-ko," berkata dia. "Kejadian itu
sesungguhnya membuat aku malu dan menyesal, maka itu sekarang dihadapan semua
enghiong yang hadir disini, aku hendak menghaturkan maaf kepada Bin Djieko. Wan Djie,
kau beri hormat pada Bin Siokhoe."
Sembari membilang demikian, Kong Lee sendiri menjura pada Bin Tjoe Hoa, yang sejak
tadi berdiri diam saja.
Wan Djie turut titah ayahnya, malah sebagai yang termuda, ia memberi hormat sambil
paykoei.
Bin Tjoe Hoa balas kehormatan itu. Mereka telah membuat janji, ia kalah, ia mesti menetapi
janji itu. Pun, dari bunyinya kedua surat wasiat, sudah terang kesalahan ada di pihak
kandanya. Dimana untuk melanjuti permusuhan adalah sulit untuk pihaknya, ia anggap ini
adalah ketika untuk penyelesaian yang terhormat itu. Tapi ia ingat kandanya telah binasa,
air matanya turun mengucur.
"Bin Djieko, aku sangat bersyukur kepadamu," berkata pula Tjiauw Kong Lee, yang manis
budi itu. "Mengenai pertaruhan rumah, mungkin ini tuan muda main-main saja, aku pikir
baik itu tak usah ditimbulkan lagi. Besok dengan lantas aku nanti perintah siapkan lain
rumah untuk tuan berdua."
"Itu tak dapat dilakukan," berkata Tjeng Tjeng. "Kita ada bangsa koentjoe, satu kali
perkataan kita telah dikeluarkan, empat ekor kuda tak dapat mengejarnya. Kata-kata telah
diucapkan, mengapa mesti dibuat menyesal dan hendak ditarik pulang?"
Orang semua melengak, mereka heran. Tjiauw Kong Lee telah janjikan sebuah rumah yang
Baru, pasti itu akan terlebih indah daripada rumah Bin Tjoe Hoa, maka heran, kenapa
pemuda itu menampik, kenapa dia masih hendak membuat malu kepada Bin Tjoe Hoa?
Tjiauw Kong Lee menjura pada "si anak muda".
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
"Loo-teetay, budimu berdua tak nanti aku lupakan," berkata dia dengan sangat, "tapi
sekarang aku minta sukalah kamu bantu lagi sedikit kepadaku. Dipintu kota Selatan, aku
mempunyai satu pekarangan yang luas,aku minta sukalah kamu terima itu sebagai
gantinya. Aku percaya kamu akan puas dengan pekarangan itu."
Tjeng Tjeng bersikap sabar, tapi ia jawab: "Barusan Bin Djieya hendak binasakan kau
untuk membalas sakit hati, umpama kata kau bilang padanya supaya dia jangan bunuh
padamu, kau mengatakan mana kau tanggung dia akan peroleh kepuasan, coba kau pikir,
dapatkah dia terima itu atau tidak?"
Bungkam ketua Kim Liong Pang ini dijawab secara demikian, ia likat sendirinya. Alasan si
anak muda memang kuat sekali. Maka akhirnya, ia berpaling kepada gadisnya.
"Tuan ini penujui rumah Bin Djieya itu," katanya, "maka itu sebentar pergi kau perintah
antar itu uang delapan ribu tiga ratus tail kerumahnya Bin Siokhoe."
"Sudah, sudah," mencegah Bin Tjoe Hoa. "Buat apa aku uang itu? Satu laki-laki telah
keluarkan kata-katanya, empat ekor kuda tak dapat candak itu! Tjiauw-ya, permusuhanku
denganmu, sampai disini aku bikin habis. Besok aku hendak pulang kekampung
halamanku, aku tidak punya muka untuk lebih lama pula didalam kalangan kang-ouw.
Biarlah rumahku dipunyai oleh kedua tuan ini." Ia lantas menjura kepada semua hadirin
dan berkata: "Semua sahabatku, jauh dari tempat ribuan lie kamu telah datang kemari
untuk mebantu aku, siapa tahu aku justru tidak punya guna, tak dapat aku membalas sakit
hati kandaku, hingga karenanya, aku membuat kamu semua datang dengan sia-sia saja.
Sahabat-sahabatku, biar lain kali saja aku balas budimu ini."
Melihat orang bisa ubah sikapnya itu, Sin Tjie lantas kata kepada jago Boe Tong Pay itu:
"Bin Djieya, walaupun kau kalah dari aku, sebenarnya kepandaianku masih kalah jauh
dengan kepandaianmu, apapula kalau dipadu dengan kepandaian Tong Hian Tootiang.
Aku harap djiewie tidak berkecil hati. Djiewie, terimalah hormatku yang muda."
Orang semua melengak. Toh dia yang menang, dan menangnya secara cemerlang sekali.
Siapa bisa bertanding sambil minum arak dan membuat karangan sebagai dia? Siapa
dapat gampang-gampang dengan tangan kosong mengalahkan dua musuh tangguh yang
bersenjatakan pedang? Toh sekarang ini anak muda suka mengalah, suka dia memberi
hormat kepada pecundang-pecundangnya!
"Djiewie bukannya kalah ditanganku," Sin Tjie melanjuti. "Sebenarnya djiewie kalah
ditangan Kim Coa Tayhiap. Dia telah menduga siang-siang untuk caranya djiewie
bertempur, maka itu Tayhiap telah pesan aku untuk aku bersikap berandalan, guna
pancing meluapnya hawa-amarah djiewie, setelah itu, dengan satu akal, aku mesti rebut
kemenangan. Kim Coa Tayhiap adalah orang pandai nomor satu dalam dunia Rimba
Persilatan jaman ini, kepandaiannya itu tidak dapat didjejaki. Aku sendiri bukan muridnya,
secara kebetulan saja aku bertemu dengannya, lantas dia ajari aku ilmu silat ini, untuk
dipakai menyelesaikan persengketaan ini. Djiewie kalah ditangan Tayhiap, tak usah djiewie
merasa malu. Ingin aku mengatakan sesuatu yang tak sedap untuk kuping, tapi harap
djiewie tak buat kecil hati. Jangan kata Baru djiewie, juga pada waktu itu, Oey Bok Toodjin
sendiri bukan tandingan Kim Coa Tayhiap....."
Tong Hian Toodjin dan Bin Tjoe Hoa sangsikan kata-kata terakhir ini, akan tetapi,
sementara itu mereka telah dapat dibikin tenang.
Tong Hian membalas hormat sambil menjura.
"Sie-tjoe telah membikin terang muka kami, pinto haturkan banyak-banyak terima kasih,"
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
kata dia. "Maukah sie-tjoe beritahukan she dan nama besar sie-tjoe kepadaku?"
Sin Tjie segera tunjuk Tjeng Tjeng.
"Inilah turunan langsung dari Kim Coa Tayhiap," jawab dia. "Dia she Hee. Dan aku yang
muda, she Wan."
Banyak orang belum tahu shenya Kim Coa Long-koen, Baru sekarang mereka ketahui jago
itu she Hee.
Bin Tjoe Hoa menjura pada Tjiauw Kong Lee.
"Aku telah gerecoki Tjiauw-ya," katanya. "Selamat tinggal!"
Tjiauw Kong Lee balas hormat itu.
"Besok aku akan kunjungi Bin Djie-ko untuk haturkan maaf," katanya.
"Tak sanggup aku terima itu," Tjoe Hoa menampik.
Selagi orang hendak angkat kaki, terdengar suaranya Tjeng Tjeng.
"Eh, bagaimana dengan pertaruhan pedang buntung?" katanya.
Wan Djie lihat ayahnya Baru terlolos dari mara-bahaya besar, maka ia tak sudi
menghadapi lagi lain ancaman malapetaka. Maka lekas ia perdengarkan suaranya.
"Tuan Hee, mari masuk kedalam, aku akan menyuguhkan teh," katanya. "Aku harap
urusan kecil itu tidak disebut-sebut pula."
"Dia masih satu bocah, dia belum panggil aku engkong!" kata lagi Tjeng Tjeng. "Ini tak
dapat disudahi saja!"
Bwee Kiam Hoo dan Soen Tiong Koen tak dapat menahan sabar lagi, keduanya lompat
maju ketengah kalangan. Tapi Kiam Hoo bukan hampirkan nona kita, yang ia sangka ada
satu pemuda, ia hanya tuding Sin Tjie.
"Kau sebenarnya siapa?" ia menegur. "Kau timpuki pedang ke atas penglari, itulah ilmu
kepandaian menimpuk dari Hoa San Pay! Dari mana kau curi pelajaran itu?"
Lauw Pwee Seng menyusul dibelakang soehengnya, dia pun turut bicara.
"Kau juga barusan gunakan Hok-houw-tjiang dari kaum kita!" dia turut menegur. "Dari
mana kau curi itu? Lekas bilang!"
Sin Tjie tidak sangka bakal muncul ekor ini, tapi ia tertawa.
"Mencuri?" tanyanya. "Buat apa aku mencuri?"
"Cis, bangsat cilik!" Soen Tiong Koen mendamprat sambil meludah. "Sudah mencuri, kau
masih menyangkal!"
Bwee Kiam Hoo tertawa secara dingin sekali.
"Habis, dari mana kau pelajarinya itu?" tanya dia.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Sin Tjie menjawab dengan langsung:
"Aku adalah murid Hoa San Pay," sahutnya.
Murid-murid Hoa San Pay itu tercengang tetapi Soen Tiong Koen maju setindak. Dia
menuding secara sengit sekali.
"Hei, bocah, kau gila!" katanya. "Sudah kau temberang sambil panggul-panggul mereknya
Kim Coa Long-koen, sekarang kau sebut-sebut Hoa San Pay! Apakah kau tahu, nonamu ini
dari golongan mana? Hm! Ini dia yang dibilang, Lie Koei tetiron menemui Lie Koei sejati!
Baik kau ketahui, kita bertiga ada dari Hoa San Pay!"
Sin Tjie tidak gusar, dia tetap sabar.
"Seperti aku sudah bilang, dengan Kim Coa Long-koen itu aku tidak punya sangkutan apaapa,"
ia kasi keterangan. "Aku melainkan bersahabat dengan puteranya Tayhiap itu.
Tentang kamu, sam-wie, dari siang-siang memang aku sudah ketahui kamu ada orangorang
Hoa San Pay. Kita sebetulnya dari satu golongan."
Lauw Pwee Seng bisa sabarkan diri.
"Semua muridnya Tong-pit Thie-shoeiphoa Oey Soepeh aku kenal, akan tetapi diantaranya
tidak ada kau, lauwko," kata dia. "Soen Soemoay, adakah kau dengar kalau-kalau paling
belakang ini Oey Soepeh terima murid baru?"
"Matanya Oey Soepeh bagaimana tinggi, mustahil dia sudi terima murid sebagai tukang
tipu ini?" jawab Soen Tiong Koen dengan ketus. Dia masih sangat panas karena
pedangnya telah dipatahkan. Dia memang aseran dan pikirannya cupat sekali.
Sin Tjie tetap sabar saja.
"Memang Oey Tjin Soeheng bermata tinggi sekali, tidak nanti dia sembarang menerima
murid," dia bilang.
Semua orang heran mendengar pemuda ini panggil soeheng kepada Oey Tjin.
Bwee Kiam Hoo bertiga tercengang.
"Sebenarnya dari mana kau dapatkan kepandaian Hoa San Pay ini?" Lauw Pwee Seng
tegasi, suaranya keras. Ia tetap sangsi. "Lekas kau bilang!"
Dengan sama sabarnya seperti tadi, Sin Tjie menjawab.
"Guruku she Bok, namanya di atas, Djin, di bawah Tjeng," demikian penyahutannya
dengan tenang. "Guruku itu adalah yang dunia kangouw gelarkan 'Pat-tjhioe Sian-wan' si
Lutung Sakti Tangan Delapan...."
Bwee Kiam Hoo saksikan boegee orang yang liehay, mendengar orang aku diri murid Hoa
San Pay, ia sangsi, hingga maulah ia menduga, mungkin Oey Tjin, sang soepeh, telah
memungut satu murid baru, tetapi sekarang dia dengar pemuda ini mengaku ia adalah
murid soe-tjouwnya, keragu-raguannya jadi lenyap. Benar-benar ia tidak percaya soetjouw
itu, yang tidak ketentuan tempat mengembaranya, masih mau menerima murid lagi. Ia
sendiri cuma pernah dua kali menemui soetjouw itu. Gurunya sendiri, Sin-koen Boe Tek
Kwie Sin Sie suami-isteri sudah berusia lima-puluh tahun, tapi pemuda ini sangat muda
usianya, mana mungkin dia jadi murid soetjouwnya itu? Sekarang orang aku diri sebagai
paman-guru mereka, dia anggap: pemuda ini benar-benar tidak tahu hidup atau mati!
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
"Menurut keterangan ini, jadinya, kaulah soesiok kita?" akhirnya dia tanya. (Soesiok ialah
paman guru).
"Aku juga tidak berani aku kamu bertiga, enghiong-enghiong besar, hookiat-hookiat besar,
sebagai soetitku," sahut Sin Tjie dengan sama tenangnya. (Enghiong dan hookiat ada
orang-orang gagah. Soetit ialah keponakan murid).
Dikuping Bwee Kiam Hoo, jawaban itu berbau ejekan.
"Apakah mungkin kami telah membuat malu Hoa San Pay?" ia tegaskan. "Soesiok Taydjin,
tolong kau memberi nasihat kepada kami tiga soetit kecil yang harus dikasihani....Ha-haha!"
Bwee Kiam Hoo sudah berusia tiga puluh tujuh atau tiga puluh delapan tahun.
Perkataannya ini membuat tertawa berkakakan semua orang-orang undangan Bin Tjoe
Hoa.
Baru sekarang Sin Tjie perlihatkan roman sungguh-sungguh.
"Jikalau Djie-soeheng Kwie Sin Sie ada disini, pasti dia akan beri nasihatnya sendiri
kepadamu!" kata dia, suaranya keren.
Tapi Bwee Kiam Hoo jadi sangat gusar, sekali sambar saja, pedangnya sudah lantas
terhunus hingga menerbitkan suara "Sret!"
"Anak tolol, apakah disini kau ngaco-belo?" ia membentak, mendamprat.
Tjiauw Kong Lee menjadi sibuk, karena urusan jadi ada ekornya. Lekas-lekas ia menyelah
diantara mereka.
"Tuan Wan ini main-main saja, Tuan Bwee, harap kau jangan gusar," ia mohon. "Mari, mari
ramai-ramai kita keringkan cawan!"
Dengan kata-katanya ini Kong Lee juga tidak percaya Sin Tjie benar ada paman guru dari
Bwee Kiam Hoo bertiga. Usia mereka kedua pihak tak memungkinkan itu.
Tapi Kiam Hoo masih panas hatinya.
"Anak tolol, walaupun kau paykoei di depanku dan manggut-manggut dan memanggil aku
soesiok tiga kali, masih aku Boe-eng-tjoe tak sudi aku padamu!" katanya.
Tjeng Tjeng jadi panas hati, ia pun campur bicara.
"Eh, Boe Eng Tjoe, kau mesti panggil engkong dulu padaku!"
kata dia.
Sin Tjie berpaling kepada kawannnya itu.
"Adik Tjeng, jangan bergurau," ia bilang. Ia terus menoleh pada Bwee Kiam Hoo, akan
kata: "Sebetulnya aku belum pernah bertemu sama Kwie Djie-soeheng. Kamu sendiri,
samwie, kamu ada terlebih tua daripadaku, turut pantas, tak tepat aku menjadi paman
gurumu. Akan tetapi, perbuatan kamu bertiga, sesungguhnya tidak selayaknya."
Alisnya Bwee Kiam Hoo bangun berdiri, ia tertawa berkakakan. Ia gusar bukan kepalang.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
"Ah, bocah, kau jadinya hendak beri nasihat kepadaku?" katanya dengan nyaring. "Mohon
aku tanya, dimanakah kesalahannya kami bertiga? Sahabatku ada urusan, mustahil kami
tak dapat bantu padanya?"
Sin Tjie tidak lantas menjawab langsung.
"Tjouwsoe kami dari Hoa San Pay telah meninggalkan dua belas macam pantangan,"
katanya, dengan sabar, tapi dengan sungguh-sungguh. "Kau tahu, apa bunyinya
pantangan yang ketiga, kelima, keenam, dan kesebelas?"
Ditanya begitu, Bwee Kiam Hoo melengak.
Soen Tiong Koen tidak tunggu saudara itu menjawab, dia timpuk muka Sin Tjie dengan
pedang buntungnya.
"Aku hendak coba kepandaian Hoa San Paymu!" serunya.
Sin Tjie tunggu sampainya pedang itu, ia angkat tangan kirinya,ia balikkan telapakannya
ke atas, lalu ia menepok, menakup dengan telapakan tangan kanan yang dibalik kebawah,
maka pedang bunting itu lantas kena dibekap dengan kedua telapakan tangannya itu. Ini
ada tipu silat "Heng Pay Koan Im" atau "Memuja Dewi Koan Im dengan tangan miring".
"Ini Heng Pay Koan Im, cocok atau tidak?" ia tanya.
Bwee Kiam Hoo kembali melengak, juga Lauw Pwee Seng. Dalam hatinya, mereka kata:
"Memang ini ada ilmu silat Hoa San Pay, melainkan dia gunainya secara sangat sempurna,
soehoe sendiri belum tentu sanggup berbuat begini...."
Soen Tiong Koen juga tercengang, hingga ia diam saja.
Lauw Pwee Seng mendekati pemuda kita.
"Benar, barusan kau telah gunai tipu-silat kaum kita," katanya. "Sekarang aku yang ingin
mohon pelajaran lebih dahulu daripadamu...."
"Lauw Toako," sahut Sin Tjie dengan sabar. "Kau bergelar Sin-koen Thay-po, dengan
begitu pastinya kau paham benar ilmu silat kita Hok-houw-tjiang serta ilmu membelah batu
dan menghancurkan kumala...."
Sekarang ini Lauw Pwee Seng tidak berani memandang enteng lagi seperti mulanya.
"Aku Baru meyakinkan kulit dan bulunya saja, tak berani aku membilang sudah
mempelajarinya dengan sempurna," ia jawab.
"Tidak usah terlalu merendah, Lauw Toako," Sin Tjie bilang. "Umpama kau sedang berlatih
tangan dengan Kwie djie-soeheng, umpama dia benar-benar gunai kepandaiannya,
seandainya dia serang kau dengan Pauw-goan-keng atau Koen-goan-kang, apakah bisa
toako menyambutnya?"
"Sepuluh jurus yang pertama, masih bisa aku melayaninya, lantas sepuluh jurus yang
bawah, sukar sekali," Pwee Seng jawab.
"Aha," kata Sin Tjie. "Aku dengar gelaran Kwie Djie-soeheng ada Sin-koen Boe-tek,
kepandaiannya menggunai kepalan pastilah sangat sempurna sekali, maka dengan Lauw
Toako sanggup melayani dia sampai sepuluh jurus, itulah sudah bagus sekali. Lauw
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
toako, tidaklah kecewa kau dengan gelaranmu Sin-koen Thay-po itu."
"Itulah gelaran yang orang berikan aku secara main-main, yang benar adalah
kepandaianku masih beda jauh dari soehoe," Pwee Seng bilang. Ia pun jadi bisa
merendahkan diri sekarang.
Soen Tiong Koen tidak puas terhadap sikapnya saudara seperguruan ini. Dari suaranya ini
saudara, nyatalah Pwee Seng telah jadi semakin lunak, agaknya dia suka aku Sin Tjie
sebagai paman gurunya.
"Eh, Lauw Soeko, bagaimana?" dia menegur. "Apakah kau kena digertak dengan ocehan
belaka?"
"Habis kau mau bagaimana Baru kau hendak percaya aku ada paman gurumu?" Sin Tjie
tanya.
"Aku ingin kau dan aku berlatih sebentar," Pwee Seng bilang. "Umpama kata kepandaian
ilmu silatmu Hoa San Pay ada terlebih sempurna....."
"Itulah gampang," bilang Sin Tjie. "Asal kau sanggup layani aku lima jurus, kau boleh
bilang aku palsu. Kau setuju?"
Mendengar itu, Bwee Kiam Hoo heran berbareng lega hatinya. Dia pikir: "Tentulah dia
cuma ngoceh! Mustahil dia sanggup rubuhkan Lauw Soetee dalam lima jurus saja?" Maka
ia lantas bilang: "Baiklah! Nanti aku yang menghitung!"
Lauw Pwee Seng memberi hormat sambil menjura. Agaknya ia kenal aturan sekarang.
Katanya: "Dimana ada kelemahanku, tolong kau menaruh belas kasihan....."
Sin Tjie lantas menghampirkan dengan tindakannya pelahan. Ia bersiap.
"Jurusku yang pertama ada 'Tjio po thian keng'," katanya, "kau sambutlah."
"Baik," sahut Pwee Seng, yang didalam hatinya sendiri lantas berkata: "Siapa sih yang
hendak bertempur memberi tahu lebih dahulu kepada musuh tipu-pukulannya yang
hendak dipakai menyerang? Tentu dia menggunai akal, dia ingin aku bersiap menjaga di
atas, tahu-tahu dia serang aku dibawah." Maka ia siapkan tangan kanannya didepan
mukanya, tangan kiri dibetulan perut, asal orang mulai menyerang, ia hendak membarengi
menyerang juga.
Segera terdengar suaranya Sin Tjie: "Awas serangan yang pertama!" Dan serangannya
dilakukan. Dengan tangan kiri dia mengancam, dengan tangan kanan ia menyerang
dengan benar-benar. Dan benar-benar ia menyerang dengan tipu-silat Hoa San Pay yang ia
sebutkan, jaitu 'Tjio po thian keng' atau "Batu meledak, langit gempar."
Lauw Pwee Seng geraki tangan kanannya, untuk menangkis.
Pukulannya Sin Tjie belum lagi sampai, atau ia sudah cegah itu.
"Hei, kenapa kau tidak percaya aku?" tanya dia. "Sebuah tangan saja tak cukup untuk
menjaga, mesti dua tangan dengan berbareng."
Pwee Seng terperanjat. Ia pun insyaf, ia bakalan tak sanggup menangkis, atau sedikitnya
hidungnya bakal muncratkan darah. Maka melihat orang menunda penyerangan, ia segera
geraki juga tangan kirinya, dengan kedua tangan ia geraki "pay boen twie san", atau
"mengatur pintu, menolak gunung". Ia menolak seraya perdengarkan seruan.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Sin Tjie lanjuti serangannya, hingga tangannya jadi bentrok dengan dua tangannya lawan,
setelah mana, ia menarik pulang lagi.
"Aku hendak menyerang pula, sekali ini dengan tiga jurus dibarengi," kata dia,
menerangkan. "Itulah Lek-pek sam koan, Pauw Coan in giok dan Kim-kong tjie bwee.
Bagaimana kau akan melawannya?"
Tanpa berpikir lagi, Pwee Seng jawab: "Aku akan gunai Hong pie-tjhioe, Pek in tjoet sioe
dan Pang hoa hoet lioe."
"Dua yang pertama benar, yang ketiga tidak tepat," Sin Tjie bilang. "Kau harus ketahui,
Pang hoa hoet lioe adalah penjagaan di tengah berbareng menyerang. Jikalau kau adu
tenaga dengan lawan, itulah baik, akan tetapi kau perlu membalik tangan, buat balas
menyerang, dengan begitu, tenaga pembelaanmu jadi berkurang separuh, dengan begitu,
kau akan tak sanggup menahan aku punya Kim kong tjie bwee."
"Kalau begitu, aku akan gunai Tjian kin tjwie tee," Lauw Pwee Seng membetuli.
"Itu benar. Kau sambutlah!"
Sambil mengucap demikian, Sin Tjie geraki tangan kanannya.
Pwee Seng pun bersiap, untuk menangkis.
Akan tetapi tangan kanan Sin Tjie cuma terangkat keatas, yang menerjang adalah tangan
kirinya, kebawah. Sembari berbuat demikian, dia kata: "Dalam ilmu silat, tak boleh orang
berkukuh. Gurumu ajarkan kau Lek pek sam koan dengan tangan kanan tetapi kita bisa
melihat gelagat, memakai tangan kiri pun boleh." Sembari berkata,ia menyerang terus,
tanpa tunggu orang menutup diri, untuk menangkis, ia mendahului menyambar lengan
orang, untuk ditarik.
Lauw Pwee Seng menggunai 'Pek in tjoet sioe' atau 'awan putih keluar dari sela gunung',
ia melonjorkan tangannya untuk mengikuti, diam-diam ia gunai tenaganya, apapula lawan
tidak siap-sedia, dadanya bisa kena ditotok celaka. Tapi ia pun tidak berani balas
menyerang, begitu lekas tangannya dilepaskan dari cekalan lawan, ia menahan diri,
dengan perkuatkan bahagian bawah, ia tancap kedua kakinya.
Sin Tjie tidak berdiam sajda begitu lekas ia lepaskan cekalannya terhadap lengan lawan,
gesit luar biasa, ia mencelat kesamping, terus kebelakang musuh dari mana, tangan
kirinya segera mendorong bebokong lawan itu, sebelum Pwee Seng sempat memutar
tubuh atau berkelit, kuda-kudanya sudah gempur, hingga ia terjerunuk dua tindak
kedepan, dengan susah-payah Barulah dia bisa berbalik.
"Bagus!" berkata Sin Tjie. "Sekarang ini pukulanku yang kelima. Ini ada Kie-tjhioe-sie dari
Po-giok-koen."
Pwee Seng merasa heran, hingga ia berdiam saja.
"Apakah kau sangka Kie-tjhioe-sie hanya untuk upacara saja, buat memberi hormat?"
tanya Sin Tjie. "Apa kau kira kie-tjhioe-sie tak ada faedahnya dipakai menghadapi musuh?
Kau mesti insyaf maksud Tjouwsoe menciptakan tipu-silatnya ini. Tidak ada satu jua dari
jurus-jurusnya Tjouwsoe yang tidak disiapkan untuk melumpuhkan musuh, guna merebut
kemenangan. Kau lihat saja!"
Lantas Sin Tjie mendak sedikit, tubuhnya rada melengkung bagaikan biang panah,
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
kepalan tangannya ditekap dengan tangan kiri, menjusul mana ia membuat gerakan
sebagai lagi menjura, lantas saja tubuhnya itu bergerak maju, kedua tangannya pun
menyerang dengan berbareng. Selagi Pwee Seng sibuk hendak menangkis, karena
serangan itu sangat diluar dugaan, paha kirinya sudah kena dijotos, hingga tubuhnya itu
menjadi limbung, terus saja ia rubuh!
Justru orang rubuh, Sin Tjie berlompat menghampirkan, untuk sambar tubuh lawan
dengan dua tangannya, buat dikasi bangun, buat direbahkan dengan hati-hati.
Lauw Pwee Seng segera geraki tubuhnya, untuk berbangkit dan berlutut, buat lantas
memberi hormat sambil paykoei.
"Aku yang muda tidak kenal soesiok, barusan aku telah berlaku kurang ajar," kata ia,
"maka dengan memandang kepada guruku, aku minta soesiok sudi mengasi maaf
padaku."
Sin Tjie lekas-lekas membalas hormatnya.
"Lauw Toako ada terlebih tua daripada aku, baik kita berbasa engko dan adik saja," kata
ia.
"Tak berani aku berbuat begitu, soesiok," Pwee Seng menampik. "Ilmu silat soesiok benarbenar
luar biasa. Lima jurus barusan memang ada ilmu pukulan kita kaum Hoa San Pay,
dengan itu soesiok beri pengajaran padaku, aku merasa sangat berterima kasih, kelak
kemudian pasti aku akan yakinkan itu dengan sungguh-sungguh."
Sin Tjie tidak menjawab, ia melainkan bersenyum.
Pwee Seng buktikan janjinya ini, karena dibelakang hari, ia yakinkan sungguh-sungguh
hingga ia peroleh kemajuan yang berarti. Karena mana ia hormati betul paman guru cilik
ini.
Sampai disitu, Bwee Kiam Hoo dan Soen Tiong Koen tidak bisa beragu-ragu lebih jauh,
akan tetapi orang she Bwee ini percaya betul ketangguhan ilmu pedangnya, maka ia telah
berpikir: "Dalam ilmu silat tangan kosong, kau liehay, dalam ilmu pedang, belum tentu kau
nanti dapat menangi aku."
Selagi ia berpikir demikian, ia dengar seruannya Tiong Koen:
"Bwee Soeko, hayo coba ilmu pedangnya!"
"Baik!" jawab soeheng ini, yang terus pandang Sin Tjie dan kata: "Aku niat di ujung
pedang tuan mencoba menerima pelajaran beberapa jurus."
Dia omong dengan sabar dan halus,akan tetapi air mukanya tetap membayangi
kejumawaannya. Ia pun memanggil tuan.
Sin Tjie berpikir: "Rupanya dia ini telah dapatkan ilmu pelajaran sempurna dalam ilmu
pedang Hoa San Pay, pasti selama berkelana belum pernah dia menemui tandingan,
hingga karena pujian muluk di sana-sini, ia jadi berkepala besar, tekeburnya bukan
buatan, sehingga sepak terjangnya jadi berlebih-lebihan. Dia beda daripada Lauw Pwee
Seng, perlu aku ajar adat padanya, supaya dibelakang hari dia tidak membuat malu kepada
Hoa San Pay. Ajaran pun akan membuat kebaikan untuk dirinya sendiri."
Maka lantas ia menyahuti: "Untuk mengadu pedang, tidak ada halangannya, akan tetapi
kapan sebentar telah ada keputusan menang dan kalah, kau mesti dengar sedikit
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
nasihatku yang tentunya tidak sedap untuk kupingmu."
"Sekarang masih belum ada keputusannya menang atau kalah, kalau kau hendak bicara,
itulah masih terlalu pagi!" kata Kiam Hoo dengan kejumawaannya tidak berkurang. Malah
dia segera lintangi pedangnya didepan dada, dia ambil tempat disebelah kiri, di atas.
"Bwee Soeko, baik kau berdiri disebelah bawah!" Lauw Pwee Seng teriaki soeheng itu.
Kiam Hoo tidak gubris itu nasihat, ia seperti tidak mendengarnya.
Adalah aturan dari Hoa San Pay, apabila angkatan muda berlatih pedang dengan angkatan
tua, yang muda mesti ambil tempat disebelah bawah. Itu ada tanda bahwa bukan si muda
berani terhadap si tua, itu adalah si muda mohon pengajaran. Tapi Bwee Kiam Hoo,
dengan berdiri di kiri, jadi anggap dirinya sepantaran dengan orang yang terlebih tua
derajatnya, tingkatannya, terang ia tidak sudi akui Sin Tjie sebagai paman guru. Dengan
tangan kiri, dia genggam gagang pedang, sembari rangkap kedua tangan, dia menantang:
"Tuan, silakan!"
Sin Tjie tidak puas terhadap sikap lawan ini, akan tetapi ia punyakan kesabaran luar biasa.
Ia tidak lantas terima tantangan itu, hanya lebih dahulu ia menoleh kepada Tjiauw Kong
Lee.
"Tjiauw Loopeh, tolong kau minta orangmu bawa kemari sepuluh bilah pedang," ia minta.
"Ah, Wan Siangkong, jangan panggil loopeh padaku, tak berani aku menerimanya,"
berkata tuan rumah itu.
Selagi orang-tuanya bicara, Tjiauw Wan Djie memberi tanda kepada pihaknya, maka lantas
ada beberapa muridnya Kong Lee yang membawa datang sepuluh bilah pedang yang
diminta. Malah mengingat orang telah menolong guru mereka, mereka sengaja pilih
pedang yang bagus, yang semua diletaki diatas meja.
Semua mata ditujukan kepada Sin Tjie, ingin orang ketahui, pedang yang mana satu yang
bakal ia pilih. Akan tetapi, selagi sepuluh pedang sudah siap, dia justru jumput pedang
buntung dari Soen Tiong Koen.
"Aku pakai ini pedang buntung saja!" katanya sambil tertawa.
Semua orang melongo. Bagaimana pedang buntung dapat dipakai mengadu silat?
Sin Tjie jepit pedang buntung itu diantara jempol dan telunjuknya.
"Sekarang kau boleh menyerang!" kemudian ia kata kepada Kiam Hoo.
Orang she Bwee itu menjadi sangat gusar.
"Kau sangat memandang enteng kepadaku, jikalau sebentar kau mampus, jangan kau
sesalkan aku!" kata dia dalam hatinya. Ia lantas putar pedangnya, hingga cahayanya
berkilauan dan suaranya mengaung.
"Awas!" dia berseru. Segera dia tikam bahu kanan Sin Tjie. Dia pikir: "Kau cekal
pedangmu secara begini, tentulah tangan kananmu tak leluasa bergerak! Aku serang
bagianmu yang lemah, aku mau lihat, bagaimana kau layani aku...."
Didalam ruangan itu hadir dua ratus orang lebih tapi semuanya bungkam, cuma mata
mereka mengawasi kearah medan perang pedang, dari itu, suasana tenang sekali.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Serangan Kiam Hoo cepat dan hebat, tatkala ujung pedang hampir sampai pada sasaran
dengan tiba-tiba saja Sin Tjie menangkis dengan pedangnya yang buntung.
Kedua pedangnya beradu keras: "Tak! Trang!"
Suara nyaring yang belakangan adalah suaranya pedang jatuh kelantai, sebab pedangnya
Kiam Hoo patah dengan mendadak, hingga ia cekal hanya gagangnya pedang!
Semua orang tercengang, tak ada yang tahu, ilmu tangkisan apa itu yang membuat
pedang lawan patah secara demikian.
Selagi orang terheran-heran Sin Tjie menunjuk ke meja.
"Aku telah minta disiapkan sepuluh bilah pedang, maka pergilah kau lantas menukar
pedangmu!" kata ia kepada lawan itu, tenang.
Baru sekarang semua hadirin mengerti apa keperluannya persiapan sepuluh bilah pedang
itu.
Kiam Hoo kaget berbareng gusar sekali. Ia lompat kemeja, untuk sambar sebilah pedang,
setelah mana, ia menerjang dengan tiba-tiba. Dengan pedang yang baru, ia membabat
kebawah.
Sin Tjie menduga orang cuma gertak ia, ia tidak menangkis atau berkelit sambil melompat.
Benar saja, Kiam Hoo tidak terus babat kakinya, hanya setelah ditarik pulang, ujung
pedang dipakai menikam perutnya!
Dari samping, pemuda ini tangkis serangan hebat itu.
"Trang!" kembali suara nyaring.
Untuk kedua kalinya, pedang Kiam Hoo kena dibikin kutung.
Dalam penasarannya, orang she Bwee ini sambar pedang yang kedua, dengan sama
sengitnya, ia ulangi serangannya yang dahsyat. Akan tetapi untuk ketiga kalinya, tetap
cuma dengan satu kali tangkisan, lagi-lagi pedangnya kena dibikin sapat, sehingga ia jadi
berdiri tak dapat dia membuka mulut.
"Kau bilang ilmu pedang, kenapa kau gunai ilmu siluman?" Soen Tiong Koen menegur. Ia
pun tercengang tapi ia lekas ingat pula akan dirinya. "Apakah ini namanya adu silat?"
Sin Tjie lempar pedang buntungnya, ia bertindak kemeja, untuk ambil dua batang, satu
diantaranya ia sodorkan pada Kiam Hoo. Ia bersenyum. Ia terus berpaling kepada nona
garang itu.
"Kecewa kau namakan dirimu kaum Hoa San Pay!" katanya. "Kenapa kau tidak kenal
Koen-thian-kang? Kenapa kau sebut-sebut ilmu siluman?"
Sedangnya orang berpaling, dengan kecepatan bagai kilat,Bwee Kiam Hoo bokong itu
anak muda, justru setelah ujung pedang hampir mengenai bebokong, Baru dia berseru:
"Lihat pedang!"
Sin Tjie mengegos ke samping.
"Lihat pedang!" dia pun berseru.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Kiam Hoo menyerang dengan tipu tikaman "Tjhong-eng-kim-touw" atau "garuda
menyambar kelinci", tapi juga Sin Tjie gunai serupa gerakan, maka itu, lekas-lekas ia egos
tubuh seperti si anak muda, ia memikir akan kasi lewat pedang lawan seperti tadi
pedangnya dikelit.
Akan tetapi pedangnya Sin Tjie itu, setelah ditusukkan, segera diteruskan, diputar, dan
selagi Kiam Hoo berkelit, dia ini merasakan bebokongnya kelanggar suatu apa, sehingga
ia kaget sekali, sampai ia keluarkan keringat dingin, buru-buru ia buang tubuhnya
kedepan, setelah menubruk tanah, ia lantas mencelat bangun. Diluar sangkaannya, ujung
pedang Sin Tjie masih membayangi bebokongnya, sehingga dalam sibuknya, tak sempat
ia menangkis. Ia berkelit, ia berkelit pula, tidak urung ujung pedang terus ancam dia, ujung
pedang itu seperti tidak mau berpisah darinya! Ujung pedang cuma nempel dengan baju,
maka coba tikaman dilanjuti, habislah selembar jiwanya orang jumawa ini.
Kiam Hoo yang didjuluki "Boe Eng Tjoe" si Bajangan Tak Ada, artinya, ia tidak punyakan
bajangan, itu menandakan liehaynya ilmu entengkan tubuh, kegesitannya, akan tetapi
sekarang, pedang Sin Tjie justru menjadi bajangannya, tidak heran kalau ia terbenam
dalam kaget dan takut. Tujuh atau delapan kali ia berkelit, ia tetap masih belum bisa
loloskan diri dari ancaman ujung pedang lawannya itu.
Sin Tjie tampak muka orang pucat dan kepala bermandikan keringat, ia ingat lawan itu
adalah soetitnya, keponakan murid, ia anggap tak boleh ia berlaku keterlaluan. Maka ia
berhenti membayangi, ia tarik pulang pedangnya.
"Inilah ilmu silat pedang Hoa San Pay, apakah kau belum pernah mempelajarinya?"
tanyanya.
Setelah tidak dibayangi lebih jauh, Bwee Kiam Hoo bisa tenangi diri. Ia tunduk.
"Inilah yang dibilang Hoe-koet tjie tjie," jawab ia.
Sin Tjie tertawa pula.
"Kau benar," ia bilang. "Nama ilmu pedang ini tak sedap didengarnya akan tetapi
kefaedahannya besar sekali!"
"Hoe koet tjie tjie" berarti "Lalat ikuti tulang".
Dari antara hadirin segera terdengar suara nyaring dari Tjeng Tjeng:
"Kau digelarkan Boe Eng Tjoe, hei, kenapa bebokongmu selalu diiringi pedang orang?"
demikian suara nona djail itu. "Aku sendiri, aku lebih suka bajangan sendiri yang
mengikuti belakangku!"
Kiam Hoo mencoba mengatasi diri, ia tidak layani nona itu. Tapi ia tetap masih belum
puas. Ia sudah yakinkan pedangnya belasan tahun, ia heran kenapa ia tak dapat gunai itu
seperti biasanya.
"Marilah kita adu pedang menurut cara biasa," kata ia pula kemudian. "Kepandaianmu
terlalu campur-aduk, aku tidak sanggup melayaninya....."
"Ini adalah pelajaran aseli dari Hoa San Pay, mengapa kau menyebutnya campur aduk?"
Sin Tjie tanya. "Baiklah! Kau lihat!"
Ia lantas menyerang, lempang didada.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Kiam Hoo angkat pedangnya, untuk menangkis, habis mana, niat ia melakukan
pembalasan, akan tetapi anak muda itu menekan, ketika ia hendak menarik pulang, ia tidak
bisa lakukan itu, sebab entah kenapa, pedangnya bagaikan nempel sama pedang
lawannya itu.
Sesudah menekan, Sin Tjie lalu memutar pedangnya, sampai dua kali, sama sekali ia tidak
kasi ketika untuk orang menarik pulang pedangnya itu, malah tangannya Kiam Hoo
terpaksa turut berputar, setelah mana, cuma terasa satu tarikan kaget, pedangnya Boe
Eng Tjoe terlepas dari cekalannya dan terlempar!
"Apakah kau masih hendak mencoba pula?" Sin Tjie tanya.
Kiam Hoo menjadi nekat, tanpa menjawab, ia sambar sebatang pedang lain dari atas meja,
begitu lekas ia berpaling, ia terus menyerang, kearah pundak kiri si anak muda. Ia berlaku
cerdik sekarang, ketika Sin Tjie menangkis, dengan cepat ia tarik pulang pedangnya itu.
Tak sudi ia membikin pedangnya terlilit pula dan terpental.
Sin Tjie juga tidak putar pedangnya seperti tadi, setelah tangkisannya kosong, ia teruskan
pedangnya untuk menikam dada si orang bandel itu!
Inilah serangan hebat, tak dapat tidak, serangan ini mesti ditangkis, sebab untuk berkelit,
ia tidak punyakan ketika lagi. Begitulah ia menangkis.
Begitu lekas kedua pedang bentrok, dengan menerbitkan suara nyaring, Kiam Hoo rasai
lengannya menggetar dan terputar, menyusul itu, cekalannya terlepas, pedangnya mental
ke udara. Ia terkejut, tapi ia masih ingat akan dirinya, masih saja ia penasaran, maka
hendak ia berlompat pula ke meja, untuk sambar sebatang pedang lain.
"Apakah kau masih tidak hendak menyerah?" membentak Sin Tjie, yang bisa duga
maksud orang, karena mana, ia balingkan pedangnya dua kali kearah ponakan murid ini,
untuk tidak mengasi ketika.
Mau atau tidak, Kiam Hoo mesti batalkan maksudnya. Untuk luputkan diri dari ancaman
pedang, ia berkelit, tubuhnya dikasi mundur dengan berlenggak. Justru ia lindungi
tubuhnya, kakinya kena disambar kaki si anak muda, pelahan saja, tetapi itu cukup buat
menyebabkan dia rubuh terjengkang!
Masih Sin Tjie belum mau berhenti. Sambil maju, ia mengancam dengan ujung pedangnya
pada tenggorokannya.
"Apa benar kau tak hendak menyerah?" tegaskan dia.
Seumurnya, Kiam Hoo belum pernah menampak hinaan semacam ini, bisa dimengerti
hebatnya kemendongkolan dan gusarnya, sebab ia tidak sanggup lampiaskan itu,
mendadak saja ia pingsan.
Soen Tiong Koen saksikan itu kejadian, kapan ia lihat soehengnya rebah celentang tak
berkutik, matanya mendelik dan lantas dirapatkan, dia jadi lupa daratan, karena ia
menyangka, soeheng itu binasa ditangan pemuda ini. Sambil berlompat ia menyerang
dengan tangan kosong, mulutnya berteriak: "Kau bunuh juga aku!"
Sin Tjie juga terkejut melihat orang pingsan.
"Jikalau dia binasa, bagaimana aku bisa menemui soehoe dan djie-soeheng?" pikir dia.
Lantas ia membungkuk, akan raba dada Kiam Hoo, sehingga ia merasai memukulnya
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
jantung, karena mana, legalah hatinya. Ia lantas tepuk orang punya batang leher dan jalan
darah, buat bikin darahnya jalan benar.
Ketika itu Soen Tiong Koen sudah sampai dengan lompatannya, ia lantas saja hajar
bebokongnya Sin Tjie dengan kepalannya, berulang-ulang, sebab ia sudah kalap.
Sin Tjie tidak perdulikan serangan itu, ia antap saja.
Tjeng Tjeng dan Lauw Pwee Seng lompat maju, yang pertama berseru, untuk cegah nona
Soen turun tangan lebih jauh, yang belakangan untuk tarik saudara seperguruannya.
Soen Tiong Koen jatuhkan dirinya, mendelepok dilantai, ia menangis menggerung-gerung.
Tidak antara lama, Kiam Hoo sadar akan dirinya.
"Kau bunuh saja aku!" ia berseru tetapi suaranya lemah.
"Soeheng," Pwee Seng kata pada saudara itu, "kita mesti dengar nasihat soesiok, jangan
kau turuti adatmu....."
Tjeng Tjeng awasi Tiong Koen.
"Dia tidak mati, kenapa kau nangis?" katanya sambil tertawa.
Gusar Tiong Koen, ia lompat bangun, kepalannya menyambar pada nona Hee. Ia ada satu
wanita jago dari Hoa San Pay, ia pun sedang murka, tidak heran kalau serangannya itu ada
luar biasa cepat.
Tjeng Tjeng tidak menyangka, siasia ia berkelit, pundak kirinya kena terjotos, sehingga ia
merasai sakit, karena mana, ia jadi gusar, hendak ia melakukan pembalasan. Tapi Baru ia
hendak ayunkan tangannya, tiba-tiba Tiong Koen menjerit: "Aduh! Aduh!" lalu tubuhnya
nona itu terbungkuk-bungkuk. Ia heran sehingga ia melengak.
"Kau yang serang aku, kenapa kau yang kesakitan?" ia tegur. Ia hendak menegur terus
tetapi Sin Tjie kedipi matanya, hingga walaupun ia heran, ia urungi niatnya itu.
Soen Tiong Koen masih menangis, ia usut-usut kedua kepalannya yang merah dan
bengkak. Itulah yang membuat ia menjerit dan menangis, sebab tangan itu sakit bukan
main. Dalam kalapnya, barusan ia serang Sin Tjie kalang-kabutan, setiap kali ia memukul,
kepalannya membal balik. Ia tidak perdulikan itu, ia masih tidak merasakan sakit, adalah
setelah ia jotos Tjeng Tjeng, Baru ia merasakan sakit, sakit sekali, seperti ditusuk-tusuk
jarum. Sekarang pun ia lihat, kedua kepalannya bengkak dan merah, saking menahan
sakit, air matanya meleleh terus.
Sengaja Sin Tjie mengajar adat, sebab ia gemas sekali terhadap murid dari djiesoehengnya,
karena nona ini sangat garang dan telengas, tanpa sebab ia sudah tabas
kutung lengan Lip Djie, dan saban-saban ia perlihatkan kegagahannya.
Orang banyak tidak tahu duduknya perkara, maka rata-rata mereka menyangka Tjeng
Tjeng adalah yang liehay sekali. Bukankah pemuda ini diajar kenal sebagai puteranya Kim
Coa Long-koen Hee Soat Gie? Apa heran bila orang menyangka dia terlebih liehay
daripada Sin Tjie, hingga Soen Tiong Koen yang menyerang, Soen Tiong Koen sendiri
yang kesakitan.....
Cuma Sip Lek Taysoe, The Kie In dan Ban Hong yang ketahui, nona Soen sudah jadi
korban dari tenaga membal, bahwa untuk tolong si nona, obatnya gampang, ialah
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
kepalannya mesti diuruti dan jalan darahnya ditotok, nanti sakitnya lenyap, bengkaknya
kempes. Tapi mereka tidak berani turun tangan, untuk tolongi si nona, mereka jeri
terhadap Sin Tjie, boegee siapa sekarang mereka malui.
Akhir-akhirnya Bwe Kiam Hoo berbangkit, ia hadapi Sin Tjie untuk menjura tiga kali.
"Wan Soesiok, menyesal aku tidak kenal padamu hingga aku berlaku kurang ajar,"
katanya. "Aku minta sukalah soesiok tolong Soen Soemoay."
Sin Tjie tidak lantas menyahut, ia mengawasi dengan keren.
"Kau insyaf kesalahanmu atau tidak?" tanya dia.
Kiam Hoo tidak berani berkeras kepala lagi, ia tunduk.
"Tidak selayaknya aku yang muda robek surat-suratnya Tjiauw Toaya," ia akui, "juga tidak
seharusnya aku memaksa akan membelai Bin Djieko."
"Aku harap selanjutnya Bwee Toako suka berlaku hati-hati," kata Sin Tjie kemudian,
setelah orang mengaku salah.
"Aku nanti dengar nasihat soesiok," Kiam Hoo bilang.
"Bin Djieya tidak ketahui duduknya yang benar perihal kandanya, dia hendak menuntut
balas, tindakannya itu bukan tidak selayaknya," kata pula Sin Tjie. "Bahwa orang banyak
datang untuk membantu dia, itu juga adalah perbuatan yang harus dipuji. Itulah sikap
sewajarnya dari orang-orang kangouw sedjati. Sekarang duduknya perkara telah jadi
terang sekali, aku harap supaya semua pihak suka membikin habis salah faham ini, biarlah
lawan menjadi kawan. Kau hendak bantu Bin Djieko, aku tidak persalahkan padamu, tetapi
kau pun sudah lakukan satu perbuatan yang sangat tidak selayaknya. Aku kuatir, Bwee
Toako, kau masih belum menginsyafinya."
Kiam Hoo heran hingga ia tercengang.
"Apakah itu, soesiok?" tanyanya, menegasi.
"Kita kaum Hoa San Pay mempunyai dua belas pantangan," berkata Sin Tjie. "Apakah
bunyinya pantangan yang kelima?"
"Tadi pun soesiok telah tanyakan yang keempat dan ketiga," kata Kiam Hoo. "Yang ketiga
itu adalah 'lancang membunuh tanpa sebab-musabab'. Soen soemoay telah langgar
pantangan itu, maka baiklah, sebentar dia harus menghaturkan maaf kepada Lo Toako,
kemudian kita nanti membayar kerugian....."
"Siapa kesudian uang busukmu?" berseru satu muridnya Tjiauw Kong Lee. "Tangan orang
telah ditabas kutung, apakah itu bisa diganti dengan tambalan uang?"
Kiam Hoo tahu pihaknya bersalah, terpaksa ia tutup mulut.
Sin Tjie menoleh kearah murid-murid tuan rumah, kepada murid yang barusan bicara, ia
kata: "Memang perbuatan soetitku ini sangat semberono, aku menyesal sekali. Tunggulah
sampai lukanya Lo Soeko sudah sembuh, nanti aku dayakan terhadapnya supaya ia bisa
gunai sebelah tangannya dengan sempurna. Itulah ilmu silat bukan kepunyaan Hoa San
Pay, dari itu dapat aku menurunkannya tanpa tunggu aku peroleh perkenan lagi dari
guruku."
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Orang tahu anak muda ini liehay sekali, walaupun dia membilang hendak 'mendayakan',
itu berarti memberi pelajaran, maka itu, janji itu diterima dengan girang. Orang pun puas
yang anak muda ini suka menanggung dosanya Soen Tiong Koen.
"Pantang yang keenam adalah 'Tidak menghormati yang tua'," kata pula Kiam Hoo.
"Mengenai ini, teetjoe ketahui kesalahanku. Yang kesebelas jaitu, 'Tidak selidiki duduknya
perkara', dalam hal ini, teetjoe pun mengaku bersalah. Pantangan yang kelima berbunyi
'Bergaul dengan orang jahat', dalam hal ini teetjoe lihat Bin Djieko adalah satu laki-laki...."
Umumnya disitu orang tidak tahu hal dua belas pantangan dari Hoa San Pay, Baru
sekarang, mendengar keterangan Bwee Kiam Hoo, orang dengar itu. Bin Tjoe Hoa terkejut,
ia berjingkrak.
"Apa? Apakah aku orang jahat?" serunya.
"Jangan salah mengerti, Bin Djieya, kami bukan maksudkannya," Sin Tjie terangkan.
"Habis, kau maksudkan siapakah?" Tjoe Hoa tegasi.
Sin Tjie hendak berikan jawabannya ketika dua muridnya Tjiauw Kong Lee muncul
diantara mereka sambil pepayang Lo Lip Djie, yang tangannya hilang sebelah, yang
lukanya masih belum sembuh.
Mereka berdua sengadja lari kedalam, untuk kabarkan soeheng itu yang tetamu pemuda
itu hendak tolong padanya. Lip Djie lantas saja menjura kepada Sin Tjie, untuk haturkan
terima kasih.
Sin Tjie lekas-lekas balas hormat itu. Ia lihat Lip Djie bermuka pias, akan tetapi sikapnya
tetap gagah.
Dengan suara jelas, Lip Djie bilang: "Wan Toa-hiap sudah tolong guruku, Toa-hiap juga
hendak berikan pelajaran silat padaku, aku sangat berterima kasih."
"Jangan kau ucapkan itu," Sin Tjie merendah.
The Kie In menyaksikan itu sambil tertawa, ia kata: "Loa Tjiauw, muridmu ini cerdik sekali!
Dia kuatir orang nanti menyesal dan menarik pulang kata-katanya, dia lantas saja
mendahului menghaturkan terima kasih!"
Tjiauw Kong Lee tertawa.
"Bisa saja, tootjoe, kau bisa saja!" katanya.
Habis menghaturkan terima kasih, Lip Djie undurkan diri pula.
Itu waktu Soen Tiong Koen masih terus mengucurkan keringat, ia masih merasakan sakit,
sehingga bibirnya pada matang biru saking ia menahan sakit. Sin Tjie hampirkan dia,
karena pemuda ini merasa, orang telah cukup menderita.
"Jangan raba aku!" Tiong Koen berseru. Nyata ia masih gusar, ia belum mau menyerah.
"Biar aku mati, tak suka aku ditolong olehmu!"
Mukanya Sin Tjie merah, ia jengah. Ia memikir untuk minta Tjeng Tjeng yang menolongi,
untuk itu ia hendak ajarkan caranya kepada kawan ini, akan tetapi si nona dandan sebagai
satu pemuda. Tentu saja ini pun sulit. Maka itu, ia menoleh kepada Wan Djie.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
"Nona Tjiauw!" ia memanggil.
Pada saat itu, dua kali terdengar suara pintu digedor, kemudian menyusul suara
menjeblak. Nyata kedua daun pintu telah terbuka dengan paksa akibat tendangan.
Semua orang terkejut, semua berpaling keluar.
Dimulut pintu bertindak masuk dua orang. Orang yang jalan didepan berumur lima puluh
lebih, dandannya sebagai orang tani saja. Orang yang kedua seorang perempuan berumur
empat puluh lebih, ia dandan sebagai orang tani juga. Dia ini mengempo satu anak kecil.
Soen Tiong Koen lantas saja berseru: "Soehoe! Soehoe!" Lantas ia lari kearah dua orang
tani itu.
Mendengar suaranya Tiong Koen, semua orang lantas ketahui, itulah suami-isteri Tjio-
Poan-San-Long Kwie Sin Sie, si suami-isteri orang tani dari Tjio Poan San.
Kwie Djie-nio lantas serahkan anak yang diemponya kepada suaminya, dengan muka
merah-padam, ia lantas uruti jalan darahnya Soen Tiong Koen.
Bwee Kiam Hoo dan Lauw Pwee Seng hampirkan guru mereka suami-isteri itu, untuk
menjalankan kehormatan.
Sin Tjie lihat Kwie Sin Sie beroman sederhana sekali, Kwie Djie-nio, si djie-soso, atau
ensonya yang kedua itu, wajahnya keren. Ia mengikuti Kiam Hoo dan Pwee Seng, habis
mereka berdua, ia pun memberi hormat sambil paykoei.
Kwie Sin Sie kasi bangun pada anak muda ini, ia cuma mengucap "Tak usah", lantas ia
bungkam.
Kwie Djie-so terus uruti muridnya, sembari berbuat demikian, ia berpaling, akan awasi Sin
Tjie, sikapnya sangat tawar.
Setelah ditolong gurunya, Tiong Koen merasakan tak terlalu sakit lagi, bengkak
ditangannya pun mulai kempes.
"Soe-bo," katanya, "dia itu mengaku menjadi soesiok, dia telah bikin tanganku jadi begini
rupa, malah pedang yang soe-bo kasikan padaku, dia telah bikin patah!"
Terkejut Sin Tjie apabila dengar pengaduan itu.
"Inilah hebat!" pikirnya. "Coba aku tahu pedangnya itu adalah pedang pemberian djiesoeso,
biar bagaimana juga, tidak nanti aku bikin patah." Maka lekas-lekas ia memberi
hormat pada enso itu dan kata: "Siauwtee tidak mengetahui itu, untuk kelancanganku
harap soeheng dan soeso maafkan aku....."
Kwie Djie-so tidak sahuti anak muda ini, ia hanya berpaling kepada suaminya.
"Eh, djieko, katanya soehoe telah terima satu murid yang masiih muda sekali, apakah ini
dianya?" tanya dia. "Kenapa dia begini tidak tahu aturan?"
"Aku belum pernah ketemu dengannya," sahut sang suami, yang berbareng pun menjadi
djie soeheng isterinya itu, kanda seperguruan yang kedua.
"Orang mesti ketahui, ilmu pelajaran tiada batas habisnya," berkata Kwie Djie-so, seperti
pada dirinya sendiri. "Orang pun mesti ingat, diluar langit ada langit lainnya, di atas orang,
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
ada orang lagi! Baru dapat pelajarkan sedikit ilmu, sudah lantas dengan sembarang saja
menghina orang lain! Hm! Taruh kata muridku salah, toh ada aku yang nanti menegurnya,
tidak usah ada soesioknya yang menggantikan aku mengajar adat!"
Sin Tjie tahu, kata-kata itu ditujukan kepadanya.
"Ya, ya, siauwtee insaf kesemberonoanku," ia akui.
"Kau telah patahkan pedangku, apakah dimatamu masih ada orang yang lebih tinggi
derajatnya?" tegur Kwie Djie-so. "Taruh kata soehoe sangat sayang padamu, mustahil
terhadap soeheng sendiri kau dapat berbuat kurang ajar seperti ini?"
Para hadirin jadi merasa tidak enak. Nyonya petani ini makin lama jadi makin sengit. Itulah
perbuatan yang keterlaluan, sebab dia belum tahu duduknya hal.
Tapi Sin Tjie lain, ia terus bersikap sabar, ia mengalah saja.
Dipihaknya Tjiauw Kong Lee, orang tidak puas dengan sikapnya Kwie Djie-so, adalah Bin
Tjoe Hoa, Tong Hian, dan Ban Hong merasa puas sekali.
"Soehoe, soebo," kata pula Soen Tiong Koen, "dia ini bilang ada satu Kim Coa Long-koen
yang menjadi tulang punggungnya, begitulah Bwee Soeheng dan Lauw Soeheng dia telah
rubuhkan!....."
Mendengar perkataan muridnya ini, tak kepalang gusarnya Kwie Djie-so.
Kwie Sin Sie dan isterinya ini sedang dalam perjalanan untuk mencari obat guna tolong
anak meraka. Anak itu adalah anak satu-satunya, namanya Tjin Tiong, sakitnya berat,
maka juga, sebagai ayah dan ibu, mereka berkelana, untuk cari tabib yang pandai, yang
sanggup mengobatinya. Menurut beberapa tabib terkenal, yang telah periksa penyakitnya
anak itu, sebabnya penyakit adalah luka sejak didalam kandungan, yaitu selagi hamil,
Kwie Djie-so telah bertempur dan hamilannya dapat goncangan hebat, yang berakibat
menganggu kesehatannya bayi dalam kandungan. Untuk bisa tolong anak itu, obat yang
dibutuhkan adalah campuran dari Tay-hok-leng dan Ho-sioe-ouw yang sudah seribu tahun
tuanya, kalau tidak, lagi satu atau dua tahun, anak ini bakal jadi demikian kurus-kering dan
akhirnya akan mati meroyan. Tentu sekali, karenanya, ayah dan ibu itu menjadi sangat
sibuk dan kuatir. Maka mereka coba cari kedua macam obat itu, sampai mereka mohon
bantuan sahabat-sahabat dan kenalan dari rimba persilatan. Tay-hok-leng saja sudah
susah dicari, apalagi Ho-sioe-ouw. Kemana kedua obat mesti dicari? Mereka sudah
berkelana lebih daripada satu tahun, masih sia-sia saja usaha mereka. Disebelah itu,
mereka dapati anak mereka semakin kurus, semakin kurus, maka bisalah dimengerti
kekuatiran mereka. Suami-isteri itu sangat berduka. Kwie Sin Sie sendiri masih dapat
tenangkan diri, tapi isterinya sering-sering melepas air mata. Begitulah, dalam usaha
mencari obat, mereka menuju ke Lam-khia. Kota ini kota tua dan kota raja, mereka harap
didalam kota ini nanti menemui kedua rupa obat yang dibutuhkan itu. Kebetulan sekali,
mereka dengar kabar tiga murid mereka ada di Lam-khia juga, mereka memang tahu ketiga
murid itu cerdik, ingin mereka minta bantuan tiga murid itu. Maka itu, langsung mereka
menuju ke rumah Tjiauw Kong Lee. Apa mau, disini mereka ketemukan Soen Tiong Koen
dalam keadaan hebat itu. Kwie Djie-soe memang aseran tabiatnya, ia pun lagi bersusah
hati karena anaknya itu, tidak heran kalau ia jadi mendongkol dan gusar, hingga ia umbar
hawa-amarahnya. Ia pun tidak puas murid-murid itu 'diperhina' soeteenya. Begitulah, ia
cuma dengar saja satu pihak. Ia jadi bertambah gusar mendengar Soen Tiong Koen sebut
Sin Tjie ada punya 'tulang punggung'.
"Apakah benar Kim Coa si mahluk aneh itu masih hidup?" ia tanya suaminya seraya ia
berpaling pada suami itu.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
"Kabarnya dia sudah menutup mata, akan tetapi siapa pun tidak dapat memastikannya,"
Kwie Sin Sie jawab. Suami ini masih tetap tenang, ia ada lebih berduka daripada bergusar.
Tjeng Tjeng sudah tidak puas melihat Sin Tjie ditegur pulang-pergi dan diperlakukan
sekasar itu, sekarang ia dengar ayahnya dikatakan 'mahluk aneh', tak dapat ia menahan
sabar lagi.
"Perempuan jahat, perempuan jahat!" ia berseru. "Kenapa kau sembarang mendamprat
orang?"
Tapi juga Kwie Djieso gusar.
"Kau siapa?" dia bentak.
"Dialah anaknya si Kim Coa mahluk aneh itu!" Soen Tiong Koen kasih tahu guru
perempuannya.
Sebelah tangannya Kwie Djie-so tiba-tiba berkelebat, lalu satu sinar menyambar, ke arah
nona Hee.
Sin Tjie terperanjat, hendak dia mencegah, tapi serangannya enso itu hebat sekali, tak
keburu dia berbuat apa-apa. Tjeng Tjeng menjerit, karena pundak kirinya kena terserang,
walau ia mencoba untuk berkelit. Dalam kagetnya, Sin Tjie lompat pada kawannya untuk
cekal bahu tangannya. Ia lihat sebatang paku shong-boen-teng nancap di pundak.
Tjeng Tjeng kesakitan akan tetapi ia gusar, tak perduli mukanya pias.
"Jangan bergerak!" Sin Tjie peringati.
Dengan dua jari tangan telunjuk dan tengah, anak muda ini pegang ujung paku, ia
mencabut dengan pelahan tetapi tetap, setelah kira tiga-empat bagian dan dapatkan paku
itu tidak bercagak, dengan mendadak ia kerahkan tenaganya, untuk mencabut terus
dengan tiba-tiba, maka dilain saat, paku itu telah tercabut dan jatuh ke lantai dengan
berbunyi nyaring.
Wan Djie telah menghampirkan mereka, segera ia berikan bantuannya. Ia telah lantas
siapkan dua potong saputangan yang bersih dengan apa Sin Tjie susuti lukanya Tjeng
Tjeng, yang ia terus balut.
"Dengar aku, adik Tjeng," Sin Tji berbisik. "Jangan layani dia."
"Kenapa?" tanya si nona dengan murka.
"Kita mesti hormati soehengku, tak dapat aku turun tangan," Sin Tjie kasi mengerti,
sikapnya sungguh-sungguh.
Tjeng Tjeng manggut dengan lesu, karena ia mesti tindas penasarannya.
Lega hati Sin Tjie, sebab ia tahu, kawan itu aseran dan kukuh, tapi sekarang, walaupun dia
dilukai dan dibikin marah, masih dia suka dengar nasihatnya. Ia girang sang kawan jadi
lunak, ia bersenyum.
Kwie Djie-nio tunggu sampai Sin Tjie sudah membalut selesai, sambil tertawa dingin, ia
kata: "Namanya Kim Coa Long-koen nama kosong belaka! Jikalau dia benar liehay, kenapa
puteranya tak dapat kelit pakuku yang aku sengaja gunai untuk mencobanya?"
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Sin Tjie berdiam, didalam hatinya ia kata: "Djie-soeso terbenam dalam salah faham hebat,
apabila aku bantah dia, itu melulu akan menambah kemurkaannya."
Melihat orang berdiam, nyonya Sin Sie kata pula: "Disini ada terlalu banyak orang, tak
dapat kami omong banyak tentang Hoa San Pay kita, maka itu besok malam, jam tiga, kami
suami-isteri berdua suka menantikan kau disamping panggung Ie Hoa Tay dibukit Tjie Kim
San. Kami undang kau, tuan Wan, untuk kitaorang mencoba-coba, untuk buktikan kau
benar atau bukan soeteeku."
Biarnya njonya ini mengucapkan demikian, semua hadirin tahu itulah tantangan belaka,
maka juga Tjiauw Kong Lee jadi sibuk sekali, ia berkuatir.
"Kwie-sie suami-isteri telah kenamaan sekali di Kanglam, terutama nama besar dari Sinkoen
Boe-tek telah membuat aku sangat kagum," berkata dia, "maka itu, djiewie, bukan
main girangku atas kedatangan djiewie kemari. Sebenarnya, mengundang pun tak dapat
aku lakukannya."
"Hm!" Kwie Djie-so perdengarkan suara dihidung.
Kwie Sin Sie berdiam, ia masih empo anaknya, ia merasa tak enak sendirinya.
"Saudara Wan ini," berkata pula Tjiauw Kong Lee, "dia ketahui aku menghadapi kesulitan,
dengan kebaikan hatinya, dia datang untuk mendamaikan. Mengenai ini, Bwee Toako,
Lauw Toako dan Soen Toa-tjia bertiga telah mengetahuinya dengan jelas. Biarlah besok
malam, sebagai tuan rumah, aku undang Kwie-sie berdua hadirkan perjamukanku,
sekalian aku hendak memberi selamat yang sam-wie tiga saudara telah bertemu satu
dengan lain....."
Kwie Djie-so tidak tunggu tuan rumah bicara habis, dia berpaling kepada Sin Tjie dan
tanya dengan getas: "Bagaimana? Kau pergi atau tidak?"
"Soeheng dan soeso tinggal dimana?" tanya Sin Tjie tanpa perdulikan tantangan orang.
"Besok pagi aku nanti datang kepada soeheng dan soeso untuk menerima nasihat,
bagaimana juga soeheng dan soeso menegur aku, tidak nanti aku berani untuk egoskan
diri......"
"Hm!" terdengar pula sang enso kedua. "Siapa ketahui kau tulen atau palsu? Jangan kau
panggil soeheng atau soeso dulu kepada kami! Tunggu sampai besok, setelah kita
mencoba-coba, Baru kita bicara pula! Tiong Koen, mari kita pergi!"
Guru perempuan ini tarik tangan muridnya, untuk diajak berlalu.
Selama itu Tiang pek Sam Eng, yaitu tiga jago dari Tiang Pek San - Soe Peng Kong, Soe
Peng Boen dan Lie Kong - goncang hatinya. Diluar dugaan mereka, Sin Tjie muncul untuk
menyulitkan mereka. Mereka insyaf bahwa rahasia mereka sudah bocor, sehingga mereka
jadi berkuatir sekali. Sekarang mereka bisa duga pasti, Sin Tjie adalah orang yang tadi
malam satroni mereka dan rampas surat-surat mereka, hingga mereka kuatir Sin Tjie nanti
buka rahasia mereka dimuka umum itu. Maka itu mereka girang dengan munculnya Kwie
Sin Sie suami-isteri, karena rewelnya nyonya yang aseran ini membuat Sin Tjie jadi
"jinak". Mereka harap-harap nyonya itu membuat onar, supaya bisa datang ketikanya yang
baik untuk mereka mencari keuntungan karenanya. Tapi mereka kecele apabila mereka
dengar, nyonya Kwie cuma tantang Sin Tjie akan bertanding di Tjie Kim San besok malam.
Itulah berarti, mereka terancam bahaya pula, dari itu, setelah satu sama lain kedipi mata,
ketiganya bertindak, untuk ngeloyor pergi dengan diam-diam dengan dului nyonya Kwie,
selagi dia ini Baru memutar tubuh.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
"Hei, tunggu dulu!" berseru Sin Tjie, yang lihat gerakan orang itu. Sebab walaupun ia
sibuk menghadapi si enso kedua, ia tidak pernah alpa memasang mata kepada tiga jago
Tiang Pek San itu. Pun, sambil berseru, dia berlompat maju, akan halangi mereka bertiga.
Kwie Djie-nio menjadi gusar, ia menyangka soetee ini hendak rintangi dia.
"Anak kurang ajar! Kau berani pegat aku?" Dia membentak seraya sebelah tangannya
dikasih melayang, untuk hajar kepala pemuda kita.
Sin Tjie berkelit, hingga tangannya enso itu lewat diatasan pundaknya, hingga ia kena
keserempet sedikit, hingga ia merasakan pedas sekali. Karena ini, ia jadi insyaf liehaynya
enso ini.
Memang Kwie Djie-nio belum pernah kasih lewat ketika yang senggang untuk tidak
berlatih, untuk itu, ia bisa senantiasa berlatih dengan suaminya, hingga kepandaian
mereka berdua tidak pernah mundur hanya malah maju terus. Akan tetapi sekarang,
melihat si anak muda luput dari serangan, enso yang kedua ini jadi naik darah. Sudah
belasan tahun, belum pernah ia menemui orang yang bisa lolos dari serangannya ini.
Maka tidak tempo lagi, ia ulangi serangannya dengan babat pinggang si anak muda
dengan telapakan tangannya yang dikasih miring.
Sin Tjie mengerti selatan, ia mendahului lompat, melewati meja, dengan begitu, tak bisa si
enso itu susul ia. Sedang si enso sendiri, entah bagaimana, kembali tarik tangannya Soen
Tiong Koen, untuk diajak pergi, dengan begitu suaminya, berikut Bwee Kiam Hoo dan
Lauw Pwee Seng, lantas ikut mereka berlalu dari rumah Tjiauw Kong Lee.
Tiang Pek Sam Eng lihat ketikanya, kembali mereka pergi keluar, sekali ini bukan dengan
bertindak saja hanya sambil berlari.
"Hei, tahan!" Sin Tjie berteriak pula dengan cegahannya, terus ia berlompat, mencelat
bagaikan burung terbang, hingga ia dapat jambak Lie Kong, yang kabur paling belakang.
Tidak ampun lagi, ia totok jago Tiang Pek San ini, tubuh siapa terus ia lemparkan ke lantai.
Dua saudara Soe berlaku licik, mereka kabur terus, hingga mereka lenyap ditempat gelap.
Karena itu malam, cuaca gelap sekali. Sin Tjie juga tidak mengubar terus. Ia pikir, ia sudah
bekuk satu orang, orang ini pun bisa diminta keterangannya. Selagi ia memutar tubuh,
untuk kembali ke dalam, tiba-tiba ia dengar suara nyaring dibelakangnya, suaranya orang
tua: "Hai sahabat kecil, Baru sepuluh tahun lebih kita tidak bertemu, kepandaianmu telah
maju begini bagus!"
Sin Tjie goncang hatinya apabila ia dengar suara itu, yang ia kenali, sehingga dengan
cepat sekali, ia berpaling, untuk melihat. Itu waktu, ia sudah berjalan melewati pintu.
Bertindak dipintu ada dua orang, sebelah tangannya masing-masing mengempit Soe Peng
Kong dan Soe Peng Boen, kedua jago Tiang Pek San yang Baru saja lolos. Melihat tegas
romannya orang yang jalan dimuka, bukan buatan girangnya anak muda ini. Sebab orang
itu adalah seorang tua dengan alis dan kumis-jenggot sudah ubanan dan dibelakangnya
menggemblok selembar papan pesegi warna hitam! Sebab orang itu adalah yang pernah
berikan ia pelajaran entengkan tubuh dan senjata rahasia, ialah Bhok Siang Toodjin. Benar
dia bukannya gurunya yang resmi, toh Sin Tjie ingat budinya yang besar, hingga ia
pandang orang tua ini bagaikan guru sejati. Dengan kegirangan ia lompat menghampirkan
orang tua itu didepan siapa segera ia jatuhkan diri untuk berlutut, untuk manggutmanggut.
Bhok Siang Toodjin tertawa bergelak-gelak.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
"Bangun, bangun!" katanya dengan ramah-tamah. "Kau lihat, siapa dia ini!"
Dan ia berpaling, akan tunjuk orang yang kedua, yang datang bersama ia, siapa sekarang
sudah berada disampingnya.
Sin Tjie awasi seorang usia pertengahan, yang rambutnya sudah mulai bersemu, yang
wajahnya menyatakan dia kenyang berkelana. Kembali ia jadi sangat girang, karena ia
kenali gurunya dimasa ia masih kecil sekali, orang yang pernah secara mati-matian tolong
jiwanya, ialah Tjoei Tjioe San.
Bhok Siang Toodjin sudah lanjut usianya, selama belasan tahun tampangnya tidak
berubah, tidak demikian dengan Tjoei Tjioe San, yang didalam tangsi tentera Giam Ong
sudah keluarkan banyak tenaga.
Dalam girangnya, Sin Tjie tubruk guru ini, yang ia rangkul lehernya.
"Tjoei Siokhoe, kiranya kau!" ia berseru berulang-ulang. Kemudian tanpa merasa, air
matanya mengalir turun.
Dengan mata berlinangan, Tjioe San pun sangat terharu dengan pertemuannya dengan
bocah itu.
Mungkin guru dan murid masih sibuk sendirinya kalau tidak mendadak terdengar suara
Bin Tjoe Hoa, siapa sejak tadi tercengang karena sepak-terjangnya Sin Tjie.
"Hai!" serunya. "Kedua Soe Toako dan Lie Toako ini ada orang-orang undanganku, kenapa
kamu tawan mereka? Kenapa?"
Sin Tjie tidak lantas jawab teguran itu, dia hanya menunjuk pada gurunya tak resmi,
'sahabatnya' main catur, dia kata: "Inilah Bhok Siang Toodjin, salah satu guruku!"
Kemudian ia menoleh, akan tunjuk Tjioe San, akan perkenalkan pula: "Dan ini aku punya
Tjoei Siokhoe yang kesohor untuk ilmu silat Hok-houw-tjiangnya! Ini ada guruku ketika
untuk pertama kali aku belajar silat!"
Tidak tanggung-tanggung pemuda ini perkenalkan gurunya itu.
Diantara para hadirin yang tertua tidak ada yang tidak pernah dengar nama Bhok Siang
Toodjin, cuma imam ini tak ketentuan tempat berkelananya, gerak-geriknya bagaikan iblis
saja, karena mana, orang juluki dia "Kwie Eng Tjoe", si Bajangan Iblis. Kira-kira delapan
bagian dari hadirin yang tertua itu pernah lihat atau bertemu sama imam itu. Begitulah Sip
Lek Taysoe serta Thio Sim It dari Koen Loen Pay kenal ini imam, malah mereka masih
terhitung pihak angkatan muda, maka keduanya lantas saja menghampirkan untuk
memberi hormat.
Semua hadirin lainnya tercengang melihat pendeta dari Siauw Lim Sie itu dan jago dari
Koen Loen Pay menghormati itu imam, maka dengan sendirinya, mereka juga tidak berani
memandang enteng, semua turut memberi hormat.
Bhok Siang Toodjin angkat tangan kepada semua orang.
"Gawenya pinto ini," katanya, "kecuali gegares nasi adalah main tiokie melulu, lainnya
urusan, apapula yang menyulitkan, tak pernah pinto pusingi. Tapi sekali ini, hal adalah
lain. Baru pada bulan yang lalu, pinto dengar selentingan halnya orang bangsa kita, yang
sudah bersekongkol sama bangsa asing, dan orang itu katanya sudah datang ke kota
Lamkhia ini untuk beraksi, melakukan usaha besar untuk menjual Negara! Pasti sekali,
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
mengenai urusan ini, pinto tak dapat menonton saja dari samping. Maka itu,lantas pinto
menyusul kemari....."
"Siapakah pengkhianat itu?" tanya Bin Tjoe Hoa. "Mustahil mereka ada Tiang Pek Sam
Eng?"
"Tidak salah!" jawab Bhok Siang Toodjin. "Benar ini tiga enghiong dan hookiat yang
namanya sangat kenamaan!"
"Ketiga tuan ini ada sahabat kekalku, kenapa mereka bisa lakukan perbuatan tidak tahu
malu itu?" tanya pula Bin Tjoe Hoa. "Janganlah kau semprot orang dengan darah!"
Bhok Siang bersikap tenang ketika ia menjawab pula:
"Pintoo adalah orang yang biasa berbuat murah hati, karena dengan mereka ini belum
pernah pinto bertemu, diantara kita tidak ada dendaman atau permusuhan maka kenapa
pinto mesti fitnah mereka? Tapi selagi pinto berada di Kwan Gwa, dengan mataku sendiri
pinto lihat mereka kasak-kusuk dengan orang Boan-tjioe, dari itu, disepanjang jalan terus
pinto ikuti mereka."
"Bukti apakah kau ada punya?" tanya pula Bin Tjoe Hoa. Ia malu apabila sampai orang
fitnah tiga sahabatnya itu.
Bhok Siang Toodjin tertawa berkakakan.
"Bukti?" tanyanya. "Buat apakah masih belum cukup?"
"Siapa yang dapat percaya itu?" baliki Bin Tjoe Hoa. Dia tetap masih penasaran.
Tidak senang Bhok Siang Toodjin terhadap sikap kasar itu, ia gusar.
"Walaupun Oey Bok Toodjin, gurumu, dia tidak berani mengucap sepatah kata
didepanku!" dia menegur. "Kau bocah, kau punya nyali besar berani tidak mempercayai
pinto?"
"Mendengar ini, sebagian orang kurang puas, karena mereka anggap, mentang-mentang
orang tua dan kesohor, imam ini hendak berlaku demikian getas. Itulah, mereka pikir, ada
sikap sewenang-wenang.
Bhok Siang mendongkol, hingga ia urut-urut kumisnya.
Sin Tjie tidak mau lihat gurunya itu menjadi kalap, lekas-lekas ia keluarkan dua lembar
surat dari sakunya, ia lantas tunjuki itu pada Bin Tjoe Hoa.
"Bin Djie-ya, tolong kau bacakan ini untuk semua hadirin mendengarnya!" kata dia.
Bin Tjoe Hoa sambuti dua lembar surat itu, Baru ia baca beberapa baris, sudah ia lompat
berjingkrak bahna kaget, tapi ia teruskan membaca dengan suara nyaring.
Itulah suratnya Kioe-ong-ya To Djie Koen dari Manchuria yang ditulis untuk Tiang Pek Sam
Eng, buat suruh dan anjurkan tiga jago dari Tiang Pek Sam Eng itu rampas dan kangkangi
partai-partai di Kanglam, buat mengadu-dombakan pelbagai jago Rimba Persilatan,
supaya diaorang ini saling bunuh, supaya berbareng mereka memelihara tenaga, guna
nanti menyambut penyerbuannya tentara Boan terhadap Tionggoan. Surat itu dibubuhi
capnya pangeran Boan itu serta tanda tangan huruf Boan juga.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Bin Tjoe Hoa belum habis membaca, para hadirin sudah gempar saking murkanya mereka.
Tjit-tjap-djie-to Tootjoe The Kie In lompat kepada Lie Kong, untuk totok sadar orang
tawanannya Sin Tjie.
"Kau mempunyai kejahatan apa lagi? Lekas aku!" ia bentak.
Lie Kong melongo, tak dapat ia buka mulutnya.
Dalam sengitnya, The Kie In hajar pulang pergi kedua kuping orang, hingga jago Tiang Pek
San ini merah dan bengap juga kedua belah pipinya.
Sin Tjie gunai ketikanya itu akan tuturkan bagaimana ia dapatkan surat rahasia itu.
Lie Kong tahu dia tidak bisa diam lebih lama, tapi dia berkukuh kepada cita-citanya, maka
juga dengan berani, dengan nyaring, ia kata: "Tidak lama lagi angkatan perang Boantjioe
bakal datang menyerbu, maka juga wilayah Tionggoan ini bakal segera menjadi negaranya
bangsa Boan! Jikalau kamu semua menakluk dari sekarang, kamu bakal menjadi menterimenteri
berjasa yang membangunkan Negara! Jikalau......"
Kata-kata ini tidak habis diucapkan, karena kepalannya The Kie In sudah mampir
didadanya Lie Kong, hingga dia rubuh dengan tak sadar akan dirinya.
Dua saudara Soe dengar perkataan Lie Kong, mereka saksikan kejadian itu, akan tetapi
mereka sedang dalam totokan, tak dapat mereka membuka mulut atau bergerak. Mereka
insyaf bahaya yang mengancam diri mereka, hingga meeka jadi putus asa.
"Tootiang," berkata The Kie In, "Kejahatan pengkhianat-pengkhianat ini sudah terang, buat
apa kasih mereka hidup lebih lama pula? Baik bikin habis saja pada mereka!"
"Biar mereka tinggal hidup, pinto masih membutuhkannya," sahut Bhok Siang sambil
tertawa. "Sekarang sudah tidak siang lagi, lain hari saja pinto nanti undang tuan-tuan
untuk kita berunding. Haruslah diketahui, pengkhianat ini mestinya mempunyai konco!"
Perkataan imam ini dianggap benar, maka orang suka mendengarnya.
Sampai disitu, orang lantas bubaran.
Bin Tjoe Hoa menyesal bukan main, karena sekarang mengertilah ia duduknya perkara
semua. Ia menghaturkan maaf dengan sungguh-sungguh kepada Tjiauw Kong Lee, ia juga
menghaturkan terima kasih kepada Sin Tjie. Ia inysaf bencananya apabila ia kerembetrembet
Tiang Pek Sam Eng itu.
"Coba tidak Wan Siangkong yang datang mendamaikan, pastilah dosaku ada dosa tak
berampun," ia mengaku.
Sin Tjie hiburkan orang she Bin ini.
Begitu lekas orang sudah bubaran, Bhok Siang Toodjin kasih turun papan hitam
dibelakangnya, ia juga keluarkan biji-biji caturnya.
"Selama beberapa tahun ini senantiasa aku ingat kau," katanya pada Sin Tjie, "tidak lain
kehendakku adalah supaya kau bisa temani aku main catur!"
Sin Tjie bersenyum. Ia lihat gurunya itu demikian gembira, tidak mau ia menampik, maka
begitu lekas guru itu telah ambil tempat duduk, ia duduk didepannya.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Bhok Siang Toodjin kata pada semua orang lainnya: "Silahkan kamu semua beristirahat!"
Tjiauw Kong Lee lantas ajak Tjoei Tjioe San masuk kedalam, untuk diantar kekamar yang
disiapkan.
Tjeng Tjeng tidak mau undurkan diri, ia mau nonton orang main catur, maka ia tempatkan
diri didamping guru dan murid itu.
Wan Djie sendiri lantas repot menyuguhkan arak dan sayurannya serta bebuahan juga.
Kong Lee pun pergi tidur.
(Bersambung bab ke 13)
Tjeng Tjeng tidak bisa main tiokie, setelah menonton sekian lama, ia jadi kehilangan
kegembiraannya, sedang waktu itu, ia masih menderita dari lukanya, dari lesu, ia jadi
ngantuk, akhirnya ia taruh kepalanya diatas meja dan pulas sendirinya.
"Nona Tjiauw, pergi kau pepayang ia untuk ia tidur dikamarmu," kata Bhok Siang Toodjin
pada Tjiauw Wan Djie.
Mukanya Nona Tjiauw menjadi merah dengan tiba-tiba, ia berpura-pura tak dengar imam
itu. Didalam hatinya, dia kata: "Kenapa tootiang ini jadi seperti orang tidak keruan
omongannya?"
Bhok Siang lihat sikap orang, ia tertawa berkakakan.
"Dia pun satu nona, kau malu apa?" kata dia pula.
"Bagaimana, Wan Siangkong?" akhirnya Wan Djie tanya si anak muda.
Sin Tjie pun tertawa, tapi ia lekas menyahuti: "Benar, dia pun satu nona. Tidak leluasa
untuk ia berkelana, dari itu ia menyamar."
Wan Djie percaya anak muda itu, ia tertawa, lantas ia pegangi Tjeng Tjeng, untuk diangkat
bangun, buat dipepayang kedalam kamarnya.
Nona Hee mendusin.
"Aku tidak ngantuk, aku masih hendak menonton," katanya. Tapi ia tidak buka matanya, ia
meram terus, tandanya ia masih ngantuk.
Wan Djie terlebih muda, akan tetapi ia biasa ikuti ayahnya, ia sudah berpengalaman.
"Baik encie beristirahat dulu, sebentar nonton lagi," ia membujuk. Ia pepayang terus
tetamu itu, sampai didalam kamarnya, ia buka kopiahnya Tjeng Tjeng, maka ia lihat rambut
yang panjang dan hitam mengkilap, ditengahnya ditancapi dua potong tusuk konde.
Sin Tjie layani gurunya dengan sungguh-sungguh, akan tetapi dua kali dia jalan keliru. Ia
ingat tantangannya Kwie Djie-so untuk besok malam, pikirannya jadi tidak tenteram.
Bagaimana ia harus layani enso yang aseran itu? Ia mencoba akan tenangkan diri. Tibatiba
ia ingat suatu apa.
"Tootiang, cara bagaimana kau ketahui dia seorang wanita?" Tanya dia akhirnya.
Bhok Siang Toodjin tertawa.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
"Bersama-sama dengan Siokhoemu itu, pada lima hari yang sudah telah aku bertemu
denganmu," menyahut guru ini. "Aku ingin ketahui kemajuan boegeemu dan tingkahlakumu
juga, dari itu sengaja aku tidak mau lantas perlihatkan diri. - Kau hati-hati, aku
hendak makan bijimu ini....." Ia lantas jalankan sebuah bijinya. Lalu ia menambahkan:
"Kepandaianmu telah jadi apa yang dibilang, hijau itu asalnya dari biru, akan tetapi
mungkin kau belum bisa lombai gurumu, hanya aku si imam tua, aku bukanlah
tandinganmu."
Sin Tjie lekas berbangkit dengan sikapnya yang sangat menghormat.
"Tapi semua itu berkat pengajaran soehoe dan tootiang," kata ia. "Selama beberapa hari
ini, umpama tootiang mempunyai waktu yang luang, teetjoe harap tootiang sudi ajari pula
aku beberapa rupa ilmu pukulan lainnya."
Imam itu tertawa.
"Sampai sebegitu jauh, selama kau temani aku main tiokie, belum pernah tempo itu
dilewatkan dengan cuma-cuma," kata dia. "Habis apa lagi aku mesti ajari kau?
Kepandaianmu sudah menyusuli kebisaanku. Justeru kaulah yang mesti ajarkan beberapa
jurus kepadaku! - Ha-ha bentengmu kena aku serbu!"
Imam ini girang sekali.
"Kepandaian yang tinggi memang sukar didapatkannya," berkata ia pula. "Akan tetapi
dalam halnya kau, sifatmu baik sekali, itulah terlebih sukar untuk didapatinya. Kau masih
muda sekali akan tetapi hatimu lurus, terhadap kawan wanita, kau berlaku tepat dan
hormat, atas itu aku dan Tjoe Siokhoemu sangat kagumi kepadamu!"
Sin Tjie jengah sendirinya, mukanya menjadi bersemu merah, ia rasakan panas. Apakah
tak mungkin, imam ini telah lihat bagaimana ia bergaul rapat sekali dengan Tjeng Tjeng? Ia
malu sendirinya, kenapa imam itu bisa intip ia tanpa ia dapat ketahui. Itu menyatakan ilmu
entengkan tubuh dari ini guru tak resmi sangat tinggi.
Ketika itu keduanya berhenti bicara, ruangan jadi sangat sunyi. Tiba-tiba terdengar suara
perlahan di luar ruangan. Sin Tjie tahu sedikitnya datang tiga orang entah siapa, akan
tetapi karena Bhok Siang Toodjin diam saja, ia pun tidak ambil sesuatu tindakan, ia
melanjuti jalankan biji-biji caturnya seperti si imam sendiri.
"Sepak-terjangnya Djiesoesomu barusan aku telah dapat lihat," berkata Bhok Siang
kemudian. "Kau jangan kuatir, besok aku nanti bantu kau untuk menghadapi dia."
"Justeru tak ingin teetjoe turun tangan terhadapnya," Sin Tjie kata. "Paling baik apabila
tootiang bisa damaikan kita."
"Kau takut apa?" Bhok Siang bilang. "Kau lawan, kau hajar padanya! Umpama gurumu
tegur padamu, katakan saja, aku yang anjurkan kau hajar padanya!"
Menyusul kata-katanya si imam, dari atas genteng loncat turun empat orang pula yang
dibarengi dengan empat buah piauw menyambar ke arah Bhok Siang Toodjin dan Sin Tjie
berdua.
Imam itu geraki kedua tangannya kebelakang, dengan gapah ia tanggapi empat batang
senjata rahasia itu, lalu dengan tidak dilihat lagi, ia letaki itu diatas meja.
Tujuh orang diluar itu menjadi gusar, dengan berbareng mereka singkap sero untuk
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
lompat masuk kedalam ruangan. Mereka semua menyekal senjata, agaknya mereka berniat
menyerang.
"Bisa apa tidak kau makan ini tujuh biji semuanya?" si imam tanya kawan main catur itu.
"Teetjoe akan coba-coba," sahut Sin Tjie yang mengerti masuk perkataan itu.
Sementara itu, dua dari tujuh orang tidak dikenal itu hampirkan Tiang Pek Sam Eng, untuk
kasi bangun pada mereka itu, dan lima yang lain maju terus kepada dua orang yang asik
main catur itu, untuk serang mereka ini dengan golok dan pedang.
Sebat luar biasa, Sin Tjie raup biji catur, terus ia menyambit kebelakang, hingga sambaran
anginnya terdengar nyata, menyusul mana tujuh orang itu mendadakan rubuh terjungkal,
senjata mereka terlepas dan jatuh kelantai dengan terbitkan suara nyaring dan berisik.
Wan Djie Baru selesai urus Tjeng Tjeng, ia dengar suara berisik itu, ia kaget, ia lari keluar,
maka ia saksikan Bhok Siang Toodjin dan Sin Tjie sedang asik lanjutkan permainannya,
akan tetapi didalam thia itu, tujuh orang lain lagi meringkuk. Ia segera mengerti duduknya
hal, tapi ia tidak mau ganggu dua orang itu, maka ia tepuk kedua tangannya tiga kali, atas
mana muncullah enam orangnya. Dengan suara perlahan, ia suruh mereka ambil tambang,
akan ringkus tujuh orang itu berikut Tiang Pek Sam Eng juga.
Selang setengah jam kemudian, Barulah dua orang itu akhirkan pertempuran mereka
diatas papan catur, kesudahannya Sin Tjie kalah tiga kali.
Bukan main girangnya si imam. "Dalam beberapa tahun ini, ilmu silat caturmu mundur, tak
ada kemajuannya!" katanya.
"Dasar tipu-tipu tootiang yang liehay dan teetjoe tidak sanggup melawannya," Sin Tjie aku.
Bhok Siang lantas menoleh kepada Wan Djie.
"Nona, coba tolong geledah mereka!" ia minta.
Wan Djie menurut, akan tetapi ia tidak turun tangan sendiri, ia suruh orang-orangnya yang
bekerja.
Sebagai kesudahan dari penggeledahan itu, kecuali senjata-senjata rahasia, diketemukan
beberapa lembar surat serta beberapa buku kecil yang memuat pelbagai tanda rahasia.
Salah satu surat itu adalah suratnya si pangeran Boan, Kioe-ong-ya To Djie Koen, untuk
Soelee Thaykam Tjo Hoa Soen di kota raja. Kepada thaykam ini, thaykam, telah
diberitahukan, oleh karena penjagaan di Sanhaykwan keras sekali, utusannya ini sampai
mesti jalan mutar, dengan jalan laut. Kioe-ong-ya pesan, segala urusan besar, boleh
didamaikan dengan pembawa suratnya itu, bernama Ang Seng Hay.
Bhok Siang gusar apabila ia ketahui siapa mereka itu.
"Semakin lama kawanan dorna ini jadi makin bernyali besar!" katanya dengan sengit. "Hm!
Di hadapanku mereka berani mencoba merampas orang!"
Masih imam ini sengit, hingga ia dupak kepalanya satu orang tangkapan, hingga tidak
ampun lagi, kepala itu pecah, polonya berantakan.
Masih Bhok Siang hendak menendang pula tapi Sin Tjie mencegah.
"Sabar, tootiang. Mungkin mereka itu ada faedahnya untuk kita. Nanti teetjoe periksa
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
mereka."
Bhok Siang demikian mendongkol, hingga ia hendak robek-robek surat itu.
"Jangan, tootiang," Sin Tjie mencegah pula.
"Baik aku suka dengar kau," kata si imam kemudian. "Tapi ingat, besok kau mesti layani
aku main lagi sampai tiga babakan!"
"Asal tootiang mempunyai kegembiraan, sampai sepuluh babak pun boleh," jawab Sin
Tjie.
Ia sukai imam ini tak perduli tabeatnya aneh.
Sampai disitu, Wan Djie undang imam itu pergi beristirahat, untuk mana, satu bujang
layani dia.
Sin Tjie perhatikan surat-surat dan buku itu, mendadakan ia dapat pikiran.
"Sakit hatinya ayahku belum terbalas, surat-surat ini seumpama hadiah Thian kepadaku,"
demikian ia pikir. "Baik aku nelusup masuk kedalam istana raja, untuk wujudkan
pembalasanku."
Tidak ayal lagi, ia totok sadar satu orang.
"Katakan padaku, yang mana diantara kamu yang bernama Ang Seng Hay?" Tanya dia.
Orang itu menunjuk salah satu kawannya, yang berumur tiga-puluh lebih, yang romannya
cakap.
Sin Tjie lantas totok sadar orang she Ang itu.
"Kau beri keterangan padaku," ia kata.
Ang Seng Hay berkepala batu, ia tidak suka bicara.
Anggap orang tak suka bicara karena mereka bicara didepan satu kawannya, Sin Tjie
perintah orang angkat Seng Hay untuk dibawa kekamar tulis.
"Kau adalah utusan Kioe-ong-ya, kau mestinya satu laki-laki sejati," kata dia. "Aku hendak
minta keterangan dari kau, maka aku Tanya satu, kau mesti jawab satu. Jikalau kau tetap
tidak hendak bicara, aku nanti tahan terus padamu sampai beberapa hari, supaya kau
nanti mati secara perlahan-lahan!"
Ang Seng Hay murka.
"Imammu itu gunai ilmu siluman, walaupun binasa, aku tidak puas!" kata dia.
"Rupanya kau anggap boegeemu liehay," Sin Tjie bilang. "Kau dengar aku! Kau orang
Han, kau kesudian menjadi kacung Boan, itu artinya dosa untuk mana pantas kau
mendapat hukuman, bagianmu adalah kematian. Kau tidak puas, baik, mari, aku nanti
layani kau pieboe! Tapi ingat, satu kali kau kalah, kau mesti jawab aku dengan sebenarbenarnya,
jangan ada yang kau sembunyikan! Akur?"
Sin Tjie hendak uji kepandaiannya, ia harap nanti ia bisa pakai tenaganya orang ini.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Ang Seng Hay girang dengan tawaran itu. Didalam hatinya, ia pun berkata: "Entah kenapa
tadi, tahu-tahu aku merasai jalan darahku tertotok, lantas aku rubuh. Mungkin itu karena si
imam telah gunai ilmu gaibnya. Sekarang si imam tidak ada, anak muda ini mana dapat
menjadi tandinganku? Baik aku terima tantangannya!"
Lantas saja ia menjawab: "Baik! Asal kau sanggup kalahkan aku, apa juga yang kau
tanyakan, aku nanti jawab!"
Tanpa sangsi lagi, Sin Tjie hampirkan orang tawanannya itu, untuk bukakan tambang
belengguannya. Ia membuka dengan jalan putuskan tambang itu, agaknya ia cuma pakai
tenaga sedikit sekali.
Seng Hay heran, hingga ia terperanjat. Ketika tadi ia Baru diikat, ia telah mencoba
kerahkan tenaganya, untuk berontak, buat loloskan diri dari belengguan dengan jalan
amuk putus tambang itu, tetapi ia tidak berhasil, bukan saja tambang tidak putus malah ia
merasa, ikatannya jadi semakin keras, siapa tahu sekarang, secara sembarangan saja,
anak muda ini dapat bikin putus tambang itu. Tanpa merasa, ia jadi jeri sendirinya.
"Kau hendak pieboe cara apa?" bertanya dia. "Mari kita pergi keluar. Kau hendak gunai
senjata tajam atau kepalan saja?"
Sin Tjie tertawa.
"Aku timpuk kau dengan biji catur, kau sangka si imam gunai ilmu gaib!" katanya. "Melihat
caranya kau lompat masuk kedalam thia tadi, kau mungkin satu ahli lweekee."
Kembali Seng Hay heran. Ia ingat, ketika tadi ia menerjang masuk ke thia, dua-dua pemuda
ini dan imam tidak menoleh untuk awasi dia, maka kenapa orang justeru bisa lihat dia dan
segera kenali cara bergeraknya itu. Tapi ia manggut, untuk benarkan pernyataan itu.
"Karena itu," berkata Sin Tjie, "mari disini saja kita main saling tolak."
"Baik," sahut Seng Hay tanpa ragu-ragu. "Apakah aku boleh dapat ketahui she dan nama
besar tuan?"
Sin Tjie tertawa.
"Kau tunggu saja sampai kau nanti sudah dapat menangkan aku, nanti aku sendiri yang
memberitahukan," jawabnya.
Seng Hay manggut.
"Silakan!" kata dia, yang terus pasang kuda-kudanya dengan kedua tangan dibawa
kedepan dada. Tubuhnya sedikit doyong kedepan.
Sin Tjie tidak lantas terima tantangan itu. Ia hanya gosok bak, ia siapkan selembar kertas.
"Aku nanti menulis disini," katanya. "Kau tahu, apa yang aku akan tulis? Itulah syairnya
Touw Kong-pou, syair "Peng Kie Hang"."
Seng Hay heran. Orang ajak dia pieboe, habis orang hendak tulis surat dulu. Maka ia
lantas saja ambil tempat duduk, niatnya untuk menantikan.
"Eh, kau jangan duduk!" Sin Tjie mencegah. Ia ulur tangan kirinya. "Sekarang aku hendak
menulis, selagi aku menulis, kau dorong tanganku ini. Umpama kata tangan kananku
tergerak dan tulisannya jadi mengok atau tak keruan macam, aku anggap kau yang
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
menang, segera kau boleh angkat kaki dari sini. Tapi umpama kata aku berhasil menulis
selesai syair yang panjang itu tetapi kau tetap tidak mampu tolak aku, kaulah yang kalah,
maka itu, apa juga yang aku tanyakan, aku larang kau umpetkan walau sepatah kata juga!"
Ang Seng Hay tertawa berkakakan.
"Bocah ini masih hijau, dia Baru pernah muncul dia tak tahu langit itu tinggi dan bumi
tebal, hingga dia terlalu sombongkan boegee sendiri, lalu dia pandang sebelah mata
kepadaku! Oh, mungkin ini disebabkan karena ia lihat aku beroman cakap dan bertubuh
tidak kekar, hingga dia anggap aku tidak punya guna. Baik, aku nanti coba padanya." Maka
ia terus jawab: "Aku lihat pieboe seperti ini sangat tidak adil...."
Sin Tjie tertawa.
"Tapi inilah buah-hasilnya usulku sendiri!" ia bilang. "Sekarang aku hendak mulai menulis,
kau boleh maju!"
Lantas saja ia duduk menulis, mulanya tiga huruf " Kie lin lin."
Ang Seng Hay tidak bilang apa-apa lagi, ia terima baik pieboe semacam itu. Ia pasang
kuda-kudanya dengan tegak, lalu ia kumpulkan tenaganya pada kedua bahu tangannya.
Habis itu, dengan gerakan "Pay san to hay" atau "Menolak gunung untuk menguruk
lautan", ia menolak dengan keras dengan dua tangannya kepada tangan kirinya si anak
muda yang diulur kebelakang, kearahnya. Sebab untuk menulis di meja, pemuda ini berdiri
menghadapi meja, karena ia menulis dengan tangan kanan, tangan kirinya jadi dikeluarkan
kesebelah belakang. Hingga sama sekali ia membelakangi lawannya itu.
Begitu lekas Seng Hay menolak dengan sekuat tenaga, Sin Tjie egoskan tangan kirinya,
maka lenyaplah tenaga mendorong orang she Ang ini. Ia jadi penasaran, untuk mendorong
satu kali lagi, kedua tangannya dipasang diatas dan bawah, sebagai menjepit. Dengan
gerakan ini, mungkin juga tangan kiri si anak muda kena tertekuk hingga patah.
Tangan kanannya Sin Tjie menulis pula, dari mulutnya keluar kata-kata: "Seranganmu ini
adalah 'Seng thian djip tee' -'Naik kelangit, masuk kebumi'. Itulah, turut pendengaranku,
adalah tipu silat Poet Hay Pay dari Shoatang. Maka, tuan Ang, kau mestinya dari partai
Poet Hay Pay itu."
Ia menulis terus, tangan kirinya digeraki bagaikan bergeraknya ekor ikan, maka kedua
tangannya Seng Hay bentrok sendirinya satu pada lain sambil menerbitkan tepokan
tangan yang nyaring.
Mengalami ini, Seng Hay jadi panas. Maka ia menyerang pula dengan sengit, dengan
keluarkan kepandaiannya.
Sin Tjie tetap menulis terus, disebelah itu, tangan kirinya digerak-geraki terus juga, untuk
membebaskan diri dari sesuatu serangan, hingga ia tak dapat ditolak atau didorong.
Sebaliknya tangan kiri itu seperti mempunyai tenaga menolak, membal balik.
Dengan sengitnya Seng Hay menyerang dengan tipu silatnya "Tjan kauw koen" atau
pukulan "menyembelih naga". Baru saja ia habis menyerang, dengan kegagalan, Sin Tjie
telah berkata padanya: "Tjan kauw koenmu ini masih mempunyai sembilan jurus lainnya,
sedang tulisan syairku 'Peng Kie Hang' bakal lekas sampai diakhirnya. Maka sekarang aku
atur begini: Aku tunggui kau, setiap kali kau menyerang, setiap kali juga aku menulis satu
huruf saja."
Kembali Seng Hay menjadi heran. Kenapa orang kenali ilmu silatnya itu? Apa mungkin
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
pemuda ini adalah orang satu kaum dengannya? Toh ia tidak kenal pemuda ini dan gerakgerik
tangan dan tubuhnya beda dengan Poet Hay Pay. Dengan penasaran berbareng
ragu-ragu itu, ia lanjuti penyerangannya, dengan terlebih hebat dan liehay. Ia tidak harap
lagi bisa berkisar saja, pasti tulisannya akan kacau.
Sin Tjie menulis terus, ia membacakan: "Thian im ie sip seng tjioe tjioe". Huruf tjioe yang
terakhir masih belum tertulis habis, serangannya Seng Hay masih ada dua jurus lagi, ialah
dua jurus terakhir dari Tjan Kauw Koen. Karena berulang-ulang dia gagal. Seng Hay ubah
pula cara menyerangnya, ialah ia mendak dan kedua tangannya dikasi melengkung, ia
menubruk dengan pakai tubuh juga, agaknya ia hendak peluk tubuh anak muda itu.
Ang Seng Hay sangat bernapsu, sampai ia lupai pantangan ahli silat untuk bisa kendalikan
diri. Ia telah bergerak dengan ceroboh sekali. Dengan bersikap merangkul secara
demikian, ia seperti lupai tangan Sin Tjie. Maka Baru ia maju atau si anak muda sudah
mengenai dadanya, sehingga bukannya Sin Tjie atau kursinya yang berkisar, adalah ia
sendiri yang kena tertolak mundur, demikian keras, sehingga ia jumpalitan tiga kali,
percuma ia pertahankan diri, ia rubuh juga, jatuh duduk dilantai bagaikan patung.
Sehingga ia membutuhkan sekian saat untuk bisa lompat bangun. Ia pun berlompat
bangun selagi ia Baru sadar bahwa ia sudah kena dirubuhkan!
Adalah disaat itu, Tjiauw Wan Djie bertindak masuk kedalam kamar tulis dengan membawa
tehkoan buatan Gie-hin, yang warnanya merah tua.
"Wan Siangkong, inilah teh Liong-tjeng yang kesohor," katanya sambil menawarkan.
"Silakan minum!"
Ia pun segera tuang air teh itu kedalam sebuah cangkir, sehingga Sin Tjie lantas mencium
bau wangi dari teh itu. Ia tidak sungkan-sungkan lagi, ia sambuti teh itu dan terus
diminum.
"Benar-benar teh bagus!" ia memuji. Ia angkat tulisannya, "Peng Kie Hang", akan tunjuki
si nona seraya kata: "Nona Tjiauw, tolong lihat ini, apakah tulisan ini ada yang kacau dan
kotor?"
Wan Djie periksa syair itu, lalu ia tertawa.
"Siangkong benar-benar boen boe tjoan tjay!" memuji dia. "Tulisan ini baik diberikan
kepadaku saja!" (Boen boe tjoan tjay berarti mengerti berbareng dua-dua ilmu surat dan
ilmu silat).
"Tapi tulisanku jelek," si pemuda bilang. "Barusan aku telah bertaruh sama sahabat baik
ini, maka tulisan ini Baru saja ditulis rampung. Jikalau nona inginkan ini, baik, tapi jangan
nona perlihatkan kepada orang lain, agar orang tidak tertawai aku!"
Wan Djie bersenyum, ia gulung tulisan itu, lantas ia ngeloyor pergi.
Setelah si nona keluar, Sin Tjie Tanya Ang Seng Hay: "Kioe-ongya utus kau kepada Tjo
Hoa Soen, untuk urusan apakah itu?"
Seng Hay ragu-ragu, sehingga berulang-ulang ia tidak bisa menyahuti, sehingga ia cuma
kemak-kemik saja.
"Bukankah barusan kita telah bertaruh?" Sin Tjie tegasi. "Bukankah kau tidak sanggup
tolak aku sehingga berkisar?"
Ang Seng Hay jengah, ia tunduk.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
"Boegee Wan Siangkong sangat mengagumkan, inilah ilmu kepandaian yang belum
pernah aku dengar, yang belum pernah aku saksikan," katanya dengan perlahan.
"Sekarang coba kau raba tubuhmu, dibawah tetek kiri," Sin Tjie kata. "Coba periksa tulang
rahang yang kedua. Apakah yang kau rasai?......"
Ang Seng Hay menurut, ia raba tempat yang ditunjuki itu. Tiba-tiba ia terkejut. Bagian
tubuh itu menjadi baal, ia tak rasakan apa-apa!
"Sekarang kau raba pula, tengah-tengah pinggang bagian kanan," Sin Tjie menyuruh pula.
Ang Seng Hay meraba, ia menekan, lantas ia menjerit: "Aduh!". Ia pun kaget sekali,
herannya bukan buatan. Tapi segera ia kata: "Jikalau tidak diraba, aku tidak rasakan
apajuga, begitu kebentur tangan, sakitnya bukan main...."
Sin Tjie bersenyum.
"Itulah dia!" ia bilang. Ia isikan cangkir tehnya, ia hirup air teh itu, kemudian ia membalikbalik
lembarannya satu buku diatas meja, tidak lagi ia perhatikan orang didekatnya itu.
Seng Hay berdiri diam dengan serba salah. Ia berniat angkat kaki akan tetapi tak berani ia
pergi. Dengan begitu, ia pun terus berdiam saja.
Tidak lama, anak muda kita berpaling.
"Eh, kau masih belum pergi?" tanyanya.
Seng Hay terperanjat, tetapi ia girang sekali.
"Kau perkenankan aku pergi?" tegasi ia.
"Kau sendiri datang kemari, aku tidak undang kau," berkata si anak muda," maka jikalau
kau hendak pergi, tak dapat aku tahan padamu."
Bukan kepalang girangnya Seng Hay, ia segera berbangkit, untuk memberi hormat sambil
menjura.
"Tidak nanti aku berani lupakan budimu, siangkong," kata ia.
Sin Tjie manggut, kembali ia baca bukunya.
Seng Hay bertindak kepintu, ketika ia merandek di depan itu. Dengan tiba-tiba ia berkuatir
orang nanti rintangi ia. Lantas ia hampirkan jendela, ia tolak kedua daunnya, tubuhnya
menyusul loncat keluar. Sebelum ia angkat kaki terus, ia menoleh kebelakang, ia dapatkan
si anak muda masih saja baca buku, jadi orang tidak susul ia, hatinya menjadi lega.
Sekarang Barulah ia loncat naik keatas genteng, untuk angkat kaki.
Sementara itu, walaupun sang malam sudah larut, Tjiauw Wan Djie masih belum tidur. Ia
tak dapat lupakan Sin Tjie, tetamunya, penolongnya itu, budi siapa ia ingat betul. Sampai
mendekati fajar, anak muda itu masih berdiam di dalam kamarnya, membaca kitab,
beberapa kali ia telah mondar-mandir, akan melihat, tetap anak muda itu bercokol di
kursinya. Akhirnya ia panggil bujang perempuannya, akan titahkan membuat beberapa
rupa tiamsim, barang makanan, yang ia sendiri lantas bawa kekamarnya pemuda itu.
Mulanya ia mengetok pintu dengan perlahan, sampai beberapa kali, Barulah ia tolak
daunnya untuk masuk kedalam.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Sin Tjie lagi membaca kita "Han Sie", cerita atau riwayat kerajaan Han, agaknya dia sedang
sangat tertarik hatinya, sampai ia diam saja atas datangnya nona rumah.
"Wan Siangkong kau masih belum masuk tidur?" Nona Tjiauw Tanya. "Baik siangkong
coba dulu tiamsim ini, habis kau masuk untuk beristirahat....."
Baru sekarang anak muda kita berbangkit, untuk haturkan terima kasih.
"Baik nona tidur, tidak usah kau perhatikan aku," katanya. "Aku masih menantikan satu
orang....."
Baru pemuda ini mengucap demikian atau mendadak daun jendela menjeblak sehingga
menerbitkan suara, menyusul itu, satu tubuh lompat masuk.
Wan Djie kaget hingga ia lompat berjingkrak, akan tetapi segera ia tampak Ang Seng Hay.
Orang she Ang ini manggut kepada si nona, lantas ia hampirkan Sin Tjie didepan siapa ia
tekuk lutut.
"Wan siangkong, siauwdjin tahu diriku bersalah," katanya. Ia membahasakan diri "siauwdjin"
atau orang rendah. "Tolong siangkong, jiwaku....."
Sin Tjie ulur kedua tangannya, untuk memimpin bangun, akan tetapi Seng Hay tidak mau
berbangkit.
"Mulai hari ini dan selanjutnya, siauwdjin nanti ubah kelakuanku," berkata ia pula. "Aku
minta dengan sangat supaya siangkong tolongi aku."
Tjiauw Wan Djie mengawasi dengan kedua mata dipentang lebar, ia tak mengerti atas apa
yang ia pandang itu.
Sin Tjie ulur pula kedua tangannya, ketika ia kerahkan tenaganya, tahu-tahu tubuhnya
Seng Hay terangkat terus jumpalitan, sehingga dilain saat, pahlawan atau utusannya Kioeong-
ya itu telah rubuh duduk di jubin, tapi ketika ia raba ketiaknya, wajahnya menjadi
terang, satu tanda bahwa hatinya lega, ia girang. Tapi waktu ia usut dadanya, ia kerutkan
alis hingga kedua alisnya hampir menyambung satu pada lain.
"Mengertikah kau sekarang?" Tanya Sin Tjie.
Seng Hay adalah seorang sangat cerdik dan tangkas, kalau tidak, tidak nanti Kioe-Ong-Ya
To Djie Koen kirim ia selaku mata-mata, maka atas pertanyaan si anak muda, segera ia
insaf.
"Siangkong, apakah kau hendak tanya aku?" katanya. "Silakan, siauwdjin nanti menjawab
dengan sebenar-benarnya."
Wan Djie duga orang hendak omong rahasia, ia lantas undurkan diri, keluar dari kamar
tulis itu.
Ketika tadi ia lari pulang ke hotelnya, Seng Hay telah buka bajunya, untuk periksa
tubuhnya. Di dadanya ada sebuah bentol merah sebesar uang tangtjhie, ketika ia raba itu,
ia tidak rasakan apa-apa. Dibawah ketiaknya, ia dapatkan, ada tiga titik hitam seperti
kacang, apabila ia kena langgar itu, ia merasakan sangat sakit. Ia mengerti, itulah luka
yang ia dapatkan tadi selagi ia bertolak tenaga kekuatan berbalik dari Sin Tjie. Maka lekaslekas
ia duduk bersila di atas pembaringannya, untuk menyedot dan mengeluarkan napas
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
dengan peraturan, untuk perbaiki jalan napasnya, ia merasakan sakit. Maka ia lekas
rebahkan diri, rasa sakit itu lantas lenyap sendirinya. Tiga kali ia mencoba perbaiki jalan
napasnya, selalu ia gagal.
Mata-mata Kioe-ong-ya ini tidak berpikir lama akan ingat ilmu silat yang dinamakan "Koenthian-
kang", ialah tenaga yang memukul berbalik siapa terluka karena serangan itu,
apabila tidak dapat obat yang tepat dalam seratus hari dia bakal mati meroyan. Ingat ini, ia
jadi takut sendirinya. Di situ tidak ada orang lain yang bisa tolongi ia, kecuali Sin Tjie, si
anak muda.
"Ah, aku mesti pergi padanya...."
Lantas dia pakai bajunya, ia keluar dari hotel, akan berlari-lari ke rumahnya Tjiauw Kong
Lee, akan lompat masuk kedalam kamarnya si anak muda dengan jeblaki jendela.
Sin Tjie lantas berkata pada orang she Ang ini: "Kau telah dapat dua luka di tubuhmu,
yang satu tadi aku telah sembuhkan, tinggal yang satu lagi. Sekarang ini, luka itu tidak
memberi rasa apa-apa, akan tetapi berselang tiga bulan, baal itu bakal bertambah luas,
bisa menjalar sampai di dada, di ulu hati, maka itulah artinya sampailah batas umurmu!"
Kembali Seng Hay kaget. Jadi benarlah dugaannya tentang lukanya itu. Maka ia jatuhkan
diri, ia berlutut sambil manggut berulang-ulang. Karena ia minta dengan sangat untuk
ditolong.
"Kau telah menjadi harimau yang mengganas, kau akui dorna sebagai ayahmu!" Sin Tjie
bilang, dengan roman yang keren. "Itulah dosamu yang tak berampun! Sekarang aku tanya
kau, kau mau atau tidak untuk gunai jasamu menebus dosa?"
Seng Hay takut benar-benar, hingga ia menangis, air matanya meleleh.
"Memang siauwdjin tahu, perbuatanku ini sesat," kata ia dengan pengakuannya. "Ada
kalanya di waktu malam siauwdjin pikirkan itu dan insaf sendiri, hingga siauwdjin
mengerti, perbuatan itu hina dan sangat memalukan leluhurku. Inilah gara-garanya satu
kejadian pada tahun yang lampau, yang membuat siauwdjin buntu jalan hingga terpaksa
siauwdjin berlaku begini hina."
Sin Tjie awasi wajah orang, ia mau percaya bahwa orang omong dengan sejujurnya. Ia
menduga pada satu kejadian penting. Ia hendak menanya akan tetapi ia tidak lantas
lakukan itu. Ia mengerti, orang ini sangat membutuhkan pertolongannya. Orang pun masih
tetap paykoei.
"Mari bangun dan duduk," ia kata kemudian. "Mari kita bicara dengan perlahan-lahan.
Siapa sudah paksa kau berbuat begini macam, sampai kau buntu jalan?"
"Aku telah didesak oleh Hoei thian Mo Lie Soen Tiong Koen dan Kwie Djie Nio-tjoe,
keduanya dari Hoa San Pay," sahut Seng Hay.
Inilah jawaban diluar sangkaan Sin Tjie, sampai hatinya bercekat.
"Apa? Mereka yang desak kau?" ia tegasi.
Wajahnya Seng Hay pun berubah, nampaknya ia berkuatir.
"Apakah siangkong kenal mereka?" ia balik tanya.
"Baru tadi aku bertempur dengan mereka," sahut Sin Tjie.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Mendengar itu, Seng Hay girang berbareng masgul. Ia masgul karena kekuatirannya,
sebab kedua musuhnya itu berada di Lamkhia ini, di satu tempat dengan ia, Seng Hay
takut nanti ketemu mereka itu di tengah jalan, itu berarti bencana untuknya. Ia girang
sebab nyata anak muda ini telah bertempur dengan mereka itu, ia duga pemuda yang
kosen ini adalah musuh mereka.
"Dua orang itu," katanya melanjuti," walau kepandaian mereka tinggi, mereka bukannya
tandingan siangkong. Cuma mereka berdua telengas sekali, apa juga mereka berani
lakukan, dari itu siangkong harus waspada."
Sin Tjie perdengarkan suara yang memandang enteng.
"Kenapa mereka desak kau?" ia tanya.
Seng Hay berdiam sebentar, lalu ia menyahut.
"Tidak berani aku dustakan kau, siangkong," katanya. "Tadinya siauwdjin berdiam di laut
di Shoatang melakukan pekerjaan tidak memakai modal. Pada suatu hari, satu saudara
angkat lihat Soen Tiong Koen, ia ketarik, ia lantas majukan lamaran kepada nona itu. Soen
Tiong Koen tampik lamaran itu. Sebenarnya dengan penampikan saja sudah cukup, akan
tetapi ia tidak berhenti sampai disitu, tanpa mengucap sepatah kata, dia hunus
pedangnya, dan babat kedua kupingnya saudara angkat itu. Tentu sekali aku tidak puas
dengan perbuatan galak itu, yang keterlaluan dan kejam itu, lantas aku ajak belasan
kawan, untuk satroni dia. Maksudku adalah untuk culik dia, supaya dia menikah dengan
saudara angkat itu. Tegasnya kita hendak paksa padanya.
Celakanya untuk kita, gurunya Soen Tiong Koen, yaitu Kwie Djie Nio, sudah susul kita, dia
tolongi muridnya itu. Dengan satu tabasan, dia bunuh saudara angkatku itu dengan
pedangnya. Beberapa kawanku telah kena dibikin bubar, antaranya ada yang terluka.
Untung bagiku, aku bisa loloskan diri, hingga jiwaku ketolongan...."
"Dalam hal itu, kaulah yang bersalah," Sin Tjie bilang.
"Siauwdjin pun insyaf yang siauwdjin sudah sembrono, hingga satu bahaya besar
diciptakan," Seng Hay akui, "karenanya siauwdjin tidak berani munculkan diri di muka
umum. Benar-benar Soen Tiong Koen tidak mau sudah, entah bagaimana jalannya, dia
dapat tahu kampung halamanku, mereka susul aku. Oleh karena tak dapat ketemui aku,
mereka binasakan ibuku yang sudah tua, yang telah berumur tujuhpuluh tahun, juga
isteriku serta tiga anakku, lelaki dan perempuan, tidak ada satu yang dikasih tinggal
hidup...."
Seng Hay mengucurkan air mata, hingga kata-katanya jadi tergetar, karenanya Sin Tjie
anggap orang bicara dengan sebenarnya. Ia manggut-manggut walaupun hatinya bercekat
untuk ketelengasan Soen Tiong Koen dan gurunya itu.
"Tak dapat siauwdjin lawan mereka itu," Seng Hay tambahkan kemudian," akan tetapi
tanpa sakit hati terbalas lampias, tak puas hatiku.... Oleh karena putus daya, pikiranku jadi
sesat, siauwdjin lantas kabur ke Liauwtong dimana siauwdjin menghamba kepada Kioeong-
ya....."
Seng Hay bersedih berbareng gusar.
"Mereka binasakan ibumu dan anak-isterimu juga, perbuatan itu memang keterlaluan,"
nyatakan si anak muda kemudian. "Semuanya adalah karena salahmu sendiri. Semua itu
toh ada urusan pribadi, kenapa kau menghamba kepada bangsa asing? Kenapa kau
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
kesudian menjadi pengkhianat bangsa?"
"Itulah kesalahanku, siangkong," Seng Hay akui. "Asal siangkong bisa balaskan sakit
hatiku itu, apa juga siangkong titahkan aku, aku akan lakukan...."
"Mencari balas?" Sin Tjie tegaskan. "Itulah kau jangan pikir. Kwie Djie-nio itu sangat
liehay, aku bukanlah tandingannya. Yang benar adalah kau ubah kelakuanmu, supaya kau
selanjutnya menjadi orang baik-baik. Aku tanya kau, Kioen-ong-ya kirim kau kepada Tjo
Thaykam, untuk apa?"
Seng Hay tidak berani mendusta, ia menjawab dengan membuka rahasia. Ia kata Kioe-ongya
janjikan Tjo Hoa Soen untuk menjadi penyambut sebelah dalam kalau nanti bangsa
Boan kerahkan angkatan perangnya untuk gempur kota Pakkhia, supaya thaykam itu -
thaykam - pentang pintu kota. Pun telah diatur tanda-tanda rahasia supaya orangorangnya
Kioe-ong-ya nyelundup masuk kedalam kota, ke dalam istana, untuk bantu turun
tangan.
Diam-diam Sin Tjie girang sekali, tapi ia tak utarakan itu pada wajahnya.
"Sebenarnya mau atau tidak kau ubah kelakuanmu, untuk selanjutnya kau jadi orang baikbaik?"
ia tegaskan. "Atau apakah kau lebih suka menderita siksaan hingga nanti, selang
tiga bulan, kau mati tanpa ampun lagi?"
"Siangkong boleh tunjuki aku satu jalan hidup, selanjutnya aku nanti pandang kau sebagai
ayah dan ibuku yang telah hidup pula!" sahut Ang Seng Hay.
"Baik!" kata Sin Tjie. "Bersediakah kau untuk jadi pengikutku?"
Seng Hay girang bukan kepalang, lantas saja ia berlutut pula, akan paykoei tiga kali
kepada tuannya yang baru ini. Ia girang karena ia berhati lega, karena selanjutnya tak usah
ia berjeri lagi terhadap Kwie Djie Nio dan Soen Tiong Koen. Ia pun percaya, kalau nanti
selang tiga bulan lukanya kumat, pasti majikan ini akan tolong obati dia.
Perubahan cara hidup ini membuat Seng Hay tenang melebihkan tenangnya diwaktu ia
ikuti Kioe-ong-ya pangeran Boan itu.
Habis itu, setelah "repot" satu malaman, Barulah Sin Tjie beristirahat. Seng Hay tidur
dalam satu kamar bersama ia. Pengikut ini tidak pernah pikir untuk menuntut balas,
sebaliknya dia berterima kasih karena si anak muda percaya dia. Sin Tjie tidak kuatir,
sebab ia tahu benar, untuk hidupnya Seng Hay membutuhkan pertolongannya. Maka juga
ia dapat tidur nyenyak, sampai besoknya pagi, setelah matahari naik tinggi, Baru ia
mendusi.
Segera juga muncul Nona Wan Djie dengan bin-tang (baskom) terisi air dan handuk untuk
pemuda ini cuci muka, begitupun beberapa rupa barang makanan untuk sarapan pagi.
"Terima kasih," Sin Tjie mengucapkan.
Tidak lama sehabisnya pemuda ini selesai cuci muka dan rapikan pakaiannya, Bhok Siang
Toodjin muncul bersama papan caturnya. Tjeng Tjeng adalah yang bawa biji-biji catur.
Berdua mereka masuk berbareng.
"Ha, begini hari baru bangun!" kata si pemudi sambil tertawa riang. "Tootiang sudah
menunggui lama sekali, sampai ia tak sabaran! Hayo lekas mulai, lekas mulai!"
Sin Tjie pandang si nona, akan tatap wajahnya, tiba-tiba ia tertawa. Tjeng Tjeng pun
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
tertawa.
"Kenapa kau tertawa?" tanya nona ini sambil balik mengawasi.
Masih saja si pemuda tertawa.
"Tootiang janjikan apa kepadamu hingga kau sekarang jadi begini rajin?" ia tanya. "Begini
perlu kau carikan tootiang lawan main catur!"
Tjeng Tjeng tertawa pula.
"Tootiang hunjuki aku semacam ilmu silat," ia aku. "Itulah semacam ilmu silat entengkan
tubuh yang sangat luar biasa. Umpama orang toyor padamu dan dupak, kau boleh layani
ia dengan main berkelit saja sebagai orang lagi main petak, mengegos ke timur, ngeles ke
barat, jangan harap dia bakal kena menyerang padamu!"
Mendengar itu, pemuda ini tergerak hatinya, diam-diam ia lirik guru sampiran itu, siapa
sebaliknya dengan tenang lagi taruh dua biji putih dan dua biji hitam di keempat pojok
papan caturnya, lalu sebiji putih dipegang di tangannya, dipakai mengetok-ngetok papan
caturnya sehingga papan itu menerbitkan suara nyaring. Berbareng dengan itu, imam ini
pun bersenyum.
Menampak sikap yang luar biasa dari Bhok Siang Toodjin, Sin Tjie ingat suatu apa.
"Tootiang ajarkan ilmu silat entengkan tubuh kepada Tjeng Tjeng, itu mesti ada
maksudnya," ia lantas berpikir. "Sebentar adalah malaman janjiku dengan Djie Soeko dan
Djie-Soeso, akan bertanding di panggung Ie Hoa Tay, tak dapat aku tidak pergi
menetapkan janji itu. Inilah sulit, sebab dilihat dari romannya, Djie-soeso tak puas
sebelum ia layani aku. Mana dapat aku layani mereka dengan sungguh-sungguh? Djiesoeko
pun sangat kesohor, melayani dia saja, belum tentu aku sanggup peroleh
kemenangan, maka jikalau aku melayani dengan main-main, ada kemungkinan aku bakal
terluka di tangannya, atau mungkin juga, karena alpa, aku bakal terbinasa.... Apa ini
sebabnya kenapa tootiang ajarkan ilmu entengkan tubuh itu kepada Tjeng Tjeng?"
Karena memikir begini, pemuda ini lantas kata kepada si nona:
"Kau inginkan aku main tiokie dengan tootiang, baiklah, akan tetapi kau mesti ajarkan ilmu
silat itu kepadaku!"
"Baik!" Tjeng Tjeng jawab sambil tertawa. "Ini dia yang dibilang, barang siapa dapat
melihat, dia mesti menerima bagian!"
Ia tertawa pula, begitupun si anak muda.
Setelah itu, Sin Tjie temani gurunya itu main tiokie.
Sampai waktunya bersantap, tengah-hari, Barulah orang berhenti adu otak, diwaktu itu,
Sin Tjie ambil kesempatan akan pasang omong dengan Tjoei Tjioe San, sang paman atau
guru. Pembicaraan mereka ialah mengenai persiapannya Giam Ong, yang tentunya tak
lama lagi akan mulai turun tangan menggempur musuh Negara, katanya, pergerakan
kemerdekaan itu memperoleh dukungan dari segenap rakyat. Di pihak lain, Tjioe San puji
anak muda ini, yang pelajaran silatnya maju dengan pesat sekali.
Kedua pihak bicara secara gembira dan asik sekali, sebab dua-dua sangat bergembira.
Selama itu beberapa kali Tjeng Tjeng mengasi tanda dengan tangan kepada si anak muda,
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
untuk anjuri dia keluar, Tjioe San lihat itu, ia tertawa.
"Sahabat cilikmu itu memanggil, pergilah lekas!" kata dia.
Tampangnya si anak muda merah sendirinya, ia jengah, tapi ia tidak segera berbangkit, ia
malu hati.
"Kau pergilah!" kata pula Tjioe San, yang terus berbangkit, untuk mendahului pergi keluar.
Tjeng Tjeng lari ke dalam begitu lekas orang she Tjioe itu sudah tidak ada.
"Lekas, lekas!" katanya. "Aku nanti beritahukan kau tentang ilmu silat yang tootiang ajari
aku, karena diwaktu tootiang mengajarinya, ada bagian-bagian yang aku tidak mengerti.
Tootiang melainkan kata padaku: "Kau ingat-ingat saja, nanti juga kau mengerti." Tentu
saja, kalau ditinggal lama-lama, aku nanti lupa semua."
Sin Tjie iringi kehendak si nona maka di lain saat, mereka sudah berlatih, atau lebih benar,
Tjeng Tjeng menyebutkan ilmu silat itu, Sin Tjie yang mendengari, habis itu, si anak muda
coba menjalaninya. Itulah ilmu pukulan yang dinamakan "Pek pian kwie eng" atau
"Bajangan setan yang berubah seratus kali".
Kepandaian entengkan tubuh Bhok Siang Toodjin dan senjata rahasianya menjagoi di
kolong langit, lebih-lebih ini "Pek pian kwie eng". Selama masih di puncak Hoa San, Bhok
Siang tidak ajari Sin Tjie, sebab anak muda ini masih dalam permulaan, sulit untuk dia
punyakan ilmu itu, tapi sekarang, setelah terlatih baik dan peroleh pengalaman, itulah
waktunya untuk si anak muda diajarkan. Akan tetapi Bhok Siang mempunyai maksudnya
sendiri, ia mengajari dengan perantaraan mulutnya Tjeng Tjeng. Nona ini tidak terlalu
tinggi ilmu silatnya, akan tetapi otaknya sangat terang, kuat ingatannya, ia sangat cerdas.
Maka hal yang sebenarnya adalah, tidak benar Bhok Siang mengajari Tjeng Tjeng, yang
benar adalah ia mengajari Sin Tjie.
Tjeng Tjeng memberi penuturan jelas sekali, dari gerakan tubuh dan kaki, hal itu membuat
si anak muda jadi sangat girang, karena ia pun berotak terang dan segera ingat dengan
baik.
Benar kalau Tjeng Tjeng kata ada bagian-bagian yang ia tidak mengerti, maka atas
desakan Sin Tjie, beberapa kali ia lari bulak-balik pada si imam, untuk minta penjelasan,
hingga di lain saat, Sin Tjie telah ingat semua, hingga ketika ia mencoba menjalaninya,
lantas saja ia bisa jalani dengan baik. Maka itu, ia lantas meyakinkan terus-terusan.
Mengenai ilmu silatnya djie-soeko dan djie-soeso, Sin Tjie ingat baik-baik kata-katanya
sang guru dahulu: "Toasoekomu jenaka, satu waktu ia tak terluput dari kealpaan. Djiesoekomu
pendiam, dia belajar dengan sungguh-sungguh." Itu berarti, kepandaiannya djiesoeko
sangat berada di atasan kepandaiannya sang toa-soeko, saudara tertua itu.
"Sekarang aku peroleh ini Pek pian kwie eng, apa mungkin aku tak dapat layani djiesoeko?"
pikir dia, yang untuk sesaat bersangsi.
Tapi anak muda ini berpikir terus.
"Soehoe pernah ajarkan aku Sip-toan-kim, ketika itu soehoe jalankan ilmu entengkan
tubuh itu, aku serang ia dengan seantero kebisaanku, tak dapat aku serang dia walaupun
ujung bajunya saja," demikian ia berpikir. "Sekarang Bhok Siang Toodjin ajarkan ilmu ini,
apa tidak baik aku gabung ini dengan Sip-toan-kim? Tidakkah ini berarti, kepandaiannya
dua kaum aku persatukan?"
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Sin Tjie lantas ambil keputusan, dari itu terus ia bersamedhi di kamar tulis itu, bukan
untuk mengaso, hanya tubuhnya yang beristirahat, otaknya tetap bekerja, akan pikirkan
jalan untuk gabung kedua ilmu entengkan tubuh itu.
Tjeng Tjeng semua ketahui pemuda ini sedang beristirahat, maka tidak ada yang berani
ganggu.
Sin Tjie bersamedhi sampai jam Sin-sie, pukul tiga atau empat lohor, ia berhasil, tetapi
untuk memperoleh kepastian, ia hendak coba dulu. Maka ia ajak Wan Djie pergi ke
lapangan peranti belajar silat, ia minta disediakan sepuluh saudara seperguruan si nona,
dengan persiapan seorangnya setahang air, mereka itu diminta berkumpul di empat
penjuru, untuk nanti seblok atau siram ia dengan air selagi ia bersilat.
Latihan telah dimulai dengan segera, dari pelbagai jurusan, saudara-saudara seperguruan
Nona Tjiauw Wan Djie lantas siram si anak muda dengan air, selama itu, Sin Tjie mencelat,
melesat ke sana-sini, gerakannya gesit dan cepat. Ketika kemudian sepuluh tahang air
telah habis, Sin Tjie cuma basah ujung tangan bajunya yang kanan dan kakinya yang kiri.
Sebagai kesudahan, semua orang puji pemuda ini.
Di lapangan itu orang bergembira, suaranya bergemuruh, akan tetapi Bhok Siang Toodjin
sendiri lagi rebah menggeros di dalam kamarnya, ia seperti tak tahu menahu....
Sorenya, habis bersantap, Sin Tjie lantas bersiap-siap untuk pergi ke panggung Ie Hoa Tay
yang kesohor. Tjiauw Kong Lee dan Tjiauw Wan Djie menyatakan suka turut, katanya
untuk sebisa-bisanya mengakurkan itu kedua saudara seperguruan. Tjeng Tjeng juga
ingin turut, dengan maksud membantui sahabat ini.
Sin Tjie tampik semua kebaikan itu. Kong Lee dan puterinya dapat dikasi mengerti, tidak
demikian dengan Tjeng Tjeng, yang lantas saja menjebi dan merengut.
"Mereka itu adalah djiesoeko dan djiesoesoku," Sin Tjie kasi mengerti, "aku telah ambil
putusan, lebih suka aku kena dihajar tapi tidak nanti aku akan balas menyerang, maka itu,
apabila kau saksikan itu, pasti kau tak senang dan gusar, satu kali kau gusar, apakah kau
tidak jadi bikin kacau urusanku?"
"Kau boleh mengalah sampai tiga serangan, mengapa kau tidak hendak membalasnya?"
tanya Tjeng Tjeng, yang penasaran.
"Aku hendak coba pelajaran yang kau ajari aku, aku ingin saksikan mereka mampu atau
tidak menyerang kepadaku," Sin Tjie bilang.
"Jikalau begitu, lebih-lebih aku ingin menyaksikannya!" si nona mendesak. "Aku janji
padamu aku tidak akan turut bicara."
"Bagaimana kalau kau berpura-pura gagu?" tanya Sin Tjie sambil tertawa.
Nona itu manggut.
"Baik, aku akan berpura-pura gagu!" katanya.
Tak dapat Sin Tjie tolak nona yang biasa dimanjakan ini, terpaksa ia mengajaknya. Waktu
ia mau pergi, ia cari Bhok Siang Toodjin dikamarnya, untuk pamitan, akan tetapi si imam
masih saja tidur, beberapa kali dia dipanggil-panggil, tidak juga dia mendusi, hingga
kedua anak muda ini terpaksa tinggalkan dia.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Tjioe San juga entah telah pergi kemana.
Dua-dua, Sin Tjie dan Tjeng Tjeng sudah kenal baik kota Lamkhia, tak susah mereka cari
panggung Ie Hoa Tay. Mereka pun pergi dengan menunggang kudam dengan meminjam
dua ekor kudanya keluarga Tjiauw.
Pada kira-kira jam sebelas malam Barulah dua pemuda ini sampai di Ie Hoa Tay, di situ
mereka tidak lihat seorangpun, maka mereka duga, Kwie Sin Sie masih belum sampai.
Mereka turun dari kuda, untuk duduk di tanah, akan menanti.
Selang kira-kira setengah jam, dari arah timur kelihatan berkelebatan dua bajangan
manusia, yang lari mendatangi, lalu mereka itu menepuk tangan dua kali.
Dengan lantas Sin Tjie tepuk tangannya, untuk menyambuti.
Satu bajangan, yang segera sampai, lantas menanya: "Apakah Wan Soesiok sudah
sampai?"
"Aku sudah menantikan Djie-soeko dan Djie-soeso," sahut Sin Tjie, yang kenali Lauw
Pwee Seng, muridnya sang kanda seperguruan yang kedua.
Nyata Pwee Seng datang bersama-sama Bwee Kiam Hoo, yang belakangan ini segera
mendekati.
Lagi sesaat, dari kejauhan terdengar satu suara nyaring: "Dia sudah datang! Bagus!"
Baru suara itu berhenti atau dua orang mencelat muncul di depan Sin Tjie berempat. Tjeng
Tjeng terperanjat, karena ia kagumi ilmu entengkan tubuh yang sempurna itu.
Pwee Seng dan Kiam Hoo minggir, untuk buka jalan bagi kedua orang yang Baru datang
itu, ialah kedua guru mereka.
Masih kelihatan satu bajangan berlari-lari mendatangi, apabila dia sudah datang dekat dia
ternyata adalah Soen Tiong Koen, yang tangannya mengempo satu anak kecil. Dia
ketinggalan, terang itulah bedanya kepandaiannya lari keras dari kedua gurunya suamiisteri
itu. Itu bocah adalah bocah kesajangan Kwie Sin Sie suami-isteri.
"Sungguh Tuan Wan harus dipercaya!" kata Kwie Djie-nio dengan dingin. "Kita berdua
mempunyai lain urusan penting, supaya tidak buang-buang tempo percuma, silakan kau
mulai menyerang."
Sin Tjie bukannya lantas menyerang, ia hanya angkat kedua tangannya untuk memberi
hormat.
"Kedatanganku ini kemari adalah untuk haturkan maaf kepada soeko dan soeso" kata ia
dengan sabar. "Siauwtee telah bikin patah pedang soeso, itu telah dilakukan karena
siauwtee tak mengetahuinya terlebih dahulu, untuk kelancanganku ini, dengan
memandang kepada soehoe, harap soeko dan soeso suka maafkan aku."
Masih Kwie Djie-nio bersikap keras.
"Kau benar soetee kita atau bukan, siapakah yang ketahui?" kata dia dengan dingin. "Baik
kita bertanding dulu, Baru kita bicara pula!"
Sin Tjie tetap dengan sikapnya mengalah, ia tak mau turun tangan.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Kwie Djie-nio mengawasi, melihat orang mengalah terus, ia anggap orang jeri
terhadapnya, ia menyambar dengan tangannya yang kiri, dari samping.
Sin Tjie lenggakkan kepala, dengan begitu tangan sang soeso lewat tepat di depan
hidungnya. Ia bebas dari serangan akan tetapi ia terperanjat.
"Siapa sangka, mesti dia hanya seorang perempuan, serangannya sebat sekali," pikir Sin
Tjie.
Kwie Djie-nio dapatkan tangan kirinya tak memberi hasil, segera ia menyusuli dengan
tangan kanan. Ia gunai ilmu pukulan "Sin Koen" atau "Kepalan Malaikat" dari Hoa San Pay.
Sin Tjie kenal baik ilmu pukulan ini, ia berkelit sambil kasi turun kedua tangannya, lurus
sampai dipaha, dikasi rapat dengan pahanya itu. Inilah tanda bahwa ia suka mengalah, tak
ingin ia balas menyerang.
Kwie Djie-nio jadi sangat penasaran,maka ia ulangi serangannya, malah terus-menerus,
sampai lebih dari sepuluh kali. Bisa dimengerti jikalau sesuatu gerakannya cepat sekali
dan setiap pukulannya berat, hebat apabila mengenai sasarannya. Tapi semua itu Sin Tjie
dapat egoskan dengan gerakan tubuhnya yang pesat dan lincah. Tetap anak muda ini tak
hendak menangkis atau balas menyerang.
Kwie Sin Sie saksikan pertempuran itu, hatinya bercekat, ia pun gegetun.
"Anak muda ini liehay sekali," pikir ia. Tapi yang membuat ia heran adalah gerakan si
pemuda, sebagian mirip dengan ilmu silat Hoa San Pay, sebagian besar lagi berbeda.
Hingga akhirnya ia mau menduga, entah siapa dia ini yang berpura-pura jadi murid
gurunya, untuk bisa mencuri pelajaran saja. Karena ini, ia memasang mata dengan tajam,
untuk memperhatikan terlebih jauh, ia kuatir isterinya nanti gagal karena isteri itu
berkelahi dengan sangat bernapsu.
"Kau tidak mau balas menyerang, kau sangat pandang enteng kepadaku, aku nanti kasi
kau kenal liehaynya Kwie Djie-nio!" kata si nyonya yang keras perangainya sesudah
berulang-ulang ia gagal dengan pelbagai serangannya. Ia lantas menyerang, kali ini
dengan kedua tangan yang saling susul, makin lama makin seru. Karena ini, ia sampai
lupa bagian penjagaan diri.
Sin Tjie mengeluh didalam hatinya karena desakan hebat dari ini enso, yang di lain pihak
ia pun kagumi, karena sang enso benar-benar liehay.
"Inilah berbahaya untukku, apabila terpaksa, aku mesti tangkis dia," akhirnya ia ambil
putusan.
Soen Tiong Koen saksikan pertempuran guru perempuannya dengan hati panas dan
mendongkol, karena sampai sebegitu jauh ia saksikan tetap saja Sin Tjie main berkelit
saja. Ia juga heran kenapa gurunya belum pernah berhasil menyerang jitu kepada anak
muda itu. Selagi hatinya panas, ia tampak Tjeng Tjeng sedang menonton dengan wajah
riang gembira, air mukanya ramai dengan senyuman bersero-seri. Mendadak dia menjadi
naik darah. Tidak tempo lagi, ia serahkan anak kecil dalam empoannya kepada Bwee Kiam
Hoo, lantas ia cabut pedangnya dengan apa ia berloncat kepada Tjeng Tjeng, yang ia
serang dadanya tanpa bilang suatu apa!
Nona Oen kaget sekali, cepat-cepat ia berkelit. Ia bingung, karena ia datang - dengan
penuhkan keinginannya Sin Tjie - tanpa membawa senjata tajam. Sekarang ia diserang
oleh seorang aseran dan ia segera diserang berulang-ulang, hingga, mulai dari terdesak,
ia jadi repot. Ia memang bukan tandingan nona Soen itu, sekarang pun ia bertangan
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
kosong, pasti sekali ia jadi sangat sibuk.
Sin Tjie, yang lagi layani ensonya, lihat Tjeng Tjeng diserang Tiong Koen, ia jadi berkuatir,
karena ia tahu, Tjeng Tjeng bukan tandingan Hoei-Thian Mo Lie yang telengas. Ia ingin
tolongi si nona akan tetapi ia sendiri lagi didesak Kwie Djie-nio.
"Jangan kau lukai orang!" Kwie Sin Sie peringati Tiong Koen.
"Dia puteranya Kim Coa Long-koen, dialah si biang keladi!" Tiong Koen bilang.
Kwie Sin Sie dengar Kim Coa Long-koen kejam, dia anggap orang bukan orang baik, maka
ia lantas tutup mulut.
Soen Tiong Koen anggap gurunya itu terima baik alasannya itu, ia lantas melanjuti
menyerang dengan pedangnya dengan terlebih-lebih hebat, hingga diantara berkilaukilaunya
pedang, jiwanya Tjeng Tjeng sangat terancam bahaya maut.
Dalam sibuknya Sin Tjie mengerti itulah ancaman hebat bagi Tjeng Tjeng, lalu ia paksakan
diri akan cari ketikanya akan menyingkir dari sang enso. Masih ia lonjorkan kedua
tangannya, tapi sekarang ia coba tendang ensonya itu dengan kaki kiri dan kanan
bergantian, begitu ada ketikanya yang baik. Beruntun ia menendang sampai enam kali,
tapi setiap kali kakinya hampir mengenai sasaran, segera kaki itu ditarik pulang. Secara
begini ia berhasil akan desak mundur nyonya yang berhati panas itu.
Sin Tjie gunai ketikanya dengan baik sekali, dengan tiba-tiba ia berlompat ke arah Soen
Tiong Koen, guna dengan tangan kirinya totok bebokongnya si nona, maksudnya adalah
untuk merampas pedangnya.
Dalam saat itu Tiong Koen menghadapi bencana, tiba-tiba terdengar seruan keras dan
panjang dari samping, tahu-tahu tubuhnya Kwie Sin Sie sudah mencelat ke arah
soeteenya pinggang siapa ia ancam dengan satu serangan hebat.
Sin Tjie ketahui datangnya serangan itu, untuk tolong diri, ia batalkan serangannya kepada
Nona Soen. Ia tidak berkelit, ia hanya gunai tangan kanannya, untuk menangkis, guna
sekalian gaet tangannya sang soeko. Ketika kedua tangan bentrok, tubuh Sin Tjie tertolak
ke belakang, hingga ia terperanjat. Sebab sejak turun gunung, belum pernah ia ketemui
lawan setangguh soeko ini.
"Aku tahu djie-soeko liehay, tetapi ia bertubuh begini kurus-kering, siapa tahu tenaganya
begini besar?" ia berpikir. Karena ini, soeko itu cocok sama julukannya, "Sin-koen Boetek,"
atau "Kepalan Dewa Tanpa Tandingan".
Habis itu, Sin Tjie berdiri tegak, hingga untuk kedua kalinya datanglah sambaran tangan
kiri dari kanda seperguruan yang kedua itu. Sementara itu, Kwie Djie-nio sendiri sudah
berdiri di pinggiran.
Sekarang Sin Tjie sudah siap, ia berkelit dengan pundak kiri diegoskan, hingga serangan
kedua dari sang soeko gagal pula. Ia telah coba satu jurus dari "Pek pian kwie eng".
Kwie Sin Sie menyerang pundak, akan tetapi ia tidak berlaku sungguh-sungguh, ia niat
lantas tarik pulang tangannya itu. Biar bagaimana, ia masih hormati gurunya, tidak mau ia
lukai soetee itu. Di luar sangkaannya, serangannya yang hebat itu dapat dikelit Sin Tjie,
hingga tanpa menginsafi, ia berseru: "Kau gesit sekali!"
Seruan ini disusul dengan serangan yang ketiga, gerakannya sama dengan gerakan
tangannya Kwie Djienio tadi, hanya serangan ini lebih cepat lagi, lebih berat pula.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
"Tidak heran djie-soeko jadi sangat kesohor," pikir Sin Tjie, yang kagum tak terkira.
"Pantaslah murid-muridnya pun sangat dimalui, kiranya dia telah peroleh kesempurnaan
pelajarannya soehoe."
Terus Sin Tjie gunai "Pek pian kwie eng" untuk layani saudara seperguruan ini, tapi ia
masih belum punyakan latihan yang cukup. Maka kadang-kadang ia campur itu dengan
"Hok houw koen" -"Kepalan Takluki harimau" dari Hoa San Pay, buat menangkis, hingga
berdua mereka bisa bertempur dengan seru.
Soen Tiong Koen di lain pihak masih desak terus pada Tjeng Tjeng. Seperti juga ia telah
peroleh perkenan dari gurunya, ia jadi bisa bertindak dengan merdeka. Ia girang melihat
lawannya repot melayaninya.
"Soemoay, jangan lancang melukai orang!" Pwee Seng dan Kiam Hoo memperingati.
Baru nasihat itu diperdengarkan atau pedangnya Tiong Koen sudah sambar dadanya
Tjeng Tjeng. Dia ini mati jalan, terpaksa ia buang diri dengan melenggak, dengan lompat
jumpalitan, akan terus bergulingan di tanah. Masih saja Tiong Koen menyerang, selagi
orang berguling, ia membabat. Tjeng Tjeng lolos, ikat kepalanya kena ditabas, karena
mana, terlepaslah rambutnya yang panjang dan hitam sampai menutupi mukanya.
Menampak itu, Soen Tiong Koen tercengang. Tidak pernah ia sangka, si pemuda
sebenarnya adalah satu pemudi. Tapi karena ia penasaran, ia maju pula, akan lanjuti
serangannya.
Selagi Tjeng Tjeng terancam bahaya, dengan sekonyong-konyong terdengar seruan
nyaring dan bengis yang datangnya dari atas pohon di samping mereka: "Oh, nona yang
kejam!" Lantas seruan itu disusul dengan melayang turunnya satu tubuh, sebelum Tiong
Koen tahu apa-apa, pedangnya sudah kena ditendang hingga terlepas, dan tentu saja ia
jadi kaget sekali.
Orang asing itu adalah satu imam, alis dan kumis-jenggotnya telah putih semua, dia
berdiri melintang di depan Tjeng Tjeng.
Soen Tiong Koen mengawasi dengan tecengang, bersama-sama dengan Pwee Seng dan
Kiam Hoo, ia tidak kenal imam itu.
Akan tetapi Kwie Djie-nio kenali Bhok Siang Toodjin, sahabat kekal dari gurunya, ia lekaslekas
menghampirkan, untuk memberi hormat.
"Jangan repot dengan cara-hormat saja, lihatlah itu soeheng dan soetee sedang berlatih!"
katanya sambil tertawa.
Kwie Djie-nio lantas berpaling kepada suaminya, siapa lagi tempur Sin Tjie dengan tubuh
mereka bergerak bagaikan dua bajangan berkelebatan, anginnya menderu-deru. Sin Sie
pesat tapi Sin Tjie gesit, kalau yang satu mewariskan satu guru, yang lain adalah ahli
warisnya tiga guru yang liehay....
Makin lama pertempuran jadi makin seru, walau demikian, Sin Tjie berada di pihak lebih
lemah. Dia berkelahi dengan gunai ilmu silat Hoa San Pay, benar ia pandai menggunainya,
akan tetapi dari Sin Sie, ia kalah latihan, kalah pengalaman. Di lain pihak, ia lebih banyak
menangkis, tidak berani ia keluarkan seantero kepandaiannya.
Kwie Djie-nio girang melihat suaminya menang di atas angin, tetapi meski demikian,
sekarang tidak lagi ia sangsikan Sin Tjie sebagai soeteenya, karena ia telah saksikan baikKang
Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
baik, ilmu silat Sin Tjie tulen dari Hoa San Pay.
Sin Tjie terdesak terus, untuk menyingkirkan ancaman bahaya, tiba-tiba ia ubah caranya
bersilat, maka selanjutnya, tubuhnya bergerak-gerak licin bagaikan ular air. Sebab
sekarang terpaksa ia gunai ilmu silatnya Kim Coa Long-koen, ialah "Kim Tjoa Yoe-sintjiang"
atau "Ular Emas main-main". Itulah ilmu entengkan tubuh yang dicangkok dari ular
yang lagi berenang memain di muka iar. Untuk ini, Sin Tjie boleh tak usah balas
menyerang lagi. Dengan gunai "Pek pian kwie eng" tubuhnya jadi bertambah licin....
Kwie Sin Sie boleh liehay sekali, akan tetapi sekarang ia putus asa untuk berikan serangan
berarti terhadap soetee itu, hingga ia pun jadi kagum berbareng heran.
Pertempuran dilanjuti sampai beberapa puluh jurus lagi dengan hasilnya tetap masih tidak
ada, sekonyong-konyong Sin-koen Boe-tek berlompat keluar dari kalangan sambil
serukan: "Tahan!"
Sin Tjie heran, akan tetapi ia berhenti bergerak, di dalam hatinya, ia kata: "Dia tak berhasil
memukul aku, ini artinya kita seri, kedua pihak telah dapat lindungi muka mereka,
pantaslah pertempuran habis sampai di sini..."
Setelah berdiri di pinggiran, Kwie Sin Sie dongak sambil terus menjura kearah atas, ke
arah satu pohon.
"Soehoe, soehoe telah datang!" katanya.
Mendengar ini, Sin Tjie terperanjat, ia heran. Ia mengawasi ke pohon, ke arah mana Sin Sie
memberi hormat, dari situ ia tampak empat bajangan berlompat turun saling-susul, hingga
di lain saat ia telah dapat lihat tegas empat orang itu, yang pertama ialah gurunya, Pattjhioe
Sian wan Bok Djin Tjeng, hingga tak ayal lagi, ia lari mendekati, untuk memberi
hormat sambil paykoei. Kemudian Barulah ia berbangkit, akan awasi tiga yang lain. Ialah
Tjoei Tjioe San, Toasoehengnya Tong-pit Thie-shoeiphoa Oey Tjin dan di paling belakang,
A Pa, si empeh gagu, sahabat karibnya di dalam guha.
Dalam kegirangannya yang luar biasa itu, Sin Tjie segera bicara sama A Pa, sudah tentu
dengan main gerak-gerik tangan mereka.
"Dasar aku kurang pengalaman, aku layani soeko tanpa aku perhatikan segala apa di
sekelilingku," pikir pemuda ini. "Coba yang sembunyi di atas itu bukannya soehoe, hanya
orang lain, apa aku tidak bakal celaka karena bokongan?"
Karena ini, ia kagumi Kwie Sin Sie.
Bok Djin Tjeng usap-usap kepala muridnya yang bungsu.
"Toasoekomu telah tuturkan aku perihal perbuatanmu di Kie-tjioe, Tjiatkang, perbuatanmu
itu tak dapat dicela," berkata guru ini sambil tertawa. Setelah itu, mendadak tampangnya
jadi sungguh-sungguh ketika ia kata dengan keras: "Kau, seorang anak muda, mengapa
kau tidak hormati orang yang terlebih tua? Kenapa kau lawan soekomu?"
Sin Tjie terkejut, lekas-lekas ia tunduk.
"Teetjoe bersalah, lain kali teetjoe tak berani pula," kata ia. Terus ia hampirkan Kwie Sin
Sie dan Kwie Djie-nio, untuk menjura kepada mereka seraya berkata: "Siauwtee haturkan
maaf kepada soeko dan soeso."
Meskipun Kwie Djie-nio aseran akan tetapi jujur.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
"Soehoe, jangan soehoe tegur soetee," ia bilang. "Adalah aku dan suamiku yang paksa ia
melayani berkelahi. Yang aku sesalkan adalah soetee sudah gunai ilmu silatnya lain kaum
untuk menghina kepada beberapa muridku yang tidak berharga..."
Nyonya Kwie lantas tunjuk Pwee Seng tiga saudara seperguruan.
"Bicara tentang pelbagai kaum persilatan, hatiku tawar," berkata Bok Djin Tjeng dengan
sabar. Lalu terus ia menoleh pada Kiam Hoo. "Eh, Kiam Hoo, mari!" ia panggil cucu
muridnya yang berangasan itu. "Aku hendak tanya kau. Dia ini sudah berani lawan
soehengnya bertempur, dialah yang salah! Akan tetapi kamu bertiga, kenapa kamu berani
lawan soesiokmu? Didalam kalangan kita mempunyai aturan yang tertua dan yang
termuda, apakah kamus udah tidak hormati tingkatan derajat itu?"
Kiam Hoo, begitu juga Pwee Seng, tidak berani mendusta terhadap soe-tjouw itu, si kakek
guru, maka mereka akui kesalahan mereka, untuk itu Kiam Hoo tuturkan asal mulanya,
ketika mereka bantui Bin Tjoe Hoa yang memusuhkan Tjiauw Kong Lee. Ia tuturkan semua
dengan jelas, kecuali di bagian Soen Tiong Koen tabas tangannya Lo Lip Djie, ia lewatkan
itu.
Tjeng Tjeng tidak puas dengan cerita tak lengkap itu.
"Dengan telengas dia telah tabas kutung sebelah tangan orang!" ia campur bicara,
suaranya keras. "Wan Toako tidak puas dengan perbuatan kejam itu, karenanya ia campur
tangan!"
Wajahnya Bok Djin Tjeng jadi guram.
"Apakah itu benar?" ia tanya. Kwie Sin Sie dan isterinya masih belum tahu hal itu, maka
keduanya awasi Soen Tiong Koen, si nona yang disebut sebagai si "dia" oleh nona Oen.
Kiam Hoo jawab gurunya, dengan pelahan:
"Soen Soemoay kira dia seorang jahat, maka ia turun tangan dengan tidak mengenal
ampun lagi," katanya. "Sekarang soemoay telah jadi sangat menyesal. Harap soetjouw
suka mengasi ampun..."
"Pantangan paling besar dari kaum kita Hoa San Pay adalah melukai atau membunuh
tanpa sebab!" berseru dia. "Sin Sie, ketika kau mulai terima murid, apakah kau tidak
jelaskan pantangan kita itu kepadanya?"
Belum pernah Sin Sie dapatkan gurunya gusar demikian rupa, lekas-lekas ia berlutut di
depan guru itu.
"Teetjoe telah keliru mendidik, harap soehoe jangan gusar," ia mohon. "Nanti teetjoe tegur
padanya."
Kwie Djie-nio pun lantas berlutut di depan guru itu, maka perbuatannya lantas diturut oleh
Lauw Pwee Seng, Bwee Kiam Hood an Soen Tiong Koen. Ketiga murid ini berlutut
dibelakang Kwie Sin Sie.
Bok Djin Tjeng masih gusar. Ia tegur Sin Tjie:
"Kau telah saksikan kejadian itu, kenapa kau sudah saja dengan cuma patahkan pedang?
Kenapa kau juga tidak tabas kutung sebelah lengannya? Kita tidak jaga baik nama kita,
kita tidak taat kepada pantangan sendiri, apakah kita tak bakal ditertawai, dihinai sesama
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
sahabat kang-ouw?"
Sin Tjie pun lekas-lekas berlutut, ia manggut-manggut.
"Teetjoe bersalah, soehoe," ia akui. Ia tak mau omong banyak.
Pat-tjhioe Sian Wan si Lutung Sakti Tangan Delapan tertawa dingin.
"Mari kau!" ia panggil Soen Tiong Koen.
Nona itu takut bukan main, tidak berani ia menghampirkan kakek guru itu, ia terus
mendekam di tempatnya, ia manggut berulang-ulang.
"Apakah kau tidak mau menghampirkan?" tanya Bok Djin Tjeng.
Kwie Djie-nio sangat takut, ia tahu maksud gurunya itu, ialah sang guru hendak bikin Soen
Tiong Koen menjadi satu manusia bercacat. Tapi Tiong Koen ada murid kesajangannya,
bagaimana ia tega. Maka ia lantas manggut-manggut pada guru itu.
"Soehoe, harap soehoe jangan gusar," memohon dia. "Sepulangnya nanti teetjoe beri
ajaran keapdanya."
"Kau juga kutungi sebelah tangannya, besok kau ajak dia pergi kepada keluarga Tjiauw
untuk menghaturkan maaf!" kata guru itu.
Dalam takut dan kekuatirannya yang sangat, Kwie Djie-nio bungkam.
Tapi Sin Tjie segera berkata: "Mengenai urusan dengan keluarga Tjiauw itu, teetjoe sudah
menghaturkan maaf. Lalu dari itu teetjoe juga telah janjikan orang yang dikutungi sebelah
tangannya itu pelajaran silat dengan sebelah tangan. Karena itu, pihak Tjiauw sudah
terima baik perdamaian, sekarang sudah tidak ada urusan apa-apa lagi."
"Hm!" berseru guru itu. "Sekarang bangunlah semua! Sukur Bhok Siang Toodjin bukannya
orang luar, apabila tidak, dia boleh tertawai kita hingga kita mati semua! Dasar Bhok
Tooyoe yang cerdik, setelah dapat pengalaman buruk dari muridnya, selanjutnya tak mau
ia menerima murid pula, hingga tak usah ia mendapati hal-hal yang memalukan."
Kwie Sin Die semua berbangkit.
Bok Djin Tjeng melirik kepada Soen Tiong Koen, justeru itu cucu murid lagi memandang
dia, cucu murid ini kaget, lekas-lekas ia berlutut pula, karena ia jeri untuk sinar mata
berpengaruh dari si kakek guru.
"Mari pedangmu, serahkan padaku!" Bok Djin Tjeng kata pada cucu-murid itu.
Soen Tiong Koen terima perintah dengan hati memukul keras, dengan kedua tangannya ia
persembahkan pedang yang diminta, kedua tangannya diangkat sampai diatasan
kepalanya.
Soetjouw itu sambuti gagang golok, ketika ia menarik, Tiong Koen menjerit dengan tibatiba:
"Aduh!" Lantas saja darah mengucur dari tangannya yang kiri, di mana jari kelingking
telah tertabas kutung pedangnya sendiri, hingga ia merasakan sakit bukan main.
Bok Djin Tjeng geraki pula tangannya yang memegang pedang itu, untuk mana tangan
kanannya dibantu tangan kiri, atas mana, pedang itu terpatah dua dengan menerbitkan
suara nyaring.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
"Mulai hari ini sampai selanjutnya, aku larang kau gunai pedang!" Berkata sang kakek
guru dengan suaranya yang bengis.
"Teetjoe terima," sahut Tiong Koen dengan menahan sakit. Ia malu dan kaget, air matanya
sampai mengucur keluar.
Kwie Djie-nio robek ujung bajunya, untuk pakai itu membungkus luka jeriji muridnya itu.
"Bagus, tak nanti kau dihukum pula," ia bisiki sang murid.
Tiong Koen berdiam, ia cuma bisa menangis.
Bwee Kiam Hoo saksikan caranya sang kakek guru patahkan pedang, sekarang Barulah ia
percaya habis kepandaian Sin Tjie, ketika pemuda ini patahkan pedangnya Tiong Koen.
Karena ini ia pun jadi insyaf, ilmu silat Hoa San Pay sangat liehay, bahwa ia Baru dapat
pelajarkan kulitnya saja, hingga tidak ada alasan untuk ia menantang di luar, untuk
menjagoi. Ia menyesal, ia pun kuatir nanti dihukum kakek itu, diam-diam ia kucurkan
keringat dingin di bebokongnya.
Bok Djin Tjeng deliki cucu murid ini tapi ia diam saja.
"Kau telah janjikan orang itu pelajaran silat, kau mesti ajarkan dia baik-baik," tjouwsoe ini
kata kepada Sin Tjie, kepada siapa ia berpaling. "Kau hendak ajarkan apa padanya?"
Mukanya Sin Tjie menjadi merah.
"Teetjoe belum dapat perkenan dari soehoe, tidak berani teetjoe sembarang turunkan
pelajaran kita kepada lain orang," ia jawab. "Tadinya teetjoe memikir untuk ajari dia ilmu
golok tunggal Tok-pie-too-hoat, ialah semacam pelajaran yang teetjoe ciptakan sendiri dari
hasil campur-baur."
"Pelajaran campur-baurmu terlalu sedikit kelebihan!" berkata sang guru, yang tapinya
tidak gusar. "Ketika kau barusan layani djie-soekomu, kau seperti gunai ilmu silat
istimewa Pek pian kwie eng dari Bhok Siang Tooyoe. Kau telah dapatkan satu sahabatkarib
tukang main tiokie, yang suka membantu kepadamu, maka itu pasti sekali djiesoekomu
tidak sanggup berbuat suatu apa atas dirimu!....."
Lalu jago tua ini tertawa terbahak-bahak.
Bhok Siang Toodjin juga tertawa lebar.
"Eh, Sin Tjie," katanya kepada si anak muda," brani atau tidak kau mendusta didepan
gurumu?"
"Teetjoe tidak berani, tootiang," Sin Tjie jawab.
"Kau tidak berani, bagus!" imam itu kata. "Sekarang aku hendak tanya kau: Sejak kau
meninggalkan Hoa San, pernah atau tidak aku mengajarkan pula ilmu silat kepadamu?
Dengar biar tegas, aku maksudkan, benar atau tidak aku sendiri yang mengajarkan pula
padamu?"
Sin Tjie bercekat. Baru sekarang ia mengerti kenapa imam itu, untuk ajarkan ia "Pek pian
kwie eng" mesti pakai perantaraannya Tjeng Tjeng. Jadi inilah maksudnya, untuk cegah
Djie-soekonya Kwie Sin Sie nanti mengiri dan menegur gurunya berat sebelah. Sungguh si
imam sangat licik, hingga siang-siang ia sudah sedia tameng!
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
"Tootiang belum pernah ajarkan sendiri ilmu silat lainnya kepadaku," ia jawab imam itu.
"Sejak pertemuan kita paling belakang, begitu bertemu kita berdua lantas main catur."
"Nah, itulah dia!" berseru Bhok Siang Toodjin, yang tertawa pula. "Sekarang kau coba
berlatih pula dengan soehengmu ini, aku larang kau gunai semua ilmu silat yang dahulu
pernah aku ajarkan padamu."
"Djie-soeko tersohor dengan julukannya Sin-koen Boe-tek, itulah pujianyang sebenarbenarnya,"
Sin Tjie bilang, "tadi pun teetjoe sudah kewalahan, selagi teetjoe berniat minta
pertandingan dihentikan saja, sukur soehoe keburu datang. Coba temponya terlambat,
tentulah teetjoe habis daya...."
Bok Djin Tjeng tertawa. Ia puas karena murid muda ini pandai sekali bawa dirinya.
"Sudah, sudah," kata dia. "Tootiang ingin kau berlatih pula, cobalah lagi sekali kau
pertontonkan keburukanmu....."
Sin Tjie terdesak, tak berani ia membantah pula. Maka setelah rapikan pakaiannya, ia
hampirkan Kwie Sin Sie untuk menjura kepada djie-soeheng itu.
"Djie-soeko, aku mohon kau beri pimpinan padaku," ia minta. Kembali ia unjuki sifat
halusnya, yang suka merendah.
"Jangan ucapkan itu," kata Kwie Sin Sie, yang terus berpaling kepada gurunya, untuk
kata: "Jikalau ada yang salah, tolong soehoe unjuki."
Begitulah kedua soeheng dan soetee ini berdiri berhadapan, untuk "berlatih" pula, dalam
satu pertempuran yang beda daripada yang tadi. Sebab Kwie Sin Sie, di depan gurunya,
dimuka orang-orang lainnya, tak ingin mendapat malu. Ia menyerang dengan sebat dan
keras, tapi ia juga membela diri dengan waspada dan teguh.
Di hadapan Sin-koen Boe-tek, Wan Sin Tjie berkelahi dengan tenang tetapi cepat, akan
imbangi sang soeheng. Sekarang ia mau menyerang, tidak lagi main menangkis atau
berkelit saja seperti tadi. Ia taat kepada pesannya Bhok Siang Toodjin, ia terus gunai
pelbagai tipu dari Hoa San Pay. Maka itu bisa dimengerti, bagaimana hebatnya latihan ini.
Dengan cepat, seratus jurus telah dilalui, selama itu, tidak pernah salah satu pihak berbuat
keliru atau keteter, hingga Kwie Sin Sie heran dan penasaran yang ia tak mampu rubuhkan
atau desak saja sang soetee yang usianya masih demikian muda. Baru sekarang ia insaf
benar-benar liehaynya soetee ini.
Bok Djin Tjeng dan Bhok Siang Toodjin tonton pertandingan itu, keduanya bersenyum
sambil urut-urut jenggot mereka.
"Memang benar, guru terkenal menciptakan murid pandai!" Bhok Siang memuji. "Ini dia
yang dibilang, di bawah pimpinan panglima perang pandai tidak ada tentara yang lemah.
Melihat dua muridmu ini, aku bisa mengiri, menyesal kenapa dulu aku tidak mengajarkan
beberapa muridku dengan sungguh-sungguh...."
Bok Djin Tjeng Cuma bersenyum atas pengutaraan sahabatnya itu.
Pertandingan berjalan lagi beberapa jurus, masih Sin Sie tak dapat menangkan soeteenya
itu, ia menjadi sibuk bukan main, hingga karenanya, ia lantas mengadakan perubahan.
Sin Tjie menginsyafi desakannya soeheng itu, ia berpikir sebaliknya.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
"Setelah sampai disini, aku mesti mengalah terhadap soeheng," demikian pikirnya. "Tapi
mengalah adalah sangat sulit, karena soeheng liehay, apabila aku berayal sedikit saja,
bisa aku nampak bahaya. Bagaimana sekarang?"
Sin Tjie lantas asah otaknya.
"Dari ucapan soehoe tadi, nampaknya ia kurang puas kepadaku karena pelajaranku
terlampau campur aduk," demikian ia ingat. "Tadi aku gunai tiga macam kepandaian untuk
layani djie-soeko, aku lantas menang di atas angin, sekarang aku gunai satu kepandaian
saja kita berimbang. Apakah itu bukannya alasan untuk bilang, pelajaran lain kaum
menangkan kaum kita? Baik aku gunai akal...."
Pikiran ini lantas diwujudkan, anak muda ini segera bersilat dengan "Kim Tjoa kim hoo
koen," atau ilmu silat "Ular emas menawan burung hoo." Inilah pelajarannya Kim Tjoa
Long-koen.
Kwie Sin Sie terperanjat begitu lekas ia kenali lawan gunai ilmu pukulan yang asing
baginya, sebab didalam Hoa San Pay tidak ada gerak-gerakan yang mirip dengan itu.
Setelah empat jurus serangannya sang soetee, ia berlaku waspada, untuk lindungi diri.
Sin Tjie lihat perubahan sikapnya sang soeheng, ia bernapas lega, lalu sembari berkelahi
terus, ia empos tenaganya ke bebokongnya. Gerakan ini pun memperlambat gerakannya,
hingga Sin Sie lantas lihat satu lowongan dibelakangnya sang soetee. Seperti biasanya
satu ahli silat, tak suka ia mensia-siakan lowongan, malah tanpa sangsi lagi, ia lantas kirim
serangannya.
Sin Tjie sudah siap, ia antap bebokongnya kena dihajar, selagi terhuyung, hingga ia
sempoyongan empat-lima tindak.
"Aku kalah," kata ia selagi ia membalik tubuh.
Kwie Sin Sie menyesal setelah ia serang jitu soeteenya itu, ia kuatir sang soetee terluka
parah, maka ia lompat maju, dengan niat mengasi bangun, akan tetapi bukan kepalang
herannya apabila ia tampak soetee itu tidak kurang suatu apa! Benar-benar ia tidak
mengerti. Ia tidak tahu, disamping mengatur tenaganya, untuk lawan serangan, Sin Tjie
juga andali baju kaos suci dari Bhok Siang Toodjin.
Tatkala si anak muda memutar tubuh, untuk bertindak, Baru ketahuan, bajunya di bagian
bebokong telah hancur dan beterbangan sepotong demi sepotong!
Tjeng Tjeng berkuatir sekali, hingga ia lari menghampiri.
"Kau tidak apa-apa?" tanyanya.
"Jangan kuatir," sahut Sin Tjie dengan tenang.
Bok Djin Tjeng sendiri sudah lantas pandang muridnya yang kedua.
"Pelajaranmu telah peroleh kemajuan, akan tetapi barusan seranganmu terlalu keras, kau
tahu?" tanya guru ini.
"Teetjoe mengerti, soehoe," sahut sang murid. "Pelajaran Wan Soetee adalah di atasanku,
aku takluk padanya."
"Selama yang belakangan ini sering aku dengar tentang kamu berdua suami dan isteri,"
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
kata pula sang guru, "aku dengar kamu berdua telah terlalu umbar murid-muridmu, hingga
mereka jadi petantang-petenteng, menarik perhatian umum. Aku pikir, isterimu mungkin
seorang yang kurang sadar, akan tetapi kau bukan seperti dia. Sekarang aku lihat sikapmu
terhadap soeteemu begini rupa, hm!....."
Kwie Sin Sie tunduk.
"Aku menerima salah, soehoe," dia bilang.
"Sudahlah," Bhok Siang menyelak. "Di dalam pieboe, siapa juga tak dapat berhati mulia.
Sin Tjie toh tidak terluka, kau orang tua buat apa kau omong banyak-banyak?"
Ditegur demikian rupa, Bok Djin Tjeng berdiam.
Sementara itu, Kwie Sin Sie dan isterinya jadi tidak puas terhadap Sin Tjie. Mereka sudah
lama memperoleh nama, untuk di Kanglam, mereka seperti memimpin dengan diam-diam
kaum Rimba Persilatan, sekarang mereka ditegur di muka umum oleh guru mereka,
mereka jadi malu dan tak senang.
Kemudian Bok Djin Tjeng ubah haluan.
"Giam Ong akan mulai bergerak di dalam musim rontok ini," demikian katanya, "maka
lekas kamu pergi ikat perhubungan dengan saudara-saudara rimba persilatan di wilayah
kanglam, untuk sambut gerakan mulia itu."
Kwie Sin Sie dan isterinya, kepada siapa kata-kata itu diucapkan, menyahuti bahwa
mereka bersedia akan jalankan titah itu.
Lantas Bok Djin Tjeng kata pada Sin Tjie dan Tjeng Tjeng:
"Pergilah kau ke Pakkhia bersama-sama sahabat mudamu ini, disana kamu musti serepserepi
gerak-geriknya pemerintah, tetapi ingat, janganlah keprak rumput hingga kau
membikin ular kaget, terutama jangan sembarang bunuh menteri-menteri di istana. Jikalau
ada kabar yang penting, segera berangkat ke Siamsay untuk memberi laporan!"
"Baik, soehoe," Sin Tjie jawab.
"Sekarang aku hendak pergi menemui Tjit tjap djie to - totjoe The Kie In serta Sip Lek
Taysoe dari Siauw Liem Sie," Bok Djin Tjeng kata pula. "Bhok Siang Tooheng, kau hendak
pergi kemana?"
"Kami orang-orang gagah pencinta Negara, yang senantiasa pikirkan Negara dan rakyat,
pantas kamu repot terus-terusan seluruh hari," tertawa Bhok Siang Toodjin, "tidak
demikian denganku, aku adalah seumpama si burung hoo liar yang pesiar di tengah udara.
Aku pikir akan berdiam lagi beberapa hari di sini dengan muridmu ini, kau akur atau
tidak?"
Bok Djin Tjeng tertawa.
"Sin Tjie telah janjikan orang untuk memberi pelajaran, di Lamkhia ini ia masih mesti
berdiam untuk beberapa hari," ia jawab, "maka pergi kamu main catur selama beberapa
hari ini! Kau sendiri masih punyakan banyak ilmu kepandaian, bolehlah sekalian saja kau
wariskan semuanya kepadanya!"
Sambil tertawa berkakakan, Bok Djin Tjeng putar tubuhnya untuk berlalu, atas mana Oey
Tjin dan Tjioe San lantas mengikuti.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
A Pa berdiri tegak di tempatnya, ia gerak-gerikkan kedua tangannya kepada ketua dari Hoa
San Pay, melihat mana, Bok Djin Tjeng tertawa.
"Baiklah," katanya. "Kau kangen dengan sahabat cilikmu, pergi kau berdiam sama dia!"
Ia juga beri tanda dengan gerakan tangannya.
A Pa sangat girang, ia lari pada Sin Tjie tubuh siapa ia tubruk, untuk dipeluk dan diangkat!
Tjeng Tjeng kaget hingga ia mencelat, tapi kapan ia tampak wajah kegirangan orang,
hatinya menjadi lega, ia menjadi tenang pula.
Sin Tjie girang berbareng masgul. Baru ia bertemu gurunya, lantas mereka berpisah pula.
Ia pun berat akan berpisah dari Tjioe San dan Oey Tjin, malah dengan sang toasoeheng ia
sampai tak sempat pasang omong lagi.
"Kau baik, tak kecewa banyak orang ajari kau," demikian terdengar suaranya Bok Djin
Tjeng, yang tubuhnya lantas lenyap di tempat gelap, lenyap bersama Oey Tjin dan Tjioe
San, meninggalkan si murid yang bengong mengawasi kearahnya.
Kwie Sin Sie dan isterinya juga, sambil memberi hormat, awasi guru dan soehengnya itu,
kemudian mereka menjura pada Bhok Siang Toodjin, akan lantas ajak tiga murid mereka
berlalu.
"Mereka itu mendendam terhadap kau," Bhok Siang kata pada Sin Tjie. "Mereka
berkepandaian tinggi, dibelakang hari apabila kau bertemu dengan mereka, waspadalah! -
Sekarang, aku pun hendak pergi!"
Sin Tjie manggut berbareng terperanjat. Ia terima nasehat itu tapi ia tak sangka guru ini
mau berangkat demikian lekas. Ia pun menyesal sudah bentrok dengan soehengnya
suami-istri. Lebih menyesal lagi, tak dapat ia tahan Bhok Siang Toodjin, yang lantas saja
berlalu. Maka ia pun ajak A Pa dan Tjeng Tjeng berlalu dan sepulangnya ke rumah Kong
Lee, ia terus masuk tidur.
Besoknya pagi Baru pemuda ini mendusi, atau Tjeng Tjeng sudah berlari-lari masuk
kedalam kamarnya sambil mulutnya berseru dengan berisik - berseru kegirangan - sebab
tangannya menggenggam sebuah peti kayu yang kecil, semacam lopa-lopa.
"Terkalah, apa ini?" ia berseru dengan pertanyaannya.
"Apakah ada tetamu?" Sin Tjie tanya.
Tjeng Tjeng tidak menjawab, ia hanya buka peti kecil itu. Ia berbuat demikian dengan air
mukanya tersungging senyuman, umpama bunga sedang mekar. Dari dalam peti itu, ia
jumput keluar selembar kertas merah, atau angtiap lebar, yang bertuliskan: "Hormat dari
adikmu yang bodoh, Bin Tjoe Hoa."
Terus si nona beber lembaran kertas merah itu, yang di dalamnya memuat selembar surat
rumah berikut sepotong catatan lengkap dari semua barang yang berada di dalam rumah
yang dimaksudkan itu.
Sin Tjie jadi kurang enak hati melihat Bin Tjoe Hoa buktikan janjinya dengan serahkan
rumah yang dibuat pertaruhan itu berikut segala isinya. Maka lekas-lekas ia salin pakaian,
ia lantas pergi ke rumah orang she Bin itu, dengan maksud menemui, untuk menghaturkan
terima kasih. Akan tetapi kapan ia sampai di rumah itu, tuan rumah semua sudah pergi, di
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
situ tinggal dua bujang yang asyik sapui kotoran. Atas pertanyaan anak muda ini, dua
orang itu bilang bahwa Bin Tjoe Hoa serumah-tangga sudah pergi sejak tadi pagi-pagi,
entah ke mana tujuannya.
Terpaksa Sin Tjie terima rumah itu, yang segera ia tempatkan.
Tjiauw Wan Djie telah lantas kirim beberapa orangnya berikut bujang perempuan, guna
bantu mengatur lebih jauh rumah gedung itu. Kedua bujang perempuan bantui Tjeng
Tjeng. Di antara beberapa orang lelaki itu juga termasuk koki, tukang kebun, pesuruh,
kusir dan cinteng, untuk jaga malam.
Dengan sendirinya, Ang Seng Hay diangkat jadi tjongkoan, kuasa rumah.
"Nona Tjiauw masih berusia sangat muda akan tetapi untuk urus rumah-tangga, ia ingat
segala apa," Sin Tjie puji Wan Djie.
Tjeng Tjeng tertawa.
"Maka jikalau dia bisa menjadi nyonya rumah ini, sungguh bagus!" katanya.
Sin Tjie awasi nona itu, ia tidak kata suatu apa. Tjeng Tjeng baik segala-galanya, kecuali
dalam hal hati-kecilnya, ia terpengaruh kejelusannya, cemburunya.
Pada malam pertama di gedungnya itu, tengah malam, Sin Tjie dan Tjeng Tjeng berkumpul
di dalam kamarnya, mereka keluarkan peta bumi dari Kim Coa Long-koen, untuk periksa
peta itu, guna diakurkan dengan macamnya gedung itu. Disana-sini sudah ada beberapa
perubahan akan tetapi pokoknya tetap, cocok dengan lukisan peta, dari itu keduanya jadi
sangat girang. Sekarang mereka fahamkan pengunjukan tanda-tanda, yang membawa
mereka keluar taman, terus ke dalam taman, sampai disamping taman di mana ada sebuah
gudang kayu. Mereka masuk ke dalam gudang ini.
Sin Tjie ajak A Pa, si empeh gagu, untuk dia ini bantui singkirkan semua kayu dan rumput
yang memenuhkan gudang itu, sesudah mana, mereka kerjakan pacul, untuk menggali
tanah.
Tjeng Tjeng berdiri di luar pintu gudang, tangannya menyekal pedang, karena ia bertugas
berjaga-jaga.
A Pa adalah yang menggali lobang, ia telah bekerja kira setengah jam, lantas paculnya
membentur suatu barang keras hingga menerbitkan suara nyaring, rupanya ada batu di
dalam lobang galian itu. A Pa tuli, ia tidak dengar suatu apa, maka Sin Tjie lantas cegah ia,
supaya penggalian dilakukan saja untuk gali keluar batu itu, yang merupakan sepotong
batu besar bagaikan papan. Berdua mereka angkat batu itu, hingga kelihatan satu lobang
di bawahnya.
Sin Tjie berseru saking kegirangan, hingga Tjeng Tjeng dapat dengar suaranya, nona ini
segera memburu ke dalam, hingga ia pun saksikan lobang itu.
"Di sini!" Sin Tjie bilang. "Pergi kau menjaga pula di luar, sebentar Baru masuk lagi."
Nona Oen menurut.
Sin Tjie bikin dua batang obor, untuk itu di situ tersedia rumput keringnya, setelah ia sulut
obor itu, ia lemparkan ke dalam lobang, untuk singkirkan hawa busuk, kemudian Baru ia
turun ke dalam lobang dimana antara cahaya api, tertampak undakan tangga batu.
Berbaris rapi, di dalam ruangan dalam tanah itu kedapatan sepuluh peti besar yang diatur
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
rapi, setiap petinya dirantai dengan rantai yang besar. Cuma di situ tidak kedapatan anak
kunci.
A Pa bertenaga besar, ia coba dukung sebuah peti, untuk diangkat, ia dapatkan peti besi
itu sangat berat.
Sin Tjie keluarkan petanya, untuk periksa lebih jauh. Di pinggir tempat simpan harta itu,
ialah di pojok kiri, ada lukisan seekor naga kecil. Menduga apa-apa, ia sambar pacul untuk
dipakai memaculi tanah di tempat yang dilukiskan itu. Baru ia memacul beberapa kali,
lantas ia dapatkan sebuah lopa-lopa besi, yang tidak dikunci, maka dengan gampang lopalopa
itu dapat dibuka tutupnya. Tapi untuk buka itu, ia gunai tali, ia menariknya pelahanlahan.
Ia ingat panah rahasia dari Kim Coa Long-koen, dari itu ia bekerja dengan waspada.
Peti itu terbuka dengan tidak mengakibatkan suatu apa, lalu Sin Tjie dekati obornya, untuk
memandang ke dalam peti, yang isinya ada serenceng anak kunci berikut dua lembar
kertas yang ada tulisannya.
Surat yang pertama berbunyi:
"Berhubung dengan pemberontakan pamanku, tidak ada menteri militer yang tidak
menakluk kepadanya, tidak demikian dengan Goei-Kok-Kong Tjie Hoei Tjouw. Tjie Hoei
Tjouw adalah menteri turunan, yang setia, yang harus dipuji. Barang-barang berharga dari
istana, karena sangat kesusu, tak dapat dibawa pergi semua, dari itu Goei-Kok-Kong,
tolong kau wakilkan tim menjaganya. Di belakang hari, apabila ada gerakan akan
menghidupkan Negara, pakailah harta ini.
Tahun Kian-boen ke-4, bulan enam"
"Jadi inilah harta peninggalannya Sri Baginda Kian Boen," kata Sin Tjie dalam hatinya.
Ketika Pangeran Yan Ong berontak, dia rampas kerajaan, Tjie Hoei Tjouw tak sudi
menakluk kepada raja pemberontak itu, sampai Yan Ong ketemui sendiri padanya dan
menegurnya tetapi dia tak suka bicara, tak sepatah kata keluar dari mulutnya, kata-kata
menyatakan suka menunjang raja pemberontak ini, hingga karenanya, ia telah dihadapkan
kepada pengadilan, yang coba paksa padanya. Ata situ, Hoei Tjouw tulis sepuluh huruf
yang berarti: "Ayahku adalah menteri berjasa yang bantu mendirikan Negara, anakcucunya
luput dari kematian."
Tjie Hoei Tjouw ini adalah putera Pangeran Tiong-san-ong Tjie Tat dan Tjie Tat ini adalah
menteri nomor satu yang berjasa ketika permulaan dibangunkan kerajaan Beng. Ketika
Tjie Tat berperang ke Timur dan Barat, ia telah wakilkan Kaisar Beng Thay Tjouw
meluaskan daerah, menetapkan Negara, hingga jasanya dianggap paling besar. Tapi ia
tahu Beng Thay Tjouw kejam, ia turut mengendalikan Negara dengan hati-hati dengan hati
kebat-kebit, sedikit juga ia tak mau menerbitkan kesalahan. Kaisar sebaliknya tak tenteram
hatinya mengadapi menteri-menterinya yang berjasa, tiap hari ia mencari jalan untuk
persalahkan Tjie Tat. Sampai pada suatu hari Tjie Tat dapat sakit tumbuhan di
bebokongnya.
Kaisar Beng itu tahu, siapa dapat sakit tumbuhan, dia mesti pantang makan angsa tim,
atau dia segera akan binasa. Maka ia lantas perintahkan kirimkan angsa tim pada Tjie Tat.
Melihat masakan itu, Tjie Tat mengucurkan air mata, dengan berdiam tetap atas
pembaringannya, ia dahar habis angsa tim itu. Maka pada malam itu juga ia mati
keracunan. Atas kejadian ini, semua menteri jadi ketakutan sendirinya. Setelah Yan Ong
naik atas tahta, puteranya Tjie Tat, ialah Tjie Hoei Tjouw, tidak suka menakluk, hingga Yan
Ong jadi gusar dan hendak binasakan padanya. Tapi Yan Ong cerdik, di waktu ia mulai
bertahta ia ingin ambil hati orang, maka dengan alasan Tjie Hoei Tjouw adalah puteranya
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
menteri berjasa dan juga pernah kok-kioe, ipar raja, ia batalkan niatnya, cuma dia itu
dipecat, diperintah pulang ke gedungnya, dikurangi gajinya. Tjie Hoei Tjouw tetap setia
kepada Baginda Kian Boen, dari itu selama-lamanya dia kandung harapan untuk
membangun pula junjungannya itu.
Mengetahu hal ihwalnya Tjie Hoei Tjouw ini, Sin Tjie menghela napas. Habis itu, ia baca
surat yang kedua, yang memuat syair karangan Baginda Kian Boen sendiri, yang
menguraikan kesannya yang menyedihkan, yang ditulis sepulangnya dia pesiar di
propinsi-propinsi Hokkian, Kwietang, Soetjoan dan Inlam, sekembalinya dia ke kotaraja,
ibukota Kimleng (Lamkhia). Selama itu, raja ini telah berumur enam-puluh lebih, lenyap
sudah harapannya untuk bisa naik kembali atas tahta, maka kemudian ia pergi tanpa
tujuan. Entah bagaimana, peta dari hartanya itu telah terjatuh ke dalam tangan Kim Coa
Long-koen.
Dengan gunai anak kunci, Sin Tjie buka satu peti besi dan matanya lantas kesilauan,
sebab peti itu penuh dengan pelbagai macam kumala dan permata lainnya, begitupun satu
peti yang lainnya, hingga ia berdiri ternganga.
Sebentar saja, setelah sadar, Sin Tjie pergi keluar.
"Pergi kau lihat di dalam," ia kata pada Tjeng Tjeng, yang tugasnya ia gantikan.
Tjeng Tjeng pun tercengang, sampai ia keluarkan seruan, kemudian ia keluar, tampangnya
bercampur wajah keheranan dan kegirangan.
"Harta ini ada harta peresan dari rakyat, untuk apa kita ambil?" kata Sin Tjie.
Tjeng Tjeng tahu sekarang kejantanan si anak muda, ia pun tak mau unjuk ketemahaannya
seperti dulu, untuk cegah dirinya dipandang enteng, ia kata: "Harta ini diambil dari rakyat,
harta ini mesti dikembalikan pada rakyat juga!"
Tak kepalang girangnya Sin Tjie, hingga ia sambar tangannya si nona, untuk dicekal
dengan keras.
"Adik Tjeng, sungguh kau kenal aku!" katanya memuji.
Tentu saja, si nona pun puas, hatinya lega bahwa ia dapat memahami pemuda itu.
"Kita sekarang punyai harta besar ini, dapat kita bertingkah sebagai puteranya satu orang
berpangkat besar," kata Sin Tjie kemudian. "Mari kita pergi ke kota raja, untuk suatu usaha
besar. Kita nanti bantu Giam Ong dengan harta ini, guna rubuhkan kerajaan Beng. Apakah
namanya usaha ini?"
"Itu artinya, dengan tumbaknya sendiri, kita tusuk tamengnya!" jawab Tjeng Tjeng. "Atau
dengan gayanya sendiri, kita tindih padanya!"
"Benar, benar!" Sin Tjie tertawa. "Sekarang hayo kita berkemas-kemas!"
Dengan dibantui si empeh gagu, Sin Tjie bertiga angkut harta itu ke dalam kamarnya,
lobang harta sendiri diuruk pula. Mereka mandi keringat karena kerja terlalu keras tapi
mereka puas. Sampai fajar Barulah mereka selesai.
(Bersambung bab ke 14)
Besoknya lohor, Sin Tjie titahkan Ang Seng Hay pergi ke rumah Tjiauw Kong Lee untuk
panggil Lo Lip Djie. Dia ini masih sangat menderita karena lenyapnya sebelah tangannya,
tapi mendengar Sin Tjie panggil ia, bukan main girangnya, segera ia minta orang
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
pepayang padanya, untuk memenuhi panggilan itu.
"Kau duduk," perintah Sin Tjie, yang terus ajarkan bagaimana harus bersilat dengan
tangan sebelah - tangan kiri.
Lip Djie berotak terang, ia gampang ingat, apapula setelah si anak muda yang liehay
petahkan latihannya.
Untuk ini Sin Tjie pakai tempo sepuluh hari, setelah Lip Djie ingat semua, dia dipesan
untuk berlatih nanti, setelah lukanya sembuh.
Pelajaran ini beda daripada yang umum, karena Sin Tjie wariskan dari dalam kitab Kim
Tjoa Pit Kip. Maka itu, walaupun ia tercelaka, Lip Djie girang tak kepalang, karena ia sangat
bahagia memperoleh ilmu golok yang liehay itu.
Sin Tjie sudah lantas siapkan belasan kereta sewaan, untuk angkut hartanya ke kota raja.
Untuk keberangkatannya itu, Kong Lee adakan satu perjamuan meriah sekali yang dihadiri
oleh gadisnya dan sekalian muridnya. Di pihak lain, Sin Tjie minta tolong supaya gedung
Kokkong-hoe itu dikembalikan kepada Bin Tjoe Hoa, sedang Tiang Pek Sam Eng
diserahkan kepada pembesar negeri.
Selagi cuaca musim rontok menyenangi hati, Sin Tjie berangkat bersama-sama Tjeng
Tjeng, A Pa dan Ang Seng Hay, mengiringi belasan kereta harta karun itu, menuju ke
Utara, Kong Lee dan gadisnya serta murid-muridnya mengantari sampai di seberang
sungai Tiang Kang, sampai jauhnya tiga-puluh lie lebih.
Daerah sebelah utara sungai ada daerah pengaruh Kim Liong Pang, dari itu siang-siang
Kong Lee telah atur warta berita kepada pelbagai pelabuhan atau pos partainya, supaya di
setiap tempat, rombongan Sin Tjie disambut dengan baik dan dilindungi di sepanjang
jalan.
Selang lebih dari sepuluh hari, sampailah rombongan ini di batas propinsi Shoatang.
"Tuan Wan, sejak ini, daerah bukan daerah pengaruh Kim Liong Pang lagi," menerangkan
Ang Seng Hay, "karenanya, mulai hari ini, harus kita berlaku sedikit lebih hati-hati."
"Apa? Apa ada orang berani main gila terhadap kita?" tanya Tjeng Tjeng.
"Itulah tak dapat dibilang, "sahut Seng Hay. "Sekarang ini jalanan tidak aman, terutama di
Shoatang, orang jahat terlebih banyak daripada tempat lainnya. Di daerah ini ada dua
partai yang liehay."
"Kau toh dari partai Poet Hay Pay?" Tjeng Tjeng tegasi.
Seng Hay tertawa.
"Poet Hay Pay berkuasa di lautan," kata dia, "maka juga kalau di darat, umpama emas dan
permata kedapatan di tengah jalan, menjemputnya pun kami tidak lakukan!"
"Siapa itu dua partai di Shoatang?" Sin Tjie tanya.
"Yang pertama ada rombongan Tie Hong Lioe Tie Toaya di Tjhongtjioe," jawab Seng Hay.
Sin Tjie manggut.
"Ya, aku pernah dengar guruku omong tentang Tie Toaya itu," kata ia. "Dia kesohor untuk
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
tangan-pasir-besinya Tiat-seetjiang dan ilmu silat toya Thay-tjouw-koen."
"Itulah benar. Partai yang satu lagi adalah yang berkedudukan di ok-houw-kauw," Seng
Hay terangkan lebih jauh. "Partai ini mempunyai enam pemimpin yang semuanya liehay."
Sin Tjie manggut pula.
"Baiklah, kita harus berhati-hati," katanya. "Setiap malam baik kita bergiliran menjaga."
Perjalanan dilanjuti. Selang dua hari, mereka berpapasan dengan dua penunggang kuda,
yang kudanya dikaburan, sehingga suara kelenengannya terdengar dari jauh-jauh.
"Inilah dia!" kata Seng Hay setelah dua penunggang kuda itu lewat di samping mereka.
Sebagai orang kang-ouw ulung, Seng Hay luas pengetahuannya. Ia tidak kuatir, karena ia
tahu Sin Tjie liehay dan ia sendiri pun tak dapat dipandang ringan.
Selang satu jam, dua penunggang kuda tadi telah kembali dan lantas melewatkan pula.
Tjeng Tjeng tertawa dingin.
"Tidak sampai sempuluh lie, bakal ada yang pegat kita," Seng Hay kasih tahu.
Akan tetapi sangkaan ini keliru. Lebih dari sepuluh lie dilewatkan, mereka tidak kurang
suatu apa, hingga mereka singgah di Siang-tjio-hoe.
"Heran! Mungkin mataku lamur?" kata Seng Hay.
Besoknya pagi, jalan belum lima lie, di sebelah belakang mereka, empat penunggang kuda
menguntit dari kejauhan.
"Aku mengerti," kata Seng Hay. "Kemarin mereka belum siap, hari ini tentu mereka akan
bekerja."
Tengah hari, sehabis singgah, lagi dua penunggang kuda menyusul rombongan ini.
"Aneh!" kata Seng Hay. "Kenapa begini banyak orang?"
Dan menambah keheranannya ini, beberapa jam kemudian, dua penunggang kuda lain
lewatkan mereka.
Sin Tjie masih hijau di kalangan kang-ouw, ia tidak merasakan apa-apa, tapi juga Tjeng
Tjeng, pengalamannya masih kurang, tidak demikian dengan Seng Hay.
"Aku mengerti sekarang," kata dia. "Wan Siangkong, malam ini kita mesti singgah di
tempat yang besar."
"Kenapa begitu?" Sin Tjie tanya.
"Sebab yang kuntit kita bukannya orang-orang dari satu partai saja."
"Begitu? Berapa partai kiranya?" tanya Tjeng Tjeng.
"Jikalau setiap partai kirim dua orang, itu berarti, di depan dan belakang, sudah tujuh...."
Tjeng Tjeng tertawa.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
"Kalau begitu, bakal ramai!" katanya.
"Tetapi siotjia, satu orang tak dapat lawan orang yang banyak," Seng Hay peringati. "Kita
sendiri boleh tak takut tetapi bagaimana kita dapat bela barang-barang kita? Ini sulit..."
"Kau benar juga," Sin Tjie manggut. "Malam ini kita singgah di Tjio-liauw-tin saja."
Benar-benar mereka singgah di Tjio-liauw-tin dimana mereka pilih sebuah hotel besar,
malah Sin Tjie peirntah turunkan semua peti, untuk ditumpuk di dalam kamarnya dimana
ia hendak tidur berdua si empeh gagu.
Baru Sin Tjie selesai mengangkut, dua orang dengan tubuh besar datang ke hotel itu.
Lebih dulu mereka awasi anak muda kita, lantas mereka nyatakan pada kuasa hotel bahwa
mereka berniat bermalam. Karena ini, satu jongos diperintah antar mereka masuk, untuk
ambil kamar.
Sin Tjie manggut-manggut dengan diam-diam, ia tahu apa yang harus diperbuat. Habis
bersantap ia perintah semua orang masuk ke dalam kamar, untuk beristirahat.
Kira tengah malam, pemuda kita dengar suara berkelidik di atas genteng, bukan dia lantas
bersiap, dia malah bangun untuk nyalakan lilin secara terang-terang, kemudian ia buka
sebuah petinya, untuk keluarkan seraup mutiara dan batu permata lainnya, yang ia letaki
di atas meja, antaranya ada yang ia pandangi pulang-pergi, hingga di antara sinar api,
semua permata itu terang-gemilang berkilauan.
Di luar jendela, entah berapa banyak pasang mata yang kesilauan juga.
Seng Hay pun dengar apa-apa, hatinya jadi tidak tenang, maka ia keluar dari kamarnya
akan menghampiri Sin Tjie. Di luar, ia lihat belasan tubuh berebut umpetkan diri, maka ia
bersenyum ewa. Ia ketok kamarnya si anak muda.
"Masuk!" terdengar suara Sin Tjie.
Seng Hay tolak daun pintu yang menjeblak. Nyata pintu tak dikunci.
Begitu melangkah di pintu dan lihat barang-barang permata itu, orang she Ang ini
melengak, saking heran, karena matanya silau. Belum pernah ia lihat barang permata
demikian banyak, banyak rupanya dan bear-besar juga. Ia heran ia tak tahu dari mana si
anak muda perolehnya. Kemudian lekas-lekas ia dekati anak muda itu.
"Wan Siangkong, apa boleh aku bantui kau simpan barang permata ini?" kata dia,
suaranya sangat pelahan. "Di luar kamar banyak orang sedang intai kita...."
"Aku justeru hendak bikin mereka buka mata mereka," sahut si anak muda, dengan
pelahan juga. Ia lantas angkat serenceng mutiara, lalu ia tanya: "Kalau kita bawa mutiara
ini ke kota raja, berapa kau taksir harga penjualannya?"
"Aku tidak tahu," sahut pengiring itu.
"Sebutirnya tiga-ratus tail perak, tak kurang lagi," si anak muda bersenyum. Dan
rencengan ini terdiri dari dua-puluh empat butir."
"Jadi harganya sepuluh ribu tail...." Seng Hay bilang.
"Eh, kenapa jadi sepuluh ribu?" tegasi Sin Tjie heran.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
"Sebab sukar akan cari mutiara sebesar ini, begitu bundar, begini jernih cahayanya, malah
semuanya, sama besarnya!" kata pengikut ini.
Pembicaraan ini terdengar sampai keluar jendela, orang-orang jahat yang lagi mengintai
jadi merah matanya, hati mereka jadi gatal, hampir mereka tak sanggup mengatasi diri
sendiri. Tapi mereka ditugaskan untuk mengintai saja, buat lekas pulang dengan laporan,
supaya ketua mereka bisa berdamai dulu, agar dia orang tak bentrok satu dengan lain.
Begitulah, lekas-lekas mereka berlalu dengan berpencaran.
Kapan Sin Tjie telah duga orang sudah pergi semua, ia goyang-goyang tangan kepada
Seng Hay, untuk menitahkan orang itu tidur, ia sendiri tertawa, ia naik ke pembaringan
tanpa benahkan lagi mutiara itu.
Besoknya pagi, perjalanan dilanjuti, terus sampai dua hari, mereka tidak tampak rintangan
suatu apa. Ketika itu mereka sudah lewati batas wilayah kota Tjeelam. Sementara itu Sin
Tjie dapat kenyataan, orang-orang jahat yang arah dia jadi semakin banyak, hingga Seng
Hay, yang tadinya tenang, jadi tak tenteram juga hatinya. Ia ini pun bingung, kenapa orang
masih belum mau turun tangan. Maka akhirnya, ia usulkan si anak muda akan tukar jalan
darat dengan jalan air.
"Di air aku mempunyai banyak sahabat," ia mendesak. "Kita naik perahu sampai di Thiantjin,
di sana kita mendarat, untuk melanjuti sampai di Pakkhia. Dengan begini benar kita
ambil jalan mutar dan memakan tempo jauh lebih banyak akan tetapi keselamatan kita
lebih terjamin."
Sin Tjie tertawa atas usul itu.
"Aku justeru hendak serahkan harta ini kepada orang-orang gagah kita dan pencintapencinta
Negara!" katanya. "Umpama harta ini habis tersebar, masih tidak apa! Bukankah
harta ada benda sampiran belaka? Untuk kita, kewajiban membela Negara adalah yang
utama!"
Mendengar itu, Ang Seng Hay lantas tidak banyak omong lagi.
Itu hari sampailah mereka di Ie-shia, dimana mereka cari hotel.
Tjeng Tjeng tidak betah berdiam saja, seorang diri ia pergi pesiar di sekeliling kota. Tidak
demikian Sin Tjie, yang insyaf entah berapa banyak mata yang incar harta-karunnya itu,
dari itu bersama-sama A Pa, ia tak mau meninggalkan hotelnya.
Berselang kira-kira satu jam, Tjeng Tjeng pulang dengan wajah berseri-seri, tangannya
menenteng dua bumbung bambu kecil dalam mana masing-masing terdapat seekor
jangkrik, yang masing-masing sedang mengasi dengar suara ngeringnya tak sudahnya.
Yang seekor ia terus serahkan pada Sin Tjie seraya bilang: "Aku beli dua-puluh tjhie
seekornya. Sebentar malam kau gantung di kelambumu, pasti suaranya enak
didengarnya..."
Sin Tjie tertawa, dia menyambutinya. Tapi segera ia tertawa pula.
"Eh, adik Tjeng, tadi ditengah jalan kau ketemu siapa?" tanyanya.
Tjeng Tjeng agaknya tercengang.
"Tidak....." jawabnya.
"Bebokongmu orang telah berikan tanda," Sin Tjie kasih tahu.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Tidak tempo lagi, Tjeng Tjeng lari kedalam kamarnya, untuk buka bajunya, guna periksa
tanda yang dihunjuki itu. Ia telah lihat satu bundaran kapur. Mungkin tanda itu diberikan
selagi tadi ia membeli jangkrik, saking gembira, ia sampai tidak merasakannya. Maka itu,
ia puji kelicinannya orang yang memberikan tanda itu tapi ia pun mendongkol.
"Tolong kau bantu aku cekuk orang itu, untuk hajar dia!" Kata ia pada Sin Tjie setelah ia
ketemui pula si anak muda.
"Kemana aku mesti cari dia?" tanya Sin Tjie sambil tertawa.
Tjeng Tjeng berpikir, tapi segera ia dapat jalan.
"Pergilah kau pesiar sendirian, berlagaklah sebagai orang tolol," ia kata kemudian.
"Jadi aku mesti pesiar seperti kau tadi, supaya orang pun datang untuk beri tanda di
bebokongku?" Sin Tjie tegaskan sambil tertawa.
"Benar!" si nona pun tertawa. "Lekaslah pergi!"
Anak muda ini tak tega untuk menampik, maka ia pergis etelah pesan nona ini bersama
Seng Hay untuk waspada menjaga harta mereka.
Ie-shia ada sebuah kota yang ramai, walaupun sudah mendekati malam, orang-orang
banyak yang berdagang dan berbelanja, pelbagai kereta dan kuli-kuli masih saja berjuang
untuk masing-masing kehidupannya atau pekerjaannya.
Sin Tjie berjalan dengan sewajarnya sebagai seorang asing, akan tetapi dengan diamdiam,
ia telah memasang mata, karenanya tak nanti orang curigai dia kendatipun ia sering
celingukan. Demikian ia dapat tahu ada seorang menguntit ia sejak ia mulai keluar dari
pekarangan hotel.
"Bagus, kau jadi makin kurang ajar!" kata ia dalam hatinya. "Tidak saja hartaku, diriku pun
kau awasi! Kau beri tanda dibelakangnya adik Tjeng, apakah artinya itu! Tidakkah dengan
begitu kau seperti keprak rumput hingga ular mabur, hingga aku jadi dapat ketika untuk
berjaga-jaga?"
Tidak usah pemuda ini berpikir lama, untuk ambil kesimpulan.
"Rupanya ada rombongan yang ingin temahai sendiri hartaku ini," pikir ia. "Mereka telah
beri tanda supaya lain orang melihatnya dan lain orang tak berani mengganggu."
Sin Tjie jalan terus, dengan sikapnya seperti tak ada perhatian, tapi sekarang ia telah ambil
putusan akan bertindak bagaimana. Ia tetap masih dibayangi, ia menuju ke sebuah
bengkel besi akan tonton tukang-tukang sedang bikin golok. Ia berdiri diam bagaikan
orang kesengsam, tapi ia tahu, si penguntit dekati padanya. Mendadakan saja ia berpaling
seraya tangannya menyambar tangan orang itu di bagian nadi.
Orang itu kaget, apapula segera ia merasakan sebelah tangannya seperti mati, maka
tempo pemuda kita tarik tangannya, untuk dituntun dengan perlahan-lahan, ia mengikuti
tanpa buka suara, seperti ia sudah tak dapat kuasai diri sendiri. Ia dituntun sampai di
sebuah gang kecil dan sepi.
"Kau orang siapa?" tanya Sin Tjie.
Orang itu ketakutan dan kesakitan, sampai ia mandi keringat.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
"Tolong lepaskan tanganku, tuan, nanti tanganku patah," dia memohon.
"Jiaklau kau tidak mau bicara, batang lehermu pun aku nanti potes!" Sin Tjie bilang.
"Aku nanti bicara, aku nanti bicara, tuan," sahut orang itu ketakutan. "Aku adalah orang
sebawahan See TJeetjoe dari Ok Houw Kauw."
"Bukankah kau hendak memberi tanda bundaran di bebokongku? Apakah artinya itu?"
"See Tjeetjoe titahkan aku berbuat demikian, apa maksudnya, aku tidak tahu."
"Dimana adanya sekarang See Tjeetjoemu itu?"
Orang itu celingukan, agaknya ia jeri untuk mengasih tahu.
Sin Tjie gunai tenaganya, hingga orang itu meringis, ia takut bukan main.
"See Tjeetjoe pesan aku untuk malam ini pergi ke kuil Sam Kong Sie di luar kota untuk
menemui dia," ia buka rahasia.
"Baik, hayo kau antar aku kesana."
Benar-benar orang ini takut, ia mengantarinya, terus sampai di kuil.
Ketika itu, di rumah berhala masih sepi, belum ada seorang lain. Itulah sebuah kuil tua
sekali dan sudah rusak, tidak ada penghuninya. Sin Tjie periksa semua ruangan, juga
depan dan belakang, akhirnya ia totok urat gagu dari bajingan itu tubuh siapa ia lantas
lemparkan ke dalam kotak patung. Kemudian lagi ia tak usah menunggu terlalu lama, akan
dengar suara banyak orang lagi mendatangi. Maka segera ia sembunyikan diri diantara
patung sang Buddha yang besar.
Yang datang itu ada beberapa puluh orang, mereka duduk berkerumun di ruang pendopo.
Segeralah terdengar suaranya seorang perempuan:
"Giam Loo-sie, Loo-ngo, pergi kamu berdua saudara membawa empat saudara, untuk
menjaga di empat penjuru, di atas genteng juga!" demikian satu titah.
Dua orang yang dipanggil dua saudara she Giam yang keempat dan kelima sudah lantas
bertindak keluar, untuk jalankan titah itu, maka di lain saat, Sin Tjie pun dengar suara di
atas genteng.
"Kamu boleh cerdik tapi sekarang aku sudah ada di sini!" ia tertawa dalam hatinya.
Sebentar lagi datang pula serombongan orang, suara mereka berisik ketika suara mereka
saling menegur, saling berbahasa saudara satu dengan lain.
Turut apa yang Sin Tjie dengar, mereka adalah dari delapan rombongan atau delapan
gunung dari wilayah Shoatang, karenanya dia tak berani berlaku sembarangan.
"Tentang barang-barang yang diangkut telah didapatkan penjelasan," terdengar suara
perempuan yang bermula tadi. "Barang-barang itu adalah permata-permata yang tak dapat
ditaksir harganya, pengiringnya ada dua anak muda yang tak tahu apa-apa tetapi
pembelanya adalah Ang Seng Hay, satu anggota dari Poet Hay Pay. Dia ini tak ada
kecelanya tapi sepasang tangan mana sanggup layani dua pasang? Hanya, memandang
muka sesama kaum, jangan kita ganggu jiwanya."
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
"Untuk merampas harta itu, tak usah See Tjeetjoe pusing memikirkannya," kata satu
suara. "Apa yang penting adalah cara pembagiannya. Kita perlu mengatur terlebih dahulu,
supaya kita tak usah merusak persahabatan."
"Aku adalah yang pertama mengetahui harta itu," kata satu suara keras dan kasar," maka
menurut aku, setelah barang itu berada di tangan kita, di dalam sepuluh, Ok Houw Kauw
dapat dua bagian, Sat Pa Kong juga dapat dua bagian, lalu yang lainnya masing-masing
satu bagian."
"Bagus benar!" pikir Sin Tjie. "Kamu telah pandang barangku seperti milikmu sendiri dan
sekarang asyik mengatur pembagiannya, untuk dipesta-pora!"
Lalu terdengar satu suara lagi: "Kenapa kau masing-masing menghendaki dua bagian?
Menurut aku, baik kita bagi rata saja, seorang satu bagian."
Sampai di sini, suara jadi ramai, masing-masing memberi usulnya.
"Dibagi sepuluh bagian tidak adil, dibagi delapan tidak adil juga," kemudian kata satu
suara tua tetapi keren. "Ok Houw Kauw terdiri dari beberapa ribu jiwa saudara, tapi Sat Pa
Kong dan Loan Sek Tjay cuma terdiri dari tiga-ratus orang. Apakah mereka mesti
mendapat bagian rata? Maka usulku adalah Ok Houw Kauw ambil dua bagian, yang lainlain
masing-masing satu bagian. Aku minta See Tjeetjoe yang atur cara bekerja kita."
Kebanyakan orang anggap usul ini pantas, mereka suka menerimanya, karena itu, sisa
yang lainnya lantas menurut saja.
"Sekarang sudah ada kecocokan, maka baik ditetapkan, besok kita turun tangan," berkata
orang yang dipanggil See Tjeetjoe, ketua she Tjee. "Aku memikir desa Thio-tjhung, dari itu
baiklah masing-masing rombongan berkumpul di sana."
Usul ini dapat persetujuan, dari itu tak ayal lagi, mereka saling pamitan dan lantas
bubaran, hingga sebentar kemudian, kuil tua itu jadi sunyi senyap pula.
Sin Tjie muncul dari tempat sembunyinya, tanpa perdulikan pula bandit atau orangnya See
Tjeetjoe, ia langsung menuju hotelnya, kepada Tjeng Tjeng ia tuturkan hasil "pesiarnya"
itu.
Tjeng Tjeng bengong berpikir.
"Jumlah mereka besar sekali, pasti mereka tak dapat dipukul rubuh semua, tak bisa
dibunuh habis," katanya. "Bagaimana pikiranmu?"
"Jikalau nanti mereka pegat kita, kita bersikap tenang-tenang saja," Sin Tjie bilang. "Kita
mesti cari tahu, siapa kepalanya di antara mereka, lantas paling dulu kita cekuk padanya.
Aku percaya rombongan mereka tidak berani turun tangan terus."
Tjeng Tjeng tepuk-tepuk tangan, ia tertawa.
"Inilah pikiran bagus!" ia memuji.
Besoknya pagi mereka berangkat pagi-pagi. Segera ternyata, mereka telah dikuntit dengan
berani, seperti juga Sin Tjie semua tidak ada lagi di mata mereka. Seng Hay lihat itu, dia
sangat berduka.
"Kelihatannya, Wan Siangkong, hari ini tak dapat dilewatkan lagi," kata dia secara diamKang
Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
diam kepada Sin Tjie.
"Kau jangan kuatir," pesan si anak muda. "Tugasmu adalah jaga semua kereta, supaya
keledai-keledai jangan kaget dan kabur. Untuk layani orang-orang jahat, serahkan itu
kepada kita bertiga."
Seng Hay menurut, ia coba menenteramkan diri.
Sin Tjie lantas bicara dengan si empeh gagu, dengan gerak-gerakan tangannya. Ia pesan,
kalau ia sudah turun tangan, A Pa Barulah bekerja, dan yang bakal dibekuk adalah
kepalanya penjahat.
A Pa manggut, tandanya ia mengerti.
Di waktu lohor jam tiga atau empat, rombongan kereta keledai yang angkut harta karun
sampai di desa Thio-tjhung. Di muka itu ada segumpal pepohonan lebat. Segera terdengar
suara anak panah mengaung dan muncul beberapa ratus orang yang pada ikat kepala
dengan pelangi hijau, pakaian mereka serbat hitam, senjata mereka pelbagai macam,
semuanya mengkilap tajam. Tapi mereka tidak menerbitkan suara berisik, mereka cuma
menghadang di tengah jalan.
Tukang-tukang kereta lihat gelagat tidak baik, dengan lantas mereka hentikan keretakereta
mereka, habis itu mereka berjongkok sambil tutupi kepala mereka. Inilah aturan
mereka, sebab asal mereka tidak lari serabutan, orang jahat tidak bakal ganggu mereka.
Adalah setelah itu lalu terdengar suara suitan beruntun-runtun, menyusul mana beberapa
puluh penunggang kuda muncul dari dalam rimba, menuju ke belakang rombongan kereta,
untuk menjaga jalan mundur orang.
Selama di dalam kuil Sam Kong Sie, Sin Tjie tidak lihat nyata roman orang, sekarang
Barulah ia melihat tegas tujuh orang yang berbaris di paling muka, orangnya tinggi dan
kate, satu di antaranya, yang berumur tiga-puluh lebih, maju pula kesebelah depan sekali.
Dia ini tidak menyekal senjata, dia cuma menggoyang kipas dengan secara tenang.
"Wan Siangkong!" ia menegur, suaranya halus.
Sin Tjie kenali suaranya See Tjeetjoe dari Ok Houw Kauw, ia lihat orang itu sikapnya
tenang, dan tindakan kakinya tetap, maka ia mengerti kepala berandal ini pasti seorang
yang liehay. Ia pun tidak sangka, dalam kalangan Tjauw-bong, Hutan Rumput, ada orang
semacam tjeetjoe ini. Ia lekas memberi hormat.
"See Tjeetjoe!" katanya.
Kepala berandal itu heran, inilah ternyata dari romannya.
"Eh, mengapa dia kenal aku?" pikirnya.
"Wan Siangkong telah bikin perjalanan jauh, banyak cape, tentu," katanya kemudian.
Sin Tjie awasi muka lawan, ia tahu tjeetjoe itu heran bahwa ia ketahui namanya, maka itu ia
memikir untuk bikin orang lebih heran.
"Perjalanan jauh tidak melelahkan aku," demikian jawabnya, "aku hanya sebal sebab
barang-barang bawaanku ini terlalu banyak, terlalu berat....."
See Tjeetjoe tertawa.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
"Apakah siangkong hendak pergi ke ke kota raja untuk turut dalam ujian ilmu surat?"
tanyanya.
"Oh, bukan, tjeetjoe," sahut Sin TJie. "Ayahku titahkan aku pergi ke kota raja untuk
menyerahkan uang, guna mendapatkan pangkat."
Kembali kepala berandal itu tertawa.
"Siangkong seorang jujur, tak miripnya kau dengan anak sekolahan yang kebanyakan,"
katanya.
Sin Tjie pun tertawa. Kemudian ia kata:
"Tadi malam satu sahabatku datang memberi tahu padaku, katanya hari ini satu See
Tjeetjoe bakal menantikan aku di tengah jalan. Ia pesan aku untuk waspada, maka itu, aku
tidak berani berlaku alpa, kuatir aku nanti tak dapat bertemu sama See Tjeetjoe. Sungguh,
benar-benar disini kita bertemu! Melihat dandanan tjeetjoe, apakah tjeetjoe juga hendak
menuju ke kota raja? Bagaimana jikalau kita jalan sama?"
See Tjeetjoe itu tertawa geli di dalam hatinya.
"Kiranya dia satu pitik yang tak tahu apa-apa!" pikirnya. Ia tertawa pula. Ia kata: "Apakah
tidak baik siangkong hidup senang di dalam rumah? Untuk apa siangkong melakukan satu
perjalanan begini jauh? Siangkong harus ketahui, diluaran banyak kejahatan...."
Dengan sikap wajar, Sin TJie menyahut: "Selama di rumah, pernah aku dengar orangorang
tua omong tentang penipu dan bunga raya, siapa tahu sesudah aku jalan seribu lie,
aku tidak menemui apa juga, dari itu aku beranggapan, omongan itu kebanyakan hanya
omongan untuk mendustai orang saja."
Ketujuh tjeetjoe lainnya tak sabaran mendengar bicaranya si anak muda, mereka awasi
See Tjeetjoe, mereka kedip-kedipi mata, untuk menganjuri akan turun tangan dengan
segera.
See Tjeetjoe rupanya berpikir sama seperti sekalian rekannya itu, mendadakan lenyap
wajah berseri-serinya, sebagai gantinya, dia berseru nyaring dan panjang, lantas ia
kibaskan, buka kipasnya, hingga pada daun kipas itu tertampak lukisan putih dari sebuah
tengkorak dengan mulutnya tengkorak lagi menggigit sebatang golok, hingga romannya
jadi sangat menakuti, menggiriskan.
Tjeng Tjeng yang berandalan terkejut juga dalam hatinya, malah Sin Tjie sendiri
merasakan hebatnya gambaran tengkorak itu, akan tetapi pemuda ini tetap tenang.
Habis itu, See Tjeetjoe perdengarkan lagi suara tertawa, yang aneh, Baru suaranya
berhenti, atau tangannya yang memegang kipas digeraki atas mana, beberapa ratus
berandal lantas saja bergerak, untuk maju menyerang.
Sin Tjie mengerti saatnya untuk bertindak, akan tetapi di saat ia hendak berlompat, guna
bekuk See Tjeetjoe, dengan tiba-tiba terdengar suara suitan yang nyaring dan tajam dari
dalam rimba, hingga tjeetjoe she Tjee itu menjadi kaget, segera kibaskan pula kipasnya,
melihat mana, semua berandal berhenti beraksi, semua lantas berdiri diam.
Segera muncul dua penunggang kuda dari dalam rimba itu. Penunggang kuda yang
pertama adalah seorang tua dengan rambut, alis dan kumis-jenggotnya telah putih semua,
sedang yang belakangan adalah satu nona dengan baju hijau, tangganya menyekal suitan.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Mereka ini majukan kuda mereka di antara See Tjeetjoe dan Sin TJie, Baru mereka
berhenti.
"Inilah perbatasan Shoatang," kata See Tjeetjoe.
"Memang. Siapa yang bilang bukan?" sahut orang tua itu.
"Apa yang telah diputuskan ketika dulu kita membuat pertemuan di gunung Tay San?" See
Tjeetjoe tanya pula.
"Itu waktu telah ditetapkan, kami dari pihak Tjeng Tiok Pay tidak akan memasuki daerah
Shoatang untuk bekerja, dan kamu tidak dapat bekerja di Hoopak," si orang tua menjawab
pula.
"Bagus!" kata See Tjeetjoe. "Habis angin apakah sudah tiup Thia Loo-ya-tjoe datang
kemari?"
Orang tua itu menyahuti dengan tenang: "Aku dengar kabar suatu barang-barang bakal
dibawa masuk ke Hoopak, katanya tak sedikit terdiri dari barang baik, karenanya kita
datang dulu untuk melihat."
Wajahnya See Tjeetjoe berubah.
"Jikalau ditunggu sampai barang sudah sampai di daerah Hoopak, Baru dilihat, toh masih
belum terlambat?" dia tanya.
Si orang tua tertawa berkakakan.
"Bagaimana tidak terlambat?" katanya. "Jikalau barang sudah terjatuh ke dalam tangan
pihakmu, gilirannya untuk melihat saja sudah tidak ada!"
Sin Tjie bertiga Tjeng Tjeng dan Ang Seng Hay saling memandang di dalam hati mereka,
mereka berpendapat bagaimana cepatnya orang-orang Hoopak dengar kabar hal angkutan
harta karun itu, hingga mereka sudah lantas datang untuk mendahulukan turun tanagan,
atau untuk mendapati sebagian saja. Mereka pun pikir, baik mereka "tonton" sepak-terjang
lebih jauh dari mereka itu.
Di pihak Shoatang, orang lantas bicara dengan seru, umumnya meeka katakan si orang
tua bersikap tak tahu aturan. Menurut suara mereka, orang tua ini rupanya bernama Thia
Tjeng Tiok.
"He, apa yang kamu bicarakan demikian berisik?" si orang tua tanya rombongan Shoatang
itu. "Aku sudah tua, kupingku tak dengar nyata...."
See Tjeetjoe kibas-kibaskan kipasnya, untuk cegah rombongannya.
"Kita telah membuat perjanjian, Thia Loo-ya-tjoe, mengapa kau tidak hendak menepati
janji?" See Tjeetjoe tanya pula. "Ia tak dapat dipercaya, apakah dia tak bakal ditertawai
orang-orang gagah kaum kang-ouw?"
Ditegur secara demikian, si orang tua tidak menjawab, ia hanya menoleh kepada si nona di
sampingnya, akan tanya: "Eh, A Kioe, ketika masih di rumah, apakah kataku kepadamu?"
Si nona jawab: "Kau bilang, mari kita pergi ke Shoatang untuk lihat barang-barang
berharga."
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Tjeng Tjeng ada satu nona akan tetapi ia kagum mendengar suaranya nona ini. Itulah
suara yang halus, jernih, sedap didengarnya. Maka ia menoleh kepada nona itu, yang ia
awasi, hingga ia tampak lebih jelas wajah orang, muka yang bersemu dadu, segar dan
manis. Dia adalah satu nona muda yang eilok dan menarik.
"Apakah kita pernah omong bahwa kita hendak ulur tangan kita untuk ambil barang itu?"
Thia Tjeng Tiok tanya pula, sambil tertawa.
"Tidak," sahut si A Kioe itu. "Sekarang pun kita tidak bicara sebagai itu."
Baru sekarang si orang she Thia berpaling pada See Tjeetjoe.
"Lauwtee, kau dengar atau tidak?" ia tanya. "Kapan aku pernah bilang hendak bekerja
dalam daerah Shoatang?"
See Tjeetjoe berubah wajahnya, ia bersenyum.
"Bagus, itu Barulah namanya sahabat!" dia bilang. "Thia Loo-ya-tjoe datang dari tempat
jauh, sebentar kau akan dapat satu bagian!"
Orang she Thia itu tak ambil mumet akan kata-katanya tjeetjoe ini, ia hanya berpaling pula
kepada si nona.
"Eh, A kioe, apa saja yang kita katakan pula di rumah?" tanya ia.
"Kau bilang, barang permata itu tak sedikit, jangan kita biarkan lain orang mengambilnya,"
sahut orang yang ditanya.
"Hm!" bersuara Thia Tjeng Tiok. "Umpama orang hendak mengambilnya?"
"Kalau sampai terjadi demikian, kami harus turun tangan untuk melindunginya," sahut
pula si nona.
Tjeng Tiok tertawa.
"Bagus, ingatannya anak muda tak jelek!" serunya. "Ya, aku ingat telah mengucapkan
demikian." Lalu ia menoleh kepada si See Tjeetjoe, dan kata: "Apa kau sekarang telah
mengerti, lauwtee! Kami tak dapat bekerja di Shoatang, itu benar, akan tetapi kami hendak
melindunginya! Tidakkah untuk ini tidak ada perjanjiannya?"
Mukanya tjeetjoe she See ini menjadi pias-padam.
"Sekarang kau larang kita turun tangan!" katanya dengan sengit, "akan tetapi nanti,
setelah barang sampai di dalam daerah Hoopak, disana kaulah yang nanti lonjorkan
tanganmu, bukan?"
"Benar," aku Thia Tjeng Tion. "Bukankah ini tidak merusak persahabatan? Bukankah ini
tidak melanggar perjanjian kita di Tay San?"
Semua berandal itu menjadi sangat gusar. Itulah alasan yang dipaksakan, yang dicari-cari.
Dari murka, mereka jadi niat menyerang ayah dan gadisnya itu. Bukankah mereka Cuma
berdua saja?
Selagi orang berdiam, A KIoe bawa dua lembar daun bambu ke dalam mulutnya, untuk tiup
itu. Itulah suitan istimewa, yang memberikan pertandaan rahasia.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Menyusul bunyinya suitan, dari dalam rimba muncul beberapa ratus orang yang
pakaiannya tak berseragam, kecuali di kopiah mereka, masing-masing mereka
menyelipkan selembar daun bambu yang hijau.
See Tjeetjoe terkejut dalam hati.
"Ah, kiranya dia telah bikin persiapan....." pikirnya. "Nyatalah saudara-saudara kita yang
ditugaskan sebagai mata-mata, buta matanya! Kenapa mereka tidak ketahui orang datang
dalam jumlah begini besar?"
Tidak ayal lagi, See Tjeetjoe memberikan isyaratnya, maka lantas semua tujuh tjeetjoe
lainnya serta Tam Hoe Tjeetjoe, ketua muda dari Ok Houw Kauw, lantas atur barisan
mereka masing-masing.
Tak gentar hatinya Thia Tjeng Tiok menampak persiapan pihak delapan tjeetjoe itu, inilah
disebabkan ia percaya orang-orangnya sendiri, yang ia rasa telah ia atur dengan
sempurna.
Sin Tjie tarik tangannya Tjeng Tjeng, si nona berpaling kepadanya, keduanya lantas
bersenyum.
"Barang masih belum didapatkan, mereka sudah berkeras di antara kawan sendiri,
sungguh lucu!" kata si nona dengan perlahan. Ia pun tidak jeri.
"Biar saja!" kata Sin Tjie. "Kita jadi si nelayan yang peroleh hasil! Tak jelek, bukan?"
Walaupun mereka bersiap untuk bertempur, kawanan begal Shoatang itu masih sempat
pisahkan sejumlah kecil, ialah beberapa puluh orangnya, untuk jaga kereta-kereta barang,
rupanya mereka kuatir, selagi mereka adu jiwa, kereta-kereta nanti kabur.
Sin Tjie lambaikan Seng Hay.
"Tjeng Tiok Pay itu golongan apa?" tanya ia pada pengikut itu.
"Di wilayah Hoopak, Tjeng Tiok Pay berpengaruh sendiri," Seng Hay terangkan. "Orang
tua itu, Thia Tjeng Tiok, adalah ketuanya. Jangan kita lihat dia dari kurus tubuhnya dan tua
usianya, ilmu silatnya liehay sekali!"
"Dan itu anak kecil?" Tjeng Tjeng tanya. "Dia cucunya atau gadisnya?"
"Turut apa yang aku dengar, tabeatnya Thia Tjeng Tiok aneh sekali," sahut Seng Hay.
"Seumur hidupnya, dia tidak pernah menikah, dari itu tak mungkin nona itu ada cucu atau
anaknya. Mungkin dia kemenakan atau anak pungut...."
Tjeng Tjeng manggut-manggut.
Nona A Kioe itu bersikap tenang sekali, tak sedikit jua kentara ia berkuatir, maka Tjeng
Tjeng sangka dia liehay boegeenya. Ia terus mengawasi kawanan begal itu.
Di pihak Tjeng Tiok Pay, berulang-ulang terdengar suitan., lalu jumlah mereka yang terdiri
dari beberapa ratus jiwa lantas pusatkan diri dalam empat pasukan, sesudah mana, Tjeng
Tiok dan A Kioe tempatkan diri di muka barisannya itu. Mereka masing-masing
menunggang kuda. Mereka hendak bertempur akan tetapi mereka tidak menyekal senjata.
Dimana kedua pihak sudah siap, pertempuran akan meletus sembarang waktu, selagi
begitu, di arah selatan, terdengar suara kelenengan nyaring, lalu tertampak tiga
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
penunggang kuda mendatangi dengan cepat sekali, kemudian satu diantaranya, yang
maju paling depan berseru: "Sama-sama sahabat sendiri, tolong kamu pandang mukaku!"
"Hei, heran!" pikir Sin Tjie. "Mengapa muncul pula satu tukang mendamaikan?...." Ia lantas
mengawasi.
Sebentar saja, ketiga penunggang kuda itu telah datang dekat. Orang yang pertama
berumur lima-puluh lebih, roman mereka mirip dengan seorang hartawan bekas pembesar
negeri, sebab ia pakai baju panjang tersulam dan tangannya menyekal sebatang
hoentjwee besar. Dua yang lain, yang tubuhnya jangkung dan kate, sangat sederhana
dandanannya.
Begitu lekas sudah tempatkan diri diantara kedua pihak rombongan yang hendak adu
tenaga itu, orang itu angkat hoentjweenya, ia tertawa, lalu dengan nyaring, ia kata: "Kita
ada diantara saudara-saudara sendiri, omongan apa yang tak dapat diucapkan? Kenapa
kita mesti angkat senjata? Apakah kamu tak kuatir nanti ditertawai kaum kang-ouw
umumnya?"
"Thie Tjhungtjoe, bagus kau telah datang!" berkata See Tjeetjoe. "Tolong kau berikan
pemandanganmu, untuk ketahui siapa benar dan siapa keliru...."
Tjeetjoe ini lantas bentangkan sikapnya Thia Tjeng Tiok.
Orang she Thia itu tidak perdulikan apa yang orang bilang, ia cuma tertawa saja dengan
dingin.
Selagi orang bicara, Ang Seng Hay kata pada Sin Tjie: "Wan Siangkong, See Tjeetjoe itu
bernama See Thian Kong, gelarannya Im-yangsie, si Kipas Imyang. Bersama-sama Thie
Tjhungtjoe itu, yang bernama Tie Hong Lioe, mereka menjadi dua cabang atas didalam
propinsi Shoatang."
"Jadi mereka inilah yang dulu kau sebut-sebut?" kata Tjeng Tjeng.
"Dan kenapa dia dipanggil tjhungtjoe?" tanya Sin Tjie.
Tjhungtjoe adalah hartawan atau pemilik sebuah kampung dimana dia berpengaruh
seorang diri. ("Tjhung" dari tjhungtjoe baca mirip "tjeng" dari "cengkeram").
"Bedanya ialah," menerangkan Ang Seng Hay, "kalau See Tjeetjoe berkedudukan di atas
gunung dengan pesanggrahannya, Tie Hong Lioe hidup sebagai satu wan-gwee, hartawan
yang berumah-tangga dalam sebuah kampung, sebab di depan dan belakang kampung itu
ditanami ribuan pohon yanglioe merah, kampungnya itu diberi nama Tjian-lioe-tjhung. Tapi
sebenarnya dia adalah begal tunggal, dia bisa membegal atau merampas sendirian, kalau
dia "bekerja", dia cuma ajak dua atau tiga pembantunya."
Dalam hatinya, Tjeng Tjeng bilang: "Dia jadinya mirip dengan cara hidupnya beberapa
yayaku dari Tjio Liang Pay..."
Segera terdengar suaranya Tie Hong Lioe: "Thia Toako, di dalam hal ini, toakolah yang
kurang tepat. Ketika dahulu dibikin rapat besar di gunung Tay San, dengan kebaikannya
semua saudara, yang masih memandang mata kepadaku, aku telah diundang hadir, itu
waktu telah ditetapkan bahwa kita masing-masing tak dapat bekerja di luar batas wilayah
pengaruh sendiri!"
"Itulah benar, Tie Tjhungtjoe," shaut Thia Tjeng Tiok dengan tenang, "tapi sekarang aku
bukannya hendak bekerja, aku hanya bermaksud baik, niat melindungi rombongan kereta
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
barang-barang ini. Tie Lauwko, kupingmu terang sekali, di mana saja kau dengar ada 'airminyak',
lantas kesana kau sodorkan hoentjweemu!...."
Orang she Tie itu tertawa terbahak-bahak, terus ia tunjuk dua orang yang iringi padanya:
"Kedua tuan ini adalah Hoey-im Siang Kiat, Goe Hoa Seng dan Thio Hin. Mereka yang
sengaja bergegas-gegas datang ke kampungku akan memberitahukan bahwa mereka
mempunyai satu bahagian harta kegirangan untuk dipersembahkan kepadaku. Tubuhku
telah jadi begini gemuk, aku malas untuk bekerja pula, akan tetapi mereka dua saudara
demikian sungguh-sungguh, terpaksa aku tak dapat tampik kecintaan mereka, terpaksa
aku keluar, untuk melihat, aku tidak sangka disini aku bertemu dengan saudara beramai.
Sungguh, inilah ramai sekali!"
Sin Tjie pandang Tjeng Tjeng, dalam hatinya, ia kata: "Bagus, sekarang tambah tiga ekor
kucing!"
See Thian Kong sebaliknya pikir: "Orang she Tie ini liehay, baik aku rombak aturan
pembagian, aku bagi dia satu bagian, supaya kita bisa bekerja sama-sama untuk hadapkan
Tjeng Tiok Pay." Karena ini, dia kata kepada tjhungtjoe itu: "Tie Tjhungtjoe adalah orang
dari wilayah Shoatang, umpamanya Tie Tjhungtjoe kehendaki satu bahagian, kami tidak
bisa bilang satu apa, tetapi jikalau orang dari lain wilayah masuk kemari, lalu kita
mengalah, habis dari mana kita punyakan nasi untuk didahar?"
Tie Hong Lioe tidak bilang suatu apa kepada orang she See itu, dia hanya pandang Thia
Tjeng Tiok untuk tanya: "Nah, Thia Toako, apa katamu?"
"Urusan hari ini terang tak dapat diselesaikan secara baik," sahut orang she Thia itu.
"Baiklah, mari kita bicara secara terbuka, kita cari kemenangan atau kekalahan di ujung
golok dan tumbak saja!"
Nyata ketua dari Tjeng Tiok Pay ini bernyali sangat besar, tidak perduli dia lagi hadapi
musuh demikian banyak.
"Dan kau, See Lauwtee, bagaimana dengan kau?" Tie Hong Lioe menoleh pada See Thian
Kong yang menjawab dengan lantas: "Kami orang laki-laki dari Shoatang, tak dapat kami
mengalah untuk diperhina orang lain daerah yang datang cari rumah kita!"
Dengan jawabannya itu, terang See Thian Kong sudah tarik Tie Hong Lioe kepada
pihaknya.
Thia Tjeng Tiok mengulet, ia pun menguap.
"Sekarang bagaimana, kita maju semua berbareng atau satu demi satu?" tanya dia dengan
tantangannya. "Silahkan See Tjeetjoe mengaturnya, pihakku yang rendah bersedia untuk
turut segala titahmu."
See Thian Kong goyang-goyang kipas Im-yang-sienya, ia pun berulang-ulang
perdengarkan suara menghina: "Hm! Hm!"
"Dan kau, Tie Toako, bagaimana pikiranmu?" dia tanya.
Ketika pertama kali Tie Hong Lioe terima laporan Hoay-im Siang Kiat, sepasang jago dari
Hoa-im, dia telah memikir untuk telan sendiri harta karun itu, maka ia sudah berangkat
dengan cepat, ia tidak sangka, dia telah datang terlambat, dari itu, dia memikir boleh
jugalah ia mendapat hanya satu bagian. Tapi ia juga insyaf di pihak Tjeng Tiok Pay ada
banyak orang liehay.Thia Pangtjoe sendiri telah kesohor untuk banyak tahun, dia itu
bukan orang sembarangan, tak dapat dia cari gara-gara dengan orang she Thia itu. Maka
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
setelah berpikir sebentar, ia utarakan pikirannya.
"Jikalau begini duduknya hal, sulit untuk mencari pemecahan, satu pertempuran tak dapat
dielakkan lagi," katanya. "Kalau kita bertempur secara merabuh, mesti banyak orang
terluka dan terbinasa. Kenapa kita mesti minta banyak korban, hingga persahabatan jadi
terganggu hebat? Bagaimana jikalau aku majukan satu usul?"
"Silakan kau mengutarakannya, Tie Tjhungtjoe," kata Thia Tjeng Tiok dan See Thian Kong
hampir berbareng.
Dengan hoentjweenya, Tie Hong Lioe menunjuk kepada sepuluh buah kereta-kereta harta
karun. Dia kata: "Disana ada sepuluh peti besi, maka itu, kita baik majukan saja sepuluh
orang masing-masing, dengan begitu, pertempuran pun berarti sepuluh kali juga, batasnya
yaitu sampai saling towel saja, jangan kita meminta jiwa. Siapa menang satu kali, dia dapat
satu peti. Tidakkah ini paling adil? Anggap saja kita sedang sempat, hitung-hitung kita
berlatih di sini, untuk menambah pengetahuan, siapa dapati barang permata, dia dapat
hadiah kepala. Siapa tidak peroleh pahala, jangan dia berkecil hati, karena toh asalnya
bukan kepunyaan kita sendiri! Bagaimana djiewie pikir?"
Mendengar usul itu, Thia Tjeng Tiok paling dulu nyatakan akur.
See Thian Kong juga nyatakan akur, karena ia pikir: "Biar aku antap setiap rombongan
majukan orang-orangnya, umpama mereka masing-masing menang, itu pun memang hak
mereka, tapi umpama mereka kalah, kekalahan mereka tidak ada ruginya untuk aku.
Jikalau dari pihakku, aku sendiri yang keluar bersama Tam Loo-djie, pasti kita tidak akan
kalah, tentu kita bakal dapat dua buah peti."
Sampai di situ, kedua pihak lantas balik kedalam masing-masing barisannya, yang pun
berbareng mereka tarik pulang, setelah mana, mereka mulai pilih orang-orang sendiri yang
bakal dimajukan dalam pertandingan.
Tie Hong Lioe sendiri lantas perintah orang beri tanda dengan coretan huruf-huruf kepada
sepuluh peti itu, alat pencoretnya adalah tanah lempung kuning.
Sin Tjie dan Tjeng Tjeng antap saja orang cumprang-compreng peti mereka.
Thia Tjeng Tiok lihat dua anak muda itu tenang-tenang saja, sedikit juga tidak tertampak
mereka berkuatir, ia heran, karenanya, beberapa kali ia melirik ke arah mereka itu.
Kemudian kawanan berandal itu berkerumun mengurung Tie Hong Lioe, yang menjadi
seperti saksi atau wasit.
Mulanya pihak Shoatang majukan jagonya, disusul sama jago pihak Hoopak; mereka ini
bertubuh besar dan kasar, terang mereka bertenaga besar, maka itu, perkelahian mereka
seru. Pihak Hoopak kurang waspada, satu kali kakinya kena direngkas, dia jatuh, rubuh
terbanting. Dia hendak bangun, untuk berkelahi pula. Tapi Tie Hong Lioe, sang wasit,
goyangi tangan padanya dan tulisan huruf "Lou" (Shoatang) pada peti pertama yang
bertanda huruf "Kak", itu berarti pihak Shoatang yang rebut kemenangan pertama.
Pertandingan ini disambut dengan tampik-surak.
Sebagai jagonya yang kedua, pihak Hoopak majukan seorang yang See Thian Kong kenal
sebagai ahli tangan-pasir Tiat-see-tjiang, maka itu, ia suruh ketua mudanya, Tam Tjeetjoe,
untuk layani musuh itu.
Kedua jago tak berbeda banyak kepandaiannya, tapi Tam Hoe-tjeetjoe lebih terlatih, selang
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
beberapa puluh jurus, dia berhasil hajar lengan lawan hingga lengannya jago Hoopak itu
tak dapat diangkat. Maka untuk kedua kalinya, pihak Shoatang yang menang.
Bukan main girangnya pihak Shoatang. Tapi di babak ketiga, keempat, kelima dan keenam,
mereka kalah dengan beruntun, hati mereka juga goncang.
Kapan sampai waktunya babak ketujuh, kedua jago yang maju masing-masing bekal
senjata.
Di pihak Shoatang maju tjeetjoe dari Sat Pa Kong, bukit Sembelih Macan Tutul, yang
bergegaman golok besar Poat-hong Kioe-hoan-too. Dia ini gagah, dia berhasil membacok
sebelah bahu lawannya.
Melihat sampai di situ, Tie Hong Lioe berpikir. Peti tinggal tiga buah, apabila ia tidak lantas
turun tangan, dia bisa kehabisan, dia bakal dapat tangan kosong, maka ia ingin majukan
orangnya sendiri guna layani pihak Tjeng Tiok Pay. Dia anggap cukup asal ia dapatkan
satu peti saja....
"See Lauwtee," kata dia pada See Thian Kong, sesudah dia berdehem-dehem, "pihak sana
itu, makin lama jadi makin hebta, maka itu kali ini, biarlah aku yang sambut padanya."
See Thian Kong mengerti, wasit ini tak boleh pulang dengan tangan kosong, ia suka
mengalah.
"Aku harap bantuan Tie Tjhungtjoe untuk lindungi nama baik kita," katanya.
Tapi kapan telah sampai waktunya pihak Tjeng Tiok Pay majukan jagonya, tjhungtjoe dari
Tjian-lioe-tjhung jadi melongo, ia berdiri tercengang. Karena yang maju itu adalah A Kioe,
si nona muda, yang umurnya tidak lebih dari lima-belas atau enam-belas tahun! Dan
tangannya pun tidak menyekal senjata tajam, melainkan dua batang bambu yang kecil.
"Aku adalah satu jago Rimba Persilatan, mana dapat aku perhina diri dengan layani satu
nona cilik?" pikir dia. Dia sudah maju beberapa tindak, atau mendadakan dia merandek,
lantas dia kembali.
"Lauwtee, kau majukan lain orang saja," katanya pada See Thian Kong. "Aku nanti maju di
babak lainnya...."
See Tjeetjoe tahu, tjhungtjoe itu tidak mau lawan satu nona, maka ia serukan orangorangnya:
"Saudara yang mana yang mempunyai kegembiraan hati akan temani nona kecil
itu memain?"
Segera maju satu orang yang tubuhnya tinggi dan romannya gagah, mukanya putih,
senjatanya sepasang poan-koan-pit, gegaman mirip pit peranti menotok jalan darah.
Dialah Tjin Tong, tjeetjoe dari Oey Sek Po, dia gemar pelesiran, dari itu dia ketarik sama si
nona Thia, yang romannya cantik manis dan menggiurkan. Dia maju sambil menyahuti
seruannya See Thian Kong.
Melihat orang yang maju itu, See Tjeetjoe bersenyum.
"Memang, di antara kita, lauwtee adalah yang paling cocok!" katanya.
Tjin Tong hendak banggakan kepandaiannya, dia berlompat ke depan si nona. Dia benarbenar
bertubuh enteng, gesit sekali gerakannya. Diapun telah pikir untuk bicara dengan
nona itu, untuk membikin senang hati si nona. Tapi, Baru saja ia menaruh kaki, atau
tangannya A Kioe telah bergerak, bambu di tangan kanannya sudah sambut ia dengan
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
satu tusukan, yang arah dadanya. Dia satu ahli menotok jalan darah, sudah wajarnya dia
gesit, akan tetapi sekjarang, dipapaki secara demikian, dia terkejut sekali, tidak ayal lagi,
dia menangkis dengan poankoanpit kiri. Tapi menyusul tangan kanannya itu, tangan kiri si
nona menusuk secara cepat luar biasa sampai, saking sibuk, tjeetjoe ini mesti tolong diri
dengan jatuhkan tubuhnya untuk terus bergulingan di tanah, hingga kepalanya penuh
debu, hingga dia keluarkan keringat dingin.
Semua berandal dari Shoatang terperanjat, mereka tak menyangka nona itu begitu muda
tapi demikian liehay, malah Sin Tjie dan Tjeng Tjeng turut merasa heran juga, hingga
kedua pemuda dan pemudi ini saling melirik.
Tjin Tong sudah berlompat bangun, akan layani pula A Kioe, dengan begitu, keduanya
sudah mulai bertempur, hingga tertampak lebih jauh, nona Thia telah gunakan dua batang
bambunya bagaikan tumbak, gegamannya itu lemas tetapi bisa dibikin kaku.
Dalam tempo yang pendek, Tjin Tong telah kena dibikin berpikir keras, sebab kadangkadang
ujung bambunya si nona juga mencari jalan darahnya. Dia pun pikirkan apabila dia
tak sanggup rubuhkan si nona, bagaimana dengan nama besarnya di Shoatang sebagai
seorang tjeetjoe yang kesohor? Maka dalam sibuknya, dia bikin perlawanan dengan
sungguh-sungguh.
A Kioe berkelahi secara luar biasa. Satu kali ia renggang dari lawan, dengan bambu kiri dia
menekan tanah, lalu tubuhnya mencelat naik, berlompat ke arah musuh, bambu kanannya,
dari atas, menyerang turun; kapan serangannya ini gagal, bambu kanan itu diteruskan
dibikin mengenai tanah, hingga di lain saat, tubuhnya mencelat naik pula, hingga sekarang
ia bisa menyerang pula dengan tangan kiri.
Tak tahu Tjin Tong, bagaimana dia harus layani penyerangan macam ini, karena sibuk, dia
terpaksa main menangkis saja sambil saban-saban mundur. Tetapi A Kioe terus desak dia,
hingga dia jadi repot sekali dan berkuatir dia tak dapat ketika, untuk balas menyerang.
Dalam repotnya, tahu-tahu ujung bambu telah mengenai bahu kirinya, di bagian jalan
darah "kin-tjeng-hiat", maka tak ampun lagi, lengan kirinya jadi kaku, poankoanpitnya
terlepas dari cekalan dan jatuh ke tanah, berbareng dengan itu, mukanya jadi bersemu
merah! Mau atau tidak, dia mesti mengaku kalah, dia mundur sambil tunduki kepala....
A Kioe antapkan lawan itu mundur, dia berniat undurkan diri, tapi segera ia tampak Tie
Hong Lioe bertindak menghampiri padanya sambil jago dari Tjian-lioe-tjhung itu terus
berkata: "Nona, tunggu dulu! Nona sungguh liehay, benar-benar, di bawahannya satu
jenderal perang ternama, tidak ada serdadu yang lemah! Umpama kata nona masih belum
letih, aku suka main-main denganmu beberapa jurus. Bagaimana?"
A Kioe tertawa gembira.
"Sebenarnya aku belum memain!" sahutnya. "Jikalau Tie Pehhoe hendak berikan
pengajaran kepadaku, itulah baik sekali. Pehhoe hendak gunai senjata apa?"
Tie Hong Lioe tertawa.
"Orang tua layani anak kecil memain, mustahil aku mesti pakai gegaman?" katanya. "Aku
akan bertangan kosong!"
Hong Lioe telah saksikan orang bertempur, ia terperanjat akan dapatkan nona muda itu
demikian liehay, hingga ia percaya, disebelah si nona, dipihaknya nona ini, mesti ada lainlain
orang yang tak kurang liehaynya, maka itu, dari sungkan turun tangan, dia pikir baik ia
mendahului maju, akan rintangi nona ini, asal dia telah dapati sebuah peti, urusan lainnya
boleh lihat belakangan....
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Di pihak Tjeng Tiok Pay, tiga orang hendak majukan diri, karena mereka kuatir si nona
menjadi terlalu lelah, akan tetapi A Kioe besar nyalinya, dia beri tanda kepada tiga kawan
itu sambil berkata: "Aku telah beri kata-kataku kepada Tie Pehhoe!" Maka itu, tiga orang
itu terpaksa mundur pula.
Tie Hong Lioe bertindak dengan perlahan menghampirkan si nona di tengah-tengah
kalangan, sembari bertindak, dia telah kerahkan semangatnya, tenaga khie-kang, maka di
lain saat, mukanya yang tadinya putih lantas saja berubah menjadi bersemu dadu.
Tjeng Tiok saksikan perubahan muka itu, dia gapekan puterinya, atas mana, sambil
berlompat, A Kioe hampiri sang ayah.
Segera Tjeng Tiok bisiki gadisnya, siapa manggut-manggut, sesudah itu, si nona kembali
ke dalam kalangan, di depan Hong Lioe, dia membungkuk, untuk memberi hormat, habis
itu, ia putar sepasang tumbak bambunya itu, untuk mengurung diri. Ia tidak segera
menyerang.
Dengan tindakan ayal sekali, Hong Lioe dekati si nona, lalu dengan sekonyong-konyong,
ia menyerang.
A Kioe menangkis dengan pentang kedua tumbaknya, apabila ia sudah menarik pulang,
lantas ia mulai dengan serangannya membalas, dimulai dengan tangan kanan, disusul
sama tangan kiri, kemudian kedua batang bambu itu diteruskan, dipakai menyerang saling
susul tak hentinya, ia mendesak bagaikan serangan badai.
Di pihak Tjeng Tiok Pay orang bertampik-surak melihat cara berkelahinya pahlawan
mereka.
Tie Hong Lioe berlaku tenang walaupun ia telah dicecar secara demikian, di lain bagian,
mukanya jadi semakin merah dan semakin merah, hingga sinar merah itu sampai kepada
batang lehernya, Ia masih main maju saja, kedua tangannya bergerak-gerak menghalau
sesuatu tusukan. Ia bertubuh besar dan tangguh, hatinya mantap, disebelah ia ada satu
nona muda, yang tubuhnya kecil-langsing, yang sedang hunjuk kegesitannya.
Sin Tjie tonton pertempuran itu.
"Dia tua-bangka tetapi dia sudi layani satu nona-remaja," kemudian ia kata kepada Tjeng
Tjeng, kawannya. "Kau lihat, dia berniat turunkan tangan jahat."
"Nanti aku tolong nona itu!" sahut Tjeng Tjeng.
Sin Tjie tertawa.
"Dua-dua mereka hendak rampas harta kita, untuk apa tolongi dia?" ia tanya.
"Tapi nona itu manis, dia sangat simpatik!" kata Tjeng Tjeng. "Baik kita tolong dia , urusan
di belakang, ada lain. Toako, pergi kau yang turun tangan!"
Sin Tjie tertawa pula, ia manggut-manggut.
Pertempuran masih berjalan, mukanya Hong Lioe tetap merah, tapi cahaya merah itu
sudah melulahan ke seluruh lengannya.
"Kalau sebentar cahaya merah itu sampai di tangannya, celakalah si nona," kata Sin Tjie
pada kawannya. Dia berlaku tenang, dia telah pikir bagaimana harus bertindak.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
A Kioe telah berhasil menotok atau menusuk Hong Lioe, sampai beberapa kali, akan tetapi
ia tidak peroleh hasil sebagaimana tadi ia lawan Tjin Tong. Hong Lioe tidak perdulikan
serangan itu, ia tetap berlaku tenang, ia maju dengan perlahan, Cuma setiap herakannya
jadi makin berat dan makin berat. Di samping dia, pada A Kioe pun terjadi perubahan
karena ia ini sibuk sendirinya melihat serangan-serangannya yang tidak memberi hasil,
walaupun ia bisa menusuk dengan tepat, hingga di lain saat, kegesitannya mulai
berkurang, napasnya pun mulai memburu.
Thia Tjeng Tiok pun telah perhatikan jalannya pertempuran.
"A Kioe, kembali!" ia teriaki gadisnya. "Tie Pehhoe telah menang!"
Nona itu dengar kata, ia lantas putar tubuhnya, untuk mundur.
Tetapi Tie Hong Lioe desak ia.
"Setelah kau tusuk aku berulang-ulang, kau masih berniat menyingkir?" dia membentak.
Dia tetap bergerak ayal akan tetapi A Kioe toh seperti kena dikurung, ia tak dapat terus
mundur.
Tangannya jago she Tie ini pun mulai merah sekarang.
Tjeng Tiok ambil sebatang bamboo dari tangannya satu orangnya, dia serukan: "Semua
berhenti!"
Justeru itu, See Thian Kong yang geraki kipasnya, maju, untuk serang ketua Tjeng Tiok
Pay ini, malah dia arah jalan darah, hingga mau atau tidak, Tjeng Tiok mesti tangkis
serangan mendadak ini. Malah ia mesti melayani terus, hingga ia tak bisa pecah tubuh,
untuk tolongi puterinya. Ia tahu, orang she See ini liehay, ia mesti waspada.
Di pihak sana, A Kioe sudah mandi keringat, bertetes-tetes, air keringat jatuh dari
kepalanya, sedang kedua tangannya sangat repot membela diri dari desakannya Hong
Lioe.
Sekonyong-konyong saja Sin Tjie menjerit-jerit bagaikan orang edan-tolol: "Ayo! Tolong!
Tolong!" Dan kudanya kabur ke tengah kalangan, kea rah Thia Tjeng Tiok dan See Thian
Kong, hingga mereka ini, mau atau tidak, mesti pisahkan diri.
Sin Tjie bercokol di atas kuda dengan tubuh limbung, kedua tangannya dipakai memeluki
leher kuda, agaknya ia seperti mau jatuh, akan tetapi, sesudah miring dan merosot ke
bawah perut kuda, ia berhasil perbaiki diri, duduk pula di atas bebokong kudanya. Kuda itu
sendiri terus berlarian, seperti lagi kalap. Kemudian binatang itu lari ke arah A Kioe dan
Hong Lioe, hingga sekejab saja, dia telah pisahkan kedua orang yang lagi bertempur seru
itu, malah sekarang, dia mau berhenti berlari-lari, berdiri di antara kedua musuh itu.
Sin Tjie lekas-lekas merosot turun dari kudanya.
"Sungguh berbahaya! Sungguh berbahaya!" ia ngoceh sendirinya. "Inilah yang dibilang
lolos dari kematian...Eh, binatang, apakah benar kau maui jiwanya majikanmu?"
Sementara itu, dengan jengah, A Kioe telah gunai kesempatan, untuk kembali ke dalam
barisannya. Dalam keadaan seperti itu, Hong Lioe tidak dapat kejar dia.
Tapi Thia Tjeng Tiok sendiri tidak mau berhenti sampai di situ.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
"See Tjeetjoe, aku masih ingin belajar kenal dengan Im-yang Poo-sie!" ia tantang pula See
Thian Kong.
"Ya, ini pun untuk pertandingan peti terakhir!" sahut orang she See itu.
Maka tak tempo lagi, keduanya bertempur pula. Tadi mereka bertempur sampai beberapa
puluh jurus tanpa ada keputusannya, sekarang ini mereka cari keputusan itu. Maka
keduanya bertarung dengan hebat sekali.
Sepasang toya bamboo dari Thia Tjeng Tiok ada panjang, permainan silatnya pun liehya,
ia mmembuat lawannya dengan senjata kipasnya tak mampu dekati padanya.
Tatkala itu matahari yang merah sudah mulai doyong ke barat, beberapa rombongan gaok,
dengan suaranya yang berisik, mulai terbang pulang ke hutan.
Setelah berjalan lagi beberapa puluh jurus, See Thian Kong mulai keteter, gerak-gerakan
kakinya telah menjadi kacau.
Tie Hong Lioe lihat keadaan itu, ia lantas berseru: "Kedua pihak sama tangguhnya,
keputusan menang dan kalah sukar diambil, maka itu peti ini baiklah dibagi dua saja
dengan rata!"
Justeru itu, Thia Tjeng Tiok telah perdengarkan suara tawa yang panjang membarengi
sapuan senjatanya yang istimewa itu.
Atas serangan ke bawah itu, See Thian Kong apungi diri untuk berlompat menyingkir,
akan tetapi Tjeng Tiok berlaku sangat sebat, setelah gagal sapuan yang pertama, ia ulangi
itu selagi lawannya belum sempat injak tanah, dari itu tak ampun lagi, sebelah kakinya
lawan itu kena tersapu, tubuhnya menjadi limbung, lantas saja dia rubuh.
Sesudah sang lawan jatuh, Thia Tjeng Tiok tidak menyerang lebih jauh, dia malah tarik
pulang senjatanya. Tapi See Thian Kong telah kertak gigi saking malu dan mendongkol,
sambil rebah ia tekan pesawat rahasia pada kipasnya itu, yang ia tujukan ke bebokongnya
si orang she Thia, yang telah memutar tubuh, maka lima batang paku rahasia lantas
menyerang ketua dari Tjeng Tiok Pay itu tanpa dia ini ketahui atau sempat berkelit, hingga
semua lima-limanya paku nancap di bebokongnya itu.
Tjeng Tiok kaget, apapula kapan ia rasai bebokongnya lantas ngilu dan baal, insyaf pada
bahaya, ia segera menahan napas, ia tak mau bicara, kemudian dengan satu lompatan, ia
dekati lawannya itu yang curang, untuk totok dia dua kali dengan ujung galanya. Ia arah
perut lawan, ia telah gunai sisa tenaganya, atas mana, See Thian Kong semaput seketika
itu juga.
Sejumlah berandal dari Shoatang hunus senjata mereka, mereka maju untuk tolongi ketua
mereka, akan tetapi belum sampai mereka datang dekat, Thian Tjeng Tiok sudah tak kuat
pertahankan diri, dia rubuh celentang. Hebat adalah kesudahan dari itu, sebab lima batang
paku rahasia di bebokongnya mengenai tanah, hingga dia jadi tertumblas lebih dalam.
A Kioe lompat kepada ayahnya, untuk mengasih bangun.
Melihat tubuhnya ketua mereka, yang tak ketahuan masih hidup atau sudah terbinasa,
orang-orang Tjeng Tiok Pay jadi kalap, tidak ayal lagi, mereka maju menyerang
rombongan berandak dari Shoatang itu, hingga mereka jadi bertempur secara hebat dan
kalut.
"Lekas suruh saudara-saudara itu berhenti bertempur!" serukan Tie Hong Lioe kepada
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
hoe-tjeetjoe dari Ok Houw Kauw, yang lengannya ia sambar.
Tam Hoo-tjeetjoe menurut, ia perdengarkan terompetnya.
Titah ini ditaati kawan-kawan, sekejab saja semua berandal dari Shoatang undurkan diri.
Pihak Tjeng Tiok Pay juga bunyikan pertandaan mereka, yang membikin anggautaanggauta
mereka mundur juga.
Itulah A Kioe, yang beirkan tandanya, karena itu waktu, ia dapatkan ayahnya sudah sadar,
hingga ia anggap, satu pertarungan kacau balau tidak ada faedahnya, sedang juga pihak
sana sudah bunyikan terompet.
Tie Hong Lioe lantas majukan diri, akan berdiri di tengah-tengah kedua pihak.
"Baiklah kedua pihak jangan merusak perdamaian!" dia berseru. "Mari kita mulai membagi
bagian! Tentang perselisihan, kita akan damaikan secara perlahan-lahan!"
Tam Hoo-tjeetjoe segera perdengarkan suaranya: "Peti terakhir ini ada bagian kami!"
"Muka tebal!" berseru pihak Tjeng Tiok Pay. "Sudah kalah bertempur, masih berlaku
curang! Apakah ini namanya satu enghiong?"
Kedua pihak lantas saling damprat, lalu akhirnya mereka hunus pula senjata masingmasing.
"Baiklah, peti itu dibuka, isinya dibagi rata!" lagi-lagi Tie Hong Lioe berseru.
Ata situ, orang-orang kedua pihak hendak maju berbareng.
"Tunggu dulu!" A Kioe berseru. "Peti yang kedelapan akulah yang menangkan akan tetapi
aku tak inginkan itu, aku hendak hadiahkan kepada itu tuan tetamu! Aku larang siapa juga
raba peti itu!"
"Eh, kenapa begitu?" tanya Tie Hong Lioe.
"Apabila kudanya dia itu tidak binal, pasti aku telah rubuh di tangan kau, Tie Pehhoe,"
sahut si nona. "Maka hendak aku menghadiahkannya kepadanya!"
Tie Hong Lioe tertawa.
"Nyata kau kenal budi-kebaikan!" kata dia. "Baik, kau ambillah itu! Ingat, semua peti sudah
ada tandanya, jangan salah ambil!"
Selagi orang hendak angkut peti-peti, mendadak Sin Tjie berseru: "Hai, tuan-tuan, kamu
hendak perbuat apa?" demikian suaranya.
A Kioe tertawa cekikikan.
"Eh, kau masih belum tahu?" katanya. "Kita hendak angkut peti-peti itu!"
"Oh, begitu?" kata Sin Tjie. "Tak sanggup aku terima budi-kebaikan itu! Kamu lihat sendiri,
aku telah sewa kereta yang besar untuk mengangkutnya!..."
"Tetapi kita bukannya hendak tolongi kau mengangkutnya!" kata A Kioe, yang tertawa
pula. "Kita hendak mengangkut untuk kita sendiri!..."
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
"Hei, inilah aneh!" seru Sin Tjie. "Peti ini toh kepunyaanku?"
Lalu terdengar ejekannya seorang Shoatang: "Ini anak muda bangsawan cuma kenal
gegares, buat apa dia banyak omong?" Dan dia maju, untuk angkat peti yang menjadi
bagiannya.
"Eh, tunggu dulu!" Sin Tjie mencegah. "Tak dapat kau ambil ini!"
Ia terus loncat naik ke atas peti itu, ketika sebelah kakinya digeraki, orang itu, yang
tubuhnya besar, terpelanting rubuh! Ia pun lantas menjerit-jerit: "Tolong! Tolong!"
Tubuhnya sendiri limbung, seperti yang hendak terpelanting dari atas peti.
A Kioe sangka orang ini semberono, dia lompat maju untuk sambar tangan orang, guna
ditarik, dan cegah dia itu jatuh, separuh mengomeli, dia kata: "Ah, kau sangat
semberono!...."
Kawanan berandal menyangka pemuda ini benar-benar semberono, bahwa tendangannya
tadi bukan disengaja, dari itu, mereka hendak maju pula, guna ambil peti bagian mereka
masing-masing.
"Sabar, sabar!" Sin Tjie berseru pula, seraya ia ulap-ulapkan kedua tangannya. "Tuan-tuan
hendak ambil semua petiku ini, hendak diangkut kemanakah?"
"Kami hendak bawa pulang masing-masing!" jawab A Kioe.
"Habis, bagaimana dengan aku?" tanya Sin Tjie pula, dengan sikapnya tolol-tololan.
"Hai, mengapa kau begini bodoh?" kata si nona sambil tertawa. "Baiklah kau lekas
berangkat pulang, jangan kau mencoba antari jiwamu di sini...."
"Kau benar juga," jawab Sin Tjie seraya manggut. "Baiklah, aku nanti bawa pulang
sepuluh petiku ini...."
Tapi sikapnya ini membuat gusar orang yang tadi ia kena tendang.
"Kau pergilah!" dia membentak seraya dia tolak pundaknya si pemuda.
Tapi, belum dia tutup mulutnya, atau tahu-tahu bebokongnya telah kena dijambak Sin Tjie,
dengan satu semparan saja, tubuhnya terlempar ke atas sebuah pohon, hingga dia mesti
rangkul cabang-cabang pohon itu apabila ia tak ingin terjatuh. Saking ketakutan, dia lantas
menjerit-jerit.
Baru sekarang semua penjahat melongo, karena nyatanya, pemuda tolol itu
berkepandaian tinggi.
Ketika itu, Thia Tjeng Tiok telah sadar benar-benar, ia insyaf lukanya hebat, maka ia sudah
pikir untuk angkat kaki dengan bawa peti-peti bahagian pihaknya sendiri, akan tetapi
kapan ia saksikan liehaynya si anak muda, ia terperanjat.
"Mari!" ia panggil A Kioe, gadisnya, kepada siapa ia terus berbisik. "Jangan pandang
enteng pada dia itu, kau waspadalah."
A Kioe manggut. Ia pun memang merasa heran.
Segera setelah itu, terdengar suaranya si anak muda: "Kamu kedua pihak sudah berkelahi
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
setengah harian! Kamu perebuti petiku, di atas itu kamu tuliskan tanda huruf-huruf, maka
sekarang hendak aku hapuskan semua tanda itu!"
Sambil tertawa besar, pemuda ini sambar satu orang yang berdiri paling dekat dengan dia,
dia tekan jalan darah orang hingga orang itu menjadi mati kutunya, dari itu dengan
gampang ia angkat melintang tubuhnya, buat dibawa jalan mengitari semua petinya, buat
pakai tubuh atau bajunya untuk menghilangkan semua coretan huruf-huruf di atas peti,
kemudian dengan kedua tangannya, ia lemparkan tubuh itu ke atas pohon!
Kawanan dari Shoatang menjadi gusar, mereka maju, akan serang anak muda ini, akan
tetapi si anak muda dengan sabar layani mereka, tidak peduli ia bertangan kosong, tujuh
atau delapan penyerangnya dengan gampang kena dibikin terpelanting rubuh. Setelah ini,
semua penyerang mundur sendirinya. Sebab dua-dua See Thian Kong dan Thia Tjeng Tiok
terluka parah, mereka lantas hadapi Tie Hong Lioe.
"Kiranya tuan satu ahli silat!" kata ketua dari Tjian-lioe-tjhung akhirnya. "Apakah tuan sudi
beritahukan aku she dan namamu dan kau murid siapa?"
"Aku she Wan dan guruku Ong Lie Soe Ong Loo-soehoe," sahut Sin Tjie. "Guruku itu ahli
urusan kitab-kitab dan ia paling faham kedua kitab Lee Kie dan Tjoe Tjioe. Ada lagi satu
guruku ialah Lie Loosoehoe yang biasa ajarkan aku ilmu karang-mengarang...."
"Cukup!" memotong Tie Hong Lioe. "Sekarang ini bukan waktunya bicara tentang pelbagai
kitab dan ilmu mengarang! Sekarang sebutkan saja tentang gurumu, supaya kalau kita
mempunyai hubungan satu sama lain, kita mesti hormati persahabatan...."
"Itulah bagus sekali!" kata Sin Tjie dengan cepat. "Sekarang sudah tidak siang lagi,
silakan, silakan! Kami hendak berangkat...."
Hauw Tjeetjoe dari Sat Pa Kong tidak sabaran, mendengar ocehan si anak muda, ia ayun
goloknya yang besar, dipakai menabas anak muda ini. Ia telah menyerang dengan "Hong
sauw pay yap" atau "angin menyapu daun rusak".
Sin Tjie berkelit untuk serangan itu, golok lewat di sampingnya dimana Tie Hong Lioe
berdiri, hingga ketua dari Tjian-lioe-tjhung ini yang terbabat, akan tetapi orang she Tie ini
liehay, dengan gunai dua jari tangannya, telunjuk dan tengah, dia jepit bebokong golok,
dia menahan, lantas bacokan itu berhenti sendirinya.
Mukanya Hauw Tjeetjoe menjadi merah, tetapi si orang she Tie ini cuma bersenyum, terus
saja dia menoleh kepada Sin Tjie dan kata: "Dengan kepandaianku ini, bukankah ada
harganya untuk aku mendapati salah satu petimu?"
"Apakah namanya kepandaianmu ini?" tanya Sin Tjie.
"Inilah ilmu silat Kepiting Menjepit," sahut Hong Lioe. "Jikalau kau pun mengerti ilmu silat
ini, Baru aku takluk kepadamu...."
"Apa sih cepit kepiting, cepit kura-kura? Belum pernah aku lihat!" ujar si anak muda.
Tie Hong Lioe jadi gusar.
"Bukankah aku telah jepit golok yang lagi menyambar?" tanyanya. "Apakah kau buta
melek?"
"Oh, begitu?" jawab Sin Tjie dengan tenang. "Tapi kamu berdua bersekongkol, apa
anehnya? Adik Tjeng, mari! Mari kita main-main sebentar!"
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Tjeng Tjeng tertawa geli, ia jumput sebatang golok, yang terletak di tanah, lalu ia
mengancam hendak membacok si anak muda, ketika golok dikasi turun, ia sengaja
turunkan ayal-ayalan, hingga secara gampang saja, Sin Tjie bisa tanggapi itu, atas mana
kawan itu berpura-pura kerahkan tenaga, untuk berontak, buat loloskan golok dari jepitan,
tapi walaupun sampai ia berjingkrakan, golok masih tak dapat diloloskan.
A Kioe tertawa melihat dua orang itu permainkan Tie Hong Lioe, ia anggap pemandangan
itu lucu. Malah kedua pihak berandal turut tertawa juga, suara mereka riuh-rendah!
Bukan kepalang mendongkolnya Tie Hong Lioe yang dua anak muda berani permainkan ia
secara demikian - ia juga dibuat bahan lelucon - maka dengan tiba-tiba ia sambar golok
besar di tangannya Hauw Tjeetjoe dari Sat Pa Kong, untuk angsurkan itu kepada si anak
muda sambil terus menantang: "Nah, kau cobalah bacok aku, pasti kali ini aku tidak
berkongkol!"
"Baik, aku nanti bacok kau!" Sin Tjie jawab. "Tapi ingat, apabila aku bunuh orang sampai
mati, tak usah aku ganti jiwa!"
"Baik! Hati-hatilah, golok datang!" berseru Sin Tjie, yang terus saja putar tangannya untuk
membabat dengan tiba-tiba.
Hong Lioe bertambah gusar, ia lupa segala apa.
"Siapa juga yang terbinasa, dia tak usah diganti jiwanya," ia berikan perkataannya.
Tie Hong Lioe kaget bukan main, ia tak mengira golok bisa dipakai menyerang secara
demikian, walau ia sangat awas dan gesit dan bisa berkelit, tidak urung ia masih kalah
sebat, hanya untung bagi ia, yang terbabat kutung adalah kopiahnya saja.
Oleh karena anggap pemandangan itu lucu, semua berandal tertawa berkakakan.
Sin Tjie pun tertawa.
"Mana cepit kura-kuramu - eh, cingkong kepiting?..."
Pemuda ini tidak cuma tertawa, tapi juga menanya, hanya belum sampai dia menutup
mulutnya atau dia telah menyerang pula, kali ini bacokannya dari atas turun ke bawah.
Hong Lioe berkelit sambil berlompat, tapi ia masih kurang gesit, karena sesampainya di
bawah, goloknya disimpangkan sedikit, hingga sebagai kesudahan, sol sepatunya kena
terpapas kutung, hingga karenanya, ia kaget berbareng gusar.
"Aku mengerti sekarang!" berseru Sin Tjie. "Terlalu tinggi salah, terlalu rendah salah juga,
dan terlalu cepat pun kau gagal! Baiklah, aku akan menyerang di sama tengah, dengan
perlahan...."
Dan benar-benar ia membacok pula, dengan perlahan, seperti Tjeng Tjeng tadi.
Hong Lioe sodorkan tangannya yang kiri, untuk jepit golok itu, selagi berbuat demikian,
dia memikir akan gunai tangan kanannya, untuk membarengi menyerang dengan cepat,
supaya ia bisa ajar adat kepada anak muda ini. Akan tetapi dia berpikir demikian, orang
lain juga berpikir lain. Di saat goloknya hampir dijepit, dengan mendadak saja Sin Tjie
balik goloknya bagian yang tajam lalu ia menarik, maka tidak ampun lagi, dua jari
tangannya orang she Tie ini kena tergurat, darahnya lantas mengucur, coba dia tidak
cepat menarik pulang, dua jarinya itu tentulah bakal sapat kutung!
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
"Bagus!" A Kioe berseru sambil tepuk tangan.
"Tikus!" membentak Hong Lioe saking gusar. "Kau berani main-main denganku!"
Sin Tjie tidak menjawab, hanya dia lemparkan golok di tangannya itu. Tapi dia melempar
kea rah pohon dimana tadi dia lemparkan orang, orang itu lagi pegangi satu cabang, untuk
meroyot turun, tepat sekali, golok itu mengenai cabang tersebut, hingga cabang itu
kutung, hingga karenanya, orang itu jadi jatuh terguling!
Semua orang kaget dan kagum, suara mereka berisik.
Selagi begitu, Sin Tjie hampirkan petinya, untuk dilemparkan, satu persatu dan disusun,
maka di lain saat, semua peti telah merupakan satu tumpukan tinggi beberapa tumbak.
"Aku suka main-main denganmu tetapi hatiku tidak tenteram," katanya kepada Tie Hong
Lioe. "Kamu semua bangsa bangsat, aku hendak cegah kamu selagi aku berkelahi, nanti
kamu rampas peti ini!" Lantas saja ia lompat naik ke atas susunan peti itu, dari mana
sambil memandang ke bawah, ia menantang: "Mari naik, di sini kita main-main!"
(Bersambung bab ke 15)Tie Hong Lioe kaget disusun kaget. Mulanya ia lihat orang lemparlemparkan
peti-peti yang berat, ia heran untuk tenaga besar dari si anak muda. Habis itu ia
saksikan cara berlompatnya Sin Tjie, yang demikian enteng dan pesat, ia kagum tak
terkira. Dia tidak tahu anak muda itu, yang lihat dirinya menghadapi terlalu banyak lawan,
sengaja pertontonkan ilmu entengkan tubuhnya yang sempurna yang ia peroleh dari Bhok
Siang Toodjin. Itulah dia ilmu "Pek pian kwie eng" atau "bajangan iblis berubah seratus
macam".
"Jikalau kau berani, kau turunlah!" Hong Lioe tantang pemuda itu. Ia berbuat begini
karena ia insyaf ia tak sanggup lawan ilmu entengkan tubuh orang yang sempurna itu.
"Jikalau kau berani, kau naiklah!" Sin Tjie balas menantang.
Hong Lioe bertindak menghampirkan peti-peti besi itu, ia lantas memeluk, untuk digoyang,
dengan pengharapan peti-peti itu bergoyang-goyang, supaya si anak muda limbung dan
jatuh karenanya.
Benar-benar tubuhnya anak muda itu menjadi limbung, lantas saja dia terjatuh, akan tetapi
begitu lekas kakinya injak tanah, ia menyambar Hong Lioe dengan gerakan "Tjhong eng
kim touw" atau "Garuda terkam kelinci". Ia gunai tangannya yang kiri.
Hong Lioe tangkis serangan itu, dia pakai tangan kanan. Tapi justeru tangan kanannya
diulur, Sin Tjie sambar itu, dicekal di bagian nadinya, lalu sebelum dia tahu apa-apa,
tubuhnya telah terangkat naik, dari mulut si anak muda pun terdengar seruan: "Bangun!"
Dia sebenarnya bertubuh besar, tubuhnya itu berat sekali, akan tetapi dia jadi seperti
dengar kata, tubuhnya terangkat naik, terlempar ke atas susunan peti-peti di atas mana
lantas saja ia berdiri dengan limbung, sebab peti pun bergoyang-goyang....
Kawanan penjahat kaget berbareng merasa lucu, hingga akhirnya mereka pada tertawa,
sedang si orang she Tie sendiri nampaknya sangat bingung dan kuatir, dengan susah
payah dia mencoba akan mengatasi diri, supaya ia bisa berdiri tetap.
"Jikalau kau berani, kau turunlah!" Tjeng Tjeng menggoda.
A Kioe ingat, itu adalah kata-katanya Hong Lioe tadi. Ia bersenyum.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Melihat semua itu, See Thian Kong lantas berseru: "Tam Hiantee, kurunglah itu bocah! -
lebih dahulu, singkirkan dia!"
Hoe-tjeetjoe itu kena disadarkan seruan orang she See ini, tidak lambat lagi, ia tiup
terompetnya, maka semua berandal dari Shoatang hunus senjata mereka masing-masing,
semua maju ke arah Sin Tjie, untuk kepung anak muda ini.
Menampak ancaman itu, A Pa bersama-sama Tjeng Tjeng dan Ang Seng Hay dekati si anak
muda, maka itu ketika kawanan berandal mulai menyerang, mereka bisa lantas menangkis.
Seng Hay bersenjatakan golok, Tjeng Tjeng bergegaman pedang, tetapi A Pa, si empeh
gagu, bertangan kosong, dan yang belakangan ini main cekuk sesuatu penyerangnya,
untuk lempar-lemparkan tubuh mereka satu demi satu, hingga semua berandal jadi heran,
hingga mereka jeri untuk mendekatinya. Mereka pun takut serang Sin Tjie, yang berkelahi
seperti si empeh gagu itu - dengan tangan kosong juga!
Sambil berkelahi, Sin Tjie berlompat, hingga ia dapati See Thian Kong, siapa sedang rebah
di tanah dengan dua orang jagai padanya. Dua orang ini lihat musuh datang, yang satu
menyambut dengan goloknya, yang satu lagi segera gendong ketuanya, untuk diajak
menyingkir.
Atas serangan golok, Sin Tjie berkelit sambil mendak, kakinya bertindak terus, setelah
molos dari serangan, ia sampai kepada penjahat yang satunya, yang gendong Thian Kong,
begitu lekas ia jambret pundak orang, penjahat itu menjerit kesakitan, hingga lantas saja
dia lepaskan ketuanya, maka dengan leluasa, pemuda kita tanggapi si orang she See,
tubuh siapa ia kempit, untuk dibawa lari ke kereta besar, ke atas mana dia lompat
bersama.
"Hai, kamu sayangi atau tidak jiwanya dia ini?" dia berseru pada semua berandal.
Semua berandal itu menjadi melongo, tidak ada satu juga yang berani bergerak.
Sin Tjie memberi tanda kepada A Pa, lantas si empeh gagu menyerbu ke kalangan Tjeng
Tiok Pay.
Orang-orang Tjeng Tiok Pay berdiam sedari tadi, menampak datangnya orang ini, mereka
angkat senjata mereka, untuk meirntangi, akan tetapi A Pa telah dapatkan pelajarannya
Bok Djin Tjeng, dia tak takuti alat-senjata orang banyak itu, dia maju terus hingga ia dapat
dekati Thia Tjeng Tiok.
Dari tempatnya yang tinggi, Sin Tjie awasi A Pa, yang segera bakal berhasil, ia merasa
girang, akan tetapi tiba-tiba, ia tampak A Kioe, yang peluki tubuh ayahnya, numprah di
tanah sambil menangis menggerung-gerung, hingga ia berbalik menjadi kaget. Ia insyaf,
apabila si ketua menutup mata, sulit untuk ia urus anggauta-anggauta Tjeng Tiok Pay itu.
Maka ia lantas berseru: "Seng Hay! Lekas panggil pulang saudara A Pa!"
Seng Hay menurut, segera ia tinggalkan musuh-musuhnya, akan hampirkan si empeh
gagu, di depannya dia ini, dia pun buat main kedua tangannya, atas maa A Pa segera
menoleh kepada si anak muda.
Sin Tjie geraki tangannya dengan cepat.
Melihat tanda itu, A Pa lantas kembali, akan hampirkan si anak muda.
"Pegang dia ini!" kata Sin Tjie, yang serahkan See Thian Kong yang keadaannya seperti
setengah hidup dan setengah mati.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
A Pa sambuti itu orang tawanan.
Sin Tjie terus lari kepada A Kioe.
"Bagaimana?" tanyanya.
"Soehoe mati!...." jawab si nona sambil menangis.
Sin Tjie periksa hidung orang, yang telah tidak bernapas, akan tetapi kapan ia pegang
dadanya ia rasai jantung yang masih memukul perlahan-lahan.
"Jangan kuatir, aku nanti tolong dia!" ia bilang.
Sin Tjie baliki tubuhnya Thia Tjeng Tiok, hingga ia bisa lihat lima batang paku yang nancap
di bebokongnya, ialah sebab utama dari kecelakaannya jago itu tak perduli dia sebenarnya
liehay dan tangguh. Untungnya darah sudah tidak keluar lagi.
Tidak ayal lagi Sin Tjie totok jalan darah thian-hoe-hiat dan yong-tjoan-hiat orang,
menyusul mana darahnya jago itu lantas mulai jalan pula, maka selang sedikit lama, ia
mulai sadar, kedua matanya bisa dibuka.
Bukan kepalang girangnya A Kioe.
"Soehoe! Soehoe!" ia memanggil, berulang-ulang.
Tjeng Tiok dengar itu, ia ingat akan dirinya, ia manggut-manggut.
"Jadi dialah gurumu?" tanya Sin Tjie. "Aku sangka dia adalah ayahmu."
Si nona manggut.
"Terima kasih untuk pertolongan kau," ia mengucapkan.
Sementara itu, A Pa dengan diikuti Tjeng Tjeng dan Ang Seng Hay dengan pondong
tubuhnya See Thian Kong, sudah campuri diri dalam rombongan Tjeng Tiok Pay.
Kawanan berandal Shoatang yang lihat pemimpinnya kena ditawan, sudah lantas maju
untuk menolongi, akan tetapi percobaan mereka dirintangi oleh pihak Tjeng Tiok Pay,
hingga karenanya, mereka kedua pihak jadi bertempur dengan hebat, hingga dalam tempo
pendek telah ada korban-korban jiwa dan terluka.
"Jikalau pertempuran ini berlanjut lagi sekian lama, mesti rubuh lebih banyak korban,"
kata Tjeng Tjeng kepada Sin Tjie.
Si anak muda tidak menyahuti, dia Cuma bersenyum.
Sedang asyiknya pertempuran berlangsung, Tie Hong Lioe yang masih berada di atas
susunan peti besi telah terdengar seruannya: "Celaka! Tentara negeri mendatangi! Ribuan
jumlah mereka! Lekas mundur! Oh, puluhan ribu jumlah mereka! Mundur, lekas mundur!
Lekas!"
Tjhungtjoe dari Tjian-lioe-tjhung ini berada di tempat tinggi, tidak heran apabila dialah
yang dapat melihat paling dulu.
Semua orang kaget, dengan sendirinya berhentilah mereka berkelahi, semua mengawasi
dengan bengong ke arah dari mana katanya tentara negeri mendatangi.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Dari jurusan tersebut segera tertampak mendatangnya tiga penunggang kuda, kemudian
ternyata, mereka ini terdiri dua dari pihak berandal Shoatang, yang satu dari Tjeng Tiok
Pay. Hampir berbareng, bertiga mereka perdengarkan seruan: "Tentara negeri
mendatangi!"
Tie Hong Lioe jadi nekat, dengan beranikan diri, dia lompat turun dari susunan peti besi,
sesampainya ia di tanah, ia rubuh hingga ia bergulingan tiga kali, Baru ia dapat bangkit
berdiri, dengan merasai sakit sekali kepada kedua kakinya, tetapi tanpa perdulikan itu, ia
sambar seekor kuda untuk dinaiki, untuk segera ajak kawan-kawannya angkat kaki dari
situ.
Sin Tjie sambar tubuhnya See Thian Kong, untuk dilemparkan kepada kawan-kawannya,
maka kawanan berandal itu tolongi pemimpinnya, untuk dikasih naik di atas bebokong
kuda, buat segera dibawa kabur ke dalam rimba.
Pihak Tjeng Tiok Pay juga perdengarkan suitan berulang-ulang, habis itu mereka tolongi
kawan-kawan mereka yang terluka, lalu tetap dalam empat barisan, mereka undurkan diri
dengan lekas. Maka di lain saat, sunyi-senyaplah medan pertempuran itu dimana
ketinggalan saja Sin Tjie serta rombongannya.
Lantas si anak muda berlaku sebat. Ia lompat naik ke atas susunan peti, untuk lempar itu
turun satu demi satu, di bawah, A Pa menyambutinya, untuk dimuatkan ke kereta mereka.
Tjeng Tjeng tertawa atas kesudahannya kekalutan itu.
"Banyak orang telah menjadi korban, tetapi uang kita, satu tjhie pun tidak lenyap!" katanya
dengan gembira dan puas.
Tidak antara lama terdengarlah suara terompet disusul berisiknya banyak kuda, kemudian
terlihat satu pasukan tentara lagi mendatangi.
"Di sana ada tentara negeri, kawanan berandal tentu tak berani muncul pula," kata Sin Tjie.
"Mari kita lanjuti perjalanan kita!"
Walaupun ia mengucapkan demikian, pemuda ini toh mesti periksa dulu rombongannya,
yang tidak kurang suatu apa, dari itu sebelum mereka sempat berangkat, pasukan negeri
mendahului sampai di antara mereka.
"Kamu bikin apa?" tanya satu perwira yang bersenjatakan golok panjang. Dia ini pimpin
dua ratus serdadu, yang terpecah dalam dua barisan.
"Kami penduduk baik-baik yang sedang bikin perjalanan," sahut Sin Tjie.
"Kenapa di sini ada tanda-tanda darah, dan pelbagai alat-senjata?" tanya pula perwira itu.
"Barusan ada penjahat pegat kita, lantaran datangnya tentara negeri, mereka kabur
sendirinya," sahut Sin Tjie pula.
Sementara itu, muncul satu pasukan tentara lain, yang lantas menyerbu ke dalam rimba,
untuk kejar kawanan berandal.
Perwira tadi melirik kedalam kereta dimana mereka lihat peti-peti besar.
"Barang-barang apakah itu?" tanyanya dengan tawar.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
"Itulah barang-barang keperluan kami sehari-hari."
"Coba buka, aku hendak lihat!"
"Semuanya pakaian, tidak ada lainnya."
"Aku perintah buka, kau mesti buka! Perlu apa banyak mulut?"
"Kami tak bawa barang-barang haram, untuk apa dilihat?" Tjeng Tjeng campur bicara.
"Hei, bocah, kau kurang ajar!" bentak perwira itu. Dan cambuknya melayang.
Tjeng Tjeng berkelit untuk sabetan itu.
Perwira itu percaya, isinya peti mesti barang-barang berharga, dalam sedetik itu
muncullah hatinya yang temaha.
"Hei, bocah, kau berani melawan?" dia bentak pula, untuk gunai ketikanya. "Hayo,
saudara-saudara, sita barang-barang itu!"
Untuk rampas milik rakyat jelata, tentara itu biasanya tidak berayal, maka itu begitu dengar
titah "mensita", segera mereka meluruk ke arah kereta.
Si perwira tak berhenti sampai di situ, karena ia tahu, ada kemungkinan Sin Tjie beramai
nanti majukan pengaduan kepada pembesar terlebih atas, maka kembali dia berseru:
"Kawanan berandal ini berani lawan tentara negeri, bunuh mereka semua!"
Lalu ia mendahului angkat goloknya, untuk dipakai menyerang.
Sin Tjie jadi gusar.
"Coba kita bangsa lemah, apa kita tidak bercelaka?" dia pikir sambil kelit dari bacokan,
setelah mana ia membarengi lompat untuk hajar bebokong orang.
Perwira itu hanya satu orang peperangan biasa saja, dalam kesebatan ia kalah jauh dari si
anak muda, maka itu, dengan gampang ia kena dihajar, hingga tubuhnya lantas rubuh
terjungkal dari atas kudanya, malah jiwanya pun melayang dalam sekejab!
Menampak itu, semua serdadu menjadi kaget, lantas mereka berteriak-teriak: "Penyamun
merampas angkutan! Penyamun rampas angkutan!"
Sementara itu Tjeng Tjeng bersama A Pa dan Seng Hay telah labrak buyar barisan serdadu
itu, yang lari serabutan ke empat penjuru, akan tetapi di belakang mereka itu ada lagi satu
pasukan besar, maka Sin Tjie, yang rampas goloknya si perwira, maju untuk mencoba
menahan, sedang Tjeng Tjeng bertiga ia perintah lindungi kereta-kereta mereka untuk
berlindung masuk ke dalam rimba.
Di dalam rimba sendiri, sementara itu, telah terjadi pertempuran di antara tentara negeri
dan kawanan penyamun dari Shoatang yang bersatu dengan rombongan Tjeng Tiok Pay,
akan tetapi belum terlalu lama, pihak negeri bisa mendesak, hingga musuh-musuhnya
terpaksa mundur.
Sambil bereskan kereta-keretanya Sin Tjie saksikan pihaknya See Thian Kong dan Thia
Tjeng Tiok lagi terancam bahaya, terutama disebabkan kedua pemimpin itu sendiri tidak
berdaya.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
"Bagaimana?" tanya Tjeng Tjeng.
"Kita bantu berandal! Kita basmi tentara negeri!" Sin Tjie menjawab dengan cepat.
"Benar!" berseru si nona dalam penyamaran.
"Tetapi kau berdiam di sini, untuk lindungi harta kita," Sin Tjie bilang.
Tjeng Tjeng menjadi dengar kata.
"Baik!" ia manggut.
Maka bertiga bersama A Pa dan Ang Seng Hay, ia kitari kereta-kereta mereka, untuk
dilindungi, tatkala tentara negeri datang menyerbu, mereka pukul mundur, hingga
kesudahannya, tentara negeri itu jadi jeri, mereka tak berani merangsek pula.
Sin Tjie panjat pohon, akan mengawasi ke arah kawanan berandal, dengan begitu ia bisa
saksikan A Kioe serta beberapa tauwbak dari Tjeng Tiok Pay sedang terkurung hebat oleh
tentara negeri, maka untuk tolong mereka, ia loncat turun dari pohon, ia menyerbu ke
dalam medan pergulatan, sampai ia berhasil mendekati si nona, malah ia datang disaat
yang tepat, selagi dua batang tumbak menikam nona itu, dari itu dengan sebat ia
menalangi menangkis.
"Lekas mundur ke bukit sebelah barat!" ia teriaki.
A Kioe melengak atas datangnya bantuan ini, hingga ia tak tahu satu perwira bacok ia
secara hebat.
Kembali Sin Tjie tolong si nona. Dia rampas golok musuh, untuk dipatahkan, si perwira
sendiri ia tonjok dadanya hingga dia muntah darah, tubuhnya rubuh seketika.
A Kioe sadar, segera ia tiup suitannya, kemudian ia beri tanda untuk kawan-kawannya
mundur ke arah barat, seperti ditunjuki Sin Tjie. Si anak muda sendiri mondar-mandir
dengan bengis, untuk tahan tentara negeri yang mencoba mendesak.
Kawanan penyamun dari Shoatang juga turut mundur ke barat, setiap kali ada diantaranya
yang dirintangi tentara negeri, Sin Tjie maju menolongi, dengan begitu, mereka bertempur
sambil mundur, hingga mereka sanggup mendaki bukit.
Kemudian, dibantu oleh sejumlah berandal, Sin Tjie pergi sambut Tjeng Tjeng bertiga serta
kereta mereka, untuk menyingkir ke bukit barat itu, hingga mereka ketiga pihak, jadi
bersatu. Tentara negeri cuma bisa kurung mereka dari bawah bukit, mengurung sambil
berteriak-teriak saja.
Sin Tjie mengatur terlebih jauh. Ia pasang barisan panah di sebelah depan. Kawanan
berandal, dengan sendirinya, suka taati segala titahnya. Maka itu, ketika tentara negeri
mencoba mendaki gunung, mereka dipukul mundur dengan hujan anak panah, hingga
selanjutnya mereka tidak berani mencoba naik pula.
Dengan titahnya Sin Tjie, Hoe-tjeetjoe Tam Boen Lie bersama-sama Tie Hong Lioe dan A
Kioe pergi bantui Seng Hay beramai membikin penjagaan. Semua berandal telah dipecah
dalam dua rombongan, hingga ada sebagian yang dapat beristirahat, untuk sekalian
tolongi mereka yang terluka.
Sin Tjie lantas tolongi Thia Tjeng Tiok dan See Thian Kong, dengan bergantian, ia uruti
mereka itu hingga mereka tertolong dari ancaman bahaya maut, darah mereka jalan pula
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
seperti biasa begitupun napas mereka, yang tadinya sudah sesak. Karena ini, berdua
mereka dapat rebahkan diri dan tidur dengan nyenyak.
Kedua pihak berandal jadi bersyukur kepada anak muda ini, yang tolongi pemimpinpemimpin
mereka.
"Jumlah tentara negeri terlalu besar untuk kita, tak dapat mereka dilayani dengan tenaga,
mesti dengan daya-upaya," kemudian Sin Tjie bilang kepada Tjeng Tjeng.
"Benar!" sahut si nona. "Habis kau hendak gunai daya apa?"
Sin Tjie tidak menyahuti, dia hanya berpikir, akan akhirnya dia panggil satu penyamun
yang kenal baik keletakan tempat mereka ini; sembari tanya ini dan itu, iapun senantiasa
mengawasi ke arah tentara negeri. Maka kesudahannya ia dapat lihat, di arah belakang
dari tentara negeri itu, ada sejumlah besar kereta-kereta yang rupanya bermuatan berat.
Tiba-tiba saja ia ingat suatu apa, lantas ia lompat kepada Tjeng Tjeng.
"Bukankah tadi tentara negeri itu sebut-sebut angkutan?" ia tanya.
Sebelum si nona menjawab, Tie Hong Lioe sudah mendahului. Dia ini Baru saja datang
untuk beristirahat.
"Itulah artinya angkutan uang untuk ke Pakkhia," demikian jawabannya. "Sungguh tidak
beruntung bagi kita, di sini kita bertemu mereka itu..."
"Mengapa angkutan uang Negara memerlukan tentara pengiring demikian besar?" tanya
Sin Tjie.
Sekarang ini keamanan sedang sangat terganggu, di pelbagai gunung ada saja
penyamunnya, maka itu, untuk angkutan yang selamat, iring-iringannya mesti besar,"
Hong Lioe terangkan lebih jauh. "Sekarang pemerintah sangat memerlukan uang dan
rangsum dari Kanglam, terutama sebab Kaisar Tjong Tjeng mesti hadapi musuh bangsa
Boan di Liauw-tong dan pemberontakannya Giam Ong dan lainnya. Maka juga angkutan
uang ini adalah jiwanya...."
"Jikalau begini, barisan serdadu iring-iringan ini terlalu usil," Sin Tjie bilang. "Tugas
mereka berat, mengapa mereka masih ambil kesempatan untuk ganggu kita?...."
"Mestinya mereka anggap kita gampang dikalahkan," Hong Lioe bilang. "Jikalau mereka
bisa labrak kita atau menawan beberapa di antara kita, bukankah itu artinya jasa besar?"
Sin Tjie manggut-manggut.
"Di barat-utara sana ada satu mulut selat," kata ia kemudian, "mari kita nerobos keluar dari
sana."
Tie Hong Lioe bersedia untuk turut usul itu.
"Silahkan Wan Siangkong menitahkannya," katanya.
Sin Tjie mencorat-coret di tanah, ia berpikir, habis itu, ia lantas berikan titah-titahnya buat
bersiap untuk sebentar malam.
Tepat pada jam yang telah ditetapkan, dibarengi teriakan mereka riuh-rendah, kawanan
berandal bergerak untuk turun bukit, buat menerjang turun. Sebagai pembuka jalan adalah
Sin Tjie berdua A Pa, si empeh gagu.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Tentara negeri sudah lelah, kapan mereka lihat serbuan, mereka coba merintangi, tetapi
sebentar saja, barisan mereka sudah dapat ditobloskan, dengan begitu, rombongannya
Sin Tjie semua bisa molos. Masih mereka mencoba mengejar, atau segera mereka dilawan
oleh barisan belakang penyamun. Nyata ini adalah siasat saja, untuk mencegah tentara
negeri itu, sebab apabila semua rombongan sudah memasuki selat, sejumlah penyamun
itu lari kabur, akan susul rombongan mereka.
Tentara negeri menguber sampai di mulut selat, lantas mereka tidak berani mengejar terus
akan masuk terlebih dalam, sebab orang yang menjadi pemimpinnya dapatkan, kedua
belah selat tinggi dan berbahaya, hingga mereka jadi kuatirkan tentara sembunyi musuh.
Selagi tentara negeri berkumpul dan mengawasi ke dalam selat, tiba-tiba sebuah peti
besar jatuh dari sisi lamping bukit, jatuhnya dengan terbuka tutupnya, maka isinya lantas
saja terlempar berantakan. Yang membuat kaget dan herannya tentara negeri adalah isi itu
yang banyak sekali barang permata, yang berkilauan di antara cahaya obor.
Pemimpin tentara negeri itu adalah satu tjongpeng atau brigade-jenderal, dia pun kaget
tetapi kaget berbareng girang.
"Lekas maju!" ia titahkan. "Rampas semua peti itu!"
Perwira ini timbul keserakahannya hingga ia lupakan bahaya.
Tentara negeri itu lantas maju, bukan untuk mengejar, hanya untuk berebutan memunguti
pelbagai barang permata dan uang, hingga barisan mereka menjadi kalut tanpa
pemimpinnya dapat kendalikan pula mereka.
Sin Tjie sendiri, yang ambil jalan di atas lamping, telah menuju ke arah belakang pasukan
Negara, hingga ia bisa datang dekat kepada rombongan kereta-kereta angkutan yang
berlerot. Semua kereta dikerudungi tutup kain kuning tebal, samara-samar kelihatan
tulisan huruf-huruf yang menandakan itu adalah angkutan barang pemerintah dari
Kanglam.
Mengawasi lerotan kereta itu, Sin Tjie girang berbareng ragu-ragu. Ia girang sebab jumlah
yang besar itu, yang pasti akan berguna besar untuk pergerakan Giam Ong. Ia ragu-ragu
kapan ia ingat jumlah besar dari tentara negeri yang menjadi barisan pengiring angkutan
itu.
Dengan hati-hati pemuda ini maju lebih jauh. Karena ia sembunyikan diri di antara
pepohonan, tidak satu serdadu juga yang dapat pergoki padanya. Ia datang begitu dekat
hingga kecuali bisa melihat tegas, ia juga bisa dengar pembicaraan mereka. Kemudian ia
dengar suara lebih jelas dari kereta-kereta terbelakang, maka ia percaya, muatan keretakereta
itu bukannya uang seperti kereta-kereta terdepan. Kapan ia telah perhatikan lebih
jauh, ia dapat kenyataan itulah kereta orang-orang tawanan, dan si orang-orang tawanan
sendiri, dengan kedua tangan mereka masing-masing tertelikung ke belakang, lagi duduk
di dalam kereta kerangkeng mereka. Di atas setiap kereta nampak selembar bendera putih
yang muat tulisan yang menyebutkan nama-nama si orang perantaian, yang telah dapat
hukuman mati. Pun dibelakang setiap nama dijelaskan perantaian itu penyamun atau
pemberontak atau pengkhianat.
"Mereka harus ditolongi...." Pikir Sin Tjie. "Bagaimana aku dapat menolonginya?"
Selagi ia berpikir, ia lihat sebuah kereta kerangkeng di mana pada benderanya ada tulisan
yang memuat nama Tjouw Tiong Sioe, hingga Sin Tjie jadi kaget tidak terkira. Ia pun lantas
lihat orang yang bernama Tjouw Tiong Sioe itu ialah seorang umur lima-puluh lebih,
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
dandanannya sebagai sasterawan, rambutnya telah ubanan. Dia itu adalah bekas
ponggawa ayahnya almarhum, yang telah bergerak dan berkedudukan di Lauw Ya San. Di
belakang dia ini, di dalam beberapa kereta lainnya, ia tampak Nie Ho, Tjoe An Kok dan Lo
Tay Kan bertiga. Eng Siong tidak ada di antara mereka itu.
Selagi Sin Tjie mengawasi, kereta-kereta pesakitan itu sudah lewati dia, maka sebagai
orang Baru sadar dengan tiba-tiba, dia lari mengejar, hingga sekarang ia terlihat oleh
serdadu-serdadu pengiring. Di antara sedadu-serdadu itu sudah lantas ada yang
memanah.
Dengan kesebatannya, Sin Tjie selamatkan diri dari pelbagai anak panah itu, ia maju terus,
sampai ia dekati satu perwira yang bersenjatakan golok, yang berjalan paling belakang.
"Baik aku bekuk perwira ini untuk bikin kacau barisannya," pikir anak muda kita. "Dengan
menawan dia aku akan bisa tolongi Tjouw Siokhoe beramai..."
Belum sempat Sin Tjie bertindak, atau ia lihat debu mengepul di sebelah belakangnya dan
kupingnya dengar suara berisik dari berlari-larinya beberapa ekor kuda, karena mana, ia
lantas mengawasi, hingga ia tampak lima penunggang kuda sedang mendatangi.
"Kiranya barisan ini ada barisan penolongnya...." Pikir ia.
Dari lima penunggang kuda itu, yang kabur di muka adalah seorang perempuan. Karena
mereka datang dengan cepat, selagi dia itu lewat di sampingnya, Sin Tjie kenali Hoei-thianmo-
lie Soen Tiong Koen serta Kwie Sin Sie suami-isteri bersama Bwee Kiam Hoo dan
Lauw Pwee Seng. Ia jadi girang.
"Djie-soeko!" ia memanggil sambil lompat ke depan kudanya suami-isteri itu.
Kwie djie-nio lihat si anak muda, ia tertawa dingin.
"Oh, kau?" katanya. "Kau bikin apa di sini?"
Soen Tiong Koen dengar soebonya bicara, ia tahan kudanya dan menoleh ke belakang.
"Ada urusan penting untuk mana aku hendak mohon bantuan soeko dan soeso," sahut
Sin Tjie tanpa perhatikan sikap mengejek dari si ipar perempuan itu.
"Kami juga mempunyai urusan sangat penting, kami tak sempat!" kata nyonya Kwie
seraya terus keprak kudanya, untuk dikasih lari pula, melewati si anak muda.
"Soe-siok!" memanggil Bwee Kiam Hoo sambil beri hormat kepada paman-guru yang
muda itu, lantas ia ikuti itu guru lelaki dan perempuan.
Beda dari Kiam Hoo, Pwee Seng loncat turun dari kudanya.
"Soehoe dan soebo lagi hadapi urusan sangat penting," ia memberi tahu. "Soesiok ada
urusan apa? Baik tunggu sampai soehoe dan soebo sudah selesai, nanti aku bantui
soesiok..."
"Kalau begitu, tidak apa," jawab Sin Tjie. "Aku ingin pinjam saja kudamu, Lauw Toako."
"Silakan, soesiok," menyahut Pwee Seng dengan hormat, sambil tarik kudanya. Ia terus
berdiri di pinggiran.
"Kita naik berdua, untuk susul tentara negeri itu," Sin Tjie bilang seraya terus lompat naik
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
ke punggung kuda, diturut oleh Pwee Seng. Maka sebentar saja, mereka sudah kabur ke
depan.
"Ada urusan apa soesiok kejar tentara negeri?" Pwee Seng tanya.
"Untuk tolong orang!" Sin Tjie jawab.
"Bagus! Kami juga hendak hajar tentara itu!" berkata Pwee Seng.
Sin Tjie kaburkan kudanya sampai ia dapat candak dan lombai Soen Tiong Koen dan lihat
tentara negeri yang iringi kereta-kereta kerangkeng, masih ia jepit perut kudanya, untuk
menyusul tentara itu.
Perwira yang pimpin barisannya dengar tindakan kaki kuda di arah belakang, dia lantas
menoleh. Akan tetapi dia menoleh sesudah terlambat, karena tahu-tahu satu bajangan
menyambar ke arahnya. Dalam gugupnya, dia membabat dengan goloknya yang besar,
harapannya adalah bisa menabas kutung tubuh orang, siapa tahu Sin Tjie telah ulur
tangan kanannya, akan sambut gagang golok bagian ujung, tubuhnya sendiri mencelat
naik di bebokong kudanya si opsir, siapa ia totok dengan tangan kirinya sambil ia pun
membentak: "Kau sayangi jiwamu atau tidak?"
Opsir itu rasai ia kehabisan tenaga dalam sekejab, hingga tak dapat ia membikin
perlawanan lebih jauh.
"Kau mau hidup atau mati?" Sin Tjie ulangi bentakannya.
"Ampun, tay-ong...." Memohon si opsir.
"Kalau begitu, lekas titahkan supaya semua kereta pesakitan itu berhenti!" Sin Tjie
titahkan.
Opsir itu menurut, selagi ia berikan titahnya, rombongannya Kwie Sin Sie pun sampai,
malah mereka ini berlima sudah lantas serang tentara negeri, hingga barisannya menjadi
kalut. Kejadian ini membuat Sin Tjie menyesal, sebab tadinya ia tidak niat gunai kekerasan
terhadap pasukan tentara itu. Sekarang terpaksa ia rampas dua buah kampak besar,
dengan bawa itu, ia memburu ke kereta kerangkeng dari Tjouw Tiong Sioe, untuk kampaki
pintunya hingga menjeblak.
"Tjouw Siokhoe, aku Sin Tjie!" pemuda ini perkenalkan diri.
Tiong Sioe seperti sedang bermimpi, hingga ia berdiam diri.
Sin Tjie lantas tolongi juga Tjoe An Kok dan Nie Hoo, hingga mereka ini dapat tolongi yang
lain-lain, dan yang lain-lain lagi berebut tolongi semua perantaian lainnya, yang berjumlah
seratus orang lebih, diantara siapa lebih dari tiga-puluh orang ada anggauta-anggauta
golongan San Tjong, bekas orang-orang sebawahannya almarhum Wan Tjong Hoan.
Mereka ini girang bukan main kapan mereka dapat tahu orang yang tolongi mereka adalah
putera pemimpin mereka, maka dengan sengit mereka labrak tentara negeri, yang tadinya
iringi mereka. Maka kesudahannya, tentara negeri itu kena dipukul buyar.
Di sebelah depan, jalanan telah dirintangi dengan batu-batu besar, sukar untuk tentara
negeri lolos dari sana. Sin Tjie ketahui ini. Ia juga tahu, biar bagaimana, jumlah tentara
negeri lebih besar daripada jumlah rombongan mereka sendiri, seandai-kata tentara itu
nekat, dia orang bisa berkelahi mati-matian dan ini berarti ancaman hebat bagi mereka
sendiri, dari itu ia lantas pikir jalan pemecahan.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Sin Tjie lemparkan kampaknya, ia loncat ke atas lerotan kereta, ia berlari-lari di atasnya,
untuk maju ke depan. Ia telah lari sekira satu lie ketika ia lihat satu ponggawa, ialah
tjongpeng yang tadi, di atas kudanya sedang pimpin perlawanan. Ia cepat maju ke arah
pembesar militer itu. Dua serdadu rintangi ia tapi ia cekuk mereka, yang ia terus
lemparkan ke jurang. Kemudian, dengan kegesitannya, ia loncat ke bokong kudanya
tjongpeng itu.
Ponggawa itu tampak orang menyerbu, ia membacok, tapi sambil berkelit, anak muda kita
coba rampas goloknya.
Tjongpeng ini liehay, ia jatuhkan dirinya ke tanah, dengan begitu, goloknya tidak kena
dirampas.
"Aku tidak sangka dia liehay," kata Sintjie dalam hati. Tapi untuk tidak perlambat tempo, ia
segera menyerang dengan tiga butir biji caturnya.
Tjongpeng itu benar-benar liehay, dengan goloknya ia berhasil menyampok jatuh tiga biji
catur itu, hingga ia terlolos dari ancaman bahaya.
"Kau benar liehay! Mari coba lagi!" pikir Sin Tjie. Dan sekali ini ia menyerang pula, dengan
dua tangannya saling-susul. Kedua tangannya menggenggam tiga kali sembilan biji,
hingga tjongpeng itu diserang terus-terusan dengan dua-puluh tujuh biji. Pasti sekali ia
menjadi sibuk, mulanya ia masih bisa menangkis, lantas goloknya terlepas, segera
pahanya, pinggangnya, bebokongnya, sambungan kakinya, kena tertimpuk, hingga
kesudahannya, ia rubuh dengan lutut tertekuk!
"Tak usah pakai banyak adapt-peradatan!" Sin Tjie menggoda sambil tertawa. Ia maju,
untuk sambar bahu kiri orang, tapi dengan kepalan kanannya, tjongpeng itu menyerang
kea rah dada.
"Biarlah kau hajar aku satu kali, untuk puasi hatimu!" tertawa si anak muda. Dan ia
antapkan dadanya ditoyor.
Serangan itu tepat, akan tetapi tjongpeng itu merasakan ia lagi toyor kapas, dan ketika Sin
Tjie empos semangatnya, tenaga berbaliknya membikin tubuhnya terpental sendirinya,
terapung tinggi!
Banyak serdadu menjerit melihat keadaannya pembesar itu.
Sang tjongpeng sendiri anggap dia bakal terbinasa sendirinya, ia sudah lantas tutup rapat
kedua matanya, akan tetapi segera ia merasa ada orang cekal kedua belah bahunya,
apabila ia buka matanya, ia lihat lawannya adalah satu mahasiswa muda. Ia lantas insyaf
bahwa ia telah rubuh di tangannya seorang liehay. Ia jadi putus asa.
"Kau perintahkan semua serdadu letaki senjata, kau akan dikasih ampun!" kata Sin Tjie.
Tjongpeng ini tahu, dengan angkutannya lenyap, hukuman mati ada bagiannya, karena ini,
ia jadi nekat. Ia berseru: "Jikalau kau hendak bunuh, bunuhlah aku, tak usah kau banyak
omong!"
Sin Tjie tertawa, ia kerahkan pula tenaganya. Lagi satu kali, tubuhnya tjongpeng itu
terpental tinggi, di waktu jatuh, si anak muda tanggapi seperti tadi. Dan ia ulangi sampai
tiga kali melempar tubuh opsir itu, hingga kesudahannya, opsir ini pusing kepalanya,
berkunang-kunang matanya, sampai tak tahu ia, dirinya berada di mana....
"Jikalau kau tidak berikan titahmu, kau bakal mampus!" Sin Tjie beri ingat. "Dengan
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
begitu, tentaramu juga tidak bakal turut hidup! Maka baiklah kau menakluk kepada kami!"
Dalam keadaan sulit seperti itu, tjongpeng ini menyerah. Ia manggut.
"Ini dia yang dibilang orang yang kenal selatan!" bilang Sin Tjie.
Tjongpeng itu lantas teriaki tiga sebawahannya, untuk beritahukan mereka niatnya untuk
menakluk.
Tiga sebawahan itu kaget, muka mereka pucat.
"Kau makan gaji Negara, kau poet-tiong, poet-hauw!" satu di antaranya berseru saking
gusar.
Tapi ia tak sempat bicara banyak, Sin Tjie sambar lengannya, terus dia dibanting hingga
dia rebah dengan pingsan!
Melihat demikian, dua sebawahan itu menyatakan suka menurut.
"Nah, perintahkanlah hentikan pertempuran!" si tjongpeng memerintahkan.
Sin Tjie juga lantas kasih tanda supaya kawanan penyamun berhenti berkelahi.
"Titahkan mereka letaki senjata mereka!" kemudian Sin Tjie perintah si tjongpeng.
Dengan terpaksa, tjongpeng itu menurut, maka itu, selainnya pertempuran berakhir,
semua serdadu juga letaki senjata mereka.
Menyusul itu, lima orang menerjang kalang-kabutan, mereka serbu pelbagai peti, untuk
dibuka dengan paksa, apabila mereka dapati isinya uang belaka, mereka lemparkan itu ke
samping, mereka menggeratak terus. Tidak ada satu serdadu juga yang berani rintangi
mereka.
Lima orang itu adalah Kwie Sin Sie suami-isteri serta tiga muridnya.
"Djie-soeheng, kau cari apa?" Sin Tjie tanya selahi orang dekati dia. "Nanti aku perintah
mereka kasi keluar!"
Kwie Sin Sie angkat kepalanya, ia lantas tampak tiga opsir berdiri di antara Sin Tjie, ia
lompat ke arah mereka, dengan tiga loncatan, ia sudah datang dekat, lalu dengan tiba-tiba,
ia jambak si tjongpeng.
Pembesar militer ini kaget, apapula kapan ternyata, tak sanggup ia lepaskan diri dari
jambakan itu, hingga ia mengerti, kembali ia hadapi seorang liehay.
"Dimana adanya upeti hok-leng dan hoo-sioe-ouw dari Ma Tok-boe?" tanya Kwie Sin Sie
dengan bengis.
"Karena anggap jalan kita ayal, Ma Tok-boe telah perintah lain orang bawa itu terlebih
dahulu ke kota raja," sahut tjongpeng itu.
"Apakah kau tidak mendusta?" tanya Kwie Sin Sie.
"Jiwaku ada di tangan kau, untuk apa aku mendusta?" sang tjongpeng menjawab.
Sin Sie percaya orang omong benar, tapi toh ia masih banting tjongpeng itu.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
"Jikalau kemudian ternyata kau main gila, aku nanti kembali untuk ambil jiwamu!" dia
mengancam. Kemudian ia berpaling kepada isterinya: "Mari lekas kita susul!"
Habis mengucapkan demikian, Sin Sie segeral berlari pergi.
Nyonya Kwie empo anaknya, dia susul suaminya, selagi berlari, dia hajar beberapa sedadu
yang melintang di depannya.
Soen Tiong Koen bertiga pun segera susul gurunya itu.
Sin Tjie tahu orang sedang berpikiran kalut, ia antapkan saja soeko itu beramai berlalu.
Kemudian Baru ia tanya si tjongpeng tentang obat yang dicari soehengnya yang kedua itu.
"Itulah hok-leng dan hoo-sioe-ouw," sahut perwira itu. "Hok-leng itu besar sekali dan
didapatinya belum lama ini di dalam sebuah gunung di propinsi An-hoei diduga usianya
telah dua-ribu tahun. Dan hoo-sioe-ouw itu, yang telah berpeta manusia, yang umurnya
pun tua sekali, dapat digali di suatu tempat di Tjiatkang timur. Maka itu adalah dua macam
obat yang dipandang sebagai mustika. Ketika Tjongtok Ma Soe Eng dari Hong-yang
dengar hal kedua obat itu, dia perintah wakilnya pergi beli secara separuh paksa,
kemudian ia perintahkan satu ahli obat bikin itu menjadi dua-puluh butir obat pulung,
katanya campuran obat lainnya adalah jinsom, mutiara dan lainnya obat mahal, hingga
ongkos pembuatannya sama sekali tiga-puluh ribu tail perak. Tentang obat ini sudah
menggemparkan seluruh wilayah Kanglam, hingga banyak orang yang mengetahuinya.
"Untuk penyakit apa obat itu?" Sin Tjie tanya pula.
"Aku sendiri tidak ketahui jelas, melainkan orang bilang mustajab sekali hingga bisa
hidupkan kembali orang yang sudah mati. Juga dikatakan, siapa bertubuh lemah, asal
makan sebutir saja dari obat itu, tubuhnya akan lantas jadi sehat dan kuat."
"Inilah dia!" pikir Sin Tjie. "Anaknya djie-soeko sakit sudah lama dan belum dapat obat
yang manjur, pantaslah dia ingin dapatkan obat ini....." Lalu ia tanya pula: "Jadi obat itu
hendak dijadikan upeti oleh Ma Tjongtok?"
"Benar. Mulanya akulah yang ditugaskan bawa itu, tetapi kemudian karena aku jalan
lambat dan aku mesti antar banyak pesakitan, dia titahkan lain orang ialah Tang Piauwsoe
dari Eng Seng Piauw Kiok dari Kimleng. Itulah upeti untuk Sri Baginda."
Mendengar itu, Sin Tjie harap-harap soekonya berhasil mendapati obat itu untuk obati
puteranya yang sakitan itu.
"Sudah berapa hari sejak berangkatnya piauwsoe itu?"
"Kita berangkat bersamaan, tapi rombongan mereka Cuma belasan, mereka bisa jalan jauh
terlebih cepat. Mungkin mereka telah dului kita delapan atau sembilan hari."
Itu waktu Tjouw Tiong Sioe bersama Tjoe An Kok, Nie Hoo dan Lo Tay Kan serta orangorang
mereka telah datang berkumpul, girang mereka bukan kepalang, apapula akan
saksikan ahli warisnya Wan Tjong Hoan demikian cakap dan gagah.
Sin Tjie lantas tanyakan mereka itu tentang tertawannya mereka.
Menurut Tiong Sioe, ketika mereka dibokong di Lauw Ya San, sudah banyak orang mereka
yang bubaran, mereka sendiri bisa lolos, kecuali Eng Siong, yang mendapat kebinasaan.
Kemudian mereka berkumpul pula, untuk lanjuti usaha mereka. Tapi rahasia bocor dan Ma
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Soe Eng liehay sekali, selagi berapat, mereka disergap hingga mereka kena ditawan.
Mereka hendak dikirim ke Pakkhia dimana mereka bakal jalankan hukuman mati. Maka
beruntung sekali, di sini mereka bertemu dengan Sin Tjie dan dapat ditolongi.
Setelah itu Sin Tjie tuturkan hal perkenalannya dengan Giam Ong.
"Ini bagus, Wan Kongtjoe," berkata Tiong Sioe. "Disini ada kawanan penyamun dan
sejumlah tentara taklukan, maka baik kau tunda dulu perjalananmu ke Pakkhia, untuk
pernahkan mereka ini.
Sin Tjie nyatakan setuju, malah ia sarankan untuk cari tempat untuk satu pertemuan besar.
"Tay San bagaimana?" Tiong Sioe usulkan.
"Tay San ada yang utama di antara lima gunung, kita pilih Tay San, tepat!" Sin Tjie
nyatakan akur.
Pemuda ini lantas perintah kumpulkan isinya peti yang ia titahkan "obral", sedang dari
uang angkatan Negara, ia pisahkan sejumlah dua-puluh laksa tail perak, yang ia bagi rata
di antara rombongan Tjeng Tiok Pay dan kawanan berandal dari Shoatang itu. Untuk Tie
Hong Lioe, ia pisahkan lagi lima-ribu tail. Dan untuk tentara negeri yang menakluk itu, ia
kasikan dua-puluh laksa tail. Maka selat itu bergemuruh dengan tampik-surak pelbagai
rombongan yang merasa sangat girang dengan tindakannya si anak muda.
Habis itu Sin Tjie titahkan sejumlah orang dari kaum San Tjong, Tjeng Tiok Pay dan
berandal Shoatang, untuk mereka pergi ke berbagai tempat, guna menyampaikan
undangan supaya nanti orang berkumpul di atas gunung Tay San untuk berapat, tanggalbulannya
ialah pehgwee Tiong Tjioe.
Untuk pernahkan Tjouw Tiong Sioe beramai bersama tentara negeri taklukan itu, Sin Tjie
minta orang she Tjouw itu pergi cari suatu gunung, untuk dirikan pesanggrahan, buat
mereka tempatkan diri sampai datang saatnya untuk bergerak menyambut Giam Ong.
Tentang lenyapnya uang Negara itu, yang berjumlah lebih dari dua juta tail perak, dan
menakluknya tentara pengiringnya, telah menggemparkan wilayah Shoatang dan kota raja,
dan kapan kemudian Tjongtok Ma Soe Eng datang bersama satu pasukan perang besar,
untuk mencari dan membasmi, di selat itu mereka tidak dapatkan satu penyamun juga,
hingga mereka mesti pulang kembali dengan tangan kosong.
Sementara itu, sang hari lewat dengan cepat, selagi mendekati harian tanggal lima-belas
bulan delapan, ke gunung Tay San telah datang orang-orang, dengan bersendirian dan
berombongan, hingga mereka telah memenuhi pelbagai kelenteng di atas gunung yang
suci itu, sebab jumlah mereka adalah beberapa ratus orang.
Pada malaman tanggal lima-belas, cuaca terang, rembulan indah-permai, dan pada
paginya tanggal yang dipilih itu, hawa pagi sangat nyaman. Semua orang berkumpul di
lembah Sek Keng Kok dimana ada sebuah tegalan yang luas beberapa bauw, yang terdiri
dari batu yang bersih dan mengkilap, katanya itu dahulu adalah tempat peranti berkotbah
dari suatu pendeta yang berilmu tinggi, sedang di atas gunungnya ada ukiran sebagian
kitab Kim Kong Keng dengan huruf-hurufnya sebesar gantang dan bagus.
Pada waktu itu di antara hadirin, kecuali Wan Sin Tjie bersama Oen Tjeng Tjeng, si empeh
gagu A Pa dan Ang Seng Hay, pun terdapat rombongan dari Tjouw Tiong Sioe seperti Tjoe
An Kok, Nie Hoo dan Lo Tay Kan. Dari pihaknya Kim Liong Pay di Kangsouw datang
Tjiauw Kong Lee bersama gadisnya, Tjiauw Wan Djie, Lo Lip Djie dan lainnya. Dari Tjeng
Tiok Pay datang Thia Tjeng Tiok beramai. Dari kawanan berandal Shoatang hadir See
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Thian Kong bersama Tam Boen Lie dan rombongannya. Dari Liong Yoe Pang di Tjiatkang,
Eng Tjay telah ajak semua kawan-kawannya. Dari pihak Siauw Lim Sie dari Hokkian, Sip
Lek Taysoe, perlukan datang sendiri. The Kie In dari Tjit-tjap-djie- Too, tujuh-puluh dua
pulau-pula pun datang bersama kawan-kawannya. Dari antara pesakitan, yang Sin Tjie
tolong merdekakan, ada Tjeetjoe Liap Thian Kong dari lembah Hoei Houw Kok dari Hoay -
lam dan Pangtjoe Nio Gin Liong dari Po Yang Pang dari Kangsee utara. Begitupun
sejumlah orang kang-ouw lainnya. Dari pihak tentara negeri yang menakluk hadir
Tjongpeng Soei Tjee Boe serta perwira-perwira sebawahannya. Maka itu, jumlah mereka
sangat besar, ramailah selat gunung Tay San itu.
Di waktu fajar, orang telah berkumpul untuk menghadap ke timur, untuk saksikan
munculnya Tay Yang Seng-koen atau Batara Surya, di waktu mana, cuaca indah luar biasa,
langit di arah timur itu merupakan aneka-warna yang permai, hingga orang menyambutnya
dengan tampik-surak ramai.
Selagi orang ramai duduk, Im-yang-sie See Thian Kong, yang lukanya telah sembuh,
berbangkit untuk beri hormat kepada semua hadirin, guna angkat bicara. Ia memberi tahu
bahwa penyambutannya tidak sempurna, maka itu, ia mohon diberi maaf. Lalu sekali lagi,
ia menjura kepada semua tetamu.
Dengan hampir berbareng, semua hadirin mengucapkan terima kasih.
"Aku adalah seorang kasar, aku tak tahu apa-apa, maka sekarang aku persilahkan
tjianpwee dari Tjeng Tiok Pay yang bicara lebih jauh," kemudian kata pula orang she See
ini.
Thia Tjeng Tiok merendahkan diri, dia menampik, hingga keduanya saling tolak. Demikian
mereka ramah-tamah, beda daripada waktu mereka adu jiwa secara mati-matian untuk
perebuti hartanya Sin Tjie. Hal ini membuat girang dan kagum semua hadirin lainnya,
karena, dari musuh, mereka kini jadi sahabat kekal.
Akhir-akhirnya Thia Tjeng Tiok, dengan sebatang bamboo di tangannya, berbangkit sambil
tertawa.
"Kita kaum rimba persilatan, sebenarnya dahulu pun pernah satu kali berkumpul di atas
gunung Tay San ini," berkata dia, memulai. "Cuma itu waktu, jumlah kita tak ada sebanyak
kali ini. Dan itu waktu, aku tidak malu akan mengatakannya, apakah maksud rapat kita itu?
Tak lain tak lebih, melulu untuk membagi daerah bekerja, guna memecah uang
rampasan...."
Mendengar itu, semua orang tertawa.
"Sekarang ini telah hadir banyak enghiong, maka tak dapat kita berlaku lagi tak tahu malu
seperti dulu itu!" melanjuti ketua Tjeng Tiok Pay itu. "Sekarang ini dunia sedang kacau,
sekarang adalah saatnya untuk orang-orang yang bersemangat mendirikan usaha yang
berarti, untuk angkat nama! Kaisar sedang gelap pikiran, kusut segala aturannya! Di dalam
pemerintahan hanya terdapat segala pembesar rakus dan busuk! Dan di luar tapal batas,
kacung-kacung Boan di Kwan-gwa sering-sering menyerbu perbatasan kita, hingga
karenanya, rakyat bercelaka, mereka mengeluh sampai suaranya terdengar di langit. Kita
sendiri, siapakah di antara kita yang tidak pernah terdesak sampai kita berada di pojokan
seperti sekarang ini? Maka sekarang haruslah kita berempuk, untuk membangun suatu
usaha besar!"
Kembali orang bersurak-riuh, semua menyatakan setuju.
"Yang hadir hari ini semuanya sahabat-sahabat karib," menambahkan Thia Tjeng Tiok,
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
"maka dari kita bersumpah dengan darah kita, untuk dimana ada kesusahan saling
membantu, guna bekerja sama-sama. Dan andaikata, ada yang rakus, yang silau dengan
harta dan kemuliaan hingga dia jual sahabatnya, atau dia takut mati saking kouw-ka-tie,
mari kita ramai-ramai habiskan dia!"
"Bagus! Akur!" demikian kembali sambutan orang banyak.
"Di dalam satu pertemuan besar sebagai ini, tak dapat tidak ada beng-tjoe, ketuanya, maka
itu, mari kita angkat satu pemimpin, satu saudara enghiong yang disegani semua orang,"
berkata pula See Thian Kong. "Terdapat beng-tjoe itu, kita semua mesti mendengar kata!
Bagiku, tak perduli saudara mana yang diangkat, aku nanti selalu ikuti dia!"
Sampai di situ, Sip Lek Taysoe berbangkit.
"Memangnya, kawanan naga tidak ada kepalanya, tak nanti mereka bisa bangunkan usaha
besar," kata pendeta ini. "Loo-lap setuju untuk kita pilih satu beng-tjoe, asal beng-tjoe itu
mesti pintar dan gagah berbareng, welas-asih dan budiman, supaya ia bisa menakluki
semua orang."
"Itu benar!" The Kie In menyambut. "Menurut aku, Tay-soe setimpal untuk jadi pemimpin
kita."
Sip Lek Taysoe tertawa.
"Jangan main-main, tootjoe! Loolap adalah sebagai lilin diantara angina, loolap sedang
tungkuli sisa umurku....Mana loolap sanggup terima tugas penting itu?"
Orang ramai lantas kasak-kusuk, berbisik satu dengan lain, untuk damaikan siapa harus
dipilih dan diangkat menjadi beng-tjoe mereka. Pemilihan ini perlu, untuk persatukan
golongan mereka, yang terpencar di pelbagai tempat, agar mereka semua ada yang pimpin
dan bersatu. Hal ini perlu, untuk cegah bentrokan di dalam kalangan sendiri, guna bikin
jeri pembesar negeri.
Thia Tjeng Tiok tunggu orang saling berdamai sekian lama, lalu ia tepuk tangannya
beberapa kali, setelah semua orang sirap, dia tanya apa mereka itu sudah dapat pikir
orang yang cocok, yang bakal dipilih.
Seorang, yang tubuhnya besar dan tingginya tujuh kaki, berbangkit. Suaranya pun nyaring
ketika ia buka mulutnya. Ia kata: "Loo-ya-tjoe Beng Pek Hoei adalah orang yang dihormati
oleh kaum Rimba Persilatan, benar dia hari ini tidak turut hadir, akan tetapi kedudukan
beng-tjoe ini harus diberikan kepadanya. Maka itu aku anggap baik kita jangan pilih lain
orang lagi."
Usul ini segera dapat kesetujuannya beberapa orang.
"Siapakah itu Beng Pek Hoei?" tanya Sin Tjie pada Seng Hay, yang duduk di sebelahnya.
Orang yang ditanya agaknya heran.
"Apakah Wan Siangkong tidak kenal orang she Beng itu? Dia balik tanya.
"Ada sedikit sekali sahabatku dalam rimba persilatan," sahut si anak muda.
"Beng Loo-ya-tjoe itu ada orang juluki Kay Beng Siang, jadi dia dibandingi dengan Beng
Siang Koen," terangkan Seng Hay. "Dia adalah seorang yang mulia hatinya, giat
menderma, gemar bergaul. Dalam kalangan ilmu silat, dia telah ciptakan ilmu silat 'Sin
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Koen'. Banyak orang gagah yang menjadi muridnya. Untuk di utara, tidak ada yang tidak
kenal nama Kay Beng Siang. Orang yang bicara barusan adalah Teng-kah-sin Teng Yoe, si
Malaikat Teng Kah, yang jadi murid kepalanya."
"Begitu," kata Sin Tjie kemudian. "Kalau begitu, baik juga dia dipilih jadi beng-tjoe...."
Itu waktu, Tjit tjap djie too Tootjoe The Kie In berkata pula: "Namanya Loo-ya-tjoe Beng
Pek Hoei terkenal hingga di tempat jauh, sampai aku yang tinggal jauh dari daratan, telah
pernah mendengarnya, aku turut kagumi dia. Dia bijaksana, kepandaiannya pun
sempurna, memang pantas dia dipilih. Tapi aku memikir satu hal, boleh atau tidak apabila
aku utarakan itu?"
"Tidak ada halangannya, The Tootjoe," bilang Teng Yoe.
"Beng Loo-ya-tjoe telah tinggal di Po-teng untuk banyak tahun," menyatakan tootjoe ini,
"harta-benda dan kedudukannya, besar bukan main. Kita sebaliknya, apakah yang kita
kerjalan? Kita berkumpul, untuk melakukan usaha pemberontakan! Apabila Beng Loo-yatjoe
menjadi pemimpin kita, kemudian dia kena terembet-rembet, apakah bisa senang hati
kita?"
Kata-kata ini beralasan, maka itu semua orang berdiam.
"Aku hendak pujikan satu orang lain," berkata Tjiauw Kong Lee, ketua dari Kim Liong Pay
dari Kim-leng. "Dia ini satu enghiong, dia tidak saja pandai ilmu silat, sifatnya pun welasasih
dan budiman. Melainkan dia masih berusia sangat muda dan banyak sahabat-sahabat
Rimba Persilatan yang belum mengenalnya. Walaupun demikian, aku suka pujikan dia.
Dan asal dia suka menerima keangkatan, dia pasti bakal pegang pimpinan dengan adil, dia
pasti bakal angkat nama kita hingga pihak pembesar negeri niscaya tak nanti pandang
ringan kepada kita."
Sebelum orang banyak tegaskan Kong Lee, siapa pilihannya itu, See Thian Kong sudah
turut berkata pula. Dia punyakan suara kecil akan tetapi dia coba keluarkan dengan keras,
hingga terdengarnya menyolok di kuping.
"Di dalam hatiku, aku juga memikir satu orang, satu enghiong yang usianya masih sangat
muda," katanya. "Aku percaya dia tidak bakal beda jauh dengan enghiong yang dipujikan
Tjiauw Pangtjoe."
"Aku tidak berani menyebutkan usiaku yang tinggi," berkata pula Tjiauw Kong Lee, seperti
ia menyambung See Thian Kong, "akan tetapi usiaku sekarang ini sudah lebih dari limapuluh
tahun, dan tak berani aku membilang, pengetahuan dan pengalamanku telah luas,
akan tetapi pernah aku menemui tak sedikit orang-orang gagah, walaupun itu semua,
sahabat muda yang aku sebutkan itu telah membuat aku takluk setakluk-takluknya,
seumurku, belum pernah aku menemui orang yang melebihkan dia."
Sampai di situ, Thia Tjeng Tiok turut bicara. Tapi ia bicara dengan tawar.
"Aku kenal tabeatnya Tjeetjoe See Thian Kong," demikian katanya, "dan kipas Im-yang-sienya
yang bisa dipakai menotok jalan darah, walaupun bukan tak ada keduanya, sudah
sempurna sekali, maka seorang yang membuat dia kagum, pastilah bukan orang
sembarang. Maka itu aku dari Tjeng Tiok Pay, aku setuju dengannya."
Mendengar ini, mukanya Tjiauw Kong Lee menjadi merah.
"Habis bagaimana caranya beng-tjoe hendak dipilih?" tegaskan ketua Kim Liong Pang ini.
"Orang-orang Kim Liong Pang memang tak punya guna, akan tetapi jumlah kami terlebih
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
banyak daripada jumlah orang-orang Tjeng Tiok Pay...."
Suasana lantas saja menjadi hangat.
Menampak demikian, Sip Lek Taysoe lantas mendahului.
"Sabar, Tjiauw Pangtjoe," berkata dia. "Siapa itu sahabat yang pangtjoe hendak pujikan?
Menurut aku, dalam sembilan bagian, dugaanku tidak bakal meleset. Aku pun minta
supaya See Tjeetjoe menyebutkannya orang yang dia hendak pujikan itu, supaya semua
hadirin bisa berikan pertimbangannya yang sama tengah. Ada kemungkinan yang orang
banyak tak menyetujui mereka itu...."
See Thian Kong lantas saja tunjuk Wan Sin Tjie.
"Orang yang aku maksudkan adalah Wan Siangkong!" sahutnya. "Jangan saudarasaudara
lihat saja usianya yang masih sangat muda, sebenarnya kepandaiannya terlebih
tinggi daripada orang yang kebanyakan. Baik aku jelaskan, dengan Wan Siangkong ini aku
Baru saja berkenalan, dengannya aku bukan pernah saudara seperguruan, bukan juga
sahabat karib, bahwa aku pujikan dia, itulah disebabkan melulu karena aku kagumi
kepandaiannya."
Baru saja See Tjeetjoe tutup mulutnya atau rombongan berandal dari Shoatang serta
orang-orang Tjeng Tiok Pay bertampik-surak semua hingga suara mereka jadi
bergemuruh.
Hal ini di luar dugaan Sin Tjie, maka lekas-lekas ia berbangkit, ia lantas ulap-ulapkan
kedua tangannya.
"Jangan! Jangan!" katanya gugup.
Orang-orangnya Tjiauw Kong Lee tunggu sampai tampik-surak sudah reda, lalu mereka
semua tertawa berkakakan, bergelak-gelak, kepala mereka ditegaki, kembali terdengar
suara bergemuruh riuh.
See Thian Kong menjadi tidak senang.
"Tjiauw Pangtjoe, tolong kamu jelaskan, adakah kamu tertawai aku?" tanya dia.
Kong Lee rangkap kedua tangannya, akan beri hormat kepada tjeetjoe ini.
"Mana berani aku tertawai kau, See Tjeetjoe?" katanya. "Ketahuikah Tjeetjoe, siapa orang
yang aku hendak pujikan?"
Thian Kong menggeleng kepala.
"Aku tidak tahu," jawabnya.
Kong Lee bersenyum
"Lain daripada Wan Siangkong ini, siapa lagi?" katanya.
Tanpa merasa, orang semua tertawa besar. Sebab sekian lama orang adu urat syaraf, tidak
tahunya, jago yang mereka pujikan adalah satu orang!
Sin Tjie menjadi sangat sibuk, kembali ia bangkit berdiri.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
"Aku masih terlalu muda, pengetahuanku pun sangat cetek," katanya. "Sebenarnya
dengan dapat turut hadir di sini saja aku sudah bukan main bersyukurnya. Di sini aku
mengharap semua loocianpwee nanti sudi pimpin aku, supaya aku bisa membantu sedikit,
maka itu mana aku sanggup terima pujian kamu! Tak sanggup aku terima tugas berat ini,
maka aku harap loocianpwee beramai pilih lain orang saja."
Tapi Tjouw Tiong Sioe turut bicara.
"Wan Kongtjoe adalah putera Wan Tayswee," katanya, "oleh karena kami kaum San Tjong
tidak memilih kasih, dengan kongtjoe yang terpilih, inilah paling tepat!"
"Siapa dimaksudkan dengan Wan Tayswee itu?" tanya The Kie In.
"Ialah Tayswee Wan Tjong Hoan, panglima gagah yang di Liauwtong telah lawan angkatan
perang Boan, yang belakangan tanpa sebab tanpa dosa telah dibikin celaka hingga dia
menemui kebinasaannya," Tiong Sioe terangkan.
Semua orang tahu Wan Tjong Hoan gagah dan setia, bagaimana sebagai pahlawan dia
bela negaranya, tapi dia terbinasa teraniaya, hingga orang rata-rata penasaran, maka
sekarang, setelah dengar keterangannya Tjouw Tiong Sioe, tidak saja The Kie In,
pemimpin dari tujuh-puluh-dua pulau, juga yang lain-lain jadi tergerak hatinya, berbareng
berduka mereka atas nasibnya Wan Tayswee itu, mereka girang menemui puteranya. Maka
seperti satu suara, semua orang menyatakan setuju atas pilihan itu.
Sin Tjie masih mencoba menampik, ia tidak berhasil.
Malah Soei Tjongpeng, perwira taklukan itu, dan Nio Gin Liong dan Liap Thian Hong serta
lainnya yang ditolongi dari kerangkeng perantaian, turut berikan suara menunjang, hingga
tak dapat tidak, pemilihan lantas ditetapkan.
Ketua dari Liong Yoe Pang, Eng Tjay, sebenarnya mempunyai sangkutan dengan Sin Tjie,
disebabkan kejadian di perahu waktu dia bentrok dengan Oen Tjeng Tjeng, akan tetapi dia
ingat pertolongannya pemuda ini, yang berikan dia papan yang membuat dia tak sampai
tercebur ke sungai, maka dia pun berikan tunjangannya. Sambil berbangkit, dia berkata:
"Wan Siangkong mempunyai boegee yang liehay, pasti banyak saudara hadirin disini
mengetahuinya. Aku sendiri, pernah rubuh di tangannya...."
Mendengar ini, sejumlah orang menjadi tercengang.
"Walaupun aku telah dirubuhkan, aku toh ditolongi," Eng Tjay menyambungi, "karena itu
sekarang aku setuju dia dipilih menjadi bengtjoe, aku tunjang pemilihannya ini."
Orang bersorak untuk sikap laki-laki dari ketua Liong Yoe Pang itu.
Teng-kah-sin Teng Yoe dekati Sin Tjie, untuk diawasi, hingga ia tampak tegas romannya
Sin Tjie yang cakap, sikap halus, tak ada tanda-tandanya dari seorang dengan dengan
boegee yang liehay, karenanya, ia menjadi heran. Ia tidak puas karena namanya orang ini
melewati nama gurunya.
"Kionghie, Wan Siangkong," kata dia, memberi hormat, tapi berbareng ia ulur tangannya,
untuk jabat pemuda ini.
"Dengan sebenarnya, tak sanggup aku terima tugas berat ini," berkata Sin Tjie.
Belum lagi anak muda ini tutup mulutnya, atau ia rasai cekalan yang keras sekali.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Tetapi, dengand iam-diam, Teng Yoe sudah kerahkan tenaga "Pa Ong Kong Teng" atau
"Tjouw Pa Ong angkat perapian kaki tiga," semacam ilmu tenaga besar warisan dari
gurunya. Dengan jalan ini, ia niat angkat tubuhnya Sin Tjie, untuk lalu dilepaskan, supaya
pemuda ini rubuh setengah binasa, agar bengtjoe ini mendapat malu.
Sin Tjie segera insyaf bahwa orang lagi mencoba dia, dia diam saja, tapi dengan diamdiam,
dia kerahkan tenaga "Tjian kin tjoei", atau "rubuhnya seribu kati", hingga dia bisa
tancap kaki dengan tubuhnya dibikin berat, karena mana, sampai tiga kali Teng Yoe
kumpul tenaganya, untuk angkat ia masih tidak berhasil, tubuhnya seperti nancap di
tanah. Dia pun lantas berkata: "Mana aku sanggup terima tugas begini berat? Gurumu
terkenal di kolong langit, saudara Teng, gurumu itu jauh terlebih cocok daripada aku untuk
dipilih!"
Masih Teng Yoe kerahkan tenaganya, tetap ia tidak memperoleh hasil, malah pada lengan
kanannya itu terdengar suara urat-uratnya, maka akhirnya terpaksa ia lepaskan
cekalannya, karena ia tahu, ia telah gunai tenaga melebihi batas.
Masih Sin Tjie berpura-pura seperti tak ada kejadian suatu apa, begitu orang lepaskan
cekalannya, ia lantas tarik pulang tangannya.
Teng Yoe sembrono tetapi ia jujur dan polos, Ia tahu orang telah berbuat baik
terhadapnya, karena apabila si anak muda melakukan pembalasan, lengannya bisa patah
atau tangannya remuk. Karena ini, ia jadi berterima kasih.
"Baik, kau pantas menjadi bengtjoe!" dia lantas serukan. Lalu ia memberi hormat sambil
menjura.
Sin Tjie lekas-lekas membalas hormat, hatinya girang karena orang berhati polos. Ia jadi
sangat suka pada orang sembrono ini.
Ketika itu orang lantas siapkan lilin dan hio, untuk menjalankan kehormatan kepada langit
dan bumi, yang menyaksikan pemilihan dan keangkatan bengtjoe itu.
"Kita telah adakan perserikatan, kita sudah mempunyai bengtjoe, karenanya tak boleh kita
tidak punyakan undang-undang," berkata Thia Tjeng Tiok. "Maka sekarang aku mohon
bengtjoe maklumkan undang-undang itu, untuk kita rundingkan dan tetapkan."
Sebenarnya Sin Tjie masih hendak menolak, tapi Tiong Sioe bisiki dia, katanya: "Kongtjoe,
jangan kau tampik lagi. Apabila kedudukan bengtjoe ini terjatuh kepada satu manusia licik,
besar sekali bencananya di belakang hari. Umpama kau bisa pegang kendali, besar
faedahnya untuk melampiaskan sakit hatinya Tayswee!"
Tertarik hatinya Sin Tjie mendengar nasehat ini. Lantas ia berbangkit, akan menjura
kepada orang banyak.
"Karena saudara-saudara demikian menyinta aku, baiklah, terpaksa aku turut titah kalian,"
katanya. "Karena pengetahuanku cetek, aku mohon supaya semua cianpwee dan kanda
sudi bantui aku, aku senantiasa bersedia untuk terima pelbagai pengajaran."
Tampik surak riuh-rendah menyambut pengutaraan itu.
"Untuk undang-undang, aku minta Tjouw Siokhoe saja yang mengarangnya," kemudian
Sin Tjie minta Tiong Sioe.
Tjouw Tiong Sioe tidak menolak, ia malah lantas kembali ke kuil, untuk tugasnya itu. Ia
tahu semua orang sederhana, ia pun mengatur rencana secara ringkas. Maka belum terlalu
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
lama, ia sudah siap dengan undang-undangnya, yang ia terus serahkan pada Sin Tjie,
untuk diumumkan kepada orang banyak itu, habis mana mereka mengadakan sumpah,
minum arak tercampur darah, untuk janji bekerja sama-sama tidak ada yang boleh
undurkan diri atau melanggar sumpah.
Secara demikian selesailah pertemuan besar di Tay San itu.
Belum berselang setengah tahun sejak Sin Tjie muncul karena ilmu silatnya yang liehay,
sebabnya ramah tamah dan kepintaran, ia telah membuat kemajuan ini, hingga ia sekarang
menjadi bengtjoe dari Titlee, Shoatang, Kangouw, Tjiatkang, Hokkian, Kangsee dan
Anhoei, dari orang-orang gagah dari tujuh propinsi itu.
Tiga hari lamanya orang berkumpul di Tay San, berunding dan berpesta, lalu dengan
bergantian mereka turun gunung, akan pulang ke masing-masing wilayahnya. Selama itu,
kecuali sebagai pemimpin, Sin Tjie juga telah ikat persahabatan kekal dengan orang-orang
tang tadinya ia tak kenal. Di waktu orang berpisahan, ia bekali mereka uang, yang ia ambil
dari harta karunnya itu, tak saying ia memberikan masing-masing sejumlah besar. Secara
begini, ia pun menambah menarik simpati orang banyak itu.
Setelah semua sudah bubar, Sin Tjie bersama Tjeng Tjeng, A Pa dan Seng Hay melanjuti
mengangkut harta mereka menuju ke Pakkhia. Adalah Thia Tjeng Tiok dan See Thian
Kong, yang tidak lantas pisahkan diri, karena mereka ini ingin mengantar sampai di kota
raja, katanya untuk sekalian pesiar. Sin Tjie terima baik kehendak dua sahabat ini,
terutama karena ia tahu, dua sahabat itu mempunyai ilmu silat yang sempurna.
Sementara itu Ang Seng Hay terbukti berlaku jujur dan setia, dia rajin dan waspada dalam
mengantar harta itu, hingga Sin Tjie percaya dia tak nanti berontak atau berkhianat
terhadapnya, maka ia lantas sembuhkan luka dalam tubuhnya. Pertolongan ini justru
membikin orang she Ang itu menjadi bersyukur sekali, hatinya lega sebab ia tak usah
dukai lagi lukanya ity.
Melakoni perjalanan di tanah dataran Shoatang, rombongan ini merasa aman sekali.
Shoatang adalah daerah pengaruhnya See Thian Kong, orang-orangnya pemimpin ini telah
atur segala apa untuk memudahkan mereka. Dan kapan mereka memasuki daerah Hoopak,
di sana pun mereka mendapat pelayanan tak kurang sempurnanya dari orang-orangnya
Thia Tjeng Tiok.
Oen Tjeng Tjeng puas sekali melihat amannya perjalanan itu, mendapati segala apa
leluasa bagi mereka, maka akhirnya ia kagumi si anak muda, orang yang ia puja itu.
Karena ini, kalau tadinya ia gemar "ngadat", dengan sendirinya ia bisa bawa diri, hingga ia
pun menjadi jinak....
Pada suatu hari sampailah rombongan ini di Hoo-kan, disana ketua setempat dari Tjeng
Tiok Pay menyambut dengan mengadakan satu perjamuan, di antara hadirin ada orangorang
Rimba persilatan yang kenamaan dari kota itu, kecuali menemani, mereka ini
memberi selamat kepada bengtjoe mereka. Selagi bersantap dan minum, orang pun
pasang omong mengenai kaum kang-ouw.
"Thia Pangtjoe," berkata satu orang selagi perjamuan berjalan, "lagi sebelas hari adalah
hari ulang tahun ke-enam-puluh dari Loo-ya-tjoe Beng Pek Hoei, pasti kau tak dapat pergi
untuk menghadiri pestanya itu, bukan?"
"Aku mesti turut bengtjoe ke kota raja, pasti aku tak dapat pergi," sahut Thia Tjeng Tiok,
"walaupun demikian, sumbangan tak dapat aku lupakan, aku telah perintah orang untuk
menyampaikannya."
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
"Aku juga sudah kirimkan barang antaranku," See Thian Kong turut bicara. "Beng Loo-yatjoe
ada satu sahabat baik, melihat kita tidak datang, tentu ia ketahui kita punyakan urusan
penting, pasti ia tidak bakal jadi tidak senang. "
Sin Tjie dengar pembicaraan itu, hatinya tergerak.
"Kay Beng Siang tersohor di lima propinsi Utara, selagi sekarang dia hendak rayakan hari
ulang tahunnya, kenapa aku tidak mau ikat persahabatan dengannya?" dia berpikir. Maka
ia turut bicara. Ia kata: "Aku pun telah dengar namanya Beng Loo-ya-tjoe, kebetulan
sekarang dia hendak rayakan shedjitnya yang ke enam-puluh, aku ingin pergi memberi
selamat padanya. Bagaimana pikiran saudara-saudara?"
Mendengar ini, semua orang akur, sampai mereka tepuk-tepuk tangan.
"Bengtjoe niat berikan dia muka terang, pasti dia bakal jadi sangat girang!" berkata orang
banyak itu.
Sin Tjie lantas pastikan untuk kunjungi Beng Pek Hoei. Sembari bicara, ia menanyakan
terlebih jauh tentang jago tua dari Utara itu. Ia dapat kenyataan, Kay Beng Siang itu
seorang budiman dan gemar bergaul.
"Dengan jalan mutar sedikit ke Poo-teng, aku anggap kita tidak sampai mensia-siakan
banyak tempo untuk sampai di Pakkhia," kata Sin Tjie kemudian. "Kita cuma akan
terlambat beberapa hari saja."
Banyak hadirin menyatakan, memang mereka tak terlalu mensia-siakan tempo.
Karena ini urusan baru, ketika besoknya perjalanan dilanjuti, tujuan diubah ke Barat.
Kapan mereka telah sampai di Kho-yang, dari mana untuk sampai ke Poo-teng tinggal
perjalanan satu hari lagi, Seng Hay lantas ambil tempat di hotel Hoat Lay.
Sesudah taruh rapi peti-peti besi dan buntalan mereka, mereka pergi duduk berkumpul di
ruang besar, untuk bersantap.
Ketika itu di satu meja sebelah timur berduduk satu tauwtoo atau imam yang tubuhnya
besar dan gemuk, kepalanya, atau rambutnya, dilibat dengan sebuah gelang kepala yang
terbuat dari tembaga. Dia beroman keren. Di atas meja di depannya sudah menggeletak
tujuh atau delapan poci arak yang kosong. Ketika satu jongos menambahi air kata-kata, ia
mencegluknya dari satu mangkok besar. Dia pun dahar daging dengan main cabak dengan
kedua tangannya. Dan dia dahar dengan cepat, hingga piringnya jadi kosong, mangkoknya
jadi kering.
"Tambah lagi arak dan daging! Lekasan!" demikian ia perdengarkan suaranya yang
nyaring, sampai berulang-ulang.
Jongos sedang melayani rombongan Sin Tjie, ia jadi tak sempat.
"Kurang ajar!" menjerit tauwtoo itu, sambil keprak meja dengan keras, sampai poci arak
dan mangkoknya berlompatan. Karena meja bergerak keras, cawan arak dari lain tetamu,
yang duduk di ujung dari meja itu, telah terbalik, hingga araknya tumpah dan mengalir di
atas meja.
"Aya!" berseru si tetamu sambil berjingkrak.
Dia ini adalah seorang dengan tubuh kecil dan kurus, kumisnya dua baris, apa yang
dinamakan kumis tikus saking jarangnya akan tetapi sepasang matanya bersinar tajam
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
dan berpengaruh.
"Soehoe," katanya, "kau ingin minum arak, orang lain juga!"
Tauwtoo itu sedang gusar, teguran itu menambah kegusarannya. Ia gebrak meja.
"Aku panggil jongos, apa sangkutannya denganmu?" dia balik menegur.
"Belum pernah aku menemui orang suci sekasar kau!" kata orang kurus itu.
"Dan hari ini aku bikin kau menemuinya!" sahut si imam.
Tjeng Tjeng pun tidak puas.
"Nanti aku ajar adat padanya!" katanya pada Sin Tjie.
"Ah, kau nonton saja," jawab si anak muda. "Jangan pandang ringan orang kecil dan kate
itu, dia tak dapat dibuat permainan."
Tjeng Tjeng dengar kata, tapi keras keinginannya untuk saksikan pertempuran.
Tapi si orang kurus seperti jeri terhadap si imam.
"Baik, baik, aku mengaku salah. Tak apa, bukan?" katanya.
Melihat orang ngaku salah, justru waktu itu jongos datang dengan arak, si imam tidak
menarik panjang, ia minum pula sendirian saja.
Si kurus berlalu, tapi tak lama ia sudah kembali.
Sin Tjie dan kawan-kawannya, yang tidak jadi saksikan "keramaian", minum pula
sendirinya.
Tiba-tiba saja ada angina menyambar, membawa bau keras yang menyampok hidung,
hingga Tjeng Tjeng lekas sembat keluar saputangannya, untuk tekapi hidungnya.
Sin Tjie menoleh, atau segera ia tampak di mejanya si imam, di depannya, ada satu pispot,
hingga Sin Tjie tertawa dengan tak tertahan. Dia menoleh pada Tjeng Tjeng, akan
bersenyum, lalu melirik ke arah si imam.
Tjeng Tjeng pun lihat pispot itu, tapi si imam seperti tak melihatnya, maka nona ini tertawa
sendirinya.
Juga lain-lain tetamu tidak lihat pot tempat kotoran itu.
"Bau! Bau!" kata beberapa orang kemudian.
"Wangi! Wangi!" sebaliknya si kurus kering, dengan suaranya yang nyaring.
"Itu pasti perbuatannya si kurus ini," Tjeng Tjeng bilang sambil bersenyum. "Dia sungguh
sangat sebat! Kenapa aku tak lihat perbuatannya itu?"
Baru sekarang hidung si imam mencium bau busuk, tapi tanpa melihat lagi, ia ulur
tangannya, akan jumput poci arak, akan tetapi kapan ia melihatnya, ia terperanjat. Ia bukan
angkat poci arak hanya pispot dimana bertumpuk najis. Dengan tiba-tiba saja ia menjadi
gusar, tangannya menyampok ke samping.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
"Aduh!" menjerit si jongos, yang tubuhnya terpelanting rubuh, jauhnya setumbak lebih.
"Arak yang bagus, arak yang bagus! Wangi! Wangi!" kembali si kurus perdengarkan
suaranya yang nyaring.
Sekarang si imam duga siapa yang main gila terhadapnya, dengan satu kali ayun saja,
pispot itu menyambar kea rah si kurus. Tapi dia ini agaknya telah siap, dia berkelit dengan
lincah, dengan nyelusup ke kolong meja, ketika ia muncul pula, tahu-tahu ia sudah berada
di belakang si imam.
Pispot mengenai meja dan hancur, kotorannya muncrat berhamburan, baunya berkesiur
keras ke empat penjuru, hingga lain-lainnya tetamu lantas saja lekas-lekas menyingkir!
(Bersambung bab ke 16)
Murkanya si imam bukan kepalang, terutama kapan ia ketahui si kurus berada di
belakangnya, sambil putar tubuh, ia menyambar dengan sebelah tangannya. Si kurus
awas dan licin, dia berkelit sambil nyelusup pula ke kolong meja.
Dalam murkanya, imam itu dupak meja hingga terbalik.
Sedetik saja, ruang makan itu jadi kacau. Semua tetamu lainnya pada berdiri di kedua
pinggiran.
Lincah luar biasa ada si kurus, ketika si imam serang pula padanya, dia berkelit, lalu dia
loncat sana dan lompat sini, hingga tidak ada kepalan atau dupakan yang mengenai
tubuhnya.
Meja-meja lainnya, berikut kursinya, turut terbalik-balik, karena disempar dan dibentur,
poci arak, cawan dan sumpit, jatuh berhamburan. Si kurus membalas menyerang, tetapi
dengan poci arak dan lainnya, yang ia jumput dari lantai. Si imam menjerit-jerit, ia berkelit,
ia menanggapi, untuk balas menimpuk. Dengan begitu terlihatlah kepandaian mereka
berdua.
Karena meja dan kursi pun disempar pergi datang, ruang itu lantas menjadi ruang kosong,
hingga si kurus tak dapat jalan untuk main berkelit atau berlari lagi, maka ia terpaksa
mesti layani si imam yang serang ia tak hentinya. Ia melayani sambil perlihatkan
kesebatannya, kegesitan tubuhnya.
Si imam bertenaga besar. Segera kelihatan dia bersilat dengan ilmu silat "Tay Ang Koen"
berasal dari Tjhong-tjioe, atau Tjhong Tjioe Pay. Sesuatu serangannya menerbitkan
sambaran angin yang keras.
Si kurus sendiri bersilat tetap sebagai bermulanya, tubuhnya gesit, gerakannya sebat. Dia
lebih banyak berkelit, dengan buang diri atau berlompat, atau kadang-kadang ia
terhuyung-huyung, nampaknya lucu, hingga Tjeng Tjeng, yang menyaksikan dengan
penuh perhatian, tak tahan untuk tidak tertawa geli.
"Inilah tak enak dilihat!" katanya. "Macam apa ilmu silat ini?"
Sin Tjie juga tidak kenal ilmu silat itu, yang ia belum pernah lihat, ia melainkan saksikan
kelincahan dan gerak-gerakan yang aneh. Rupanya itu ada ilmu kepandaian suatu
golongan tersendiri.
"Inilah Ap Heng Koen," kata Thia Tjeng Tiok, yang luas pengetahuannya. "Dalam kalangan
kaum kang-ouw, tidak banyak orang yang mengerti ilmu silat ini."
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Tjeng Tjeng tertawa pula. Nama ilmu silat itu, yang berarti "Koentauw Bebek", sungguh
luar biasa. Tapi sekarang ia bisa lihat tegas, gerakan kaki dan tangan benar-benar seperti
gerak-geriknya bebek gemuk....
Si imam, yang tak bisa rubuhkan si kurus, lalu menjadi sibuk sendirinya. Sia -sia saja
pelbagai toyoran dan tendangannya. Maka akhir-akhirnya, tubuhnya jadi terhuyunghuyung,
sempoyongan, bagaikan orang bertubuh limbung dan tak kuat berdiri. Tapi ini
adalah ilmu silat "Lou Tie Tjim Tjoei Pa San-boen" atau "Lou Tie Tjim sedang mabuk arak
pukul pintu kuil". Tubunya terumbang-ambing tidak keruan, kaki tangannya sambar sanasini,
ada kalanya dia rubuh terbanting sendirinya, lalu bergulingan, tapi serangannya ada
hebat, terutama sehabis jatuh, apabila musuh hampirkan dia, dia bisa berlompat bangun
dengan cepat sekali. Kali ini, Baru dia jalankan separuh dari ilmu silatnya itu, atau si
kurus-kecil sudah repot sendirinya.
Oleh karena itu, ia sering jatuh dan bergulingan, tubuh si iman telah berlepotan nasi dan
kuah sayuran, malah juga kotoran dari pispot, tapi ia tak perdulikan itu, untuk bisa
kalahkan musuhnya, ia masih suka bergulingan.
Rupa-rupanya imam ini lihat ketikanya yang baik sudah datang, dengan sekonyongkonyong
dia lompat mendesak, selagi kakinya sebelah maju, tangan kirinya menggertak,
tangan kanannya menyerang dada, dengan tipu-pukulannya "Pay san to hay", atau
"menggempur gunung untuk menguruk lautan".
Ini adalah satu serangan liehay. Si kurus juga insyaf itu, maka dia lekas-lekas empos
semangatnya, kedua tangannya ditaruh di depan dada, selagi serangan datang, ia berseru
keras: "Bagus!"
Tidak tempo lagi, kedua tangan serta satu kepalan bentrok satu dengan lain. Kepalannya
si imam besar dan antap, kedua tangannya si kurus kecil dan kurus, tapi kedua tangan itu
tepat menyambuti, sesudah mana, keduanya saling dorong.
Si imam menyerang dengan kepalan kanan, karena itu, kepalan kirinya merdeka, akan
tetapi karena dia kumpul tenaga di tangan kanan, tangan kiri itu tak dapat dipakai
membantu. Dia bertenaga besar, dia kerahkan semua tenaganya, tapi tak dapat ia tolak
tubuh musuh, yang pertahankan diri dengan kokoh-teguh, hingga keduanya jadi
berkutetan, tak ada yang dapat maju, tak ada yang bisa mundur. Sebab siapa berani
mundur, celakalah dia.
Keduanya, si imam dan si kurus, menjadi menyesal sendirinya. Mereka tidak bermusuhan
satu dengan lain, tidak keruan, mereka bertarung secara hebat itu, mereka seperti adu
jiwa.
Tidak lama kemudian, mereka masing-masing menjadi mandi keringat, air keringat
sebesar kacang kedele mengetel dari jidat mereka...
"Thia Lauw-hia," kata See Thian Kong, setelah mereka menyaksikan sampai sebegitu jauh,
"coba kau pakai tongkatnya si pengemis untuk pisahkan mereka, kalau tidak, lagi sedikit
lama, mereka dua-dua bakal celaka..."
"Aku sendirian tidak sanggup, mari kita berdua," mengajak Tjeng Tiok.
"Baik, marilah," jawab Thian Kong. "Jikalau kita tolak mereka mungkin mereka sama-sama
terluka di dalam, cumalah tak sampai membahayakan jiwa..."
Belum sampai dua orang itu maju, Sin Tjie sudah campur bicara.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
"Mari aku yang mencoba!" katanya sambil berbangkit. Lalu, dengan tindakan pelahan, ia
hampirkan dua jago itu, yang sudah mandi keringat. Ia berdiri di tengah, di samping
mereka, lantas pentang kedua tangannya, akan buka kedua orang itu terpisah masingmasing
tangannya, hanya karena mereka dipisahkan secara tiba-tiba, tubuh mereka maju
ngusruk, tangan mereka maju ke depan tepat mengenai dada Sin Tjie.
"Celaka!" berseru Tjeng Tiok dan Thian Kong, sambil mereka lompat, dengan niat tolongi
si anak muda. Tapi kapan mereka sudah datang dekat, mereka dapati si anak muda tidak
terluka, romannya tenang seperti biasa. Mereka tahu, Sin Tjie sudah bersiap mengerahkan
tenaga di dalam tubuhnya, untuk sambuti serangan yang tidak disengaja itu, hingga ia jadi
tak kurang suatu apa.
Tidak demikian adalah si kurus dan si tauwtoo. Mereka telah kehabisan tenaga, setelah
mereka dapat dipisahkan, saking lemasnya, dua-dua rubuh, mendeprok di lantai di tengahtengah
ruang itu.
Dengan seorang menolongi satu, Tjeng Tiok dan Thian Kong pimpin bangun kedua jago
itu, sedang jongos lantas diperintah untuk segera bebenah.
Sin Tjie rogoh sakunya, akan serahkan dua-puluh tail perak pada kuasa hotel.
"Ini ada untuk ganti semua kerusakan," katanya. "Semua tetamu itu belum dahar cukup,
silakan sajikan makanan untuk mereka, pembayarannya dimasuki atas namaku."
Tuan rumah menjadi girang, ia terima uang seraya mengucap terima kasih, kemudian ia
perintah sekalian jongos bersihkan segala apa dan bebenah, untuk lekas sajikan barang
hidangan baru untuk semua tetamunya.
Belum terlalu lama, dua-dua si imam dan si kurus telah dapat pulang tenaga mereka, maka
keduanya hampirkan Sin Tjie, untuk menghaturkan terima kasih, sebab si anak muda telah
tolongi mereka.
Sin Tjie tertawa.
"Tak usah, djiewie," katanya. "Aku mohon tanya she dan nama djiewie. Dengan
kepandaian yang liehay, djiewie mesti ada orang-orang ternama."
"Aku adalah Gie Seng tetapi orang umumnya panggil aku Thie Lo Han," sahut si tauwtoo.
"Aku ada Ouw Koei Lam," jawab si kurus. "Aku mohon tanya she dan nama kau tuan,
begitupun nama djiewie." Ia maksudkan Thian Kong dan Tjeng Tiok.
Belum keburu Sin Tjie perkenalkan diri, atau See Thian Kong dului ia.
"Kiranya tuan ada Seng-tjhioe Sin-touw Ouw Toako!" katanya. Ia tahu julukan orang itu
dan menyebutkannya. Seng-tjhioe Sin-touw berarti "Malaikat Copet".
Nampaknya Ouw Koei Lam puas orang kenal dia, tapi ia lekas-lekas merendahkan diri.
Lantas ia ulangi tanya nama See Thian Kong.
Thia Tjeng Tiok jemput kipasnya orang she See itu dan sambil dibuka ia tunjuki kepada
Koei Lam, hingga dia ini lihat lukisan tengkorak yang menyeramkan.
"Oh, kiranya Im-yang-sie See Tjeetjoe!" kata Koei Lam. "Memang sudah lama aku dengar
nama tjeetjoe. Girang aku dengan pertemuan ini."
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Sementara itu dengan matanya yang membelalak Koei Lam telah lihat juga tjeng-tiok atau
tongkat bambu orang yang disenderkan di samping meja, sebagai orang yang luas
pengalamannya, ia tahu artinya senjata itu, malah ia kenal baik ruas atau bukunya tongkat
itu, yang ada tiga-belas, tanda kedudukan paling tinggi. Maka lekas-lekas ia menjura
kepada Tjeng Tiok.
"Maafkan aku untuk mataku yang kurang terang," katanya. "Tuan toh Thia Loo-pangtjoe?"
Thia Tjeng Tiok tertawa.
"Benar-benar liehay matanya Seng-tjhioe Sin-touw!" katanya. "Djiewie tidak kenal satu
sama lain apabila djiewie tidak bentrok, maka sekarang, mari kita minum bersama-sama!"
Semua orang lantas duduk.
Gie Seng dan Koei Lam lantas saling memberi selamat dengan arak, satu sama lain
mereka akui kesemberonoan mereka.
Gie Seng kemudian tertawa ketika ia kata: "Sungguh aneh, entah dari mana dia curinya
pispot itu!"
Mendengar ini, semua orang tertawa.
Koei Lam berlaku sopan-santun, tidak saja ia tahu ia berhadapan sama dua jago dari
Hoopak dan Shoatang, di situ pun Sin Tjie yang agaknya dipandang tinggi kedua jago itu,
hingga ia menduga, pemuda ini bukan orang sembarangan. Ia pun telah saksikan
keliehayannya selagi si anak muda pisahkan mereka.
"Untuk maksud apa djiewie sampai di sini?" Tjeng Tiok tanya kemudian. "Kau sendiri,
Ouw Lauwtee, apakah kau lihat dan penujui salah satu hartawan di sini hingga kau berniat
perlihatkan ilmu kepandaianmu?"
"Di dalam wilayah Thia lootjianpwee mana berani aku main gila?" sahut Koei Lam sambil
tertawa. "Aku hendak pergi memberi selamat kepada Loo-ya-tjoe Beng Pek Hoei."
"Hei, mengapa kau tak menyebutkannya maksudmu itu siang-siang?" menegur Gie Seng
sambil tepuk meja. "Aku juga berniat pergi memberi selamat! Coba aku ketahui
maksudmu, mana kita bentrok..."
"Tapi inilah bagus!" tertawa Tjeng Tiok. "Kita sama-sama hendak memberi selamat pada
Beng Loo-yatjoe, mari besok kita berangkat bersama-sama. Rupanya djiewie kenal baik
Beng Looyatjoe itu?"
"Beng Toako itu adalah sahabatku sejak dua-puluh tahun yang lampau!" jawab Thie Lo
Han. "Selama yang belakangan ini aku lebih banyak berdiam di Kwietang Hokkian, jarang
aku pergi ke utara. Sudah kira-kira delapan atau sembilan tahun kami tak pernah bertemu
satu dengan lain."
"Kalau demikian Lo Han Toako, tolong kau perkenalkan aku dengannya," kata Ouw Koei
Lam.
Tauwtoo itu menjadi heran.
"Apa?" katanya. "Apakah kau tak kenal Beng Toako? Habis kenapa kau hendak pergi
kasih selamat padanya?"
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
"Aku adalah seorang yang sejak lama kagumi Beng Toako, sayang belum ada jodonya aku
bertemu dengannya," Koei Lam akui. "Belum lama ini aku telah dapatkan serupa barang
berharha, aku pikir, untuk berkenalan sama orang kang-ouw kenamaan ini, aku boleh
berikan bendaku itu."
"Begitu!" kata si tauwtoo. "Mengenai Beng Toako, jangan kata orang yang membekal
barang antaran, sekalipun yang tidak, dia bakal sambut dengan manis-budi. Beng Toako
sangat ramah-tamah. Kalau tidak, mengapa orang bandingi dia dengan Beng Siang
Koen?"
Mendengar orang menyebut dapat benda berharga, hatinya Thia Tjeng Tiok tertarik.
"Ouw Lauwtee, benda apa itu yang kau dapatkan?" tanyanya. Apa boleh kau bantu
membukan pandanganku dengan kau perlihatkan benda itu?"
"Seng-tjhioe Sin-touw telah curi banyak barangm yang tidak berharga mana dia pandang
mata?" kata See Thian Kong sambil tertawa. "Pasti itu adalah barang yang harganya sama
besarnya dengan sebuah kota...."
Nampaknya Ouw Koei Lam girang sekali.
"Barang itu sekarang berada padaku," ia beritahukan. Ia lantas merogo ke dalam sakunya,
akan keluarkan sebuah lopa-lopa terbuat dari emas yang indah dan tertabur batu pualam
dan mutiara.
"Di sini ada banyak mata, mari kita pergi ke dalam kamar," kata dia kemudian.
Semua orang ingin lihat isinya lopa-lopa indah itu, semua lantas bertindak ke dalam
kamar.
Begitu lekas ia telah rapatkan pintu, Ouw Koei Lam buka lopa-lopanya di dalam mana
terdapat dua ekor kodok pek-tjiam-sie yang sudah menjadi bangkai, tubuhnya putih
bagaikan salju seluruhnya, biji matanya merah bagaikan darah hidup. Memang,
nampaknya dua ekor kodok itu menarik hati untuk dipandang, akan tetapi semua orang
tidak lihat faedahnya.
Tjeng Tiok dan Thian Kong sendiri, yang berpengalaman luas, masih tak mengerti juga.
Ouw Koei Lam awasi Gie Seng, ia tertawa.
"Tadi berdua kita adu tenaga," katanya, "umpama kata kita terbinasa karenanya, itu dia
yang dinamakan takdir, tidak ada pertolongan lagi, akan tetapi andaikata kita cuma terluka
parah, aku mempunyai daya-upaya untuk tolong mengobatinya hingga kita terbebas dari
ancaman malapetaka." Dia lantas tunjuk sepasang kodok putih itu: "Inilah kodok Tjoetjeng
peng-tjiam yang hidupnya di Soat San, Gunung Salju di See-hek, perbatasan barat.
Tidak perduli luka bagaimana hebat, di luar, atau terkena racun, asal orang tidak mati
seketika, dia dapat ditolong setelah dia makan kodok ini, kodok es. Kemujarabannya obat
ini tidak ada tandingannya."
"Dari mana kau dapatkannya ini?" Tjeng Tiok tanya.
"Dari satu imam tua," sahut Koei Lam. "Pada bulan yang lalu aku berada di Hoolam, selagi
singgah di hotel aku bertemu sama imam itu yang sedang sakit berat sampai hampir mati.
Aku kasihan terhadapnya, aku berikan ia uang sepuluh tail, untuk ia panggil tabib dan
berobat, aku sendiri layani dia selama sakitnya itu. Dasar umurnya sudah sampai, obat
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
dan rawatanku tidak menolong, akhirnya tak dapat ia hidup lebih lama pula. Imam itu ingat
budi, di saat hendak menghembuskan napasnya yang terakhir, dia kasikan kodoknya ini
kepadaku, untuk membalas kebaikanku."
"Mengapa lopa-lopanya demikia indah?" Thie Lo Han tanya.
"Pada mulanya, si imam tempatkan ini dalam sebuah lopa-lopa kaleng," menerangkan
Koei Lam. "Sekarang aku hendak haturkan kodok es ini kepada Beng Looyatjoe, maka aku
tukar tempatnya, supaya setimpal dilihatnya."
See Thian Kong tertawa.
"Maka lantas kau, dengan tangan kosong, kunjungi suatu hartawan, untuk dapatkan lopalopa
emas dan indah ini?" katanya.
"See Tjeetjoe pandai menerka," tertawa Koei Lam. "Lopa-lopa emas ini kepunyaan nona
besar dari satu hartawan she Lauw di kota Kay-hong..."
Semua orang tertawa.
Koei Lam tak malu ditertawai, ia pun tertawa juga.
"Tadi," katanya, melanjuti, "jikalau tidak tuan ini menolongi, kita berdua mesti rubuh
dengan luka-luka parah, andaikata aku terluput dari kematian, pasti aku akan makan satu
kodok es ini dan berikan dia yang lainnya. Kita berdua tidak bermusuhan, mustahil aku
mesti bikin dia celaka?"
"Dengan begitu aku jadi bakal terima budimu!" tertawa Thie Lo Han.
Maka lagi-lagi semua orang tertawa.
"Dan sekarang, kedua kodok ini tetap bukanlah kepunyaanku," kata pula Koei Lam. Lalu
dengan kedua tangannya, dia angsurkan kodok itu kepada Sin Tjie. "Tak berani aku
menyebut membalas budi tetapi ini melainkan ada tanda hati dari aku."
Sin Tjie heran hingga ia melengak.
"Mana dapat!" katanya kemudian. "Kodok ini kau toh kau hendak berikan kepada Beng
Loo-yatjoe..."
"Jikalau siangkong tidak berkorban untuk tolongi kami, pasti aku sudah mati," kata Koei
Lam, "maka itu, nyata sepasang kodok es ini bukan jodonya Beng Loo-yatjoe. Untuk
hadiah, bukannya aku tekebur, sembarang waktu aku bisa dapatkan gantinya, maka tak
usah siangkong buat pikiran."
Masih Sin Tjie menampik, karena mana, Koei Lam agaknya kurang puas.
"Siangkong tidak mau perkenalkan she dan nama, sekarang siangkong juga tidak sudi
terima barangku, apa mungkin siangkong sangka kodok es ini aku dapatinya dari
mencuri?" katanya. "Apa mungkin siangkong anggap ini barang kotor?"
"Maaf, saudara Ouw," kata Sin Tjie dengan cepat. "Tak sempat tadi aku perkenalkan diriku.
Aku ada Wan Sin Tjie."
"Aha!" berseru Thie Lo Han dan Koei Lam juga. "Jadinya siangkong ada Wan Toaya yang
menjadi bengtjoe dari tujuh propinsi! Pantas toaya liehay sekali."
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Keduanya lantas unjuk sikap sangat menghormati.
"Ouw Toako memaksa hendak memberikannya, jelek untuk aku menampik, baik aku
terima," kata Sin Tjie kemudian. "Banyak-banyak terima kasih!"
Ia sambuti kodok es itu, untuk disimpan dalam sakunya.
Bukan main girangnya Koei Lam, wajahnya berseri-seri.
Sin Tjie pergi ke kamarnya akan kembali bersama sepohon batu bunga-karang merahdadu
yang terang bercahaya, indah dan tak ada cacatnya, tak ada sebutir jua pasir
tercampur di dalamnya, kapan ia letaki itu di atas meja, ruangan jadi tambah terang luar
biasa. Jadi itu adalah mustika bunga-karang.
Koei Lam tercengang, walaupun ia pernah lihat banyak barang permata.
"Belum pernah aku lihat mustika ini," katanya. "Mungkin dalam istana kaisar Baru
kedapatan ini macam mustika. Apakah ini pusaka turunan, Wan Toaya? Dengan ini mataku
telah terbuka."
Sin Tjie tertawa.
"Ini melainkan suatu benda permainan," bilangnya. "Meskipun barang ini indah,
kefaedahannya masih kalah dengan kodok es itu, yang bisa menolongi jiwa orang. Secara
kebetulan saja aku peroleh ini. Aku harap saudara Ouw suka menerimanya, untuk ganti
barang antaranmu."
"Tapi ini terlalu berharga," Koei Lam kata.
"Tidak apa, saudara Ouw. Kau terimalah."
Karena terdesak, Koei Lam terima juga. Ia mengucap terima kasih.
Tjeng Tiok semua kagum untuk sifat Sin Tjie ini.
Sampai di situ, mereka beristirahat, untuk besoknya pagi, mereka melanjuti perjalanan,
maka sorenya, sampailah mereka di Po-teng. Mereka singgah dulu di hotel, lalu
besokannya pagi-pagi, mereka sudah bikin kunjungan kepada Beng Pek Hoei, jago Utara
itu.
Kapan tuan rumah lihat tiga nama - Wan Sin Tjie, Thia Tjeng Tiok dan See Thian Kong - ia
sendiri yang keluar menyambut, akan tetapi kapan ia telah saksikan Sin Tjie hanya
seorang muda, ia menjadi sedikit melengak. Inilah ia tak sangka, dengan sendirinya ia
menjadi tak puas.
"Kenapa orang-orang gagah dari tujuh propinsi jadi begini angot," pikirnya, "Kenapa
mereka pilih bocah semacam ini menjadi bengtjoe?"
Sebagai seorang yang gemar bergaul, biar bagaimana, Beng Pek Hoei layani juga tetamutetamunya
itu; ia dibantu oleh kedua anaknya, Beng Tjeng dan Beng Sioe. Ia
menghaturkan terima kasih, ia utarakan penghargaannya kepada semua tetamu itu, lantas
ia undang mereka masuk, untuk duduk.
Sin Tjie lihat tuan rumah bertubuh kekar, rambut dan kumis-jenggotnya telah putih semua,
tindakannya masih tetap, suatu tanda bahwa dia mengerti baik ilmu silat, sementara kedua
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
puteranya sedang mudanya dan romannya gagah.
Kapan kemudian kedua pihak telah bicara lama juga, segera ternyata Beng Pek Hoei
kurang setuju dengan rapat besar di Tay San, selagi Thia Tjeng Tiok dan See Thian Kong
omongkan itu, dia seperti tak memperhatikan, dia tidak campur bicara atau
menanyakannya.
Selang tidak lama, datang lain tetamu, dengan memohon maaf, Pek Hoei tinggalkan
rombongan Sin Tjie, untuk sambut tetamu Baru itu.
"Dia dijuluki Kay Beng Siang,mengapa dia layani tetamunya begini adem?" pikir Tjeng
Tjeng. "Mestinya dia kesohor namanya saja...."
Habis minum teh, Beng Sioe temani rombongan Sin Tjie ini pergi ke ruang belakang, untuk
saksikan pelbagai barang antaran atau tanda mata dari sekalian tetamu. Di sana mengitari
sebuah meja berada Pek Hoei bersama sejumlah tetamu lainnya. Rata-rata tetamu itu
memberikan pujiannya.
Melihat pada Sin Tjie beramai, Pek Hoei lekas-lekas menghampirkan.
"Saudara Wan, tak sanggup aku terima budi kebaikanmu ini!" katanya. "Sumbangan
saudara berharga sangat besar..."
"Untuk hari ulang tahun lootjianpwee, barang itu tidak berharga," sahut Sin Tjie.
Thian Kong beramai dekati meja, hingga mereka bisa lihat banyaknya barang tanda mata,
yang indah-indah, sedang tanda mata dari Sin Tjie ada dua-puluh empat butir mutiara serta
kuda-kudaan kumala, dan sumbangan Tjeng Tjeng ada semangka-semangkaan dari batu
hoeitjoei. Mencolok adalah tanda mata dari Ouw Koei Lam, itu batu bunga-karang.
Beng Pek Hoei tidak puas Sin Tjie yang muda diangkat sebagai bengtjoe, tapi sekarang
menyaksikan sikap sopan santun dan manis budi pemuda itu, dia dipanggil dengan
sebutan lootjianpwee serta barang sumbangannya demikian indah dan mahal, berubahlah
perasaannya, dia mulai menjadi suka. Dia pun heran untuk kelakuan hormat dan halus dari
anak muda ini.
Kapan kemudian telah selesai orang memberi selamat kepada tuan rumah, pada
malamnya tuan rumah undang semua tetamu untuk dijamu. Itulah suatu pesta besar
sekali. Telah hadir lebih daripada tiga-ribu tetamu, sebab Pek Hoei adalah orang paling
kenamaan di Po-teng, dia kaya raya dan sangat gemar bergaul. Di dalam pesta, tuan
rumah ini berlaku sangat ramah-tamah, ia saban-saban menghaturkan terima kasih.
Di thia telah diatur kira-kira delapan-puluh meja, untuk semua tetamu yang ternama, dan
untuk tetamu lainnya, mereka berpesta di ruang belakang.
Sin Tjie bertiga Thia Tjeng Tiok dan See Thian Kong diundang duduk di meja pertama,
Beng Pek Hoei sendiri yang menemani. Di sini ada duduk juga - malah di kursi pertama -
Wan-yho-tan Thio Djiak Kok, seorang umur tujuh-puluh-delapan tahun, yang tersohor
gagah. Pek Hoei perkenalkan dia ini pada Sin Tjie bertiga.
Thio Djiak Kok juga heran mengapa rapat di Tay San pilih satu bengtjoe seorang muda dan
tak beroman luar biasa sebagai pemuda ini, dari heran, ia merasa lucu, tetapi ia tidak
bilang suatu apa.
Duduk bersama di meja pertama itu ada satu orang she Phang bekas tjongpeng, yang
masih dipanngil Phang Tjongpeng, begitupun Tang Kay San, piauwsoe kepala dari Eng
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Seng Piauw Kiok, serta beberapa orang kenamaan lain.
Habis beri selamat pula dengan secawan arak pada tuan rumah, sekalian tetamu ini lantas
dahar dan minum dengan gembira, dengan main bade-badean tangan juga.
Selagi pesta berjalan, satu tjhungteng datang masuk dengan tangannya membawa satu
barang hadiah, dia dekati Beng Tjeng, untuk bicara di kupingnya majikan muda ini dengan
pelahan, atas mana dia ini berbangkit, akan hampirkan ayahnya.
"Ayah, sungguh terang muka ayah," katanya. "Sin-koen Boe-tek Kwie Sin Sie suami-isteri
serta murid-muridnya telah datang untuk memberi selamat!"
Tapi Pek Hoei heran, hingga ia melengak.
"Sebenarnya aku tak punya hubungan dengan mereka," katanya.
Kapan dos barang antaran dibuka, di situ kedapatan selembar kertas merah yang memuat
huruf-huruf besar menyebutkan nama Kwie Sin Sie suami isteri serta murid-muridnya,
yang memberi selamat, serta di bawahan itu, dengan huruf kecil, ada tambahan mohon
suka diterima sumbangan uang emas sepuluh tail, uang emas mana, dalam rupa sepotong
goanpo kecil, terletak di dalam dos itu.
"Lekas menyambur!" kata tuan rumah, yang lantas bilang pada Thio Djiak Kok beramai,
"Maaf." Bersama dua anaknya, segera ia pergi keluar. Tapi lekas juga ia telah kembali,
dengan air muka riang-gembira, bersama dia ada Kwie Sin Sie suami-isteri bersama Bwee
Kiam Hoo, Lauw Pwee Seng dan Soen Tiong Koen.
Sin Tjie sudah lantas berbangkit untuk berdiri di pinggiran, terus ia menjura seraya
berkata: "Djie soeko, djie-soeso, baik?"
Kwie Sin Sie manggut.
"Oh, kau pun ada di sini...." sahut soeko yang kedua itu.
"Ehm," terdengar Kwie Djie-nio, yang tak perdulikan soetee itu.
"Silakan duduk di atas, soeko," kata Sin Tjie pula. "Aku nanti duduk bersama Kiam Hoo
beramai."
Mendengar bahwa mereka adalah soeheng dan soetee, Beng Pek Hoei tertawa.
"Bagus, bagus!" katanya. "Ada soeko yang begini terkenal yang menjadi tulang
punggung, jangan kata Baru menjadi bengtjoe dari tujuh propinsi, walaupun dari empatbelas
propinsi masih tepat!"
Dengan kata-katanya itu, Pek Hoei beranggapan Sin Tjie menjadi bengtjoe karena andalan
soehengnya itu.
Sin Tjie dengar itu, ia melainkan bersenyum, ia tak bilang suatu apa.
"Kau omong tentang bengtjoe, apa itu?" tanya Sin Sie dengan heran.
"Ah, aku bicara seenaknya saja, harap Kwie Djieko tak buat pikiran," sahut tuan rumah,
yang terus silakan tetamunya ini duduk bersama Thio Djiak Kok beramai, karena mana,
Sin Tjie pindah akan duduk bersama Kiam Hoo.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Di dalam pesta ini, wanita dan pria duduk bersama, tidak ada pemisahan.
Kwie Sin Sie dan nyonya bersama tuan rumah lantas saling memberi selamat, yang satu
untuk selamat panjang umur, yang lain untuk kedatangannya tetamu, kepada siapa pun
dihaturkan terima kasih buat antaran barang tanda matanya.
Habis minum tiga edaran, Tang Kay San berbangkit, untuk mohon undurkan diri, katanya
tak kuat ia minum banyak, ingin ia beristirahat.
Beng Pek Hoei tidak mencegah, malah ia suruh satu tjhungteng untuk antar tetamu ini ke
balai istirahat.
Tiba-tiba Kwie Sin Sie kata dengan tawar: "Kami telah pergi kemana-mana untuk cari Tang
Piauwsoe, kami tidak berhasil, maka kami sangka, piauwtauw mesti ada di sini, buktinya
sekarang benar dugaan kami itu!"
Tang Kay San berubah wajahnya, dia likat agaknya.
"Aku dengan Kwie djie-ya tidak punya dendaman atau permusuhan, dahulu tidak,
sekarang pun tidak," katanya. "Maka kenapa Kwie Djie-ya bergitu mendesak mencari
aku?"
Orang banyak heran, hingga mereka menunda cawan arak mereka. Semua orang
mengawasi kedua tetamu ini.
Beng Pek Hoei tertawa.
"Di antara djiewie ada sangkutan apa?" tanyanya. "Aku minta djiewie suka memandang
aku, biarlah aku dapat mendamaikannya."
"Sudah lama aku kagumi nama Kwie Djie-ya," berkata Tang Kay San. "Dengan dia aku
belum pernah berkenalan, maka aku pun tidak mengerti kenapa Kwie Djie-ya cari aku
kemana-mana...."
Mendengar ini, Pek Hoei lantas saja mengerti. Di dalam hatinya, ia kata: "Bagus benar!
Kamu berdua jadi bukan dengan setulus-tulusnya hati datang untuk memberi selamat
kepada aku! Yang satu adalah untuk menyingkirkan diri, yang lain untuk menyusul! Si
orang she Tang ini menghargai aku, dia telah memasuki rumahku, biar bagaimana, tak
dapat aku ijinkan dia mendapat susah." Karena memikir begini, ia terus kata kepada
tetamunya yang baru: "Kwie Djie-ya, apabila kau ada punya urusan, baik kita bicarakan itu
selewatnya hari ini. Kita semua ada sahabat-sahabat baik, urusan apa juga dapat
didamaikan."
Kwie Sin Sie tak pandai bicara, maka isterinya yang wakilkan dia.
"Ini adalah anak tunggal dari Djie-ya," berkata nyonya ini sambil ia tunjuk puteranya, yang
senantiasa berada dalam empoannya. "Anak ini telah mendapat sakit berat, dia tinggal
matinya saja, karena itu kami hendak mohon Tang Piauwtauw berbuat kebaikan kepada
kami dengan berikan beberapa butir obat pulungnya kepada kami, untuk tolongi jiwanya
anak kami ini. Tentu saja itu ada satu budi yang besar sekali."
"Itu adalah hal yang selayaknya," kata Beng Pek Hoei, yang terus berpaling kepada
piauwsoe she Tang itu, akan kata: "Tuan Tang, menolongi satu jiwa manusia ada lebih
berjasa daripada mendirikan sebuah menara tujuh tingkat, maka itu, tolong kau berikan
obat kepada anak ini. Inilah permintaan dari Kwie Djie-ya, satu enghiong yang kenamaan."
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
"Coba hok-leng dan ho-sioe-ouw itu ada kepunyaanku sendiri, tidak usah Kwie Djie-ya
capaikan hati akan cari aku, pasti siang-siang aku sudah menghaturkannya dengan kedua
tanganku," sahut Tang Kay San. "Akan tetapi obat itu ada kepunyaan Ma Taydjin, tjongtok
dari Hongyang - itu ada upeti untuk kotaraja, maka itu, bagaimana dapat aku
menyerahkannya? Barang telah diserahkan dalam pertanggungan-jawab dari Eng Seng
Piauw Kiok, apabila aku membuat gagal, di belakang hari, cara bagaimana kami dapat
hidup di dalam kalangan kang-ouw ini?"
Tang Piauwsoe telah memberikan alasan kuat, orang menjadi serba salah.
Phang Tjongpeng dengar halnya barang upeti, lantas saja dia campur bicara.
"Barang upeti berarti barangnya Sri Baginda, siapa bernyali besar berani ganggu itu?"
katanya dengan nyaring.
"Hm!" Kwie Djie-nio menyambuti. "Walaupun itu ada barangnya Giok Hong Tay Tee, mesti
aku mengambilnya!"
Phang Tjongpeng jadi gusar, hingga dia keluarkan lagak pembesarnya.
"Bagus!" serunya. "Orang perempuan, kau hendak berontak?"
Kwie Djie-nio jadi tambah murka. Dengan sumpitnya dia jemput sepotong bakso, selagi si
tjongpeng belum sempat tutup rapat mulutnya, dia menimpuk, tepat masuk ke dalam
mulut, sedangkan si tjongpeng lagi kaget, lain-lain potongan bakso beruntun menyambar
mulutnya jadi penuh, hingga dia jadi kelabakan.
Jago tua Thio Djiak Kok menjadi tidak senang.
"Ini hari ada hari ulang tahun Beng Toaya, mengapa kau mengacau?" pikirnya.
Lantas dia jumput para-para sumpit mirip goanpo, ia menepuk dengan keras, hingga parapara
itu nancap di atas meja.
"Kau pertontonkan tenaga lweekang, siapa jeri padamu?" kata Sin Sie dalam hatinya.
Lantas dia letaki tangannya di atas menja, diam-diam ia kerahkan tenaganya, di mata
orang kebanyakan, dia tidak berbuat suatu apa, akan tetapi tahu-tahu para-para sumpit itu
meletik sendirinya, seperti tercabut dengan ilmu dewa.
Mukanya Thio Djiak Kok menjadi merah, dia jengah sendirinya. Lagi dia keprak meja,
lantas dia menoleh kepada tuan rumah, akan kata: "Beng Lauwtee, saudaramu telah
mendapat malu di rumahmu ini...." Lantas dia bertindak keluar, tindakannya lebar.
"Jangan kesusu, Thio Looyatjoe," kata dua pelayan, sambil menyusul. "Silakan looyatjoe
minum teh di ruang belakang...."
Djiak Kok tidak perdulikan cegahan itu, malah dengan buka kedua tangannya, ia bikin
kedua pelayan sempoyongan dan jatuh terpental. Ia jalan terus.
Beng Pek Hoei menjadi tidak senang. Ia anggap pestanya yang berjalan dengan gembira
itu telah dikacau oleh Kwie Sin Sie suami-isteri. Tapi, belum sampai dia bicara, Phang
Tjongpeng sudah berteriak kelabakan. Dia ini bisa keluarkan semua bakso dari mulutnya,
kecuali sepotong yang pertama, yang nyerobot terus lewat tenggorokannya, masuk ke
dalam perutnya!
"Berontak! Berontak!" Demikian suaranya yang nyaring. "Apakah masih ada undangKang
Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
undang raja? Mari!"
Dia memanggil orangnya. Lantas dua pengikutnya muncul. Mereka ini menantikan di luar,
mereka tidak tahu apa-apa, mereka masuk sambil berlari-lari.
"Lekas gotong Tay-Kwan-too-ku!" kata Phang Tjongpeng itu, yang bersenjatakan Taykwan-
too itu - golok Kwan Kong.
Ketika ia peroleh pangkat, Phang Tjongpeng dapati itu karena andalkan pengaruh
isterinya, boegeenya masih rendah, akan tetapi dia aksi, dia perintah tukang besi bikin
golok Kwan Kong yang besar tapi di dalamnya, besinya dikosongkan. Kalau dia tunggang
kuda, dia cekal goloknya itu, sengaja dia perlihatkan sebagai dia lagi pegang senjata berat,
hingga orang kagumi dia karena tenaganya yang besar. Goloknya itu pun mesti selalu
digotong dua pengiringnya. Sekarang dia gusar dengan mendadak, kumat penyakit
tekeburnya, sampai dia lupa dirinya lagi berada di tempat apa, dia beraksi. Tentu saja dua
pengiringnya jadi melengak. Mereka datang ke pesta, mereka tak bawa-bawa gegaman
berat itu. Karena itu, satu pengiring loloskan saja golok di pinggangnya, dan angsurkan itu
kepada majikannya.
Beng Pek Hoei kenal bekas tjongpeng ini, menampak aksinya dia geli berbareng mendelu.
"Jangan!" tuan rumah ini segera menyela.
Tapi Phang tjongpeng biasa anggap jiwa manusia bagaikan rumput saja, goloknya telah
menyambar ke arah Kwie Djie-nio!
Nyonya Kwie Sin Sie empo anaknya, dengan tangan kanan, maka itu, atas serangan, dia
ulur tangannya yang kiri; dengan dua jari telunjuk dan tengahnya, ia sambuti, menjapit
golok yang dipakai membacok dia.
"Toalooya, kau hendak apa?" dia menegur.
Tjongpeng pensiunan itu tarik goloknya, ia tidak berhasil. Bagaikan dijepit dengan sepit
besi, demikian golok itu diam di antara jepitan kedua jarinya si nyonya, tak sanggup ia
untuk membuat bergeming saja, hingga ia jadi penasaran. Lantas ia cekal gagang golok
dengan kedua tangannya, ia menarik dengan sekuat tenaganya!
Dengan tiba-tiba saja Kwie Djie-nio lepaskan jepitannya, maka tidak ampun lagi, bekas
tjongpeng itu rubuh terjengkang ke belakang tanpa dia bisa pertahankan tubuhnya, dia
rubuh terbanting, belakang golok jatuh menimpa jidatnya, hingga bengkak-benjutlah jidat
itu sebesar telur ayam!
Kedua pengiring lekas menghampirkan majikannya, untuk dibangunkan.
Malu bekas tjongpeng ini, tanpa bilang suatu apa lagi, bersama dua pengiringnya itu dia
ngeloyor pergi, meninggalkan ruang pesta, selagi lewati pintu, dia damprat dua pengiring
itu, yang dikatakan sudah tak gotong golok besarnya....
Dalam waktu kalut itu, Tang Kay San memikir untuk menyingkir, tapi Kwie Sin Sie bisa
terka maksudnya.
"Tang Piauwsoe, tinggalkan obatmu!" kata jago ini. "Aku tidak akan bikin susah
padamu...."
Kay San jadi sangat terdesak, maka ia berdiri diam di tengah ruangan.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
"Aku tahu aku Tang Kay San bukan tandingan kau, Sin-koen Boe-tek," kata dia. "Jiwaku
ada di sini, jikalau kau hendak ambil, nah, ambillah!"
"Siapa inginkan jiwamu?" kata Kwie Djie-nio. "Kau keluarkan obatmu!"
Beng Tjeng, putera sulung dari Beng Pek Hoei, menjadi habis sabar. Ia maju ke depan
Tang Piauwsoe.
"Orang she Kwie," berkata dia, "hari ini ada hari ulang tahun ayahku, jikalau ada urusan di
antara kamu, silakan urus itu di luar!"
"Baik!" sahut Kwie Sin Sie. "Tang Piauwtauw, mari kita pergi keluar!"
Tapi piauwsoe itu tak sudi ikuti orang.
Kwie Sin Sie menjadi habis sabar, ia ulur sebelah tangannya, untuk menjambak.
Tang Kay San mundur setindak untuk tidak mengenai tangan itu.
Sin Sie telah ulur tangannya, tak pernah itu ditarik pualng dengan tangan kosong. Tang
Kay San ada piauwsoe kepala dari satu piauw-kiok kesohor. Boegeenya pun bukan
boegee sembarangan, akan tetapi tangan Sin Sie cepat luar biasa, tak perduli dia
undurkan diri, bajunya kena juga terjambak hingga robek!
Kembali Beng Tjeng menghalangi diri.
"Tang Piauwsoe ada tetamu, yang sengaja datang untuk memberi selamat kepada ayahku,
kami tidak dapat ijinkan dia diperhina orang di tempat kami," katanya.
"Habis apa kau kehendaki?" tanya Kwie Djie-nio. "Kau dengan sendiri bukankah suamiku
telah perintah dia pergi keluar?"
"Kamu mempunyai urusan penting dengan Tang Piauwsoe, apakah tak dapat kamu pergi
cari dia di Eng Seng Piauwkiok?" tanya Beng Tjeng. "Kenapa kamu justeru datang
mengacau di sini?"
Dalam sengitnya, anak muda ini jadi tak sungkan-sungkan lagi bicaranya.
"Kami mengacau, habis bagaimana?" berseru Kwie Djie-nio.
Mukanya Beng Pek Hoei jadi guram-suram. Dia lantas berbangkit.
"Baiklah!" katanya. "Jikalau Kwie Djie-ya memandang aku, aku si orang tua suka terima
pengajaran daripadamu."
Saking habis sabar, jago tua ini terpaksa menantang.
"Ayah, hari ini ada hari ulang tahunmu, biarkan anakmu saja," Beng Tjeng bilang.
Tuan rumah yang muda ini lantas panggil orang-orangnya untuk mereka singkirkan kursimeja,
untuk memberi satu ruangan terbuka, hingga karenanya, pesta jadi terganggu.
"Jikalau benar kau hendak mengacau, mari maju!" kemudian Beng Tjeng menantang.
"Jikalau benar kau hendak turun tangan terhadap suamiku, baik kau belajar silat lagi dua
puluh tahun!" peringati Kwie Djie-nio dengan tekebur. "Sekalipun begitu, aku sangsikan
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
kau bakal berhasil!..."
Beng Tjeng telah dapat warisan banyak dari ilmu silat ayahnya, dia pun sedang muda dan
gagahnya, sampai sebegitu jauh, belum pernah ia menemui tandingan, maka meskipun ia
pernah dengar nama kesohor dari Kwie Sin Sie suami-isteri, dalam kejadian seperti ini, tak
dapat ia menahan sabar lebih jauh.
"Kwie Loo-djie, kau mahluk apa maka kau berani mengacau di sini?" ia berseru. "Jikalau
Beng Siauwya kalah daripadamu, nanti aku antap apa kau suka perbuat terhadap Tang
Piauwtauw, selanjutnya kami keluarga Beng tak akan campur tahu pula. Umpama kata aku
yang menang, bagaimana denganmu?"
Kwie Sin Sie tak suka omong banyak, maka dengan pelahan, dia jawab: "Asal kau
sanggup sambut tiga jurus dari aku, aku nanti menjura terhadapmu!"
Orang banyak tidak dapat dengar suara itu, mereka saling tanya satu pada lain.
Beng Tjeng tertawa besar.
"Tuan-tuan dengar, dia jumawa atau tidak?" kata dia kepada sekalian tetamunya.
"Dia bilang, asal aku sanggup sambut tiga jurus serangannya, dia bakal menjura
kepadaku! Benarkah begitu, Kwie Loo-djie?"
"Tidak salah!" sahut Kwie Sin Sie. "Kau sambutlah!"
Dengan sekonyong-konyong saja kepalan kanan jago ini menyambar, dengan gerakannya
"Tay San ap teng" atau "Gunung Tay San menindih batok kepala".
"Lihat, soekomu telah menelad contohmu!" kata Tjeng Tjeng pada Sin Tjie.
"Kau maksudkan apa?" Sin Tjie tegasi.
"Ketika kau layani murid soekomu itu, bukankah kau pun menyebutkan seranganmu
berapa jurus?" si nona balik tanya.
"Orang she Beng ini tidak tahu selatan, dia mana tahu liehaynya soeko," kata Sin Tjie,
yang tidak jawab si nona.
Beng Tjeng lihat serangan datang, ia hendak lawan keras dengan keras, ia menangkis
dengan tangan kanan, tangan kirinya dibarengi dipakai menyerang. Maka kedua lengannya
bergerak dengan berbareng.
"Dia jumawa, dia rupanya punya kepandaian yang berarti," pikir Sin Sie, yang lihat sikap
pemuda itu dan merasakan juga bentroknya kedua tangan. Tapi ia tidak mau memberi hati.
Justeru ia diserang dengan tangan kiri, tangan kirinya mendahului, menyambar lengan
atas orang, diteruskan disampok.
Beng Tjeng telah wariskan ilmu "Koay wah Sam-sip-tjiang" dari ayahnya, ilmu silat itu
sangat utamakan beh-sie, atau kuda-kuda maka kedudukannya jadi kuat sekali, dia tak
kena disempar lawannya.
"Celaka!" kata Sin Tjie dengan pelahan. "Pukulan pertama ini tak membuat dia
bergeming..."
Kwie Sin Sie sudah lantas ulangi serangannya.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Beng Tjeng dapat ketika, karena ia tahu lawannya tangguh, ia menyambut dengan dua-dua
tangannya, tapi tanpa ia menduga suatu apa, tahu-tahu ia rasakan dorongan keras sekali,
otaknya menjadi butek, pusing sekejab saja dia rubuh terjengkang, dengan tak sadar akan
dirinya.
Semua orang menjadi kaget.
Beng Pek Hoei dan Beng Sioe lompat, akan kasi bangun itu anak atau saudara.
Beng Tjeng cepat sadar, walaupun dengan pelahan-lahan, akan tetapi begitu ia buka
mulutnya, ia semburkan darah yang telah berwarna hitam, sebab ternyata ia telah terluka
di dalam.
Kwie Sin Sie tak dapat sampok orang hingga terpelanting, ia mau percaya, pemuda ini
benar-benar liehay, maka kapan ia menyerang pula, ia gunai tenaga penuh. Kali ini Beng
Tjeng tak dapat pertahankan diri, ia rubuh dengan segera. Melihat demikian, Sin Sie jadi
menyesal, ia kuatir orang nanti mati karena lukanya itu.
Teng-kah-sin Teng Yoe dan Beng Sioe menjadi meluap hawa amarahnya, tanpa berdamai
lagi, keduanya loncat maju, untuk menyerang. Beng Pek Hoei sendiri lantas uruti
puteranya, sambil menolongi, ia lihat tarikan napas pelahan sekali dari puteranya itu,
tanpa merasa, air matanya berlinang dan turun mengucur. Tiba-tiba saja dia berbangkit
untuk menyerang tetamunya yang dianggap pengacau pesta itu.
Itu waktu Kwie Sin Sie lihat Tang Kay San hendak menyingkir, maka tempo Teng Yoe dan
Beng Tjeng serang dia, dia berkelit dengan nyelundup di bawah, berbareng dengan mana,
ia berhasil dekati si piauwsoe, iga siapa terus ia totok. Piauwsoe itu tak berdaya, hingga
dia lantas jadi berdiri diam, hanya lucunya, justeru dengan sikap sebelah kaki di depan,
sebelah kaki di belakang seperti orang lagi berlari...
Beng Pek Hoei sendiri sudah bertempur dengan Kwie Djie-nio sebab nyonya ini telah
majukan diri, akan lindungi suaminya dari bokongan. Jago tua itu seperti kalap, di sebelah
itu, Kwie Djie-nio sedang empo anaknya, maka ini nyonya lekas juga kena terdesak,
beberapa kali dia terancam bahaya.
Soen Tiong Koen bersama Bwee Kiam Hoo dan Lauw Pwee Seng juga turun tangan, telah
bentrok dengan beberapa murid-muridnya Beng Pek Hoei, hingga medan pesta menjadi
ramai dengan pelbagai rombongan pertempuran.
Thia Tjeng Tiok dan See Thian Kong menjadi sibuk sendirinya.
"Wan Siangkong, mari kita lekas memisahkan!" mereka mengajak. "Aku kuatir perkara
bisa menjadi terlebih hebat!"
"Soeko dan soeso mendendam terhadapku, apabila aku turun tangan, perkara justeru
bakal menjadi lebih hebat lagi," kata Sin Tjie. "Coba kita lihat dulu sebentar..."
Ketika itu Kwie Sin Sie telah bantui isterinya, maka Kwie Djie-nio jadi bisa bernapas lega,
sedang sebaliknya, Beng Pek Hoei segera kena terdesak, sebab orang she Kwie ini terlalu
liehay untuknya. Malah lagi sesaat, jago tua itu telah kena ditotok hingga dia tidak berdaya
lagi. Habis itu, bagaikan kupu-kupu di antara bunga-bunga, Kwie Sin Sie nyerbu di antara
murid-murid atau orang-orangnya Pek Hoei, setiap ia lonjorkan tangannya, tentu ada
orang-orang yang berhenti berkelahi dengan sikapnya masing-masing sendiri, ada yang
lagi menjotos, ada yang lagi menendang, ada yang lagi berkelit atau berpaling, semua
tubuh mereka tak bergeming, melainkan mata mereka yang bercilakan.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Di antara hadirin ada banyak orang-orang gagah akan tetapi menyaksikan liehaynya Kwie
Sin Sie, tidak ada satu diantaranya yang berani majukan diri, untuk memisahkan, hingga
karenanya, pertempuran berhenti sendirinya sesudah Sin Sie rubuhkan semua lawannya.
"Geledah si orang she Tang!" Kwie Djie-nio titahkan Kiam Hoo.
Murid itu buka bungkusan yang tergendol di bebokong Tang Kay San, akan tetapi di situ
tidak kedapatan pel hok-leng dan ho-sioe-ouw yang dicari.
Kwie Sin Sie lantas totok piauwsoe itu, untuk hidupkan jalan darahnya.
"Mana itu obat pulung?" dia tanya.
"Hm, kau ingin dapatkan obat itu?" Kay San bilang. "Kenapa kau ikuti aku sampai di sini?
Kecewa kau menjadi orang kangouw yang ulung, sampai kau tidak menginsafi akal
tonggeret meloloskan sarung-raganya!..."
Gusar Kwie Djie-nio mendengar jengekan itu.
"Apa?" tegaskan nyonya yang keras perangainya ini.
"Obat itu sudah dikirim langsung ke kota raja dan mungkin sudah sampai sekian lama!"
jawab Kay San.
"Apakah benar?" tegaskan nyonya Kwie. Dia kaget berbareng mendongkol sekali.
"Aku sangat hargakan Beng loo-ya-tjoe sebagai sahabat baik, karenanya sengaja aku
datang kemari untuk memberi selamat padanya," Tang Piauwsoe terangkan. "Mustahil,
karena tahu kamu inginkan obat itu, lantas aku bawa kemari hingga karenanya aku bisa
rembet-rembet looyatjoe?"
Mendengar keterangan itu, Ouw Koei Lam si Malaikat Copet, dekati Sin Tjie untuk berbisik.
"Wan Siangkong, piauwsoe ini bermuka tebal, dia mendusta." Katanya.
Sin Tjie heran.
"Kenapa begitu?" Sin Tjie tegaskan.
"Sebab aku tahu di mana dia sembunyikan obat itu," jawab Koei Lam. Dan ia terus
menunjuk ke arah sioe-toh, ialah kue yang merupakan buah toh, tanda dari panjang umur,
yang terbuat dari tepung beras. Sioe-toh itu terletak di bawah tiok huruf "Sioe" yang besar.
"Mengapa kau bisa ketahui itu?" tanya ia pula.
"Akal biasa di kalangan kaum kangouw ini tak bisa lolos dari mataku!" jawab Koei Lam
sambil tertawa.
Tjeng Tjeng berada di samping mereka, ia dengar pembicaraan itu lantas saja ia tertawa.
"Ouw Toaya toh ada satu ahli!" ia turut bicara.
"Orang she Tang ini sangat licin," kata Koei Lam, sambil tertawa. "Dia rupanya telah duga
Kwie Djie-ya bakal susul padanya, dia umpetkan obat itu, supaya kalau sebentar Kwie Djieya
pergi, dia bisa ambil pula."
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Sin Tjie manggut, lantas ia muncul ke tengah ruangan, akan hampirkan Beng Pek Hoei.
Dengan hanyak sekali tepak dan totok pada kedua jalan darah "soan-kie" dan "sin-teng",
ia telah bikin sadar tuan rumah itu.
"Apa?" berseru Kwie Djie-nio, yang lihat perbuatannya soetee itu. "Apakah kembali kau
usilan?"
Dalam panasnya hati, ia serahkan anaknya kepada Soen Tiong Koen, kemudian ia ulur
tangannya terhadap Sin Tjie. Ia tahu soetee ini liehay, untuk tidak membahayakan anaknya
itu, untuk bikin ia leluasa bergerak, ia singkirkan anaknya lebih dahulu.
Sin Tjie berkelit ke kiri.
"Soeso, dengar dahulu aku!" kata dia.
Ketika itu Beng Pek Hoei sudah gerak-geraki kedua tangannya, kedua kaki dan tubuhnya
juga, dengan begitu dengan lekas ia dapat pulang kesegarannya. Rupanya ia penasaran,
maka dengan berbareng ia serang Kwie Djie-nio dengan tangannya kiri dan kanan,
masing-masing dengan tipu-silat "Seng siok hoet sie" dan "Hoei tim tjeng tan," atau "Di
musim panas mengebut kipas" dan "Mengebut debu untuk pasang omong." Inilah dua
tipu-silat dari ilmu silat "Koay-wah Sam-sip-tjiang" yang menjadi keahliannya.
Jago tua dari Utara ini sebanding dengan Kwie Djie-nio, maka itu, seperti bermula, mereka
berkutat dalam keadaan berimbang, sampai belasan jurus, tidak ada yang menang atau
kalah, hingga Kwie Sin Sie jadi hilang sabar.
"Kau mundur!" kata ia kepada isterinya.
Nyonya itu menurut, ia lantas mundur, sedang suaminya pegat Beng Pek Hoei, untuk
diserang, maka seperti tadi Baru beberapa jurus, tuan rumah itu sudah kena tertotok pula
hingga kembali ia berdiri diam saja.
Selama orang bertempur, terpaksa Sin Tjie berdiam diri, ia serba salah.
Begitu lekas pertempuran berhenti, Kwie Djie-nio lantas perdengarkan suaranya yang
keras dan keren. Dia sangat gelisah karena penyakit anaknya itu, yang hari demi hari jadi
bertambah lemah, hingga ia kuatir, apabila terlambat lagi sekian hari, anak itu bakal tidak
ketolongan lagi. Memangnya dia beradat aseran.
"Orang she Tang, apabila kau tidak keluarkan obatmu itu, aku nanti patahkan kedua
lenganmu!" demikian suaranya, yang sangat mengancam.
Dengan tangan kiri ia jambret sebelah tangannya si piauwsoe, tangan kanannya diangkat
naik. Asal tangan itu dikasi turun, pasti bercacatlah piauwsoe kepala dari Eng Seng Piauw
Kiok.
Tang Kay San kertak giginya atas dan bawah, yang ia bikin rapat.
"Obat tidak ada di sini, sia-sia saja kau patahkan lenganku!" kata dia dengan nekat.
Di antara hadirin, ada dua orang yang tak bisa lihati saja kejadian hebat itu, mereka maju
untuk memisahkan, akan tetapi mereka dipegat Kiam Hoo dan Pwee Seng, hingga dia
orang jadi bentrok.
Sin Tjie lihat onar jadi hebat sekali, maka ia anggap, perlu ia mesti turun tangan juga,
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
kalau tidak, tidak ada orang yang dapat mencegah huru-hara di medan pesta ini. Dengan
sekonyong-konyong saja dia mencelat kepada Soen Tiong Koen, dengan ulur kedua jari
tangannya, dalam gerakan "Siang liong tjhio tjoe" atau "Sepasang naga perebuti mutiara",
ia ancam kedua matanya murid perempuan dari soekonya itu.
Nona Soen menjadi kaget, ia angkat tangan kanannya, untuk menangkis. Tapi ia tidak bisa
kenai jeriji tangannya soesiok atau paman-cilik itu karena Sin Tjie pun menggunai tipudaya.
Selagi si nona sibuk, tahu-tahu tangan kanannya telah menolak dengan pelahan
pundak si nona, sampai dia ini mesti mundur tiga tindak. Justru itu, sebat luar biasa,
puteranya Kwie Djie-nio telah pindah ke dalam pelukannya pemuda ini, yang ancam Tiong
Koen melulu untuk rampas bocah itu.
"Soehoe! Soenio!" Soen Tiong Koen menjerit-jerit, bahna kaget dan takutnya. "Lekas!
Lekas!...."
Selagi Sin Sie dan isterinya berpaling, Sin Tjie sudah lompat naik atas sebuah meja.
"Adik Tjeng, pedang!" berseru si anak muda.
Cepat sekali, Tjeng Tjeng lemparkan pedang kepada kawannya itu.
Sin Tjie sambuti pedang dan terus saja berseru: "Kalian berhenti bertempur! Mari dengar
aku dahulu."
Merah kedua matanya Kwie Djie-nio, sinarnya berapi.
"Anak gila, kau berani ganggu anakku?" dia mendamprat. "Nanti aku adu jiwaku dengan
jiwamu!"
Nyonya ini menjejak lantai, dengan niat lompat maju.
"Sabar," Sin Sie membujuk seraya ia tarik tangan isterinya itu. "Ingat, anak kita ada di
tangan dia...."
Djie-nio dapat dibujuk, dia diam, tapi terus dia awasi pemuda itu.
"Djie-soeko, tolong kau merdekakan dulu jalan darahnya Beng Looyatjoe!" Sin Tjie lantas
minta kepada kandanya seperguruan.
"Hm...." bersuara Sin Sie, yang luluskan permintaan itu, maka di lain saat, Beng Looyatjoe
sudah dapat pulang kemerdekaannya.
"Semua tjianpwee, sekalian sahabat, sukalah kalian dengar aku sebentar," berkata Sin Tjie
seraya pandang semua hadirin. "Anaknya soeko dan soeso ini mendapat sakit berat,
untuk tolong anaknya itu, mereka hendak pinjam obat pel yang menjadi barang upeti dari
Tjongtok Ma Soe Eng yang kemaruk dan merkis, obat mana diserahkan ke dalam
tanggung-jawabnya ini Tang Piauwsoe, Piauwsoe ini telah kesudian menjual jiwanya
kepada tjongtok busuk itu, maka itu soeko dan soeso jadi cari dan saterukan dia!
Sementara itu Beng Looyatjoe adalah sahabat yang baik, tidak seharusnya, di saat pesta
hari ulang tahunnya ini, kita ganggu padanya."
Semua hadirin heran mendengar suaranya anak muda ini. Bukankah soeheng dan soetee
ini berada dalam kedudukan bermusuh? Kenapa sekarang sang soetee bicara untuk
kebaikannya sang soeheng?
Kwie Sin Sie sendiri dan isterinya turut merasa aneh juga.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Maka itu, semua orang mengawasi, menantikan.
Sin Tjie tidak perdulikan sikap orang banyak itu, dia berpaling kepada tuan rumah.
"Beng Looyatjoe, tolong kau buka kue sioe-toh itu," katanya kemudian kepada jago dari
utara itu. "Ada apa-apa yang luar biasa di dalam kue panjang umur itu."
Mendengar ini, mukanya Tang Kay San menjadi pucat.
Beng Pek Hoei tidak mengerti, tetapi walaupun dia bingung, dia iringi kehendaknya si anak
muda. Dia hampirkan sioe-toh, untuk buka belah kue itu, hingga di dalamnya, ia tampak
beberapa biji lah-wan putih. Masih ia tidak mengerti, karenanya, ia jadi berdiri tercengang.
Sin Tjie lihat lah-wan itu, lalu ia berkata pula: "Coba Tang Piauwsoe ini mempunyai
kepandaian berarti, tidak apa ia jual jiwanya kepada pemerintah, akan tetapi nyata dia
berhati rendah dan busuk, dia telah mencoba untuk adu-dombakan kita, supaya kita kaum
kang-ouw bentrok satu dengan lain! Beng Looyatjoe, adakah sioe-toh itu dan lainnya
antaran Tang Piauwsoe ini?"
Beng Pek Hoei manggut.
"Sengaja piauwsoe she Tang ini umpetkan lah-wan itu di dalam sioe-toh," Sin Tjie beber
orang punya rahasia. "Dia ketahui dengan baik, sioe-toh tidak bakal dimakan, maka obat
itu dia sembunyikan di dalamnya. Dia sudah pikir, kalau nanti pesta telah ditutup, dengan
diam-diam dia bisa ambil pulang obat itu. Dalam hal ini, dia tidak perdulikan Kwie Soeko
nanti bentrok dengan Beng Looyatjoe! Dengan dia berhasil dengan tipunya yang keji ini,
tidakkah ia bakal berjasa terhadap pemerintah?"
Sin Tjie lantas turun dari meja, untuk hampirkan sioe-toh.
Tjeng Tjeng segera maju, untuk bantui kawannya itu. Maka sedetik saja, lah-wan itu telah
dikasi keluar.
Baru sekarang Kwie Sin Sie dan Beng Pek Hoei sadar bahwa mereka telah kena orang
pedayakan.
Sin Tjie belah sebiji lah-wan, lantas bau obat yang harum menyerang hidungnya. Di dalam
lilin bundar itu ada sebutir obat pulung sebesar lengkeng, warnanya merah dadu.
"Coba tolong ambilkan air dingin," Sin Tjie minta pada Tjeng Tjeng.
Nona ini menurut, malah obat pulung itu segera ia aduk rata dengan air itu, sesudah mana,
itu obat lantas dicekoki kedalam mulutnya si bocah, yang keadaannya sudah jadi lemah
sekali, napasnya jalan dengan pelahan, dia tidak menangis. Dengan pelahan-lahan anak
itu telan air obat.
Kwie Djie-nio mengawasi saja, air matanya berlinang-linang, saking terharu dan
bersyukur. Berbareng ia pun malu sendirinya. Didalam hatinya, dia kata: "Coba tidak ada
soetee cilik ini, yang membuka rahasia, onar hari ini mestinya hebat tak terkira. Sudah
anakku tidak bakal ketolongan, aku pun telah berdosa terhadap kaum kang-ouw, sehingga
juga kehormatan suamiku jadi ternoda..."
Setelah anak itu habis makan obat, dengan kedua tangannya, Sin Tjie mengangsurkannya
kepada Kwie Djie-nio, siapa menyambuti sambil kata dengan pelahan: "Wan Soetee, tak
habisnya syukur kami suami-isteri...."
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Sin Sie, yang tak pandai bicara, cuma kata: "Soetee, kau baik, kau baik...."
Tjeng Tjeng jumput semua obat, untuk serahkan itu pada si nyonya aseran.
Kwie Djie-nio sedang sangat girang dan bersyukur, dia sambuti obat itu tanpa bilang suatu
apa.
Kwie Sin Sie sendiri segera totok sadar semua kurbannya.
Beng Pek Hoei diam saja, di dalam hatinya, dia kata: "Anakmu telah ketolongan, adalah
anakku telah dapatkan kebinasaannya.... Aku tak dapat membalas sakit hati... Biarlah, lain
kali saja aku mohon bantuan orang pandai akan mencari balas...."
Sin Tjie lihat orang gotong Beng Tjeng, hendak dibawa ke dalam. Dia lihat orang terluka
parah, hampir mati.
"Tunggu dulu!" ia segera memanggil.
"Kandaku tinggal matinya, apakah kau mau?" bentak Beng Sioe. Pikirannya sedang gelap,
dia menyangka jelek terhadap tetamunya yang muda itu.
"Sabar," Sin Tjie bilang. Ia tidak gusar. "Soekoku hargai Beng Looyatjoe, untuk bersahabat
dia masih belum dapat ketikanya, bagaimana dia bisa bikin celaka Beng Toako? Memang
benar dia telah serang Beng Toako sedikit hebat akan tetapi itu tak akan membahayakan
jiwa, kalian baik jangan berkuatir."
"Siapakah yang kamu hendak dustakan?" pikir mereka. Mereka juga sudah tidak
mempunyai harapan untuk Beng Tjeng.
Sin Tjie bisa duga orang kurang percaya dia, maka dia berkata pula: "Tidak ada niat dari
soekoku akan bikin celaka Beng Toako, maka asal Beng Toako dikasi obat dan dapat
beristirahat, dia bakal tak kurang suatu apa."
Tidak tunggu apa nanti orang bilang, Sin Tjie rogoh sakunya akan kasi keluar sebuah lopalopa,
ialah tempat dimana kodok esnya disimpan. Dia jumput satu di antaranya, terus ia
pencet hancur, untuk diaduk rata dengan arak, kemudian ia sendiri yang cekoki Beng
Tjeng.
Ruangan yang luas itu, dimana tadi keadaan ada sangat kacau, terbenam dalam
kesunyian. Semua mata mengawasi tindak-tanduknya Sin Tjie, semua pandang Beng
Tjeng, untuk ketahui bagaimana kesudahannya.
Belum berselang lama, mukanya Beng Tjeng telah mulai berubah, dari pucat-pias menjadi
bersemu dadu, sesudah mana, menyusul suara rintihan, teraduh-aduh yang pelahan.
Menampak itu, bukan kepalang girangnya Beng Pek Hoei, hingga dia lantas menjura
kepada bengtjoe dari tujuh propinsi itu.
"Wan Siangkong, Wan Bengtjoe, kau benar-benar ada penolong puteraku!" katanya selagi
ia menjura dalam.
Sin Tjie repot membalas hormat.
"Tidak apa," kata dia, yang merendahkan diri. Kemudian ia suruh Beng Sioe gotong
kakaknya ke dalam, untuk dirawat dengan baik.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Segera juga, Beng Pek Hoei kerahkan orang-orangnya, untuk atur pula kursi-meja, guna
sajikan barang hidangan baru, untuk mulai pula pesta yang yang terhalang itu, hingga di
lain saat, suasana riang-gembira telah pulih.
"Beng Looyatjoe, kami sangat sembrono, harap kau memaafkannya," Kwie Djie-nio kata
pada tuan rumah kepada siapa ia menjura. Iapun tarik tangan suaminya dan ketiga
muridnya, untuk mereka juga beri hormat pada jago tua itu.
Beng Pek Hoei bisa tertawa sekarang, ia tertawa besar.
"Anakku menghadapi kematian, siapa tak gelisah?" katanya. "Tidak, aku tidak persalahkan
kamu suami-isteri."
Djie-nio mengucapkan terima kasih, kemudian ia dan rombongannya turut duduk
berpesta.
Beng Pek Hoei masih berhati kurang tenang, satu kali ia ambil ketika akan masuk ke dalam
akan tengok puteranya. Sesampainya di dalam, hatinya jadi bertambah lega. Beng Tjeng
sedang tidur nyenyak, napasnya berjalan dengan rapi, wajahnya nampak tenang dan
wajar. Itulah tanda-tanda dari kesembuhan.
Sekeluarnya kembali, tuan rumah segera layani dengan ramah-tamah pada semua
tetamunya. Ia telah minta dua cawan yang besar, ia isi penuh dua-duanya, kemudian ia
bawa itu ke depan Sin Tjie.
"Wan Bengtjoe," katanya, "ketika dalam rapat di Tay San orang pilih kau, bilang terusterang,
aku kurang puas, akan tetapi sekarang, melihat sepak-terjangmu ini, aku bukan
melainkan sangat berterima kasih, aku pun kagum dan takluk padamu. Mari, bengtjoe,
tolong kau keringi cawan ini, tanda hormat dari aku!"
Dia angkat cawan yang satunya, ia lantas cegluk itu hingga habis.
Sin Tjie tak pandai minum arak, akan tetapi melihat kesungguhan hati orang, ia pun minum
kering cawannya, atas mana, semua hadirin bertepuk tangan dan berseru: "Bagus!"
"Wan Bengtjoe," kata pula Beng Pek Hoei kemudian, "sejak hari ini dan selanjutnya,
apabila ada urusan sesuatu, aku bersedia untuk mengabdi kepada kau! Kau membutuhkan
uang? Buat delapan atau sepuluh laksa tail perak, rasanya aku sanggup menyediakannya!
Kau perlu orang? Kecuali kami ayah dan anak, yang tak nanti menampik untuk serbu api,
sanggup aku mengumpulkan tiga atau empat ratus orang untuk membantu padamu! Aku
rasa masih aku mempunyai muka terang akan mengumpulkan jumlah itu...."
Sin Tjie bersenyum. Ia merasa sangat puas dengan kesudahannya urusan, terutama
karena itu, ganjelan soeko dan soesonya itu terhadapnya, jadi dapat dibikin hilang.
Tapi malam itu, di waktunya orang bubaran setelah puas berpesta, Tang Piauwsoe lenyap
dari antara mereka, entah kemana sembunyinya dia.
Di lain harinya, selagi tetamu-tetamu bergantian pamitan pulang, Beng Pek Hoei tahan
rombongannya Sin Tjie. Beberapa kali si anak muda niat pergi, ia saban-saban mesti
urungkan itu sampai di hari ketujuh, Baru tuan rumah tak dapat menahan terlebih lama
lagi. Pek Hoei segera siapkan meja perjamuan, untuk memberi selamat jalan. Itu waktu, Sin
Sie serta isteri dan murid-muridnya pun masih belum berangkat, mereka dijamu bersama.
"Beng Lauwko," berkata Thia Tjeng Tiok, "si orang she Tang dari Eng Seng Piauw Kiok
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
bukannya satu mahluk baik, dia kehilangan upeti berharga itu, tak nanti dia mau sudah
saja, andaikata dia tak berhasil mencari Kwie Djie-ko, mesti dia bakal cari lauwko, dari itu,
baik kau waspada."
"Terima kasih, saudara Thia," mengucap Pek Hoei. "Umpama kata benar-benar mahluk itu
berani main gila terhadapku, aku tidak akan berlaku sungkan lagi terhadapnya!"
"Beng Lauwko, adalah kami yang menyebabkan onar ini," kata Kwie Djie-nio, "maka itu,
apabila kau benar menghadapi kesulitan, kami minta segeralah kau memberi kabar kepada
kami!"
"Baik, Djie-nio!" jawab tuan rumah. "Sebenarnya aku sendiri tak takut!"
"Kita harus jaga kalau-kalau dia bersekongkol sama pembesar negeri," See Thian Kong
turut memberi ingat.
Beng Pek Hoei tertawa besar.
"Apabila itu sampai terjadi," katanya, "Thia Lauwtee, aku nanti mencontoh teladanmu, aku
akan duduki bukit untuk menjadi raja!"
Semua orang tertawa mendengar pengutaraan itu.
Sampai di situ, orang pada naik kuda, untuk berpisahan.
Djie-nio empo anaknya, dan bersama suaminya dan tiga orang muridnya, ia menuju
pulang ke selatan, sedang rombongan Sin Tjie berikut Thie Lo Han dan Ouw Koei Lam,
melanjuti perjalanan mereka mengangkut harta besar menuju ke utara.
Pada suatu hari sampailah Sin Tjie beramai di Kho-pay-tiam, karena hari sudah magrib dan
barang bawaan mereka banyak dan berat, mereka singgah di hotel "Yan Tiauw Kie" di
sebelah barat dusun itu. Habis bersantap, mereka lantas masuk tidur, untuk beristirahat.
Tapi belum lagi mereka pulas, mereka telah terganggu suara berisik di luar hotel,
antaranya riuh suara orang bicara. Cuma A Pa si empeh gagu, yang tak dengar suatu apa.
Suara bicara berisik terdengar semakin nyata apabila ternyata diaorang itu telah
memasuki hotel, suara mereka pun tak dimengerti, karena bahasa mereka ada luar biasa.
Sin Tjie keluar dari kamarnya, maka itu ia bisa lihat beberapa puluh serdadu asing, yang
duduk atau berdiri, masing-masing menyekal senapan. Merekalah yang menerbitkan suara
berisik itu. Ia heran sebab belum pernah ia tampak orang-orang dengan mata kelabu dan
hidung mancung-mancung itu, hingga ia mengawasi.
Segera terdengar suara seorang bicara dengan keras dengan kuasa hotel, dia minta
segera disediakan beberapa kamar.
"Maaf, taydjin, kamar di sini cuma ada beberapa buah dan semua sudah penuh," kata
kuasa hotel, yang memohon dengan sangat.
Orang yang dipanggil taydjin itu rupanya gusar, sebab segera dia tampar si kuasa hotel,
hingga banyak mata diarahkan kepada mereka.
"Kau.... kau...." kata kuasa hotel itu, yang menjadi gusar.
"Jikalau kau tidak sediakan kamar, aku nanti bakar hotelmu ini!" seru si taydjin itu.
Kuasa hotel itu menjadi ketakutan, terpaksa ia pergi pada Seng Hay, sambil menjura
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
berulang-ulang ia mohon tetamu-tetamunya ini suka mengalah.
"Bagus betul!" seru See Thian Kong. "Orang toh ada yang datang terlebih dulu dan
belakangan! Dia itu mahluk apa?"
Kuasa itu ketakutan, mukanya pucat.
"Aku minta, tuan, supaya kau tidak berpandangan sebagai dia itu yang makan nasi asing,"
kata dia, yang maksudkan si taydjin. "Hebat kesudahannya kalau kita berbuat salah
terhadapnya..."
"Dia gegares nasi asing apa?" tanya Thian Kong. "Apakah makan nasi asing lantas mesti
bertingkah?"
Masih kuasa hotel itu ketakutan.
"Mereka ini, tuan, adalah tentara asing yang datang ke kota raja untuk angkut meriam
besar," menerangkan dia, dengan suara sangat pelahan. "Dan dia itu, yang bisa omong
bahasa asing, dijadikan juru-bahasanya."
Baru sekarang Sin Tjie beramai ketahui. Jadinya si taydjin itu adalah kacung asing yang
banyak lagaknya.
"Nanti aku ajar adat pada bocah itu!" kata See Thian Kong, yang hatinya panas.
"Sabar," Sin Tjie mencegah. Dan ia ajak semua kawannya masuk ke dalam kamar. "Ketika
dulu marhum ayahku belai Liauw-tong, di waktu ia peroleh kemenangan besar dalam
peperangan di Leng-wan, ia peroleh bantuan besar dari meriam-meriam buatan asing
semacam ini. Begitulah Nuerhacha, leluhur kaisar Boan, telah terbinasa karena tembakan
meriam. Sekarang ini bangsa Boan sedang garangnya, dan ini tentara asing lagi angkut
meriamnya untuk membantu padanya, baiklah kita mengalah."
"Habis kita mesti antapkan binatang itu banyak tingkah?" tanya Thian Kong.
"Kenapa kita mesti bersatu pandangan dengan manusia rendah itu?" Sin Tjie baliki.
Melihat bengtjoe ini bersikap demikian, orang lantas mengalah, maka kesudahannya
mereka serahkan dua kamar.
Si jurubahasa itu, yang kemudian ketahuan bernama Tjian Tong Soe, masih mendumal
saja, akan tetapi setelah ia dapat dua buah kamar, tidak lagi ia persulit lebih jauh kepada
kuasa hotel. Dia pergi untuk sementara, kapan ia kembali lagi, ia ada bersama dua opsir
asing. Satu opsir berumur empat-puluh lebih, yang lainnya Baru dua-puluh lebih. Dua-dua
mereka ini beroman cakap dan gagah. Yang tuaan itu pergi sebentar, baliknya ia ajak satu
wanita asing yang cantik, yang umurnya kurang lebih dua-puluh tahun, rambutnya hitam,
kulitnya putih, barang perhiasannya adalah mutiara-mutiara yang bergemerlapan di antara
cahaya api, pakaiannya reboh.
Belum pernah Sin Tjie melihat orang asing, makanya ia awasi nona itu.
Menampak sikapnya si anak muda, Tjeng Tjeng tidak puas.
"Engko, apakah orang itu manis dipandangnya?" dia tanya.
"Beginilah memang dandanannya orang asing," Sin Tjie jawab.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
"Hm!" bersuara Tjeng Tjeng, yang terus bungkam.
Besoknya pagi, orang dahar dan duduk berkumpul di ruang besar, kedua opsir asing itu
duduk bersama si nona asing. Tjian Tong Soe melayani dengan telaten sekali, nyata sekali
sikapnya menjilat-jilat, sebab kapan dia butuhkan apa-apa, terhadap kuasa hotel dan
jongos, segera dia main sentak, tangannya pun enteng.
Sangat tak puas Thia Tjeng Tiok menyaksikan orang punya lagak tengik itu.
"Saudara See, coba lihat siauwtee main sulap!" kata dia, ketika ia putar tubuhnya. Lalu
tanpa memutar lagi, dia ayun sebelah tangannya ke belakang, hingga sepasang sumpitnya
menyambar ke arah mulutnya Tjian Tong Soe, mengenai dua baris giginya atas dan
bawah.
Juru bahasa itu berteriak kesakitan, dia gelagapan menutup mulutnya, masih dia berkaokkaok,
teraduh-aduh!
Inilah kepandaian mainkan senjata rahasia dari Thia Tjeng Tiok, kalau lain orang gunai
piauw atau panah-tangan, dialah potongan-potongan bambu pendek dan halus bagaikan
lidi, tapi kali ini, dia pakai sumpit saja. Dengan lidi itu dia bisa timpuk jalan darah. Dia
masih taati pesan Sin Tjie, maka ia tidak arah kedua mata orang itu.
Tak tahu Tong Soe dari mana datangnya serangan , kedua opsir itu pun heran. Si nona
manis, yang pun merasa aneh, sebaliknya tertawa, mungkin dia anggap kejadian itu
lucu....
Kedua opsir itu melirik kepada rombongan Sin Tjie, rupanya dia mau menyangka, Tong
Soe telah jadi korban mereka ini. Opsir yang lebih tua letaki dua buah pistol di atas meja,
lalu ia lemparkan dua buah cangkir ke tinggi, habis itu dengan sebat dia menembak
dengan kedua tangannya, hingga cangkir-cangkir itu kena tertembak dan hancur.
Heran dan kagum Sin Tjie beramai untuk kepandaiannya orang itu, dan hebatnya senjata
api itu.
Opsir yang lebih tua itu nampaknya puas dan bangga, ia lantas isikan pula pistolnya.
"Peter, kau hendak coba-coba?" kata dia kepada kawannya.
"Kepandaianku menembak mana bisa menangi tukang tembak nomor satu dari negara
kami Portugal!" kata opsir yang muda itu.
Si manis tertawa.
"Ah, kalau begitu Raymond ada tukang tembak nomor satu?" katanya.
"Jikalau bukan nomor satu untuk dunia, sedikitnya untuk Eropa," kata si Peter ini.
"Nomor satu untuk Eropa apa bukan sama artinya dengan dunia?" tegaskan Raymond.
"Inilah tak berani aku bilang," sahut Peter. "Orang-orang timur ada bangsa aneh, di antara
mereka ada yang punya kepandaian jauh lebih berbahaya daripada kita. Tidakkah
demikian, Catherine?"
"Aku rasa kau benar," sahut si cantik sambil bersenyum.
Tak puas Raymond melihat Catherine nampaknya lebih manis kepada Peter.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
"Orang-orang Timur aneh?" katanya. Dan tiba-tiba saja ia menembak pula, satu kali,
segera disusul dengan yang kedua.
Ketika pistol itu memperlihatkan sinar api, tahu-tahu Tjeng Tjeng terkejut bukan main. Di
luar tahunya, kopiahnya kena ketembak hingga terjatuh ke atas meja hingga karenanya,
kelihatanlah rambutnya yang hitam dan gompiok, rambutnya seorang perempuan.
Sin Tjie dan yang lainnya turut kaget dan heran.
Raymond serta beberapa serdadu asing lainnya tertawa berkakakan, rupanya mereka
anggap pemandangan itu lucu.
Tjeng Tjeng murka, di alompat bangun pedangnya segera dihunus.
"Jangan!" Sin Tjie mencegah.
Pemuda ini insyaf bahayanya kalau mereka layani orang-orang asing itu. Ia pun mengerti,
pemerintah Beng bakal pakai tenaga asing itu untuk memerangi bangsa Boan. Maka ia
anggap, lebih baik bersabar.
"Sudah, adik Tjeng," kata ia seraya ambil pedang orang.
Tjeng Tjeng mendelik mengawasi tiga orang asing itu, ia dengar kata terhadap Sin Tjie.
"Kiranya dia satu nona, pantas dia eilok," kata Catheirne sambil tertawa.
"Bagus, ya," kata Raymond, "kiranya kau perhatikan keeilokan orang...."
"Dia menyekal pedang, agaknya dia hendak menantang kita," kata Peter.
"Kalau dia benar menantang, siapa yang sambuti, Peter?" tanya Raymond. "Di anatra kita
berdua, siapa lebih tangguh?"
"Aku harap tak ada yang tahu untuk selamanya," Peter jawab.
"Eh, kenapa begitu?"
"Ah, sudah jangan ribut!" Catherine menyela. Ia bersenyum. "Orang Timur aneh, aku
kuatir, dua-dua kamu tak nanti bisa lawan nona itu..."
"Tong Soe, mari!" sekonyong-konyong Raymond panggil juru-bahasanya.
Orang she Tjian itu menghampirkan dengan cepat.
"Ada apa, kolonel?" tanyanya.
"Coba tanya nona itu, apa dia mau adu pedang denganku. Lekas!"
"Baik, baik, kolonel!"
Raymond rogoh sakunya, akan kasih keluar belasan uang logam asing, yang ia lemparkan
ke atas meja. Sambil tertawa, dia kata: "Jikalau dia benar hendak adu kepandaian, suruh
dia kemari, asal dia menang, dia boleh ambil ini semua uang emas, tapi kalau dia kalah,
aku mesti cium dia satu kali! Nah, lekas kasi tahu, lekas!"
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Dengan tindakan berlenggang, Tong Soe hampirkan Tjeng Tjeng, untuk sampaikan
permintaan Raymond, si nona mau duel atau tidak, tapi di saat ia ulangi kata-kata "cium
satu kali", mendadak tangan si nona melayang, mampir di pipi juru-bahasa ini hingga dia
berkaok dan berjengit, pipi kanannya bertapak tangan berwarna merah. Celakanya, empat
buah giginya copot, darahnya mengucur pula, hingga dia mesti tekapi mulutnya.
Raymond tertawa berkakakan.
"Nona itu benar kuat!" katanya. Ia lantas cabut pedangnya, ia bertindak ke tengah
ruangan, pedangnya itu disabatkan ke atas hingga menerbitkan suara angin.
"Mari, mari, mari!" katanya.
Tjeng Tjeng tidak mengerti omongan orang, akan tetapi melihat dari sikapnya, dia tahu dia
ditantang, maka ia pun hunus pula pedangnya, ia bertindak menghampiri.
"Ini orang kurang ajar, boleh juga dia diajar adat, asal jangan dilukai," pikir Sin Tjie, yang
lantas panggil kawannya: "Adik Tjeng, mari!"
"Tidak!" sahut Tjeng Tjeng yang cuma berpaling. Ia menyangka sahabat itu hendak cegah
padanya.
"Mari, aku hendak ajari kau bagaimana mengalahkan dia," kata Sin Tjie.
Tjeng Tjeng menghampiri, ia girang. Ia memang belum tahu ilmu silat pedang bangsa
asing.
"Kita belum tahu ilmu pedang orang asing, tapi melihat caranya barusan dia hunus
pedangnya dan kibaskan itu, terang dia gesit sekali," bilang Sin Tjie. "Kau mesti waspada
untuk tikamannya, jangan kuatirkan tabasan!"
"Kalau begitu aku boleh berdaya akan gempur pedangnya itu?" tanya si nona.
"Benar!" sahut Sin Tjie. "Tapi ingat, jangan lukai dia."
Raymond lihat orang bicara saja, dia tidak sabaran.
"Mari, mari lekas!" dia menantang pula.
Tjeng Tjeng sambut tantangan itu, kali ini dia tidak bertindak dengan pelahan sebagai tadi,
hanya dengan mendadak dia berlompat, hingga tahu-tahu ia sudah berada dekat si orang
asing. Terus saja ia membabat ke arah pundak.
Raymond kaget, inilah ia tidak sangka. Ia pun tidak nyana, si nona demikian gesit. Tapi ia
masih sempat berkelit seraya jatuhkan diri dan pedangnya dipakai menangkis, hingga
kedua senjata beradu keras dan nyaring, lelatu apinya muncrat. Ketika ia bangun pula, ia
keluarkan keringat dingin.
"Bagus!" Catherine bertepuk tangan.
Segera setelah orang bangkit pula, Tjeng Tjeng menyerang lagi, maka sekarang mereka
mulai bertempur. Keduanya bergerak sama gesitnya, bergantian mereka saling tikam dan
tangkis.
Sin Tjie memasang mata, ia mesti akui kesebatan orang asing itu.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Kapan Tjeng Tjeng merasa ia tak bisa lantas rebut kemenangan, ia ubah caranya
berkelahi. Sekarang ia lebih banyak menggertak, habis mengancam, lekas-lekas ia tarik
pulang pedangnya. Ia bersilat dengan ilmu pedang Tjio Liang Pay "Loei Tjin Kiam-hoat"
atau "Gempuran Geledek", yang punyakan tiga-puluh enam gertakan.
Repot juga Ryamond melayani cara berkelahi itu, matanya lantas saja mulai kabur, sebab
ia cuma lihat pelbagai ujung pedang hendak menikam padanya, tapi saban kali ia
menangkis, ia tangkis angin. Dia tahu, ilmu pedangnya pun mengenal gertakan, tapi cuma
beberapa kali, tidak banyak seperti ilmu si nona ini. Tadinya ia niat tegur si nona, atau
mendadak nona itu sampok pedangnya, begitu keras, sampai ia rasakan tangannya
menggetar dan sesemutan, tak dapat dicegah lagi, pedang itu terlepas dan terpental.
Menyusul itu, Tjeng Tjeng menyusuli dengan tudingannya ke arah dada lawan!
Di pihak lain, See Thian Kong berlompat akan sambar pedangnya opsir asing itu, lalu
dengan dibantu tangan kiri, ia tekuk itu pedang hingga jadi patah dua! Dan kedua batang
itu ia lempar ke tanah!
Tjeng Tjeng tertawa, dia tarik pulang pedangnya, untuk dia kembali ke kursinya.
Raymond malu bukan kepalang, mukanya merah-padam. Tidak ia sangka, sebagai ahli
pedang di Eropa, sekarang di Tiongkok dia dipecundangi satu nona.
Catherine tertawa riang, dia jumput uang di atas meja, ia bawa itu kepada Tjeng Tjeng,
untuk diserahkan.
Nona kita menampik, ia memang tak harapi uang taruhan itu, tapi nona asing itu
mendesak, mulutnya mengatakan apa-apa yang tak dimengerti nona Hee. Akhirnya Tjeng
Tjeng menyambut, ia kepal uang itu dengan kedua tangannya, lantas ia menggenggam
dengan keras sekali, kemudian uang itu ia sodorkan pula pada si nona asing.
Catherine heran, ia menyanggapi, setelah mana, dia tercengang. Semua uang itu nempel
menjadi satu, ia coba pisahkan, tetapi tidak berhasil, maka dengan mata dipentang lebar,
ia awasi nona kita, mulutnya mengucap: "Benar-benar, orang Timur aneh!...."
Lekas-lekas ia kembali pada Ryamond dan Peter, akan tunjuki uang itu.
"Dia punyakan ilmu sihir!" katanya.
"Jangan kita layani dia! Mari kita pergi!" mengajak Peter.
Dua opsir itu berbangkit, Catherine mengikuti. Peter lantas memberi titah.
Sebentar saja semua serdadu lari keluar, akan berkumpul sama kawan-kawannya,
menyusul mana, lantas mereka berangkat bersama-sama meriam-meriam mereka.
Raymond dan Peter berbareng bertindak keluar dari hotel. Ketika Catherine lewat di
samping Tjeng Tjeng, dia mengawasi sambil tertawa, hingga angin wangi berkesiur
daripadanya.
Sedetik saja, ruang hotel itu jadi sunyi.
"Bagaimana macamnya meriam asing itu, belum pernah aku lihat," kata Thie Lo Han.
"Mari kita lihat!" Ouw Koei Lam mengajak.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Tiba-tiba See Thian Kong tertawa.
"Saudara Ouw," katanya kepada malaikat copet itu, "andai kata kau bisa unjuk
kepandaianmu, dengan curi sebuah meriam, aku bakal kagumi kau tak habisnya...."
"Sebenarnya belum pernah aku curi meriam besar, yang demikian berat," kata Koei Lam,
yang pun tertawa. "Kita bertaruh atau tidak?"
"Meriam itu ada untuk menghajar bangsa Boan, jadi tak tepat untuk dicuri," Thian Kong
bilang, "kalau tidak, aku suka bertaruh."
Sambil tertawa, mereka bertindak keluar, malah dengan jalan cepat, mereka bisa lewati
lerotan meriam dan barisan serdadunya itu. Semua meriam ada sepuluh buah, saking
beratnya, setiap meriam diseret delapan ekor kuda, sudah begitu, di belakangnya masih
ada orang-orang yang bantu mendorongnya. Bekas-bekas roda-roda menggelinding
meninggalkan lobang yang dalam bagaikan selokan.
"Jikalau ada ini sepuluh jendral perang menjaga San-hay-kwan, tak perduli bagaimana
garangnya pula tentara Boan, pasti mereka tak dapat menerjang dengan berhasil," kata
Sin Tjie sambil tertawa.
Orang telah berjalan terus, sampai selang dua-puluh lie lebih, rombongan Sin Tjie dengar
berisiknya suara kelenengan di sebelah depan, lalu tertampak belasan penunggang kuda
sedang mendatangi, kapan mereka itu sudah datang lebih dektam kelihatan sesuatu
penunggang kuda bekal senjata dan panah di bebokong, di atas kudanya tergendol kelinci
dan lainnya binatang hutan, suatu tanda mereka adalah serombongan pemburu. Semua
mereka mengenakan dandanan perlente, sepatunya pun tebruat dari kulit, sedang yang
diiring adalah satu nona.
Kapan si nona telah datang dekat sekali pada rombongannya Sin Tjie, lantas dia keprak
kudanya untuk menghampirkan sambil berseru-seru: "Soehoe! Soehoe!"
Thia Tjeng Tiok , orang yang dipanggil soehoe (guru), lantas tertawa.
"Bagus, kau telah datang!" dia pun berseru dengan sambutannya.
Nona itu adalah sang murid, Nona A Kioe, hanya sekarang dia dandan dengan reboh, pada
kedua kupingnya nempel mutiara sebesar jempol tangan, pada ujung bajunya tertabur
batu permata merah.
Melihat Sin Tjie, nona itu tertawa.
"Oh, kau ada bersama soehoe!" dia menegor.
Sin Tjie bersenyum, dia manggut.
A Kioe kemudian pandang See Thian Kong, kembali dia tertawa dan kata: "Tanpa
bertempur, kita tak akan bersahabat!"
Tjeng Tiok panggil muridnya itu, untuk diajar kenal terutama dengan Thie Lo Han dan Ouw
Koei Lam.
"Kau hendak pergi kemana?" kemudian sang guru tanya.
"Aku pergi berburu," jawab si nona.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
"Kami lagi menuju ke Pakkhia, baik kau turut kami," Tjeng Tiok kata.
"Baik, soehoe," jawab A Kioe, yang terus dampingi gurunya itu.
Sin Tjie dan Tjeng Tjeng heran juga menampak Nona A Kioe, sebab meskipun begitu muda
nona ini punyakan sikap yang beda daripada nona-nona sepantarannya.
Di waktu tengah hari, selagi singgah untuk beristirahat, orang duduk dahar menghadapi
dua buah meja, dan A Kioe serta gurunya duduk bersama Sin Tjie beramai.
Pada mulanya, Sin Tjie duga nona itu ada cucu perempuan dari Thia Tjeng Tiok, tidak
tahunya dia itu adalah muridnya. Ia percaya si nona adalah gadisnya satu hartawan yang
telah dimanja-manjai, jikalau tidak, dandanannya, gerak-geriknya, tidak sedemikian rupa,
malah untuk berburu, si nona bawa demikian banyak pengiring. Ia tidak mengerti,
bagaimana caranya maka si nona berguru kepada ketua Tjeng Tiok Pay itu dan bisa
bergaul di dalam golongan.
Habis bersantap, perjalanan dilanjuti, sorenya, mereka singgah di sebuah hotel di Im-matjip.
Selama itu, Sin Tjie dan Tjeng Tjeng senantiasa perhatikan dengan diam-diam kepada A
Kioe dan sekalian pengiringnya itu itu. Mereka mau percaya, sekalian pengiring itu bukan
cuma kacung atau bujang belaka, mungkin mereka ada pegawai-pegawai negeri,
karenanya, mereka jadi semakin heran.
(Bersambung bab ke 17)
Sore itu, selagi duduk berkumpul dan pasang omong, Tjeng Tjeng tanya A Kioe: "Adik
Kioe, ketika itu hari kami hajar tentara negeri, hingga kami merasa sangat puas, kemudian
ternyata kau menghilang. Sebenarnya kemana kau pergi?"
"Ah!...." bersuara si nona, yang mukanya menjadi merah dengan tiba-tiba. Kemudian,
dengan menyimpang, dia bilang: "Entjie Tjeng, coba kau dandan, kau pasti baru ternyata
eilok benar!"
Tjeng Tjeng heran, kapan ia lihat nona muda ini suka tengok kiri dan kanan. Tadinya ia
hendak menanyakan lebih jauh tapi ia batal kapan ia tampak Tjeng Tiok, yang duduk di
depannya, kedipi mata. Maka akhirnya, sambil tertawa, ia jawab nona itu: "Kita sedang
bikin perjalanan, kepala dan muka kita biasa penuh debu, habis kita berdandan, kepada
siapa hendak dikasi lihatnya?"
A Kioe bersenyum.
Tidak lama setelah itu, orang bubaran, untuk masuk tidur.
Selagi Sin Tjie hendak naik ke pembaringannya, Thia Tjeng Tiok datang padanya.
"Wan Siangkong, aku hendak bicara denganmu untuk satu urusan," kata ketua Tjeng Tiok
Pay, yang datangnya secara tiba-tiba.
Sin Tjie menyambut dengan gembira.
"Baik!" sahutnya. "Silakan duduk."
"Lebih baik kita pergi keluar, ke tempat terbuka dan sepi," Tjeng Tiok bilang hampir
berbisik.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Sin Tjie merasa pasti, urusan ada penting, maka ia pakai pula bajunya, lalu keduanya
keluar, akan terus berlari-lari ke bukit malah mendaki puncak, akan duduk atas sebuah
batu besar.
Ketua Tjeng Tiok Pay melihat ke sekitarnya, yang sunyi.
"Wan Siangkong," kata dia kemudian, "aku hendak omong tentang A Kioe, muridku itu.
Dia ada satu anak dengan asal-usul istimewa. Ketika dia mulai angkat aku sebagai guru,
aku pernah berjanji untuk tidak buka rahasia tentang dirinya."
"Aku pun lihat dia bukannya orang sembarangan," Sin Tjie bilang. "Karena kau telah beri
janjimu, tak usah kau menerangkannya kepadaku."
"Sekalian pengiringnya ada orang-orang negeri, maka itu, tentang maksud bekerja kita ini,
mereka tak boleh mendapat tahu," kata pula Tjeng Tiok.
Mau atau tidak, Sin Tjie toh tercengang.
"Jadi benar mereka ada hamba-hamba negeri?" tegaskannya.
Tjeng Tiok manggut-manggut.
"Aku mau percaya, muridku ini tidak bakal jual kita," kata ia kemudian, "akan tetapi dia
masih berusia sangat muda, tak dapat diduga yang pikirannya bisa tidak berubah."
"Kalau begitu, di depan A Kioe baik kita waspada," Sin Tjie bilang.
Tjeng Tiok manggut.
Sampai di situ, urusan telah selesai, maka keduanya segera berangkat pulang.
Sesampainya di muka hotel, Sin Tjie lihat seorang lewat di jalan besar, datangnya dari
arah timur, dia itu menenteng sebuah lentera, dalam sekelebatan saja, dia itu terus masuk
ke dalam hotel. Dengan matanya yang tajam, Sin Tjie rasa kenali orang itu, melainkan tak
segera ia ingat dimana mereka pernah bertemu. Maka selagi rebah di atas
pembaringannya, pemuda kita terus mengingat-ingat hingga ia mengingat mundur sampai
rapat di gunung Tay San, pelbagai kejadian di Lamkhia dan Tjio-liang. Juga di dalam
barisan Giam Ong, tak ingat dia pernah bertemu sama orang itu. Tetapi ia tak bisa lupa
romannya orang itu.
"Di mana aku pernah lihat atau bertemu dengannya?" taya ia berulang-ulang di dalam
hatinya.
Tiba-tiba ia dengar ketokan perlahan pada pintu kamarnya. Segera ia pakai bajunya dan
turun dari pembaringan, akan nyalakan api.
"Apakah kau tidak niat dahar sesuatu?" begitu pertanyaan dari luar, disusul dengan suara
tertawa dari Tjeng Tjeng, si juita nakal.
Dengan lekas pemuda kita membukakan pintu.
Tjeng Tjeng membawa sebuah nenampan di atas mana ada dua mangkok, dalam setiap
mangkoknya ada tiga butir telur ayam. Rupanya Baru saja dia habis dari dapur dimana dia
matangi telur itu.
"Terima kasih," kata Sin Tjie. "Kenapa kau masih belum tidur?"
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
"Aku pikirkan si A Kioe, dia aneh, dia membuat aku tak dapat tidur," sahut si nona. "Aku
kira kau pun sedang memikirkan dia itu hingga kau pun belum tidur...."
Ia bicara dengan pelahan sekali.
"Aku pikirkan dia? Untuk apa?" Sin Tjie tanya.
"Memikirkan dia karena dia sangat cantik! Coba bilang, bukankah dia cantik sekali?"
Kembali si nona tertawa.
Sin Tjie tahu baik perangai nona Hee ini. Apabila ia menjawab A Kioe cantik, Tjeng Tjeng
tentu tak puas; kalau ia menyangkal, itulah jawaban yang tak tepat dengan buktikenyataannya.
Maka ia jumput sendoknya, akan sendok sebutir telur, untuk dimasuki ke
dalam mulutnya. Baru ia menggigit sekali atau dengan sekonyong-konyong ia lemparkan
sendoknya.
"Ya dia! Ya dia!" ia pun berseru tertahan.
Tjeng Tjeng terperanjat.
"Apa dia- dia?" tanyanya kemudian. "Apakah telur itu busuk?"
Sin Tjie tertawa.
"Kita jangan dahar dulu! Mari kau turut aku!" kata si anak muda.
Tak puas Tjeng Tjeng melihat orang tak dahar telurnya. Tidakkah ia telah sengaja rebus itu
untuk kawan ini?
"Kita pergi kemana?" ia tanya.
Masih Sin Tjie tidak menjawab, sebaliknya, dari dampingnya Ang Seng Hay, ia jumput
pedangnya orang itu.
"Kau pegang ini!" katanya.
Tjeng Tjeng menyambuti. Baru sekarang ia mengerti, orang hendak menghadapi musuh
rupanya.
Selagi Sin Tjie menggigit telur, dengan tiba-tiba saja ia ingat suatu kejadian dimana ia
masih kecil, ketika ia menumpang di rumah An Toa-nio, di waktu ada orang jahat mencoba
culik Siauw Hoei, hingga dengan nekat ia bela nona itu, sukur tepatlah datangnya An Toanio,
yang menolongi terlebih jauh. Dengan tiga butir telur, nyonya An itu sudah serang
Ouw Loo Sam, si culik, hingga Loo Sam kabur. Dan tadi, orang yang ia lihat, yang ia rasa
kenali tapi tak ingat benar, adalah si Ouw Loo Sam itu! Dia coba ingat, apakah yang
dikehendaki dan dikerjakan oleh Ouw Loo Sam. Sekarang, setelah ingat, pemuda ini
hendak mencari tahu. Maka dia ajak Tjeng Tjeng pergi bersama.
Dengan berindap-indap, dengan hati-hati, keduanya pergi keluar, akan hampirkan sesuatu
kamar, di setiap jendela, mereka mendekam, untuk pasang kuping, akan dengari suara
orang bicara, guna cari Ouw Loo Sam. Lalu di sebuah kamar yang besar, mereka dengar
pembicaraan dari tujuh atau delapan orang, yang bicara dengan lagu-suaranya orang
kang-ouw.
"Bagaimana dapat kita berlalu dari sini?" kata satu orang. "Apabila ada terjadi onar,
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
apakah kita masih punyakan jiwa kita?"
"Di pihaknya An Taydjin, inilah urusan penting sekali," kata satu suara lain.
"Orang yang dikirim dari kota raja itu, mana dia keburu sampai? Di depan kita telah
menantikan satu jasa istimewa, apabila kita lewatkan itu, tidakkah sangat sayang?"
Orang itu berdiam sekian lama.
"Begini saja!" terdengar satu suara yang berat. "Kita pecah dua rombongan kita ini, ialah
yang separuh berdiam di sini, yang separuh lagi pergi pada An Taydjin, untuk terima
titahnya. Jikalau nanti kita berhasil jasanya kita cicipi bersama-sama!"
Orang yang pertama rupanya telah tepuk pahanya, karena telah terdengar satu suara
nyaring, disusul sama suaranya yang keras. "Bagus! Memang, suka dan duka, kita mesti
terima bersama! Umpama terjadi onar, kita sama-sama menanggungnya!"
"Marilah kita mengadakan undian!" seorangusulkan. "Undianlah yang menetapkan, siapa
pergi dan siapa berdiam, supaya jangan ada yang mengiri."
"Akur!" menyatakan banyak suara.
"Urusan besar apakah itu yang menyebabkan mereka tak dapat pergi dari sini?" Sin Tjie
tanya dirinya sendiri. "Apa soalnya An Taydjin itu dan itu jasa istimewa? Aneh juga...."
Selagi mendengari lebih jauh, dari dalam terdengar golok dan pedang saling beradu, suatu
tanda bahwa orang telah selesai mengadakan undian, dan mereka telah bersiap untuk
keluar.
Segera si anak muda bisiki Tjeng Tjeng: "Pergi bisiki See Thian Kong beramai untuk siapsedia
untuk sesuatu, aku sendiri hendak kuntit mereka, untuk lihat apa yang mereka
hendak lakukan."
Si nona manggut.
"Tapi kau harus waspada," ia pesan.
Itu waktu terdengar suara pintu dibuka, cahaya api lilin lantas menyorot keluar.
Sin Tjie dan Tjeng Tjeng sudah mendahului umpetkan diri di tempat yang gelap.
Orang yang pertama muncul adalah Ouw Loo Sam, di belakang ia turut delapan orang
lainnya dengan gegaman mereka masing-masing di tangan. Karena terangnya api lilin,
mereka itu ternyata ada orang-orang atau pengiring-pengiringnya A Kioe. Setelah mereka
keluar dan sudah meloncati tembok pekarangan, pintu kamar ditutup pula.
"Itulah orang-orangnya!" kata Tjeng Tjeng, dengan pelahan. "Memang aku sangsikan nona
itu bukannya orang sembarangan...."
Sin Tjie pun merasa heran sekali.
Sampai di situ, pemuda dan pemudi ini berpisahan, si pemuda segera susul sembilan
orang itu, untuk dikuntit.
Sin Tjie dapat kemerdekaan untuk membayangi itu sembilan orang karena ilmu entengi
tubuh warisan gurunya telah sempurna, sedang ajaran Bhok Siang Toodjin ialah "Pek pian
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
kwie eng" atau "Seratus kali berubah bajangan iblis" dia telah yakinkan tujuh atau delapan
bahagian sempurna. Ia mengintil terus hingga keluar dari dusun, masih mereka itu
berjalan satu lie jauhnya, akan akhirnya menuju ke sebuah rumah besar.
Ouw Loo Sam adalah yang mengetok daun pintu yang dicat hitam, apabila daun pintu
telah dipentang, kesembilan orang itu diijinkan masuk. Sin Tjie lekas-lekas jalan mutar ke
belakang, untuk meloncati tembok, untuk bisa masuk ke dalam, sesampainya di dalam, ia
cari tempat di mana ada cahaya api, ialah dari sebuah jendela, sesudah itu, ia lompat naik
ke atas genteng. Di sini ia mendekam, dengan hati-hati ia buka selembar genteng, untuk
melongok ke bawah, ke dalam kamar.
Di tengah-tengah kamar kelihatan duduk seorang umur hampir lima-puluh tahun, yang
tubuhnya kekar sekali. Ouw Loo Sam serta delapan pengiringnya A Kioe masuk ke dalam
kamar ini, mereka semua memberi hormat, agaknya orang ini ada pembesar mereka.
"Tadi di dalam dusun hamba dapat lihat Ong Hoe-tjiehoei," berkata Ouw Loo Sam.
"Hamba dapat kenyataan mereka sedang singgah, maka itu hamba segera ajak ini
sejumlah kawan pembantu."
"Bagus, bagus!" kata orang itu. "Apakah katanya Ong Hoe-tjiehoei?"
"Ong Hoe-tjiehoei bilang, apabila An Taydjin ada urusan, dia bersedia membantu," jawab
Loo Sam.
"Terang pangkatnya ida ini tidak kecil," pikir Sin Tjie. "Apakah dia hendak perbuat di
waktu malam buta-rata ini?"
"Jikalau kita berhasil, jasa kita bukan main besarnya!" terdengar pula suara si An Taydjin
itu, terus dia tertawa: "Ha-ha-ha-haha!"
"Kami semua mengandalkan atas bantuan taydjin!" kata Loo Sam beramai.
"Kita beramai bakal terpecah menjadi lwee-teng sie-wie dan kim-ie-wie," kata An Taydjin
itu. "Kita semua akan keluarkan tenaga untuk Sri Baginda!"
"Benar, Taydjin!" menyambut sembilan orang itu. "Kami bersedia akan dengar sesuatu
titah dari Taydjin!"
"Bagus! Sekarang berangkatlah!"
Kaget Sin Tjie akan ketahui rombongan itu ada pahlawan-pahlawan dari istana kaisar,
apapula mengenai rombongan pahlawan kim-ie-wie, yang ia dengar biasa pergi kemanamana
untuk celakai orang, siapa kena ditawan katanya bisa kejadian "Kakinya dikutungi,
kulitnya dikeset," kejamnya bukan main.
"Entah mereka hendak pergi kemana untuk siksa orang lagi?" pikir pemuda ini. "Dia
bertemu denganku, tak dapat tidak aku harus campur-tahu!"
Sebentar kemudian An Taydjin itu keluar bersama orang-orangnya, Sin Tjie hitung
jumlahnya ada enam-belas dan di antara mereka ada enam orangnya si taydjin sendiri. Ia
tunggu sampai orang sudah jalan jauh juga, lantas ia kuntit mereka itu.
Jalanan yang diambil adalah tempat tegalan, yang makin lama makin sunyi, sekira tujuh
atau delapan lie, mereka itu lantas bicara kasak-kusuk, setelah mana, mereka pencarkan
diri, akan tetapi tujuan mereka adalah sebuah rumah yang mencil sendirian di tempat itu.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Mereka ambil sikap mengurung, di depan dan belakang, di kiri dan kanan. Mereka maju
dengan hati-hati, sambil berindap-indap, tanpa menerbitkan suara apa juga.
Sin Tjie melad contoh, akan terus bayangi mereka itu, hingga ia pun turut datang dekat
kepada rumah yang lagi diarah itu. Mungkin ada orang lihat padanya sebagai bajangan
tetapi mungkin juga ia dianggap kawan, hingga ia tidak dicurigai.
Taydjin itu lantas dapat kenyataan, pengurungannya sudah selesai, dengan satu tanda
ulapan tangan, ia titahkan semua orangnya mendekam, sesudah itu, ia hampirkan pintu,
untuk mengetok.
"Siapa?" demikian pertanyaan dari dalam, dari suaranya seorang perempuan.
An Taydjin tidak segera menjawab, ia diam sebentar.
"Kau siapa?" ia balik tanya.
"Oh, kau! Tengah malam buta." Demikian suaranya si orang perempuan pula.
An Taydjin tertawa berkakakan.
"Ini dia yang dibilang, bukannya musuh akan berkumpul pula!" sahutnya. "Kiranya kau
ada di sini. Lekas kau buka pintu!"
"Aku sudah bilang, tak sudi aku menemui pula padamu!" kata wanita itu. "Kenapa kau
datang pula?"
An Taydjin kembali tertawa.
"Kau tidak sudi menemui aku, aku justeru kangen dengan nyonyaku!" jawabnya.
"Siapakah nyonyamu?" bentak si wanita, agaknya dia murka. "Satu bacokan golok toh
telah membelah kami menjadi dua? Jikalau kau tak bisa lepaskan aku, pergi kau lepas api
bakar rumahku ini! Aku lebih suka terbinasa daripada melihat pula kau, orang yang kalap
karena sakit jiwa! Kau temahai harta dan pangkat hingga ludas rasa pri-kemanusiaanmu!"
Perhatian Sin Tjie luar biasa tertarik mendengar suaranya wanita itu, hingga akhirnya ia
terperanjat sendirinya.
"Itu toh An Toa-nio!" katanya di dalam hati. "Jadi An Taydjin ini ada suaminya - ayah
Siauw Hoei?"
An Taydjin cekikikan.
"Bagaimana sengsara aku mencari kau..." katanya. "Bagaimana aku tega membakarmu?
Marilah kita hidupkan pula kasih kita yang lama!..."
Walaupun dia mengucap demikian, tapi dengan kakinya An Taydjin mendupak pintu,
sampai dua kali.
Dari suara dupakan itu, Sin Tjie bisa duga-duga liehaynya ini taydjin.
Karena dupakan yang keras, daun pintu terbuka terpentang, menyusul mana An Toa-nio
lompat keluar dengan pedangnya berkelebat menyambar!
An Taydjin lompat mundur.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
"Bagus, kau hendak bunuh suamimu!" ia berseru. Dia kuatir di dalam rumah masih ada
orang lain, tak mau ia menerjang masuk, hanya di situ, dengan tangan kosong, ia melayani
si nyonya.
Sin Tjie merayap maju, untuk bisa menyaksikan dari dekat.
An Taydjin itu benar liehay, dengan tangan kosong, ia bisa berkelahi dengan tenang,
malah sambil kadang-kadang tertawa. Senantiasa ia berkelit dari sesuatu bacokan atau
tikaman, tubuhnya gesit dan lincah, hingga dia membuat An Toa-nio, dalam murkanya, jadi
bertambah sengit, hingga sambil menyerang terus berulang-ulang, nyonya ini pun
mencaci, mendamprat.
An Taydjin tetap tidak perdulikan kemurkaan orang yang ia sebut isterinya itu.
"Setan alas!" menjerit si nyonya, yang membarengi membacok dengan hebat.
An Taydjin berkelit sambil majukan sebelah kakinya, dengan begitu, ia jadi dekati si
nyonya, tangan siapa dia lantas sambar, untuk dicekal dan ditekuk, maka di lain saat
pedangnya nyonya itu terlepas jatuh, kedua tangannya kena ditelikung, sedang kedua
kakinya pun dijepit oleh kedua kakinya si taydjin ini. Secara demikian, matilah kutunya si
nyonya.
"Kelihatannya tidak nanti orang she An ini lantas celakai An Toa-nio," Sin Tjie berpikir.
"Baik aku melihat terlebih jauh sebelumnya aku turun tangan akan menolongi!..."
An Taydjin tertawa bergelak-gelak karena kemenangannya itu, sampai ia meleng beberapa
kali, sedang An Toa-nio, dalam murkanya, memaki kalang-kabutan. Justru itu, sebat luar
biasa, Sin Tjie menyusup ke pojok pintu, dengan tempel tubuh kepada tembok, terus saja
ia gunai gerakannya "Pek-houw yoe-tjhong," atau "Cecak memain di tembok", akan
melesat naik ke atas, hingga ia bisa sampaikan penglari dimana ia tempatkan dirinya.
"Ouw Loo Sam, nyalakan api!" teriak An Taydjin.
Rupanya lilin di dalam kamar padam sendirinya selagi si nyonya berkutatan.
Ouw Loo Sam dengar titah itu, dengan api di tangan, ia hampirkan pintu, selagi melongok
ke dalam, ia letaki goloknya di depannya, untuk lindungi diri, kemudian ia jumput
sepotong batu, untuk menimpuk ke dalam, habis itu ia diam, ia pasang kuping, akan
dengar gerak-gerik dari dalam.
Sekian lama, kamar menjadi sunyi saja. Maka sekarang orang she Ouw ini berani bertindak
masuk. Paling dulu ia nyalakan lilin di atas meja.
An Taydjin monyongi mulutnya ke arah Loo Sam, atas mana dia ini keluarkan tambang,
yang terus dipakai membelenggu tangan dan kaki An Toa-nio.
Kembali An Taydjin tertawa.
"Kau bilang tak sudi kau menemui aku pula!" katanya. "Kau lihat, apakah sekarang aku
tidak bertemu pula denganmu? Kau lihat, dengan berapa lembar uban rambutku
bertambah!"
An Toa-nio tutup rapat kedua matanya, ia tutup juga mulutnya.
Dari atas penglari, Sin Tjie mengawasi An Taydjin itu, hingga ia dapati seorang dengan
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
usia pertengahan tetapi wajahnya tetap cakap dan keren. Rupanya di waktu muda dia
cakap sekali sembabat dengan An Toa-nio yang eilok.
An Taydjin usap-usap mukanya An Toa-nio.
"Bagus!" katanya sambil tertawa. "Sudah sepuluh tahun kita tidak bertemu, mukamu
masih putih bagaikan salju dan halus...."
Tiba-tiba pembesar ini berpaling kepada Ouw Loo Sam.
"Pergi kau!" dia mengusir.
Loo Sam tertawa, ia ulurkan lidahnya, lantas ia berlalu, dengan rapati pintu di
belakangnya.
Taydjin itu berdiam sekian lama, lalu ia menghela napas.
"Mana Siauw Hoei?" katanya. "Selama tahun-tahun yang belakangan ini, setiap hari aku
pikirkan saja padanya...."
Tetap An Toa-nio tidak perdulikan orang ini.
"Dahulu kita masih sama-sama muda, kita menikah dan suka berselisih saja menuruti
perangai masing-masing," kata An Taydjin kemudian, "sekarang sesudah ada umur,
setelah berpisahan banyak tahun, selayaknya kita ubah adat kita dan hidup pula dengan
rukun seperti sediakala...."
Dengan tiba-tiba An Toa-nio membentak: "Kau tahu bagaimana binasanya ayah dan
kandaku!"
Taydjin itu menghela napas.
"Ayah dan kandamu dibinasakan oleh kim-ie-wie, itulah benar," saaut dia, "akan tetapi tak
dapat dengan sebatang gala kejen kau sapu habis orang-orang dalam satu perahu. Di
dalam kim-ie-wie juga ada orang-orang yang baik dan busuk. Aku berkerja untuk Sri
Baginda Raja, untuk kemuliaan leluhur kita..."
"Foei! Foei! Foei!" An Toa-nio meludah berulang-ulang sebelum orang sempat tutup
mulutnya.
An Taydjin berdiam, sampai sekian lama, Baru ia bicara pula.
"Aku selalu ingat Siauw Hoei," katanya. "Aku telah kirim orang untuk sambut dia,
mengapa kau menyingkir sana dan menyingkir sini, teurs kau tidak ijinkan dia bertemu
denganku?"
An Toa-nio sangat jemu tapi ia menjawab juga.
"Aku telah beritahukan kepadanya bahwa ayahnya sudah lama menutup mata," jawabnya.
"Aku bilang bahwa ayahnya ada gagah sekali dan bersemangat tetapi sayang dia pendek
umurnya, mati muda-muda!"
"Ah, mengapa kau dustakan dia?" tanya An Taydjin, suaranya duka. "Mengapa kau
sumpahi aku?"
"Ayahnya dahulu adalah satu pemuda yang bersemangat dan baik," kata An Toa-nio.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
"Keluargaku larang aku menikah dengannya, akan tetapi atas mauku sendiri, dengan
diam-diam aku ikuti padanya, siapa tahu...."
Nyonya ini tak dapat bicara terus, ia menangis sesenggukan.
An Taydjin keluarkan sapu tangannya, akan susuti air mata isterinya, sembari menghiburi,
ia dekati mukanya kepada muka si nyonya, atau mendadak dia menjerit seraya
berjingkrak, mukanya mengucurkan darah, sebab An Toa-nio telah gigit padanya!
Sin Tjie menyaksikan, diam-diam ia tertawa dalam hatinya.
An Taydjin susut mukanya, ia menjadi gusar.
"Kenapa kau gigit aku?" dia menegur.
"Kau telah binasakan suamiku yang baik, kenapa aku tidak boleh gigit padamu?" jawab si
nyonya, yang masih sengit. "Aku menyesal aku tak dapat bunuh padamu!"
"Ah, heran!...." kata An Taydjin. "Akulah suamimu, cara bagaimana aku bisa bikin celaka
suamimu itu?"
"Suamiku adalah satu laki-laki yang bersemangat!" kata An Toa-nio tetap sengit. "Entah
kenapa kemudian dia kena kepincuk oleh harta-dunia dan kebesaran, dia tak kehendaki
pula isterinya, dia tak perdulikan pula puterinya, dia cuma ingin pegang pangkat besar,
ingin punya harta bertumpuk!... Suamiku dulu itu, yang baik hatinya, sudah mati, sudah
mati, tak dapat aku lihat pula kepadanya...."
Sin Tjie jadi sangat terharu. Beginilah kiranya lelakon hidup dari nyonya janda yang baik
hati itu. Ia pun mau percaya, hati An Taydjin ini tentu tergerak.
An Toa-nio melanjuti kata-katanya. "Suamiku itu bernama An Kiam Tjeng. Bukankah ia
telah dibinasakan oleh kau, An Taydjin? Suamiku itu mempunyai guru silat yang berbudi,
ialah Lookoensoe Tjiok Toa Too, akan tetapi ia kena dibinasakan oleh An Taydjin yang
telah terpincuk pangkat dan harta. Dan isteri dan anak perempuan Tjiok Lookoensoe itu
juga mati karena dipaksa oleh An Taydjin..."
"Berhenti!" An Taydjin membentak. "Aku larang kau sebut-sebut itu pula!"
"tapi manusia berhati serigala, berpeparu anjing, kau pikir saja sendiri!" An Toa-nio pun
membentak.
"Pembesar negeri panggil Tjiok Toa Too untuk ditanyai keterangannya," berkata An
Taydjin ini, "belum pasti dia bakal dibikin celaka, maka kenapa ia gunai goloknya hendak
membinasakan aku? Kalau isteri dan anak daranya bunuh diri sendiri, siapa yang mesti
dipersalahkan?"
"Memang, memang Tjiok Toa Too matanya buta!" seru An Toa-nio. "Kenapa dia didik satu
murid yang demikian jempol? Murid itu telah kedinginan, ia kelaparan, ia tinggal
mampusnya saja, akan tetapi Tjiok Toa Too dengan sungguh-sungguh telah ajarkan ia
ilmu silat, telah rawat ia hingga umur dewasa, malah kemudian ia telah dinikahkan..."
An Toa-nio jadi semakin sengit, hingga An Taydjin keprak meja.
"Hari ini kita suami-isteri bisa bertemu pula, mengapa kau timbulkan soal-soal lama?"
tegurnya.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
"Jikalau kau hendak bunuh aku, bunuhlah!" An Toa-nio menantang. "Aku hendak sebutsebut
pula semua kejadian dulu itu, habis apa kau mau?"
Sin Tjie berpikir. Menurut An Toa-nio ini, jadinya An Kiam Tjeng telah ditolong gurunya
dari bahaya kedinginan dan kelaparan, lalu dididik, tapi setelah ia dapat berdiri sendiri, ia
kemaruk harta dunia dan gila pangkat, hingga untuk itu, dia sampai binasakan gurunya
sendiri, sampai keluarganya sang guru turut binasa semua karenanya. Maka itu, pantas An
Toa-nio jadi gusar dan putuskan perhubungan suami-isteri dengannya. Dahulu An Toa-nio
tinggal menyendiri, sampai Ouw Loo Sam mencoba culik Siauw Hoei, lantas dia
menyingkir sana dan menyingkir sini, rupanya dia mau menyingkir dari suaminya ini, satu
manusia buruk.
"Dia ini harus menjadi bagian mati..." pikir Sin Tjie terlebih jauh. "Ketika dahulu dia celakai
gurunya sekeluarga, keadaan pasti sangat menyedihkan. Sayang tak dapat aku segera
hajar dia mampus sekarang juga. Entah bagaimana pikiran yang sebenarnya dari An Toanio,
maka tak dapat aku berlaku semberono...."
Karena ini, ia berdiam terus di atas penglari, akan pasang mata dan kupingnya lebih jauh.
Untuk sementara, suami-isteri itu berdiam masing-masing.
Selagi kamar ada sunyi, tiba-tiba samar-samar terdengar suara tindakan kaki kuda, atas itu
An Kiam Tjeng geser tjiaktay ke jendela, terus dia cabut goloknya, kemudian dengan
pelahan dia mengancam: "Kalau sebentar orang datang, kau berani bersuara memberi
tanda, untuk minta pertolongan, aku bakal tak perdulikan lagi perhubungan kita sebagai
suami-isteri!"
An Toa-nio tidak jawab suaminya itu.
An Taydjin ketahui baik tabeat isterinya ini, maka ia potong sejuir kelambu, dengan itu ia
sumpel mulut orang. Ketika suara tindakan kuda datang semakin dekat, Kiam Tjeng
angkat tubuh isterinya, untuk dipindahkan ke pembaringan, habis itu, kelambunya dia
turunkan. Ia sendiri lantas saja sembunyikan diri di belakang pembaringan.
Sin Tjie saksikan semua kejadian di depan matanya itu. Ia tahun An Kiam Tjeng bersedia
untuk bokong orang yang bakal datang ke dalam rumahnya An Toa-nio ini. Belum tahu
siapa orang itu, tetapi pemuda kita menduga, dia mesti ada penolong si nyonya. Maka ia
pun siap sedia akan tolongi An Toa-nio serta penolongnya nyonya ini.
Anak muda kita lantas kumpuli debu di penglari, lalu ia ludahi itu dan aduk-aduk hingga
rata, hingga debu itu merupakan sepotong tanah lempung, kemudian tanpa bersangsi lagi,
ia menimpuk ke arah lilin, hingga apinya padam seketika, hingga kamar jadi gelap-petang.
Di dalam hatinya, An Taydjin mengutuk
Dalam gelap-gulita itu, Sin Tjie loncat turun dari atas penglari. Tak mau ia tunggu sampai
si taydjin menyulut api pula. Ia bertindak ke pintu, untuk pergi ke luar, tanpa ada orang
yang lihat padanya. Dengan mutar sedikit, ia sampai di ujung rumah dimana ada satu
pahlawan kim-ie-wie sedang mendekam dengan golok di tangan, matanya terus-menerus
diarahkan ke pintu rumah.
Dengan hati-hati, Sin Tjie merayap mendekati.
"Ada orang!" kata ia dengan pelahan.
"Oh!..." pahlawan itu gugup. "Mendekam!" ia peringati kawan-kawannya.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Sementara itu, Sin Tjie telah ulur tangannya, untuk menotok, maka di lain saat, pahlawan
itu tak mampu bergerak lagi. Dengan cepat pemuda ini buka baju seragamnya orang itu,
untuk ia pakai. Guna menutupi mukanya, ia robek bajunya orang itu. Ia menutup muka
dengan kedua mata dibikin bisa melihat. Kemudian, dengan pondong tubuh si pahlawan,
ia merayap ke samping pintu.
Di dalam gelap-gulita, suara derapnya kuda terdengar semakin nyata. Sebentar kemudian,
lima ekor kuda telah sampai di depan rumah, lalu tujuh orang berlompat turun.
Segera terdengar tepukan tangan tiga kali, suaranya pelahan, datangnya dari luar rumah.
Dari dalam, An Taydjin menyambut dengan tiga kali tepukan tangan juga. Habis itu, dia
nyalakan lilin, ia sendiri segera sembunyi di belakang pintu.
Dibarengi dengan suara menjeblak daun pintu lantas terpentang sedikit, menyusul mana,
satu kepala orang melongok ke dalam rumah.
Dengan sebat An Taydjin membacok, kepala orang itu kutung, darahnya menyembur dari
lehernya, tapi kapan di antara cahaya api si taydjin mengawasi, ia terkejut bukan main.
Ternyata orang yang ia bunuh ada orangnya sendiri, satu pahlawan kim-ie-wie. Karena ini,
ia hendak menjerit, akan kaoki sekalian kawannya.
Tiba-tiba, sebelum An Taydjin keburu buka mulut, satu orang berlompat masuk. Dia tutup
mukanya dengan topeng. Cepat luar biasa, dia ulur tangannya ke tubuh si taydjin, hingga
taydjin ini kena tertotok tanpa berdaya. Menyusul itu, dengan satu sampokan dengan
tangannya yang lain, Sin Tjie totok jalan darah "tay-twie-hiat" hingga An Taydjin berdiri
tanpa bergeming. Lalu, bekerja lebih jauh dengan tidak kurang sebatnya, pemuda ini
sambuti golok orang itu, untuk diletaki di lantai.
An Kiam Tjeng pandai boegee, ia terima pendidikan untuk belasan tahun dari Tjiok Toa
Too, guru silat yang kesohor, kemudian setelah pangku jabatan, belum pernah ia alpa
akan terus melatih diri, karena ia memikir untuk naik pangkat dan naik pangkat,
ambekannya besar. Tapi, menghadapi Sin Tjie, justru ia lagi kaget, ia tak dapat berdaya
sama sekali, maka dengan gampang ia rubuh sebagai korban.
Setelah itu, Sin Tjie lompat ke pembaringan, untuk kasi bangun pada An Toa-nio. Denga
keluarkan sedikit tenaga, pemuda ini putuskan tambang belengguan di kaki dan tangan.
"Encim An, aku datang menolongi kau!" ia kata dengan pelahan kepada si nyonya, supaya
nyonya itu ketahui dan tak kaget atau curiga.
An Toa-nio kaget berbareng girang. Ia kenali suaranya anak muda itu. Hanya ia terkejut
akan saksikan orang punya seragam kim-ie-wie, sedang mukanya ditutupi topeng.
"Kau siapa, tuan?" tanyanya, ragu-ragu.
Baru nyonya itu menanya demikian, mendadakan ada dua bajangan yang melompat
menerjang masuk ke dalam, bajangan itu masing-masing mempunyai dua tangan yang
berbulu, sedang mulutnya perdengarkan pekik. Terus saja mereka tubruk Sin Tjie.
Anak muda ini terkejut, ia berbalik, untuk menangkis, akan tetapi kapan ia tampak kedua
banjangan itu adalah orang-orang hutan, ia menjejak dengan kedua kakinya, akan
mencelat naik ke penglari.
Di belakang kedua orang hutan itu menyusul lima orang, satu di antaranya, yang masuk
paling dulu, sudah panggil An Toa-nio. Si nyonya menyahuti. Tapi orang itu lantas juga
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
berdiri tercengang.
Sin Tjie sendiri segera kenali, kedua binatang liar itu adalah dua orang hutannya yang ia
pelihara di atas gunung Hoa San, hingga ia jadi sangat girang.
"Tay Wie! Siauw Koay!" ia segera memanggil.
Kedua binatang itu telah dapat cium bau majikannya, maka itu keduanya mendahului
menerjang masuk ke dalam, mereka tubruk si anak muda, bukan untuk diserang, tapi
majikannya lompat naik ke penglari, atas panggilan itu, mereka pun turut menyusul ke
atas penglari, keduanya peluki majikan itu.
Orang-orang yang menyerbu masuk itu heran melihat ada mayat pahlawan di dalam rumah
itu, mereka juga tak mengerti sikapnya kedua orang hutan itu, maka juga, mereka
tercengang.
Di luar, kawanan pahlawan kim-ie-wie lihat orang datang, mereka kuatirkan keselamatan
An Taydjin, yang berada sendirian di dalam, maka itu, dua diantaranya lari ke pintu, untuk
menerjang masuk.
"Hajar!" berseru Sin Tjie.
Ini ada seruan yang biasa si anak muda perdengarkan di waktu dia latih dua binatang
piaraannya itu. Sudah lama kedua orang hutan itu tidak pernah dengar suara majikannya
ini, toh mereka masih ingat dengan baik, maka keduanya lantas loncat turun, tepat di
atasannya dua pahlawan, kedua kakinya merangkul, kedua tangannya menyambar ke
lehernya masing-masing pahlawan itu. Maka itu, kapan terdengar suara meretek, patahlah
leher hamba-hamba istana itu, tubuhnya dilepaskan dan jatuh.
Menyusul kedua pahlawan itu, menerobos masuk kawan-kawan mereka.
Sekarang Sin Tjie sudah lompat turun, dia sambar sesuatu orang untuk dilemparkan
kembali ke luar. Ada beberapa pahlawan, yang bisa melawan beberapa jurus, mereka pun
akhirnya kena dilemparkan, ada yang kena ditoyor, ada yang kena ditendang. Maka di lain
saat, semua pahlawan itu menjadi pusing kepala dan mata kabur, terpaksa mereka
berbangkit bangun, untuk kabur.
Selama kejadian itu, lima orang yang tadi nerobos masuk diam saja menyaksikan juga
kedua orang hutan.
Sin Tjie robek bajunya satu pahlawan, ia pakai itu untuk belenggu An Kiam Tjeng, untuk
tutup mata dan kupingnya, agar dia tak melihat suatu apa, tak dengar apa juga, kemudian
Baru ia singkirkan topengnya dan baju seragam, akan hadapi lima orang itu sambil
bersenyum.
"Lie Tjiangkoen, banyak baik?" menegur dia sambil tertawa kepada salah satu orang.
"Apakah Giam Ong pun ada banyak baik?"
Orang yang ditanya itu tercengang, ia mengawasi, akhirnya dia tertawa berkakakan,
tangannya menyambar tangan si anak muda, untuk digoyang-goyang.
Lie Tjiangkoen itu ada Lie Gam, orang sebawahannya Giam Ong.
Maka pertemuan itu sangat menggirangkan mereka semua.
"Encim An, apakah encim masih kenali aku?" tanya Sin Tjie kemudian sambil berbalik,
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
akan pandang nyonya An.
Sebelas tahun telah berselang sejak Sin Tjie menumpang pada An Toa-nio, maka
sekarang, setelah ia jadi satu pemuda yang cakap dan gagah, Toa-nio tidak bisa lantas
kenali dia, hingga ia mesti asah otaknya.
Sin Tjie rogoh sakunya, akan keluarkan gelang emas pemberian nyonya itu, sambil tunjuki
itu kepada si nyonya, ia kata: "Setiap hari aku bawa-bawa ini di tubuhku, maka untuk
selama-lamanya tak aku lupakan encim!"
Baru sekarang nyonya itu ingat betul, ia tarik tangan orang itu akan bawa muka si anak
muda ke dekat lilin, hingga ia tampak samar-samar luka bekas golok di ujung alis sebelah
kiri dari si anak muda.
"Ah, anak!" seru dia, kaget dan girang. "Kau telah jadi begini besar, ilmu silatmu liehay
sekali?..."
"Aku pernah ketemu adik Siauw!" Sin Tjie bilang.
"Ya, tanpa merasa, anak-anak telah jadi besar," kata si nyonya, seperti pada dirinya
sendiri. "Sungguh cepat lewatnya sang waktu!...."
Kemudian nyonya ini pandang suaminya, yang rebah di lantai, ia menghela napas.
"Tidak kusangka, anak, kaulah yang tolongi aku," kata dia pula.
Lie Gam tak tahu hubungan di antara si nyonya dan si anak muda, mendengar nyonya itu
berulang-ulang menyebut "anak, anak", dia sangka mereka ada sanak dekat satu dengan
lain.
"Kejadian ini sungguh berbahaya!" kata dia kemudian sambil tertawa. Lalu dia tambahkan
pada Sin Tjie: "Atas titahnya Giam Ong, aku datang ke Hoopak untuk bikin pertemuan
dengan beberapa kawan. Entah bagaimana, liehay kupingnya kawanan kim-ie-wie, mereka
dengar tentang kami, lantas mereka siap-sedia di sini untuk bokong kami."
"Apakah sahabat-sahabat itu telah pada datang?" Sin Tjie tanya.
Itu waktu, sebelum Lie Gam menjawab, terdengar suara berlari-larinya beberapa ekor
kuda.
"Nah, itulah mereka!" kata jendral ini.
Beberapa pengiring Lie Tjiangkoen pergi keluar, tidak lama mereka bersama tiga orang,
yang masing-masing ada orang she Lee, Hoan dan Hauw, semua jago dari Hoopak, dan
dengan mereka itu, Sin Tjie pernah bertemu di rumah Beng Pek Hoei. Sesudah beri hormat
pada Lie Gam, ketiga orang itu hampirkan Sin Tjie, secara menghormat sekali, mereka
menjalankan kehormatan kepada pemuda ini.
"Bengtjoe! Adakah bengtjoe banyak baik?" kata mereka.
Heran Lie Gam menyaksikan itu.
"Kamu telah kenal satu pada lain?" tanya dia.
"Wan Bengtjoe adalah ketua pusat dari tujuh propinsi, kami semua mendengar titahtitahnya,"
sahut si orang she Hauw.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
"Oh, begitu?" kata jendral itu. "Untuk membantu Giam Ong, aku senantiasa sangat repot
di Shoasay, sampai segala kabaran dari Timur seperti terputus bagiku. Aku tidak sangka
telah terjadi musyawarah besar itu. Inilah menggirangkan, kamu harus diberi selamat!"
"Itu adalah kejadian Baru satu bulan yang lampau," terangkan Sin Tjie. "Sekalian sahabat
baik telah memandang mata padaku, mereka telah berikan aku itu macam panggilan.
Sebenarnya aku masih terlalu muda, tak sanggup aku menerimanya...."
"Ilmu silat Wan Bengtjoe liehay dan ia cerdik dan cerdas juga," berkata si orang she Hoan.
"Umpama kita tidak menyebutkannya tiga sifat itu, kemurahan hati dan pribudi tinggi
bengtjoe siapakah di dalam dunia Rimba Persilatan yang tidak menghargainya?"
"Itulah bagus, bagus!" kata Lie Gam dengan girang. Kemudian dia utarakan titahnya Giam
Ong.
Nyata Giam Ong telah melihat suasana, ia percaya bahwa telah datang saatnya untuk maju
ke kota raja, maka ia merencanakan tanggal-bulannya untuk menyerang Tongkwan, dari
itu, ia utus Lie Gam memasuki Hoopak secara rahasia, untuk menghubungi pelbagai
kawan seperjuangan, supaya mereka itu nanti membarengi menyambut di waktu ia mulai
angkat senjata.
"Nah, bagaimana bengtjoe niat bertindak?" tanya si orang she Lee.
"Gerakan Giam Ong ada gerakan mulia, orang-orang gagah di seluruh negeri harus
menyambutnya," sahut Sin Tjie. "Aku akan segera menyampaikan pelbagai berita ke
segala penjuru. Ini adalah saatnya untuk semua enghiong di tujuh propinsi mendirikan
jasa!"
Mereka menjadi girang sekali, begitupun Lie Gam, maka itu, mereka lantas pasang omong
lebih jauh dengan gembira.
"Tentara Beng telah jadi buruk sekali," menyatakan Lie Gam. "Aku percaya begitu lekas
tentara kemerdekaan sampai, mereka bakal jadi seperti rumput-rumput kering yang
dicabuti, usaha kita akan sama gampangnya seperti membelah bambu. Cuma sekarang
muncul satu soal Baru, yang sulit...."
"Apakah itu, Tjiangkoen?" tanya Sin Tjie.
"Baru saja aku terima laporan penting," jawab Lie Gam, "Aku dengar bahwa sepuluh buah
meriam besar buatan asing hendak diangkat ke Tong-kwan, untuk diberikan kepada Soen
Toan Teng. Orang she Soen itu memang pandai mengatur bala tentara, tapi dia masih
kalah terhadap Giam Ong, yang berbahaya adalah itu sepuluh buah meriam yang hebat
sekali..."
Terkejut Sin Tjie mendengar keterangan itu.
"Siauwtee sendiri pernah lihat itu sepuluh buah meriam besar di tengah perjalanan,"
berkata dia. "Memang, dilihat dari macamnya, meriam-meriam itu mesti liehay sekali. Jadi
itu bukan untuk dikirim ke Sanhay-kwan buat hajar bangsa Boan?"
Dari tempat jauh ribuan lie, meriam-meriam itu diangkut kemari, memang tujuan asalnya
adalah Sanhay-kwan," sahut Lie Gam. "Akan tetapi tentang pergerakan Giam Ong, Kaisar
Tjong Tjeng telah mendengar kabar, bahwa mereka rupanya telah ubah haluan. Menurut
warta yang aku Baru terima, semua meriam itu hendak dibawa ke Tongkwan."
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Sin Tjie kerutkan alis.
"Memang adalah kebiasaan raja-raja Beng, mereka menjaga gerakan rakyatnya lebih hebat
daripada mereka menjaga serangan-serangan bangsa asing," ia kata. "Kalau tidak
demikian, tidak nanti ayahku terbinasa karenanya. Lie Tjiangkoen, bagaimana sekarang
kau hendak bertindak?"
"Jikalau kita tunggu sampai meriam-meriam itu telah diangkut sampai di Tongkwan,"
mengutarakan Lie Gam, "penyerangan kita di sana adalah sama dengan darah-daging
dipakai menggempur besi-baja, meski umpama kata kita tidak bakal kalah, sudah terang
pengorbanan mesti besar sekali...."
"Kalau begitu, perlu kita mendahului, untuk merebutnya di tengah jalan!" Sin Tjie bilang.
Lie Gam tepuk tangan saking girang.
"Saudara Wan," katanya, "dalam hal ini aku mengandal kepadamu untuk kau dirikan jasa
istimewa!"
Tapi Sin Tjie berdiam, ia berpikir keras.
"Senjata api dari bangsa asing itu sangat liehay, untuk rampas meriam-meriam besar itu,
perlu kita menggunakan tipu-daya," katanya. "Sulit juga untuk ditetapkan dari sekarang
apa ikhtiar kita bakal berhasil atau tidak.... Tapi ini adalah urusan sangat penting, aku nanti
mencoba sebisa-bisanya. Semoga dengan mengandali rejeki Giam Ong, aku akan berhasil.
Itu pun ada untuk kebahagiaan rakyat!"
Sampai di situ, mereka lalu bicara tentang gerakan tentara mereka, akan kemudian Lie
Gam suruh salah satu pengiringnya keluarkan sebilah pedang dari dalam pauwhok
mereka. Itulah Kim-tjoa-kiam. Dengan kedua tangannya sendiri, Lie Gam serahkan pedang
itu kepada Sin Tjie.
"Saudara Wan," berkata dia, "sejak pertemuan kita di Siamsay, walaupun kita tak
berkesempatan untuk bicara banyak, aku toh telah ketahui, kau adalah satu pemuda yang
berarti, maka ketika kau titipkan pedangmu ini kepadaku, tidak pernah aku pisahkan diri
dari senjata ini. Sebenarnya ketika itu aku rada-rada sangsi, aku berkuatir untuk usiamu
yang masih muda sekali, sebab kau kurang pengalaman. Jikalau kau berkelana dengan
bawa-bawa pedang yang luar biasa ini serta dua binatang piaraanmu, aku kuatir kau
menjadi terlalu menyolok mata, kau bisa diperdayakan atau dicelakai orang. Akan tetapi
sekarang buktinya lain. Kau masih muda sekali tapi toh kau telah berhasil secara luar
biasa! Maka sekarang pedang ini dan kedua orang-hutan aku kembalikan kepada
tuannya!"
Dengan hormat, Sin Tjie sambuti pedangnya itu, ia pun mengucap terima kasih.
"Isteriku telah dengar tentang kau, saudara Wan, ia menyesal tak dapat menemui kau," Lie
Gam kata pula kemudian. "Ketika itu isteriku tidak berada di Siamsay, akulah yang
memberitahukan dia."
"Satu kali pasti aku akan membuat kunjungan," Sin Tjie bilang.
"Isteri dari Lie Tjiangkoen adalah orang gagah dalam kalangan wanita," An Toa-nio
campur bicara. "Orang kangouw beri ia julukan Ang Nio Tjoe. Dia tidak melainkan cantik,
ilmu silatnya pun sempurna. Eh, anak, sudahkan ada orang yang menjadi cita-cita kawan
hidupmu?"
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Tiba-tiba saja Sin Tjie ingat Tjeng Tjeng, wajahnya menjadi berubah merah. Ia tidak
menjawab, ia cuma bersenyum.
"Entah nona siapa yang mempunyai rejeki untuk mendampingimu, anak," kata pula si
nyonya sambil menghela napas. "Kau begini cakap dan gagah. Ah...."
Toa-nio lantas ingat gadisnya, hingga ia berpikir: "Siauw Hoei dan dia hidup sama-sama
semasa kecil, berdua mereka pun telah sama-sama mengalami ancaman bencana, coba
dia menjadi baba-mantuku, pasti hidupnya Siauw Hoei telah ada jaminannya. Sayang
Siauw Hoei, dia justru mencintai Tjoei Hie Bin yang tolol-tololan! Dasar peruntungan
masing-masing....."
Melihat orang bicara urusan pribadi, Hoan, Lee dan Hauw tak ingin campur omong, maka
mereka lantas berbangkit, untuk pamitan.
"Wan Bengtjoe," kata si Hoan, "besok pagi kami bertiga akan siapkan saudara-saudara
kami untuk menantikan segala titahmu."
"Baik, samwie!" sahut Sin Tjie.
Seberlalunya tiga orang itu, Sin Tjie melanjuti pasang omong dengan Lie Gam, mengenai
usaha mereka, mengenai sesama orang gagah, hingga persahabatan mereka jadi tambah
kekal, hingga agaknya mereka menyesal tak bertemu terlebih siang daripada itu. Mereka
bicara dengan asyik, sampai sang fajar datang, hingga ayam-ayam jago telah berkokok
saling-sahutan.
Satu kali kedua orang ini menoleh kepada An Toa-nio, kelihatan nyonya itu, sambil
bertopang dagu, lagi mengawasi dengan bengong kepada suaminya....
"An Toa-nio!" Lie Gam lalu memanggil, dengan pelahan.
Nyonya itu angkat kepalanya.
"Bagaimana hendak diperbuat terhadap orang ini?" Lie Gam tanya.
Nyonya itu masih kacau pikirannya, ia menggeleng kepala, tak dapat ia menjawab.
Lie Gam tahu orang sedang bingung, ia tidak mendesak menanya.
"Saudara Wan, sudah waktunya kita berpisah," kata ia kepada Sin Tjie.
"Aku nanti antarkan tjiangkoen," Sin Tjie bilang.
Mereka manggut kepada An Toa-nio, lalu dengan bergandengan tangan, sambil
berendeng, mereka bertindak keluar.
Pengiring-pengiringnya Lie Gam, serta kedua orang hutan, lantas mengikuti.
Di sepanjang jalan, masih saja kedua orang ini pasang omong, hingga mereka telah
melalui tujuh atau delapan lie.
"Mengantar sampai seribu lie juga, akhirnya orang toh mesti berpisah," kata Lie Gam,
"maka, saudara, silakan kau kembali."
Wan Sin Tjie bersangsi, agak berat rasanya untuk ia pisahkan diri.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Mendadak, Lie Gam berkata: "Kita ada sahabat-sahabat Baru tetapi mirip dengan sahabatsahabat
kekal, maka jikalau kau tidak menampik, sukakah kau untuk kita angkat saudara?"
Sin Tjie setuju, ia malah girang sekali.
"Akur!" ia menyatakan.
Di situ juga, di tepi jalan, mereka berdua lantas menjalankan upacara angkat saudara,
sebagai gantinya hio, mereka memakai tanah lempung. Sin Tjie panggil koko atau kanda
kepada jendral itu.
Habis itu, masih mereka bicara seketika lama sebelum mereka berpisahan, keduanya
sangat terharu hingga mata mereka mengembeng air mata...
Sin Tjie awasi saudara itu dan pengiring-pengiringnya naik kuda, dan pergi, Baru ia ajak
Tau Wie dan Siauw Koay berjalan pulang ke hotel, begitu ia sampai, di sana Hoan, Lee dan
Hauw telah menantikan dia, bersama mereka bertiga ada beberapa puluh kawannya yang
semua kelihatannya bersemangat. Karena itu, ruang besar dan perkarang hotel jadi seperti
penuh dengan mereka itu. Sebaliknya Tjeng Tjeng, A Pa, Ang Seng Hay dan lainnya, tak
tertampak di dalam hotel itu.
Berbareng dengan itu Sin Tjie dapat kenyataan semua pengiringnya A Kioe berkumpul di
dalam kamar mereka, mereka tidak kasi kentara apa-apa, tidak pernah ada yang keluar dari
kamar. Rupanya mereka ambil sikap ini karena mereka tampak demikian banyak orang.
Sin Tjie tahu, orang-orangnya si nona adalah pelbagai sie-wie atau pahlawan istana, ia pun
tak perdulikan mereka.
"Hoan toako," kemudian ia kata kepada si orang she Hoan, yang bernama Hoei Boen,
"tolong kau ajak beberapa saudara pergi ke selatan akan cari tahu, orang-orang asing itu
serta semua meriamnya menuju ke utara atau ke selatan. Harap kau lekas pergi dan lekas
kembali!"
Hoan Hoei Boen terima tugas itu, ia lantas pilih tiga kawan, yang ia ajak pergi keluar, lalu
dengan menunggang kuda, mereka pergi menjalankan tugasnya.
Baru Hoei Boen pergi, atau See Thian Kong muncul bersama Thia Tjeng Tiok. Girang
mereka lihat si anak muda, yang tak kurang suatu apa.
"Oh, Wan Siangkong, kau telah kembali!" kata mereka.
Belum lagi Sin Tjie sempat menyahuti, atau di situ muncul Tjeng Tjeng bersama A Pa,
rambutnya si nona kusut bekas tertiup angin, mukanya bersemu merah. Nona itu
tampaknya girang, akan tetapi lekas juga, dia kerutkan alisnya.
"Kenapa kau Baru kembali?" tanya dia, agaknya menyesali.
Sekarang Sin Tjie tahu kemana perginya kawan-kawan itu, nyata mereka kuatiri ia dan
pergi mencari. Ia terharu untuk Tjeng Tjeng, yang romannya kusut. Maka ia lantas ajak
nona itu ke kamarnya dimana ia tuturkan pengalamannya tadi malam.
Tjeng Tjeng tunduk, tak sepatah kata ia ucapkan.
Si anak muda lihat sikap orang itu.
"Aku telah membuat kau berkuatir," katanya dengan pelahan.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Masih Tjeng Tjeng diam, dia malah melengos.
Sin Tjie tahu orang marah tapi ia tak tahu sebabnya.
"Baru saja aku angkat saudara sama satu enghiong besar," katanya kemudian. "Adik
Tjeng, kau dapat tambah satu koko...."
Karena kebiasaan, masih Sin Tjie memanggil "adik" - adik lelaki - kepada si nona Hee.
Panggilan ini agaknya menyukai Tjeng Tjeng.
"Satu koko sudah tidak punya liangsim, buat apa tambah koko lagi...." katanya.
"Aku bikin kau berkuatir, adik Tjeng, baiklah, aku janji, lain kali aku tidak akan
membuatnya pula," Sin Tjie bilang.
"Lain kali adalah lain orang yang akan kuatirkan dirimu!" kata si nona. "Kenapa aku mesti
kuatirkan kau?...."
"Eh, siapakah dia itu?" Sin Tjie tanya.
Tjeng Tjeng tidak menyahut.
"Itu wanita asing!" sahut Tjeng Tjeng dan bangkit untuk banting kakinya, terus ia pergi ke
kamarnya sendiri. Sampai tengah-hari, dia tidak keluar lagi, malah dia tidak dahar juga. Sin
Tjie perintah jongos bawakan barang makanan. Ia menduga-duga, kenapa nona itu
agaknya gusar, ia mau menemui pula, untuk minta maaf kalau perlu. Ia percaya, si nona
bermaksud baik sudah berkuatir atas dirinya. Tapi jongos kembali dengan barang
makanan masih utuh.
"Si nona tidak ada di dalam kamarnya," kata jongos itu.
Sin Tjie terkejut.
"Inilah hebat," pikirnya. Maka ia letaki sumpitnya, ia lair ke kamar Tjeng Tjeng. Benarbenar
ia dapati sebuah kamar kosong, kosong juga dari pauwhok dan senjatanya si nona.
"Ha, kemana dia pergi?"
Dalam bingungnya, anak muda ini berpikir keras.
"Dia ngambek. Kemana dia pergi? Dia pandai silat, tetapi dia gampang menghadapi
bahaya.... Aku lagi bertugas, bagaimana aku bisa susul dia?"
Akhirnya terpaksa pemuda ini keluar, akan minta tolong Ang Seng Hay pergi mencari. Dia
pesan pengikut ini untuk Baru kembali setelah mengetahui jelas di mana adanya si nona.
Seng Hay terima tugasnya, dia lantas berlalu.
Mendekati magrib, Hoan Hoei Boen pulang. Begitu memasuki pintu, dia kata dengan
kesusu: "Benar-benar barisan meriam asing itu memutar ke selatan! Mari kita susul
mereka!"
Sin Tjie lompat bangun.
"Mari!" katanya. Ia cuma tinggalkan A Pa dan kedua orang-hutan, akan menunggui kamar,
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
lantas ia ajak semua kawannya pergi menyusul. Thia Tjeng Tiok, See Thian Kong, Ouw
Koei Lam dan Thie Lo Han turut bersama. Mereka kaburkan kuda mereka di malam yang
gelap, terus-terusan. Mereka percaya, karena lerotan meriam jalannya ayal, mereka bakal
dapat menyandak. Kemudian seterusnya di waktu malam, mereka singgah, untuk
bersantap dan tidur, atau pagi-pagi sekali, mereka sudah berangkat pula.
Di hari ketiga, pagi-pagi, setelah lewati sebuah dusun kecil, Sin Tjie beramai lihat sepuluh
buah meriam besar sedang ditunda di depannya satu rumah makan, setiap meriamnya
dijaga oleh enam serdadu dengan senapan di tangan.
"Sudah lapar, aku sudah lapar!" kata Thie Lo Han berulang-ulang.
"Baiklah, sebentar saja kita ketemukan dua opsir asing itu," jawab Sin Tjie.
Berdelapan mereka hampirkan rumah makan, untuk terus naik ke loteng. Thie Lo Han
adalah yang jalan di muka, tetapi begitu lekas dia muncul di atas loteng itu, dia keluarkan
seruan tertahan.
Tjeng Tjeng berada di situ, beberapa serdadu asing sedang ancam dia dengan senapan
mereka, jeriji tangan mereka mengenakan pelatuk, yang tinggal ditarik saja. Duduk di kursi
ada Peter dan Raymond serta si juwita asing, Catherine.
Menampak datangnya beberapa orang itu, Raymond mengucapkan kata-kata yang tak
dimengerti Sin Tjie beramai, atas mana beberapa serdadu lain yang tujukan senapan
mereka kepada orang-orang yang Baru datang ini.
"Angkat tangan!" demikian kira-kira titah serdadu-serdadu itu, yang berseru.
Sin Tjie sudah lantas bertindak, ia sambar sebuah meja, dengan apa ia terjang serdaduserdadu
itu, lalu ia menyusuli dengan meja yang kedua, setelah mana, ia lompat kepada
Tjeng Tjeng, sambil tekan kepala si nona, ia mendek jongkok. Perbuatannya ini diturut si
nona demikianjuga kawan lainnya.
Tembakan segera terdengar dar-der-dor, tetapi peluru semua lewat di atasan kepala,
asapnya mengepul, antaranya ada juga yang mengenai meja.
"Turun!" teriak Sin Tjie, sambil ia sendiri tarik Tjeng Tjeng, untuk diajak lompat ke tangga,
untuk segera loncat turun, perbuatan mana diturut kawan-kawannya, yang pada loncat
keluar dari jendela.
Raymond gusar, dia keluarkan pistolnya dengan apa dia menembak.
"Aduh!" teriak Thie Lo Han, yang tertembak kempolannya. Saking sakit, dia rubuh. Tapi
See Thian Kong sambar ini kawan, untuk dibawa lari terus keluar, akan dilain saat mereka
sudah kabur bersama kuda mereka.
Pada masa itu, senapan masih senapan model kuno, setelah dipakai menembak satu kali,
tak bisa diulangi dengan cepat, selama serdadu-serdadu itu mengisi pula orang telah lari
jauh, benar mereka bisa menembak pula tetapi tidak ada hasilnya.
Sin Tjie duduk di atas seekor kuda bersama Tjeng Tjeng.
"Kenapa kau bentrok dengan mereka itu?" tanya pemuda ini.
"Siapa tahu....?" sahut si pemudi, yang romannya jengah.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Sin Tjie bisa duga orang malu, dia bersenyum, dia tidak menanya lagi, hanya dia larikan
kudanya keras-keras, diikuti oleh semua kawan-kawannya.
Sesudah lari jauhnya dua-puluh lie lebih, semua orang tahan kuda mereka, untuk berhenti,
akan beristirahat. Ouw Koei Lam segera gunai pisau kecil, untuk tolong Thie Lo Han
keluarkan peluru yang masuk ke dalam daging kempolannya, hingga dia ini berkaok-kaok
dan mengumpat-caci kalang-kabutan, saking menahan sakit.
Terharu Tjeng Tjeng menampak "tersiksanya" kawan itu. Sebab ialah yang menjadikan
gara-gara. Ia tarik Sin Tjie ke samping, untuk kata dengan pelahan sekali kepada anak
muda ini: "Siapa suruh dia dandan bagaikan siluman, bahunya dipertontonkan sekalian!
Tak tahu malu...."
Sin Tjie heran, tak mengerti dia.
"Kau maksudkan siapa?" tanyanya.
"Itu wanita asing!" sahut Tjeng Tjeng.
"Oh!" si anak muda heran. "Apakah halangannya dia denganmu?"
"Tak sedap aku pandang dia! Maka dengan dua potong uang, aku hajar rusak antingantingnya!"
jawab si nona.
Sin Tjie tertawa geli.
"Ah, kau benar-benar jail!" katanya. "Habis?"
Tjeng Tjeng tertawa.
"Opsir asing pecundangku itu segera kenali aku, dia lantas titahkan serdadu-serdadunya
ancam aku dengan senapan mereka. Tak mengerti aku apa katanya opsir itu, aku
menyangka dia hendak tantang aku untuk adu pedang pula. Tentu saja, aku bersedia
untuk sambut tantangan itu. Adalah waktu itu, kamu semua muncul!"
"Apa sebabnya kau keluar sendirian?" Sin Tjie tanya.
Wajah nona Hee bersenyum, atau sedetik kemudian, wajah itu berubah menjadi keren.
"Hm, kau masih tanya aku?" baliki dia. "Apakah kau tak insyaf perbuatanmu sendiri?"
Tentu saja pemuda ini tak mengerti.
"Aku tidak mengerti," katanya. "Apakah yang aku telah perbuat?"
Tjeng Tjeng melengos, ia tak menjawab.
Sin Tjie kenal tabeat orang, percuma ia menanya terus, tidak nanti nona ini ladeni dia. Ia
anggap baiklah ia bersikap tak memperdulikannya terlebih jauh. Ia percaya, lama-lama si
nona bakal timbulkan itu sendirinya. Maka ia menukar lain soal.
"Adik Tjeng, senjata api asing itu demikian liehay, coba kau pikir, cara apa kita harus
gunai untuk rampas meriam-meriam besar mereka itu?"
"Siapa bicara tentang ini?" tanya si nona, agaknya mendongkol.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
"Baiklah, kalau begitu, aku nanti bicara sama See Thian Kong beramai saja," kata Sin Tjie,
yang terus putar tubuhnya.
Tjeng Tjeng tarik ujung baju orang.
"Aku larang kau pergi!" katanya. "Kita belum bicara habis...."
Sin Tjie tertawa, ia duduk.
Tjeng Tjeng berdiam sekian lama, Baru ia buka mulutnya.
"Bagaimana dengan adik Siauw Hoeimu?" tanya dia.
"Sejak itu hari kita berpisah, aku tak bertemu lagi dengannya," jawab Sin Tjie. "Siapa tahu
dia berada di mana sekarang?"
"Kau berdiam bersama ibunya, satu malam kamu bicara asyik sekali, seperti tak hendak
berpisahan, tentu kamu bicarakan tentang dia...." kata nona dengan tabeat koekoay ini.
Mendengar ini, Baru sekarang Sin Tjie sadar. Jadi nona Hee ini curigai dia.
"Ah, adik Tjeng," katanya dengan sungguh-sungguh. "Apa mungkin kau masih belum
mengerti sikapku kepadamu?"
Mukanya si nona bersemu merah, ia melengos pula.
"Sejak sekarang dan selanjutnya, tak nanti aku berpisah dari kau! Apakah sekarang
hatimu tenang?" kata si pemuda.
"Habis, kenapa sih kau baik sekali dengan Siauw Hoei itu?" si pemudi tegasi, dengan
pelahan sekali.
"Kenapa tidak?" jawab si pemuda. "Di waktu kecil, kita tinggal bersama. Selama itu,
ibunya perlakukan aku baik sekali, ia pandang aku bagaikan puteranya sendiri. Tentu
sekali, aku berterima kasih sangat kepada itu ibu dan anaknya. Lain dari itu, tidakkah kau
lihat bagaimana rapatnya perhubungan di antara Siauw Hoei dengan muridkeponakanku?"
"Pemuda itu?" kata Tjeng Tjeng, yang memainkan bibirnya. "Orang demikian tolol dan tak
ada kepandaiannya! Kenapa sih dia sukai ia itu?...."
Sin Tjie tertawa.
"Tidakkah kwatjay dan lobak disukai sesuatu orang?" kata dia. "Aku sendiri begini tolol
dan tak punya guna, mengapa kau suka sekali kepadaku?"
Dengan tiba-tiba Tjeng Tjeng tertawa geli.
"Foei! Cis!" katanya. "Tak tahu malu! Siapa sih sukai kau?"
Sin Tjie tidak menjawab, dia hanya bersenyum.
Habis itu, siraplah gelombang kecil, lalu keduanya jadi akur pula. Malah kali ini, makin
rapatlah perasaan mereka satu pada lain.
Sin Tjie kemudian tarik tangannya Tjeng Tjeng.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
"Mari kita dahar!" ia mengajak.
"Tunggu dulu," Tjeng Tjeng menahan. "Masih ada satu pertanyaan. Coba bilang, Nona A
Kioe itu, cantik atau tidak?"
"Eh, apa sih hubungannya dia dengan aku?" si pemuda baliki. "Di mataku, dia ada
seorang dengan kelakuan aneh. Aku pikir baiklah kita berhati-hati terhadapnya."
Tjeng Tjeng agaknya puas dengan jawaban ini, ia manggut-manggut.
Segera mereka kembali ke hotel, untuk berdamai sama See Thian Kong dan Thia Tjeng
Tiok beramai soal merampas meriam asing.
"Biar sebentar malam aku pergi membuat penyelidikan," Ouw Koei Lam mengusulkan.
"Kalau ada ketikanya, aku nanti curi beberapa buah senapannya. Atau dengan pelahanlahan,
aku nanti mencurinya semuanya, supaya selanjutnya tak usah kami jeri lagi
terhadap mereka."
"Usul ini baik," Sin Tjie menyatakan akur. "Sebentar malam aku nanti temani kau."
"Buat apa kau keluar sendiri, bengtjoe?" kata See Thian Kong. "Baik siauwtee saja yang
temani saudara Koei Lam."
"Aku berniat menyelidiki cara digunainya alat-alat asing itu," Sin Tjie bilang. "Ini ada
baiknya untuk kita, supaya setelah kita curi semua senapan mereka, kita lantas dapat
menggunakannya. Tidakkah dengan demikian kita jadi bisa balik pakai senjata itu
terhadap mereka sendiri?"
Semua orang setuju dengan pikirannya ketua ini.
Tjeng Tjeng tertawa, ketika ia kata: "Dia hendak lihat pula itu wanita asing yang cantik!"
Mendengar itu, semua orang tertawa.
Sin Tjie bersenyum, dia antapkan orang goda padanya.
Lohor itu, Sin Tjie berdua Ouw Koei Lam naik kuda mereka, untuk kuntit barisan meriam
asing itu dari kejauhan, sampai mereka itu singgah di sebuah hotel.
Lalu malamnya, kira-kira jam tiga, mereka datangi hotel, untuk segera loncat naik ke atas
genteng.
Ouw Koei Lam kalah dari Sin Tjie dalam hal ilmu entengkan tubuh akan tetapi ia pun
punyakan tubuh enteng bagaikan burung walet, tubuhnya lincah, gerakannya sebat.
Segera juga mereka dengar suara bentroknya senjata tajam, yang keluar dari sebuah
kamar. Maka segera mereka hampirkan jendelanya kamar itu, untuk mengintai ke
dalamnya. Hingga mereka dapat saksikan kedua opsir asing, Peter dan Raymond, sedang
bertempur dengan hebat sekali.
Sin Tjie heran akan dapatkan dua kawan itu bertempur satu pada lain. Ia pun berbareng
perhatikan jalannya pertempuran. Raymond hebat, desakannya keras sekali. Di sebelah
dia, Peter sangat tenang, benar dia ini lebih banyak mundur, akan tetapi satu kali dia balas
menyerang, tusukannya berbahaya sekali. Maka dengan lantas pemuda kita bisa duga, lagi
sedikit waktu, Raymond bakal kena dikalahkan.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Pertarungan berjalan terus, sampai di saat sangat serunya, mendadak ujung pedang Peter
menusuk ke kiri, selagi Raymond berkelit, pedang diteruskan ke arah tengah. Sibuk
Raymond, sambil menarik pulang pedangnya, ia egos tubuhnya sambil miring. Tapi Peter
gunai ketika ini, akan menyampok pedang lawan sampai pedang itu terlepas dari cekalan
dan jatuh ke lantai, untuk dia injak dengan kakinya, sedang ujung pedangnya sendiri
diancamkan ke dada lawan. Dia pun lantas ucapkan beberapa kata-kata, yang tak
dimengerti Sin Tjie dan Koei Lam.
Tubuhnya Raymond menggetar, terang dia sangat panas hati hingga dia keluarkan
kutukan.
Karena orang diam saja, Peter jumput pedang lawannya, untuk diletaki di atas meja, lalu ia
memutar tubuh, akan membuka pintu, buat pergi keluar.
Raymond masih sangat mendongkol, ketika ia sambar pedangnya, ia bulang-balingkan itu
di dalam kamarnya. Tapi tidka l;ama, mendadak ia berhenti bermurang-maring. Rupanya
dengan tiba-tiba saja ia dapat akal. Ia segera pergi keluar, akan kembali bersama sebatang
sekop dengan apa ia lantas menggali satu lobang di lantai.
Sin Tjie dan Ouw Koei Lam berniat undurkan diri ketika mereka saksikan perbuatan aneh
itu, hingga mereka lantas berdiam terus, untuk mengawasi terlebih jauh. Mereka mendugaduga,
barang apa yang di simpan di dalam tanah itu.
Raymond menggali terus, tanah galian dikumpulkan di kolong pembaringan. Dia membuat
lobang dua kaki persegi, dalamnya kira-kira dua kaki juga. Kemudian dia ampar selimut
tebal di atas lobang, untuk tutup lobang itu, di atas selimut, dia menguruki dengan tanah
tipis-tipis, untuk selimutkan lobang rahasia itu. Di akhirnya, setelah tertawa mengejek
beberapa kali, dia buka pintu, akan pergi keluar.
Sin Tjie dan Koei Lam heran, tak dapat mereka lantas menduga maksud orang.
Tidak lama, Raymond telah kembali, di belakang ia, Peter mengikuti.
Segera Raymond mengucapkan kata-kata nyaring, atas mana, Peter main menggeleng
kepala.
Sekonyong-konyong sebelah tangan Raymond melayang, menyambar ke samping muka
Peter hingga menerbitkan suara keras. Barulah karena ini penghinaan, Peter menjadi
gusar, hingga ia cabut pedangnya.
Tidak tempo lagi, keduanya kembali bertarung.
Beda daripada tadi, kali ini Raymond tidak berlaku ganas, sebaliknya, dia main mundurmundur
ke arah lobang yang ia gali.
Baru sekarang Sin Tjie insyaf kelicikan orang, untuk berlaku curang. Jadinya Peter hendak
dijebak. Sebenarnya ia tidak benci dua opsir asing itu, akan tetapi kelicinan Raymond
membangkitkan sifat kejantanannya, maka ia lantas bersiap-sedia.
Selama itu, beberapa kali Raymond mencoba mendesak, tapi habis mendesak, ia lekas
mundur, ada kalanya sampai dua tindak. Tak pernah ia berhasil dengan tikamannya. Peter
selalu bisa menangkis, habis menangkis, segera ia membalas.
Tidak pernah Peter menduga atas kecurangan lawan, ia maju setiap kali orang mundur,
sampai mendadak, kaki depannya kena injak lobang jebakan, hingga tak dapat dicegah
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
lagi, dia kejeblos, tubuhnya ngusruk ke depan. Dan membarengi itu, Raymond, yang
lompat ke samping, segera tikam bebokongnya!
Berbareng dengan itu juga Sin Tjie telah berlompat masuk sambil menolak jendela, ujung
pedang Kim Tjoa Kiam dipakai menggaet pedang Raymond, untuk terus ditarik, hingga
opsir ini gagal dengan bokongannya itu, tubuhnya turut tertarik juga sedikit!
Peter lolos dari bahaya, dia lantas berlompat.
Oleh karena usahanya dibikin gagal, Raymond jadi sangat gusar, tanpa bilang suatu apa,
ia tusuk Sin Tjie.
"Hm!" pemud akita kasih dengar suaranya, seraya menangkis, hingga ujung pedang opsir
itu kena dipapas kutung, apabila ia melakukan pembalasan, dengan menyabet bolak-balik,
hingga Raymond sibuk menangkis, saban-saban ujung pedangnya opsir ini kena dibikin
putus pula, hingga akhirnya, pedangnya yang panjang telah menjadi pendek!
Baru sekarang Raymond berhenti beraksi, dia berdiri bengong
Sin Tjie tidak berhenti sampai disitu, selagi orang tercengang, ia maju sambar sebelah
lengannya opsir curang itu, untuk angkat tubuhnya, buat dilemparkannya ke dalam lobang
buatannya sendiri, kepalanya di bawah, kakinya di atas, menyusul mana, dia lompat keluar
jendela, untuk angkat kaki.'
Ouw Koei Lam sambut kawannya itu, ia tertawa. Ia terus mengikuti.
"Wan Siangkong, kau lihat!" kata dia.
Sin Tjie dapatkan sang kawan menyekal tiga buah pistol.
"Dari mana kau peroleh ini?" tanyanya.
Si malaikat pencuri menunjuk ke arah jendela. Nyatalah tadi, selagi si anak muda lompat
masuk, dia mengikuti, dengan sebat dia sambar senjata-senjata api itu.
"Tidak kecewa julukan Seng-tjhioe Sin-tauw!" Sin Tjie memuji.
Tidak ayal lagi, mereka lari pulang.
Di rumah penginapan, See Thian Kong semua asyik menunggui, mereka girang melihat
pulangnya dua orang ini, kemudian semua orang bergirang mendengar keterangan
mereka berdua.
Tjeng Tjeng sambuti sebuah pistol, nampaknya ia sangat ketarik, ia lihat itu sambil
dibulak-balik, sampai di luar tahunya, dia kena tarik pelatuknya.
"Dar!" demikian satu suara nyaring, disusul sama mengepulnya asap.
See Thian Kong duduk di depan nona ini, dia terkejut, cepat-cepat dia berkelit, tetapi tidak
urung, ikat kepalanya kena juga kesambar peluru hingga berlobang dan hangus.
Tjeng Tjeng kaget tak terkira.
"Maaf!" ia memohon.
See Thian Kong ulur lidahnya.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
"Sungguh liehay!" katanya.
Karena ini, orang periksa dua batang pistol lainnya, yang masih terisi patronnya.
"Obat pasang adalah bangsa kita yang mendapatkannya," berkata Sin Tjie. "Kita pakai itu
untuk membuat petasan atau memburu binatang liar, akan tetapi bangsa asing gunai
untuk membunuh sesamanya! Barisan asing itu terdiri dari seratus serdadu, itu artinya
seratus buah senapan mereka tidak boleh dipandang enteng."
Karena ini, semua orang lantas berpikir.
"Wan Siangkong, aku mempunyai satu pikiran, etah dapat dipakai atau tidak," berkata
Ouw Koei Lam. "Inilah ada semacam akal iblis...."
"Memang kau tak dapat pikirkan hal yang wajar!" tertawa Thie Lo Han.
"Coba utarakan itu, Ouw Toako, nanti kita pikir bersama," kata Sin Tjie.
Ouw Koei Lam tidak berayal untuk beber tipunya, mendengar mana Tjeng Tjeng adalah
yang paling dulu bertepuk tangan dan memujinya. "Benar-benar bagus!" puji Thian Kong
dan yang lainnya juga.
Sin Tjie pikirkan daya yang diusulkan itu, akhirnya ia nyatakan setuju. Akal itu berbahaya
tetapi ada harganya. Maka itu, ia lantas mengatur orang, untuk mewujudkannya.
Ketika itu di hotel dimana tertara asing singgah, permusuhan di anatara Raymond dan
Peter telah dihentikan. Gara-gara adalah disebabkan kedua opsir itu perebuti Catherine.
Sebenarnya Peter dan Catherine menyinta satu pada lain, lalu Raymond menyelak. Karena
Raymond ada sepnya, Peter mengalah, selanjutnya dia jaga diri baik-baik saja.
Besoknya pagi, perjalanan dilanjuti, sampai di dusun Ban-kong-tjoen dimana
penduduknya terdiri dari dua sampai tiga-ratus rumah. Mereka mondok di rumah abu
keluarga Ban. Karena mereka singgah sesudah magrib, tidak lama kemudian, semua
lantas masuk tidur.
Tepat pada tengah malam, mendadak terdengar suara berisik, lalu serdadu jaga
melaporkan bahwa ada bencana api di dalam kampung.
Peter dan Raymond segera bangun, mereka lantas lihat, api berkobar, mendatangi dekat
ke arah pondok mereka.
"Lekas!" kedua opsir itu menitah, untuk serdadu-serdadunya angkut mesiu keluar rumah
abu, buat dikumpulkan di tanah kosong.
Banyak orang kampung datang bersama tahang air dan lainnya, untuk padamkan api,
sedang beberapa puluh di antaranya lantas membanjuri rumah abu itu.
Raymond membentak, untuk mencegah. Dia tanya, kenapa orang sirami rumah abu itu.
Beberapa puluh orang itu memberi keterangan kepada Tjia Thong Soe, si juru bahasa, atas
mana, dia ini kata kepada opsir itu: "Rumah ini ada rumah abu keluarga mereka, katanya
perlu rumah ini dibanjur guna mencegah api nanti merembet kemari."
Alasan itu pantas. Raymond tidak melarang lebih jauh.
Akan tetapi orang kampung yang menyiram itu tidak teratur, mereka siram sana dan siram
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
sini, mereka siram juga mesiu.
"Jangan!" berseru beberapa serdadu asing, yang mencegah, malah sampai mereka gunai
gagang senapan, untuk kemplang orang-orang kampung itu, akan tetapi, pergi yang satu,
datang yang lain, saban-saban mesiu disiram, malah ada serdadu asing juga yang disiram
sehingga keadaan jadi kalut sekali.
Tidak antara lama, tidak melainkan mesiu, juga semua senapan dan meriam kebasahan
anteronya, sebab cara menolong itu, dan api pun dapat dibikin padam.
Sampai terang tanah, setelah kekacauan itu, Raymond dan Peter jadi tidak tenteram
hatinya. Mereka merasa, tempat itu tak aman untuk mereka, sehingga mereka memikir
lebih baik mereka lekas berlalu dari situ. Di saat mereka hendak memberi titah, datanglah
laporan oleh satu opsir sebawahan bahwa binatang penarik kereta, entah kenapa, telah
kabur semuanya, mungkin kaburnya sejak tadi malam.
"Celaka!" menjerit Raymond, yang dalam murkanya, telah cambuki orang sebawahannya
itu, yang pun ia caci.
"Coba cari dan kumpuli," kemudian Raymond titahkan Tjian Thong Soe, si jurubahasa.
Thong Soe ajak beberapa serdadu asing masuk ke kampung, untuk mencari, maksudnya
ini sia-sia belaka, bukan saja binatang mereka sendiri, kuda dan keledai orang kampung
pun tak ada barang seekor jua. Rupanya binatang piaraan orang kampung itu telah
diumpetkan.
Dalam mendongkol dan habis akal, Raymond titahkan Peter bersama Thong Soe dan
empat serdadu pergi ke kota, untuk beli binatang penarik meriam itu. Peter pergi dengan
ajak Catherine, sehingga ia membuat sepnya itu tambah mendongkol.
Seberlalunya Peter, Raymond perintah serdadu-serdadunya bekerja, untuk keluarkan
semua mesiu, untuk dijemur di tegalan, dengan diampar di atas tikar.
Matahari hari itu bagus, setelah sore, semua mesiu sudah kering. Semua meriam dan
senapan pun telah disusuti habis airnya. Maka itu, datang saatnya untuk simpan rapi pula
semua mesiu itu.
Benar di saat semua serdadu hendak bekerja, mendadak datang menyambar beberapa
puluh batang panah api, yang datangnya dari rumah-rumah penduduk yang berdekatan.
Kalau mesiu bertemu api, gampang diramalkan apa kesudahannya.
Sekejab saja, nyalalah mesiu itu, sehingga di antara suara berisik, asap pun mengepulngepul,
sehingga semua serdadu jadi kaget. Tapi di bawah pimpinan keras dari Raymond,
mereka mencoba menolong sebisa-bisanya. Raymond juga perintahkan menembak ke
arah rumah-rumah penduduk itu, dari mana lantas kabur beberapa puluh orang, yang
menghilang di antara pepohonan lebat.
Kapan kemudian Raymond bikin pemeriksaan, delapan bahagian mesiunya telah musnah
terbakar, sehingga ia jadi sangat mendongkol dan bersusah hati. Karena ini, ia atur
penjagaan kuat.
Selang tiga hari, Peter dan Tjian Thong Soe balik bersama beberapa puluh ekor keledai
dan kuda, yang mereka dapati di kota, lantas dengan itu, Raymond lanjuti perjalanannya.
Kepada Peter sep ini tuturkan serbuan panah api oleh orang-orang yang tidak dikenal,
sehingga mereka nampak kerugian besar.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Perjalanan dilakukan terus menerus untuk empat atau lima hari, sampai mereka mesti
melalui satu jalanan sukar, jalanan pegunungan yang sempit dan sangat tak rata. Jalanan
pun menurun.
Raymond dan Peter mesti bekerja keras. Setiap meriam diikat keras, sepuluh serdadu
diperintah pegangi ujung dadung, untuk dipakai menahan, supaya meriam-meriam
menggelinding turun dengan pelahan-lahan. Kalau tidak, semua meriam bakal langsir ke
bawah dan ringsek.
Selagi semua serdadu asing itu bekerja keras, tiba-tiba datanglah serbuan anak panah,
yang datangnya dari kiri dan kanan, dari tempat-tempat sembunyi. Sebentar saja,
beberapa serdadu rubuh sebagai korban. Yang hebat adalah waktu anak-anak panah
mengenai keledai dan kuda, saking kesakitan, semua binatang itu kabur, mereka menarik
dengan kaget semua meriam, tanpa serdadu-serdadu yang menahan dapat mencegahnya.
Maka di lain saat, semua meriam jatuh ke lembah, bertumpuk dan rusak, bercampur sama
bangkai sejumlah keledai dan kuda, berikut mayatnya sejumlah serdadu juga.
Maka dalam sekejab, habislah semua sepuluh buah meriam besar itu.
Raymond dan Peter kaget bukan kepalang. Saking kaget dan takut, Catherine jatuh
pingsan. Tapi masih kedua opsir ini bisa memberi perintah untuk sisa serdadunya bikin
perlawanan.
Musuh tidak dikenal itu sembunyi rapi, tidak ada peluru yang bisa mengenai mereka, tidak
demikian semua serdadu, yang cuma pada mendekam atau tengkurap, sehingga mereka
merupakan sasaran dari anak-anak panah musuh.
Selama dua jam, masih tak dapat tentara asing itu melepaskan diri dari kepungan.
"Mesiu kita tinggal sedikit, kita mesti menerjang!" akhirnya Raymond kata.
"Baik, suruh Tjian Thong Soe tanyakan, apa maunya orang-orang jahat itu," Peter usulkan.
"Bikin pembicaraan sama bandit?" Raymond membentak. "Apakah artinya itu? Jikalau kau
tidak berani, nanti aku yang maju!"
"Bandit menggunai panah, buat apa unjuk kegagahan tak ada perlunya?" kata Peter.
Raymond mendelu bukan main. Ia menoleh pada Catherine, lalu ia berludah.
"Cis! Pengecut, pengecut!" katanya.
Mukanya Peter menjadi pucat-pias.
"Baik, sekarang aku tak sudi layani kau," katanya dengan pelahan. "Kalau nanti banditbandit
sudah dipukul mundur, kau lihat apa adanya pembayaranku untuk hinaan ini!...."
Raymond lantas lompat maju.
"Siapa yang berani, hayo turut aku!" ia berseru.
"Hai, kolonel, apakah kau cari mampusmu?" Peter berseru. Ia kaget, ia ingin mencegah.
Tidak ada satu serdadu juga, yang hendak telad pemimpin itu, yang telah jadi nekat.
Raymond maju sambil cekal pistolnya, ia jalan Baru beberapa tindak, lantas ia rubuh,
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
jiwanya putus, karena sebatang anak panah tepat mengenai dadanya, nancap dalam.
Peter dan tentaranya melakukan perlawanan sambil umpetkan diri, mereka bisa cegah
pihak penyerang datang dekat kepada mereka. Sudah satu hari dan satu malam mereka
bertempur, dari pihak negeri, tidak ada datang bala-bantuan.
Di waktu itu memang ada sangat sukar untuk minta bantuan dari pemerintah Beng, yang
sudah buruk keadaannya. Untuk surat-menyurat saja, dibutuhkan tempo berhari-hari.
Maka di hari kedua, magrib, setelah semua serdadu kelaparan, kepala mereka pusing,
mata mereka berkunang-kunang, dengan terpaksa mereka kerek naik bendera putih, untuk
menyerah.
"Kami menyerah! Menyerah!" Thong Soe berteriak berulang-ulang.
"Letaki senjata api semua!" ada syaratnya penyerbu.
"Kami tak dapat lakukan itu!" sahut Peter.
Pihak penyerang lantas berdiam, mereka juga tidak menyerang lagi.
Setelah sirap sekian lama, di waktu angin mendesir, angin itu ada membawa bau makanan
wangi dan lezat menyerang hidungnya semua serdadu asing itu, selagi mereka ini sangat
lelah, ngantuk dan lapar. Tanpa perkenan dari Peter lagi, semua serdadu lemparkan
senapan mereka, semua lari keluar dari tempat sembunyi.
Peter jadi habis daya, terpaksa ia keluarkan perintah penyerahan.
Semua serdadu tumpuk senapan mereka, habis itu mereka berteriak-teriak minta
makanan.
Menyusul itu terdengar suara terompet nyaring dari pihak penyerbu, dari kedua lamping
bukit muncul beberapa ratus orang yang romannya keren, dengan panah siap untuk
dilepaskan, semua panah diarahkan kepada tentara asing itu. Delapan atau sembilan
pemimpin mereka ini, dengan pelahan, bertindak ke arah musuh.
Peter lihat orang yang pertama maju adalah seorang dengan baju panjang, siapa ia kenali
adalah orang yang di dalam hotel tolongi ia dari bokongannya Raymond. Di samping
pemuda ini ada satu pemuda lain, ialah si nona yang menyamar sebagai seorang pria,
yang kopiahnya pernah ditembak Raymond.
"Hai, itu kawanan tukang sulap!" Catherine berseru.
Peter lantas cabut pedangnya, ia maju beberapa tindak, dengan kedua tangannya, ia
lintangi pedangnya itu. Itu adalah tanda menyerah. Dan tak malu ia akan menyerah
terhadap seorang sebagai Sin Tjie - demikian si anak muda.
Mulanya Sin Tjie tercengang, tapi segera ia insyaf tanda menyerah orang. Lantas ia
goyangi tangan, ia kata pada Tjian Thong Soe: "Bilang padanya, jikalau pihak asing datang
dengan meriam-meriam untuk bantu Tiongkok membela tanah-daerah, untuk lawan
penyerangan pihak asing, kami akan bersyukur, kami akan pandang mereka sebagai
sahabat.
Thong Soe salin pengutaraan itu kepada Peter. Opsir asing ini angguk-angguk kepala,
kemudian ia ulur tangannya, untuk jabat tangannya Sin Tjie.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
"Tetapi jikalau kamu pergi ke Tong-kwan, untuk bantu kaisar membunuh rakyat, pasti aku
tidak mengijinkannya!" Sin Tjie kata pula.
Thong Soe salin pula kata-kata ini.
"Apakah kami hendak dipakai untuk serang rakyat Tiongkok? Inilah aku tidak ketahui,"
Peter bilang.
Sin Tjie lihat orang beroman sungguh-sungguh, maka ia percaya keterangan itu dan ia
menambahkan: "Sekarang ini rakyat Tiongkok bersengsara sampai mereka tidak punya
nasi untuk didahar, mereka mengharap-harap ada orang yang pimpin mereka, untuk
merubuhkan raja, untuk menyingkir dari kesengsaraan ini. Raja ketahui ini, dia ketakutan,
dari itu, dia telah perintah kamu gunai meriam-meriammu untuk labrak rakyat."
Kelihatannya Peter tertarik simpatinya.
"Aku juga asal orang melarat, aku tahu apa artinya kemiskinan," ia bilang. "Sekarang aku
telah mengerti duduknya hal, aku akan segera berangkat pulang ke negeriku."
"Bagus! Sekarang pergi bawa tentaramu!" Sin Tjie bilang.
Peter lantas keluarkan perintah, akan kumpul tentaranya.
Sin Tjie pun titahkan pihaknya menghidangkan barang makanan dan arak untuk tentara
asing itu, sampai mereka telah dahar puas.
Peter angkat tangannya, untuk kasih hormat pada Sin Tjie, habis itu, ia beri titah untuk
tentaranya mulai berangkat.
"Kenapa kamu tidak bawa senjatamu?" Sin Tjie tanya.
Thong Soe salin kata-kata itu.
Peter menjawab: "Itulah hasil kemenanganmu. Kamu telah merdekakan kami, untuk itu
kamu tidak minta uang tebusan, itu saja telah membuat kami bersyukur untuk kebaikan
hatimu."
Sin Tjie tertawa.
"Kamu telah kehilangan meriam, apabila kamu pulang tanpa senapan, mungkin kamu
ditegur seatasanmu," katanya. "Pergilah kamu bawa!"
"Apakah kamu tidak takut kami nanti pakai senapan itu untuk tembak kamu?" Peter tanya.
Sin Tjie tertawa berkakakan.
"Kalau satu laki-laki telah mengucapkan suatu kata-kata itu tidak dapat dicandak empat
ekor kuda!" ia bilang. "Kami putera-putera Tiongkok ada bangsa laki-laki, maka setelah
kami percaya kamu, mustahil kami balik mencurigai?"
Peter jadi kagum dan terharu.
"Baiklah," kata ia, yang terus perintah barisannya ambil senapan mereka, sesudah mana,
ia ajak mereka berlalu.
Di sepanjang jalan mendaki, Peter terus kagumi anak muda kita. Jalan belum jauh, tibaKang
Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
tiba ia perintah barisannya berhenti, ia sendiri ajak Thong Soe kembali pada Sin Tjie. Ia
keluarkan satu bungkusan dari sakunya.
"Kau ada baik sekali, aku mempunyai serupa barang untuk dihaturkan kepadamu!" kata
dia, untuk mana, dia minta Thong Soe salin kata-katanya.
Sin Tjie sambuti bungkusan itu, untuk dibuka. Itu adalah selembar kertas tebal. Ia buka itu,
untuk dibeber, hingga ia tampak peta bumi, peta dari sebuah pulau. Karena di sana-sini
ada tanda-tanda dalam huruf asing, ia tak mengerti.
"Inilah satu pulau besar di laut selatan," Peter bilang, "terpisahnya seribu lie lebih dari
darat. Hawa udara di atas pulau hangat, polowijonya subur. Aku sendiri pernah pergi ke
sana."
"Apakah maksudmu memberikan peta ini kepadaku?" Sin Tjie tanya.
"Daripada kamu berperang di sini dengan bersusah-payah, lebih baik kau ajak rakyat yang
bersengsara, yang tak punya makanan, pergi ke pulau itu," Peter jawab.
Mendengar ini, Sin Tjie tertawa dalam hatinya.
"Sebagai orang asing, hatimu baik," pikir dia, "tetapi kau tidak tahu, negara kita berapa
luasnya, rakyat kita berapa juta banyaknya, maka tidak perduli berapa besarnya pulau itu,
tidaklah itu cukup besar untuk tampung kami semua!" Tapi ia tanya: "Apakah pulau itu
tidak ada penduduknya?"
"Ada waktunya bajak-bajak bangsa Spanyol berdiam di sana, ada waktunya kosong sama
sekali, "Peter terangkan. "Aku percaya kamu tidak akan jeri terhadap bajak-bajak Spanyol
itu."
Melihat orang benar bermaksud baik, Sin Tjie haturkan terima kasihnya. Ia terima peta itu,
untuk disimpan. Kemudian dia ambil selamat berpisah dari Peter.
Tjian Thong Soe hendak ikut opsir asing itu, selagi ia putar tubuhnya, Tjeng Tjeng sambar
kuping orang itu; nona ini kata: "Jikalau lain kali aku ketemukan kau banyak tingkah dan
berani menghina pula sesama bangsa kita, hati-hatilah jiwa anjingmu!"
Thong Soe menahan sakit.
"Lain kali aku tidak berani pula...." jawabnya.
Sin Tjie lantas ajak kawannya pergi turun ke lembah, untuk periksa meriam-meriam besar
itu, yang rusak tak keruan, maka sekalian ia suruh pendam itu.
Kemenangan ini menggirangkan Sin Tjie semua, maka itu hari bersama Hoan Hoei Boen
beramai, ia mengadakan pesta besar, kemudian, besoknya, Baru ia berkumpul bersama A
Pa, Ang Seng Hay, untuk lanjuti perjalanan mereka ke Utara, ke Pakkhia.
Kali ini Ouw Koei Lam adalah yang berjasa, karena semua itu ada atas buah pikirannya,
hingga orang puji dia dan tak lagi ada yang pandang enteng kepadanya, yang asal
pencuri...
(Bersambung bab ke 18)
Selama dalam perjalanan orang tidak nampak rintangan sesuatu, apabila rombongan Sin
Tjie pada suatu hari sampai di kota raja, waktu itu sudah di akhir musim rontok dan musim
dingin telah datang menggantikannya. Segera Sin Tjie bekali sejumlah uang kepada Ang
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Seng Hay, akan minta pengikut ini pegri beli rumah besar di gang Tjeng-tiauw-tjoe yang
berada dekat dengan Tjie Kim Shia, Kota Terlarang. Rumah-tangga yang besar dan mewah
dibutuhkan untuk bisa bergaul sama orang-orang ternama atau berpangkat besar di kota
raja itu. Adalah harapan mereka agar dapat dipakai oleh Giam Ong.
Tjeng Tjeng repot bukan main ketika itu hari ia kepalai orang membersihkan dan mengatur
gedung mereka, supaya bisa terkapur bersih dan terhias menyenangkan mata. Sin Tjie
sendiri gunai tempo akan pesiar di dalam kota, di jalan-jalan utama, untuk saksikan
keadaan dan suasana. Demikian ia tampak penjagaan yang keras, terutama barisan dari
Hoe-pouw, kementerian keuangan dan penduduk. Kemudian ia dengar orang omong,
penjagaan itu berhubungan dengan kedatangannya angkutan uang negara dari Selatan.
Karena ini, ia menaruh perhatian lebih jauh, ia berdiri di tempat kejauhan, untuk
memasang mata.
Sekonyong-konyong terlihat dua bajangan loncat dari genteng Gudang Negara, cepat
sekali gerakannya, keduanya berlari-lari ke ujung timur-utara gedung itu, lalu lenyap.
Pemuda ini heran mengapa di siang hari bolong orang berani manjat Gedung Negara.
Segera ia menerka kepada orang jahat. Ia lantas ingin ketahui, siapa adanya dua bajangan
itu. Ia menduga kepada orang-orang kosen. Tapi ketika ia menyusul ke ujung timur-utara
itu, ia tidak lihat siapa juga kecuali sebuah jalanan dan jalanan ini sepi. Ia lantas lari, untuk
coba menyusul. Malah ia lari keras menggunai ilmu entengkan tubuh pengajarannya Bhok
Siang Toodjin.
Berlari-lari belum lama, Sin Tjie lihat dua orang berlari-lari di sebelah depan. Karena ini, ia
entengi tindakannya, supaya orang tidak dapat dengar dan nanti menoleh, untuk curigai
dia.
Selagi datang mendekati, Sin Tjie dapatkan dua orang itu bertubuh kecil dan kate,
pakaiannya serba merah, kepala mereka masing-masing berkuncir. Dilihat dari belakang,
mestinya mereka ada bocah-bocah umur tiga-atau empat belas tahun. Pundak mereka itu
masing-masing menggendol sebuah bungkusan yang nampaknya berat, sebab tindakan
kaki mereka yang antap.
"Mesti mereka telah curi uang negara," menyangka Sin Tjie. Ia kagumi keberanian dan
kegesitan luar biasa dua anak-anak itu. Di pihak lain, ia tertawa untuk ketololannya
beberapa serdadu penjaga pintu kota itu.
Tujuh atau delapan lie dari pintu kota, adalah sawah dan tegalan belaka. Di sini kedua
bajangan itu menghampirkan sebuah rumah besar, begitu sampai, mereka melompati
tembok dan lenyap di sebelah dalam gedung.
Sin Tjie mendekati, untuk lihat tembok pekarangan yang hitam gelap, tingginya kira-kira
dua tumbak, tidak ada pintunya. Ia coba jalan mutar tapi masih ia tidak lihat pintu, untuk
masuk atau keluar. Aneh! Gedung apa itu?
Didorong perasaanya ingin tahu, Sin Tjie loncat naik ke tembok. Tidak sembarang orang
bisa lompat naik atas tembok itu. Di dalam pekarangan ada lagi selapis tembok, yang
temboknya putih terang. Tapi kembali, tembok ini tidak mempunyai pintu.
Oleh karena penasaran, Sin Tjie lompat, untuk lintasi tembok putih ini. Tembok ini ada
lebih tinggi kira-kira tiga kaki. Tak sembarang orang dapat melompatinya.
Sesampainya di dalam, keheranan Sin Tjie bertambah. Nyata di hadapannya ada sebuah
tembok lagi, yang terlebih tinggi pula, yang warnanya biru. Kemudian keheranannya
memuncak apabila lagi-lagi ia dapatkan dua lapis tembok, masing-masing kuning dan
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
merah, setiap kalinya, tembok ada lebih tinggi tiga kaki. Maka sama sekali, lima lapis
tembok itu sudah jadi tiga tumbak lima kaki tingginya.
Maka, untuk bisa panjat tembok yang kelima ini, Sin Tjie mesti gunai ilmunya "Pek-houw
yoe tjhong kong" atau "Cicak merayap di tembok", tubuhnya nempel di tembok, kedua
kaki dan tangannya bekerja.
"Pasti kedua bocah itu tidak punyakan kepandaian melompati tembok ini apapula dengan
bawa buntalan berat," pikir pemuda ini. "Mesti ada pintu rahasia di sini. Aku tidak kenal
tuan rumah, tidak leluasa untuk aku masuk terus. Baik aku cari saja pintu rahasia itu...."
Maka itu, ia bercokol di atas tembok, akan memasang mata.
Di dalam pekarangan terdalam itu ada sebuah rumah besar dengan tingkat tiga, yang
depan terbagi dalam lima ruang. Walau rumah ada besar, kesunyian berkuasa di situ.
Setelah berdiam sekian lama, Sin Tjie perdengarkan suaranya: "Aku yang muda telah
lancang masuk kemari, niatku adalah untuk berkunjung kepada tuan rumah yang
bijaksana. Sukakah aku ditemuinya?"
Tidak ada jawaban kecuali kumandang.
Sin Tjie tunggu sampai sekian lama, ia lantas berkata-kata pula. Kali ini dijawab oleh
gonggongan riuh dari belasan ekor anjing yang tinggi dan besar, yang berlari-lari keluar
dari rumah tingkat ketiga, agaknya galak sekali semua anjing itu, yang meronjang-ronjang
ke tembok, mulutnya dipentang lebar, kukunya diulur semua.
Melihat kawanan anjing itu, Sin Tjie percaya orang tak sudi menemui ia, atau tuan rumah
membenci tetamu, maka ia tak buang tempo lagi akan berlompatan keluar dari gedung
berlapis-lapis tembok itu, untuk terus pulang ke rumahnya yang baru.
Masih saja Tjeng Tjeng repot mengatur dan menghias rumahnya, antaranya ia tukar lantai
papan, ia beli kembang segar, melihat mana, girang Sin Tjie, sebab dia telah dapatkan satu
"pembantu dalam" yang pandai...
Dulu di atas perahu di Tjiatkang, Tjeng Tjeng merupakan satu "pemuda" yang ganas, tapi
sekarang, belum cukup setengah tahun, ia telah ubah diri menjadi satu pemudi yang lain
sekali sifatnya.
Oleh karena rumah besar dan banyak kamarnya, setiap orang mendapati sebuah kamar
sendiri-sendiri, malah Tay Wie dan Siauw Koay juga peroleh kamar di dalam taman.
Habis bersantap malam, Sin Tjie duduk berkumpul bersama semua kawannya, ia lantas
tuturkan mereka tentang sesuatu yang ia tampak, terutama mengenai itu dua bocah serba
merah serta gedung besarnya yang luar biasa.
"Benar-benar heran!" menyatakan beberapa suara. Mereka semua tak sanggup menerka,
gedung apa adanya itu.
Setelah pasang omong, semua orang pergi beristirahat. Sin Tjie tidak lantas tidur, ia
pikirkan rencana untuk bekerja di kota raja ini. Tugasnya yang pertama adalah bantu Giam
Ong membikin terjungkal kerajaan Beng, untuk bebaskan rakyat dari penderitaan, supaya
mereka merdeka. Tugas yang kedua adalah membunuh kaisar Tjong Tjeng sendiri, untuk
mewujudkan pembalasan sakit hati ayahnya. Ia percaya, dengan kepandaian yang ia
punyakan, tidak terlalu sulit untuk menyerbu ke istana, ke dalam keraton. Tapi ia ingat
kata-kata gurunya, bahwa satu kali raja terbinasa, kawanan dorna bakal menggantikan
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
menguasai pemerintahan, bahwa bangsa asing bakal gunai ketika baik itu untuk datang
menyerbu. Maka itu ia perlu bersabar sampai Giam Ong dan angkatan perangnya sudah
datang ke kota raja, Baru ia turun tangan. Maka ia anggap usahanya yang utama adalah
lihat bahagian dalam dari pemerintah, untuk membuka jalan guna serbuannya Giam Ong
nanti.
Setelah dapat ketetapan, Baru Sin Tjie bisa tidur. Malah untuk sesaat itu, ia bisa lupai itu
dua bocah serba merah pencuri harta negara serta gedungnya yang bertembok berlapislapis
yang aneh.
Di hari kedua, orang bangun pagi-pagi, lantas mereka berkumpul di ruang hoa-thia, untuk
bersantap.
Di paseban, di latar, salju melulahan tebal. Tadi tengah malam, salju itu turun secara lebat
sekali. Sebaliknya dua pohon bunga bwee telah menyiarkan baunya yang harum-halus.
Selagi orang berkumpul, satu kee-teng, atau bukang pelayan, datang masuk dari luar
dengan tindakan cepat.
"Siocia, ada orang datang mengantar barang!" katanya kepada Tjeng Tjeng.
Satu kee-teng lagi membawa barang antaran ialah sebuah tok-pan, pot bunga, dari
porselen, dan sebuah pin-hong atau sekosol mungil dengan lukisan gambar oleh Sim Sek
Thian.
"Inilah barang kuno," kata Sin Tjie. "Siapakah yang mengantarnya?"
Pada sumbangan itu tidak berikuti karcis nama si pengirim.
Tjeng Tjeng bungkusi tiga tail perak.
"Ini presen untuk si pembawa barang," kata ia pada bujangnya. "Kau tanya tegas, siapa
yang kirim sumbangan ini."
Kee-teng itu berlalu akan sebentar kemudian balik lagi.
"Orang itu sudah pergi, aku susul tidak kesusul," katanya.
Semua orang tertawa.
"Aneh," menyatakan mereka. Tak keruan-ruan menerima hadiah!
"Nama Wan siangkong kesohor, ini tentu ada tanda mata dari salah satu orang yang
mengaguminya," kata Seng Hay kemudian.
Dugaan ini dapat kesetujuan semua orang.
Pada tengah-hari, selagi orang hendak duduk berkumpul untuk bersantap, datang pula
antaran barang-barang hidangan buatan rumah makan "Tjoan Tjip Hin" yang paling
kesohor di kota raja. Ketika koki, yang mengantari ditanya, hidangan itu kiriman siapa, dia
cuma bilang seorang yang tidak dikenal yang memesannya yang menyuruh antarkan ke
gedung ini.
Mau atau tidak, orang jadi curiga. Semua barang makanan itu dipisahkan, dikasih pada
anjing, akan tetapi anjing yang memakannya selamat, tidak kurang suatu apa.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Lalu lohornya bergantianlah datang orang-orang dengan barang-barang hadiah lainnya,
seperti kursi-meja, para-para bunga dan lainnya, yang surup untuk gedung mereka, tapi
kapan ditanya, semua pengangkut barang itu tak bisa menyebutkan, siapa pengirimnya.
"Coba kalau ada sebuah lampu besar!" kata Tjeng Tjeng sambil memain. Memang orang
heran tetapi berbareng pun lucu...
Belum selang setengah jam dari kepergiannya kuli-kuli, datang yang lain bersama sebuah
lampu gantung yang besar dan indah, yang kemudian disusul sama antaran sutera, kain
wol, sepatu, kopiah dan saputangan beraneka warna, sedang untuk nona Hee ada pupur
dan yantjie pilihan! Untuk Thie Lo Han Gie Seng seperangkat jubah suci kah-see!
Saking heran, hingga tak dapat ia mengatasi diri lagi, Thie Lo Han cekuk satu kuli.
"Kenapa kau tahu di sini ada satu tauwtoo?" tegurnya. "Kenapa kau kirimkan aku baju
suci?"
Kuli itu, seorang pegawai toko, jadi kaget.
"Tak tahu aku," sahutnya. "Tadi pagi datang satu pembelanja ke toko kami, dia beli ini
semua, dia minta semua dikerjakan lekas, untuk sekarang dibawa kemari...."
Semua orang tak habis heran, mereka pusing menduga-duga.
Tjeng Tjeng cerdik, lalu ia kata seorang diri: "Jikalau pengirim itu benar ketahui isi hatiku,
dia tentu bakal kirimkan aku serenceng mutiara...."
Kemudian, selagi orang ngeloyor pergi, ia minta Seng Hay pergi menguntit, akan lihat
orang pergi kemana.
Setelah berselang sekian lama, kuli tadi balik kembali. Seng Hay sebaliknya kembali
sesudah lewat kira-kira satu jam sedatangnya kuli ini. Boleh dibilang Baru saja Seng Hay
melangkah di pintu atau orangnya toko barang-barang permata telah datang bersama dua
renceng mutiara yang besar-besar.
Tjeng Tjeng sambuti mutiara itu, terus ia masuk ke dalam. Sin Tjie ikuti si nona demikian
juga Seng Hay.
Sesampainya di dalam, pengikut she Ang ini berikan laporannya.
"Kuli tadi telah ketemui satu pengemis yang telah lanjut usianya, ia bicara sebentar, lantas
dia kembali," demikian Seng Hay. "Aku sendiri lantas kuntit pengemis tua itu."
Sepasang alisnya Tjeng Tjeng bangun.
"Pengemis itu dan kuli ini bukan orang baik-baik!" katanya dengan gusar. "Sebentar aku
nanti kasih rasa kepada mereka!"
"Nona menduga benar," Seng Hay bilang. "Orang tua itu jalan melalui beberapa jalan
umum, lantas ia disambut oleh satu opas kuku garuda, sesudah berdua mereka bicara
sebentar, pengemis itu lantas jalan kembali."
"Apakah kau kuntit itu kuku garuda?" Tjeng Tjeng tanya.
Seng Hay manggut.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
"Kuku garuda itu tidak kembali ke kantor, dia hanya pergi ke sebuah gang dimana ada
satu rumah besar," ia melanjuti. "Di luar gedung ini, keadaannya sunyi, sebab aku tidak
bisa masuk dari pintu, aku naik ke genteng. Di dalam ada belasan opas serta seorang tua
yang matanya picak sebelah. Orang panggil dia Sian Loosoe, rupanya dia jadi kepala. Aku
kuatir aku nanti kepergok, maka itu, aku lantas keluar pula dan pulang."
"Luar biasa! Bagaimana tajam mata mereka, bagaimana terang kuping mereka!" kata Tjeng
Tjeng. "Baru kita datang ke Pakkhia ini, lantas mereka sudah dapat tahu! Aku kuatir sulit
juga untuk nanti kita turun tangan...."
"Yang aneh adalah kiriman barang-barang mereka," Sin Tjie bilang. Pemuda ini tetap
tenang. "Bukankah itu ada perbuatan disengaja supaya kita dapat tahu bahwa kita telah
dipergoki? Rombongan kuku garuda di kota raja mestinya cerdik semua, tidak nanti
mereka lakukan tindakan gelo. Apa maksud mereka yang sebenarnya?"
Lantas pemuda ini perintah Seng Hay panggil Tjeng Tiok, Thian Kong, Koei Lam dan yang
lain-lain, untuk mereka berunding.
Sebentar saja, orang telah berkumpul dan berunding, Tjeng Tjeng lantas terangkan
keterangannya si kuli dan laporan Seng Hay. Lalu orang berbicara. Akan tetapi,
kesudahannya, tidak ada seorang jua yang dapat menduga pasti apa artinya semua
barang antaran itu.
"Semua ini ada barang tidak halal, aku tak menginginkannya!" kata Tjeng Tjeng akhirnya.
Maka malam itu si nona, dengan dibantu A Pa, Thie Lo Han, Ouw Koei Lam dan Ang Seng
Hay, angkut semua barang ke rumah itu yang ditunjuki Seng Hay. Rupanya penghuni
rumah itu dengar suara berisik, mungkin mereka dapat menerka-nerka, akan tetapi mereka
tidak nampakkan diri.
Paginya Tjeng Tjeng lepaskan si kuli, yang kemarinnya ia tahan, sama sekali ia tidak
ganggu kuli ini. Si kuli sendiri terima uang upah dengan cara hormat, ia manggut beberapa
kali, ketika ia berlalu, tidak kelihatan ia berkuatir atau tak senang hati.
Habis itu, Sin Tjie beramai berlaku waspada, untuk saksikan apa akan terjadi lebih jauh
sebagai akibat putusannya itu.
Hari itu tidak terjadi suatu apa, terus sampai malam.
Malam itu salju turun pula dengan lebat. Besoknya pagi Seng Hay beramai masuk
menemui Tjeng Tjeng beramai, romannya terbenam dalam keheranan. Ia lantas kata:
"Semalam turun salju, mestinya salju bertumpuk di pekarangan muka rumah kita, akan
tetapi entah siapa yang menyapui, sekarang salju itu telah bersih semua. Tidakkah ini
aneh?"
"Terang sudah, kawanan kuku garuda itu lagi ambil hati kita," nyatakan Sin Tjie. "Sengaja
rupanya mereka bekerja secara diam-diam."
Tjeng Tjeng tertawa.
"Aku tahu sekarang!" katanya.
"Apakah itu?" tanya beberapa suara.
Kembali si nona tertawa.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
"Mereka itu kuatir kita nanti bekerja secara besar-besaran di kota raja ini, hal itu pasti
membuat mereka celaka, maka itu sengaja mereka mendahului mengambil-ambil hati kita,
untuk ikat persahabatan...."
"Dugaan ini cocok juga," Thian Kong bilang. Ia tertawa. "Tetapi, bukan sedikit tahun aku
telah bekerja, belum pernah aku nampak kejadian serupa ini...."
"Ah, aku ingat sekarang!" tiba-tiba Tjeng Tiok ikut bicara.
"Itu kuku garuda yang matanya sebelah ada Tok-gan Sin-liong Siang Tiat Seng si Naga
Sakti Mata Satu, cuma sebab sudah lama ia undurkan diri, aku sampai tak ingat padanya."
Sampai di situ pembicaraan mereka, mereka tetap tidak ambil tindakan apa kecuali berlaku
waspada.
Beberapa hari telah lewat, terus tidak ada orang yang mengantar barang lagi, tidak ada
kejadian apa juga, maka pelahan-lahan rombongannya Sin Tjie ini mulai tak
memperhatikannya pula.
Kemudian datanglah satu hari, sedangnya orang berkumpul di dalam rumah menghadapi
arak, Ketika itu ada di musim dingin, arak adalah penghangat tubuh. Satu bujang masuk
dengan selembar karcis nama yang lebar dimana tertulis kata-kata: "Hormatnya Boanseng
Sian Tiat Seng". Bersama itu diberikuti delapan rupa barang antaran.
Semua orang antap orang tua itu pergi.
Itu hari, di waktu lohor, turun hujan salju yang halus sekali, maka Sin Tjie ajaki Tjeng Tjeng
menunggang kuda pesiar ke luar kota, ke telaga, untuk minum arak sambil "menggadangi"
hujan salju itu yang meriangkan mata.
Sudah sekian lama tak pernah mereka pesiar berduaan saja, inilah ketikanya yang baik
akan mengicipi lagi suasana yang riang-gembira.
Sekitarnya telaga penuh dengan pepohonan gelagah dan alang-alang.
Tjeng Tjeng bekal sebuah naya dengan isi arak dan sayuran, maka itu leluasalah mereka
duduk dahar dan minum sambil pentang mata ke sekitar mereka, memandang panorama
yang menarik hati mereka. Mereka minum dan dahar dengan pelahan-lahan, sambil seling
itu dengan omongan.
Yang lebih memuaskan pasangan ini adalah, selagi salju turun semakin membesar, di
telaga itu tidak ada lain orang lagi, sehingga mengecap lagi suasana yang riang-gembira.
Sin Tjie lantas gunai ketikanya, akan tanya, bungkusan apa itu yang si nona kembalikan
pada Sian Tiat Seng. Tadi pagi, bungkusan itu tak sempat dibuka, dibeber di muka ornag
banyak.
"Aku telah main-main dengan dia," kata Tjeng Tjeng, yang sembari tertawa tuturkan apa
yang ia kerjakan tadi malam, sehingga tidaklah heran kalau kepala opas itu menjadi
kelabakan.
Sin Tjie tertawa.
"Sungguh kau cerdik!" ia memuji. "Sebenarnya Baru saja aku puji kau sebab kau telah
merobah tabiatmu, siapa tahu, kau masih tetap nakal!...."
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
"Eh, kapan kau puji aku?" Tjeng Tjeng tanya.
"Aku puji kau di dalam hatiku saja," jawab si anak muda. "Tentu saja, kau tak ketahui
itu...."
Tjeng Tjeng tertawa, nyata sekali ia gembira.
"Habis siapa suruh dia tak mau perlihatkan diri, dia berlaku bagaikan iblis saja?" katanya.
Ia maksudkan Sian Tiat Seng.
"Entah dalam urusan apa dia hendak mohon bantuan kita," kemudian Sin Tjie ubah
pembicaraannya. Lebih dahulu daripada itu, ia pun bersenyum.
"Orang semacam dia!" kata si pemudi. "Aku pikir, tidak perduli apa permintaannya, lebih
baik kita jangan meladeninya!"
Sin Tjie tidak bilang suatu apa.
Mereka minum terus, sampai mereka timbulkan kenang-kenangan sewaktu di Kie-tjioe, di
Tjio-liang, dimana mereka minum arak di waktu malam sambil menontoni bunga-bunga
yang indah dan harum.
Tjeng Tjeng teringat kepada ibunya, tanpa merasa, ia menjadi berduka, hampir ia
menangis.
"Sudahlah," kata Sin Tjie, yang kembali ubah pembicaraan, maka di lain saat, dapat pula
mereka kegembiraan mereka.
Kapan terlihat sang magrib sudah mendatangi, Tjeng Tjeng benahkan nayanya, bersamasama
mereka meninggalkan tepian telaga, untuk berjalan pulang.
Selagi mereka lewati sebuah paseban di tepian telaga itu, di dalam paseban itu mereka
lihat satu pengemis tua sedang rebah di atas selembar tikar, tubuhnya cuma terbungkus
sepotong celana.
"Kasihan!" kata Tjeng Tjeng. Ia rogoh sepotong perak dari sakunya, ia hampirkan
pengemis itu, akan letaki uangnya di atas tikar.
"Pergi kau beli pakaian, supaya kau tidak sampai kedinginan," katanya.
Sin Tjie ikuti si nona masuk ke dalam paseban itu.
Ketika mereka Baru melangkah keluar dari paseban, mereka dengar suara seperti
gerutuan dari si pengemis, yang ngoceh seorang diri: "Untuk apa memberikan uang
kepadaku? Biar hawa lebih dingin daripada ini, aku si tua tidak nanti mampus beku! Kau
punya arak tetapi tidak ajaki orang turut minum, itulah tandanya bukan sahabat!"
Tjeng Tjeng jadi tidak senang, hendak ia menoleh, untuk mendamprat, akan tetapi Sin Tjie
segera tarik tangannya.
"Orang ini aneh, mari kita intai!" si pemuda berbisik.
Sin Tjie heran melihat orang seperti telanjang bulat sedang hawa udara dingin, salju masih
terus turun, maka gerutuan itu membuat ia lebih heran, hingga bercurigalah ia.Kemudian
ia menoleh, akan sahuti gerutuan itu: "Arak masih ada, cuma tinggal arak dan sayur sisa,
yang sudah dingin. Aku anggap adalah tidak hormat akan undang kau minum dan dahar
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
barang bekas, itu sebabnya kenapa kita tidak undang padamu...."
Orang itu geraki tubuhnya, untuk duduk numprah.
"Aku adalah si pengemis bangkotan, untukku arak dingin ada paling tepat!"
Sin Tjie lantas keluarkan poci arak dari dalam naya, ia serahkan itu.
Pengemis itu menyambutinya, terus ia bawa mulut poci ke dalam mulutnya, hingga
segeralah terdengar suara geruyukan di dalam tenggorokannya, karena dengan rakus dia
tenggak sisa air kata-kata itu.
Dua-dua Tjeng Tjeng dan Sin Tjie lihat pengemis itu berumur kurang lebih empat-puluh
tahun, mukanya berewokan, kedua lengannya seperti belang dengan cacat bekas lukaluka.
"Arak yang sedap!" memuji si pengemis, sesudah dia minum. "Ini ada arak Lie-djie Angtin-
siauw simpanan dua-puluh tahun!..."
Tjeng Tjeng terkejut.
"Kiranya pengemis ini kenal barang baik," pikirnya. Lantas dia kata: "Kau benar, sekali
minum saja, kau tahu arak jempolan."
"Sayang araknya sedikit, tak cukup untukku...." kata si pengemis, yang tak gubris pujian
orang.
"Besok aku nanti datang pula membawa arak untukmu," Sin Tjie bilang. "Bagaimana
jikalau aku undang tuan minum sampai sinting?"
"Bagus!" seru si pengemis. "Siangkong, kau baik sekali! Satu mahasiswa mempunyai
tabeat begini mulia, sungguh jarang didapati!"
Sin Tjie dan Tjeng Tjeng tertawa. Mereka anggap si pengemis bukannya sembarang
pengemis. Lantas mereka keluar dari paseban dan berlalu.
Baru beberapa tindak, Tjeng Tjeng telah menoleh. Dengan tiba-tiba, ia merandak, karena ia
saksikan satu pemandangan yang mengherankan padanya. Ia dapatkan si pengemis
sedang membungkuk, mengawasi ke sebelah kirinya dimana entah ada barang apa.
"Lihat, dia sedang awasi apa?" kata dia pada kawannya, tangan siapa ia tarik.
Sin Tjie pun berdiam dan menoleh.
"Entah kutu apa," sahutnya.
Pengemis itu, yang diawasi terlebih jauh, mengunjuki sikap sangat tegang, ia agaknya
hendak lompat menubruk.
Karena ingin tahu, pemuda dan pemudi ini berbalik, untuk mendekati.
Si pengemis lihat orang kembali, berulang0ulang ia menggoyangi tangan, parasnya pun
bertambah-tambah tegang.
Menampak demikian, dua anak muda ini merandak, tetapi mata mereka menjurus ke arah
benda yang diawasi si pengemis. Maka sekarang mereka bisa lihat, benda itu adalah
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
seekor ular kecil panjang cuma setengah kaki, tubuhnya berwarna kuning emas, di antara
salju yang putih meletak, warna itu jadi mencorong bercahaya.
Dengan pelahan sekali, ular kecil itu jalan berlerot di atas salju, dan si pengemis, dengan
pelahan juga, mengikuti dia.
Dengan tiba-tiba saja Tjeng Tjeng menunjuk ke satu arah belasan tumbak dari tempat ular
itu.
"Lihat, itulah aneh!" katanya separuh berbisik kepada Sin Tjie.
Anak muda ini berpaling, akan memandang ke arah yang ditunjuk itu. Di situ, di antara
salju, ada lobang sebesar mulut jambangan kecil, lobang itu tidak ada saljunya walaupun
di sekitarnya, salju bertumpuk seperti di seputar situ, dan kapan kembang salju jatuh di
betulan lobang, segera salju itu lumer menjadi hawa yang naik ke udara, seperti juga di
dalam lobang itu ada hawa panas dari api.
Ular kecil itu menggeleser terus ke arah lobang itu, setelah sampai, dia tidak masuk ke
dalamnya, dia hanya jalan memutar sampai beberapa putaran.
Si pengemis, yang masih saja mengikuti ular itu, menggoyang-goyang tangan kepada Sin
Tjie dan Tjeng Tjeng, untuk mencegah orang datang dekat kepada lobang atau ular itu.
Rupa tegang dari si pengemis masih belum juga lenyap.
Maka dua anak muda ini berdiri di samping dari mana mereka terus mengawasi, untuk
mengetahui, bagaimana kesudahannya pemandangan yang luar biasa ini.
Sekarang ular kecil itu berhenti berputaran, dia menghadapi ke arah lobang, dia seperti
menghembuskan napas.
Tiba-tiba terdengar satu suara pelahan dari lobang dalam salju itu, atas mana, ular kecil itu
mundur dengan tiba-tiba, sebaliknya dari dalam lobang lantas muncul seekor ular besar.
Terkejut Tjeng Tjeng menampak ular itu, sampai ia keluarkan seruan tertahan.
Pengemis itu memandang dengan mata melotot, tandanya ia gusar, mungkin jika
keadaannya sendiri tak sedang tegang atau bergelisah, tentu ia telah tegur nona kita.
Ular besar itu panjang setumbak lebih, tubuhnya besar bagaikan lengan, kulitnya
berwarna lima macam, kepalanya berpesegi tiga, besarnya sedikit melebihkan kepalan
tangan.
Sin Tjie pernah dengar Bhok Siang Toodjin omong, kalau imam itu sedang mencari bahan
obat-obatan di gunung, sering dia menemui ular-ular berbisa, katanya ular dengan kepala
segi tiga adalah yang paling liehay racunnya. Maka itu, ular ini pastilah ada ular berbisa,
yang jarang ada. Pun biasanya, selama musim dingin, ular semacam ini lebih suka
mengeram di dalam liangnya, sangat jarang keluarnya. Kali ini, rupanya, ular besar itu
muncul karena terpengaruh si ular kecil itu.
Nyata sekali roman menakuti dari ular besar itu, sebab ketika dia pentang mulutnya, dari
situ keluar lidah yang besar panjangnya setengah kaki, warnaya merah darah, lalu lidah itu
dikeluar-masukkan berulang-ulang.
Ular kecil itu lantas lari, akan tetapi dia lari berputaran saja. Di belakang dia, mengikuti si
ular besar, yang besarnya berlipat tiga puluh kali. Ular besar ini pun turut berputaran
melulu, matanya terus mengawasi dengan tajam. Entah kenapa, dia agaknya jeri untuk
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
segera menerkam si ular kecil, walaupun dia sudah angkat tinggi kepalanya. Dia mengikuti
dengan tubuh melingkar.
Ular kecil itu lari semakin keras, si ular besar mengikuti semakin cepat.
Tjeng Tjeng mengawasi terus, sekarang ia tak jeri lagi seperti tadi. Sebaliknya, ia sangat
ketarik hati, ia ingin ketahui bagaimana akhirnya.
Si pengemis, yang terus mengawasi kedua binatang merayap itu, sekarang nampaknya
menjadi repot, sebagaimana dia selalu geraki kedua kaki dan kedua tangannya, tak
hentinya ia keluarkan dari dalam kantongnya serupa barang berwarna kuning,
dikeluarkannya sepotong dengan sepotong, tiap sepotongnya ia kasih masuk ke dalam
mulutnya, untuk digayem, dimamah, dan setiap habis memamah, ia keluarkan itu, untuk
dipulung mnejadi seperti benang, terus diletaki di tanah, di atas salju, dengan dilingkari
hingga menjadi lingkaran kuning.
"Eh, dia bikin apakah itu?" tanya Tjeng Tjeng pada kawannya.
"Mungkin pengemis ini hendak tangkap ular itu," sahut Sin Tjie.
Itu waktu mendadak sang ular kecil berhenti berlari, untuk hadapi si ular besar, lalu
dengan gesit dia berlompat, menubruk ke arah si ular besar itu.
Ular besar itu tidak lari atau berkelit, sambil tetap diam melingkar, dengan kepalanya tetap
diangkat, dia semburkan uap merah ke arah penyerangnya, atas mana ular kecil itu
jumpalitan, jatuh ke tanah, untuk terus merayap. Rupanya uap merah dari si ular besar itu,
hebat bisanya, dan si ular kecil tak sanggup melawannya.
Dengan tiba-tiba saja Sin Tjie ingat kitab "Kim Tjoa Pit Kipnya" warisan dari Kim Tjoa
Long-koen, di situ antaranya ada satu ilmu silat seperti "Pat Kwa Yoe-sin-tjiang" atau
"Tangan Pat kwa" tetapi gerak-gerakannya lebih sulit. Ia telah yakinkan ilmu silat itu tetapi
belum sempurna, karena kurang perhatiannya. Sekarang, ia saksikan pertempurannya
kedua ular itu, mendadak ia ingat ilmu silat itu, yang mirip gerak-gerakannya.
"Apa mungkin Kim Tjoa Long-koen ciptakan ilmu silatnya itu dengan dia menelad gerakgeriknya
ular-ular berkelahi?" pikir dia.
Karena ini, ia mengawasi dengan perhatian penuh. Ia dapat kenyataan, lukisan gerakan
Kim Tjoa Long-koen masih kalah gesit dengan gerakan si ular kecil ini. Si ular besar
sebaliknya tetap tenang, dia bersiaga saja, hingga daya pembelaannya menjadi tangguh
sekali.
"Dia mirip sebagai bocah," pikir Sin Tjie mengenai sikapnya si ular besar.
Si pengemis masih belum berhenti mengunyah benda kuning itu, saban-saban ia tambah
kurungannya, yang jadi berlapis, jaraknya lapisan satu dengan lain sekira satu kaki.
Adalah setelah merasa cukup membuat kurungan istimewa itu, Baru ia bersenyum berseriseri.
Sekarang ia mengawasi kedua ular sambil ia membungkuk tubuhnya.
Beberapa kali ular kecil tubruk lawannya, setiap kalinya ia dipukul mundur teratur oleh
semburannya uap merah dari si ular besar, ular mana sebegitu jauh tidak melakukan
serangan membalas.
Sin Tjie terus memasang mata, selalu ia dapatkan, cara menubruknya si ular kecil
berbedaan, sedang semburan uap merah dari si ular besar, makin lama makin tipis.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
"Jikalau terus mereka berkelahi sebagai ini, ular besar bakal kalah," pemuda ini pikir.
Adalah itu waktu, Baru si ular besar lakukan penyerangan pembalasannya, hebat adalah
sikapnya dan cara menerkam - mulutnya dibuka lebar-lebar, di situ kelihatan giginya yang
kasar-kasar.
Setiap kali disantok, si ular kecil melejit, sambil berlompat atau berkelit, tak mau dia kasih
dirinya kena disambar, beberapa kali dia mengalami saat-saat bahaya, ketika tubuhnya
terpisah hanya sedikit jauh dari mulut lebar dari lawannya.
Sesudah menerkam beberapa kali tanpa hasil, si ular besar seperti telah menginsyafi
siasat berkelahi lawannya, lantas ia pun menggunai siasat. Satu kali ia mengancam ke
arah kiri, selagi si ular kecil berlompat, ia teursi berlompat juga, akan sambar ekornya.
Liehay adalah si ular kecil, sambil egos ekornya itu, ia tekuk tubuhnya, kepalanya
menyambar ke bawah, menubruk mata kiri si ular besar!
"Bagus!" berseru Sin Tjie, bahna kagum. Itulah pemandangan yang ia belum pernah
nampak.
Ular besar itu rupanya telah terluka, ia geraki tubuhnya dengan cepat, bukan untuk balas
menyerang dengan sengit, hanya untuk menggeleser lari ke dalam liangnya, hingga
sekejab saja, tubuhnya lenyap tak kelihatan lagi.
Si ular kecil memburu sampai di mulut lobang, di situ ia berhenti, agaknya tak sudi ia
masuk ke dalamnya, hanya di mulut liang, ia menghembus napas dan menyedotnya
berulang-ulang.
Mendadak Tjeng Tjeng rasai kepalanya pusing.
"Eh, eh!" serunya, lekas-lekas ia sambar lengannya Sin Tjie, untuk pegangan.
Sin Tjie terperanjat, tapi segera ia mengerti, si nona tentulah telah terkena uap ular berbisa
itu, sebba tadi dia berdiri terlaku dekat. Ingat ia kepada Tjoe-tjeng Peng-siam, kodok es
pemberian Ouw Koei Lam, yang ia selalu bawa dalam sakunya, maka lekas-lekas ia
keluarkan itu, untuk dekati itu ke mulut si nona.
"Sedot ini!" katanya.
Tjeng Tjeng menyedot napas berulang-ulang, setelah mana dengan lekas ia merasai hawa
yang nyaman, terus sampai ke dalam dadanya, maka sebentar kemudian, lenyaplah rasa
pusingnya.
Pengemis itu lihat kodok es, ia mengawasi dengan mendelong, wajahnya menjadi terang,
nampaknya ia mengilar sekali.
Sin Tjie sambuti mustikanya, untuk disimpan, kemudian ia tarik tangan si nona, untuk
diajak mundur beberapa tindak. Ia lihat lagaknya si pengemis, di dalam hatinya, ia kata:
"Aku tidak sangka kau, tukang tangkap ular, matamu tajam sekali, kau kenali mustika ini.
Setiap hari kau berdekatan dengan binatang berbisa, memang mestika ini sangat berharga
untuk lindungi dirimu dari bahaya."
Ketika itu dari dalam liang mengepul uap merah. Rupanya ular besar itu tak sanggup
menangkis saja serangan uap musuhnya, mau dia keluar pula untuk bikin perlawanan
lebih jauh. Tatkala satu kali semburkan uapnya yang tebal, mendadak ia nongol di mulut
liang, terus dia menerjang. Tapi ia sekarang bermata satu, ia tak gesit seperti tadi.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Ular kecil membuat perlawanan seperti tadi, ia unjuk kegesitan dan kelincahannya, sampai
ia kena hajar mata kanan si ular besar yang terus jadi buta seperti mata kiri tadi.
Mungkin karena kesakitan, ular besar lari kembali ke liangnya, mulutnya dipentang.
Ular kecil menjaga lobang, ia tidak mau menyingkir, sampai tiba-tiba disambar musuhnya,
sampai dicaplok, terus ditelan!
Sin Tjie dan Tjeng Tjeng kaget. Mereka sayangi, sesudah menang, sekarang si ular kecil
kena dikalahkan, malah dia kena dicaplok!
Habis menelan, mendadak ular besar itu gelisah, ia bergulingan, agaknya ia kesakitan,
satu kali dia banting diri dengan keras, berbareng dengan mana si ular kecil lompat keluar
dari perutnya si ular besar, yang telah berlobang. Maka nyatalah, selagi ditelan, musuh
cilik ini gigit perutnya, hingga musuh jadi kesakitan, dia menggigit terus, sampai perut itu
tembus dan ia molos keluar dengan tak kurang suatu apa.
Sekarang ular kecil itu angkat tubuhnya, untuk berdiri sebatas buntutnya, lalu tak
berhentinya ia menarik, menyedot napas, hingga ia sedot sisa uap merah yang berada di
sekitarnya, kemudian dia menyerang si ular besar, akan akhirnya catok lidahnya musuh
yang sudah jadi bangkai itu, untuk ditarik, dibawa masuk ke dalam lobang. Dia bertubuh
sangat kecil tetapi dia kuat seret tubuh yang besar luar biasa itu, entah dari mana
datangnya tenaga raksasa.
Berdua Sin Tjie dan Tjeng Tjeng berdiri bengong saking heran dan kagum.
Sebentar kemudian, ular kecil itu merayap keluar dari lobang.
Menyusul ini, sikapnya si pengemis jadi tegang pula, ia terus pasang mata terhadap si
merayap yang liehay itu.
Kapan ular kecil itu telah menggeleser sampai di dekat kurungan kuning, mendadak dia
jumpalitan, lalu ia merayap balik ke tengah-tengah kalangan.
"Apakah adanya benda kuning itu?" tanya Tjeng Tjeng. Ia heran.
"Mungkin, obat itu ada sebangsa hiong-hong, obat-obatan untuk menaklukkan ular
berbisa," sahut Sin Tjie.
Ular kecil itu melingkar di tengah kalangan, lantas ia jalan berputaran, akan dengan
sekonyong-konyong dia berlompat, ekornya menolak keras, hingga ia berhasil melompati
lingkungan kuning yang pertama, hingga ia jadi berada dalam lingkungan yang kedua.
Nampaknya si pengemis kaget, ia menjadi gelisah.
Di dalam lingkaran yang kedua ini, ular kecil berwarna kuning emas itu berjalan pula
dengan keras, mengitari kurungan, sesudah mana, kembali ia berlompat, hingga ia berada
di dalam lingkaran yang ketiga.
Dalam gelisahnya, si pengemis lantas saja berkelemak-kelemik, agaknya ia membaca
mantera, setelah mana, ia taruh kedua tangannya, dengan telapakannya, di tanah, lalu ia
angkat naik tubuhnya, kedua kakinya di atas. Dan begitu lekas si ular kecil jalan mutari
kurungan itu, ia pun berjalan dengan kedua tangannya itu sebagai kaki, untuk mengikuti.
Dengan matanya, ia terus awasi binatang merayap itu.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Pemandangan itu sangat lucu hingga Tjeng Tjeng tertawa sendirinya.
Tidak lama setelah berjalan dengan tangan, si pengemis mulai mengucurkan keringat,
yang turun mengetel ke atas salju, setetes dengan setetes. Melihat ini, tanpa ia merasa, si
nona berhenti tertawa, ia menjadi tercengang.
"Kenapa si tua-bangka ini menelad saja si ular kecil?" demikian pikirnya.
"Pengemis ini mempunyai ilmu silat yang sempurna," Sin Tjie berbisik di kuping
kawannya. "Sedikitnya dia berimbang dengan See Thian Kong dan Thia Tjeng Tiok."
"Aku lihat tidak ada yang luar biasa dalam gerak-gerakannya...." kata si nona.
"Kau lihat dadanya," Sin Tjie kata. "Dada itu tidak bergerak sama sekali, napasnya seperti
tidak berjalan, toh dia dapat bertahan begini lama...."
"Aku tahu kenapa dia berbuat demikian," Tjeng Tjeng bilang. "Dia jeri untuk bisa yang
berbahaya dari si ular, maka sebisa-bisa ia menahan napas."
Ular dan orang merayap dan berjalan dengan semakin cepat, akhirnya dengan mendadak
saja, ular itu mencelat, untuk melompati lingkaran yang mengurung dia. Justru itu, si
pengemis meniup dengan keras ke arah binatang itu, menyusul mana, dengan
menerbitkan suara, sang ular jatuh ke tanah, gagal dia lompat menyeberang.
Sesudah gagal dengan percobaannya yang pertama, ular kuning itu kembali jalan
berputaran, dari pelahan menjadi cepat seperti bermula, akan selanjutnya melesat pula.
Tapi untuk kedua kalinya, ia digagalkan si pengemis, yang meniup pula kepadanya.
Lalu, sampai tiga kali, masih ular ini gagal dengan percobaan-percobaannya, tiupan si
pengemis terlalu liehay baginya.
Benar-benar ular itu cerdik, untuk mencoba terlebih jauh, ia jalan berputaran bergantian,
sebentar ke kiri, sebentar ke kanan. Secara begini ia membuat si pengemis selalu ikuti ia,
ia bikin orang jadi repot dan sibuk. Lalu di akhirnya, ia lompat pula! Dan kali ini, ia
berhasil!
"Hebat!" seru Sin Tjie dan Tjeng Tjeng. Pemuda itu kagum untuk kecerdikannya.
Sampai di situ, si pengemis turunkan kedua kakinya, ia angkat kedua tangannya, dengan
begitu ia jadi berdiri seperti biasa, berdiri menghadapi binatang itu.
Sang ular pun bersikap aneh, sesudah lolos dari lingkaran, bukannya dia terus kabur, dia
justru berdiam dia angkat kepalanya, dia berdiri menghadapi si pengemis. Nyata dia
bersikap hendak melakukan penyerangan!
Si pengemis jadi sangat tegang, dia jadi bergelisah, nyata dia berkuatir. Agaknya,
menyingkir ia tidak mau, menyerang ia tak ungkulan.
Sin Tjie segera siapkan tiga butir biji caturnya, ia hendak menolongi di saat pengemis itu
menghadapi bencana.
Segera juga penyerangan dimulai, ular cilik itu berlompat, mulutnya menyantok.
Pengemis itu, dalam gelisahnya, berkelit menyingkir.
Ular itu membalik diri, tak mau ia lari, kembali ia menyerang.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Lagi-lagi, pengemis itu geser kakinya, egos tubuhnya. Ia cukup gesit untuk halau diri dari
sesuatu penyerangan.
Masih si ular ulangi serangannya, sampai beberapa kali, senantiasa ia gagal.
Sin Tjie lantas siap, ia kuatir si pengemis lelah dan kena ditubruk dan digigit binatang
jahat itu.
Justru itu, si pengemis pun dapat pikiran. Benar ketika ia diserang pula, ia tidak
menyingkir, dia justru sodorkan jempolnya yang kiri hingga sekejab saja, jempol itu kena
dicatok sang ular! Tapi berbareng dengan itu, ia geraki tangannya yang kanan, dengan
dua jarinya, ia jepit batang leher ular itu yang lagi gigit jarinya itu, ketika ia menjepit
dengan keras, binatang itu buka mulutnya, rupanya disebabkan kesakitan, maka
terlepaslah catokannya.
Cepat luar biasa, pengemis itu keluarkan sebuah bumbung besi dari sakunya, ia masuki
ular itu ke dalam bumbung, yang tutupnya ia segera tutup rapat, sesudah mana, ia lempar
bumbung itu ke tanah, lantas ia hadapi pemuda kita.
"Lekas keluarkan kodok es itu, tolongi aku!" mintanya.
Tjeng Tjeng mendongkol untuk sikap kasar orang itu.
"Buat apa tolongi kau?" katanya.
Sin Tjie berpandangan lain dari kawan wanitanya ini. Ia suka pada si pengemis, yang pasti
mempunyai ilmu silat sempurna.
Ia pun merasa kasihan, karena jempol kirinya pengemis itu lantas saja menjadi matangbiru
dan bengkak, suatu tanda racunnya sang ular sudah lantas bekerja. Pasti sekali,
racun itu bakal lekas merajalela, ke bahu, ke tubuh seluruhnya. Maka tak ayal lagi, ia
keluarkan mustikanya, akan diserahkan pada si pengemis.
Bukan main girangnya pengemis itu, dia sambar mustika itu, terus dia tempeli pada
lukanya. Dalam sesaat saja, darah hitam lantas mengalir keluar dari luka itu, tetes demi
tetes, jatuh ke salju yang putih, hingga salju menjadi hitam, kemudian bengkaknya mulai
kempes. Lagi sesaat kemudian, habislah darah hitam, jempol itu jadi merah dadu seperti
biasa lagi.
Si pengemis lantas tertawa berkakakan. Dia robek ujung celananya, akan pakai robekan itu
untuk membalut lukanya, sedang mustika kodok es itu bukan ia kembalikan kepada
pemiliknya, sebaliknya, dia masuki ke dalam kantongnya!
"Mari mustikaku!" Tjeng Tjeng minta sambil membentak.
Sepasang alisnya si pengemis berdiri dengan tiba-tiba, wajahnya menjadi bengis dengan
tiba-tiba juga.
"Apa?" katanya. Dia pun membentak. Untuk sedetik, Tjeng Tjeng melengak, matanya
mendelong ke depan. Lalu ia menunjuk ke belakang pengemis itu.
"Hai, ada lagi ular kecil!" dia berseru, romannya kaget.
Pengemis itu terperanjat, dia lantas menoleh ke belakang.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Membarengi itu, Tjeng Tjeng geraki tubuhnya, sambil membungkuk, dia sambar bumbung
besi yang berisikan ular berbisa itu, dengan cepat dia menodong ke bebokongnya.
"Aku akan cabut sumpelnya bumbung ini!" katanya dengan nyaring.
Pengemis itu kaget, ia menjadi lesu. Ia tidak lihat ular di belakangnya, mengertilah ia
bahwa ia telah kena diperdayakan. Ia insyaf, asal sumpel dibuka, bebokongnya bakal kena
dipagut ular berbisa itu dan itu berarti, dia bakal mampus keracunan. Tubunya bagian
ataspun sedang telanjang. Tapi ia bernyali besar, lantas ia tertawa berkakakan, terus ia
rogoh keluar kodok es dari kantongnya, akan sodorkan itu kepada Sin Tjie.
"Aku main-main saja dengan kamu!" katanya sambil tertawa pula, "Ini nona sangat
cerdik!"
Tjeng Tjeng tunggu sampai Sin Tjie sudah sambuti mustikanya, Baru ia kembalikan
bumbung orang.
Tadi Sin Tjie sayangi si pengemis, keras niatnya untuk ikat tali persahabatan dengan dia
itu, akan tetapi pengalamannya barusan membikin hatinya beurbah. Nyata pengemis ini
bermartabat rendah. Sudah ditolong, orang hendak mentung!
"Sampai ketemu pula!" katanya. Ia memberi hormat, lantas ia tarik Tjeng Tjeng, untuk
diajak pergi.
Pengemis itu mengawasi, kedua matanya bersinar jahat.
"Hai, tunggu dulu!" dia membentak.
"Kau mau apa?" tanya Tjeng Tjeng, yang kembali jadi mendongkol.
"Tinggalkan kodok es itu di sini, Baru aku kasih kamu pergi!" kata si pengemis, yang jadi
garang luar biasa. "Apakah kamu sangka aku dapat dibuat permainan?"
Belum pernah Tjeng Tjeng menemui orang demikian tak berbudi dan kurang ajar. Ia mau
menyahuti, tapi Sin Tjie telah dului ia.
"Kau siapa, tuan?" tanya ini anak muda, yang mempunyai kesabaran luar biasa.
Masih matanya si pengemis bersorot bengis, bukannya ia jawab pertanyaan yang halus
itu, dia justru geraki kedua tangannya, agaknya ia hendak menerjang.
"Pengemis ini hendak cari penyakit sendiri," pikir pemuda kita.
Benar di saat pengemis ini hendak menyerang, atau tak jauh dari situ, kuping mereka
dengar senjata beradu keras, disusul bentakan saling susul, kemudian di antara tanah
yang bersalju kelihatan dua bocah berbaju merah semua sedang berlari-lari mendatangi,
pundak mereka menggendol bungkusan, di belakang mereka mengejar lima opas, di
antara siapa ada Tok-gan Sin-liong Sian Tiat Seng si Naga Sakti mata satu, yang
tangannya menyekal tietjio, ruyung besi pendek yang gagangnya bercagak pelindung
tangan. Sembari berlari-lari, mereka itu sembari bertempur. Sampai di situ, kedua bocah
itu lari ke arah si pengemis.
"Tjee Soe-siok! Tjee Soe-siok!" kedua bocah itu berteriak-teriak.
Terang mereka memanggil si pengemis ini, yang mereka bahasakan soe-siok (paman).
Kemudian, setelah datang lebih dekat, bungkusan mereka masing-masing mereka
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
lemparkan ke arah pengemis ini.
Sang pengemis tanggapi kedua bungkusan itu, lantas dia letaki di tanah.
Setelah bebas dari gendolan bungkusannya, kedua bocah serba merah itu jadi lincah pula
gerak-gerakannya, hingga mereka sanggup layani Sian Tiat Seng dan sebawahannya itu.
Sulitnya bagi itu kepala opas, kawan-kawannya tidak punya ilmu silat yang berarti.
Pengemis itu awasi orang-orang yang berkelahi cuma sebentaran saja, kembali ia menoleh
kepada Sin Tjie, terus ia lompat menubruk anak muda kita, pundak siapa ia sambar
dengan kedua tangannya.
Sin Tjie masih tetap sabar, dia pun tidak niat sembarang tonjolkan ilmu silatnya, ketika
orang berlompat, ia pun berlompat mundur, terus ia lari ke sebelah belakang Sian Tiat
Seng.
Tiat Seng telah lantas lihat Sin Tjie dan Tjeng Tjeng berdiri bersama si pengemis, mulanya
ia heran, akan tetapi setelah tampak si anak muda diserang pengemis itu dan anak muda
itu lari, semangatnya bangkit, segera ia perhebat serangannya.
"Aduh!" tiba-tiba bocah yang satu menjerit, karena pundaknya kena ditotok thietjio kiri
dari kepala opas itu. Dia rubuh.
Bocah yang lain terkejut mendengar jeritan itu. Justru itu, kakinya Tiat Seng terangkat,
maka ia lantas saja terdupak rubuh terpental.
Si pengemis tidak kejar Sin Tjie, dia hanya berdiri dengan tegak menghadapi Sian Tiat
Seng.
"Aku sangka siapa, kiranya Sian Loosoe!" kata dia dengan suaranya yang keras dan kaku.
"Tuan, apakah she dan namamu yang besar?" Sian Tiat Seng balik menanya, suaranya
tenang. "Dengan besarkan nyali aku mohon sukalah kau berikan kami sesuap nasi kami!"
"Aku satu pengemis, mana aku punyakan she dan nama?" sahut pengemis itu. Dia lantas
hampirkan bocah yang rubuh, yang kena ditotok jalan darahnya, untuk ditotok pula,
hingga di lain saat, bocah itu dapat bergerak pula seperti biasa.
Itu waktu dua opas maju, untuk pungut kedua bungkusan.
Itu pengemis lihat perbuatan itu, ia perdengarkan suara suitan, menyusul mana kedua
bocah serba merah lompat kepada kedua opas itu, dengan berbareng mereka menyerang,
hingga itu dua opas rubuh terguling, sesudah mana, mereka ini sambar dua bungkusan itu
masing-masing, untuk terus dibawa lari!
Sian Tiat Seng kaget, ia lompat menguber.
"Bandit-bandit cilik bernyali besar, lepaskan bungkusan itu!" dia membentak.
Kedua bocah itu tidak memperdulikannya, mereka kabur terus.
Sian Tiat Seng mengejar hampir kena, ia lantas serang bocah yang berada paling dekat
dengannya. Berbareng dengan itu, ia rasakan sambaran angin di sampingnya. Nyatalah si
pengemis telah susul ia dan ulur tangan untuk sambar thietjionya itu. Ia punyakan mata
satu tetapi ia awas luar biasa, maka itu, ia batal serang si bocah, ia putar tubuhnya,
dengan senjatanya, ia hajar lengan orang di betulan buku tangan.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Pengemis itu tarik pulang tangannya, untuk terus dipakai menyerang ke bebokong kepala
opas itu, siapa pun terus berbalik, untuk menangkis. Sengaja ia gunai tenaganya, untuk
ukur tenaga dengan si tukang minta-minta itu.
Dengan mendadak, dengan sebat, pengemis itu tarik pulang tangannya, setelah berbuat
begitu, ia lompat jumpalitan untuk jauhkan diri, sampai setumbak lebih, kemudian ia susul
kedua bocah baju merah itu, untuk angkat kaki....
Sian Tiat Seng heran untuk kegesitan luar biasa itu, ia tidak mengejar, karena berbareng ia
insyaf, sendirian saja, ia tidak bakal mampu berbuat banyak. Orang-orangnya tak dapat
bantu dia, sedang Sin Tjie beruda juga diam saja. Maka ia lantas hampirkan Sin Tjie dan
Tjeng Tjeng, untuk memberi hormat sambil menjura dalam.
"Maafkan aku, maafkan aku," kata dia.
Dua anak muda itu membalas hormat, akan tetapi mereka heran atas sikapnya kepala opas
itu.
"Jangan seedjie, Sian Loosoe," kata Sin Tjie. "Pengemis itu ada dari kalangan apa?"
"Mari kita pergi ke paseban sana, djiewie, sambil duduk nanti aku berikan keteranganku,"
kata orang tua itu.
Sin Tjie ingin tahu hal si pengemis, ia terima baik undangan itu, ia ajak kawannya kembali
ke paseban.
Setelah kedua anak muda itu duduk, Sian Tiat Seng lantas mulai dengan keterangannya.
Sejak bulan yang lalu, gudang negara telah tiga kali kecurian, jumlahnya semua beberapa
ribu tail perak. Untuk negara, jumlah itu tidak seberapa, tetapi yang penting itu adalah
uang negara, hartanya kaisar, dan itu kejahatan diperbuat di "kakinya kaisar". Maka
pencurian itu dengan sendirinya telah menggemparkan kota raja. Apa yang hebat, kuping
kaisar pun terang, Baru lewat dua hari sejak pencurian pertama, junjungan itu telah
mendapat tahu.
Hok Siangsie, menteri yang bertanggung jawab atas isi gudang ngeara, dan Tjioe
Tjiangkoen, Kioe-boen Teetok atau pembesar militer yang menjamin keamanan kota raja,
tentu saja telah dapat teguran keras. Malah kaisar bilang, apabila dalam tempo satu bulan,
pencurian itu belum dapat dibikin terang, semua pembesar yang bertanggung jawab itu
bakal dipecat dan perkaranya akan diperiksa.
Hebat ada nasib kawanan opas, yang tidak berdaya untuk tangkap si pencuri, lebih dahulu
merekalah yang dimestikan bertanggung jawab, sampai anak-isteri mereka, semua
anggauta keluarga ditangkap dan ditahan.
Dalm putus asa, semua hamba wet itu, mereka dapat satu pikiran, lalu dengan memohon
kepada seatasannya, mereka berhasil mengundang Sian Tiat Seng, bekas kepala opas
yang telah lama undurkan diri. Begitulah telah terjadi, Tok-gan Sin-lion si Naga Sakti Mata
Satu itu telah turun tangan pula.
Juga Sian Tiat Seng telah menghadapi kesulitan. Menurut penyelidikannya, pencuri
bukannya pencuri biasa, mestinya itu ada perbuatan satu atau lebih orang dari kalangan
Rimba Persilatan, hanya sampai sebegitu jauh, belum pernah ia berhasil memergoki si
penjahat. Ia kenal baik keadaan di kota raja, tak ada orang yang ia dapat curigai, tapi juga
ia tidak berani menuduh.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
"Hm, jadi kamu sangka kami!" kata Tjeng Tjeng, yang hatinya panas. Ia potong keterangan
orang.
"Maaf, memang demikianlah dugaanku semula," Tiat Seng akui. "Kemudian aku membuat
penyelidikan lebih jauh, hingga aku dapat tahu Wan Siangkong selama di Kim-leng sudah
menolongi Tiat-pwee Kim-go Tjiauw Kong Lee dan di Shoatang telah bersahabat sama See
Thian Kong dan Thia Tjeng Tiok, sampai akhirnya siangkong dipilih dan diangkat menjadi
bengtjoe dari tujuh propinsi. Nyata siangkong ada seorang gagah yang dipuja..."
Senang juga Tjeng Tjeng mendengar Sin Tjie dipuji, wajahnya lantas berubah menjadi
lebih sabar.
"Walaupun aku telah ketahui tentang Wan Siangkong, apa mau mataku seperti buta, aku
tak dapat lantas sambut siangkong," Sian Tiat Seng lanjuti keterangannya itu.
"Sebenarnya aku tak tahu bagaimana harus berkenalan sama siangkong...."
Tjeng Tjeng tertawa sendirinya. Ia awasi hamba wet tua itu, yang matanya tinggal sebelah,
mata yang lebih banyak putihnya daripada hitamnya.
"Karena itu setiap hari aku perlukan datang mengunjuk hormat pada siangkong," Tiat
Seng tambahkan kemudian.
Tjeng Tjeng tertawa.
"Kau tidak menjelaskannya, siapa tahu isi hatimu?" katanya.
"Justru sulit untuk menerangkannya," kata Sian Tiat Seng. "Aku hanya harap Wan
Siangkong tidak gusar, aku harap-harap siangkong sudi kembalikan semua uang yang
dicuri, untuk bisa tolong jiwanya semua opas dan keluarganya. Di luar dugaanku,
siangkong telah kembalikan semua barang antaran kita, malah siangkong dapat tahu
nama dan gelaranku, hingga kesudahannya siangkong ganggu aku dengan sebarkan
karcis namaku. Siangkong telah tegur aku, aku terima itu...."
Tjeng Tjeng berdiam, ia seperti tak dengar perkataan orang tua ini, parasnya pun tidak
berubah.
"Dalam putus asa, tadi aku telah atur penjagaan," Sian Tiat Seng melanjuti. "Aku tak tahu
mesti bersikap bagaimana, aku cuma pikir, biar aku lawan keras. Sama sekali di luar
sangkaanku, yang muncul tadi adalah dua bocah serba merah barusan, mereka sangat
licin, sia-sia saja kami kepung dia sampai di sini. Kembali di luar sangkaanku, di sini aku
bertemu sama pengemis yang liehay itu. Aku pun tidak sangka, siangkong, disini aku bisa
bertemu sama siangkong berdua. Sekarang, Wan Siangkong, aku mohon dengan sangat,
sukalah kau beri petunjuk kepadaku...."
Orang tua itu bicara dengan sungguh-sungguh, terus ia berlutut dan manggut-manggut.
Sin Tjie repot, untuk memimpin bangun, sedang hatinya terus berpikir.
"Pengemis itu dan kedua bocah terang bukan orang baik-baik," demikian pikirnya.
"Karena mereka itu seterukan pembesar negeri. Buat apa aku campur tahu urusan mereka
ini? Tidak ada perlunya buat aku bantui segala opas kotor?..."
"Kami pun tidak kenal pengemis itu," Sin Tjie lalu terangkan. Ia ceritakan sedang ia dan
Tjeng Tjeng pesiar, di situ mereka bertemu sama si pengemis penangkap ular berbisa,
bagaimana ia telah tolong si pengemis tapi mustikanya hendak dirampas.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
"Walaupun demikian, siangkong, aku mohon kau suka bantu aku," Sian Tiat Seng ulangi
permintaannya.
Sin Tjie tertawa.
"Sulit, loosoe," katanya. "Menawan penjahat adalah pekerjaan hamba-hamba wet. Aku
tidak punya guna, aku pun tidak bisa lakukan pekerjaan polisi sebagai kamu!"
Mendengar lagu-bicara orang, Sian Tiat Seng tidak berani banyak omong pula, ia menjura,
lantas ia ajak orang-orangnya ngeloyor pulang.
"Mari kita pulang," Sin Tjie pun mengajak kawannya.
Sepanjang jalan, Tjeng Tjeng caci si pengemis tidak berbudi.
"Kalau lain kali dia bertemu pula denganku, aku nanti kasi rasa!" katanya dengan sengit.
Tidak jauh, mereka berpapasan sama sejumlah serdadu dari kantor Kim-ie-wie, mereka itu
sedang giring serombongan orang tawanan, di antara siapa ada kakek-kakek yang ubanan
rambut dan kumisnya, ada ibu-ibu yang sedang empo bayi, tapi yang kebanyakan adalah
orang-orang tua dan perempuan lemah. Serdadu-serdadu itu berlaku bengis, saban-saban
terdengar dampratannya.
"Kasihani kita tjongya," begitu Tjeng Tjeng dengar satu nenek-nenek. "Biar bagaimana,
kita toh sama-sama makan gaji negara dan bekerja untuk umum.... Kita sama sekali tidak
bersalah-dosa, cuma karena di kota raja ini muncul penjahat besar, kita jadi terembetrembet
mengalami kecelakaan ini...."
Satu serdadu pegang si nenek.
"Tidak karena penjahat itu, mana kita berjodo bisa bertemu seperti sekarang ini?" katanya.
Ia tertawa.
Panas hatinya Sin Tjie dan Tjeng Tjeng akan dengar omongan itu, buat saksikan
keceriwisan orang. Mereka tahu, orang-orang tawanan itu adalah keluarganya hambahamba
wet. Opas-opas suka ganggu rakyat jelata, pantas kalau sekarang mereka merasai
kesengsaraan sebab gangguan penjahat liehay itu, akan tetapi anak-istri mereka, orang
tua mereka mesti menderita begini, dua anak muda ini toh tak tega juga.
Sembari jalan terus, serdadu-serdadu itu lantas berteriak-teriak:
"Penjahat-penjahat telah ditangkap! Penjahat-penjahat telah ditangkap!" demikian suara
mereka, sambil mereka gusur orang-orang tawanan itu, yang mereka rantai dan gandeng.
Banyak penduduk menyaksikan di pinggiran, rata-rata mereka menggeleng kepala dan
menghela napas. Mereka tahu kawanan serdadu itu mendusta, mereka tahu orang-orang
tawanan itu ada penduduk biasa, yang ditangkap untuk menambal tugas mereka, yang tak
dapat mereka jalankan, maka rakyat mesti jadi korban.
Menyaksikan itu semua, hati Sin Tjie dan Tjeng Tjeng jadi panas.
Kapan di akhirnya kedua anak muda ini sampai di rumah mereka, mereka lihat Ang Seng
Hay sedang langak-longok, romannya gelisah, kapan dia lihat mereka, lantas dia jadi
sangat girang.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
"Bagus, sudah pulang!" seru dia.
Sin Tjie heran.
"Ada kejadian apakah?" ia tanya.
"Thia Loo-hoetjoe telah kena orang lukai, siangkong sedang diharap-harap untuk tolongi
padanya!" sahut pengiring itu. Ia girang akan tetapi kegelisahannya tak lantas lenyap
semua.
Sin Tjie kaget. Ia tahu Thia Tjeng Tiok liehay, maka cara bagaimana jago tua itu dapat
orang bikin terluka? Lekas-lekas ia turut pengikutnya itu masuk ke dalam, Tjeng Tjeng
ikuti dia.
Di dalam kamar, Tjeng Tiok nampak sedang rebah di atas pembaringan, mukanya berdebu
dan hitam. See Thian Kong bersama Ouw Koei Lam dan Thie Lo Han semua duduk
mendampingi jago tua itu, roman mereka kucel, tandanya bersusah hati dan berkuatir.
Tetapi setelah mereka tampak Sin Tjie, wajah mereka bersinar sebentar, tandanya mereka
peroleh pengharapan.
Sin Tjie lihat Tjeng Tiok rapati kedua mata, napasnya jalan dengan pelahan.
"Dimana lukanya Thia Loo-hoetjoe?" tanyanya.
See Thian Kong angkat tubuh Tjeng Tiok pelahan-lahan, ia singkap bajunya, untuk kasi
lihat bagian yang luka.
Menampak luka itu, Sin Tjie kaget bukan main. Luka itu, di pundak kanan, telah bengkak
dan matang biru, warna hitamnya mulai merembet ke muka, sedang ke bawah, warna
hitam itu sudah sampai di pinggang. Di tempat yang warnanya paling hitam di pundak, ada
bertapak lima jari.
"Inilah luka bisa!" kata Sin Tjie. "Bisa apakah?"
"Thia Loo-hoetjoe pulang dengan sudah terluka, agaknya ia dapat pulang dengan
paksakan diri," sahut Thian Kong. "Sesampainya ia di rumah, ia sudah tidak bisa bicara
lagi, dari itu tak tahu kita luka itu disebabkan racun apa...."
"Syukur kita ada punya mustika kodok es," kata Sin Tjie kemudian.
Lekas-lekas ia keluarkan mustikanya itu, untuk ditempel di tempat yang luka.
Mustika itu benar liehay, dia lantas mulai sedot warna hitam itu. Hanya kali ini, badannya
yang putih meletak bagai salju lantas berubah menjadi abu-abu, menjadi hitam.
"Rendam dia di arak hangat, racunnya akan keluar," berkata Ouw Koei Lam.
Sin Tjie lekas tuang arak ke dalam cawan, ia angkat mustika itu, untuk direndam.
Benar seperti katanya Ouw Koei Lam, racun dalam tubuh mustika itu lantas keluar, hingga
arak pun menjadi berubah hitam, sepetelah tubuh mustika menjadi putih pula, kembali
lantas ditempelkan di lukanya Tjeng Tiok.
Pengobatan cara begini dilakukan sampai belasan kali, Barulah darah hitam dari tubuhnya
Tjeng Tiok dapat disedot keluar semuanya, setelah itu Barulah Sin Tjie uruti tubuhnya jago
tua itu, untuk bikin darahnya jalan pula seperti sediakala.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Pertolongan ini memberi hasil baik, muka Tjeng Tiok lekas jadi bersemu dadu pula. Karena
ini, hati semua orang menjadi lega.
Malam itu Tjeng Tiok bisa tidur dengan nyenyak, kapan besoknya pagi-pagi Sin Tjie
tengok dia, dia telah bisa bangkit dari pembaringan dan duduk. Ia lantas mengucap terima
kasih.
"Jangan bicara dulu," Sin Tjie mencegah seraya ulapkan tangan. Ia menyuruh orang
bernapas dengan beraturan, untuk perbaiki jalan darahnya. Kemudian ia perintah orang
untuk pergi panggil tabib yang pandai, untuk berikan obat guna bersihkan sisa-sisa racun.
Maka itu, di hari keempat, Tjeng Tiok sudah sembuh betul, hingga ia bisa menuturkan
sebab-musababnya ia mendapati luka yang berbahaya itu.
"Magrib itu aku lewat di depan pintu kota Tjie-kim-shia, tiba-tiba aku dengar suara berisik,
seperti orang lagi berkelahi," demikian ketua Tjeng Tiok Pay mulai dengan penuturannya.
"Aku pergi mendekati, untuk melihat. Aku dapatkan kembang tauwhoe berserakan di tanah
dan seorang, yang tubuhnya besar, sedang jambak satu anak tanggung, siapa dipukuli
berulang-ulang. Atas pertanyaanku pada seorang, yang turut menyaksikan, dapat aku
ketahui, bocah itu adalah si tukang tauwhoe. Di luar kehendaknya, dia kena bentur orang
itu hingga bajunya orang itu menjadi kotor, maka ia dihajar. Kasihan aku melihat itu
bocah, aku lantas mendekati, untuk memisahkan. Aku bicara dengan sabar, aku memberi
alasan yang pantas tapi orang itu tidak mau mengerti, ia memaksa minta dikasih
penggantian uang kerugian. Aku tanya, berapa ia minta ganti, ia sebutkan satu tail perak.
Aku suka tolongi bocah itu, aku lantas rogoh sakuku, untuk ambil uang. Siapa tahu,
karena aku iseng, aku telah kena diperdayakan, aku terjebak ke dalam tipu-daya orang
jahat. Aku merogoh dengan tangan kanan, Baru tanganku masuk ke dalam saku,
mendadak dua orang itu, ialah si kacung dan orang yang aniaya dia menyamber lenganku,
untuk ditarik ke kiri dan kanan..."
Mendengar sampai di situ, Tjeng Tjeng berseru dengan tak dapat ia mengatasi dirinya.
"Segera aku insyaf bahwa orang sedang permainkan aku," Tjeng Tiok melanjuti. "Aku
lantas geraki kedua tanganku, untuk loloskan diri. Masih aku hendak tanyakan sebabnya
kenapa mereka perlakukan aku demikian rupa, tetapi sebelum aku sempat berontak, tahutahu
aku merasakan sakit sekali di pundakku yang kanan, sakitnya sampai meresap ke
tulang-tulang. Itulah serangan yang aku tak sangka-sangka. Masih dapat aku berontak,
aku terus sambar lengannya orang yang bertubuh besar itu, aku mundur satu tindak. Ada
aku pakai dia untuk hajar si bocah. Berbareng dengan itu, aku lompat ke depan, untuk
segera menoleh ke belakang. Maka sekarang aku dapat lihat, orang yang membokong aku
adalah pengemis wanita tua yang berbaju hitam. Belum pernah seumurku melihat wanita
sejelek dia. Seluruh mukanya penuh dengan lobang-lobang dan daging munjul, tapaktapak
luka, sepasang matanya menjuling naik. Ia awasi aku sambil tertawa secara dingin,
kemudian dia angkat kedua tangannya, yang jeriji-jerijinya berkuku tajam, untuk
menerkam aku...."
Di waktu mengucap demikian, wajahnya Tjeng Tiok sedikit berubah, nyata ia merasa ngerti
atau gelisah, rupanya ia berbayang dengan pengalamannya yang hebat itu.
Tjeng Tjeng kembali perdengarkan seruan, seruan tertahan, tak terkecuali See Thian Kong,
Ouw Koei Lam dan yang lainnya. Mereka ini seperti juga merasakan hebatnya bokongan
dan serangan kuku-kuku tajam itu.
Thia Tjeng Tiok teruskan keterangannya: "Ketika itu aku kaget berbareng gusar. Atas
terjangan itu, aku terus angkat tubuhnya, adalah keinginanku, untuk balas menyerang.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Apa mau, tangan kananku tak dapat digeraki, tangan itu seperti membantah kehendakku.
Wanita tua itu tertawa aneh, terdengarnya seram, terus ia mendesak. Dalam keadaan
seperti itu, aku dapat akal. Mendadak aku membungkuk, dengan tangan kiri aku sambar
tahang kembang tauwhoe, dengan itu aku menimpuk ke arah muka wanita itu, sampai dia
kelabakan, dengan kedua tangannya, dia susuti mukanya. Aku gunai ketika itu akan
keluarkan dua batang tjeng-tiok-piauw, aku hajar dadanya. Dengan begitu, aku bikin dia
dapat pengajaran. Tapi itu waktu, aku merasakan sakit tak terikira, rasanya aku tak
sanggup bertahan lagi, maka aku lantas saja lari pulang sekeras mungkin, sesampainya di
rumah, lantas aku tak tahu apa-apa lagi.
"Apakah kau mempunyai sangkutan dengan wanita tua itu?" See Thian Kong tanya.
"Belum pernah aku bertemu atau lihat dia," sahut Thia Tjeng Tiok. "Kami dari pihak Tjeng
Tiok Pay tidak punya hubungan suatu apa dengan rombongan pengemis dari Kanglam dan
Kangpak, kita ada seperti air sungai yang tidak saling ganggu dengan air sumur."
"Apa mungkin dia salah lihat?" Tjeng Tjeng pun tanya.
"Aku rasa inilah bukan kekeliruan," sahut Tjeng Tiok pula. "Setelah dia bohongi aku, aku
telah menoleh ke arah dia, waktu itu dia telah melihat tegas padaku, tetapi dia masih terus
menyerang secara bengis."
"Entah racun apa yang ada pada kukunya itu maka akibatnya ada berbahaya sekali,"
nyatakan Ouw Koei Lam.
"Mestinya dia pakai sarung jari tangan," kata See Thian Kong. "Kalau dia rendam kukunya
dengan bisa, tak nanti dia sendiri sanggup bertahan."
Tidak ada orang yang dapat duga duduknya hal, orang pun heran atas hebatnya bisa itu,
dan orang juga tak tahu asal-usulnya pengemis wanita tua itu.
Thia Tjeng Tiok masih mendongkol, sampai ia tak dapat atasi dirinya tanpa ia mencaci
musuh curang dan gelap itu.
"Saudara Thia, kau sabari diri, baik kau beristirahat," kemudian kata See Thian Kong.
"Nanti aku keluar, untuk mencoba melakukan penyelidikan. Aku harap aku nanti berhasil,
agar di lain hari kau bisa lampiaskan kemendongkolanmu ini."
Tjeng Tiok suka terima nasehat itu.
Maka itu, mulai hari itu, See Thian Kong bersama Ouw Koei Lam, Thie Lo Han dan Ang
Seng Hay, pergi keluar, sambil pesiar mereka melakukan penyelidikan. Mereka telah putari
empat penjuru kota Pakkhia. Akan tetapi, selama tiga hari beruntun, mereka tidak peroleh
suatu apa, malah bajangan si pengemis nenek-nenek juga tak pernah mereka lihat.
Di lain harinya, pagi-pagi, Tok-gan Sin-liong Sian Tiat Seng datang berkunjung.
Sin Tjie tak sudi menemui tetamu itu, maka itu, yang keluar untuk melayani bicara adalah
See Thian Kong.
Kepala polisi ini memperlihatkan wajah bermuram-durja, dia sangat bersusah hati. Dia
memberitahukan bahwa kas negara kembali kecurian tiga-ribu tail perak, hingga ia jadi
tidak berdaya. Dia tanya, bagaimana baiknya dia bertindak...
Urusan itu bukan urusan yang mengenai pihaknya, dari itu See Thian Kong menyahuti
dengan sembarangan saja, kemudian tuan rumah itu belokkan pembicaraan mengenai si
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
wanita tua, pengemis yang jelek dan aneh itu.
Sian Tiat Seng tidak omong banyak tentang ini pengemis wanita, akan tetapi dia agaknya
sangat memperhatikan. Begitulah di hari besoknya, kembali pagi-pagi, dia datang secara
tersipu-sipu.
"Tuan See, tentang pengemis wanita titu, ttelah aku dapatkan endusannya," berkata dia
pada Thian Kong, yang muncul untuk layani pula orang polisi ini. "Aku anggap baiklah
Wan Siangkong diundang keluar agar kita bisa mendamaikannya bersama."
See Thian Kong setuju, ia masuk ke dalam.
"Hm, pasti dia hendak jual lagak, dia hendak baiki kita, supaya dia bisa menggencet kita!"
kata Tjeng Tjeng, yang sudah lantas menduga jelek.
"Mungkin dua-duanya dugaan benar," bilang Sin Tjie. "Tidak apa, aku nanti ketemui dia."
Karena ini, semua orang keluar berbareng, akan ketemui Tok-gan Sin-liong, si Naga Sakti
Mata Satu.
"Karena aku dengar wanita tua itu terkena senjata rahasia Tjeng-tiok-piauw dari Tuan
See," berkata si tetamu," lantas aku duga pasti dia membutuhkan bahan-bahan obat
seperti tee-koet-pie, tjoan-ouw-gan, tjoa-tjhong-tjoe dan leng-hie-kah, untuk obati lukanya
itu. Karena ini aku segera kirim orang-orangku ke pelbagai rumah obat, untuk melakukan
penjagaan kepada setiap pembeli obat. Aku pesan, siapa saja yang beli obat-obatan
semacam itu, dia mesti dikuntit. Nyata aku berhasil memperoleh endusan. Ya, urusan
benar-benar aneh!"
"Aneh bagaimana?" tanya See Thian Kong.
"Tahu saudara-saudara, dimana bersembunyinya perempuan tua itu?" tanya Tok-gan Sinliong.
"Dia telah ambil tempat di balai istirahat Pangeran Seng Ong! Seng Ong adalah
saudara Sri Baginda Raja. Kenapa dia boleh punyakan hubungan sama wanita kang-ouw?
Inilah yang mengherankan aku!..."
Itu hal benar aneh, maka benar-benar, semua orang merasa heran.
"Sekarang mari antar aku ke balai istirahat itu, untuk melihat-lihat!" kata Sin Tjie, yang
perhatiannya pun tertarik.
"Mari," Sian Tiat Seng mengajak.
Karena yang lain-lain juga ingin pergi melihatnya, mereka pergi dalam satu rombongan. Si
kepala opas jalan di sebelah depan.
Balai istirahat dari Pangeran Seng Ong berada di luar kota jauhnya tujuh atau delapan lie,
dari jauh-jauh sudah nampak nyata temboknya yang hitam, yang mengurung balai
istirahat itu.
"Nah, itu dianya!" kata Sian Tiat Seng.
Sin Tjie menjadi heran.
"Itu toh gedung kemana kedua bocah serba merah telah pergi sehabis mereka curi uang
negara?" kata pemuda ini dalam hatinya. "Apakah tidak bisa jadi Sian Tiat Seng sengaja
ajak aku datang kemari supaya kita terpaksa bantu dia mencari pencuri-pencuri uang
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
negara itu? Jikalau ini ada balai istirahat dari satu pangeran, kenapa dia buatnya satu
gedung secara begini luar biasa?"
Pemuda ini tarik lengannya Thia Tjeng Tiok, ia sengaja perlahankan tindakannya, hingga
mereka berdua jadi ketinggalan di belakang beberapa tindak.
"Kalau sebentar kita bertemu sama si wanita tua, jangan kau bergusar," Sin Tjie berbisik
kepada ketua Tjeng Tiok Pay itu. "Didalam segala hal, kau mesti bertindak dengan melihat
isyarat dari aku."
Nampak wajah Tjeng Tiok tak tenang. Ia tidak bilang suatu apa atas pesan itu, hanya
mendadak, dia kata: "Wan Siangkong, aku...aku...rasai tubuhku kurang sehat, aku ingin
lantas pulang untuk beristirahat...."
Heran Sin Tjie mendapati sikapnya kawan ini.
"Dia toh ketua dari Tjeng Tiok Pay," pikirnya. "Dia toh orang Rimba Persilatan kenamaan
untuk di utara? Kenapa sekarang dia jadi kecil hatinya? Kenapa dia jadi jeri?"
Walaupun dia menduga demikian, pemuda ini tidak bilang suatu apa.
"Baiklah," katanya, yang terus suruh Seng Hay mengantari pulang.
Sin Tjie jadi berpikir untuk berhati-hati, sebab selama beberapa hari ini, beruntun ia
saksikan kejadian-kejadian langka.
See Thian Kong juga lantas ingat keterangan Sin Tjie perihal sebuah gedung besar di luar
kota, gedung yang tak ada pintunya.
"Gedung ini tidak ada pintunya, habis bagaimana orang bisa masuk ke dalamnya?" dia
tanya Sian Tiat Seng.
"Mesti ada pintu rahasianya," jawab orang polisi itu. "Oleh karena ini ada balai istirahat
dari Pangeran Seng Ong, tidak ada orang yang berani menanyakannya."
Sin Tjie telah ambil sikap untuk menunggu, dari itu, ia tidak campur bicara. Dia ingin
saksikan tingkah-polahnya Sian Tiat Seng. Dia malah dongak, akan awasi mega putih di
atas langit.
Belum lama mereka berdiam di situ, tiba-tiba terdengar suara ayam berkokok kelabakan,
terdengar juga suara berisik dari sayapnya, yang dipakai terbang, habis itu tertampak dua
ekor ayam jago terbang keluar dari gedung hitam yang luar biasa itu, di belakangnya
menyusul berlompat keluar dua kacung dengan pakaian biru, gerakan mereka sangat
gesit, cuma dengan beberapa kali tubrukan, mereka berhasil menangkap kedua ayam jago
itu. Mereka ini pandang Sin Tjie beramai, lalu mereka lompat pula, masuk ke dalam
gedung.
"Jarang untuk menemui ayam-ayam jago sebesar itu," kata Tjeng Tjeng, yang kagumi
kedua ayam itu. "Sedikitnya setiap ekor beratnya delapan atau sembilan kati...."
"Dan dua bocah itu, ilmu silatnya ada dasarnya," bilang See Thian Kong, yang
perhatiannya tertarik ke lain jurusan. "Aku anggap gedung ini bukan gedung
sembarangan...."
Thian Kong belum tutup mulutnya, atau mereka dengar satu suara menjeblak yang
nyaring, lalu segera nampak di antara tembok gedung terbukanya suatu pintu rahasia
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
mirip lobang gua, dari situ lantas muncul satu orang yang pakaiannya aneh...
Pakaian itu terbuat dari sutra biru yang mentereng, akan tetapi pada bajunya sengaja
ditambalkan beberapa tambalan dari cita-cita yang berlainan warnanya, hingga mirip
dengan pakaian pengemis di atas panggung sandiwara.
Ketika orang itu telah datang dekat kepada rombongan Sin Tjie, Sin Tjie bersama Tjeng
Tjeng dan Sian Tiat Seng terperanjat sendirinya. Orang dengan dandanan aneh itu adalah
si pengemis tak berbudi yang mereka ketemui baru-baru ini! Itu pengemis tukang tangkap
ular berbisa!
Orang itu menjulang matanya, ia menghadapi pemuda kita.
"Itu hari siangkong berikan aku arak jempolan," katanya, "sekarang kebetulan siangkong
berkunjung kemari, mari silakan masuk! Bagaimana jikalau aku jadi tuan rumah?"
"Bagus, bagus!" sahut Sin Tjie. "Baiklah, asal kami tidak mengganggu pada kau!"
Hampir tanpa berpikir lagi, Sin Tjie terima baik undangan itu.
"Silahkan!" kata si pengemis, yang mempersilahkan dengan tangan kirinya.
Sin Tjie jalan di muka, untuk masuk ke dalam pintu istimewa itu.
Ia dapat kenyataan temboknya tebal sekali, batunya batu-batu hijau, sedang pintunya,
yang terbuat dari besi, beberapa dim tebalnya. Tembok di dalam ditabur hitam seperti di
luar, semua rata, pantas pintunya sampai sukar dikenali.
Setiap kali mereka melewati satu tembok, yang merupakan kurungan, di belakang mereka,
daun pintu besi menggabruk dengan keras. Sebab semua pintu adalah serupa.
Sesudah orang memasuki pintu dari tembok merah, pengemis tukang tangkap ular itu
undang semua tetamunya duduk di hoa-thia, ruang tetamu, habis itu dia menepuk tangan
dengan pelahan ,beberapa kali, lantas muncul bujang dengan barang makanan dan arak.
Orang semua lihat, barang-barang makanan agaknya istimewa, cuma mereka tidak dapat
duga, dari daging apa itu terbuatnya, nampaknya seperti ada sebangsa ular dan
kalajengking, warnanya merah dan hijau, tegas sekali.
Tidak ada orang yang berani geraki sumpitnya.
Tuan rumah itu lihat tingkah-laku para tetamunya, ia tertawa terbahak-bahak.
"Silahkan, silahkan!" mengundangnya. Lantas saja ia kerahkan sumpitnya, untuk jepit
sepotong barang hidangan, kapan ia telah angkat itu, orang lihat itu adalah seekor
binatang dengan kepala merah dan tubuh hitam. Itulah seekor kelabang!
(Bersambung bab ke 19)
Semua orang terperanjat, akan tetapi sedangnya begitu, pengemis itu bawa sumpitnya ke
mulutnya, atau tahu-tahu kelabang itu telah tercaplok masuk ke dalam mulutnya, terus
saja dikunyah, dimakan secara sangat bernapsu, hingga semua orang jadi celangap,
melainkan Tjeng Tjeng yang merasa enek, hampir saja dia muntah! Dia melengos ke
samping, tak sudi dia melihatnya.
Tentu saja, karena pemandangan itu, semakin tidak ada orang yang berani gunai
sumpitnya.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Tuan rumah lihat orang jeri, nampaknya dia sangat puas. Lantas saja dia hadapi Sian Tiat
Seng, yang ia awasi dengan tajam.
"Kau adalah kuku garuda dari kantor negeri!" berkata dia dengan tidak sungkan-sungkan
lagi. "Rupanya kau datang kemari untuk mendapatkan uang kas negara! Hm! Kau tahu,
siapa aku ini?"
Sian Tiat Seng berlaku sabar, ia merendah.
"Maaf, aku tak dapat kenali kau, tuan," sahutnya. "Aku mohon tanya tuan punya she yang
mulia dan nama yang besar...."
Ornag itu kembali tertawa, berkakakan. Ia tenggak araknya, ia jepit pula sepotong daging,
entah binatang apa, yang ia caplok dan kunyah dengan bernapsu seperti tadi. Kemudian ia
tertawa pula.
"Aku yang rendah adalah orang she Tjee nama In Go," katanya kemudian.
"Aku adalah satu boe-beng siauw-tjoe, orang yang tidak ternama, maka juga, saudara,
mana kau kenal aku!"
Tapi Sian Tiat Seng terkejut, lekas-lekas ia berbangkit.
"Oh, tuan jadinya ada Kim-ie Tok Kya!" katanya. "Sudah lama aku yang rendah telah
dengar nama besarmu itu...."
Sin Tjie sendiri belum pernah dengar nama julukan Kim-ie Tok Kay itu, atau "Pengemis
Berbisa Berbaju Sulam", akan tetapi melihat sikapnya Sian Tiat Seng, mungkin dia
seorang kenamaan, hanya ketika kemarin ini ia saksikan orang tempur ular berbisa, ia
tidak lihat si pengemis punyakan kepandaian luar biasa. Maka ia heran kenapa kepala
opas ini nampaknya jeri sekali.
Kembali Sian Tiat Seng berkata: "Agama tuan biasa disebarkan hanya di dua propinsi
Kwiesay dan Kwietang serta juga Inlam dan Kwie-tjioe, itulah karenanya maka aku tak
dapat ketika untuk mengunjunginya...."
"Memang!" jawabnya Tjee In Go itu. "Kami datang ke kota raja ini pun Baru beberapa
bulan."
"Sebenarnya sudah lama aku tidak dahar lagi nasi negara," berkata pula Sian Tiat Seng,
"karena itu aku jadi tidak dapat tahu, Tjee Enghiong, tentang kunjungan rombonganmu ini,
hingga karenanya, pihak kami sudah tak sempurna melakukan penyambutan terhadap
kamu, hingga kami telah lakukan hal yang tidak selayaknya. Maka itu sekarang, Tjee
enghiong, aku datang untuk haturkan maaf kita."
Kata ini disusul dengan pemberian hormat menjura yang dalam dan berulang-ulang.
Tjee In Go terlalu repot dengan arak dan barang hidangannya yang "lezat" sekali itu, ia
tidak balas pemberian hormat itu, tidak perduli itu adalah cara menghormat yang sangat
hormat sekali.
Tjeng Tjeng saksikan kelakuan Sian Tiat Seng, di dalam hatinya, dia berkata: "Biasanya
kalau orang-orang polisi berurusan dengan rakyat jelata, mereka bengis dan garang
bagaikan srigala dan harimau, sebaliknya apabila mereka berhadapan sama pihak
tangguh, mereka jadi lemah dan rendah sekali, sekarang aku dapatkan buktinya. Aku
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
hendak lihat, bagaimana lanjutnya urusan ini...."
"Saudara-saudaraku semua tolol sekali," demikian Sian Tiat Seng berkata-kata pula,
"tanpa merasa mereka sudah lakukan kesalahan terhadap Tjee Enghiong beramai.
Sekarang ini, Tjee Enghiong, apa pun yang kau titahkan kami lakukan, asal itu ada dalam
kesanggupan kami, kami bersedia untuk melakukannya."
Baru sekarang pengemis she Tjee itu berhenti makan.
"Sampai pada batas hari ini," katanya dengan tetap secara tekebur," sama sekali kita telah
ambil uang negara sejumlah sembilan-ribu lima-ratus tail perak! Itu jumlah sangat kecil,
sangat kecil. Aku pikir kalau nanti kita sudah ambil cukup!"
Nyata sekali Tiat Seng terperanjat akan dengar jumlah itu, akan tetapi tetap dia bawa sikap
merendah. Katanya: "Jikalau Hok Taydjin dari Kas Negara serta Tjioe Taytjiangkoen yang
menjabat Kioe-boen Teetok ketahui tentang Tjee Enghiong beramai, pasti sekali mereka
bakal menghadap Pangeran Seng Ong untuk menghaturkan maaf, dari itu mengenai kami,
yang menjadi orang sebawahan, kami cuma hendak mohon supaya Tjee Enghiong sudilah
memberi kita sesuap nasi..."
Kim-ie Tok Kay tidak bilang suatu apa atas pengutaraan kepala opas iti, hanya dengan
mata terputar, dia kata dengan keras: "Kau sekarang telah ketahui, semua uang negara itu
telah berada di dalam balai istirahat Pangeran Seng Ong ini, maka apakah kau masih
memikir untuk keluar dari gedung ini dengan masih berjiwa?"
Sikap itu, suara itu, bengis sekali. Maka ruang perjamuan itu menjadi sangat tegang,
dengan sendirinya rata-rata tetamu bergelisah.
Tjeng Tjeng tidak mengerti, ia pun panas hatinya, tetapi di saat ia hendak membuka mulut,
mendadak terdengar satu suara tajam dan luar biasa, yang datang dari lain bagian gedung
itu. Suara itu menggiriskan dan berulang kali, beruntun, hingga tanpa merasa, sesuatu
orang menjadi bergidik sendirinya.
"Apakah itu?" tanya Tjeng Tjeng, yang pun terkejut, hingga ia cekal keras tangan Sin Tjie.
Si anak muda berbalik memegang keras juga tangan si nona, ia tidak bilang suatu apa.
Tjee In Go sendiri sudah lantas berbangkit.
"Kauw-tjoe mulai bersidang!" katanya dengan nyaring. "Kamu semua boleh pergi
mendengarkan putusan! Tentang nasib kamu, lihat saja peruntungan kamu masingmasing!"
Sian Tiat Seng kaget tidak kepalang.
"Jadi Kauw-tjoe pun telah datang ke Pakkhia?" tanyanya.
"Kauw-tjoe" ada kepala atau raja agama.
Tjee In Go tidak menjawab, dia cuma tertawa menyengir, sikapnya jumawa dan dingin.
Lantas saja ia bertindak ke dalam.
"Suasana hebat sekali, mari lekas kita berlalu!" kata Sian Tiat Seng, uang ketakutan tak
terhingga. "Jikalau benar raja agama dari Ngo Tok Kauw telah datang sendiri, jikalau kita
mati, tulang-tulang kita pun tidak bakal ketinggalan sepotong jua!"
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Ngo Tok Kauw adalah Agama Lima Racun.
Sin Tjie ingin lihat perkembangan terlebih jauh, akan tetapi ia merasakan tangan Tjeng
Tjeng gemetar, sedang suasana benar-benar tegang sekali, dari itu, ia urungkan niatnya.
"Baik, marilah kita keluar dahulu!" katanya. "Nanti diluar Baru kita pikir pula...."
Baru orang banyak itu putar tubuh mereka, untuk berlalu, mendadak ruang kamar menjadi
gelap-petang, sampai lima jari mereka tidak dapat mereka lihat. Suara menggabruk yang
nyaring hebat pun segera terdengar di sebeblah belakang mereka, entah itu suara
jatuhnya lempengan besi atau batu besar.
Mau tidak mau, semua orang menjadi kaget, apapula kapan suara hebat itu disusul sama
suara yang seram aneh seperti bermula tadi. Itulah suara yang mirip dengan riuhnya
burung-burung hantu atau pekiknya pelbagai kutu berbisa.
Selagi orang berada dalam kekuatiran dan terbenam dalam kegelapan itu, sekonyongkonyong
bekelebat cahaya terang sekali, yang menyilaukan mata, lalu di antara sinar
terang itu nampak dua kacung yang mengenakan pakaian serba hitam. Mereka ini
menghampirkan, lantas mereka menjura.
"Kauw-tjoe memanggil kamu untuk menghadap si singgasana!" katanya.
"Entah mahluk aneh macam apa adanya Kauwtjoe itu..." pikir Sin Tjie. "Baik aku pergi ke
istana, untuk tengok cecongornya...."
Maka ia tarik tangan Tjeng Tjeng, untuk diajak pergi ke singgasana, Semua kawannya ikuti
ia. Maka mereka semua jadi mengintil di belakangnya dua kacung serba hitam itu.
Dari ruang makan itu, mereka melalui satu lorong yang panjang, lalu membelok, beberapa
kali, akhirnya sampailah mereka di sebuah pendopo, yang si kacung sebutkan istana atau
singgasana.
Di tengah-tengah ruangan itu ada sebuah kursi besar, yang dikerebongi sutra sulam warna
merah, di kedua samping kursi itu berdiri masing-masing dua tongtjoe atau kacung.
Kedua kacung serba hitam itu ajak sekalian tetamunya sampai di singgasana ini, lantas
mereka sendiri memisahkan diri ke kedua sisi dimana pada setiap sisinya, lima kacung
dengan pakaiannya masing-masing serba merah, kuning, biru, putih dan hitam. Dan yang
serba merah itu Sin Tjie kenali adalah dua kacung pencuri uang negara yang kemarin ini
dikepung-kepung Sian Tiat Seng. Hanya sekarang ini, mereka berdua berdiri dengan tegak
dengan kepala dikasih tunduk, sama sekali mereka tidak perdulikan tetamu-tetamu yang
dipimpin masuk dalam ruangan itu.
Segera juga terdengar suara lonceng berulang-ulang dari arah belakang singgasana itu,
suara mana disusul sama munculnya sambil berlerot rapi sejumlah orang, lelaki dan
perempuan, yang tubuhnya tinggi dan kate tidak ketentuan. Sesampai di dekat kursi
kebesaran itu, mereka ini memecah diri dalam dua rombongan kiri dan kanan, di setiap
sisinya, delapan orang, maka itu ketahuanlah mereka semua berjumlah enam-belas orang.
Kim-ie Tok Kay Tjee In Go ada di dalam rombongan ini, dia berdiri di barisan kiri, sebagai
yang nomor lima. Di barisan kanan, sebagai yang nomor dua, ada seorang perempuan
dengan hidung bengkung dan mata celong, kulit mukanya pucat-pias bagaikan kulit
mayat, daging pada mukanya itu tidak rata, ada yang muncul, ada yang ceglok. Melihat
dandanannya, dia adalah satu pengemis wanita tua-bangkotan.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
"Dia pasti ada si pengemis yang telah melukai Thia Loo-hoetjoe," Sin Tjie menduga
setelah ia pandang pengemis wanita itu yang romannya jelek dan menyeramkan.
"Apa yang mereka lagi bikin?" Sin Tjie kemudian berbisik pada Sian Tiat Seng.
Mukanya kepala opas ini sangat pucat.
"Mereka ini adalah rombongan Ngo Tok Kauw asal dari propinsi Inlam," ia menjawab,
suaranya pelahan dan menggetar. "Kali ini matilah kita semua!...."
"Ngo Tok Kauw itu sebenarnya apa?" tanya Sin Tjie.
"Oh, Wan Siangkong...." kata kepala opas itu, suaranya masih tak tenang. "Ngo Tok Kauw
adalah semacam kumpulan agama yang sesat, yang tak jeri membunuh sesama manusia
secara sangat telengas dan kejam. Yang menjadi kauwtjoe, kepala agamanya, ada Ho Tiat
Tjhio. Apakah siangkong tidak kenal mereka?"
Sin Tjie goyang kepala.
"Justru kepala agamanya belum keluar, mari kita berdaya untuk menyingkir dari sini....."
Sian Tiat Seng berbisik.
"Kita lihat dulu!" kata Sin Tjie, yang tetap tenang.
Tapi nampaknya Tok-gan Sin-liong takut bukan kepalang, rupanya telah bulat tekadnya
untuk angkat kaki.
"Kalau begitu, maafkan aku!" katanya.
Belum sempat dia tutup rapat mulutnya, tubuhnya sudah bergerak, dia lari ke arah
tembok. Teranglah sudah, dia berniat melompati tembok itu, untuk menyingkirkan diri.
Menyusul bergeraknya kepala polisi ini, dari barisan kiri dari rombongan Ngo Tok Kauw
itu, orang yang nomor dua telah lompat maju, gerakannya sangat gesit, sambil berlompat,
dia sambar kaki kiri dari Sian Tiat Seng, yang tercengkeram sebatas mata kaki.
Sian Tiat Seng juga bukan sembarang orang, dia mengerti ilmus ilat dengan baik,
walaupun dia sedang ketakutan, pikirannya tidak kacau, maka itu selagi kakinya disambar,
ia geraki tubuhnya, untuk membungkuk, berbareng dengan mana, ia ayun tangannya yang
kanan, akan hajar kepalanya si penyerang.
Orang nomor dua itu, yang tubuhnya tinggi besar, gunai sebelah tangannya, akan tangkis
serangan kepada batok kepalanya itu, hingga kedua tangan jadi bentrok, menyusul mana,
berdua mereka jatuh ke tanah. Sebab selagi mereka saling serang, tubuh mereka sedang
berlompat ke arah tembok.
Habis itu, orang nomor dua itu tidak bertindak lebih jauh, hanya sambil tertawa dingin, dia
kembali ke dalam barisannya.
Keadaan ada lain lagi dengan Sian Tiat Seng. Si Naga Sakti Mata Satu ini telah terluka
pada kaki kirinya, pada telapakan tangannya yang kanan, yang tadi dipakai menyerang
musuh. Luka-luka itu seperti luka terkena senjata tajam, sakitnya bukan main, terasa
sampai di hati. Ketika ia angkat tangannya, untuk diperiksa, ia tampak lima luka lobang
kecil dari mana mengucur keluar darah hitam, yang masih terus mengucur saja, hingga ia
kaget tidak terkira. Dan ketika ia periksa kakinya, kagetnya bertambah-tambah, sebab luka
di kakinya itu pun berupa lima lobang kecil yang sama rupanya. Kepala opas ini demikian
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
kaget dan takut, hingga lantas saja dia rubuh terguling di tanah.
Nyatalah orang nomor dua itu, pada sepuluh jari dari kedua tangannya, ada kuku-kuku
yang memakai sarung yang lancip-tajam, yang semua ada bisanya, tidak heran kalau Sian
Tiat Seng telah terluka dan luka itu lantas mengeluarkan darah hitam, sebab racun bekerja
dengan segera. Pantas kalau si kepala opas jadi ketakutan bukan main, hingga ia jadi
putus asa.
Sin Tjie segera hampiri Tok-gan Sin-liong, untuk dipimpin bangun. Selagi ia berbuat
begitu, sepuluh kacung keluarkan dari masing-masing kantongnya sebuah suitan yang
luar biasa macamnya, yang mereka lantas tiup nyaring beberapa kali, menyusul mana,
semua dua-puluh lebih orang Ngo Tok Kauw di dalam ruangan itu pada jatuhkan diri untuk
mendekam!
Segera setelah itu, dari belakang singgasana bertindak keluar dua orang perempuan yang
cantik.
Dalam anggapan Sin Tjie dan rombongannya, karena orang-orang Ngo Tok Kauw itu
semua beroman tidak keruan dan aneh, kauwtjoe mereka atau kepala agama pun mestinya
lebih-lebih tak keruan lagi, maka itu, tercenganglah mereka kapan mereka saksikan dua
wanita yang eilok ini.
Setelah mendekati kursi, di samping mana mereka berdiri, dua nona ini lantas berseru
dengan suaranya yang nyaring tapi halus: "Kauwtjoe naik di singgasana!"
Segeralah terhembus bau yang harum, yang keluar dari belakang singgasana itu, bau
harum mana diiringi satu wanita dengan pakaiannya serba dadu dan mentereng. Dia ini
mempunyai sepasang mata yang bagus, yang dikatakan "mata burung hong", yang
sinarnya menakjubkan, sepasang alisnya panjang, wajahnya tersungging senyuman
manis dan menggairahkan. Dia berumur kurang lebih tiga puluh tahun, dan parasnya
cantik sekali. Tapi, walaupun cantik dan pakaiannya indah, dan dari tubuhnya tersiar bau
harum, kedua kakinya telanjang, dia tidak memakai sepatu, dan pada setiap kakinya, dan
kedua tangannya juga, ada terselubung masing-masing dua buah gelang emas, hingga
berbareng sama tindakannya, gelang-gelang itu perdengarkan suara beradu
berkontrangan.... Kulitnya pun putih dan halus, seperti kumala saja, sedang rambutnya
yang bagus, terurai turun ke pundaknya, bongkotnya tergelung dengan satu gelang emas
juga.
Nona manis ini menghampiri kursi kebesaran, untuk duduk di atasnya.
Di belakang nona ini mengikuti dua nona lain, yang masih muda sekali, yang membawa
kipas dari bulu burung.
Nona ini tertawa sebelumnya dia buka mulutnya.
"Aha, ada begini banyak tetamu!" katanya. "Lekas siapkan kursi. Silahkan duduk!"
Beberapa kacung segera lari ke dalam, untuk balik lagi bersama beberapa buah kursi,
yang mereka bawa kepada Sin Tjie beramai, yang mereka undang duduk.
Sin Tjie beramai telah terbenam dalam teka-teki, hingga mereka memikir tak sudahnya.
Apakah si cantik ini yang disebutkan Ho Tiat Tjhioe, kepala dari Ngo Tok Kauw, yang Sian
Tiat Seng jerikan bagaikan serigala atau harimau? Apa mungkin kepala agama ini masih
begini muda dan cantik sekali rupanya?
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
"Aku mohon tanya she dan nama besar dari sekalian tetamuku," kemudian berkata si
juwita itu, dengan suaranya yang halus dan merdu, sedang matanya mengawasi dengan
tajam.
"Aku adalah she Wan dan ini semua adalah sahabat-sahabatku," Sin Tjie menjawab. "Apa
aku boleh tanya she nona yang mulia?"
"Aku she Ho," sahut si nona.
Bercekat hatinya pemuda kita.
"Benarlah dia kauwtjoe dari Ngo Tok Kauw," pikirnya.
Kemudian si nona menanya: "Apakah tuan datang untuk urusan uang negara?"
"Untuk aku sendiri, bukan," jawab Sin Tjie. Ia terus tunjuk Sian Tiat Seng, sambil
menambahkan: "Ini sahabatku she Sian makan gaji negara, kami sebagai rakyat jelata,
kami Baru saja berkenalan dengannya. Mengenai urusan negara, kami tidak berani campur
tahu...."
"Bagus!" kata si nona. "Tapi kamu telah datang kemari, apa kehendakmu?"
"Aku ada punya satu sahabat she Thia," sahut Sin Tjie. "Aku tidak tahu, dalam hal apa dia
telah berbuat salah kepada pihakmu, dia telah mendapat luka yang hebat. Karena itu aku
datang kemari, untuk minta keterangan. Andai kata ini ada urusan salah mengerti dengan
satu dua patah kata saja, urusan bisa dibikin habis."
"Oh, kiranya kamu ada sahabat-sahabatnya Loo-hoetjoe Thia Tjeng Tiok!" kata si nona.
"Inilah lain. Tadinya aku menyangka Wan Siangkong termasuk dalam rombongan kukukuku
garuda! Mana orang-orang. Suguhkan air teh!"
Beberapa kacung bergerak pula, untuk gotong meja kecil, buat menyediakan teh.
Sin Tjie beramai lihat air teh bersemu hijau guram, entah teh apa itu, walaupun baunya
wangi, mereka tidak berani lancang meminumnya.
"Menurut katanya Tjee Soeheng," si nona berkata pula. "Wan Siangkong ada seorang yang
manis budi dan gemar bersahabat, dan siangkong pun mempunyai mustika kodok es,
maka dari bermula aku telah menduga, siangkong pasti bukannya bangsa kuku garuda..."
Heran juga Sin Tjie. Nona ini menjadi kauwtjoe, kenapa dia bahasakan soeheng, kakak
seperguruan kepada Tjee In Go? Bukankah, melihat kenyataan, orang she Tjee ini adalah
anggota, orang sebawahan?
"Mustika kodok dari Wan Siangkong mukjizat sekali," kata pula si nona. "Apakah
siangkong sudi akan perlihatkan itu kepadaku agar mataku jadi terbuka?"
Tak sudi Sin Tjie serahkan mustikanya itu kepada nona ini, ia kuatir orang tidak nanti
mengembalikan, seperti perbuatannya Tjee In Go, maka itu, ketika ia keluarkan itu, lantas
saja ia tempelkan di lukanya Sian Tiat Seng, siapa memang membutuhkan
pertolongannya.
Semua orang Ngo Tok Kauw itu segera saksikan bekerjanya mustika, darah beracun dari
lukanya si kepala opas sudah lantas disedot keluar, maka itu, semua mereka nampaknya
sangat ketarik hati.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
"Sungguh dahsyat!" seru si nona. "Aku cuma kuatir, kalau bisa yang paling beracun, dia
tak dapat memunahkannya..."
Sin Tjie heran juga. Kenapa si nona masih sangsikan mustikanya itu? Tapi ia cerdik.
"Itulah mungkin," katanya. "Di kolong langit ini, benda atau mahluk yang berbisa ada
sangat banyak macamnya. Mustika sekecil ini, mana dia dapat berbuat demikian banyak?"
Akan tetapi Tjeng Tjeng berpikir lain, ia tak puas. Maka ia campur bicara.
"Itulah tidak bisa jadi!" demikian katanya.
Si nona puas dan girang mendengar perkataannya Sin Tjie, tetapi kapan ia dengar
suaranya Tjeng Tjeng, ia perdengarkan suara di hidung: "Hm!" Lalu ia tambahkan: "Ambil
Ngo-seng!"
"Ngo-seng" itu berarti "lima nabi".
Lima kacung segera keluar dari barisannya, untuk pergi ke dalam, kemudian mereka
keluar pula dengan membawa lima peti besi, sedang lima kacung lainnya menggotong
sebuah meja, yang mereka letaki di tengah-tengah singgasana. Habis itu, semua sepuluh
kacung itu berdiri mengitari meja.
Menarik perhatian adalah kelima bocah itu, mereka masing-masing memegang peti besi
yang warna catnya sama dengan warna pakaian mereka: merah-merah, kuning-kuning,
demikian seterusnya.
"Nampaknya gerak-gerik mereka ini mirip dengan cara siluman," pikir Sin Tjie, "tetapi
mereka mengatur diri menurut ngoheng, mereka tak bertindak sembarangan..."
Setelah itu muncullah satu orang dari barisan kiri, yang nomor dua, yang dandan sebagai
suku bangsa Ie. Dia bertubuh kekar. Dia menghampiri meja, untuk berdiri di pinggiran,
kemudian dari sakunya, dia keluarkan sehelai bendera hijau. Dengan pelahan, dia kibarkan
itu. Atas ini, kelima bocah buka tutupnya masing-masing peti besi mereka.
Kapan Tjeng Tjeng telah lihat apa isinya semua itu, tanpa merasa, dia keluarkan seruan
tertahan. Dari dalam sesuatu peti itu mencelat keluar masing-masing seekor binatang
berbisa, ialah ular hijau, kelabang, kalajengking, kawa-kawa dan kodok dingdang.
Kembali si orang she Ie kibaskan benderanya. Menyusul ini, semua sepuluh kacung
undurkan diri dari samping meja. Sebaliknya, sebagai gantinya, dari dalam kedua barisan ,
keluar empat orang, yang hampirkan meja, untuk berdiri di sekitarnya, untuk lantas
beraksi sendiri-sendiri, ada yang membaca mantera, ada yang jalan dengan tangan
sebagai kaki.
Sin Tjie menyaksikan sambil pikirannya bekerja.
"Jikalau pertempuran sampai mesti terjadi, mungkin pihakku tidak bakal kalah, akan tetapi
tindak-tanduk mereka ini luar biasa, maka tak dapat aku berlaku semberono. Tak dapat
mereka dipandang enteng..."
Di atas meja, ular hijau panjangnya satu kaki lebih, tidak ada bagiannya yang istimewa,
sedang empat binatang lainnya, semua biasa saja, cuma sedikit lebih panjang atau besar
dari umumnya.
Lima macam binatang itu lantas bergerak-gerak, jalan memutari muka meja; lantas mereka
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
perlihatkan sikap seperti hendak saling serang, untuk terkam, terutama hawa-hawa
beracun itu, tak henti-hentinya dia muntahkan jaringnya, untuk ia membuat bentengan di
satu pojokan.
Sang kala adalah yang paling tak tahan sabar, dialah yang paling dulu serang bentengnya
sang kawa-kawa. Satu kali saja dia menerjang, dia telah putuskan beberapa tali jaring,
lantas dia mundur pula. Sang kawa-kawa awasi sang kala, lalu ia muntahkan pula
galagasinya, untuk perbaiki jaringnya yang dirusak itu. Kembali sang kalajengking
menerjang, lalu itu diulangi sampai beberapa kali, karena itu, tubuhnya lantas ketempelan
galagasi, hingga dengan sendirinya, gerakannya menjadi lebih lambat. Ada beberapa
kakinya yang terlibat sampai tak dapat dibebaskan.
Adalah setelah itu, sang kawa-kawa mulai dengan serangan pembalasannya, saban kali
dia menerjang, dia muntah, hingga kesudahannya, tubuh sang kala terlibat jaringnya itu.
Baru setelah itu, sang kawa-kawa merayap ke depan musuhnya ini, untuk diawasi dengan
tajam.
Satu kali sang kawa-kawa ulur sebuah kakinya kepada musuh, sang kala geraki ekornya,
untuk mengantup, tetapi begitu dia menyambar, penyerangnya segera tarik pulang
kakinya, sambil mundur pula. Sang kala gesit, sang kawa-kawa lebih gesit pula.
Serangan sang kawa-kawa itu, yang merupakan gangguan, diulang beberapa kali, hingga
sang kala jadi sangat gusar, satu kali dia kerahkan antero tenaganya, dia lompat
menerkam. Sang kawa-kawa berkelit, dia luput dari bahaya. Tapi sang kala, dia telah
berlompat keras, tak dapat dia pertahankan diri lagi, dia terjatuh ke dalam jaring musuh
dimana dia ngamuk kelabakan, untuk loloskan diri.
Sang kawa-kawa lihat jaringnya ada yang putus, lekas-lekas ia menambalnya, untuk
memperbaiki, hingga sang musuh tetap masih terkurung.
Sesudah berontak-rontak sekian lama, sang kala jadi kendor dengan perlawanannya,
rupanya mulai habislah tenaganya. Maka menggunai ketikanya yang baik, sang kawa-kawa
menubruk, terus dia menggigit.
Sedang sang kawa-kawa hendak binasakan korbannya, mendadak sang kodok datang
menerjang. Binatang ini semburkan bisanya, dia dobolkan jaring musuh, lantas dia ulur
lidahnya, untuk sambar tubuh sang kala, untuk ditarik keluar dari jaring. Cuma dengan
satu kali caplok, dia telah telan sang kala masuk ke dalam perutnya!
Sang kawa-kawa menjadi gusar, dia terjang musuh baru ini.
Sang kodok bersiap-sedia, begitu serangan datang, dia ulur lidahnya, akan sambar kawakawa
itu, untuk dibetot masuk ke dalam perutnya. Tapi sang kawa-kawa pentang
mulutnya, dia sambar dan gigit lidah musuh. Sang kodok pun liehay, cepat-cepat dia tarik
pulang lidahnya.
Setelah itu, sang kawa-kawa merayap ke kirinya sang kodok, tidak perduli sang kodok ini
waspada, dia muntahkan benangnya, terus dia berlompat ke atas bebokong sang kodok,
untuk melewatinya, benangnya diulur sekalian, sembari lompat lewat, dia gigit bebokong
musuh. "Binatang ini cerdik," kata Tjeng Tjeng, yang menjadi kagum.
Ketika sang kodok egos tubuhnya, sang kawa-kawa sudah lompat lewati dia, di lain pihak,
bisanya sang kawa-kawa sudah lantas bekerja, maka di lain saat, tergulinglah sang kodok
ini, dia rebah celentang, terus dia mati!
Di pihak lain, sang ular hijau sedang dikejar oleh sang kelabang, agaknya dia ketakutan
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
sekali, hingga dia lari di samping tubuh sang kodok, sembari lewat, mendadak dia pentang
mulutnya, dia sambar sang kawa-kawa, untuk dicaplok masuk ke dalam perutnya!
Kemudian dengan satu caplokan lain, dia sambar juga tubuh sang kodok.
Melihat demikian, sang kelabang lalu sambar bangkai kodok itu, hingga sekarang mereka
jadi berkutatan, saling tarik. Rupanya sang kelabang tahu, apabila berhasil sang ular
makan tiga kurbannya, musuh ini bakal jadi terlalu tangguh untuknya, sebab tiga macam
racun, empat dengan kepunyaannya sendiri, sang ular pasti sukar untuk dikalahkan.
Dalam pertempuran tenaga itu, sang ular kalah ulet, dengan pelahan, dia kena terbetot
sang kelabang, dan sang kelabang sudah mulai gigit tubuhnya sang kodok.
Bingung sang ular, ingin dia lepaskan tubuh sang kodok, untuk pergi lari, agaknya dia
sangsi. Pun sulit untuk dia muntahkan tubuh sang kodok itu, karena biasanya dia punya
gigi, bagaikan gaetan, menyantel barang, dan biasanya dia cuma menelan, tak bisa
melepehkan.
Benar saja, sebentar kemudian sang ular telah jadi kurbannya sang kelabang.
Setelah menjadi juara, dengan perut pun kenyang, kelabang itu jalan putari meja, dia
angkat kepalanya, agaknya dia sangat puas dan bangga.
Sin Tjie lihat kelabang itu, dengan perutnya gendut, tidak kendor gerak-geriknya, ia
menjadi heran.
"Binatang ini kuat makannya," kata dia pada Tjeng Tjeng.
"Dia telah makan empat macam bisa, dia sekarang menjadi Tay-seng, nabi terbesar," Ho
Tiat Tjhioe, kepala dari Ngo Tok Kauw, nyeletuk terhadap Sin Tjie. "Dia sekarang jadi
bertambah tangguh, hingga dia sanggup telan lagi beberapa ekor lainnya!"
Sin Tjie agaknya tidak percaya keterangan itu, melihat demikian, kauwtjoe dari Ngo Tok
Kauw perintah kacungnya: "Pergi ambil Tjeng-djie!"
Seorang kacung pergi ke dalam, untuk muncul bersama tujuh ekor ular hijau, ialah yang si
kepala agama namakan "Tjeng-djie", si "hijau". Semua ular itu dilepas di atas meja, yang
kelung itu.
Melihat ada musuh baru, sang kelabang lantas lompat maju, untuk menerkam.
Tujuh ekor ular itu kumpulkan diri menjadi satu lingkaran, masing-masing keluarkan
kepalanya, untuk tangkis serbuan. Dengan begitu, pertempuran sudah lantas berlangsung.
Beberapa kali sang kelabang menerjang, akhirnya dia dapat gigit lehernya seekor musuh,
yang terus dia betot keluar dari dalam rombongannya.
Setelah berhasil, sang kelabang tidak lantas makan daging musuh, ia hanya letaki itu di
belakang, ia sendiri mulai lagi dengan penyerangannya terlebih jauh kepada musuhmusuhnya,
hingga pertarungan jadi berlangsung pula.
Dalam saat itu, mendadak Kim-ie Tok Kay keluar dari dalam barisannya, dia hampirkan Ho
Tiat Tjhioe di depan siapa ia berlutut dengan kaki sebelah.
"Kauw-tjoe, Kim-djie bergerak tak hentinya," katanya. "Kelihatannya tak dapat tidak, dia
mesti dikasih keluar..."
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Wanita cantik itu kerutkan alisnya.
"Ah, dia usil!" katanya. "Baiklah!"
Tjee In Go rogoh sakunya, untuk keluarkan satu bumbung atau pipa besi, terus ia buka
sumpelnya, untuk keluarkan isinya, ialah itu ular kecil warna kuning emas yang ia tangkap
beberapa hari yang lalu sehabisnya si ular kecil tempur si ular besar.
Begitu keluar dari lobang bumbung, ular kuning itu lantas saja unjuk kegagahannya. Dia
berlompat ke atas meja, dia segera maju ke depan enam ekor ular hijau, untuk
menghalang.
Melihat ular kuning ini, sang kelabang mundur dengan segera.
Enam ular hijau berkumpul jadi satu, mereka ringkaskan tubuh mereka. Mereka berlaku
begini begitu lekas tampak ular kuning emas itu, yang dipanggil si "Kim-djie", si "emas".
Ular kuning itu, tak perduli tubuhnya kecil sekali, sudah lantas serang sang kelabang.
Sin Tjie dan Tjeng Tjeng sudah saksikan kegagahannya, mereka tahu pasti, sang kelabang
tidak punya pengharapan. Benar saja, belum lama, sang kelabang kena digigit hingga dia
mati seketika.
Lantas keenam ular hijau rubungi ular kuning emas itu, ada yang menjilat-jilat dengan
lidahnya, rupanya untuk hunjuki rasa syukur.
"Tidak disangka, dalam kalangan ular pun ada pendekarnya!" kata Sin Tjie sambil tertawa.
Dengan tiba-tiba saja timbul keinginannya si Nona Hee, rupanya dia ingat suatu apa.
"Aku inginkan ular kuning emas itu!" katanya. Ia berbisik di kuping pemuda kita.
"Omongan bocah cilik!" Sin Tjie bilang. "Mana orang sudi memberikannya?"
"Kau ingat tidak?" Tjeng Tjeng berbisik pula. "Apakah julukannya ayahku?"
Sin Tjie tergetar hatinya.
"Apa mungkin Kim Tjoa Long-koen ada hubungannya sama ular kuning emas ini?"
katanya. Ular kuning emas adalah "Kim-tjoa".
Sementara itu si uwah awasi Tjeng Tjeng tak hentinya, rupanya dia dengar perkataannya
Sin Tjie, mendadak dia berlompat dari dalam rombongannya, dia berlompat kepada si
Nona Hee seraya ulur kedua tangannya ke arah pundak nona itu.
"Kau pernah apa dengan Kim Tjoa Long-koen?" tanya dia.
Aneh luar biasa! Begitu jelek romannya uwah ini, suaranya nyaring-halus bagaikan suara
burung kenari, sedap didengarnya.
Tjeng Tjeng kaget, dia lompat mundur.
"Apa kau mau?" dia menegur.
Hampir berbareng dengan itu, dua orang yang mendampingi kiri dan kanannya Ho Kauwtjoe
telah berlompat ke kedua sampingnya si uwah. Dengan berbareng mereka pun
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
menegur: "Dimana adanya sekarang si orang she Hee itu?"
Sin Tjie telah saksikan cara berlompat musuh yang gesit sekali, dia mengerti kedua orang
itu bukannya orang-orang sembarangan, maka ia mengawasi dengan waspada. Ia tampak
mereka bertubuh tinggi kurus dan sedang, dan yang tubuhnya sedang itu bermuka hitam,
romannya sebagai petani. Rata-rata mereka berumur kurang-lebih lima-puluh tahun.
Dulu Tjeng Tjeng belum tahu asal-usul dirinya, dia merasa malu sendirinya, akan tetapi
setelah dia dengar keterangan ibunya, dia jadi beruba sikap, dia malah sangat bangga
terhadap ayahnya, kebanggaan itu tak pernah kunjung padam. Maka itu, atas teguran
kedua orang ini, dia angkat kepalanya.
"Kim Tjoa Long-koen itu ayahku," dia jawab. "Apa perlunya kau tanya tentang ayahku
itu?"
Si wanita tua tertawa dengan sekonyong-konyong, suara tertawanya panjang, lagunya
membuat orang jadi gentar hati.
"Jadinya dia belum mampus dan dia telah tinggalkan kau sebagai turunan celaka!"
bentaknya.
"Ada dimana dia sekarang?" si jangkung-kurus menegur.
Tjeng Tjeng angkat kepalanya.
"Perlu apa aku jawab kamu?" katanya secara menantang.
Sepasang alisnya si uwah terbangun, kedua tangannya menyambar muka Tjeng Tjeng.
Inilah hebat untuk nona Hee, yang tak keburu berkelit, sedang sepuluh jarinya wanita tua
itu berkuku tajam semua. Coba kuku beracun itu mengenai muka yang putih-bersih dan
halus itu?
Sin Tjie ada di dekat Tjeng Tjeng, segera ia ayun tangan kanannya, yang ujung bajunya
panjang, ia sampok kedua lengannya si penyerang, ia teruskan putar naik tangannya,
untuk libat kedua lengan orang, setelah mana, dia mendorong.
Tidak ampun lagi, uwah itu terpelanting, dia jumpalitan, maka ketika tubuhnya mengenai
tanah, dia jadi duduk numprah.
Kejadian itu membuat kaget semua anggauta Ngo Tok Kauw, sebab si wanita tua itu, Ho
Ang Yo namanya, si Bunga Merah, adalah salah satu jago mereka, malah derajatnya lebih
tinggi setingkat daripada kauwtjoe mereka. Apa tidak aneh sekarang, jago itu rubuh di
tangannya seorang anak muda yang tidak dikenal? Dan jatuhnya pun secara demikian
gampang?
Segera si jangkung-kurus, yang bernama Phoa Sioe Tat, dan si orang tani, yang bernama
Thia Kie Soe, yang dalam rombongannya berkedudukan sebagai Tjo-yoe Hoe-hoat, atau
pelindung kiri dan kanan dari ketua Ngo Tok Kauw, saling berpaling dan manggut,
kemudian Sioe Tat kata secara menantang: "Biarkan aku yang terima pengajaran!" Dan ia
terus maju.
"Wan Siangkong, biar aku yang sambut dia," kata See Thian Kong pada Sin Tjie.
Anak muda kita percaya, orang she See ini tentu bukan tandingan musuh itu, akan tetapi
tidak leluasa untuk ia mencegah, maka ia pesan: "Saudara See, gunai kipasmu! Jeriji
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
tangan bersarung lancip, itulah senjata dia!"
See Thian Kong menurut, ia lantas keluarkan kipasnya, kipas Im-yang-sie, maka di lain
saat, ia sudah bertempur sama musuh itu.
Di sebelah ini, seperti yang berjanji, Thia Kie Soe majukan diri dan disambut A Pa, si
empeh gagah, malah berdua mereka lantas saja bertempur dengan seru sekali.
Pertempuran kalut menyusul dua rombongan yang pertama ini. Orang-orang Ngo Tok
Kauw mulai lebih dahulu, maka itu Ouw Koei Lam bersama Thie Lo Han dan Tjeng Tjeng
terpaksa hunus senjata, untuk layani mereka, jikalau tidak, pasti See Thian Kong dan A Pa
akan kena dikeroyok.
Adalah si uwah jelek, Ho Ang Yo, yang sebagai orang kalap lompat ke arah Tjeng Tjeng,
agaknya dia sangat musuhkan si Nona Hee.
Sin Tjie percaya pengemis wanita tua itu mengandung kebencian hebat terhadap Tjeng
Tjeng, entah ada dendaman apa, ia cuma duga, mestinya itu ada hubungannya dengan
Kim Tjoa Long-koen, jikalau tidak, tidak nanti karena dengar disebutnya nama jago she
Hee itu, uwah ini segera unjuk kemurkaan luar biasa. Ia pun insyaf, tidak dapat uwah itu
diijinkan turun tangan jahat terhadap Tjeng Tjeng, yang pasti bukan tandingannya. Maka
itu, begitu lekas orang telah datang dekat, selagi si uwah hendak serang Nona Hee,
dengan sebat dia lompat ke sampingnya, akan jambak bebokong orang itu, akan terus
diangkat tubuhnya dan dilemparkan!
Ho Thiat Tjhioe saksikan kejadian itu, air mukanya lantas berubah menjadi padam, segera
ia bawa telunjuk kanannya ke mulutnya, untuk perdengarkan suitan, beberapa kali
beruntun.
Kalau tadi orang-orang Ngo Tok Kauw maju dengan cepat sekali, untuk terjang musuh,
maka sekarang, atas bunyinya suitan itu, mereka mundur dengan tak kurang sebatnya,
semua lantas berkumpul di sebelah belakang kauwtjoe mereka, berdiri rapi dalam dua
barisan.
Setelah itu, ratu agama itu perlihatkan senyumannya.
"Wan Siangkong," katanya dengan sabar dan manis, "nampaknya kau begini lemahlembut,
tidak disangka-sangka, ilmu kepandaianmu liehay sekali. Wan Siangkong, biarlah
aku yang main-main barang beberapa jurus denganmu..."
Sin Tjie tidak lantas terima tantangan itu.
"Satu hal membuat aku tidak mengerti," katanya. "Sahabat-sahabatku ini semua tidak
kenal-mengenal dengan rombonganmu, tak tahu kami, di bahagian mana kami telah
bersalah terhadap kamu. Walaupun demikian, aku yang rendah bersedia untuk
menghaturkan maaf."
Wajahnya Ho Tiat Tjhioe merah karena pertanyaan itu yang berupa teguran.
"Sebenarnya, kami cuma berurusan dengan pihak pembesar negeri," kata dia dengan
pelahan, suaranya halus. "Pasti sekali Wan Siangkong tidak mengerti duduknya hal. Tapi
ini biarlah. Barusan ada disebut-sebut nama Kim Tjoa Long-koen, hal menjadi lain.
Sekarang siauw-moay mohon tanya, Kim Tjoa Long-koen itu ada di mana?"
Sin Tjie berlaku hormat dan merendah, ratu agama itu pun bersikap manis, hingga ia
membahasakan diri siauw-moay, adik yang kecil.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Tjeng Tjeng tarik tangannya Sin Tjie.
"Jangan beri tahu," dia kisiki itu pemuda.
"Apakah kauw-tjoe memang kenal Kim Tjoa Long-koen?" Sin Tjie balik menanya.
"Dengan kaumku, dia punya hubungan yang sangat erat," sahut kepala agama dari Ngo
Tok Kauw itu. "Ayahku telah meninggal dunia karena dia. Karenanya, dari dua puluh ribu
anggauta Ngo Tok Kauw kami, tidak ada satu anggauta yang tidak berniat mencari
padanya!"
Diam-diam Sin Tjie terperanjat, juga Tjeng Tjeng. Itulah hebat! Apakah urusan itu? Sayang
mereka belum pernah ketemu sama Kim Tjoa Long-koen, hingga mereka tidak dapat
tanyakan sebabnya urusan itu. Mereka heran, kenapa Kim Tjoa Long-koen telah tanam
permusuhan dengan rombongan agama yang memuja bisa ini? Terang sekali kebencian
sangat dari pihak Ngo Tok Kauw itu.
"Kim Tjoa Long-koen berada di satu tempat yang terpisah laksaan lie dari sini," sahut Sin
Tjie. "Aku kuatir tuan-tuan tak akan dapat cari dia sekalipun untuk selama-lamanya...."
"Jikalau begitu, tinggalkanlah puteranya ini di sini, untuk kami pakai dia sebagai kurban
sembahyang roh ayahku!" kata Ho Tiat Tjhioe.
Kauw-tjoe ini percaya Nona Hee ada satu putera, sebab Tjeng Tjeng dandan sebagai satu
pemuda. Ia pun mempunyai gerak-gerik yang luar biasa sekali. Ia gampang bersenyum,
lagaknya mirip dengan nona-nona remaja yang kebanyakan, suaranya pun lembut, akan
tetapi satu waktu, dia bisa unjuk keangkaran dan suaranya jadi keren. Demikian kali ini.
Sin Tjie tetap berlaku tenang dan sabar.
"Adalah pembilangan sejak jaman purbakala, siapa melakukan sesuatu, dia sendiri yang
harus bertanggung-jawab," katanya. "Kamu mempunyai sangkutan dengan Kim Tjoa
Long-koen, baiklah kamu pergi cari dia itu sendiri."
Ho Tiat Tjhioe pun menjadi sabar pula ketika ia berkata lagi.
"Ketika dahulu ayahku almarhum menutup mata, siauw-moay Baru berusia tiga tahun,"
katanya. "Sudah dua-puluh tahun kami cari lootjianpwee she Hee itu, tidak juga siauwmoay
berhasil. Itulah sebabnya kenapa siauw-moay ingin tahan puteranya ini. Kalau
lootjianpwee itu ketahui puteranya berada di sini, pasti dia bakal datang mencari. Asal dia
datang kemari maka urusan kita yang telah tertangguh lama itu segera akan menajdi
beres."
Tjeng Tjeng jadi sangat gusar. Dia hendak ditahan, untuk dijadikan "manusia
tanggungan". Itulah hebat. Maka tak dapat dia kendalikan diri lagi.
"Hm, bagus pikiranmu!" dia menjengeki. "Aku nanti beritahu ayahku tentang tingkah
tengik kamu ini, supaya dia bunuh mampus kamu semua!"
Ho Tiat Tjhioe tidak ladeni nona ini. Dia menoleh pada Ho Ang Yo.
"Adakah dia ini mirip dengan ayahnya?" tanya dia.
"Romannya mirip benar satu dengan lain, dan tabeatnya pun hampir sama!" jawab si
uwah.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Kauwtjoe itu segera hadapi Sin Tjie.
"Wan Siangkong, aku persilakan kamu semua pergi pulang," kata dia. "Kami cuma hendak
menahan ini satu Hee Kongtjoe."
Dan ia geraki tangannya, sebagai tanda untuk mempersilahkan tetamu-tetamunya
berangkat pergi.
Sin Tjie berpikir dengan cepat.
"Dia cuma inginkan Tjeng Tjeng satu orang, karena keadaan di sini berbahaya, baik aku
dului antar dia keluar. Yang lain-lain umpama kata mereka tidak dapat lolos, mereka tentu
tidak terancam bahaya hebat..."
Maka lantas saja dia menjura kepada kepala agama itu.
"Nah, sampai ketemu pula!" katanya.
Berbareng dengan ucapannya itu, Sin Tjie sambar pinggang Tjeng Tjeng dengan tangan
kiri, sambil pondong si nona, ia lompat ke arah tembok yang tinggi, tetapi ia tidak
perdulikan itu. Lagi sekali dia lompat, untuk enjot kedua kaki, pondongannya diangkat ke
tinggi, untuk dilemparkan ke atas, untuk mana, tangan kanannya membantu menolak
dengan keras.
"Hati-hati, adik Tjeng!" dia pesan.
Orang-orang Ngo Tok Kauw saksikan kejadian itu, mereka jadi sangat murka, untuk
merintangi, beberapa di antaranya segera menyerang dengan senjata rahasianya masingmasing.
Sin Tjie kibaskan pulang-pergi tangannya, yang bertangan baju panjang, dengan itu ia
halau sesuatu senjata rahasia musuh itu, yang pada jatuh ke tanah.
Tjeng Tjeng telah membarengi berlompat ketika ia diapungi Sin Tjie, ia jambret tembok,
untuk naik keatasnya.
Justru itu, Ho Tiat Tjhioe lompat dari kursinya, dia serang Sin Tjie dengan tangan kirinya.
Anak muda ini terkesiap karena penyerangan kauw-tjoe itu. Tangan yang menyerang
belum sampai, anginnya sudah menyambar hidungnya. Sejak dia turun gunung, belum
pernah dia ketemu musuh yang liehay sekali, kecuali dia punya Djie-soeko Kwie Sin Sie.
Makanya, di sebelah terkejut, dia pun kagumi kepala agama Ngo Tok Kauw ini.
"Bagus!" dia berseru seraya egos tubuhnya, sambil berbuat mana, matanya segera
tampak, tangan yang dipakai menyerang dia merupakan gaetan lancip dan tajam,
warnanya hitam, hingga kembali ia jadi kaget.
Selagi menyerang Sin Tjie, tangan kanannya Ho Tiat Tjhioe terayun ke tinggi, ke arah
Tjeng Tjeng, menyusul mana sebelah gelang emasnya melesat naik ke tembok.
"Kau turun!" dia berseru, suaranya nyaring tapi tetap halus.
Tjeng Tjeng merasakan sangat sakit pada kaki kirinya, tak dapat ia pertahankan itu, kedua
tangannya pada tembok terlepas, ia rubuh ke kaki tembok.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Ho Ang Yo perdengarkan suara tertawanya yang panjang dan menyeramkan, dia
berlompat kepada puterinya Kim Tjoa Long-koen, sepuluh jarinya yang tajam dan liehay,
yang beracun, diarahkan kepada nona dalam penyamaran itu.
Sementara itu, Sin Tjie telah mesti layani Ho Tiat Tjhioe, yang habis serang Tjeng Tjeng
dengan senjata rahasianya terus terjang pula anak muda ini, Tadi tidak sangka nona ini
bisa membarengi menyerang Tjeng Tjeng, kalau tidak, tentu ia sudah menghalanginya.
Sekarang ia mesti layani serangan sangat hebat dari ini kepala agama. Meski begitu, ia
masih sempat perhatikan Tjeng Tjeng, maka tempo ia tampak serangan berbahaya dari Ho
Ang Yo, dengan sebat ia serang uwah itu dengan beberapa butir biji caturnya, hingga
semua sepuluh sarung kukunya si wanita tua jadi copot dari jeriji-jerijinya dan jatuh ke
tanah, hingga Tjeng Tjeng jadi lolos dari ancaman malapetaka.
"Bagus!" Ho Tiat Tjhioe puji lawannya, yang ia kagumkan kepandaiannya menggunai
senjata rahasia itu, berbareng dengan mana, tangan kirinya tetap mendesak dua kali
beruntun, karena tak pernah ia hambat serangannya.
Sin Tjie pun heran akan saksikan kedua tangannya lwan wanita ini, kedua tangan yang ia
telah lihat dengan tegas. Tangan kanan si nona putih dan halus, bagaikan es atau salju,
lima jarinya lurus dan lentik, kelima kukunya dipakaikan cat kuku terbuat dari sarinya
bunga hongsian, kapan tangan kanan itu dipakai menyerang, berbareng sama
keliehayannya, pun ada menyiarkan bau harum. Akan tetapi tangan kirinya, entah kenapa,
seperti telah dikutungi sebatas telapakan tangan, sebagai gantinya dipasangi gaetan
terbuat dari besi yang tajam sekali, gaetan mana bisa dikasi bekerja sama liehaynya
dengan tangan biasa.
"Saudara See, lekas kamu cari jalan keluar!" seru Sin Tjie sambil terus layani si nona.
See Thian Kong beramai sebaliknya sudah dikurung rapat oleh orang-orang Ngo Tok
Kauw itu, mereka berjumlah jauh lebih kecil, sulit untuk mereka menoblos kurungan.
Dalam melayani musuh, Sin Tjie pergunakan "Hok-houw-tjiang", ilmu silat "Menaklukkan
Harimau". Ia sebenarnya harus berlaku telengas, akan tetapi ia dapati lawannya desak ia
dengan hebat tapi tanpa serangan-serangan yang membahayakan, orang seperti
memandang-mandang kepadanya, ia pun jadi berlaku tenang. Rupanya, kalau bisa, si
nona hendak dapat rabah tubuh si anak muda, untuk ditangkap tanpa berdaya...
Selama pertempuran berlangsung itu, Tjeng Tjeng numprah saja di tanah, tak dapat ia
bangun berdiri. Sin Tjie lihat keadaan kawannya itu, ia niat menolong, maka ia lantas desa
Ho Tiat Tjhioe, lalu selagi si nona mundur, mendadak dia lompat pada Nona Hee, untuk
dikasi bangun.
Hampir berbareng dengan itu, Sin Tjie dengar suara beradu keras. Itulah Thie Lo Han,
yang bentrok hebat dengan Thia Kie Soe. Atas bentrokan itu, tauwtoo ini berseru, lalu ia
menyerang lagi, dengan hebat, hanya kali ini, Baru beberapa jurus, ia telah rasai
tangannya sakit dan berat. Sebab tangan itu menjadi bengkak dengan lekas sekali, hingga
berbareng sangat mendongkol, dia pun sibuk.
"Tangan musuh ada racunnya semua, awas!" dia teriaki kawan-kawannya, untuk diberi
peringatan.
Mendengar seruan dari kawan itu, mendadak Sin Tjie ingat, semua musuh dari Ngo Tok
Kauw itu telah pahamkan Tok-see-tjiang, ilmu "Tangan Pasir Beracun" yang liehay, asal
orang kena terserang, mesti dia jadi kurbannya racun. Karena ini ia anggap, benar-benar
pihaknya sedang terancam bahaya hebat, bila tidak lekas-lekas mereka loloskan diri,
mereka akan hadapi malapetaka, semua bakal terkubur di sarang penjahat itu.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Ho Tiat Tjhioe berlaku gesit, menampak lawannya tolongi puterinya Kim Tjoa Long-koen,
dia mendesak pula.
"Ho Kauw-tjoe!" Sin Tjie berkata, "kita berdua tidak kenal satu dengan lain, kita tidak
pernah bermusuhan, kenapa kau desak kami begini rupa? Jikalau kau tidak ijinkan kami
berlalu dari sini, jangan nanti kau sesalkan aku keterlaluan!"
Nona she Ho itu, kepala dari Ngo Tok Kauw, tertawa manis, hingga kelihatanlah sepasang
sujennya.
"Kami cuma menghendaki supaya Hee Kongtjoe ditinggal di sini," katanya. "Untuk yang
lain-lain, silahkan pergi!"
Tentu saja tak sudi Sin Tjie tinggal Tjeng Tjeng. Maka ia sambut jawaban itu dengan
sapuan kaki kiri sambil berbareng tangan kanannya menyambar ke muka si nona.
Ho Tiat Tjhioe tolong diri sambil berlompat seraya tangannya yang sebelah dipakai
menangkis, untuk papaki tangan kanan lawannya itu. Akan tetapi sebelum kedua tangan
bentrok, cepat-cepat dia egos tangannya itu, ia baliki untuk pakai jarinya menotok lawan
punya jalan darah kiok-tie-hiat. Sebat luar biasa perubahan gerakan tangannya ini.
"Bagus!" Sin Tjie memuji dengan suaranya pelahan seraya ia elakkan tangannya itu dari
totokan, sedang dengan tangan kirinya, ia membabat batang leher lawan itu. Ia telah dapat
kenyataan, walaupun si nona bertangan beracun, dia toh jeri untuk seranganserangannya.
Habis ini, ia mengubah serangan dengan "Poh-giok-koen", ilmu silat
"Memecahkan batu kumala", ilmu pukulan mana Lauw Pwee Seng tidak sanggup
melayaninya selama lima jurus meskipun Pwee Seng dijuluki "Sin-koen Thay-Po",
"pahlawan kepala".
Ho Tiat Tjhioe liehay, akan tetapi didesak dengan ini ilmu pukulan yang Baru, dia repot
juga, tidak berani dia sembarang menangkis, kalau tadinya ia sering bersenyum, sekarang
romannya jadi sungguh-sungguh, tandanya ia tidak berani memandang enteng lagi. Ia
segera perlihatkan keentengan tubuhnya, kelincahannya, untuk bisa melayani terus. Tapi,
selagi ia berlaku cepat, gerakannya Sin Tjie lebih gesit pula. Kemudian, sedangnya si nona
mundur karena terdesak, hingga mereka datang dekat kepada Kim-ie Tok Kay Tjee In Go,
dengan mendadak pemuda kita serang si pengemis tak berbudi itu - dengan kepalan
tangan.
"Bagus!" berseru Tjee In Go, yang lihat serangan itu sambil menangkis dengan tangannya
yang kiri, untuk bentur tangan lawan.
Sin Tjie mendak, tangan kanannya ditarik pulang, sebaliknya, tangan kirinya dipakai
menyambar ujung baju lawannya itu, untuk dipegang, berbareng dengan mana, kaki
kanannya dimajukan, untuk dipakai menggaet kedua kaki lawan itu, sedang kaki kirinya,
sebat sekali, ia pakai menjejak dengkul kanan lawan tepat bahagian batok dengkul itu.
Tjee In Go tidak berdaya untuk pelbagai serangan berbareng itu, tak sempat ia singkirkan
kakinya itu, malah tak bisa ia berbuat demikian, karena kaki kanan musuhnya sudah
mendahului melibat. Dengan hebat ia kena terjejak, sampai batok dengkulnya seperti mau
copot, hingga ia merasakan sakit bukan kepalang. Tidak ampun lagi, ia rubuh mendeprok!
Ouw Koei Lam adalah yang lawan Kim-ie Tok Kay, melihat sang lawan rubuh, dia lantas
meninggalkannya, untuk pergi hampirkan tiga musuh yang sedang kerubuti See Thian
Kong.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
"Mundur ke tembok!" teriak Sin Tjie. "Aku nanti yang menolongi!"
Mendengar itu, Koei Lam batal membantui Thian Kong, sebaliknya ia dekati Tjeng Tjeng,
untuk bawa dia ini ke tepi tembok, kemudian ia pun kumpuli Thie Lo Han dan Sian Tiat
Seng yang pada terluka.
Sin Tjie sendiri segera perhatikan lain-lain kawannya. Ia lihat bagaimana See Thian Kong
dan A Pa masing-masing melayani tiga musuh yang sedang kepung mereka itu. Tidak
tempo lagi, ia bergerak untuk berikan pertolongannya. Untuk ini, ia tendang bergantian
dua orang Ngo Tok Kauw, yang menerjang kepadanya, setelah mereka ini rubuh, ia lompat
kearah See Thian Kong.
Tiga penyerangnya orang she See itu pun telah mendapatkan luka-luka tak berarti, masih
mereka mengepung terus. Sin Tjie lantas serang mereka itu, tapi ia tidak ingin mencelakai
terlalu banyak orang, iapun segar bentur tangan-tangan Tok-see-tjiang, maka ia berkelahi
dengan ilmu silatnya "Hoen-kin Tjo-koet-tjhioe", saban-saban ia bikin orang rubuh
pingsan atau tak mampu bergerak lagi.
Sebentar saja, See Thian Kong telah dapat dibebaskan dari kepungan, maka itu, pemuda
ini lantas hampirkan A Pa, si empeh gagu. Dia ini dikepung bertiga, tidak bisa dia kalahkan
musuh-musuhnya tetapi ia sendiri masih cukup gagah, leluasa ia melayaninya, sebab ia
telah wariskan cukup baik ilmu silat Hoa San Pay.
Ho Tiat Tjhioe tampak keadaan merugikan pihaknya, ia perdengarkan pula suitannya,
maka sekarang orang-orang Ngo Tok Kauw meluruk pada Sin Tjie dan si empeh gagu.
Melihat demikian, Sin Tjie unjuk kegesitannya, dengan cepat ia rubuhkan satu lawan dan
lukai lengannya yang lain, sedang A Pa dapat kesempatan toyor musuhnya yang ketiga
selagi dia ini terkesiap mendapatkan dua kawannya kena dikalahkan.
A Pa telah jadi sangat sengit, ingin ia susuli musuhnya yang telah mengeluarkan kecap
dari hidungnya, akan tetapi Sin Tjie tarik ia kekaki tembok dimana kawan-kawan mereka
sudah berkumpul menjadi satu, sedang dilain pihak, orang-orang Ngo Tok Kauw pun
sudah berkumpul, untuk taati titah kepala agamanya, akan serbu musuh.
Rombongan Ngo Tok Kauw ini menjagoi diwilayah Inlam, sesuatu orang kang-ouw, atau
Sungai Telaga, mendengar nama mereka saja sudah kerutkan alis dan menggeleng kepala,
semua jeri, karena tidak saja mereka liehay ilmu silatnya, yang sangat dimalui adalah
kuku-kuku mereka yang berbisa, siapa terkena kuku itu, asal lecet saja, tentu bakal
terbinasa. Akan tetapi, siapa nyana, di Utara ini, Baru mereka datang, mereka telah
menghadapi musuh yang liehay, maka disebelahnya kaget dan heran, mereka pun
mendongkol dan gusar sekali. Begitu Ho Tiat Tjhioe, dengan suitannya, ia telah beri tanda
untuk orang-orangnya meluruk kepada musuh mereka.
"Kamu semua lekas menyingkir, aku nanti pegat mereka!" seru Sin Tjie pada kawannya.
Ouw Koei Lam, yang kepandaiannya entengi tubuh cukup liehay, taati seruannya pemuda
itu, yang berbareng jadi beng-tjoe, ketua ikatan, dari tujuh propinsi. Dengan
kepandaiannya "Pek-houw yoe tjhong kong," atau "Cecak memain ditembok," dia merayap
ditembok, untuk naik keatasnya, lalu dengan dibantu A Pa dan Thian Kong, ia sambut
kawannya yang terluka. Si empeh gagu dan Thian Kong adalah yang naik paling belakang.
Sin Tjie sementara itu sudah tangkis serbuan musuh-musuhnya, dengan cepat ia telah
rubuhkan belasan orang, sesudah mana, dengan angkat kedua tangannya, ia beri hormat
pada kauwtjoe dari Ngo Tok Kauw.
"Nona Kauw-tjoe, sampai ketemu pula, sampai ketemu pula!" katanya, kemudian dengan
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
bebokongnya ditempel pada tembok, hingga dilain saat, ia sudah nyerosot naik ditembok
itu. Sebentar saja, ia pasti akan sudah sampai diatas.
Ho Ang Yo si wanita tua menjerit melihat orang hendak kabur, ia enjot kedua kakinya,
untuk apungi diri, akan sambar musuh itu, sedang lima jari tangannya mendahului,
menyerang ke jurusan tubuh sang lawan. Ia percaya, selagi nyerosot naik, musuh itu tidak
bakal sanggup menangkis atau mengelakkan serangannya itu.
Sin Tjie memang berada dalam keadaan keponggok, tak bisa ia berkelit, akan tetapi kedua
tangannya ada merdeka, begitu diserang, ia kibaskan tangan kirinya, yang ujung bajunya
panjang, hingga tangannya si uwah jelek jadi kena tersampok, sampai tangan dengan
kuku-kuku yang liehay itu berbalik menyerang ke arah dirinya sendiri.
Kaget sekali wanita tua-bangkotan ini.
"Apakah kau ada muridnya Kim Tjoa Long-koen?" tegur dia.
Heran Sin Tjie mendengar ini. "Mesti ada hubungannya di antara dia dan Kim Tjoa Longkoen,"
pikirnya. Karena uwah ini kenali diapunya ilmu pukulan menghalau serangan kuku
yang berbahaya itu.
Walaupun ia heran, Sin Tjie toh tidak berhentikan gerakan tubuhnya, malah belum sempat
dia menjawab, dia sudah sampai di atas tembok, akan terus lompat kesebelah luar, untuk
susul kawan-kawannya.
A Pa beramai telah lindungi Tjeng Tjeng sampai ditembok yang keempat, justru itu,
mereka dengar satu suara berkeresek yang nyaring menyusul mana pada tembok
terbukalah satu lowongan beberapa kaki lebarnya.
Sin Tjie tahu, itulah pintu rahasia, maka untuk lindungi A Pa semua, ia lompat melesat
kearah pintu rahasia itu, tanpa berayal lagi ia menyerang dengan kedua tangannya dengan
tipu-silatnya "Pay san to hay" atau "Mendorong gunung untuk menguruk lautan."
Berbareng sama terpentangnya pintu rahasia, serombongan orang Ngo Tok Kauw
tertampak meluruk datang, untuk keluar dari situ, tetapi dua yang maju paling depan telah
jadi kurban serangannya anak muda kita, tanpa ampun mereka rubuh jumpalitan beberapa
kali, kembali kesebelah dalam, karena mana kawan-kawannya jadi merandak, tak berani
mereka lancang maju.
Phoa Sioe Tat licik, dia lantas berikan tanda titahnya, atas mana empat anggauta Ngo Tok
Kauw segera angkat bumbung mereka, yang merupakan sumpitan, untuk menyemburkan
barang cair kearah Sin Tjie. Itu adalah air racun mereka.
Sin Tjie kaget sekali, belum ia sampai kena tersemprot, hawa busuk telah bikin kepalanya
rada pusing, syukur ia dapat berlompat mundur dengan cepat, ia jadi lolos dari bahaya.
Dengan menyingkir jauh-jauh, semprotan air racun tidak sampai kepadanya, air racun itu
jadi menyiram melulahan disebelah depan dia. Air racun itu bersemu hitam dan baunya
keras.
Tembok di belakang Sin Tjie ada tembok kuning, yang jauh lebih kate daripada temboktembok
lainnya disebelah dalam, maka itu di sini ia tidak gunai ilmu merayapnya "Cecak
main ditembok," ia hanya enjot tubuhnya, untuk berlompat, hingga dilain saat, ia sudah
sampai kebahagian atas tembok. Dari sini ia lompat keluar dengan tidak memutar tubuh
lagi, hanya sambil lompat jumpalitan, secara begini ia jadi tidak mensiasiakan tempo.
Ho Tiat Tjhioe dapat lihat cara berlompat itu.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
"Bagus!" serunya tanpa dia merasa.
Sin Tjie susul kawannya terus sampai ditembok terakhir, yang warnanya hitam. Ia tidak
lihat orang mengejar akan tetapi tak mau ia membuang-buang tempo. Malah untuk bisa lari
lebih cepat lagi, ia sambar Tjeng Tjeng, untuk dipanggul dibelakangnya, bersama semua
kawannya itu, ia kabur terus.
Benar disaat mereka mendatangi dekat rumah mereka, Sin Tjie merasakan gatal-gatal pada
pundaknya, ada hawa panas yang menghembusnya, apabila ia menoleh ke belakang,
Tjeng Tjeng tertawai ia, si nona cekikikan pelahan. Maka legalah hatinya, sebab itu ada
suatu tanda kawan ini tidak terluka parah.
Segera setelah sampai didalam rumah, Sin Tjie lantas keluarkan mustikanya, untuk tolongi
Thie Lo Han dan Sian Tiat Seng, kemudian Baru ia periksa lukanya Tjeng Tjeng, yang
menjadi kurban senjata rahasia yang berupa gelang dari kepala agama Ngo Tok Kauw.
Kakinya si nona, yang terkena gelang, yang tadinya putih-bersih, sekarang telah menjadi
berwarna hitam dan bengkak juga, suatu tanda liehaynya serangan dari Ho Tiat Tjhioe. Sin
Tjie lantas mengobatinya.
Adalah kemudian, selagi semua orang beristirahat, Sin Tjie minta keterangan pada Sian
Tiat Seng tentang Ngo Tok Kauw, itu pengemis yang memuja ular berbisa.
"Ngo Tok Kauw itu biasanya tidak pernah melintas keluar dari wilayah mereka, keempat
propinsi Inlam, Kwietjioo, Kwiesay dan Kwietang, sama sekali belum pernah mereka
datang ke Utara," sahut Tokgan Sin-Liong dengan keterangannya, "meskipun demikian,
umum ketahui baik keliehayan mereka. Sekalipun dalam kalangan Rimba Persilatan, asal
orang omong tentang Ngo Tok Kauw, wajah muka orang pasti berubah karena gelisah
sendirinya. Sebegitu jauh yang aku ketahui, tak pernah ada orang yang berani main gila
terhadap rombongan pengemis itu."
Thia Tjeng Tiok diam saja sedari tadi, ia telah kerutkan alis ketika ia dengar hal
pertempuran di gedung Pangeran Seng Ong itu, akan tetapi, seperti orang yang ingat
suatu apa, sehabis katanya Sian Tiat Seng, ia campur bicara.
"Wan Siangkong," katanya, "orang bilang Oey Bok Toodjin dari Boe Tong Pay telah
terbinasa ditangannya kawanan Ngo Tok Kauw itu..."
"Bagaimana cara kematiannya itu? Siapakah yang telah menyaksikannja?" Sin Tjie tanya.
"Jikalau ada yang telah menyaksikan, mestinya saksi itu sendiri tidak akan luput dari
tangannya orang-orang Ngo Tok Kauw," sahut Tjeng Tiok. "Menurut kalangan orang kangouw,
kebinasaannya Oey Bok Toodjin itu ada dalam cara sangat hebat dan menyedihkan.
Pernah orang-orang Boe Tong Pay meluruk ke Inlam, untuk mencari balas, akan tetapi
tidak ada hasilnya. Ngo Tok Kauw itu adalah satu rahasia untuk umum..."
Tiba-tiba See Thian Kong perdengarkan suara tak nyata, kemudian dia tegasi Tjeng Tiok:
"Saudara, Thia, apa benar-benar kau tidak kenal pengemis wanita tua itu?"
Ditanya begitu, Thia Tjeng Tiok perlihatkan roman duka.
"Aku percaya saudara-saudara merasa heran, sebenarnya aku mempunyai kesulitan, yang
sukar untuk aku menjelaskannya," kata dia kemudian.
See Thian Kong tertawa.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
"Aku pernah tempur kau, aku tahu, makin tua kau makin gagah!" katanya. "Siapa juga
tidak nanti bilang bahwa kau takut mati!"_
"Aku telah terima pesan orang, untuk itu aku telah beri kata-kataku dengan sumpah berat,"
kata pula Thia Tjeng Tiok, "maka itu, tak dapat aku bicara. Itu juga sebabnya kenapa aku
tak ingin datang kebalai istirahat dari Pangeran Seng Ong itu."
Orang tahu, sebagai ketua dari Tjeng Tiok Pay, Tjeng Tiok tidak nanti bicara dusta,
karenanya, orang tidak desak dia untuk menjelaskan kesulitannya itu. Tapi karena itu,
untuk sesaat, semua orang berdiam, mereka pada tunduk kepala, hingga gedung menjadi
sunyi-senyap.
Dalam suasana terbenam itu, mendadak satu bujang datang masuk.
"Ada satu Nona Tjiauw mohon ketemu sama Wan Siangkong l" katanya.
Tjeng Tjeng kerutkan alis dengan tiba-tiba.
"Dia datang, apakah dia mau?" katanya.
"Undang dia masuk !" Sin Tjie perintah bujangnja.
Bujang itu menyahuti, lantas ia keluar. Tidak lama ia sudah kembali bersama Tjiauw Wan
Djie.
Begitu lekas ia berhadapan sama Sin Tjie, Nona Tjiauw segera berlutut, ia memberi hormat
sambil menangis menggerung-serung.
Sin Tjie lihat orang pakai pakaian berkabung, hatinya sudah bercekat, tetapi karena si
nona berlutut, ia lekas-lekas berlutut juga untuk membalas hormat.
"Silahkan bangun, Nona Tjiauw," katanya kemudian, mempersilahkan.
"Apakah ayahmu baik?"
Masih nona itu menangis.
"Ayah, ayah telah dibunuh si orang she Bin..." katanya dengan tak lancar.
Sin Tjie terperanjat, sampai ia berjingkrak.
"Bagainianakah duduknya hal?" tanya dia dengan bernapsu.
Wan Djie sudah berbangkit, ia lolosi satu bungkusannya, untuk diletaki diatas meja, terus
ia buka. Isinya itu sebatang pisau belati yang tajam mengkilap dimana antaranya ada sisa
tanda-tanda darah terotolan.
Sin Tjie jumput senjata itu, untuk diperiksa. Maka melihatlah ia ukiran huruf-huruf pada
gagangnya, yang dikelam dengan emas, bunyinya "Bin Tjoe Hoa, murid Boe Tong Pay
golongan huruf Tjoe".
Itu adalah senjata warisan atau tanda mata kepada setiap murid Boe Tong Pay, yang biasa
diberikan kepada setiap murid yang telah rampungkan pelajarannja dan diijinkan turun
gunung, keluar dari rumah perguruan.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
"Ketika itu hari ayah pulang habis menghadirkan rapat besar di gunung Tay San," Tjiauw
Wan Djie segera menerangkan, "kami telah mampir di Tjietjioe untuk bermalam didalam
sebuah rumah penginapan. Dihari besoknya, sampai siang ayah masih belum keluar dari
kamar, maka aku pergi kekamarnya, untuk mengasi bangun. Akan tetapi ayah kedapatan
sedang rebah dengan sudah tidak bernapas, didadanya tertancap sebatang pisau belati
ini... Wan Siangkong, aku mohon sukalah kau pikirkan jalan untuk aku..."
Kembali Wan Djie menangis menggerung-gerung.
Mulanya Tjeng Tjeng heran atas kedatangan Nona Tjiauw itu, timbullah kecurigaannya,
akan tetapi sekarang, melihat kesulitan orang itu dan menyaksikan keadaannya yang
menyedihkan, timbullah rasa simpati dan kasihannya, lantas saja ia menghampirinya,
untuk pegang tangannya Nona Tjiauw, akan susuti air matanya nona yang bernasib
malang itu.
"Toako," kata Tjeng Tjeng dilain pihak kepada Sin Tjie, "orang she Bin itu sudah berjanji
untuk bikin habis persengketaan, kenapa sekarang dia lakukan perbuatan hina-dina ini,
membunuh secara menggelap? Tak dapat kita sudahi perkaranya ini!"
Sin Tjie tidak lantas menyahuti, hanya dia berdiam. Dia berpikir.
"Nona Tjiauw," tanyanja kemudian, "apakah setelah itu kau pernah bertemu sama orang
she Bin ini?"
"Dua kali aku pernah bertemu padanya," sahut Wan Djie dengan masih menangis
sesenggukan, "maka kami telah susul dia. Baru kemarin kami sampai di sini..."
"Bagus!" seru Tjeng Tjeng. "Dia ada di Pakkhia, mari kita cari padanya! Adikku, kau sabar,
kau tenangkan diri, pasti aku nanti membalas dendam untukmu!"
Thia Tjeng Tiok, See Thian Kong dan yang lain-lain berdiam saja. Tjeng Tjeng tahu, itulah
tentu disebabkan mereka tak ketahui duduknya hal. Maka nona Hee lantas ceritakan
pengalamannya Sin Tjie di Kim-leng dimana pemuda itu telah pecahkan ilmu silat "Liang
Gie Kiam-hoat" untuk mengakurkan perselisihan diantara Tjiauw Kong Lee dan Bin Tjoe
Hoa.
Mendengar ini, Tjeng Tiok semua menjadi tidak puas. Teranglah Bin Tjoe Hoa sudah
langgar kehormatan kaum kang-ouw, perbuatannya itu ada sangat busuk.
"Mahluk apa Bin Tjoe Hoa itu?" tanya See Thian Kong dalam sengitnya. "Ingin aku si tuabangka
she See mencoba menempur dia!"
Tjiauw Wan Djie lantas menjura kepada Thian Kong beramai.
"Aku mohon semua paman untuk membelakan pri-keadilan," minta dia.
Thia Tjeng Tiok pun sengit sekali, hingga dia keprak meja.
"Dimana adanya Bin Tjoe Hoa sekarang?" dia tanya. "Tidak perduli Boe Tong Pay banyak
anggautanya dan berpengaruh, aku si orang she Thia tak gentar terhadap mereka!"
"Setelah kebinasaan ayah," kemudian Tjiauw Wan Djie menerangkan lebih jauh, "bersama
beberapa soeko aku rawat jenasahnya, tetapi sekarang ini jenasah itu masih dititipkan
dirumahnja In Piauwsoe dari Kong Boe Piauw Kiok di Tjietjioe. Segera setelah itu, aku
mencoba mengundang sejumlah sesama orang kang-ouw, untuk mereka tolong cari tahu
dimana beradanya Bin Tjoe Hoa. Aku bersyukur kepada roh ayahku, selang beberapa hari
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
telah datang kabar dari sahabat-sahabat di Hoolam, ada diantara mereka yang dapat lihat
orang she Bin itu sedang dalam perjalanan dari Hoolam ke Pakkhia. Atas warta itu, pihak
kami sudah lantas bekerja. Pelbagai hiotjoe dalam dan luar dari Kim Liong Pang bersama
semua totjoe dari semua pelabuhan darat dan air telah berpencar diri, untuk mencari dan
memegat, dua kali telah dilakukan pertempuran, saban-saban dia bisa loloskan dirinya.
Tidak beruntung adalah aku, karena aku tidak punya guna, pernah satu kali,aku kena
dilukai dia..."
Sin Tjie lihat, pundak kiri dari si nona masih dibalut. Ia merasa kasihan berbareng kagum.
Pasti nona ini, meskipun kalah tangguh dari Bin Tjoe Hoa, untuk membalas sakit hati
ayahnya, sudah berlaku nekat, dia tempur mati-matian musuh besarnya itu. Tentu sekali
dia ini bukannya tandingan Bin Tjoe Hoa.
"Sampai kemarin kami terus kuntit orang she Bin itu," Wan Djie melanjuti keterangannya.
"Sekarang kami telah ketahui dimana dia telah pernahkan diri."
"Dimana?" tanya Tjeng Tjeng dengan bernapsu. "Mari lekas kita satroni dia, supaya dia
jangan keburu mabur lagi!"
"Dia bertempat di gang Hoe Kee Hootong di dalam sebuah rumah," sahut Wan Djie.
"Seratus lebih orangku sudah memasang mata disekitar rumah itu."
Diam-diam Sin Tjie manggut-manggut.
"Meskipun nona ini masih muda tapi ia cerdik dan pandai bekerja," memuji ia dalam
hatinya. "Kaum Kim Liong Pang telah keluar dalam rombongan seluruhnya, pasti sekali
sebelum mereka dapat binasakan Bin Tjoe Hoa, belum mereka mau sudah..."
"Barusan saja ditengah jalan aku telah bertemu sama satu sahabat yang juga Baru
kembali dari rapat di Tay San," menambahkan Nona Tjiauw itu, "dari dia itu aku dapat tahu
bahwa kau justru berada di sini, Wan Siangkong..."
See Thian Kong tunjuki jempolnja, dia bersenyum puas.
"Nona Tjiauw, sempurna sekali tindakan kau ini!" dia memuji. "Menurut kau, sudah terang
Bin Tjoe Hoa itu telah berada didalam genggamanmu, tetapi kau toh masih datang kemari
untuk minta keadilan dari bengtjoe kita, supaja kaum kang-ouw nanti mengutuk Bin Tjoe
Hoa yang harus dibikin binasa itu! Bagus, bagus!"
"Kapan kamu hendak turun tangan?" kemudian Sin Tjie tanya.
"Sebentar malam jam dua," jawab Wan Djie, yang terus bungkus rapi pula pisau belati
yang meminta jiwa ayahnja itu.
"Ya, simpan senjata ini, adik," kata Tjeng Tjeng. "Sebentar kau gunakan ini untuk tikam
mampus musuhmu itu !"
Nona Hee pun sengit seperti yang lain-lainnya, hingga lenyap kecurigaan atau
cemburuannya.....
Wan Djie manggut terhadap nona ini.
Diam-diam Sin Tjie menghela napas. Ia berkasihan terhadap Tjiauw Kong Lee, ia sayangi
ketua Kim Liong Pang itu. Ia tahu jago ini berbudi, siapa sangka dia mesti binasa ditangan
jahat. Di sebelah itu, ia menyesal sekali, iapun berkuatir. Permusuhan ini akan menghebat
dendaman diantara Boe Tong Pay dan Kim Liong Pang. Apabila orang saling dendam tak
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
putusnya, sampai kapan itu dihabiskannya? Untuk selanjutnja, pasti bahaya akan saling
menimpa satu pada lain...
Pemuda kita lantas tahan Wan Djie bersama, untuk si nona beristirahat, untuk diajak
bersantap sama-sama kapan sang sore telah sampai, sesudah mana, ia bersiap. Tjeng
Tjeng dan Thie Lo Han tak dapat turut karena mereka sedang terluka. Juga Sian Tiat Seng
tidak ikut, karena kepala opas itu telah diantar pulang ke rumahnya. Maka itu cuma Thia
Tjeng Tiok, See Thian Kong, A Pa, Ouw Koei Lam dan Ang Seng Hay yang bisa
memberikan bantuannya.
Begitu sang malam sampai, berenam mereka berangkat dengan Tjiauw Wan Djie jalan di
muka untuk jadi petunjuk jalan ke gang Hoe Kee Hootong.
Tjeng Tjeng menyesal yang ia tidak dapat turut, saking masgul dan mendongkol, ia lantas
kutuki Ho Tiat Tjhioe yang telah lukai padanya.
Kapan Sin Tjie beramai sampai didekat gang, beberapa muridnya Kong Lee, yang sedang
memasang mata, papak mereka. Lantas saja mereka kisiki bahwa Bin Tjoe Hoa masih ada
di dalam rumah bersama Tong Hian Toodjin, soehengnya dia itu. Mereka pun girang sekali
menampak Sin Tjie telah dapat diundang. Semua orang telah ketahui baik keliehayannya
anak muda ini.
"Wan Siangkong, apa boleh kita turun tangan sekarang juga?" Wan Djie tanya pemuda
kita.
Nona ini cerdik dan bisa memikir panjang, tak mau ia mendahului beng-tjoe itu.
"Sabar dulu," Sin Tjie bilang. ..Sekarang minta semua orang berjaga-jaga seperti biasa,
mari kita sendiri pergi mengintai dulu."
"Baik," jawab nona itu, yang terus kisiki kawan-kawannya. Maka mereka itu lantas
undurkan diri.
Sin Tjie ajak semua kawannya mendekati rumah, lantas mereka saling susul lompati
tembok, untuk masuk kedalam.
Seng Hay masih belum sempurna ilmunya entengkan tubuh, diwaktu ia lompat turun
ketanah, ia menerbitkan suara, benar suaranya enteng sekali, akan tetapi didalam rumah,
didalam kamar, api padam seketika.
Sampai waktu itu Tjiauw Wan Djie tak dapat kendalikan lagi hatinya. Ia pun rupanja kuatir
musuh nanti lolos pula. Maka ia lantas perdengarkan suara suitannya. Suara itu pelahan,
akan tetapi menyambut itu, di empat penjuru rumah, di pojok tembok, segera muncul
pelbagai kepala orang - ialah orangnya yang mengurung rumah itu.
Habis itu, Wan Djie perdengarkan suaranya yang keren: "Orang she Bin, lekas kau keluar!
Kau lihat, siapa telah datang kemaril" Sunyi rumah itu, tidak ada suara jawaban.
"Nyalakan api!" Wan Djie berseru. "Semua nyerbu kedalam!"
Orang-orang Kim Liong Pang, dan sahabat-sahabat mereka, yang datang membantu, taati
seruan itu. Mereka memang telah siapkan obor. Maka sebentar saja, teranglah cahaya api.
Empat anggauta, yang memegang obor, maju di depan, golok mereka dipakai melindungi
diri.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Dengan tiba-tiba saja terdengar beberapa kali suara beruntun, menyusul itu, tiga batang
obor padam apinya, hingga tinggal yang satu, kemudian menyusul itu, dua bajangan
kelihatan lompat mencelat lari arah rumah itu.
Dengan serentak, orang-orang Kim Liong Pang lompat menerjang, hingga selanjutnja,
riuhlah suara pelbagai senjata beradu satu pada lain.
Kembali terdengar suara suitan, kali ini itu disusul sama merangsaknya orang-orang di
empat penjuru, sedang api obor pun jadi bertambah, sehingga pekarangan disitu jadi
terang sekali, bagaikan siang saja.
Tong Hian Toodjin dan Bin Tjoe Hoa telah lakukan perlawanan dengan membaliki belakang
satu sama lain, dengan jalan ini mereka hendak cegah mereka nanti terbokong. Mereka
perlihatkan ilmu pedang mereka, sebab rupanya mereka insyaf, saat ini adalah saat mati
atau hidup mereka. Tidak heran, karena cara berkelahi mereka, sebentar saja sudah ada
tujuh atau delapan orang Kim Liong Pang yang kena dilukai. Akan tetapi, delapan orang
mundur, serombongan yang lain maju menggantikannya, sebab diaorang ini sangat gusar,
mereka setia kepada kawan, sehingga mereka tak takut mati.
Repot juga Bin Tjoe Hoa dan soehengnya itu menghadapi demikian banyak musuh, yang
nekat semua. Benar mereka bisa lukai beberapa orang lagi, tetapi mereka sendiri pun tak
bebas dari serangan-serangan musuh-musuh yang seperti kalap itu. Begitulah Tong Hian
terluka pada bahu kirinya, sehingga ia mesti geser pedangnya ke tangan kanan.
Kedua orang Boe Tong Pay ini berkelahi menurut ilmu silat Liang Gie Kiam-hoat, Tong
Hian mencekal pedang ditangan kiri, Bin Tjoe Hoa ditangan kanan, dengan itu, mereka
bisa bergerak dengan leluasa. Sekarang dua-dua pedang berada ditangan kanan,
perlawanan mereka menjadi kipa, gerakan mereka jadi kendor sendirinya.
Lagi beberapa saat, Tong Hian terluka pula dan Tjoe Hoa pun tak terluput, dalam keadaan
seperti itu, mereka juga tidak sempat menyingkirkan diri, saking hebat dan rapatnya
kepungan. Tidak semua musuh liehay tapi mereka nekat, mereka tak dapat dipandang
ringan.
Sin Tjie lihat kedua orang sudah dapat beberapa luka, ia anggap tak boleh ia menonton
lebih lama pula. Ia juga beranggapan, satu jiwa mesti diganti dengan satu jiwa, cukuplah
kalau Bin Tjoe Hoa sendiri yang dibikin binasa, tak usah Tong Hian Toodjin kawani
soeteenya itu pergi menghadap Raja Akherat. Maka itu, disaat dua jago Boe Tong itu
tinggal rubuh binasa, mendadak ia loncat keantara mereka, pedang Kim Tjoa Kiam ia
babatkan ditengah-tengah.
Sekejab saja, kedua pedangnya Tong Hian Toodjin dan Bin Tjoe Hoa sapat terkutung,
begitu juga beberapa ujung pedangnya orang-orang Kim Liong Pang yang sedang
mengepung hebat.
"Tahan!" Sin Tjie berseru.
Gerakan ini membuat kedua pihak tercengang, tapi ia sendiri pun melengak sesaat, saking
kagum sendirinya. Ini adalah untuk pertama kali ia gunai pedang Ular Emas itu, diluar
dugaannya, pedang itu sangat tajam. Sebenarnja dia hendak halau semua senjata tidak
tahunya, semua senjata yang bentur Kim Tjoa Kiam telah kutung sendirinya.
Bin Tjoe Hoa telah mandi darah, kaget ia menampak Sin Tjie. Dalam saat itu juga, habislah
pengharapannya. Melayani musuh-musuh Kim Liong Pang saja sudah berat, bagaimana
dapat ia tempur jago muda itu, yang sekarang malah bersenjatakan pedang mustika?
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Tong Hian Toodjin juga putus asa, sehingga ia lantas lemparkan pedangnya yang sudah
buntung Tapi ia tertawa menyengir.
"Tak tahu aku, dalam hal apa kami dua saudara, telah berbuat salah terhadap kau, tuan,
maka kau telah desak kami begini rupa?" tanya imam itu.
Dimulutnya, Tong Hian mengucap demikian, diam-diam ia rogo keluar pisau belati
dipinggangnya, pisau mana ia terus pakai menikam dadanya. Rupanya dalam berputus
asa, ia jadi berpikiran pendek juga.
Sin Tjie lihat kenekatan itu, ia ulur kedua tangannya, secara sangat sebat. Dengan tangan
kiri ia menolak dada orang itu, dengan tangan kanan ia menyambar ke lengan si imam,
maka dilain saat, ia telah dapat rampas pisau belati itu yang tajam berkilauan.
Malah dalam sekelebatan itu, Sin Tjie bisa lihat huruf-huruf ukiran pada gagangnya belati
yang berbunyi: "Tong Hian Toodjin murid Boe Tong Pay golongan huruf Tjoe," Dan pisau
belati itu mirip benar macamnya dengan pisau belati Bin Tjoe Hoa yang dipakai
membunuh Tjiauw Kong Lee.
Mukanya Tong Hian Toodjin jadi merah-padam, lalu pucat-pias.
"Satu laki-laki boleh dibunuh tetapi tak dapat diperhina!" dia berseru. "Aku tahu ilmu
silatku belum sempurna, aku bukannya tandingan kau. Maka biarlah aku binasa dengan
kau tonton! Lekas kembalikan pisauku itu kepadaku!"
Imam ini nyata bernyali besar, keras hatinya.
Sin Tjie kuatir orang bunuh diri, tidak saja ia tidak kembalikan pisau itu, ia malah selipkan
dipinggangnya.
"Mari kita bicara dulu sampai terang, Baru nanti aku kembalikan kepadamu." katanya,
dengan sungguh-sungguh.
Tapi Tong Hian Toodjin sedang gusar, dia jadi bertambah murka.
"Jikalau kau hendak bunuh aku, bunuhlah!" menjerit dia." Tak dapat kau terlalu
menghina!"
Jeritan ini disusul sama satu sampokan tangan ke muka si anak muda.
Sin Tjie kelit dengan mundur satu tindak.
"Kapannya aku hinakan kau?" dia tanya. Benar-benar ia heran.
Tong Hian masih sengit, dia hunjuk roman bengis.
"Pisauku itu ada pisau hadiah dari Tjouwsoe kami dari Boe Tong Pay!" kata dia dengan
nyaring. "Maka pisau itu biarnya aku mesti hilang jiwa, tak dapat dibiarkan jatuh ditangan
lain orang l"
Kembali Sin Tjie heran hingga is tercengang. Berbareng dengan itu kecurigaannya jadi
semakin besar.
"Kalau pisau ini dipandang begini suci, kenapa Bin Tjoe Hoa tinggalkan ditubuh Tjiauw
Kong Lee sehabis dia bokong ketua Kim Liong Pang itu?" demikian dia berpikir.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Ia keluarkan pisau itu, untuk dikasi pulang kepada pemiliknya.
"Tootiang, ada satu hal untuk mana aku mohon keterangan kau," kata ia, dengan sikapnya
yang sabar.
Imam dari Boe Tong Pay itu sambuti pisaunya, karena ia dengar orang punya suara
menghormat, iapun tidak bersikap keras lagi.
"Silahkan," sahut dia dengan ringkas.
Sin Tjie berpaling kepada Tjiauw Wan Djie.
"Nona Tjiauw, mari bungkusan kau, kasikan padaku!" dia minta
Wan Djie menghampirkan, akan serahkan bungkusannya yang berisikan pisau belati Bin
Tjoe Hoa. Ia belum tahu tindakan Sin Tjie.
Lebih jauh, ia pun tak hendak menanyakannja, akan tetapi ia cekal keras sepasang
goloknya. Ia awasi dengan bengis pada Bin Tjoe Hoa, siapa sebaliknya berdiri diam
didampingnya Tong Hian Toodjin.
Dengan sabar Sin Tjie buka bungkusan itu, hingga kelihatanlah isinya, menampak mana,
Tong Hian Toodjin dan Bin Tjoe Hoa perdengarkan seruan tertahan dari mereka, lebihlebih
Bin Tjoe Hoa sendiri yang kenali pisaunya itu.
Dipihak lain, orang-orang Kim Liong Pang yang melihat bukti senjata pembunuhan ketua
mereka, lantas ingat kebinasaan hebat dan menyedihkan dari ketua mereka itu, berbareng
sedih, kemurkaan mereka pun timbul pula secara tiba-tiba, hingga dengan roman sangat
bengis, mereka bertindak maju.
"Ini... ini... adalah senjataku!" seru Bin Tjoe Hoa. "Darimana kamu dapatkan ini?" tanya
dia, sambil ulur tangannya, untuk ambil pulang pisau belati itu.
Sin Tjie tarik pulang tangannya, tetapi disebelah dia, Tjiauw Wan Djie membacok dengan
goloknya, kepada lengan orang, hingga Bin Tjoe Hoa mesti dengan sebat tarik pulang
tangannya.
Panas Wan Djie, maka ia maju, untuk membacok pula.
"Sabar," kata Sin Tjie, yang lintangi tangannya, untuk mencegah. "Mari kita tanya jelas
dulu."
Karena tak dapat ia menyerang lebih jauh, Wan Djie menangis, air matanya bercucuran
dengan deras.
Bin Tjoe Hoa agaknya tidak mengerti, dia berseru : "Ketika dulu kita bikin pertemuan di
Lamkhia, urusan telah dibereskan, persengketaan kedua pihak telah didamaikan dan
dibikin habis, kenapa orang-orang Kim Liong Pang tidak pegang kepercayaan dan
kehormatannya? Kenapa kamu berulang-ulang kali dengan cara gelap hendak bikin celaka
padaku? Sekarang kamu suruhlah Tjiauw Kong Lee keluar, mari kita berpadu diri, untuk
bicara biar jelas! Jikalau benar aku siorang she Bin yang bersalah, dihadapan kamu aki
nanti bereskan diriku sendiri, tidak nanti aku menyangkal!"
Belum sempat Bin Tjoe Hoa tutup mulutnya, beberapa orang Kim Liong Pang telah bentak
dia: "Ketua kami telah kau bunuh, sekarang kau masih berpura-pura, kau hendak mencoba
bersihkan dirimu, manusia hina-dina dan busuk!"
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Bin Tjoe Hoa, begitu juga Tong Hian Toodjin, melengak. Mereka kaget dan heran bukan
main.
"Apa?" tanya mereka. "Tjiauw Kong Lee telah terbinasa?"
Sin Tjie tampak wajah orang itu sungguh-sungguh, ia mau percaya mereka itu bukannya
sedang bersandiwara.
"Ah, benar-benar mesti ada halnya dalam urusan ini," pikir ia. Maka ia lantas tegasi:
"Apakah benar-benar kamu tidak ketahui bahwa ketua Kim Liong Pang telah terbinasa?"
"Tidak!" sahut Bin Tjoe Hoa. "Sejak itu hari aku kalah dan aku serahkan rumahku, aku tak
punya muka lagi akan hidup dalam dunia kangouw, aku lantas pergi ke Kayhong kepada
toa-soehengku Tjoei In Tootiang yang mewariskan guru kami menjadi ketua, untuk
memberi penjelasan kepadanya, untuk kami berdamai, sayang itu waktu aku tak dapat
bertemu sama soehengku itu. Adalah sekembalinya dari Kayhong, dengan tak aku ketahui
apa sebab musababnya ditengah jalan, dua kali aku dipegat orang-orang Kim Liong Pang
hingga kita mesti bertempur hebat. Aku tidak mengerti kenapa Tjiauw Kong Lee
terbinasa?"
Tjiauw Wan Djie ada seorang yang pintar, mendengar perkataannya orang she Bin ini,
melihat wajah orang itu, dia mulai bercuriga. Tiba-tiba saja ia menangis pula, dengan
sesenggukan.
"Ayahku.... ada....ada orang bunuh secara menggelap dengan pisau belati ini!" katanya
dengan susah-payah. "Umpama kata benar bukannya kau yang lakukan pembunuhan itu,
mestinya dia adalah sahabatmu!"
Bin Tjoe Hoa terkejut.
"Ah, ah, inilah..."
"Inilah apa?" bentak Tjiauw Wan Djie.
Bin Tjoe Hoa bungkam, agaknya ia hendak bicara tetapi batal, nampaknya ia merasakan
suatu kesulitan.
Orang-orang Kim Liong Pang menjadi panas pula, sedang tadinya mereka pun sudah
melengak, mereka mau percaya, benar-benar musuh ini berdusta, maka lantas mereka
maju pula.
Tong Hian Toodjin ambil pedang buntung dari tangannya Bin Tjoe Hoa, dia lempar itu ke
tanah sebagaimana pedangnya sendiri tadi, kemudian ia angkat dadanya.
"Jikalau tuan-tuan lebih suka sakit hatinya Tjiauw Loopangtjoe tak terbalas untuk
selamanya-lamanya dan kamu kehendaki supaya si penjahat diam-diam tertawai kamu dari
samping, baiklah, kami berdua saudara suka serahkan jiwa kami! Sama sekali kami tidak
takut mati!" demikian katanya.
"Menampak keberanian orang itu, orang-orang Kim Liong Pang merandek, sangsi mereka
untuk serbu imam itu.
Sin I'jie lantas berkata pula:
"Jikalau begini, kelihatannya Tjiauw Loopangtjoe bukanlah kau yang bunuh, saudara
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Bin?" tanya dia.
"Aku mengaku aku si orang she Bin tidak punyakan kepandaian cukup," jawab Bin Tjoe
Hoa, "akan tetapi aku mengerti benar hidupnya seorang didalam dunia mengandali
kepercayaan, kehormatannya! Aku telah kalah di tangan kamu, selagi sekarang ada orang
jahat yang mainkan perannya secara diam-diam, bagaimana aku bisa datang pula ke
Lamkhia untuk melanjuti permusuhan?"
"Tetapi Tjiauw Loopangtjoe bukannya terbunuh di Lamkhia," Sin Tjie terangkan.
Bin Tjoe Hoa heran.
"Dimanakah itu terjadinya?" dia tanya.
"Di Tjie-tjioe."
"Inilah terlebih aneh pula!" kata Tong Hian Toodjin. "Kami dua saudara, sudah lebih
daripada sepuluh tahun belum pernah injak pula kota Tjie-tjioe! Kecuali kami mempunyai
pedang-terbang, tidak nanti kami bisa rampas jiwa orang di tempat jauhnya ribuan lie!"
"Apakah ini benar?" Sin Tjie tegaskan.
Tong Hian tepuk batang lehernya.
"Kepalaku ada di sini!" ia jawab.
"Habis, dari mana datangnya pisau belati ini?" tanya Wan Djie.
"Jikalau sekarang aku berikan keteranganku, aku kuatir kamu tidak dapat mempercayai
aku!" sahut Tong Hian. "Sekarang mari aku ajak kamu beramai kesuatu tempat, di sana
kamu nanti Baru ketahui duduknya hal."
"Soeheng, jangan!" mencegah Bin Tjoe Hoa, yang agaknya jadi sangat gelisah.
"Wan Siangkong dan Nona Tjiauw ada sahabat-sahabat baik, sama sekali tidak ada
halangannya", bilang Tong Hian.
Bin Tjoe Hoa bungkam.
"Kemana kita pergi?" Wan Djie tanya.
Tong Hian Toodjin tidak segera menjawab, hanya ia kata "Aku cuma hendak ajak Wan
Siangkong berdua dengan kau saja, Nona Wan. Lebih banyak lagi, tak dapat!"
(Bersambung bab ke 20)
Orang-orang Kim Liong Pang lantas berseru-seru: "Dia hendak gunai tipu-daya keji,
jangan percaya dia! Jaga supaya jangan sampai dia kabur!"
Wan Djie tidak mau lantas dengar orang-orangnya itu.
"Bagaimana kau pikir, Wan Siangkong?" dia tanya Sin Tjie. Dia lebih percaya anak muda
ini.
Sin Tjie berpikir.
"Mestinya dua orang ini ada punya rahasia, baik kami ikut mereka, untuk mengetahui
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
duduknya hal yang sebenarnya. Apa mungkin mereka hendak gunai tipu-daya? Bisakah
mereka nanti loloskan diri dari tanganku?"
Lalu ia menjawab: "Mari kita pergi, untuk memperoleh penjelasan!"
Tjiauw Wan Djie segera menoleh kepada semua kawannya, untuk kata: "Aku beserta Wan
Siangkong, aku percaya mereka tidak nanti berani main gila!"
Sejak meninggalnya Tjiauw Kong Lee, semua orang Kim Liong Pang telah pandang Nona
Tjiauw sebagai gantinya ketua mereka. Mereka percaya nona ini, yang mereka pun
hormati, karena Wan Djie pintar dan bisa bawa diri. Mereka telah saksikan sendiri
bagaimana pandai si nona pimpin mereka untuk kepung-kepung musuh ini. Mereka juga
percaya Sin Tjie, yang kegagahannya dan kemuliaan hatinya mereka sudah buktikan
sendiri. Maka itu, mereka tidak bersangsi pula. "Baiklah," kata mereka.
"Mari kita pergi sekarang!" kata Tong Hian kemudian.
Dengan bertangan kosong, imam ini ajak soeteenya jalan di sebelah depan, di belakang
mereka, Sin Tjie mengikuti bersama Tjiauw Wan Djie. Mereka keluar dengan melompati
tembok.
Lebih dahulu daripada itu, Sin Tjie minta See Thiam Komg berempat pulang lebih dahulu
kehotel mereka, sedang orangnya Kim Liong Pang undurkan diri di bawah pim-pinannya
Gouw Peng, murid kepala dari Tjiauw Kong Lee.
Sin Tjie dan Wan Djie ikuti Tong Hian dan Tjoe Hoa menuju kearah utara, mereka jalan
sambil berlari-lari, menghampirkan tembok kota. Di sini imam itu keluarkan bandringan
gaetan, untuk membangkol tembok kota, dengan itu Wan Djie merayap naik paling dulu,
Baru Tjoe Hoa dan Sin Tjie. Paling akhir adalah si imam sendiri. Dari atas tembok, mereka
lompat turun kelain sebelah, untuk melanjutkan perjalanan mereka ke utara.
Ketika itu sudah tengah malam, rembulan bersinar sedang terangnya, cahayanya putihbersih
dan permai.
Perjalanan disini, makin jauh makin sukar. Setelah melalui empat-lima lie, Tong Hian dan
Tjoe Hoa mulai menindak naik ke sebuah tanjakan.
Heran juga Sin Tjie dan Wan Djie. Entah kemana mereka hendak diajak pergi. Mereka pun
pikir-pikir, sebenarnya mereka hendak diperlihatkan apa. Tapi mereka tak jeri, mereka
mengikuti terus. Mereka mendaki tanjakan untuk dua-tiga lie. Di sini tidak ada jalanan, dan
tanahnya penuh batu. Maka itu untuk bisa maju, mereka berlari-lari dengan ilmu entengi
tubuh. Saban-saban mereka injak batu besar, untuk dari situ lompat kelain batu besar lagi,
demikian seterusnya.
Belum sampai dipuncak tanjakan, Wan Djie sudah, bernapas sengal-sengal. Inilah
pengalaman hebat untuknya. Maka itu Sin Tjie cekal lengan orang.
"Mari aku bantu padamu!" kata pemuda ini.
Wan Djie tidak malu-malu palsu, ia kasi dirinya dibantui. Seperti tanpa merasa, ia lantas
bisa maju terlebih jauh. Kalau tadi mereka telah ketinggalan Tong Hian dan Tjoe Hoa,
sebentar saja mereka mendahului sampai dipuncak bukit.
Di sini keadaan tempat ada lebih berbahaya daripada ditengah jalan tadi dan suasana pun
menyeramkan, sebab di sana-sini kelihatan batu-batu besar yang berdiri bagaikan hantu
atau binatang buas, ada yang kecil-kurus mirip pedang atau tumbak...
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Sebentar kemudian, Tong Hian Toodjin dan Bin Tjoe Hoa dapat menyusul mereka sampai
dipuncak, Tong Hian mendahului menuju kebelakang setumpukan batu besar. Di sini dia
menjumput sepotong batu, yang ia ketoki ke sebuah batu besar sampai tiga kali. Ia
berhenti sedetik, lalu ia menyambungi, dua kali. Habis ini, ia mengulang mengetok lagi tiga
kali.
Setelah mengetok-ngetok tumpukan batu secara demikian, Tong Hian lantas bekerja, ialah
dengan kedua tangannya, ia angkat sesuatu batu yang menjadikan tumpukan itu, ketika ia
sudah singkirkan enam-tujuh potong, dibawah tumpukan itu tertampak sebuah peti mati
yang besar.
Wan Djie terkejut akan menampak peti mati itu, inilah tidak pernah ia sangka-sangka.
Suasana disitu memang sudah sangat menyeramkan.
Tong Hian bekerja lebih jauh, tanpa bantuan Bin Tjoe Hoa, yang berdiri diam saja
mengawasi dia. Dengan kedua tangannya, ia pegang tutup peti, lalu ia kerahkan
tenaganya, untuk angkat itu, hingga terdengarlah satu suara menjeblak yang keras.
Begitu lekas tutup peti terangkat ke belakang, menyusul suara menjeblak itu, didalam peti
bergerak satu tubuh, yang bangun untuk berduduk!
Wan Djie keluarkan seruan saking kagetnya.
"Hai, kamu ajak orang luar?" tiba-tiba si "mayat hidup" bertanya.
"Inilah dua sahabat baik," sahut Tong Hian dengan tenang. "Ini ada Wan Siangkong,
muridnya Kim Tjoa Long-koen, dan ini ada Nona Tjiauw, puterinja Soehoe Tjiauw Kong
Lee."
"Mayat hidup" itu lantas awasi kedua orang yang diperkenalkan itu.
"Maaf, djiewie," katanya. "Pintoo sedang terluka, tak dapat aku berbangkit...." Ia memberi
hormat.
Belum Sin Tjie bilang suatu apa, Tong Hian sudah mendahului.
"Inilah Toasoeheng kami Tjoei In Toodjin, yang mewariskan kedudukan ketua Boe Tong
Pay," demikian katanya. "Untuk menyingkir dari musuh, buat sekalian memelihara diri
toasoeheng sengaja berdiam di sini..."
Mengetahui orang bukannya "mayat hidup," Sin Tjie dan Wan Djie membalas hormat.
Imam itu manggut, untuk membalas.
Sin Tjie dan Wan Djie dapatkan wajah Tjoei In Toodjin pucat sekali, bagaikan kertas putih
saja, tanda luka kedapatan dari batas jidatnya sampai kebatang hidungnya. Luka itu
adalah luka belum terlalu lama. Tapak luka itu membuat romannya si imam jadi jelek dan
menyeramkan.
Sambil mengawasi, dua anak muda ini pun pikiri, kenapa untuk merawat diri dan
menyingkir dari musuh, imam ini sampai sembunyikan diri secara demikian macam.
Sekarang nampaknya imam itu berhati lega, bisa ia bersenyum.
"Dimasa hidupnya guruku, Oey Bok Toodjin," katanya, "dia bersahabat dengan Kim Tjoa
Long-koen, gurumu itu, Wan Siangkong. Ketika Hee Lootjianpwee datang ke Boe Tong
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
San, untuk merundingkan ilmu silat pedang, aku dapat kesempatan untuk melayani dia.
Apakah ada banyak baik lootjianpwee itu?"
Sin Tjie anggap tak usah ia sembunyikan apa-apa lagi.
"Guruku itu telah menutup mata," ia jawab.
Tjoei In Toodjin lantas saja menghela napas, ia terus berdiam, air mukanya menjadi suram
pula, tandanya ia berduka. Karena ini, semua orang turut berdiam.
"Ketika barusan Tong Hian Soetee menyebutkan siangkong adalah murid dari Kim Tjoa
Long-koen, aku girang bukan kepalang," kata pula si imam "mayat hidup" itu sesaat
kemudian. "Aku telah memikir, asal Hee Lootjianpwee suka turun tangan untuk membantu,
pastilah sakit hatinya guruku akan dapat terbalas. Ah, siapa sangka, Hee Lootjianpwee
telah meninggal dunia... Benar-benar aku kuatir orang jahat itu nanti malang-melintang
didunia ini tanpa ada orang yang sanggup mencegahnya!"
Didalam hatinya, Wan Djie kata : "Aku datang untuk urusan pembalasan sakit hati ayahku,
siapa tahu di sini muncul urusan sakit hati guru..."
Sin Tjie sebaliknya berpikir: "Siapa sih musuh mereka ini, yang agaknya demikian liehay,
hingga sampai, tanpa Kim Tjoa Long-koen, tidak ada orang lainnya lagi yang sanggup
mengendalikannya?"
Sampai disitu, Tong Hian Toodjin lantas bicara sama soehengnya, kakak seperguruan itu.
Dia tuturkan urusan pihak Kim Liong Pang menyeterukan Bin Tjoe Hoa.
"Aku minta soeheng suka menjelaskannya kepada Nona Tjiauw ini," katanya kemudian.
"Hai!" mendadak Tjoei In Toodjin berseru. Memangnya, selama memasang kuping, ia
sudah panas hatinya, makin mendengar, ia jadi makin gusar. Diakhirnya, tiba-tiba saja ia
ayun tangannya, ia hajar pinggiran peti mati.
"Prak!" demikian satu suara nyaring, dan peti itu sempal!
Sin Tjie terkejut dalam hatinya.
"Teranglah kepandaiannya imam ini jauh lebih tinggi daripada kedua soeteenya ini,"
pikirnya. "Dia berkepandaian begini liehay, kenapa dia sebaliknya sangat jeri terhadap
musuhnya, hingga ia rela sembunyikan diri di dalam peti ini bagaikan mayat saja?"
"Nona Tjiauw," Tjoei In kemudian kata kepada Wan Djie, "sukalah kau dengar
keteranganku. Adalah aturan di dalam kalangan Boe Tong Pay kami, sesuatu murid yang
telah lulus pelajarannya, hingga ia boleh turun gunung, ia selalu mesti dibekali sebilah
pisau belati oleh guru kami. Pintoo telah diangkat sebagai ketua Boe Tong Pay, untuk
menggantikan guru kami itu, benar kepandaianku tidak berharga, sampai pintoo mesti
menelan malu, merawat diri dengan sembunyi didalam peti mati secara begini, tetapi
terhadap sahabat-sahabat tak dapat pintoo omong dusta. Nona, tahukah kau, apa
keperluannya pisau belati kami itu?"
"Aku tidak tahu," Wan Djie menggeleng kepala.
Tjoei In Toodjin dongak, akan memandang si Puteri Malam, lalu ia menghela napas.
"Tjouwsoe kami dari tingkat ke-empatbelas ada Hie Hian Tootiang," berkata dia, melanjuti,
"kepandaian ilmu silat pedangnya tidak ada tandingannya di kolong langit ini, maka
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
sayang sekali, dia bertabeat keras dan jumawa juga, karenanya, tak sedikit sudah ia
membunuh orang, hingga tak sedikit musuh-musuhnya. Maka kejadianlah dia diundang
dalam satu rapat besar di atas gunung Heng San, di sini dia tempur jago-jago dari pelbagai
kaum, yang lawan ia secara bergiliran, maka walaupun dia berhasil merubuhkan delapanbelas
musuh, akhirnja ia sendiri kehabisan tenaga, dengan kesudahan ia mendapat lukaluka
parah. Setelah itu, dia gunai pisau belati, untuk membunuh diri, karena tak sudi dia
terbinasa di tangan musuh. Sejak kejadian itu, maka mulai Tjouwsoe kami yang kelimabelas,
Boe Tong Pay telah mengadakan aturan setiap lulusan murid dihadiahkan
sebilah pisau belati. Tong Hian Soetee, pergi kau kesana!"
Tjoei In menunjuk.
Tong Hian bingung, tetapi ia toh bertindak, sampai beberapa ratus tindak, diwaktu mana:
"Cukup!" sang soeheng bilang.
Soetee itu hentikan tindakannya
Tjoei In lantas memandang kepada Bin Tjoe Hoa.
"Bin Soetee," katanya dengan pelahan, "ketika soehoe hadiahkan pisau belati kepadamu,
apakah pesanannya?"
"Pesan soehoe adalah pantangan keras untuk membunuh karena urusan pribadi, bahwa
pisau belati itu mesti dirawat dan disimpan hati-hati," sahut Bin Tjoe Hoa. "Soehoe pesan,
apabila didalam satu pertempuran kita terang sudah tak dapat melawan lebih jauh, kita
mesti bunuh diri dengan pisau itu."
Tjoei In Toodjin manggut-manggut.
"Nah, pergilah kau kesana," menitah dia seraya menunjuk ke lain jurusan dari Tong Hian
Toodjin.
Bin Tjoe Hoa menurut.
Ketua Boe Tong Pay itu kemudian panggil balik pada Tong Hian Toodjin.
"Tong Hian Soetee," katanya, "ketika soehoe hadiahkan kau pisau belati, apakah
pesannya?"
Tong Hian unjuk sikapnya sungguh-sungguh.
"Itulah," sahutnya, "aku dilarang keras membunuh karena urusan pribadi, pisau mesti
dirawat dan disimpan hati-hati, apabila kita tak berdaya dalam satu pertempuran, dengan
pisau itu kita mesti bunuh diri!"
Soeheng itu manggut, lantas ia panggil balik pada Bin Tjoe Hoa.
Setelah adik seperguruan itu sudah datang dekat, Tjoei In pandang Sin Tjie dan Wan Djie.
"Sekarang tentu djiewie percaya bahwa Boe Tong Pay mempunyai pesan terakhir itu,"
katanya.." Maka juga orang-orang anggauta kita, tidak perduli bagaimana tersesatnya,
tidak nanti mereka gunai kay-sat-too untuk bunuh orang."
"Jadi pisau belati itu dinamakan kay-sat-too?" Sin Tjie tegaskan.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
"Kay-sat-too" berarti "pisau yang dilarang dipakai membunuh orang lain."
"Benar," Tjoei In Toodjin manggut. "Pisau belati adalah alat tajam untuk membunuh
manusia, akan tetapi sejak contoh dari Hie Hian Soe-tjouw itu, mulai soetjouw tingkat kelimabelas,
kami telah mengadakan aturan keras ini. Semenjak itu, apabila ada murid yang
hendak menyingkirkan orang jahat, dia Baru boleh lakukan itu setelah peroleh ijin dari
ketua, kecuali apabila dia kena dikepung dan terpaksa mesti membela diri. Apabila ada
murid yang lancang membunuh, tidak perduli si kurban bagaimana besar kejahatannya,
jikalau itu dilakukan tanpa perkenan atau setahu ketua, maka perkaranya itu mesti
ditangguhi sampai rapat besar di Boe Tong San yang biasa diadakan setiap dua tahun
sekali, diwaktu itu perkara bakal diperiksa dan diputuskan, siapa bersalah, dia mesti
bunuh dirinya dengan kay-sat-too itu. Ketika dahulu Bin Soetee hendak bunuh Tjiauw
Soehoe, untuk pembalasan sakit hati bagi kakaknya, ia telah peroleh perkenanku, akan
tetapi belakangan, setelah ketahuan dia telah dipermainkan oleh orang jahat, apabila
setelah itu dia masih membunuh juga Tjiauw Soehoe, maka dia telah langgar aturan kami!"
Imam ini menghela napas.
"Kay-sat-too adalah alat untuk membunuh diri sendiri," ia menambahkan, menjelaskan,
"Umpama ada murid Boe Tong Pay yang menghadapi musuh tangguh, hingga tak
sanggup dia melawannya, dan musuh itu masih terus mendesak dia, sampai dia tak bisa
loloskan diri lagi, maka dia mesti gunai pisau belati ini, untuk membunuh diri, supaya
dengan begitu bisa dicegah rubuhnya nama baik dari Boe Tong Pay. Mengenai Bin Soetee
ini, diumpamakan benar dia sudah langgar pesan, akan tetapi dikolong langit ini ada
banyak macam senjata lain, mengapa dia demikian tolol hingga dia sudah menggunakan
kay-sat-too? Dan kenapa, sesudah dia melakukan pembunuhan, dia masih tidak bawa
kabur pisau belatinya itu?"
Mendengar ini, Sin. Tjie dan Wan Djie manggut-manggut.
"Nona Tjiauw, aku akan kasikan kau sepucuk surat," kata Tjoei In Toodjin.
Dari dalam peti, imam ini angkat satu bungkusan, yang ia terus buka, disitu ada sesusun
surat-surat tapi ia hanya ambil satu di antaranya, yang ia terus angsurkan kepada si nona.
Wan Djie berpaling kepada Sin Tjie. Anak muda kita manggut, maka ia lantas sambuti
surat itu dari tangan si imam. Diantara cahaya rembulan, ia baca alamat dan alamat si
pengirim. Itulah surat dari Bin Tjoe Hoa untuk Tjoei In Toodjin, sang soeheng. Ia lantas
tarik keluar suratnya, yang kertasnya ada kertas-tulis dari hotel "Thong Siang" di Pangpouw,
ia beber itu, untuk dibaca.
Huruf-huruf tidak keruan, tata-bahasanya pun kalut. Ia terus baca:
"Tjoei In Toasoeheng yth.,
Dalam perkara dengan Tjiauw Kong Lee, Baru sekarang siauwtee ketahui bahwa siauwtee
telah dipermainkan orang. Sudah begitu, apa celaka tadi malam pun siauwtee punya kaysat-
too telah dicuri orang jahat. Siauwtee merasa malu sekali karena kecurian ini. Maka,
kalau tak berhasil siauwtee mencari pulang pisau itu, tidak ada muka siauwtee akan
menemui pula Toasoeheng.
Harap Toasoeheng mengetahui adanya.
Hormat dari siauwtee, Bin Tjoe Hoa."
Bergemetar kedua tangannya Wan Djie setelah ia membaca habis, lantas saja ia berbalik
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
untuk menghadapi Bin Tjoe Hoa, buat memberi hormat sambil menjura.
"Bin Siok-hoe," katanya, "aku telah keliru menyangka kepada kau, aku telah berbuat
kurang ajar terhadapmu..."
Lantas ia pun memberi hormat pada Tong Hian Toodjin.
Soeheng dan soetee itu lekas-lekas balas kehormatan itu.
"Entah bangsat anjing yang mana sudah curi pisauku ini yang ia pakai membunuh Tjiauw
Soehoe," kata Tjoe Hoa kemudian. "Dia telah tinggalkan pisau ini, terang maksudnya
supaya ia bisa timpahkan kedosaan atas diriku."
"Ya, aku semberono sekali, tak sampai aku memikir kesitu," Wan Djie akui. "Aku tadinya
kira, setelah Bin Siok-hoe bunuh ayahku, kau sengaja tinggalkan pisau itu, untuk
banggakan bahwa kau adalah satu laki-laki sejati."
"Sebenarnya bersama-sama Tong Hian Soeheng, aku telah cari pisau itu kemana-mana,"
menerangkan Bin Tjoe Hoa, "sampai sebegitu jauh belum pernah kami peroleh endusan.
Belakangan kami terima surat dari Toasoeheng, yang memanggil kami datang ke kota raja,
maka itu, kami lantas berangkat menuju kemari; adalah diluar sangkaanku, di sepanjang
jalan, kami dipegat dan dirintangi oleh rombongan kau, Nona Tjiauw, sampai tadi kamu
telah kepung aku. Syukur ada Wan Siangkong, maka sekarang urusan telah menjadi
terang."
Sin Tjie merendahkan diri, tak mau ia menerima pujian.
"Sekarang tunggulah sampai aku sudah sembuh dan urusanku telah dapat dibereskan,"
kata Tjoei In Toodjin kemudian, "selama itu, asal ada untung hingga jiwaku masih ada, aku
nanti bantu kau, Nona Tjiauw, untuk cari si pencuri kay-sat-too, yang telah bunuh ayahmu
itu."
Kembali Wan Djie memberi hormat seraya haturkan terima kasih pada imam ketua dari
Boe Tong Pay itu, kemudian ia pulangkan kay-sat-too pada Bin Tjoe Hoa.
Sin Tjie bisa duga, soeheng dan soetee itu bertiga tentu bakal berempuk, untuk
mendamaikan urusan mereka; yang mestinya ada satu rahasia untuk pihak luar, hingga
tak dapat ia mencampurinya, dari itu ia ajak Wan Djie untuk memberi hormat kepada
mereka itu.
"Ijinkan kami undurkan diri!" kata pemuda kita, yang terus memutar tubuh, untuk berjalan
pergi.
"Djiewie, tunggu dulu!" tiba-tiba berseru Tong Hian Toodjin, selagi dua orang itu Baru
jalani beberapa ratus tindak.
Sin Tjie dan Wan Djie lantas merandak.
Tong Hian berlari-lari, untuk menghampirkan.
"Wan Siangkong, Nona Tjiauw," kata imam ini, "ada satu hal untuk mana aku hendak
memohon, tapi lebih dahulu aku harap kamu tidak buat kecil hati..."
"Bicaralah, tootiang," Sin Tjie jawab.
"Aku ingin bicara hal kami disini," kata Tong Hian. "Kami mohon supaya siangkong
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
berdua tidak sampai membocorkannya. Tidak selayaknya aku banyak omong, akan tetapi
urusan mengenai keselamatan jiwa soehengku, terpaksa aku majukan juga permohonan
ini kepada djiewie..."
Tentu saja Sin Tjie mengerti kebiasaan kaum kang-ouw, untuk tidak banyak omong
mengenai rahasia dari masing-masing partai, dan ia pun mengerti, urusan mesti sangat
penting maka Tong Hian sampai berikan pesannya itu. Urusan mereka itu tidak mengenai
urusannya sendiri, Sin Tjie tidak berkeberatan untuk berikan janjinya. Tapi barusan ia
saksikan ketangguhan tangan dari Tjoei In Toodjin, ia jadi ketarik. Ia bersimpati kepada
imam itu.
"Sebenarnya saudaramu itu sedang menghadapi urusan besar bagaimana?" ia tanya.
"Aku tidak punya pengertian apa-apa akan tetapi suka aku memberikan bantuan sebelah
lenganku."
To-ng Hian tahu pemuda ini liehay sekali, yang pasti melebihkan juga toasoehengnya,
maka mendengar perkataan itu, ia girang sekali.
"Siangkong sudi membantu kami, ini adalah hal yang untuk memintanya pun kami tidak
berani," ia lekas bilang. "Baik, aku nanti beritahukan dulu toasoeheng."
Dengan lantas Tong Hian lari kepada Tjoei In, untuk menyampaikan tawaran Sin Tjie, hal
mana, Tjoei In Toodjin segera damaikan bersama Tjoe Hoa juga. Agaknya urusan ada
ruwet, sampai sekian lama masih belum ada keputusannya.
"Tentu ada keberatannya bagi mereka, tak suka mereka orang luar campur tahu urusan
mereka, baiklah aku tidak memaksa," pikir Sin Tjie. Maka ia lantas kata dengan nyaring:
"Djiewie tootiang, saudara Bin ijinkan aku berangkat lebih dulu! Sampai ketemu pula!"
Bersama Wan Djie, ia angkat tangan, untuk memberi hormat, setelah itu mereka memutar
tubuh. Tapi, belum sampai mereka bertindak, Tjoei In Toodjin sudah memanggil. "Wan
Siangkong, mari sebentar, mari kita bicara!"
Sin Tjie terima baik undangan itu, ia kembali kepada mereka.
"Wan Siangkong sudi membantu kami, kami bertiga sangat bersyukur," berkata ketua dari
Boe Tong Pay itu. .Akan tetapi baiklah kami menjelaskannya. Urusan kami adalah urusan
pribadi dan bahayanya pun sangat besar, karena mana dengan sesungguhnya, tak ingin
kami bahwa Wan Siangkong, dengan tak ada sebab-musababnya, nanti kena kerembetrembet
dan mendapat kesukaran karenanya. Maka itu kami mohon supaya Siangkong
jangan jadi kecil hati dan jangan mengatakan kami tidak tahu diri...."
Habis berkata, imam itu menjura dengan dalam.
Sin Tjie percaya orang bicara dengan jujur, ia tidak berkecil hati, sebaliknya, ia puji imam
ini.
"Jangan menyebut demikian, tootiang," ia bilang. "Jikalau demikian tootiang bilang, baik,
ijinkan kami berlalu. Tapi ingin aku menerangkan, andaikata dibutuhkannya, umpama
uang, Baru jumlah sepuluh laksa tail saja, sanggup aku menyediakannya, sedang dalam
hal tenaga, dapat aku mengumpulkan saudara-saudaraku dari enam atau tujuh propinsi.
Apabila ada surat-surat, tolong tootiang segera kirim itu kepada kami di gang Tjeng-tiauwtjoe."
Mendengar itu, Tjoei In Toodjin berdiam, lalu ia menarik napas panjang.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
"Wan Siangkong, sungguh mulia hatimu," kata dia kemudian. "Sebenarnya urusan kami
sangat memalukan, akan tetapi, apabila tetap kami menutupinya, benar-benar kami jadi
tidak menghargai sahabat-sahabat sejati. Djiewie, silahkan duduk! Tong Hian Soetee,
silahkan kau menjelaskannya."
Tong Hian tunggu sampai itu pemuda dan pemudi telah duduk di batu, ia pun cari sebuah
batu lagi, untuk duduk diatasnya.
"Guru kami, Oey Bok Toodjin tak betah berdiam saja, ia gemar sekali pesiar," lantas imam
itu mulai dengan keterangannya, "maka itu kecuali satu kali setiap dua tahun, di waktu
rapat besar di Boe Tong Sam, jarang sekali ia berada di gunung. Pada lima tahun yang
lampau musim Rontok ada saat untuk rapat besar dua tahun sekali itu, ketika itu soehoe
tidak pulang, dia juga tidak mengirimkan surat pemberian tahu. Hal itu adalah hal yang
belum pernah terjadi. Semua murid menjadi heran dan berkuatir. Apa yang kau tahu, kali
itu soehoe pesiar ke Selatan untuk sekalian mencari bahan obat-obatan. Dengan segera
kami memecah diri, untuk mencari, ke Inlam, Kwietjioe, Kwiesay dan Kwietang. Sampai
lama, masih kami tidak peroleh kabar suatu apa. Kemudian adalah aku yang bersama Bin
Soetee menerima kabar panggilan dari Twie-hong kiam Ban Hong. Dia itu adalah dari
partai Tiam Tjhong Pay di Tay-lie. Ketika pada suatu hari kami sampai di rumah Ban
Toako, dia bilang ada urusan sangat penting. Berdua kami segera berangkat ke Tay-lie.
Ketika pada suatu hari kami sampai dirumah Ban Toako, dia sedang rebah dipembaringan
karena luka hebat. Baru setelah kami menanyakan sebabnya Ban Toako terluka, kami
mendapat tahu bahwa itu disebabkan urusan guru kami."
Mendengar sampai di sini, Sin Tjie segera ingat keterangannya Thia Tjeng Tiok bahwa Oey
Bok Toodjin telah terbinasa di tangannya kaum Ngo Tok Kauw. Diam-diam dia manggut.
"Menurut Twie-hong-kiam Ban Toako itu," Tong Hian Toodjin melanjuti, "ketika hari
kejadian itu, dia pergi keluar kota untuk mengunjungi satu sahabatnya, di luar kota itu
dengan kebetulan ia saksikan soehoe sedang dikepung oleh sejumlah orang. Antara Tiam
Tjhong Pay dan Boe Tong Pay terdapat hubungan yang erat sekali, dari itu Ban Toako
tidak bersangsi akan segera hunus pedangnya akan bantui soehoe. Diluar sangkaan,
pihak musuh liehay sekali, walaupun berdua, tak dapat Ban Toako berbuat suatu apa,
malah segera dialah yang terluka paling dulu, hingga dia rubuh pingsan. Belakangan
Barulah ada orang yang tolongi Ban Toako, buat dibawa pulang. Mengenai soehoe,
ketenangan rada gelap, tak ada yang tahu ia masih hidup atau sudah mati, tak tahu dia
pergi atau dibawa kemana. Ban Toako terluka dipundak dan iganya, bekas cengkeraman
kuku-kuku besi, lukanya sangat hebat. Kami semua percaya dia terluka oleh orang-orang
Ngo Tok Kauw. Syukur untuk Ban Toako, ia bertemu sama tabib yang liehay, hingga
jiwanya ketolongan. Pihak kami. semua tiga-puluh-dua murid, lantas dikirim ke Inlam,
untuk cari soehoe, untuk sekalian cari Ngo Tok Kauw guna mencari balas. Sudah empat
tahun kami mencari terus-terusan, tidak juga kami peroleh hasil, tetap tak ada kabar
tentang soehoe, tidak ada endusan mengenai Ngo Tok Kauw. Setelah lebih dari tiga tahun,
kami meninggalkan wilayah Inlam. Barulah paling belakang ini, kami dengar selentingan
dari Utara bahwa rombongan dari Ho Tiat Tjhioe, kauwtjoe dari Ngo Tok Kauw, telah
datang berbondong ke Pakkhia...."
"Oh...." Sin Tjie perdengarkan suara tertahan.
Tong Hian heran.
"Apakah Wan Siangkong kenal kauwtjoe itu?" tanyanya.
"Baru saja kemarin beberapa sahabatku menjadi kurbannya mereka punya tangan-tangan
yang jahat," jawab Sin Tjie. "Aku sendiri turut terlibat dalam pertempuran itu."
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
"Apakah tak berbahaya sahabat-sahabatmu itu?" Tong Hian tanya pula.
"Syukur, semua telah bebas dari ancaman malapetaka," sahut Sin Tjie.
"Sungguh beruntung!" Tong Hian memuji. Lalu ia meneruskan penuturannya: "Begitu
lekas kami dengar warta itu, toasoeheng lantas keluarkan perintah untuk semua murid
Boe Tong Pay kumpul di Pakkhia. Adalah karena ini, ditengah perjalanan, kami telah
bertemu sama nona Tjiauw serta sekalian saudara-saudara dari Kim Liong Pang. Tentang
ini, tak usah aku menceritakannya pula. Toasoeheng sampai terlebih dahulu daripada kita,
kebetulan sekali, dia lantas bertemu sama Ho Tiat Tjhioe. Selama pembicaraan,
perempuan hina itu mencuci diri bersih sekali, katanya belum pernah dia bertemu sama
soehoe. Dimana pembicaraan tidak berjalan lancar, pertarungan menggantikannya.
Perempuan hina itu benar-benar liehay. Karena kurang waspada, jidat toasoeheng kena
kegaruk gaetan besi tangan kiri dari musuh, lalu tubuhnya terserang lima potong senjata
rahasia. Perempuan itu tahu baik, gaetannya, senjata rahasianya, ada racunnya, dia duga
toasoeheng bakal tidak hidup lebih lama, sambil tertawa menghina, ia ajak kawankawannya
angkat kaki. Toasoeheng mempunyai lweekang yang sempuma, dia juga bekal
banyak macam obat untuk punahkan segala rupa racun, malah sebelumnya dia bertempur,
dia sudah makan obat-obat pencegahan, maka itu, meskipun dia telah terluka, dia bisa
obati dirinya sendiri, hingga karenanya tak usahlah dia nampak bahaya maut."
Tjoei In Toodjin menghela napas.
"Pintoo kuatir dia mendapat tahu pintoo tidak mati," katanya, "pintoo kuatir dia nanti
datang pula untuk ulangi serangannya, dari itu tak berani pintoo ambil rumah penginapan,
dengan terpaksa pintoo cari tempat perlindungan ini, untuk sekalian merawat diri. Aku
percaya, selang lagi tiga bulan, sisa racun dalam tubuhku akan sudah dapat dibikin bersih.
Mengenai guru kami, pintoo percaya bahwa benar soehoe telah terbinasa ditangannya
perempuan busuk itu, hingga sakit hati itu tak dapat tidak dibalas. Sayang sekali musuh
kami liehay luar biasa. Inilah sebabnya, siangkong, mengapa kami segan merembetrembet
sahabat baik dalam urusan kami ini..."
"Wan Siangkong," Bin Tjoe Hoa menyela, "apa sebabnya maka pihakmu pun bentrok sama
Ngo Tok Kauw?"
Sin Tjie jawab pertanyaan ini dengan keterangan mulanya ia dan Tjeng Tjeng bertemu
sama si pengemis tukang tangkap ular, Tjeng Tiok dilukai oleh si pengemis wanita tua,
sampai mereka dikepung didalam balai istirahatnya Pangeran Seng Ong.
"Kalau begitu, Wan Siangkong, permusuhanmu dengan Ngo Tok Kauw tidak hebat," kata
Tjoei In Toodjin, "pun tidak apalah yang pihakmu nampak kerugian kecil. Kau ada sangat
berharga, selanjutnya tidak ada perlunya untuk kamu berurusan lebih jauh dengan bangsa
telengas itu yang bagaikan ular dan kelabang ganasnya."
Sin Tjie anggap kata-katanya imam ini benar adanya. Bukankah ia sendiri sedang
mengandung sakit hati ayahnya? Bukankah iapun bertugas berat untuk membantu Giam
Ong membela negara? Memang, urusan kang-ouw itu boleh dikesampingkan dulu, urusan
itu sukar menemui penyelesaiannya.
"Tootiang benar," kata ia sambil manggut. "Di sini aku mempunyai mustika, mari aku coba
menolongi tootiang membersihkan racun pada luka-lukamu itu."
Tjoei In Toodjin suka terima pertolongan itu, maka Tong Hian dan Tjoe Hoa segera bantui
ia, untuk keluar dari dalam peti-mati itu.
Sin Tjie lantas keluarkan mustikanya, ia tempel itu pada luka-lukanya si imam. Baru saja
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
satu kali sedot, si imam sudah merasa ringan sakitnya.
Disitu tidak ada arak, untuk dipakai merendam mustika, sebaliknya, Tjoei In membutuhkan
mustika itu terlebih jauh, karena terpaksa, Sin Tjie serahkan mustikanya pada Tong Hian
seraya ajari bagaimana mustika itu mesti saban-saban direndam dalam arak, untuk bisa
sedot bersih semua sisa racun.
"Kalau sudah dipakai, Baru kau nanti antarkan itu kembali padaku," ia pesan.
Tong Hian terima itu sambil mengucap terima kasih, iapun menjura berulang-ulang.
Sampai disitu, mereka berpisahan.
Sm Tjie ajak Wan Djie jalan turun bukit dengan perlahan-lahan.
Baru jalan kira-kira setengah, tiba-tiba Wan Djie berhenti, akan duduk atas sebuah batu,
terus ia nangis dengan perlahan.
"Kenapa, nona?" tanya Sin Tjie kaget. "Apakah kau kurang sehat?"
Wan Djie menggeleng kepala, ia susuti air matanya, lantas ia bangun untuk berdiri, akan
jalan pula, seperti tidak ada terjadi suatu apa.
Sin Tjie tidak menanya lebih jauh, akan tetapi ia sudah mengerti. Tentulah si nona
bersedih karena musuhnya tak dapat dicari karena "musuh" Boe Tong Pay berubah
menjadi sahabat, dia sangat cerdas, bisa sekali dia menguasakan diri. Maka ia jadi sangat
kagum.
Terus mereka pulang, ketika mereka sampai didalam kota, langit sudah mulai terang. Nona
ini masih muda sekali, toh langsung Sin Tjie antar si nona kepondokannya, sesudah mana
Baru ia menuju pulang kerumahnya didalam gang Tjeng-tiauw-tjoe. Ia gunai ilmu
entengkan tubuh, karena ia berjalan diatas genteng dari banyak rumah orang, ia lompati
pelbagai gang. Ia ingin lekas sampai. Dalam gembiranya, ia telah gunai Bhok Siang
Toodjin punya ilmu entengkan tubuh "Pek pian kwie eng," hingga ia bisa bergerak dengan
sangat gesit dan cepat.
"Sungguh suatu kepandaian luar biasa!" sekonyong-konyong Sin Tjie dengar pujian selagi
ia berlari-lari terus. Sekejab saja, ia berhenti berlari, menyusul mana, satu bajangan putih
melesat lewat disampingnya sebelah kiri.
"Apakah dapat kau kejar aku?" demikian ia dengar pula.
Itulah suara si bajangan, yang bicara sambil tertawa. Sedetik saja, bajangan itu sudah
lewat tujuh atau delapan tumbak jauhnya. Itulah gerakan tubuh sebat luar biasa.
"Siapakah dia ini?", pikir pemuda kita, yang kaget dan heran dengan berbareng. "Kenapa
ilmu entengkan tubuhnya begini sempurna?"
Karena ia ingin tahu, Sin Tjie batal pulang, ia lantas lompat, untuk mengejar.
Bajangan di depan itu kabur terus, tanpa menoleh lagi.
Biar bagaimana, ilmu entengkan tubuh dari Sin Tjie ada setingkat lebih tinggi, belum
terlalu lama, ia dapat menyusul, maka ia melombai, sampai beberapa tumbak, Baru ia
berhenti, akan putar tubuh, untuk menunggu.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Bajangan itupun berhenti berlari, ia tertawa haha-hihi.
"Wan Siangkong, kali ini Baru aku takluk padamu!" katanya.
Sin Tjie lihat seorang dengan tangan baju panjang, bajunya indah, tubuhnya langsing
bagaikan cabang bunga. Dia itu adalah Ho Tiat Tjhioe, kauwtjoe dari Ngo Tok Kauw, yang
dandan serba putih. Cuma sepatunya berwarna hitam mulus.
Adalah kebiasaan dalam kalangan Rimba Persilatan, orang keluar dengan pakaian serba
hitam atau abu-abu, supaya pakaiannya samar-samar ditempat gelap, supaya kalau ada
serangan senjata rahasia, tubuhnya bisa seperti menghilang. Tapi nona ini memakai serba
putih, jikalau dia tidak liehay tidak nanti dia dandan secara begini menantang.
Sambil mengawasi, Sin Tjie memberi hormat.
"Ho Kauwtjoe, ada pengajaran apakah darimu untuk aku?" tanyanya.
Kepala agama itu tertawa manis.
"Ketika kemarin ini Wan Siangkong berkunjung kepadaku, di sana ada banyak sekali
orangku, yang seperti merintangi kita, yang memecah pemusatan pikiran kita, hingga
karenanya, tak dapat kita berdua mendapatkan keputusan, siapa terlebih tinggi, siapa
terlebih rendah," jawab dia, "maka itu sekarang ini sengaja siauwmoay datang kemari
untuk memohon pengajaran beberapa jurus dari siangkong..."
Kembali ia bahasakan dirinya "siauw moay", adik perempuan. Dan habis berkata-kata, ia
bersenyum-senyum pula. Ia bicara dengan halus, gerak-gerik tubuhnya pun halus dan
menarik hati.
"Orang dengan kepandaian tinggi sebagai kauw-tjoe didalam kalangan pria pun jarang
sekali ada," Sin Tjie bilang. "Kagum sekali aku terhadap kepandaian kauwtjoe itu."
Masih si nona tertawa.
"Kemarin ini siangkong perlihatkan kepandaianmu dengan tangan kosong," katanya,
"pukulan-pukulanmu itu telah membawa angin yang menyambar-nyambar, sampai siauwmoay,
yang tenaganya tidak cukup, tidak berani menyambutnya. Bagaimana kalau
sekarang kita main-main dengan senjata tajam?"
Dan tak tunggu jawaban lagi, nona ini meraba kepinggangnya, begitu lekas ia menarik
kembali tangannya, bersama itu tertarik keluar sebatang djoan-pian, ruyung lemas seperti
tungkat panjang, yang sebagian batangnya mempunyai gaetan-gaetan halus, maka siapa
tak beruntung terkena ruyung itu, mesti - sedikitnya - dagingnya bakal terbetot sepotong
demi sepotong.
"Wan Siangkong, inilah yang disebut Kat bwee-pian," kata si nona, yang perkenalkan
ruyungnya sebagai ruyung Ekor Kala. "Diujung semua duri ini ada racunnya, maka itu,
harus siangkong berlaku waspada sekali. Sudah siapkah?"
Mau atau tidak, dalam hatinya, Sin Tjie bergidik.
Begitu merdu suara si nona, begitu manis lagunya, demikian cantik-molek orangnya, siapa
sangka, sikapnya sebaliknya sangat ganas. Itulah suatu hal yang sangat bertentangan
satu dengan lain!
Tentu saja tak sudi Sin Tjie melayani ular cantik Ini. Maka ia segera rangkap kedua
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
tangannya, untuk memberi hormat.
"Maaf!" katanya seraya ia hendak memutar tubuh, untuk undurkan diri.
Ho Tiat Tjhioe tidak tunggu orang pergi, dengan sebat ia menyabet dengan djoanpian
istimewanya itu, berbareng mana, sambaran anginnya sampai terdengar nyata.
Rupanja Sin Tjie telah bisa menduga, maka atas datangnya serangan, kepada dadanya, ia
segera mengelak sambil bersenyum, hingga serangan melewati sasarannya, menyusul
mana, ia berlompat mundur, untuk lompat terus, hingga sekejab saja, ia sudah jauhkan diri
beberapa tumbak.
Ho Tiat Tjhioe pasti merasa ia tidak bakal sanggup susul si anak muda, dari itu ia
perdengarkan suaranya yang nyaring: "Begini saja muridnya Kim Tjoa Long-koen?
Sungguh dia membikin merosot derajat gurunya, yang namanya sangat kesohor! Ha-haha!"
Diperhina secara demikian, Sin Tjie melengak
"Senantiasa aku mengalah saja, dia rupanya jadi kepala besar?" demikian ia pikir. "Kaum
Ngo Tok Kauw ini jumawa sekali! Apakah mungkin aku jeri terhadapnya?"
Karena memikir demikian, Sin Tjie berdiri diam, ketika ini digunai si nona, untuk
berlompatan menyusul dia, malah segera, berbareng sama berkelebatnya cahaya putih,
nona itu menyambar dengan ruyungnya.
Sin Tjie kerutkan alis.
"Kenapa dia menggunai senjata terkutuk ini?" pikir dia. "Dia begini eilok, kenapa dia
tersesat?"
Ia lantas saja berkelit, untuk menyingkir dari serangan itu.
Oleh karena lawan menggunai senjata yang banyak durinya dan beracun juga, Sin Tjie
tidak berani melayani sebagaimana biasanya ia melawan musuh bersenjata dengan tangan
kosong, tapi juga ia tidak mau lekas-lekas gunai senjatanya, dari itu, ia berkelahi dengan
kedua kepalannya dikasi masuk dalam ujung tangan bajunya. Ia berkelahi dengan
senantiasa berkelit dari sesuatu serangan, untuk ini ia andalkan kelincahannya.
Ho Tiat Tjhioe gesit sekali, cepat sesuatu serangannya, akan tetapi kemplangannya,
sabetannya, ataupun sodokannya, tidak pernah mengenai sasarannya, malah melanggar
ujung baju pun tidak bisa.
Dua-puluh jurus telah dikasi lewat dengan cepat, tidak pernah Ho Tiat Tjhioe peroleh hasil,
akhirnya ia jadi sengit nampaknya, hingga ia menegur: "Kau main berkelit saja, apakah
kau masih terhitung satu hoohan?"
Sin Tjie tertawa.
"Bukankah kau hendak bikin panas hatiku, supaya aku rampas senjatamu?" ia tegaskan.
"Itulah tak sukar!"
Pemuda ini segera jumput dua potong genteng, yang ia pegang dengan masing-masing
sebelah tangannya. Ia masih berkelit saja, tapi kali ini ia memasang mata kepada
djoanpian orang itu.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
"Lepas ruyungmu!" tiba-tiba ia berseru membarengi iapunya dua potong genteng yang
dipakai menyambut ujung ruyung yang dipakai menyerang kepadanya, sambil terus ia
membetot, sementara kaki kanannya diangkat, untuk dupak kakinya si nona.
Kaget Ho Tiat Tjhioe. Tidak ia sangka, musuhnya demikian liehay.
Tentu saja ia menjadi repot. Mana ia hendak tarik pulang ruyungnya, mana ia hendak
lindungi kakinya. Ia lantas lepaskan ruyungnya sambil mundur. Tapi ia telah berdiri di
pinggiran genteng, inilah ia tidak ketahui, tidak ampun lagi ia kejeblos, tubuhnya turut
melayang jatuh kebawah!
Sin Tjie cekal ruyung orang, ia tertawa,
"Bagaimana kau lihat muridnya Kim Tjoa Long-koen?" tanyanya.
"Bagus!" seru si nona selagi tubuhnya jatuh. Benar-benar dia gesit luar biasa, sebab
begitu mengenai tanah - ia tidak rubuh, hanya dapat menaruh kaki - tubuhnya sudah
mencelat pula naik keatas genteng!
Menampak ini, meski juga ia sendiri sangat liehay, Sin Tjie kagum tidak kepalang.
"Sekarang aku hendak belajar kenal sama senjata rahasiamu, Wan Siangkong," kata pula
si nona, yang sangat bandel. "Kami dari kaum Ngo Tok Kauw ada punya pasir Tok-siamsee...."
Itulah "pasir kodok beracun"...
Sin Tjie dengar suara orang yang nyaring tetapi empuk, ia tidak dapat lihat orang
mengayun tangan, tapi tahu-tahu di hadapannya ada berkelebat sinar-sinar kuning emas,
hingga ia jadi sangat kaget. Ia insyaf, itulah senjata rahasia si nona. Dalam keadaan
terhimpit seperti itu, ia lantas apungi tubuhnya, akan berlompat tinggi!
Segeralah terdengar suara merotok pelahan diatas genteng, itulah senjata rahasianya Ho
Tiat Tjhioe, diapunya "pasir pasir" yang beracun, sedikitnya belasan biji. Sebenarnya itu
bukannya pasir tulen, itu adalah jarum baja halus, yang digunainya bukan dengan
disambitkan. Jarum-jarum itu termuat dalam satu pipa atau bungbung, yang dia cantel di
dadanya. Untuk kasi kerja itu, cukup asal dengan tangan kanannya dia tepuk pinggangnya
dimana ada dipasang alat rahasianya. Untuk melepaskan jarum ini, iapun tak usah main
mengincar lagi, cukup asal dia berdiri menghadapi sasarannya. Jadi senjata ini beda
dengan senjata rahasia lainnya yang memerlukan ayunan tangan. Maka tidak heran kalau
Sin Tjie terkejut. Memangnya hampir tak ada orang yang ketahui, kauwtjoe dari Ngo Tok
Kauw ini mempunyai semacam senjata rahasia.
Akan tetapi pemuda kita juga tidak diam saja, selagi dia berlompat, belum sampai
tubuhnya turun pula, tangannya telah diayun, tiga biji caturnya dikasi menyambar kearah
jalan darah yang lemah dari si nona. Dan ia pun sambil membentak: "Aku tidak bermusuh
denganmu, kenapa kau berlaku begini telengas?"
Ho Tiat Tjhioe berkelit untuk dua biji catur, sedang yang ketiga ia sambut dengan
tangannya.
"Ayo, sungguh liehay!" dia menjerit. "Sakit tanganku!...."
Lalu, dengan melihat turunnya tubuh, ia balas menyerang dengan biji catur itu.
Sin Tjie lihat serangan itu, tangannya si nona toh diayun. Ia bisa duga, serangan pasti tak
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
kena. Tadinya ia niat sambuti biji caturnya itu, tetapi sekicapan mata ia ingat, mungkin
tangannya si nona ada racunnya, maka ia lantas gunai tangan bajunya, untuk menyampok,
hingga biji catur terlempar kesamping.
Habis menyerang dengan biji catur itu, Ho Tiat Tjhioe tidak berhenti untuk beristirahat, dia
hanya masuki sebelah tangannya kedalam sakunya. Ketika ia sudah tarik itu keluar, ia
terus ayun itu. Maka lantas, belasan tali yang bukan tali sutera atau tali air emas,
menyambar kearah kepalanya si anak muda, yang hendak ditungkrap!
"Hebat!" pikir Sin Tjie, yang terus waspada untuk orang punya pelbagai alat yang ada
racunnya. Karena ia tidak mau menyingkir, ia ajun djoanpian lawannya, untuk dipakai
menangkis serangan tali-tali istimewa itu.
Sebat luar biasa, Ho Tiat Tjhioe tarik pulang tali-talinya itu. Iapun tertawa.
"Kat-bwee-pian itu ada kepunyaanku!" katanya. "Kau pakai senjataku itu, kau malu atau
tidak?"
Teranglah nona ini mengejek. Pun terang juga iapunya lagu-suara orang Inlam asli.
Sin Tjie lemparkan djoanpian keatas wuwungan.
"Jikalau aku bisa rampas beberapa lembar talimu itu, maukah kau berjanji yang kau
bersama semua orang Ngo Tok Kauw tidak akan grembengi aku pula?" tanya dia.
"Inilah bukannya tali," sahut si nona. "Inilah tali yang terlalai dari galagasi si kawa-kawa.
Jikalau kau menghendaki untuk merampas, silakan, kau boleh coba!"
Nona itu menantang, dengan talinja itu ia segera menyambar, kearah pinggang si anak
muda.
Sin Tjie segera berkelit, ia niat menyambar benang itu tapi ia batalkan niatnya dengan tibatiba.
Sebab tiba-tiba saja ia ingat pada racun!
Ho Tiat Tjioe melanjuti serangannya, berulang-ulang, atas mana, si anak muda melayani
terus dengan unjuk kegesitannya, yaitu ia senantiasa main berkelit, ke samping atau
mundur, secara begini ia bisa berbareng perhatikan gerak-gerik orang. Nona itu hebat
menyerangnya, pandai juga pembelaannya.
Selang sepuluh jurus, Sin Tjie berpikir: "Ngo Tok Kauw gemar memelihara binatangbinatang
beracun, antaranya kawa-kawa, sekarang permainan silat tali si nona ini mirip
dengan terkaman-terkamannya sang kawa-kawa itu. Bisa sekali ia menelad kawa-kawa,
untuk menciptakan ilmu silat ini."
Lantas pemuda ini menunggu ketika lowongan, untuk turun tangan.
Segera datang saatnya Ho Kauwtjoe menyerang secara hebat, apabila si anak muda
berkelit ke samping, serangannya gagal, tangannya terlonjor kedepan. Inilah ketikanya Sin
Tjie, sebelum orang sempat perbaiki diri, ia maju, untuk merangsak, guna totok iga si
nona. Ho Tiat Tjhioe tampak ia terancam bahaya, tidak sempat ia menarik pulang
senjatanya, maka untuk tolong diri, ia egos tubuhnya kesamping.
Dengan tiba-tiba saja muka Sin Tjie merah sendirinya, ia tidak sangka serangannya ini
bakal memberikan hasil, hingga ia pikir, bagaimana ia dapat meletaki tangannya ditubuh
satu wanita. Kesangsiannya ini membuat gerakannya menjadi ayal.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Ho Tiat Tjhioe mendapat ketika karena kesangsiannya lawan, yang ia tak tahu disebabkan
apa, ia lantas gunai ketika ini, akan memutar tubuh, akan terus menyambar dengan tangan
kirinya, dengan gaetannya.
Sin Tjie terperanjat, lekas-lekas ia tarik pulang tangannya. Ia batal menyerang terus.
"Bret!" demikian satu suara nyaring.
Gaetannya si nona menyambar baju si anak muda, baju itu robek!
"Ayo!" berseru Ho Kauw-tjoe." Celaka betul! Bajumu pecah, Wan Siangkong! Mari buka
bajumu itu, nanti aku bawa pulang untuk dijahiti!...."
Mendongkol juga Sin Tjie menampak orang demikian licik, karena ini, sedang si nona goda
ia, dengan cepat ia menyerang dengan tangan kanannya, ujung bajunya dipakai
menyampok, tatkala si nona berkelit, ia merangsek, ia ulangi serangannya secara
beruntun.
Dalam keadaan terdesak itu, Ho Tiat Tjhioe lompat mundur, lalu ia menyabet dengan
talinya, tapi Sin Tjie papaki dengan tangan bajunya yang robek tadi, yang sekarang
bergeliwiran, hingga ujung baju itu terlibat tali, setelah itu, ia membetot dengan kaget.
Ho Kauw-tjoe tarik pulang talinya, ia terlambat, malah cekalannya terlepas, talinya jatuh ke
tanah, berbareng sama ujung baju, yang pun robek lebih jauh, terputus dari bajunya.
"Bagaimana sekarang?" tanya Sin Tjie.
Nona itu tidak menjawab, hanya tangan kanannya dipakai meraba ke bebokongnya hingga
dilain saat, ia sudah tarik keluar sebatang Kim-kauw ialah gaetan terbuat atau tercampur
emas, hingga kelihatannya bercahaya berkilau-kilau.
Heran juga Sin Tjie menyaksikan alat-senjata orang yang seperti tak habis-habisnya,
banyak macamnya. Ia juga tak mengerti maksud si nona.
"Aku telah rampas talimu. kau tak boleh ganggu aku lebih lama!" katanya, untuk
memperingati janji.
"Kau bicara sendiri! Kapan aku telah berjanji?" balik tanya si nona.
Sin Tjie bungkam. Memang juga, si nona belum pernah terima baik perjanjian yang ia
kemukakan tadi, hanya si nona malah menantang ia untuk coba rampas senjatanya dia itu.
Ia jadi masgul. Kalau terus-terusan ia melayani, sampai kapan gangguan ini bisa dibikin
tamat.
"Hm!" akhirnya ia bersuara. "Aku mau lihat, berapa banyak macamnya gegamanmu!"
Ia memikir untuk rampas sesuatu senjatanya si nona, supaya dia tahu rasa dan akan
mundur sendirinya.
"Ini dia jang dinamakan Kim-gia-kauw!" kata Ho Kauw-tjoe. "Kim-gia-kauw" berarti "gaetan
kelabang emas." Lantas ia tonjolkan tangan kirinya, yang merupakan gaetan hitam. "Dan
ini Tiat-gia-kauw!" ia menambahkan. "Tiat-gia-kauw" berarti "gaetan kelabang besi." Dan ia
menambahkan terlebih jauh: "Untuk meyakinkan ini macam gaetan, ayahku telah kutungi
tanganku yang kiri ini. Ayah bilang, daripada memegang senjata, lebih baik senjata
dipasang tetap ditangan. Aku telah yakinkan gaetan ini untuk tigabelas tahun, masih juga
belum sempurna. Wan Siangkong, gaetan ini ada racunnya, awas, jangan kau
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
merampasnya dengan tanganmu!"
Sin Tjie lihat orang bicara sambil tertawa, sambil bersenyum berseri-seri. Tabah sekali
nona ini.
Lalu si nona maju menghampirkan, dengan tindakannya pelahan-lahan.
Kuatir orang nanti menggunai tipudaya, Sin Tjie memasang mata, ia berlaku waspada.
Mendadak saja di kejauhan terdengar suara suitan, suara yang sayup-sayup. Mendadak
Sin Tjie, ingat suatu apa, hingga ia berseru dalam hatinya: "Celaka! Apa mungkin dia ini
sengaja tahan aku di sini sedang konco-konconya dia perintah pergi serbu Tjeng Tjeng!"
Tidak ayal lagi, pemuda kita putar tubuhnya, untuk lari pulang.
Ho Tiat Tjhioe tertawa berkakakan.
"Baru sekarang kau pulang, kau terlambat!" katanya.
Walaupun dia mengucap demikian, nona ini pun berlompat, untuk sambar si anak muda,
bebokong siapa ia hajar dengan gaetan besinya.
Masih Sin Tjie lihat gerakan si nona, ia berlompat, berkelit kesamping, sembari membaliki
tubuh, sebelah kakinya menyapu.
Ho Kauw-tjoe lompat, akan hindarkan diri dari sapuan itu, tetapi hampir berbareng dengan
itu, ia barengi menyerang dengan dua-dua gaetannya.
Itu waktu ada diwaktu fajar, sinar matahari pertama Baru saja mulai muncul, maka diantara
sorotannya sinar sang Batara Surya itu, kedua gaetan berkilauan hitam dan kuning emas,
memain di depan mukanya si anak muda.
Bercekat hatinya Sin Tjie. Segera ia dapat kenyataan, ilmu silat dari kepala agama Ngo Tok
Kauw ini tidak saja berada di atas dari Tong Hian Toodjin dan Bin Tjoe Hoa. malah masih
di atasannya Ngo-tjouw dari Tjio Liang Pay. Maka itu, melayani si nona, ia sibuk juga,
sebab pikirannya terpecah dua. Di sana ada Tjeng Tjeng yang keselamatannya ia
kuatirkan, meskipun masih belum tentu Nona Hee berada dalam bahaya. Beberapa kali
pemuda ini berniat rampas Kim-gia kauw, senantiasa ia gagal, sebab sambil menarik
pulang gaetannya itu, Ho Tiat Tjhioe berbareng melindungi dengan Tiat-gia-kauw,
gaetannya yang lain yang dipasang di tangan. Yang lebih menyulitkan dia, dia kuatirkan
racun di kedua ujungnya gaetan yang liehay itu.
Sampai di jurus yang ketiga-puluh, masih Sin Tjie belum berhasil dengan pelbagai
dayanya untuk merampas gaetan orang itu, untuk memunahkan Tiat-gia-kauw. Itu berarti
ia mensiasiakan ketika. Itu pun mungkin membahayakan Tjeng Tjeng andai-kata benar
puterinya Kim Tjoa Long-koen diserbu orang-orang Ngo Tok Kauw
Akhir-akhirnya, dalam sibuknya itu, pemuda ini menjadi putus asa, maka terpaksa ia lantas
raba Kim Tjoa Kiam, untuk hunus itu pedang mustika, yang sejak turun gunung, belum
pernah ia pakai secara sungguh-sungguh. Baru saja tadi ia pakai itu untuk memapas
senjatanya Tong Hian Toodjin dan Bin Tjoe Hoa serta beberapa anggauta Kim Liong Pang.
Kapan Ho Tiat Tjhioe tampak senjata ular-ularan itu, dia kaget hingga mukanya pias.
"Bagus!" serunya. "Kiranja Kim Tjoa Kiam terjatuh dalam tanganmu!"
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
"Ya, habis apakah kau mau?" menantang si pemuda, yang terus saja maju menyerang,
beberapa kali ia menabas pulang-pergi.
Ho Tiat Tjhioe sibuk dalam sekejab. Terpaksa ia main mundur saja, tak sempat ia
membalas menggaet, sedang tadi, ia ada leluasa merangsak lawannya ini.
Sin Tjie tidak mau mengasi ketika, maka akhirnya datanglah saatnya ia tabas kutung
ujungnya Kim gia-kauw, hingga si nona kaget tak terkira.
Lantas si anak muda mengancam:
"Jikalau tetap kau ganggu aku, aku nanti tabas juga Tiat-gia kauw!" demikian serunya.
Benar-benar Ho Tiat Tjhioe tidak berani maju pula, ia cuma bisa mengawasi dengan
mendelong.
Sin Tjie masuki pedangnya ke dalam sarung, ia putar tubuhnya, terus ia lari pulang. Ia lari
dengan keras sekali, hingga sebentar kemudian, ia telah sampai di mulut gang. Justru ia
sampai di situ, lantas ia saksikan hal yang mengejutkan dia.
Di situ Ang Seng Hay rebah di antara kobakan darah! Lekas-lekas ia mengangkat bangun.
Syukur sekali, pengiring itu masih bernapas, tapi karena dia terluka pada lehernya, dia
tidak dapat bicara, sebagai gantinya omongan, dia lantas menunjuk berulang-ulang ke
dalam rumah.
Sin Tjie pondong tubuh orangnya itu, untuk dibawa masuk. Kapan ia sampai di dalam,
rumahnya menjadi kacau tidak keruan-macam. Kursi dan meja terbalik-balik, rusak, rusak
juga daun-daun pintu dan jendela, begitupun perabotan lainnya. Itulah bukti dari bekas
pertempuran hebat, bekas serbuan membabi-buta.
Dengan hati berkuatir, Sin Tjie robek tangan bajunya, untuk balut lukanya Seng Hay, untuk
mencegah darah keluar terus, habis itu ia lari kesebelah dalam. Pemandangan di sini tak
kurang hebatnya, kerusakan terdapat pada segala bagian. Paling hebat adalah ketika ia
tampak Ouw Koei Lam dan Thia Tjeng Tiok pun rebah dilantai dengan masing-masing
sedang merintih.
"Apakah sudah terjadi?" tanya Sin Tjie.
"Nona Tjeng Tjeng, Nona Tjeng Tjeng..." kata Koei Lam dengan susah. "Dia dibawah lari
orang-orang Ngo Tok-Kauw!..."
Inilah puncaknya kehebatan.
"Mana See Thian Kong dan yang lain-lain?"
Masih pemuda itu dapat tetapkan hati, untuk menanyakan lain-lain kawannya itu.
Ouw Koei Lam tidak menyahut, dia cuma menunjuk keatas, ke wuwungan rumah.
Sin Tjie tidak menanya lagi, ia lari ke tjimtjhee, untuk lompat naik ke atas genteng, maka di
sana, yang paling pertama, ia tampak Tay Wie dan Siauw Koay sedang peluki A Pa, si
empeh gagu, kedua binatang itu memekik-mekik tak hentinya, terang mereka lagi tidak
berdaya. Akan tetapi, kapan mereka lihat majikannya, mereka lompat untuk menubruk,
suaranya dibuka lebih besar, agaknya mereka hendak mengadu. Sayang mereka tidak
mampu bicara.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
See Thiah Kong juga berada diatas genteng, mukanya bersemu hitam, suatu tanda dia pun
telah terluka, malah terluka hebat. A Pa sendiri terluka pada tubuhnya.
Menampak semua itu, Sin Tjie kertak gigi. Meluaplah hawa-amarahnya.
"Kenapa aku jadi tolol sekali!" dia sesalkan diri sendiri. "Kenapa aku kasi diriku dicantel
oleh itu perempuan hina?"
Ketika itu, sang pagi sudah datang, maka semua bujang, yang tadinya lari kalang-kabutan,
akan singkirkan diri, mulai pada pulang.
Sin Tjie pondong A Pa dan See Thian Kong, untuk dibawa turun dengan bergantian,
kemudian lekas-lekas ia tulis surat untuk Tjiauw Wan Djie, buat minta si nona lekas minta
pulang mustika kodok es, guna ia tolongi See Thian Kong semua. Satu bujang diperintah
lekas sampaikan surat itu ditempat penginapan si nona. Kemudian ia mulai tolongi See
Thian Kong dan yang lain-lain, untuk balut luka mereka. Sembari menolongi, ia tanyakan
duduknya kejadian.
Thie Lo Han belum sembuh dari lukanya, ia belum bisa bangun dari pembaringannya,
karena ini, ia tidak terlibat dalam pertempuran hebat ini, ia jadi luput dari bahaya, maka
cuma ia yang bisa lantas bicara.
"Pada kira-kira jam tiga, Tay Wie dan Siauw Koay adalah yang mulai sadar akan ancaman
bahaya," kata tauwto ini. "Mereka itu bersuara tidak sudahnya, mereka tarik-tarik A Pa
untuk naik ke atas genteng. Begitu A Pa naik, ia segera dikepung belasan musuh. A Pa
tidak bisa bicara, dari itu, dia tendangi genteng, sebagai tanda untuk kita pun naik untuk
sambut musuh. Aku berada di mulut jendela, aku bisa menyaksikan dengan tegas. Karena
aku tidak berdaya, aku cuma bisa sibuk sendiri. Aku lihat A Pa bersama saudara-saudara
See dan Thia bisa rubuhkan beberapa musuh, akan tetapi jumlah musuh ada terlalu besar,
pihak kita akhirnya kena terdesak mundur, Pertempuran pun dilanjuti di bawah, di dalam
rumah, di setiap kamar. Di akhirnya, semua orang telah kena dilukai dan rubuh, adalah
sesudah itu Tjeng Tjeng kena ditawan dan dibawa pergi. Wan Siangkong, kami menyesal
sekali buat kejadian ini...."
"Semua ini disebabkan aku telah kena dipancing musuh," kata Sin Tjie, untuk menghibur.
"Mereka menggunai tipu memancing harimau meninggalkan gunung. Sekarang ini
menolong ada paling penting."
Lantas ini anak muda lari ke luar, ke istal, untuk tuntun keluar seekor kuda, kapan ia sudah
lompat naik ke bebokong kuda itu, ia kabur ke luar kota. Ia menuju langsung ke itu rumah
luar biasa, balai istirahat dari Pangeran Seng Ong. Begitu ia sampai, ia lompat turun dari
kudanya, setelah tambat binatang itu di sebuah pohon, ia lari ke depan rumah, untuk terus
lompat naik ke tembok, akan lompat turun ke dalamnya. Dia masih tetap murka dan sibuk.
"Ho Kauwtjoe!" dia berteriak. "Ho Kauwtjoe, silakan keluar! Aku hendak bicara
denganmu!"
Jawaban tidak ada, kecuali dari kumandang yang nyaring, ketika toh datang juga jawaban,
adalah terpentangnya pintu rahasia dari mana lantas merubul keluar belasan ekor anjing
yang bengis-bengis, di belakang semua binatang galak itu mengikuti beberapa belas
orang.
"Sekarang ini tak dapat aku berlaku sungkan-sungkan lagi," pikir Sin Tjie, yang tidak kenal
takut "Aku mesti bikin ambruk dulu semangat mereka!"
Segera juga pemuda ini ayun tangan kirinya, berulang tali, maka sebagai kesudahan dari
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
itu, belasan potong Kim-tjoa-tjoei, bor-bor Ular Emas, menyambar-nyambar kearah
rombongan anjing galak itu.
Beberapa ekor lantas saja rubuh binasa begitu lekas mereka keluarkan jeritan, lalu
menyusul yang lainnya, sebab semua bor tidak ada yang lolos. Kemudian dengan sebat, ia
lompat kepada bangkai anjing itu, untuk dengan kedua tangannya lekas cabuti semua
bornya itu.
Orang-orang Ngo Tok Kauw pada melongo, mereka kaget dan kagum.
Tadinya mereka ini sudah merencanakan, selagi si anak muda bergulat dengan anjing
mereka, mereka hendak menyemprot dengan racun mereka di dalam bungbung, mereka
tidak nyana, semua anjing mereka bisa dibikin mati dalam tempo demikian pendek.
Apabila kemudian mereka sadar, perasaan mereka yang pertama adalah takut, hingga
batal mereka hendak menyerang dengan semprotan, mereka putar tubuh, lantas lari.
Orang yang pertama telah lari sambil menjerit-jerit.
Sin Tjie lompat, untuk nerobos masuk ke dalam pintu rahasia itu. Beberapa orang telah
membalik tubuh, dengan niatan menutup pintu tapi mereka kalah sebat.
Pintu merah terpentang, rupanya bekas tadi dipakai keluar oleh rombongan Ngo Tok Kauw
itu, Sin Tjie lihat ini, dengan satu lompatan luar biasa, ia lombai semua musuh, maka ia
telah mendahului masuk di pintu rahasia itu. Itu berarti ia sudah masuk semakin dalam di
sarang musuh, di tempat yang berbahaya, akan tetapi justru karena ini, hatinya jadi
semakin tenang.
"Ho Kauw-tjoe, apabila kau tetap tidak hendak keluar, maka jangan kau nanti katakan aku
keterlaluan!" dia berseru pula dengan ancamannya.
Sebagai jawaban, Sin Tjie dengar suara suitan, sebagai kesudahan dari itu, segera
tertampak munculnya orang-orang Ngo Tok Kauw, yang terus berbaris dikiri-kanan, habis
itu dari sebelah dalam, berlerot keluar belasan orang, yang bertindak dimuka adalah Ho
Ang Yo, wanita tua yang jelek itu, dibelakangnya mengapit Phoa Sioe Tat dan Thia Kie Soe
berikut Kim-ie Tok Kay Tjee In Go. Di belakang si pengemis tukang tangkap ular ini
Barulah lain-lain orang liehay dari kawanan Ngo Tok Kauw itu.
Sin Tjie mendahului membuka mulut. Ia berkata:
"Aku tidak kenal tuan-tuan, kitaorang tidak punya dendaman lama, tidak punya
permusuhan baru, maka itu, kenapa tuan-tuan sudah datangi rumahku dimana kamu telah
lukai sahabatku serta culik adikku? Apakah sebabnya semua itu? Aku minta supaya
sukalah Ho Kauwtjoe memberikan penjelasannya!"
"Orang-orang dirumahmu tidak bermusuhan dengan kami, itulah tidak salah," menyahut
Ho Ang Yo, "itu pun sebabnya kenapa kami sudah berlaku murah hati, yaitu tidak ada satu
diantaranya yang kami lantas bikin mati! Bukankah kau mempunyai obat mustika? Dengan
itu dengan gampang kau bisa sembuhkan mereka. Tapi mengenai itu bocah she Hee? Hm!
Dengan cara pelahan-lahan, kami hendak beri pengajaran kepadanya!"
"Dia masih sangat muda, apakah dia telah berbuat terhadap kamu yang membikin kamu
mendendam?" tanja Sin Tjie. Ia masih belum tahu hubungannya kawanan ini dengan Tjeng
Tjeng.
Ho Ang Yo tertawa dingin.
"Siapa suruh dia terlahir sebagai puteranya Kim Tjoa Long-koen?" jawabnya. "Hm! Siapa
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
suruh dia bolehnya dilahirkan oleh itu perempuan hina she Oen?"
Sin Tjie terperanjat. Heran dia kenapa wanita tua ini ketahui ibunya Tjeng Tjeng ada
seorang she Oen. Karenanya, ia jadi berdiam.
Ho Ang Yo tampak orang diam saja, ia menegur, suaranya seram: "Apa kau mau maka kau
datang mengacau di sini?"
"Jikalau kamu ada punya sangkutan sama Kim Tjoa Long-koen," jawab Sin Tjie, "kenapa
kau tidak mau cari dia sendiri untuk balas lakukan pembalasan sakit hatimu?"
"Bapaknya hendak aku bunuh, anaknya juga hendak aku binasakan!" bentak Ho Ang Yo.
"Kau ada punya sangkutan dengan dia itu, kau juga hendak aku bunuh!"
Bukan main bengisnya pengemis wanita ini, akan tetapi Sin Tjie tak gentar terhadapnya,
malah tak sudi dia berurusan dengannya terlebih lama pula.
"Ho Kauw-tjoe!" segera ia teriaki pula Tiat Tjhioe. "Sebenarnya kau hendak keluar atau
tidak? Mau kau lepaskan orang tawananmu atau tidak?"
Dari dalam tetap tidak ada jawaban, hanya ada juga jawaban ialah suara kumandang.
Habis sabarnya ini anak muda, tiba-tiba saja ia lompat maju, akan lewati Ho Ang Yo. Ia
berlompat disampingnya wanita tua yang romannya menyeramkan itu. Di depan ia ada
sebuah pintu.
Dua orang Ngo Tok Kauw di belakang si nyonya tua lompat maju, untuk merintangi, tetaipi
Sin Tjie sambut mereka dengan gerakan kedua tangannya ke kiri dan kanan, atas mana
dua orang itu terpental rubuh terbanting. Setelah itu, pemuda ini lompat lebih jauh masuk
ke dalam pintu.
Nyata kamar yang Baru dimasuki ini kosong. Karena ini Sin Tjie lari ke kamar sebelah
timur, di situ ia mendupak pintu hingga daunnya menjeblak. Di dalam sini ada dua
anggauta Ngo Tok Kauw sedang rebah, ialah dua orang yang kemarin ini kena dilukai dan
sekarang sedang beristirahat. Melihat si anak muda, mereka kaget hingga mereka lompat
berjingkrak.
Sin Tjie tidak perdulikan orang ini, ia pergi ke lain kamar, tidak juga ia ketemukan Ho Tiat
Tjhioe atau Tjeng Tjeng, maka ia cari terus di lain-lain kamar atau ruangan. Ada orangorang
Ngo Tok Kauw yang mencoba merintangi tetapi mereka tidak berani menyerang.
Dalam tempo yang pendek, Sin Tjie sudah periksa semua kamar, tetap tidak ada Tjeng
Tjeng, tidak ada Ho Tiat Tjhioe, dalam sengitnya, ia ubrak-abrik semua jambangan, guci
dan peti, hingga banyak macam binatang beracun, yang dikurung atau dipiara di situ, pada
terlepas, lari merayap ke segala penjuru.
Orang-orang Ngo Tok Kauw menjadi kaget, di satu pihak mereka coba menyerang, di
pihak lain ada yang menangkap-nangkapi pula rupa-rupa binatang piaraan mereka itu.
Didalam pertempuran kalut seperti itu, pihak Ngo Tok Kauw tidak berani gunai semprotan
racun mereka, rupanya mereka takut nanti mencelakai orang sendiri.
"Jikalau benar kau satu laki-laki, mari kita pergi keluar, untuk pertempuran yang
memutuskan!" Phoa Sioe Tat akhirnya menantang.
Sin Tjie tahu orang ini mempunyai kedudukan penting, maka ia pikir, baik ia bekuk orang
ini, untuk nanti ia korek keterangan dari mulut dia itu.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
"Baik!" ia menyambut. "Baik, aku nanti coba belajar kenal dengan tuan punya Tok-seetjiang!"
Dengan satu loncatan dari Pek-pian Kwie-eng, Sin Tjie sudah melesat ke depan pahlawan
Ngo Tok Kauw ini.
Phoa Sioe Tat terkejut, inilah ia tidak sangka, tetapi ia sudah lantas memapaki, dengan
serangan kedua tangannya saling susul.
"Lain orang takuti tanganmu yang beracun, aku tidak!" seru Sin Tjie, yang menghalau diri
dari dua sambutan musuh itu.
"Baiik, kau cobalah!" seru Sioe Tat juga, sambil ia menyerang pula.
Sin Tjie angkat tangan kanannya., untuk menangkis.
Girang sekali Sioe Tat melihat tangkisan orang, di dalam hatinya, ia kata: "Jikalau kita
saling serang, mungkin aku sukar menangi kau, akan tetapi sekarang kau berani bentrok
tangan dengan tangan, kau seperti cari mampusmu sendiri, maka janganlah kau sesalkan
aku!"
Lalu dua-dua tangannya dimajukan dengan tenaga penuh, sepuluh jarinya terbuka, untuk
dipakai mencengkeram tangan musuh.
Di saat kedua tangan hampir bentrok satu dengan lain, girangnya Sioe Tat sudah bukan
alang-kepalang, karena ia merasa, segera ia akan bikin terluka musuhnya itu. Akan tetapi
justru di saat itu, mendadak ia dapatkan musuh tarik pulang kepalannya, belum sempat ia
melihat nyata, ia tampak bajangan berkelebat kesampingnya, hingga ia menjadi kaget,
sehingga ia niat berkelit, untuk menyingkirkan diri, kedua tangannya sendiri mendahului
ditarik pulang juga. Tapi ia telah terlambat, ia menjadi kaget ketika tahu-tahu, batang
lehernya tercekal keras, dan belum ia sempat berdaya, tubuhnya sudah kena diangkat
tinggi!
Orang-orang Ngo Tok Kauw pun kaget, sampai mereka berseru, lantas mereka merangsak,
akan tolongi pahlawan mereka, akan tetapi mereka disambut Sin Tjie dengan si anak muda
putarkan diri sambil tubuhnya Sioe Tat diputarkan juga, dipakai sebagai alat untuk
menangkis serangan!
Semua orang Ngo Tok Kauw merandak, tidak ada satu juga yang berani maju akan serang
si anak muda, sebab mereka kuatir nanti mereka melukai "hoe-hoat" mereka atau
pelindung agamanya.
Sin Tjie lantas saja berseru: "Dimana adanya orang yang kau culik? Lekas bilang!"
Phoa Sioe Tat meramkan mata, tak sudi ia memberikan jawaban.
Sin Tjie gunai jeriji tangannya, akan menotok jalan darah di tulang bebokongnya orang
tawanannya itu.
"Aduh, aduh!" Sioe Tat menjerit-jerit. Tak tahan ia akan sakitnya totokan itu, hingga ia
mencoba berontak-rontak.
Sin Tjie membarengi, akan lepaskan cekalannya, akan banting tubuhnya pahlawan musuh
itu.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Sioe Tat benar-benar seorang berani dan beradat keras, walaupun ia mesti rebah
bergulingan berulang-ulang, tak mau ia memberi jawaban, hingga pemuda kita jadi
kewalahan.
"Baik!" pikir Sin Tjie. "Kau tidak sudi bicara, mustahil lain orang tidak?" Ia segera ingat
kepada ilmu totokan jalan darahnya yang liehay, asal dia gunai itu, siapa juga tak akan
dapat menyadarkan korbannya.
"Aku mau lihat, kalau mereka sudah ditotok semua, Ho Tiat Tjhioe masih berani ganggu
Tjeng Tjeng atau tidak?" demikian pikirnya akhirnya.
Orang-orang Ngo Tok Kauw segera maju pula begitu lekas mereka lihat pahlawannya
sudah dilepaskan, tetapi justru mereka merangsak, musuh pun menerjang mereka. Tapi
Sin Tjie maju untuk perlihatkan kelincahannya, ia berlompat kesana-sini, untuk kelit
sesuatu serangan, dilain pihak, saban ia menyerang, ia membuat sesuatu sasarannya
rubuh tak berdaya.
Beberapa orang Ngo Tok Kauw yang cukup liehay masih bisa berkelahi dua-tiga jurus,
Baru mereka rubuh, tidak demikian dengan yang kebanyakan, maka dalam tempo yang
cepat, sudah kira-kira tiga-puluh orang pada rebah bagaikan mayat.
Ho Ang Yo kaget tidak terkira, ia lantas berseru, ia terus lompat ke pintu, untuk
menyingkirkan diri, perbuatannya ini dicontoh oleh sisa kawan-kawannya. Maka sekejab
saja, ruangan yang lebar itu kosong dari anggauta-anggauta Ngo Tok Kauw itu kecuali
mereka yang bergeletakan dilantai, yang pada keluarkan rintihan, cuma mata mereka,
dengan sorot membenci, mengawasi kearah musuh mereka.
"Adik Tjeng! Adik Tjeng 1" Sin Tjie memanggil-manggil. "Adik Tjeng, kau dimana?"
Kecuali sambutan kumandang, tidak ada jawaban.
Dalam penasaran, Sin Tjie ma-sesuatu kamar pula, akan mencari, hasilnya siasia saja. Ia
coba desak tanya beberapa orang Ngo Tok Kauw, mereka ini diam saja bagaikan gagu,
mata mereka mereka rapatkan.
Ketika itu, gedung itu telah kosong dari orang-orang Ngo Tok Kauw kecuali mereka ini
yang rebah semua.
Saking kewalahan, Sin Tjie keluar dari gedung, akan naik pula atas kudanya, buat kabur
pulang. Ketika ia sampai dirumah di gang Tjeng-tiauw-tjoe, ia dapatkan Tjiauw Wan Djie
sudah datang bersama beberapa murid kepala dari Kim Liong Pang, nona itu sudah
tolongi See Thian Kong semua, malah lukanya mereka ini pun sudah dibalut rapi.
Sin Tjie periksa sesuatu dari sahabatnya itu, apabila ia dapati mereka sudah bebas dari
ancaman malaikat elmaut, Baru hatinya lega, sehingga sekarang ia pikirkan Tjeng Tjeng
saja, juwitanya.
Wan Djie coba hiburkan ini anak muda, dilain pihak, ia kirim beberapa anggotanya untuk
pergi keempat penjuru kota, guna menyerep-nyerepi kabar.
Selama itu, rumah menjadi sunyi. Tidak ada orang yang bicara. Berselang kira-kira
setengah jam, mendadak ada suara menggabruk diatas genteng dibetulan tjimtjhee, lantas
satu bungkusan besar menggelinding jatuh.
Semua orang menjadi kaget, malah Sin Tjie sangat bergelisah. Ia lompat pada bungkusan
itu, dengan kedua tangannya, ia putuskan tambang ikatannya. Belum sampai ia buka
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
bungkusan itu, hidungnya sudah diserang bau bacin, bau darah yang amis, hingga hatinya
memukul keras, kedua tangannya mengeluarkan keringat dingin.
Begitu lekas bungkusan telah dibuka, disitu tertampak satu tubuh mayat seperti
tercincang, karena telah menjadi delapan potong. Kepala mayat kelihatan hitam mukanya,
tetapi rambutnya, kumis dan jenggotnya, tetap putih. Maka dengan mengawasi sedikit
lama saja, Sin Tjie segera kenali Tok-gan Sin-liong Sian Tiat Seng si Naga Sakti Mata Satu!
Bukan main kagetnya anak muda ini, berbareng pun ia jadi sangat gusar karena
pemandangan yang menyayatkan itu, tanpa bilang suatu apa, ia loncat naik keatas
genteng, kewuwungan, akan memandang kesekitarnya. Ia masih lihat satu tubuh bagaikan
bajangan yang lagi berlari-lari diarah selatan-barat. Ia menduga pada orang Ngo Tok Kauw
yang barusan membawa mayatnya Sian Tiat Seng, tidak ayal lagi, ia lompat turun ketanah,
untuk mengejar. Kali ini ia telah keluarkan kepandaiannya, untuk bisa menyandak orang
yang telah lari jauh itu.
Pengejaran dilakukan sampai disuatu tempat dimana ada banyak pepohonan lebat,
kedalam situ bajangan tadi lari masuk.
Ada pantangan didalam kalangan kaum kangouw, apabila kita menemui rimba, kita
dilarang memasukinya, akan tetapi Sin Tjie langgar pantangan ini, karena keras sangat
tekadnya untuk cari Tjeng Tjeng, untuk tolongi Nona Hee itu. Demikian ia lompat masuk
ketempat lebat itu, akan susul orang yang dikejarnya itu. Tidak ada rintangan untuk anak
muda ini, sampai setelah masuk sedikit jauh, ia lihat beberapa puluh orang asik berkumpul
merubungi segundukan api tabunan, kelihatannya mereka sedang pasang omong dengan
asik sekali, rupanya mereka tidak menyangka bahwa ada orang telah susul kawannya tadi
dan sekarang lagi terus mencari mereka.
Seorang kebetulan menoleh ke belakang, kaget ia kapan ia lihat Sin Tjie lagi mendatangi,
dalam kagetnya itu, ia lantas berteriak, terus ia bangun berdiri, untuk lari. Perbuatan ini
diturut oleh kawannya, yang pun kaget bukan main, semua lari serabutan.
Sin Tjie menyerbu, ia hajar sesuatu orang yang dapat ia susul, ia menoyor, ia menendang,
ia totok mereka, hingga siapa menjadi kurban sasaran, tentulah dia rubuh tak berdaya.
Malah siapa lari sedikit jauh, ia rubuhkan dengan biji-biji caturnya. Ia bisa berkelahi
dengan leluasa, karena hampir tidak ada perlawanan.
Semua musuh itu perdengarkan suara berisik, tapi sedetik saja rimba menjadi sirap, tidak
ada lagi satu musuh jua disitu. Maka Sin Tjie kebuti pakaiannya, ia bertindak keluar.
Diantara korban-korban itu kedapatan Thia Kie Soe, Tjee In Go dan beberapa lagi orang
liehay dari Ngo Tok Kauw, yang tidak ada adalah Ho Tiat Tjhioe dan Ho Ang Yo.
"Mungkin Tjeng Tjeng belum terganggu," pikir pemuda ini, yang hatinya mulai tenteraman.
"Aku percaya selanjutnya dia tidak bakal diganggu..."
Lantas setelah itu, pemuda ini berjalan pulang.
Sampai magrib itu hari, orang-orangnya Wan Djie masih belum berhasil memperoleh
endusan apa juga.
Atas permintaannya Sin Tjie, Gouw Peng dan Lo Lip Djie antar mayatnja Sian Tiat Seng ke
kantor pembesar yang menjadi seatasannya Tok-gan Sin-liong. Di sini orang tidak berdaya
kapan mereka saksikan keadaan mayat, karena bukti terang kepala oppas ini telah menjadi
korbannya Ngo-Tok Kauw. Cuma orang tidak mengerti, bagaimana hebatnya pekerjaannya
kawanan orang dari Inlam itu.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Malam, itu Tjiauw Wan Djie tidak pulang, bersama beberapa anggauta Kim Liong Pang ia
wajibkan diri untuk merawat dan menjagai orang-orang yang terluka, sebab benar
diaorang ini sudah bebas dari ancaman kematian, tetapi diaorang masih lelah, perlu
rawatan dan istirahat.
Sin Tjie sangat masgul, sampai ia tak dapat tidur. Ia duduk di atas pembaringannya,
memikirkan daya bagaimana untuk cari Tjeng Tjeng.
Sudah satu jam Sin Tjie duduk diam, pikirannya masih terbenam dalam kepepatan, meski
begitu, karena rumah dan sekitarnya sunyi-senyap, ia dapat dengar suara anjing
menggonggong dua kali sedikit jauh di dalam gang. Ia juga dengar suara kentongan, yang
suaranya datang semakin dekat, tandanya orang ronda lagi mendatangi.
"Benar-benar kali ini aku terpedaya," pikir ini anak muda. Ia ingat bagaimana ia telah
makan pancingannya Ho Tiat Tjhioe. Ia anggap itu adalah kekalahannya yang pertama,
yang paling besar.
Tiba-tiba saja, dalam kesunyian itu, ia dengar suara ketokan pelahan pada tembok.
"Inilah bukannya Gouw Peng dan Lip Djie jang kembali," ia menduga-duga. "Ilmu
entengkan tubuh dari mereka tidak begini sempurna. Mestinya telah datang musuh..."
Kendati juga ia telah menerka kepada musuh, Sin Tjie tidak bergerak dari tempatnya
bercokol, ia duduk terus dengan tenang, melainkan kali ini, ia memasang mata, ia waspada
luar biasa.
Segera terdengar suara enteng di luar jendela, seperti suara jatuhnya daun rontok, suara
mana disusul sama tertawa pelahan tetapi tedas sekali di malam yang sunyi itu. Itulah
tertawa manis yang diikuti dengan kata-kata yang halus:
"Wan Siangkong, ada tetamu!..."
"Oh, Ho Kauw-tjoe yang datang!" sahut Sin Tjie. "Silakan masuk!"
Baru sekarang pemuda ini berbangkit, untuk nyalakan lilin, sesudah mana ia bertindak ke
pintu, untuk membukai, akan sambut tetamunya itu yang cantik-manis, yang nyalinya
besar.
Ho Tiat Tjhioe muncul tetap dengan dandanannya serba putih, ia pun bertindak masuk
dengan tindakan tenang, air mukanya bersenyum-senyum. Sekelebatan saja ia telah lihat
orang punya seluruh kamar di mana, kecuali pembaringan dan kursi-meja, tidak ada
lainnya perabotan lagi.
"Sungguh, Wan Siangkong hidup sangat sederhana!" katanya sambil tertawa.
Sin Tjie bersenyum, ia tidak menjawab.
"Kali ini aku datang ke mari, Wan Siangkong tentulah telah ketahui maksudnya," kata pula
si nona, yang tak ketinggalan tertawanya yang manis.
"Dalam hal itu aku ingin Ho Kauw-tjoe menjelaskannya," sahut pemuda kita.
"Kau kehendaki suatu apa dari aku, aku juga hendak memohon apa-apa dari kau," berkata
kepala agama dari Ngo Tok Kauw. "Dalam satu jurus ini, pertempuran kita menghasilkan
tidak ada yang menang dan tidak ada yang kalah...."
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Sin Tjie tertawa.
"Aku pikir tak usah kita lanjuti pertempuran kita ini," ia biang. "Ho Kauw-tjoe sangat cerdik
dan kosen, aku sangat mengaguminya."
Kepala agama itu tertawa.
"Ini adalah babak yang pertama," ia menetapinya. "Kecuali kau musnahkan semua
anggauta Ngo Tok Kauw kami, Wan Siangkong, maka di belakang hari masih ada saja
kejadian-kejadian yang akan membuat kau sakit kepala "
Kaget juga Sin Tjie. Ia anggap hebat benar kauwtjoe ini. Dialah satu wanita yang tak dapat
dipandang ringan. Berani dan bandel!
"Ho Kauw-tjoe," katanya kemudian, "karena kau bermusuh dengan ayahnya sahabatku itu,
baiklah kau cari saja ayahnya itu. Kenapa sih kau hendak bikin susah pada seorang anak
muda yang belum tahu apa-apa? Laginya ada pri bahasa yang berkata, permusuhan itu
lebih baik didamaikan tetapi jangan tambah diperhebat..."
Nona Ho itu tertawa geli hihi-hihi.
"Hal itu baiklah kita bicarakan belakangan," katanya. "Sekarang aku ingin minum arak!"
"Sungguh aneh orang ini," pikir Sin Tjie yang toh teriaki kacungnya untuk lekas sediakan
arak dan sayurannya.
Wan Djie berkuatir, untuk penjagaan, ia lekas dandan untuk menyamar sebagai kacung,
kemudian ialah yang keluar membawa nenampan arak serta beberapa rupa sayurannya.
Ho Tiat Tjhioe tertawa apabila ia lihat kacung itu.
"Benarlah, dibawah perintahnya satu jenderal jempolan tidak ada serdadu yang lemah!"
katanya. "Kacung Wan Siangkong saja begini hebat tampangnya!"
Sin Tjie tidak meladeni, ia hanya isikan dua cawan.
"Silakan!" ia mengundang.
Ho Tiat Tjhioe angkat cawannya, ia tenggak isinya, lalu ia minum pula, hingga ia keringkan
dua cawan beruntun.
"Wan Siangkong tidak memberi muka kepadaku dengan tak sudi minum arakku," kata dia
sambil bersenyum, "siauwmoay sendiri sebaliknya sangat lancang dan bernyali besar...".
"Arak kami tidak ada racunnya," kata Wan Djie, yang tak dapat mengendalikan diri untuk
tidak turut bicara.
"Bagus, bagus!" Ho Kauwtjoe tertawa pula. "Sungguh satu pengurus rumah muda yang
cerdik! Mari keringi!"
Ia minum pula araknya.
Sin Tjie minum, untuk menemani.
Diantara terangnya sinar lilin, pemuda kita lihat sepasang mata yang tajam dari kepala
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
agama Ngo Tok Kauw itu, satu wajah yang eilok, sepasang sujen yang manis sekali,
hingga ia berpikir: "Diantara nona-nona yang aku kenal, mengenai kecantikan A Kioe
adalah yang nomor satu, Siauw Hoei ada manis dan polos, Wan Djie terbuka dan cerdas.
Tjeng Tjeng benar berandalan, akan tetapi terhadap aku, ia tulus dan lemah-lembut. Maka
sungguh aku tidak sangka, disebelah mereka semua, masih ada ini satu kauwtjoe yang
eilok bagaikan bunga-bunga toh dan lie yang indah-permai tetapi yang hatinya berbisa
bagaikan ular dan kala! Benar-benar, dikolong langit yang luas ini, orang aneh, orang luar
biasa ada dimana-mana!"
Ho Tiat Tjhioe lihat orang awasi dia, ia diam saja, ia melainkan bersenyum. Adalah selang
sekian lama, Baru ia buka mulut pula.
"Wan Siangkong," katanya, "dengan sesungguhnya siauwmoay takluk sekali untuk
siangkong punya kepandaian ilmu silat. Turut apa yang aku dengar, gurumu itu, Kim Tjoa
Long-koen, tidak punyakan ilmu menotok jalan darah tiam-hiat-hoat seliehay kau ini. Apa
mungkin siangkong ada punya lain guru lagi?"
"Kau benar. Aku masih punyakan dua guru lainnya," Sin Tjie jawab dengan jujur.
"Ehm! Siangkong telah gabung kepandaiannya tiga guru, pantas kau jadi liehay begini!"
memuji nona itu. "Siangkong, malam ini aku datang mengunjungi kau, maksudku yang
utama adalah untuk minta berguru kepadamu..."
Sin Tjie benar-benar heran.
"Aku tidak mengerti, kauwtjoe," sahutnya. "Aku mohon kauwtjoe memberi penjelasan
kepadaku."
Ho Tiat Tjhioe tertawa.
"Wan Siangkong," katanya, "apabila kau tidak cela siauwmoay punya bakat tolol, aku
minta sukalah kau terima aku sebagai muridmu."
Sin Tjie tertawa bergelak-gelak.
"Ho Kauwtjoe ada ketua dari satu perkumpulan besar, kepandaian kauwtjoe sudah sangat
liehay, cara bagaimana kau boleh berguyon denganku?" tanyanya.
"Jikalau kau tidak ajarkan aku ilmu menotok jalan darah," kata kepala agama itu, "habis
apa itu beberapa puluh orangku yang sekarang sedang rebah tidak berdaya mesti
diantapkan saja jiwa mereka melayang?"
Baru sekarang kauwtjoe ini omong dengan jelas.
"Asal kau antarkan pulang sahabatku itu dan kau suka berjanji untuk selama-lamanya
tidak mengganggu pula pada pihakku, tentu sekali aku suka menolong mereka," sahut Sin
Tjie, yang pun omong terus-terang.
"Ini jadinya berarti, kau tak sudi terima semacam murid sebagai aku ini?" tegaskan Ho Tiat
Tjhioe.
"Pelajaranku masih belum sempurna," jawab Sin Tjie dengan merendah. "Sebenarnya aku
masih hendak mencari guru pula, maka bagaimana aku berani menerima murid? Kauwtjoe,
mari kita omong dengan terbuka, mari kita menghabiskan urusan kita dengan baik, kita
lupakan yang sudah lewat. Kau akur bukan?"
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Kauwtjoe itu tertawa.
"Aku nanti antarkan sahabatmu itu, kau nanti tolongi orang-orangku!" katanya. "Urusan di
belakang hari, kita nanti lihat saja!"
Menampak orang tetap tak sudi berdamai, Sin Tjie mendongkol juga.
"Kamu dari Ngo Tok Kauw boleh malang-melintang di Selatan, tetapi aku orang-orang
gagah dari tujuh propinsi, mustahil kami jeri terhadapmu!" demikian pikir ia.
Karena memikir demikian, pemuda ini cuma angkat kedua tangannya, ia tidak bilang suatu
apa.
Ho Tiat Tjhioe berbangkit sambil tertawa manis.
"Aha, Wan Toa-bengtjoe kami gusar!" katanya. Lantas ia pun angkat kedua tangannya,
untuk liam-djim, memberi hormat. Masih ia tertawa hihi-hihi ketika ia menambahkan: "Baik,
baik, di sini aku menghaturkan maafku."
Sin Tjie membalas hormat, tapi hatinya tetap tak senang. Ia sangat tak setuju tindaktanduk
lawan itu.
"Besok aku nanti antarkan sahabatmu she Hee itu," kata Tiat Tjhioe kemudian, "setelah itu
aku nanti undang kau, tuan, untuk kau tolongi orang-orangku."
"Aku beri janjiku," Sin Tjie bilang.
Tiat Tjhioe menjura, lalu ia membaliki tubuh. Ia tidak mau loncat naik keatas genteng, ia
menindak ke pintu depan, maka Sin Tjie mesti antar dia, untuk mana ia perintah
kacungnya nyalakan lilin dan membukai pintu.
Wan Djie mengikuti di belakang mereka itu.
"Wanita ini sangat licin," pikirnya, "mungkin dia sembunyikan orang-orangnya diluar
rumah, ia pancing Wan Siangkong untuk kemudian dibokong, Nanti aku periksa dulu!"
Karena memikir begini, ia antap orang jalan terus, ia kasi dirinya ketinggalan, lantas ia
sembat tempuling Ngo-bietjie, dengan bawa itu ia loncat naik keatas genteng, akan
hampirkan tembok diujung mana ia sembunyikan diri, untuk memasang mata keluar.
Dimuka pintu ada sebuah joli, tukang gotongnya empat orang, mereka ini sedang berdiri
menantikan di muka joli. Kecuali mereka itu, tidak ada orang lain pula.
Dengan kelincahannya, dengan ati-ati, Wan Djie keluar dari tempat sembunyinya, akan
dengan diam-diam hampirkan joli dari arah belakang, setelah datang dekat, ia pegang
ujung gotongan, untuk angkat dengan pelahan-lahan. Ia merasai angkatan yang enteng
sekali, itu artinya tidak ada orang lain di dalam joli, maka hatinya menjadi lega. Benar
ketika ia hendak undurkan diri, pintu depan telah dipentang, kacung membawa obor yang
terang sekaili. Sin Tjie bertindak mengantar tetamunya yang istimewa itu.
Mendadak saja nona Tjiauw mendapat satu pikiran.
"Dia tidak sudi berdamai, ini berarti, di belakang hari, kesulitan masih banyak sekali,"
demikian pikirnya. "Kenapa aku tidak mau kuntit dia, untuk ketahui di mana dia
bersarang? Dengan ketahui tempat sembunyinya, apabila kemudian dia datang
mengganggu pula, Wan Siangkong bisa satroni dia, untuk serbu padanya."
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Setelah berpikir begini, tanpa bersangsi pula, Wan Djie batalkan niatnya undurkan diri,
sebaliknja, ia nyelusup ke kolong joli, dengan berpegang kedua tangan dan kedua kaki
dicantel, ia bergelayutan di kolong joli itu. Secara begini ia bertindak, untuk balas budinya
Sin Tjie.
Joli memakai tenda yang tebal, malam itu pun gelap, tidak ada orang yang lihat sepakterjangnya
nona Tjiauw ini. Keempat tukang joli pun sedang mengawasi pemimpinnya,
untuk disambut.
Sambil tertawa manis, Ho Tiat Tjhioe masuk kedalam jolinya, atas mana empat tukang
gotongnya segera panggul joli itu, buat dibawa pergi. Yang luar biasa adalah mereka ini
menggotong sambil berlari-lari, umpama kata laksana terbang.
(Bersambung bab ke 21)
Heran Wan Djie karena orang gotong joli secara demikian rupa, dari heran, hatinya lantas
kebat-kebit, ia berkuatir juga sedikit. Ia tidak menduga bahwa keempat tukang gotong itu
adalah orang yang bertenaga besar dan berkepandaian silat. Pun dengan menangkel di
kolong joli, ia merasakan hawa yang sangat dingin. Itu waktu ada di musim dingin, ada
salju yang nempel di joli, sekarang salju itu jatuh ke mukanya, disebabkan hawa panas
pada mukanya itu, salju lumer menjadi air. Tidaik berani ia susut mukanya, ia kuatir
dengan geraki tangannya, ia akan menerbitkan goncangan hingga orang bisa timbul
kecurigaannya.
Perjalanan Baru dilakukan kira setengah jam, mendadak Wan Djie dengar suara bentakan
keras, menyusul mana, joli dihentikan dengan tiba-tiba. Tentu saja keempat tukang joli dan
nona di dalamnya dengar bentakan itu.
Segera menyusul bentakan lain, suaranya seorang lelaki: "Kacung she Ho yang hina-dina,
lekas kau keluar untuk terima binasa!"
"Aneh!" pikir Wan Djie. "Aku rasa kenali suara ini....Siapa dia?"
Habis itu, menyusul bentakan lain lagi: "Kamu kaum Ngo Tok Kauw malang-melintang di
dunia, siapa tahu kamu toh ketemu harimu ini!"
" Itulah Bin Tjoe Hoa!" ingat si nona Tjiauw. "Ya, suara yang pertama ada suara
soehengnya, Tong Hian Toodjin..."
Segera terdengar tindakan kaki berisik disekitar joli, rupanya ada sejumlah orang yang
datang mengurung.
Joli segera dikasi turun, keempat tukang gotongnya lantas hunus senjata.
Wan Djie singkap ujung tenda, untuk mengintai,
Di arah timur terlihat lima orang, semua memakai jubah suci, tangan mereka menyekal
pedang. Yang berada di depan nampaknya ada Tong Hian Toodjin.
"Di arah barat, utara dan selatan, tentu ada kawan-kawan mereka..." pikir pula nona
Tjiauw. "Rombongan Boe Tong Pay ini rupanya berniat mencari balas untuk guru mereka."
Selagi ia memikir demikian, Wan Djie rasai joli bergoyang.
Itulah gerakan disebabkan Ho Tiat Tjhioe telah berloncat keluar dari jolinya itu.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
"Bukankah Tjoei In si imam telah mampus?" demikian bentakannya pemimpin Ngo Tok
Kauw ini. "Sungguh besar nyali kamu semua? Apakah kamu mau?"
"Kasi tahu kami, sebenarnya dimana adanya guru kami, Oey Bok Too-tiang?" Tong Hian
tanya "Lekas bicara, supaya kau bisa bebas dari siksaan!"
Ho Tiat Tjhioe tertawa terbahak-bahak.
"Guru kamu bukannya bocah cilik umur tiga tahun," katanya, "Gurumu hilang, kenapa
kamu menanyakannya kepadaku? Apa memangnya gurumu itu diserahkan dibawah
penilikanku? Baiklah, kita sama-sama kaum Rimba Persilatan, aku nanti bantu kamu
mencari dia! Kasihan kalau sampai dia terlantar diluaran, tidak ada yang urus!..."
"Hai, suaranya orang ini benar-benar halus dan merdu..." pikir Wan Djie. "Dia omong keras
tetapi manis didengarnya... Tadinya aku sangka dia bicara sama Wan Siangkong dengan
lagu-suara dibikin-bikin, untuk menarik hati orang..."
Lalu terdengar suara penuh kemurkaan dari Tong Hian Toodjin.
"Kamu kaum Ngo Tok Kauw telah malang-melintang dimana-mana!" demikian suaranya
imam ini. "Sekarang kami hendak bikin kamu insyaf, perbuatan jahat mesti terima
pembalasan jahat juga!"
Tong Hian geraki pedangnya, tubuhnya juga, agaknya ia hendak lantas menyerang.
Masih Ho Tiat Tjhioe tertawa manis.
"Boe Tong Pay kesohor sebagai partai jantan," katanya, "tapi buktinya kamu tidak pernah
secara terang-terangan mencari aku! Begitulah sekarang, selagi orang aku banyak yang
terluka, diam-diam bagaikan hantu-hantu, kamu sembunyi di sini untuk memegat aku!.....
Ha-ha-ha-ha!"
Beraneka warna suara tertawanya ketua Ngo Tok Kauw ini, lalu sebelum berhenti suara
tertawanya itu, diarah barat utara terdengar satu suara jeritan hebat: "Aduh!"
Nyatalah nona ini sudah lantas mendahului turun-tangan, karena mana, ia menambah
membangkitkan hawa-amarah musuh-musuhnya, maka tidak ampun lagi, orang lantas
maju, untuk terjang padanya.
Pertempuran sudah lantas terjadi, Ho Tiat Tjhioe berlima segera kena dikurung. Sebab kali
ini orang-orang Boe Tong Pay telah kumpul dalam jumlah besar, berikut semua
anggautanya yang liehay.
Keempat tukang gotong telah terluka dan rubuh saling susul saking hebatnya kepungan,
walaupun pertempuran berjalan belum seberapa lama.
Wan Djie mengintai terus, hingga ia bisa saksikan cara berkelahinya orang-orang Boe
Tong Pay itu. Ilmu silat pedang mereka benar-benar liehay. Ia tetap berdiam di kolong joli,
tak mau ia lantas keluar. Kalau ia muncul, ia kuatir ia nanti disangka ada orangnya Ngo
Tok Kauw.
Berkilau-kilaulah kira-kira duapuluh batang pedang yang lagi kurung Ho Tiat Tjhioe, siapa
benar-benar liehay. Dia benar tidak bisa lantas pecahkan kurungan, akan tetapi dia bisa
berkelahi dengan baik.
Satu imam muda sangat bernapsu, dia lompat maju kepada si nona, untuk menyerang
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
dengan hebat, tetapi pedangnya ditangkis dengan gaetan, gaetan mana terus mampir di
pundaknya. Maka tidak ampun lagi, ia menjerit dan rubuh pingsan, hingga ia perlu
digotong keluar kawan-kawannya.
Kembali lewat beberapa puluh jurus, setelah ini Barulah kelihatan Ho Tiat Tjhioe kena
terdesak.
Bin Tjioe Hoa merangsak hebat, sampai mendadak pedangnya menyambar batang
lehernya ketua Ngo Tok Kauw itu. Tiat Tjhioe berkelit, menyusul mana, dua pedang lain
membarengi menikam dia. Maka sibuklah dia dengan tangkisannya.
Tiba-tiba Wan Djie dengar suara nyaring pelahan, lalu serupa barang jatuh menggelinding
ke kolong joli, kearah dia. Dia jumput itu, ialah sebuah anting-anting.
Menampak ini, Wan Djie girang berbareng kuatir. Ia girang karena ia percaya, kali ini Ho
Tiat Tjhioe tidak bakal lolos dari kebinasaan, apabila dia mati, itu artinya Sin Tjie jadi
bebas dari gangguan nona liehay ini. Tapi ia berkuatir andai-kata Tiat Tjhioe terbinasa,
nanti nasibnya Tjeng Tjeng tak ketahuan. Ada kemungkinan sisa orang-orang Ngo Tok
Kauw tidak sudi menyerahkannya.
Masih Ho Tiat Tjhioe melakukan perlawanan. Selang lagi dua-puluh jurus, Barulah ia lelah
benar-benar, rambutnya terlepas dan kusut, nampaknya tidak lagi ia mampu membalas
menyerang.
Tong Hian Toodjin rupanya bisa lihat nyata keadaannya lawan, sampai di situ, ia
perdengarkan seruannya, maka beberapa puluh pedang segera perkeras kurungan
mereka.
"Dimana adanya guru kami?" Tong Hian tanya. "Dia masih hidup atau sudah meninggal
dunia? Lekas bilang!"
Ho Tiat Tjhioe kempit gaetan emasnya, ia pakai tangannya untuk singkap rambutnya yang
riap-riapan, setelah itu, mendadak ia tertawa, gaetannya berkelebat, maka di pihak lawan,
satu imam telah terluka pula!
Hal ini membikin semua imam jadi gusar sekali, kembali mereka menyerang, secara hebat.
Dalam saat sangat terancam dari Ho Tiat Tjhioe itu, dari kejauhan terdengar suara suitan
istimewa, mendengar mana, ketua Ngo Tok Kauw itu tertawa pula.
"Dengar, itulah orang-orangku datang!" ia berseru. "Baik kamu lekas menyingkir, atau
kamu nanti dapat susah!...."
Wan Djie dengar ancaman yang berupa nasihat itu.
"Jikalau ini bukannya saat mati atau hidup," pikirnya "mendengar suaranya ini, yang
begini halus, orang pasti mengira ia sedang pasang omong dengan kekasihnya..."
Ia kagumi suara orang yang merdu itu.
Tong Hian tidak gubris nasihat itu.
"Baik bereskan dulu ini kacung hina!" katanya kepada kawan-kawannya.
Serangan diperkeras dengan kesudahan Tiat Tjhioe mendapat dua luka enteng pada
kakinya. Meski begitu, ia masih melawan dengan tampangnya bersenyum-senyum.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
"Jangan kau tertawa saja!" seru satu imam muda, yang hatinya tak tega kalau nona begini
cantik-manis mesti terbinasa di ujungnya puluhan pedang yang tajam. "Kau menyerah
atau tidak?"
"Eh, tootiang, apa katamu?" tanja Tiat Tjhioe, menegasi. Masih ia tertawa.
Ditanya begitu, imam muda itu tercengang, selagi ia hendak menjawab, mendadak ada
sinar berkelebat.
"Awas!" seru Bin Tjoe Hoa. Sia-sia saja pemberian ingat ini, gaetan emas dari Ho Tiat
Tjhioe telah mampir ditubuh si imam.
Selagi kepungan diperkeras, Tong Hian pecah delapan orangnya, akan sambut balabantuannya
pemimpin Ngo Tok Kauw itu. Maka tak jauh dari mereka, segera terdengar
suara beradunya pelbagai alat-senjata, suatu tanda, pihak Boe Tong Pay sudah mulai
bentrok sama bala-bantuannya Tiat Tjhioe.
Kembali Tong Hian memecah orangnya, guna bantu delapan kawannya itu.
Tiat Tjhioe dapat juga bernapas sedikit karena dipecahnya kekuatan yang mengepung dia,
akan tetapi kendati demikian, ia tidak sanggup toblos kurungan, untuk persatukan diri
dengan kawan-kawannya itu.
Selagi orang bertempur seru, mendadak terdengar suaranya satu imam: "Bagus, bagus!
Tiang Pek Sam Eng, tiga dorna penjual negara, kamu juga datang?"
"Habis bagaimana?" jawab satu suara kasar dan bengis. "Kau tahu kami liehay, lekas
kamu pergi semua!"
Heran Tjiauw Wan Djie mendengar suara si imam, yang menyebut Tiang Pek Sam Eng,
ialah tiga jago dari Tiang Pek San. Mereka bertiga adalah yang mengadu-biru dalam hal
membikin celaka ayahnya, mereka sudah ditawan Sin Tjie, oleh ayahnya mereka telah
dikirim pada kantor negeri di Lamkhia, maka heran, kenapa mereka itu sekarang datang
kemari.
"Apa mungkin mereka itu buron dari penjara? Atau apa mereka sudah sogok pembesar
negeri, untuk kebebasan mereka?" pikir si nona, yang menduga-duga.
Selama itu, desakan Ngo Tok Kauw menjadi hebat, segera ternyata, pihak Boe Tong Pay
kena terdesak. Maka tidak ayal lagi, Tong Hian Toodjin beri tanda untuk pihaknya mundur.
Dalam hal ini, mereka ini bisa bekerja dengan sempurna, mereka dapat mundur dengan
teratur.
Ho Tiat Tjhioe tampak orang mundur dengan rapih, ia cegah pihaknya mengejar, sembari
tertawa, ia ejek musuh-musuhnya itu, katanya: "Jikalau ada waktu yang senggang, lain kali
kamu boleh datang pula untuk main-main lagi! Siauwmoay tak dapat antar padamu!..."
Ia menggunakan kata-kata "siauwmoay," - adik yang rendah.
Pihak Boe Tong Pay tidak perdulikan ejekan itu. Mereka muncul dengan mendadak,
mundurnya pun secara cepat sekali. Maka dilain saat, kesunyian datang kembali, tak lagi
ada suara bentrokan senjata, cuma ada siurannya angin malam yang membawa datangnya
sang salju.
Wan Djie mengintai pula, ia lihat beberapa puluh orang, yang berkumpul bergundukKang
Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
gundukan.
Seorang perempuan tua, yang dandan sebagai pengemis, kata: "Pandai sekali mereka itu
serep-serepi kabar! Mereka tahu orang-orang kita sedang terluka, mereka datang
membokong!"
"Syukur bibi telah dapat lekas mengumpul bala-bantuan," berkata Ho Tiat Tjhioe. "Lebih
syukur keempat loopeh Keluarga Oen dan Tiang Pek Sam Eng pun kumpul bersama, coba
tidak, rada sulit untuk memukul mundur mereka itu."
Seorang tua, yang kumis-jenggotnya putih, menanya: "Apakah pihak Boe Tong Pay itu
berserikat sama Hoa San Pay?"
Seorang lain, yang suaranya kasar, menyahuti: "Kim Liong Pang berkonco sama si
binatang she Wan! Kami bertiga saudara telah gunai akal merenggangkan, untuk
membunuh orang sambil meminjam golok, maka orang she Wan itu pasti bakal hajar pihak
Boe Tong Pay!"
Si orang tua lantas tertawa besar.
"Bagus! Biar mereka saling bunuh!" katanya.
Mendengar pembicaraan itu, Wan Djie di kolong joli mengeluarkan keringat dingin.
"Hm, jadi tiga jahanam inilah yang telah bunuh ayahku!" katanya di dalam hati.
Sampai di situ, terdengarlah suaranya Ho Tiat Tjhioe: "Sekarang mari kita pergi ke istana!
Tak usah duduk joli lagi...."
Maka pergilah rombongan orang itu. Yang jalan di depan ada Ho Tiat Tjhioe bersama Tiang
Pek Sam Eng dan empat orang tua.
Tjiauw Wan Djie tunggu sampai orang sudah melalui beberapa puluh tindak, Baru ia keluar
dari kolong joli, kapan ia telah melihat ke sekitarnya, ia terperanjat sendirinya. Nyata ia
telah berada diluar Kota Terlarang. Ia pun bisa lihat rombongan Ho Tiat Tjhioe memasuki
istana.
Tidak berani Nona Tjiauw berdiam lebih lama di tempat sunyi itu, dengan berlari-lari, ia
berangkat pulang, langsung ke gang Tjeng-tiauw-tjoe. Ia segera ketemui Sin Tjie, akan
tuturkan pengalamannya barusan.
Sin Tjie awasi nona ini sekian lama, akhirnya ia tunjuki jempolnya.
"Nona Tjiauw, besar nyalimu, dan kau cerdik sekali!" ia memuji.
Merah mukanya si nona, ia tidak bilang suatu apa, hanya ia beri hormatnya.
Tidak berani Sin Tjie ulur kedua tangannya, akan angkat bangun si nona, ia malah
bertindak ke pinggir, untuk tidak terima pemberian hormat itu. Tapi ia mengerti maksud
Nona Tjiauw, maka ia kata: "Tentang sakit hati ayahmu, nona, kau letaki itu dibahuku,
tetapi dengan menjalankan ini kehormatan besar, nona seperti tidak memandang mata
kepadaku...." Kemudian setelah berpikir sedetik, ia tambahkan : "Tak dapat kita berayal
lagi, sekarang juga aku mesti pergi ke istana!"
"Entah bagaimana duduknya, kawanan jahanam itu bisa masuk dalam istana kaisar." kata
Wan Djie. "Istana ada terjaga kuat sekali, aku rasa kurang tepat untuk kau memasukinya,
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Wan Siangkong...."
"Jangan kuatir, tidak ada halangannya," Sin Tjie bilang. "Aku mempunyai suatu barang
berharga. Sebenarnya aku sudah mesti gunai itu sedari siang-siang, siapa tahu setibanya
di kota raja ini, kejadian-kejadian saling-susul sampai aku tidak punya tempo senggang
lagi..."
Ia rogo sakunya, akan tarik keluar sesampul surat.
Itulah suratnya To Djie Koen, pangeran Kioe Ong dari Boan-tjioe, yang dialamatkan
kepada Soe-lee Thaykam Tjio Hoa Soen didalam istana, yang tadinja dibawa oleh Ang
Seng Hay tapi tak sempat Seng Hay menyerahkannya. Ia percaya, surat itu bakal ada
faedahnya, maka Sin Tjie simpan itu. Sekarang surat ini hendak digunakan.
"Bagus!" menyatakan si nona. "Aku akan turut kau, Wan Siangkong. Aku nanti menyamar
sebagai kacungmu."
Sin Tjie tahu orang hendak membalas sakit hati dengan tangan sendiri, itu artinya
kebaktian, tak suka ia merintanginya.
"Baiklah," ia manggut.
Wan Djie lantas masuk ke dalam, untuk bersihkan tubuh dan tukar pakaiannya.
Memangnya pakaiannya sudah kotor sebab tadi ia keluar-masuk di kolong joli. Ia dandan
pantas sekali sebagai seorang kacung.
"Sekarang tak dapat aku panggil kau Nona Tjiauw!" kata Sin Tjie sambil tertawa.
"Panggil saja aku Wan-djie," kata si nona, yang pun tertawa." Mungkin lain orang sangka
aku pwee-djie atau wan-djie...."
Namanya si nona memang bersuara sama dengan "wan-djie" -"mangkok". Dan "pwee-djie"
artinya "cawan."
Sin Tjie bersenyum.
Selagi dua orang ini hendak keluar, mendadak Gouw Peng dan Lo Lip Djie datang masuk,
agaknya mereka kesusu. Mereka bawa warta bahwa penjagaan di kantor ada keras sekali,
hingga mereka mesti tunggu sampai datang giliran tukar orang, Baru mereka bisa
lemparkan tubuhnya Sian Tiat Seng.
"Bagus"" kata Sin Tjie sambil manggut.
"Wan Siangkong, soe-moay, apa aku boleh turut kamu?" kemudian tanya Lip Djie setelah
ia dapat tahu kemana dua orang ini hendak pergi.
Wan Djie awasi Sin Tjie, tak berani ia lancang mengajak.
Anak muda kita berpikir: "Memasuki istana ada tindakan berbahaya, penjagaan di sana
kuat, di sana pun terdapat banyak orang liehay, untuk lindungi Wan Djie, aku repot,
bagaimana lagi aku bisa ajak lain orang?"
Selagi Sin Tjie berpikir, Gouw Peng tarik ujung bajunya Lip Djie, sambil mengedipi, ia
bilang: "Lo Soetee, luka tanganmu Baru sembuh, kesehatanmu belum kembali seluruhnya,
maka biarlah Wan Siangkong ajak soemoay saja...."
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Mendengar itu, Sin Tjie lalu berpikir:
"Agaknya Gouw Peng ingin mengantapkan aku berada berdua dengan Wan Djie. Ketika
kemarin malam aku pergi kepada Tjoei In Toodjin, aku pun berdua saja sama Nona Tjiauw,
mungkin itu menyebabkan timbulnya kecurigaan mereka. Aku boleh tak usah kuatir, akan
tetapi menyingkirkan curiga ada terlebih baik lagi ."
Maka itu, ia lantas jawab Lip Djie: "Lo Toako suka turut, itu berarti tambahan pembantu
untuk aku. Nah, pergilah kau lekas salin pakaian!"
Lip Djie jadi sangat girang, ia lari ke dalam, untuk mengenakan dandanan sebagai kacung.
Gouw Peng turut masuk.
"Lo Soetee, kali ini kau berlaku tolol!" katanya sambil tertawa.
"Apa soeheng bilang?" Lip Djie heran, ia sampai tercengang.
"Wan Siangkong telah melepas budi sangat besar terhadap Kim Liong Pang kita," kata
Gouw Peng, "dan terhadap dia, agaknya soe-moay ada menaruh hati..."
"Jadi kau maksudkan biar soemoay berjodoh dengan Wan Siangkong?" Lip Djie tegaskan.
"Roh soehoe didunia baka pasti sangat girang," kata pula Gouw Peng. "Kau hendak turut
mereka, apa perlunya?"
Lip Djie sadar.
"Soeheng benar!" katanya, "Ya, aku tak jadi pergi."
"Tapi sekarang, kalau kau batal pergi, kau bakal mendatangkan kecurigaan," Gouw Peng
bilang. "Kau boleh pergi, asal kau bisa lihat selatan. Tidak ada urusan yang terlebih baik
daripada terangkapnya jodoh mereka!"
Lip Djie manggut, walaupun hatinya tak keruan rasa.
Sebenarnja sudah sejak beberapa tahun lip Djie menaruh hati pada Wan Djie, hanya
sebegitu lama belum berani dia mengutarakannya, si nona elok dan manis, suka ia tertawa
atau bersenyum, tetapi dalam semua tindakannya, ia bersungguh-sungguh, terutama
selama ada urusan ayahnya, nona ini repot sekali, sikapnya keren. Sementara itu, Lip Djie
pun dibikin bersangsi dengan tangannya, yang kutung sebelah, dia malu sendirinya,
sampai omong pun ia tidak berani omong banyak sama si nona. Maka itu, mendengar
perkataan Gouw Peng, dia jadi putus asa. Tapi ia bisa berpikir, "Wan Siangkong gagah,
dengan soemoay dia sembabat sekali, dengan soemoay bisa pernahkan diri untuk hari
kemudiannya, mesti aku bergirang untuknya!"
Karena ini, ia keluar dengan hati tetap dan tenang.
Dari dalam peti besi, Sin Tjie keluarkan banyak rupa barang permata, ia membuat satu
bungkusan besar, ia minta Lip Djie yang bawa, lalu bersama-sama Wan Djie, ia berangkat
ke istana. Dimuka pintu istana ia ucapkan tanda rahasia pada serdadu pengawal, kapan
pengawal tahu, orang ada tetamunya Tjo Thaykam, ia menyambut dengan sangat hormat,
ia pimpin tetamunya kedalam, setelah mana, ia undurkan diri, sebab di sini ada satu
thaykam muda yang gantikan ia antar Sin Tjie kedalam.
Sampai tiga kali Sin Tjie dapatkan pergantian tiga thaykam, selama itu ia perhatikan
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
jalanan atau bagian-bagian perdalaman istana yang ia lewati. Paling belakang ia diajak ke
taman, dimana ada jalanan yang banyak tikungannya, terus sampai disebuah kamar yang
kecil tapi indah perlengkapannya. Di sini ia dipersilakan duduk dan disuguhkan teh wangi.
Kira-kira dua jam Sin Tjie sudah duduk menantikan, Tjo Thaykam masih belum juga
muncul. Selama itu, orang kebiri yang temani dia juga tidak omong suatu apa kecuali ia
mengundang minum teh. Adalah selang lagi sekian lama, Baru datang satu orang kebiri
lain, umurnya kira-kira tiga-puluh tahun. Ia ini majukan beberapa pertanyaan, dalam katakata
rahasia Sin Tjie menyahuti menurut pengajaran Ang Seng Hay. Habis itu, thaykam
manggut-manggut, lantas ia masuk pula kedalam.
Selang tidak lama, thaykam itu balik lagi bersama satu orang kebiri yang usianya tinggi,
tubuhnya gemuk, mukanya putih.
Sin Tjie lantas menduga kepada Tjo Hoa Soen apabila ia lihat orang itu berpakaian mewah
dan roman agung-agungan. Inilah orang kedua yang paling berpengaruh di dalam keraton
disampingnya kaisar.
"Inilah Tjo Kong-kong!" kata thaykam yang tadi
Sin Tjie, bersama-sama Lip Djie dan Wan Djie, tekuk lutut untuk memberi hormat. Pemuda
ini sedang membawa lelakon, ia mesti bawa sikap wajar.
"Jangan pakai banyak adat-peradatan!" kata Tjo Thaykam sambil tertawa. "Silakan duduk.
Apakah Kioe Ong-ya banyak baik?"
"Ong-ya ada baik," sahut Sin Tjie. "Ong-ya titahkan siauwdjin menanyakan kewarasan
kong-kong."
Ketawa orang kebiri yang usianya tinggi itu.
"Beberapa potong tulang tua dari aku masih mendapat perhatiannya Ong-ya!" katanya
sambil tertawa, tandanya ia puas sekali. "Ang Lauwko, kau datang dari tempat demikian
jauh, entah kau bawa pesan apa dari Ong-ya?"
"Ong-ya hendak tanya kong-kong kalau-kalau kong-kong sudah mengatur sempurna
rencana," kata Sin Tjie, yang pakai namanya Ang Seng Hay.
"Junjungan kami bertabeat keras dan kukuh," jawab thaykam itu. "Beberapa kali telah aku
kemukakan usul kepadanya tetapi ia bilang, meminjam angkatan perang untuk menindas
pemberontak adalah pekerjaan yang banyak bahayanya kelak di belakang hari. Baginda
cuma mengharapkan kedua negara bebaskan diri dari bahaya perang. Baginda bilang,
kalau nanti kerajaan Beng sudah dapat tindas huru-hara, dia akan menghaturkan terima
kasih pada Kioe Ong-ya."
Sebenarnya Sin Tjie tidak tahu jelas hubungan diantara Kioe Ong-ya dari Boantjioe itu
serta ini Thaykam Tjo Hoa Soen. Ang Seng Hay juga tidak tahu betul, sebab kedudukan
Seng Hay rendah sekali, tetapi setelah ia bicara sama orang kebiri ini, ia me-raba-raba,
maka itu, goncanglah hatinya. Jadi orang bersekongkol dan raja hendak dijerumuskan,
untuk pinjam angkatan perang Boan, guna dipakai menindas huru-hara didalam negeri.
Terang sudah, Kioe Ong-ya itu, atau bangsa Boan, mengandung maksud tidak baik
terhadap Tiong-goan, untuk itu, Tjo Thaykam yang dipakai sebagai pekakas. Itulah urusan
penting sekali, yang bisa mencelakai negara.
Sin Tjie tabah, ia bisa berpikir, akan tetapi karena urusan demi kian besar, wajahnya
berubah juga sedikit...!
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Tjo Thaykam lihat air muka orang, akan tetapi ia menyangka lain. Ia menduga Ang Seng
Hay tidak puas karena ia belum bekerja sempurna. Maka lekas-lekas ia kata: "Saudara
Ang, jangan sibuk! Satu jalan tidak memberi hasil, masih ada lain jalan lagi!"
"Ya, ya, kong-kong," Sin Tjie bersandiwara. "Kong-kong cerdik, inilah ongya ketahui,
ongya sangat mengaguminya."
Atas pujian itu, Tjo Thaykam tidak bilang suatu apa, ia cuma tertawa.
Kemudian Sin Tjie bertkata: "Ongya menitahkan siauwdjin membawa bingkisan yang tidak
berharga, harap kongkong suka terima." Ia lantas menunjuk ke bebokongnya Lip Djie,
maka Wan Djie lantas turunkan bungkusan di belakang saudara seperguruan itu, untuk
diletaki di atas meja untuk segera dibuka juga.
Matanja Tjo Hoa Soen bersinar, lantas ia berdiri diam. Ia biasa hidup di dalam keraton, ia
pernah lihat banyak permata mulia, akan tetapi apa yang sekarang ia tampak di depan
matanya, membikin ia kagum, karena ini terutama ada untuk ia sendiri. Serenceng dari
seratus butir mutiara saja, yang besar, harganya sudah bukan main besarnya, belum batu
pualam dan lainnya, yang banyak sekali. Yang aneh adalah singa-singaan dari batu
hoeitjoei serta sebuah bola dari batu mirah merah.
Lantas orang kebiri ini periksa satu demi satu permata itu, ia seperti tidak hendak
melepaskannya. Ia ingin kasi presen pada Sin Tjie tapi ia sangsi akan memberikan yang
mana, ia angkat yang satu, ia tukar dengan yang lainnya.
"Baik aku beri hadiah uang saja," akhirnya ia bilang.
"Kenapa ongya menghadiahkan begini banyak barang?" katanya, berpura-pura.
Sin Tjie pandai berpikir, tahu ia bagaimana harus mainkan peranan.
"Ongya juga tahu Baginda bijaksana dan urusan pinjam tentera ada sulit," katanya, "akan
tetapi ongya percaya betul pada kongkong dan mengharap kong-kong berdaya sebisabisanya."
Bukan kepalang puasnya orang kebiri ini, ia tertawa girang.
"Pergi kamu beristirahat di luar," kemudian ia kata pada Lip Djie dan Wan Djie.
Sin Tjie manggut, maka kedua kacung itu menurut ketika ada thaykam muda yang ajak
mereka keluar.
Tjo Hoa Soen sendiri yang menutup pintu, setelah itu, ia cekal tangannya pemuda kita.
"Apakah kau tahu apa syaratnya untuk Ongya kerahkan angkatan perangnya?" ia tanya
dengan pelahan.
"Aku hendak korek rahasia dari mulutnya, aku mesti buka rahasia padanya," pikir Sin Tjie.
"Kenapa aku tidak hendak ngaco-belo?"
Maka ia lantas jawab: "Kong-kong ada orang sendiri, tidak ada halangannya untuk aku beri
tahu, tetapi urusan ada sangat besar, maka urusan ini kecuali Ongya, cuma kongkong dan
aku yang mengetahuinya."
Kedua matanya thaykam itu bersinar.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Sin Tjie maju mendekati, ia kata dengan pelahan: "Aku pikir, walaupun Kioe Ongya
hargakan aku, dia tetap ada orang asing, maka itu, biar bagaimana, aku mengharap
bantuan kongkong juga, supaya kemudian aku bisa angkat kehormatan leluhurku..."
Tjo Hoa Soen bisa menduga hati orang.
"Tentu dia inginkan pangkat," pikirnya. Maka ia tertawa, ia kata: "Saudara Ang, kau
percayakan saja urusanmu kepadaku!"
Sin Tjie pikir, main sandiwara tidak boleh kepalang tanggung, maka terus ia berlutut,
untuk haturkan terima kasihnya.
Melihat orang punya kelakuan itu, Tjo Hoa Soen pun pikir: "Ini orang sangat lincah, dia ada
orang kepercayaan Kioe Ongya, aku mesti dapatkan dia sebagai orangku sendiri.
Maka ia lantas tanya: "Ang Lauwtee, kau ada asal mana?"
Asal Kwie-tang," sahut Sin Tjie.
"Jikalau nanti kita sudah berhasil, bagaimana jikalau aku angkat kau menjadi tjongpeng
dari Kwietang?" tanya dia.
"Kongkong ada baik sekali," kata Sin Tjie, yang kembali haturkan terima kasihnya.
"Terhadap kongkong, tak dapat aku sembunyikan apa-apa. Pikirannya Kioe Ongya
adalah..." Ia berhenti, akan celingukan kekanan-kiri, Baru ia melanjuti, dengan pelahan
sekali: "Aku harap kongkong bisa pegang rahasia, jikalau tidak, jiwaku tidak bakal
tertanggung pula..."
"Kau jangan takut, aku jamin padamu," kata thaykam itu.
Sin Tjie unjuk roman berhati lega, tetapi ketika ia bicara lagi, ia tetap bicara dengan sangat
pelahan. Ia kata: "Setelah angkatan perang Boan memasuki kota perbatasan, pasti sekali
kaum pemberontak akan dapat ditindas. Syarat dari Kioe Ongya adalah supaya sri baginda
kerajaan Beng hadiahkan dia semua daerah di Hoopak dan Shoatang kearah utaranya,
tapal batas negara adalah sungai Hong Hoo, agar selanjutnya kedua negara jadi negaranegara
persaudaraan."
Pemuda kita sudah karang cerita akan tetapi Tjo Hoa Soen percaya, tidak ia sangsi sedikit
juga, sebab kesatu ia terima suratnya To Djie Koen, kedua ia telah dibekali banyak barang
permata. Ia tahu, bangsa Boan memangnya liehay.
Sekian lama orang kebiri ini berpikir, lalu ia manggut-manggut.
"Sekarang ini keamanan sedang sangat terganggu," katanya kemudian. "Turut kabar pagi
ini, kota Tong-kwan sudah dipukul pecah pemberontak Lie Giam dan Peng-pou Siangsie
Soen Toan Teng telah binasa berkorban, dengan kebinasaannya menteri perang itu,
kerajaan Beng mempunyai panglima perang siapa lagi? Memang, kalau tidak sekarang
Kioe Ongya bergerak, kota Pakkhia ini tentulah bakal diserbu pemberontak."
Diam-diam Sin Tjie bergirang mendengar Tongkwan sudah jatuh dan Soen Toan Teng,
kepala perang kesohor itu, telah terbinasa. Untuk sembunyikan wajahnya, yang
bercahaya, ia lekas-lekas tunduk.
"Sebentar malam aku nanti majukan pula usulku kepada Sri Baginda," berkata Tjo
Thaykam, "jikalau dia tetap berkukuh, maka untuk kebaikan negara aku nanti...."
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Goncang hatinya Sin Tjie mendengar perkataannya orang kebiri ini.
"Seharusnya kongkong menggunai segala daya dahulu Barulah kongkong turun tangan,"
ia kata, Tapi keraslah sudah pikirannya Tjo Thaykam.
"Hum! Jikalau Sri Baginda tetap tidak berdaya menindas pemberontakan, terpaksa mesti
diangkat satu raja baru!" kata dia. "Kerajaan Beng boleh musna, negara boleh terjatuh ke
tangan lain orang, tidak apa, tetapi mustahil kita mesti antari jiwa karenanya?"
"Sebenarnya kongkong mempunyai daya apa?" Sin Tjie tanya. "Tetap hatiku apabila aku
bisa dapat mengetahui..."
"Sungai Hong Hoo menjadi tapal batas negara ada terlebih baik daripada kerajaan terjatuh
ke dalam tangan pemberontak," kata thaykam itu, "Apabila dia tetap berkeras, apa
mungkin..."
Tilbaa saja orang kebiri ini merandak. Ia dapat ingat: "Meskipun orang ini ada orang
kepercayaannya Kioe Ongya, aku toh Baru pertama kali ini bertemu padanya, apa boleh
aku beber seluruh rahasia terhadapnya?"
Dengan tiba-tiba, ia tertawa.
"Ang Lauwtee," katanya, melanjuti, "dalam tempo tiga hari, aku nanti berikan kabar baik
pada Kioe Ongya! Kau tunggu saja di sini..."
Thaykam ini lantas menepuk tangan, lantas muncul empat thaykam muda, mereka
benahkan barang-barang permata, setelah mana dengan iringi thaykam tua itu, mereka
kembali kedalam.
Dilain pihak, empat thaykam kecil lainnya lantas pimpin Sin Tjie serta dua kacungnya ke
sebuah kamar disebelah kiri dimana mereka lantas disuguhkan barang-barang santapan
sore yang terpilih, karena cuaca pun sudah lantas mulai gelap.
Kemudian lagi, setelah memberi selamat malam, keempat thaykam kecil itu undurkan, diri.
"Tjo Thaykam ini sedang mengatur suatu rencana besar," Sin Tjie beritahu kedua
kawannya. "Urusan hebat sekali, sebab ini mengenai keselamatan negara. Kamu berdua
tunggu di sini, aku hendak mencari rahasia sekalian untuk cari tahu apa Nona Hee ditahan
didalam istana atau bukan..."
" Aku turut kau, Wan Siangkong," Wan Djie meminta.
"Jangan, kau tunggu disini bersama Lo Toako," Sin Tjie bilang. "Ada kemungkinan Tjo
Thaykam kurang percaya atau hatinya tak tenteram hingga ia bisa kirim orang akan
melihat kita."
"Aku kira cukup aku berdiam sendiri di sini," menyatakan Lo Lip Djie. "Ada baiknya untuk
siangkong dapat tambahan satu tenaga."
Sin Tjie lihat Wan Djie sangat bernapsu, ia merasa berat untuk menampik lebih jauh, maka
ia manggut.
Setelah itu keduanya pergi ke kamar sebelah dimana berdiam empat thaykam muda yang
tadi. Sebelum mereka tahu apa-apa, Sin Tjie sudah totok yang dua hingga mereka jadi
seperti gagu. Dua yang lain kaget, sampai mereka lompat turun dari pembaringan mereka,
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
mereka mengawasi dengan buka mata lebar-lebar.
Wan Djie keluarkan tempuling ngo-bie-tjie yang tajam-mengkilap, ia ancam itu di dada
kedua thaykam ini.
"Asal kamu buka mulut, aku nanti kirim kamu menghadap Goei Tiong Hian." kata nona ini,
suaranya pelahan tetapi berpengaruh. Ujung senjata itu mengenai baju sampai terus
nempel dikulit dada.
Sin Tjie bersenyum. Tak ia sangka, dalam keadaan seperti itu, si nona masih bisa guyon.
Goei Tiong Hian adalah thaykam jahat di jaman Kaisar Hie Tjong dan telah terbunuh mati.
Lantas Sin Tjie buka bajunya kedua thaykam itu, untuk ia pakai berdua Wan Djie.
Untuk ia salin pakaian Wan Djie tiup lilin, hingga kamar jadi gelap.
Sin Tjie totok thaykam yang satunya lagi, sedang yang keempat, ia cekal nadinya, lantas ia
tuntun keluar.
"Jangan bicara!" ia ancam. "Kau bawa kami kepada Tjo Kongkong."
Thaykam itu tidak berdaya, ia rasai separuh tubuhnya kaku, terpaksa ia tutup mulut, akan
antar orang ke kamar thaykam kepala.
Mereka jalan lama juga, beberapa kali mereka nikung, Baru mereka sampai di depan
sebuah lauwteng besar.
"Tjo Kong-kong tinggal disana," thaykam ini kasi tahu.
Sin Tjie tidak tunggu orang bicara lebih jauh, segera ia menotok untuk bikin orang kebiri
itu tak dapat berkutik, kemudian ia angkat tubuhnya thaykam itu, untuk diletaki di tempat
lebat dengan pepohonan bunga. Kemudian bersama Wan Djie, dengan berindap-indap, ia
maju ke lauwteng sekali.
Di tingkat kedua kelihatan api terang-terang.
Selagi Sin Tjie hendak tarik tangan Wan Djie, untuk diajak lompat naik ke atas lauwteng, ia
dengar suara tindakan kaki di belakang mereka, lantas ia dengar suara orang menanya:
"Apakah Tjo Kong-kong ada di atas lauwteng?"
"Aku pun Baru sampai. Mungkin kong-kong ada di atas," ia jawab, seraya menoleh ke
belakang, akan lihat lima orang lagi mendatangi, seorang yang jalan di depan menenteng
sebuah lentera merah. Lima orang itu dandan sebagai orang-orang kebiri. Orang yang tadi
menanya sedang mendumal. Mereka jalan dengan pelahan.
Sin Tjie dan Wan Djie tunduk, supaya orang tak lihat muka mereka.
Di waktu melewati pintu, mukanya lima orang itu terkena sinar api berbalik dari daun pintu
yang dicat mengkilap. Sin Tjie yang awas dapat lihat muka mereka, ia terkejut. Lekas ia
tarik ujung bajunya Wan Djie, untuk ayalkan tindakan.
"Itulah Tiang Pek Sam Eng," kemudian Sin Tjie bisiki kawannya setelah lima orang itu
mendaki tangga lauwteng.
Nona Tjiauw kaget.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
"Orang-orang jahat yang membunuh ayahku?" Tanya dia. "Jadi mereka sudah jadi
thaykam?"
"Sama sebagai kita, melainkan lagi menyamar," Sin Tjie bilang. "Mari kita naik!"
Wan Djie ikuti kawannya ini.
Di lauwteng pertama ada thaykam yang menjaga tetapi mereka tidak merintangi, hingga
Sin Tjie berdua pun dapat lewat dengan merdeka.
Di lauwteng kedua, dua thaykam pengantar ajak Tiang Pek Sam Eng masuk dalam sebuah
kamar.
Sin Tjie ajak Wan Djie berhenti di luar sebuah pintu kamar itu, hingga mereka dengar
orang kebiri yang bawa lentera kata: "Silakan tunggu di sini, Tjo Kong-kong akan
lantas...." Selanjutnya, suara mereka tidak terdengar nyata. Habis itu, kedua thaykam itu
turun dari lauwteng.
Lantas Sin Tjie tarik tangan Nona Tjiauw, untuk diajak masuk ke dalam kamar itu, ialah
sebuah kamar tulis, karena disitu, sekitar tembok ada digantungi gambar-gambar dan
pigura-pigura tulisan. Tiang Pek Sam Eng duduk di tengah ruangan. Diaorang ini lihat
masuknya dua thaykam tetapi diaorang tidak menaruh perhatian.
Sin Tjie dan Wan Djie sengaja jalan kedepan tiga jago dari Tiang Pek San itu, Baru
sekarang mereka angkat kepala, akan awasi kedua orang kebiri ini.
Wan Djie, sambil tertawa dingin, lantas menegur: "Soe Siok-hoe, Lie Siok-hoe, ayahku
undang kamu bertiga bersantap!..."
Tiga orang itu kaget apabila mereka kenali nona Tjiauw, malah Lie Kong mencelat
berjingkrak.
"Bukan...bukankah ayahmu telah meninggal dunia?" tanyanya.
"Benar! Makanya ayah undang siok-hoe bertiga bersantap!" sahut Wan Djie.
Soe Peng Boen kerutkan alis, dengan mendadak saja ia cabut goloknya hingga
menerbitkan suara "Sret!"
Tetapi Sin Tjie berlaku sangat gesit, begitu ia lompat, kedua tangannya telah cekuk
masing-masing batang lehernya Peng Boen serta saudaranya, sedang kakinya mendupak
bebokong dari Lie Kong, di betulan jalan darah hong-bwee-hiat.
Soe Peng Kong mencoba memutar tubuh, ia jotos dadanya pemuda kita.
Sin Tjie tidak perdulikan jotosan, ia hanya lebih perlukan rangkap kedua tangannya
dengan kaget, hingga kepalanya dua saudara Soe saling bentur dengan keras, hingga
sekejab saja, keduanya tak sadar akan dirinya. Tubuhnya Lie Kong pun rubuh.
Wan Djie sangat kagum. Sebelum ia melihat tegas, Tiang Pek Sam Eng sudah kena dibikin
tidak berdaya. Ia lantas keluarkan senjatanya, untuk tikam dadanya Soe Peng Kong.
Sin Tjie lekas tahan tangan orang.
"Lekas sembunyi, ada orang!" katanya berbisik.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Benar-benar di tangga terdengar tindakan kaki.
Dengan sebat Sin Tjie tengteng dua-dua Peng Boen dan Peng Kong, untuk letaki tubuhnya
di belakang para-para buku, kemudian ia pondong tubuhnya Lie Kong, untuk bersama
Wan Djie pun sembunyi di belakang para-para itu.
Segera setelah itu, muncullah beberapa orang.
"Silakan tuan-tuan menanti di sini," kata satu orang. "Tjo Kongkong akan segera keluar."
"Kau banyak cape!" terdengar satu suara wanita, satu suara yang merdu.
Dua-dua Sin Tjie dan Wan Djie kenali suaranya Ho Tiat Tjhioe, pemimpin dari Ngo Tok
Kauw. Berdua mereka saling memegang tangan dengan keras, tandanya mereka samasama
kenali orang she Ho itu.
Sebentar lagi datang pula beberapa orang, mereka ini lantas bicara sama pihak Ho Tiat
Tjhioe.
Kembali Sin Tjie terkejut.
"Kiranya empat jago tua Keluarga Oen dari Tjio Liang Pay dari Kietjioe pun datang
kemari...." pikirnya. "Rupanya merekalah itu empat orang tua yang tadi malam Wan Djie
lihat membantu pihak Ho Tiat Tjhioe, pantas Tong Hian beramai tak sanggup lawan
mereka. Apa perlunya mereka datang kemari?"
Baru habis mereka itu bicara, untuk belajar kenal juga, lantas terdengar datangnya Tjo Hoa
Soen bersama beberapa orang lainnya lagi - orang-orang kang-ouw, sebagaimana Sin Tjie
ketahui ketika ia dengar Tjo Thaykam perkenalkan mereka dengan rombongannya Ho Tiat
Tjhioe dan empat jago dari Tjio Liang Pay, di antaranya ada Lu Djie Sianseng.
"Dengan anggauta keluarganya tidak lengkap," pikir Sin Tjie, "Keluarga Oen tidak lagi bisa
berkelahi dengan gunai Ngo Heng Tin. Akan tetapi di sini ada rombongannya Ho Tiat
Tjhioe, seorang diri tidaklah sanggup aku melayani mereka...."
"Eh, mana Tiang Pek Sam Eng?" tiba-tiba pertanyaan Tjo Hoa Soen.
"Tuan Soe bertiga sudah datang," sahut satu thaykam, "entah mereka pergi kemana...."
"Coba cari," Tjo Thaykam menitah.
Sin Tjie lantas totok tiga jago dari Tiang Pek San, maka umpama kata mereka sadar, tak
dapat mereka buka mulut mereka.
Beberapa thaykam, yang diperintah cari Tiang Pek Sam Eng, balik dengan sia-sia, katanya
tak dapat mereka cari tiga orang itu.
"Sudahlah, tak usah kita tunggui mereka," kata Tjo Thaykam. "Mereka sendiri yang siasiakan
ketika baik ini, tak dapat mereka sesalkan kita."
Lantas terdengar suara berisik dari digesernya kursi-kursi, tandanya orang mulai duduk
berkumpul.
Tjo Hoa Soen batuk-batuk dua kali, seperti ia hendak legakan tenggorokannya.
Sin Tjie pasang kuping. Ia menduga orang hendak bicarakan urusan rahasia.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
"Pemberontak Lie Giam sudah pukul pecah kota Tong-kwan, Peng-pou Siang-sie Soen
Toan Teng telah binasa di medan perang," demikian Tjo Thaykam mulai bicara.
Beberapa suara terdengar sebagai gerutuan, rupanya ada orang-orang yang kaget
mendengar berita perang itu.
"Maka itu," Tjo Thaykam melanjuti, "jikalau kita tidak lekas bertindak, nanti keburu
pemberontak merangsak ke Pakkhia ini. Aku telah pikir, apabila tetap Sri Baginda tidak
sudi pinjam bantuan tentara asing, guna tindas huru-hara, baiklah kita angkat satu raja
lain untuk melindungi Kerajaan Beng..."
"Jikalau begitu, Seng ongya yang harus diangkat!" kata Ho Tiat Tjhioe sambil tertawa.
"Betul!" Tjo Thaykam membenarkan. "Maka itu aku hendak andali bantuan tuan-tuan untuk
tunjang raja yang baru. Mengenai ini, aku yang akan bertanggung jawab, akan tetapi
hasilnya, kita beramai yang icipi bersama-sama!"
Nyata semua hadirin setuju sama pikirannya orang kebiri itu, maka tanpa ambil tempo lagi,
mereka itu lantas rencanakan pembagian tugas.
"Lagi satu jam," kata kemudian Tjo Thaykam dengan titah-titahnya, "aku minta keempat
loosianseng dari Keluarga Oen nanti bawa saudara-saudara yang boleh dipercaya untuk
pergi ke keraton, akan sembunyi di sekitar kamar raja, untuk cegah orang luar memasuki
keraton. Aku minta Hoo Kauw-tjoe beramai sembunyi di luar kamar tulis. Nanti Seng Ong
sendiri yang menghadap raja, untuk beri nasihatnya yang terakhir."
"Tjioe Taytjiangkoen berkuasa atas tentara," tanya Lu Djie Sianseng; "dia setia kepada
raja; perlu atau tidak untuk lebih dulu singkirkan dia?"
Tjo Hoa Soen tertawa.
"Tjioe Taytjiangkoen itu bersama Hok Siangsie," katanya; "dengan sedikit tipu-dayaku,
sudah aku singkirkan! Ho Kauw-tjoe, cobalah kau berikan penuturanmu...."
Ho Tiat Tjhioe tertawa.
"Siang-siang telah diketahui baik-baik oleh Tjo Kongkong, apabila Seng Ong hendak
ditunjang menaiki singgasana kerajaan, Tjioe Taytjiangkoen dan Hok Siang-sie adalah
rintangan-rintangan paling besar," berkata dia; "maka itu siauw-moay telah diberi tugas
untuk melumpuhkan mereka. Begitulah selama beberapa hari, siauw-moay sudah perintah
orang pergi curi uang negara yang menjadi tanggung-jawab mereka itu. Tentu saja itu
adalah kejadian yang paling tidak disukai sri baginda. Kabarnya tadi sri baginda sudah
keluarkan perintah memecat dan menangkap kedua menteri itu, untuk perkaranya
diperiksa lebih jauh."
Orang banyak itu tertawa riuh, luar biasa kegirangan mereka.
Untuk Sin Tjie, Baru sekarang ia ketahui sepak-terjangnya si bocah-bocah serba merah,
jadi mereka itu mencuri bukan karena kemaruk uang, pada itu ada rahasia di belakang
layer. Itulah daya busuk untuk mencelakai Negara. Tidak heran kalau kaisar Tjong Tjeng
kena dikelabui, sebab tindak-tanduk pengkhianat ada licin sekali.
"Nah, sekarang silakan tuan-tuan pergi beristirahat," kemudian kata Tjo Thaykam,
"sebentar lagi aku nanti mengundang berkumpul pula."
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Lu Djie Sianseng bersama empat jago Keluarga Oen dan lainnya lantas berbangkit, untuk
undurkan diri.
Ho Tiat Tjhioe jalan paling belakang.
"Heran, kenapa Tiang Pek Sam Eng tidak hadir!" kata dia sesampainya di pintu.
"Mungkinkah mereka pergi ke istana untuk membocorkan rahasia?"
"Ho Kauw-tjoe pandai berpikir," kata Tjo Thaykam. "Tapi mereka itu ada orang-orang
kepercayaan Kioe Oengya, malah paling belakang ini mereka sudah mendirikan jasa besar
sekali, untuk mereka berkhianat terhadap Kioe Ongya, rasanya tak mungkin...."
"Apakah jasa besarnya mereka itu?" Tiat Tjhioe Tanya.
"Mereka telah berhasil mencuri pisau-pusaka dari seorang she Bin dari Boe Tong Pay,"
sahut Tjo Hoa Soen, "dengan gunai pisau-pusaka itu, mereka sudah pergi bunuh Tjiauw
Kong Lee, ketua dari Kim Liong Pang. Karena ini pastilah kaum Rimba Persilatan di
Kanglam bakal saling bunuh sendirinya, hingga kalau di belakang hari kita menyingkir ke
Kanglam, keselamatan kita jadi terlebih terjamin..."
Wan Djie telah percaya sembilan bahagian bahwa pembunuh ayahnya mesti ada Tiang Pek
Sam Eng, maka sekarang, kepercayaannya itu jadi terpenuhi seluruhnya.
Sin Tjie kuatir nona ini nanti tak dapat kendalikan diri, dengan lancang ia ulur tangannya,
akan bekap mulutnya si nona. Pemuda ini kuatir beradanya mereka di dalam kamar itu
nanti diketahui Ho Tiat Tjhioe, sebab ketua Ngo Tok Kauw ini ada sangat liehay, asal orang
berkerisik sedikit saja, mungkin dia curiga.
Terdengarlah tawanya Ho Tiat Tjhioe.
"Kongkong sangat cerdik," memuji pemimpin Ngo Tok Kauw itu kepada thaykam.
"Kongkong berdiam di dalam keraton tetapi mengenai sepak-terjang kaum kang-ouw,
kongkong ketahuinya dengan jelas."
Tjo Hoa Soen tertawa puas.
"Tentang segala apa di dalam istana, aku ketahui banyak sekali," katanya. "Di dalam
istana, tidak ada satu orang yang tidak kemaruk sama harta dan pangkat, maka siapakah
yang bicara tentang pri-kemanusiaan dan kehormatan? Lain adalah sahabat-sahabat kaum
kang-ouw! Mereka ini, satu dibilang satu, dua dibilang dua. Begitulah dalam usahaku yang
besar ini, aku tidak berdamai sama menteri yang mana juga, aku hanya justru berurusan
sama kamu semua, untuk mohon bantuan kamu...."
Begitulah mereka keluar sambil bicara.
Tegang sekali perasaannya Sin Tjie. Urusan ada sangat penting. Ia tidak cuma
menghadapi urusan golongan kang-ouw saja, sekarang ia menghadapi ancaman untuk
Negara. Apa ia mesti perbuat? Dalam sesaat itu, tak dapat ia lantas memikir daya yang
sempurna.
Wan Djie lihat orang sedang berpikir keras.
"Apa mesti diperbuat terhadap tiga jahanam ini?" tanyanya. "Ingin aku segera
membinasakan mereka!"
Nona ini bicara pelahan sekali.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
"Baiklah," sahut Sin Tjie. "Tapi jangan keja mereka keluarkan darah, nanti kita kepergok."
Ia angkat kepalanya Soe Peng Kong, akan tunjuki kedua pilingannya.
"Apakah kau mengerti tipu-pukulan Tjiong kouw tjee-beng?" tanyanya.
"Tjiong kouw tjee beng" berarti "Lonceng dan tambur berbunyi dengan berbareng".
Tjiauw Wan Djie manggut.
Meski demikian, Sin Tjie toh petakan cara menyerangnya.
"Ya, begitu," katanya pula, setelah si nona beraksi.
Wan Djie lakukan serangannya hingga ia perdengarkan juga sedikit suara, dengan begitu,
tanpa bersuara lagi, binasalah orang she Soe itu. Maka sehabis itu, dengan tipu-pukulan
yang serupa, Wan Djie bikin tamat lelakon hidupnya Soe Peng Boen dan Lie Kong.
Puas hatinya nona ini karena telah berhasil mencari balas dengan tangannya sendiri,
dengan tiba-tiba saja ia terharu, sehingga tanpa likat lagi, ia mendekam di pundaknya Sin
Tjie untuk menangis dengan menahan suara.
"Sekarang mari kita lekas keluar," Sin Tjie mengajak. "Mari kita lihat kemana perginya Ho
Tiat Tjhioe."
Wan Djie angkat kepalanya, dan tangannya juga, dari pundaknya si pemuda, untuk susuti
air matanya, lalu tanpa bilang suatu apa, ia ikut pemuda itu keluar dari kamar tulis itu.
Masih mereka dapat lihat Tjo Thaykam dan ketua Ngo Tok Kauw lagi menikung di sebuah
pengkolan yang bercabang dua dimana keduanya berpisah, sedang dua thaykam muda,
yang membawa lentera, jalan terus di muka Ho Tiat Tjhioe beramai, menuju ke barat.
Sin Tjie berdua Wan Djie terus mengikuti dari kejauhan. Mereka masih tetap dandan
sebagai orang kebiri, hati mereka tenang, sebab mereka tidak kuatir nanti ada yang
pergoki, tak takut mereka ada yang kenali andaikata mereka berpapasan dengan lain-lain
orang kebiri.
Ho Tiat Tjhioe jalan terus melewati beberapa pekarangan, sampai ia masuk dalam sebuah
rumah.
Dengan berani Sin Tjie ajak Wan Djie turut masuk ke dalam rumah itu. Begitu lekas mereka
menindak di pintu, mereka segera dengar cacian nyaring dari Tjeng Tjeng, yang keluar
dari sebuah kamar sebelah timur. Nona itu asyik mencuci-maki Ngo Tok Kauw dan Ho Tiat
Tjhioe.
Tanpa sangsi lagi, Sin Tjie memburu ke kamar timur itu, langsung ia nerobos masuk,
hingga ia tampak dua thaykam muda sedang layani Tjeng Tjeng masak obat, nona itu
sendiri sedang rebah di pembaringan.
Dengan totokannya yang liehay, Sin Tjie bikin kedua thaykam muda mati daya.
Segera Tjeng Tjeng kenali pemuda itu.
"Engko!" dia memanggil.
Sin Tjie menghampirkan ke pembaringan.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
"Bagaimana dengan lukamu?" ia tanya.
"Tidak seberapa," sahut si nona. "Oh, kau pun datang?" tanyanya, kapan ia lihat Wan Djie
di belakang si anak muda.
Nona Tjiauw manggut.
"Apakah lukamu tidak berbahaya, nona Hee?" ia Tanya.
"Hum!" bersuara Tjeng Tjeng, yang tidak menjawab. Tapi pada Sin Tjie, ia bilang: "Engko,
kalau sebentar Ho Tiat Tjhioe datang, kau hajar padanya!"
Sin Tjie sendiri memikir lain.
"Mereka itu sedang bekerja, untuk sementara baik aku sembunyi dulu...." Maka ia lekas
kata pada si nona: "Adik Tjeng, sekarang tak dapat aku turun tangan terhadapnya. Baik
kau pancing dia supaya dia jelaskan apa perlunya dia culik kau dan membawanya ke
istana."
"Apa, istana?" Tjeng Tjeng tanya.
"Oh, jadinya kau masih belum tahu kau sekarang berada di dalam istana?" Sin Tjie balik
tanya.
Justru itu ada terdengar suara tindakan kaki di luar, karena di situ tidak ada tempat
sembunyi, Sin Tjie sambar kedua thaykam, untuk dibleseki ke dalam lemari, ia sendiri,
dengan tarik tangannya Wan Djie, segera nyelusup masuk ke kolong pembaringan.
Selagi Tjeng Tjeng melengak, Ho Tiat Tjhioe kelihatan bertindak masuk, wajahnya ramai
dengan senyuman. Di belakangnya ada si uwah jelek.
"Banyak baik, Hee Kongtjoe?" tanya dia sambil tertawa. "Eh, mana orang-orang yang
layani kau? Pasti mereka malas!"
"Aku yang suruh mereka pergi!" jawab Tjeng Tjeng. "Siapa kesudian dirawati mereka?"
Tiat Tjhioe tak ambil mumat senggapan itu, ia masih tertawa.
"Adat bocah!" katanya, sambil ia bertindak menghampirkan obat. "Eh, obat sudah
matang!"
Ia ambil sepotong kain kecil yang putih meletak seperti salju, ia pakai itu untuk alaskan
cangkir perak, lalu ia tuangkan obatnya ke dalam cangkir itu. Habis itu, ia singkirkan
saringan itu.
"Inilah obat paling manjur untuk luka-luka," kata dia sambil tertawa pula. "Jangan kau
kuatir, umpama obat ini dicampuri racun, cangkirnya bakal berubah menjadi hitam."
Tjeng Tjeng awasi pemimpin Ngo Tok Kauw ini, hatinya bekerja keras. Ia girang pertama
kali melihat Sin Tjie, menyusul itu hatinya adem karena Wan Djie ada bersama si anak
muda, apapula kapan ia tampak Sin Tjie tarik tangan si nona, untuk diajak masuk ke
bawah pembaringan. Sekarang ia hadapi Ho Tiat Tjhioe, ia dapat alasan untuk udal
kemendongkolannya.
"Kamu main muslihat, apa kamu kira aku tidak tahu?" demikian katanya.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
"Muslihat apa sih?" tanya Tiat Tjhioe sambil terus tertawa.
"Kamu permainkan aku!" kata Tjeng Tjeng. "Kamu sedang perhina aku yang bersengsara
karena tidak punya ayah dan ibu! Kau tidak punya liangsim, setan...."
Sin Tjie dengar itu.
"Dia caci siapa itu?" ia menduga-duga.
Wan Djie sebaliknya masgul. Ia merasa, Tjeng Tjeng sedang menyindir terhadapnya.
Karena masgul, ia sampai menggigil sendirinya.
Sin Tjie rasai gerakan tubuh si nona, tiba-tiba ia mengerti maksudnya Tjeng Tjeng. Karena
ini, ia jadi menyesal untuk Nona Tjiauw. Ia pun tak dapat bicara, untuk menghibur. Maka
dengan pelahan-lahan, ia tepuk-tepuk pundak si nona.
"Ah, jangan kau bawa adat!" kata Tiat Tjhioe sambil tertawa. Ia masih tak tahu hatinya
Tjeng Tjeng. "Sebentar lagi aku akan antar kau pulang."
"Siapa kesudian kau yang antarkan?" Tjeng Tjeng membentak. "Apa kau kira aku sendiri
tak kenali jalanan?"
Tiat Tjhioe terus tertawa.
"Eh, bocah she Hee!" campur bicara Ho Ang Yo, dengan suaranya yang bengis, dengan
romannya yang menyeramkan. "Kau telah terjatuh ke dalam tangan kami, apakah kau kira
Ho Ang Yo bisa antap kau pulang secara baik-baik? Di mana adanya ayahmu? Di mana
adanya itu perempuan hina yang melahirkanmu?"
Meluap kemurkaannya Tjeng Tjeng karena orang perhina ibunya, ia sambar cawan obat di
atas meja kecil, dengan itu ia sambit wanita jelek itu.
Ho Ang Yo berkelit, maka cawan itu, berikut obatnya, mengenai tembok, cawannya hancur,
obatnya berhamburan. Masih ada sedikit air obat, yang muncrat ke mukanya ini uwah,
hingga ia jadi gusar.
"Anak celaka, kau tak inginkan lagi jiwamu?" ia membentak.
Sin Tjie di kolong pembaringan dengar semua pembicaraan itu, iapun bisa lihat gerakgeriknya
Ho Ang Yo, maka ia sudah pikir, asal wanita itu lompat kepada Tjeng Tjeng, ia
hendak membarengi hajar kaki orang.
Sebelum si wanita tua lompat, satu bajangan putih telah berkelebat mendahulukan ia,
maka kesudahannya, Ho Tiat Tjhioe ada di antara ia dan pembaringan.
"Bibi," katanya nona ini, "aku telah janjikan si orang she Wan akan antarkan dia ini pulang,
tak dapat aku membikin hilang kepercayaan kita."
Ho Ang Yo tertawa dingin.
"Untuk apakah itu?" tanyanya.
"Banyak orang kita telah ditotok dia, tanpa dia datang sendiri, mereka tak dapat ditolong,"
Tiat Tjhioe terangkan.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Ang Yo berpikir.
"Baik!" katanya. "Kita tidak dapat bikin dia mampus, tapi kita mesti kasi dia merasai
kesengsaraan! He, bocah she Hee, kau lihat aku, aku cantik atau tidak?"
Tjeng Tjeng perdengarkan suara kaget, di matanya, roman wanita ini jadi semakin jelek,
sedang muka itu dibawa semakin dekat kepadanya, hingga ia bergidik.
"Bibi, buat apa takut-takuti dia?" kata Tiat Tjhioe.
Suaranya pemimpin ini menyatakan hatinya tidak puas.
"Hm!" bersuara si jelek itu. "Ya, bocah ini cakap sekali, kau hendak lindungi dia!..."
"Apa kau bilang?"
Mendadak Ho Tiat Tjhioe jadi gusar.
"Apakah kau sangka aku tak tahu hatinya satu pemudi?" Ho Ang Yo baliki. "Aku juga
pernah muda! Kau lihat, inilah aku di masa dahulu!"
Ia merogo ke dalam sakunya di mana segera terdengar suara berkeresekan, entah barang
apa itu yang dia rogo. Dua-dua Tiat Tjhioe dan Tjeng Tjeng kaget, keduanya berkuatir.
"Kamu merasa aneh, bukankah?" kata Ho Ang Yo sambil tertawa, tertawa meringis. "Haha-
ha! Ha-ha-ha! Aku pun dulu pernah cantik!"
Ia rogo keluar tangannya, ia lemparkan segulung kain kecil, yang ternyata ada gambar
sulaman, gambar mana lantas terbeber sendirinya di atas lantai.
Dari kolong pembaringan, Sin Tjie bisa lihat sulaman itu, yang berpetakan satu nona umur
kurang lebih dua-puluh tahun, kedua pipinya merah-dadu, tetapi dia dandan sebagai
seorang suku-bangsa Ie, dan kepalanya pun digubat dengan pelangi, romannya sangat
cantik, potongan mukanya mirip sama potongan mukanya si uwah jelek yang
menyeramkan ini.
Segera terdengar pula suaranya Ho Ang Yo. "Kenapa sekarang aku jadi begini jelek?
Kenapa? Kenapa?" tanyanya berulang-ulang. "Itulah disebabkan ayahmu yang tidak
punyakan pri-kemanusiaan!"
"Ah......" Tjeng Tjeng bersuara tertahan. "Ada hubungan apa di antara ayahku dengan kau?
Ayah ada seorang baik, tidak nanti dia perlakukan orang secara tak selayaknya....."
Ho Ang Yo jadi sangat gusar.
"Hai, hantu cilik, ketika itu kau masih belum terlahir!" serunya. "Kau tahu apa? Jikalau dia
punya perasaan pri-kemanusiaan, tidak nanti dia berlaku tak pantas kepadaku! Bagaimana
bisa aku jadi begini? Bagaimana kemudian bisa terlahir kau, hantu cilik?"
"Makin lama kau bicara, kau makin aneh!" kata Tjeng Tjeng. "Kamu kaum Ngo Tok Kauw
berada di Inlam, ayah dan ibuku menikah di Tjiatkang - terpisahnya tempat ada ribuan lie,
maka, ada apa hubungannya dengan kau?"
Ho Ang Yo jadi semakin gusar, hingga ia ayun tangannya ke arah mukanya Tjeng Tjeng.
Dengan tangan kanannya, Ho Tiat Tjhioe mencegah.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
"Jangan gusar, bibi." Kata nona ini. "Bicaralah dengan sabar." Ang Yo menjadi sengit.
"Ayah kandungmu mati mendongkol karena Kim Tjoa Long-koen!" serunya. "Kau
sekarang lindungi dia ini! Apakah kau tidak malu?"
"Siapakah yang lindungi dia?" seru Ho Tiat Tjhioe, yang pun menjadi murka. "Jikalau kau
bikin celaka dia ini, itu artinya mencelakai juga jiwanya empat-puluh orang anggauta kita!
Kau tahu tidak? Aku pandang kau sebagai orang dari tingkatan lebih tua, karena aku
memandang kau, aku mengalah, jikalau kau langgar aturan kita, bisa aku tak memberi
keringanan kepadamu!"
Melihat orang tonjolkan diri sebagai pemimpin, Ho Ang Yo jadi sangat mendongkol, akan
tetapi ia toh kuncup, maka juga ia jatuhkan diri di kursi dengan roman lesu sekali, dengan
kedua tangannya, ia pegangi kepalanya. Lama ia berdiam secara demikian, ketika
kemudian ia bicara pula, ia bisa berlaku tenang.
"Ibumu?" tanyanya kepada Tjeng Tjeng. "Ibumu pasti eilok dan manis luar biasa maka
juga ia bisa bikin tergila-gila pada ayahmu, bukankah?" Ia lantas menghela napas.
"Beberapa kali aku telah bermimpi, dalam impian aku telah lihat ibumu, akan tetapi
mengenai roman mukanya, aku tidak dapat melihat jelas, cuma samar-samar..... Benarbenar
ingin aku melihat dia...."
"Ibu telah menutup mata," Tjeng Tjeng kasi tahu.
"Apa, mati?" Ho Ang Yo terkejut.
"Ya," Tjeng Tjeng pastikan.
Lantas suaranya si uwah jelek jadi sedih, tetapi tajam.
"Aku telah desak dia untuk kasi tahu dimana adanya ibumu, biar bagaimana, tak mau dia
menyebutkannya," katanya pula. "Kiranya ibumu itu sudah menutup mata. Baik, baik, sakit
hatiku ini tak bakal terbalas untuk selama-lamanya..... Sekarang aku bebaskan kau,
binatang, tetapi mesti ada harinya yang kau bakal terjatuh pula ke dalam tanganku!
Bukankah ibumu itu mirip dengan kau?"
Oleh karena orang berlaku kasar begitu, Tjeng Tjeng balikkan tubuh, untuk madap ke
dalam. Tak mau ia meladeninya.
Ho Ang Yo lantas berpaling kepada pemimpinnya.
"Kauw-tjoe," katanya, "si orang she Wan itu mesti terlebih dahulu tolong orang-orang kita,
Baru bocah ini boleh dilepas pulang!"
"Itulah pasti!" Ho Tiat Tjhioe jawab.
Ho Ang Yo lantas membungkuk, hingga dua-dua Sin Tjie dan Wan Djie jadi kaget sekali,
tapi sukur dia tidak mendapat lihat, dia cuma gunai jeriji tangannya akan mencoret
beberapa huruf di atas lantai.
Sin Tjie lihat orang menulis enam buah huruf yang artinya: "Bisa kawa-kawa yang
bekerjanya selang tiga tahun kemudian."
Heran pemuda ini.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
"Apakah artinya ini?" tanya ia kepada dirinya sendiri, berulang-ulang. Kemudian: "Ah, aku
mengerti sekarang!" Dan ia bergidik sendirinya. "Sebelum dia merdekakan Tjeng Tjeng,
dia hendak racuni dulu dengan bisa kawa-kawa yang bekerjanya nanti sesudah lewat tiga
tahun, tentu itu waktu, tidak ada obat untuk punahkan bisa itu, secara begitu, ia jadi telah
bisa balas sakit hatinya. Ha, inilah hebat! Kenapa dia begini telengas? Sukur aku dapat
tahu, jikalau tidak...."
Tanpa merasa, pemuda ini keluarkan keringat dingin.
Habis itu, Ho Ang Yo bertindak keluar, selagi melangkah di pintu, rupanya dia bersangsi,
maka ia membaliki tubuh.
"Apakah kau benar-benar dengar perkataanku?" dia tegasi Ho Tiat Tjhioe.
"Tentu," sahut pemimpin itu. "Cuma...tak dapat kita hilangi kepercayaan kita terhadap
orang lain...."
Suaranya Ho Ang Yo menunjuki kemurkaan ketika ia bilang: "Aku tahu, kau jatuh hati
terhadapnya! Teranglah kau tidak kandung niatan akan membalaskan sakit hatinya
ayahmu yang telah menutup mata!...."
Dia lantas kembali, untuk jatuhkan diri di kursi, mungkin untuk tenangkan diri, mungkin
guna pikirkan daya-upaya lain akan bikin celaka Tjeng Tjeng.
Maka itu, kamar jadi sunyi sekali.
Sin Tjie berdua Wan Djie menahan napas. Memang sejak tadi, mereka tidak berani berkutik
sama sekali.
Dalam kesunyian itu, mendadak Tjeng Tjeng berseru: "Kamu tidak mau keluar, kamu
hendak tunggu apa?" Ia pun tumbuk pembaringan.
Sin Tjie kaget, ia menyangka jelek, hampir ia munculkan diri, sukur Wan Djie tarik dia.
Lalu terdengar suaranya Ho Tiat Tjhioe, dengan pelahan: "Sekarang kau boleh tenangi diri
dan tidur, sebentar setelah terang tanah, aku nanti antar kau pulang...."
Tjeng Tjeng bersuara "Hm!" seraya kembali tumbuki pembaringan, hingga debu di kayu
pembaringan itu meluruk ke kepala, ke leher dan tubuhnya dua orang yang lagi mendekam
sembunyi. Hampir Sin Tjie berbangkis, baiknya ia bisa cepat bernapas dengan beraturan.
Sebenarnya Tjeng Tjeng habis sabar, di dalam hatinya, ia kata: "Ho Tiat Tjhioe dan Ho Ang
Yo bukan tandingan kau, kenapa kau masih sembunyi saja? Sebenarnya apa yang kamu
berdua pikir?"
Ia jadi pikirkan Sin Tjie dan Wan Djie. Ia tidak tahu, Sin Tjie mempunyai pikiran lain.
Tanggung jawab pemuda ini sekarang ditambah sama soal keselamatannya negara.
Kalau Tjeng Tjeng habis sabar, Ho Ang Yo adalah mendongkol sangat.
"Kau ada kauwtjoe!" katanya pada Tiat Tjhioe, "semua urusan Ngo Tok Kauw berada
dalam kekuasaanmu, malah dengan gaetan emas Kim-kauw diwariskan kepadamu, kau
berhak untuk menghukum mati atau menghidupkan orang! Namun walaupun demikian,
ingin aku bicara padamu! Memang partai kita tidak melarang soal mengendalikan napsubirahi,
akan tetapi pengalamanku, apakah pengalamanku tidak cukup hebat untuk
menyadarkan kepadamu?"
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Ditegur begitu macam, Ho Tiat Tjhioe tertawa.
"Bibi menemui lelaki yang tidak ingat budi," katanya, "lantas bibi samakan, semua lelaki di
kolong langit tidak berbudi juga...."
"Pasti ada orang-orang lelaki yang baik hatinya," sahut Ho Ang Yo. "Tetapi kau tengoklah
ini puteranya Kim Tjoa Long-koen! Lihat, dia beroman sangat mirip dengan ayahnya, tidak
ada bedanya, maka siapa bisa bilang tabeatnya juga tidak akan sama dengan tabeat
ayahnya?"
"Jadinya ayahnya sama cakapnya dengan puteranya ini?" kata Ho Tiat Tjhioe, "Pantaslah
bibi jadi demikian jatuh hati terhadap ayahnya itu!"
Sampai sebegitu jauh, Sin Tjie dapat perasaan Ho Tiat Tjhioe pun ketarik hati terhadap
Tjeng Tjeng. Ia anggap ini ada lucu, sebab sebagai seorang kosen dan cerdik, kenapa
pemimpin Ngo Tok Kauw ini tidak dapat bedakan kelaminnya Nona Hee itu.
"Kau kukuh, kau tetap tak sadar akan dirimu," kata Ho Ang Yo kemudian sambil menghela
napas. "Aku nanti tuturkan hal-ichwalku kepadamu, agar selanjutnya, kebaikan atau
kecelakaan, semua terserah kepadamu sendiri...."
"Memang aku paling gemar dengar kau dongeng, bibi," kata Tiat Tjhioe, "sekarang kau
hendak bercerita di depan ini anak muda, apakah itu tidak ada halangannya untuk
rahasiamu itu?"
"Aku sengaja hendak bercerita supaya dia tahu perbuatan busuk dari ayahnya, supaya
kalau kemudian dia mati, dia akan mati puas!" si uwah jelek bilang.
Tjeng Tjeng berteriak bahna gusar.
"Kau karang cerita yang bukan-bukan!" dia berseru. "Ayahku ada satu enghiong terbesar,
satu laki-laki sejati, mana sudi dia berbuat demikian busuk? Tidak, aku tidak sudi dengar,
aku tidak sudi dengar!"
Ho Tiat Tjhioe tertawa, agaknya ia girang sekali.
"Nah, kau dengar, bibi," katanya. "Dia tidak suka dengar ceritamu. Bagaimana?"
"Aku hendak bercerita untukmu," sahut sang bibi. "Dia suka dengar atau tidak, masa
bodoh!"
Tjeng Tjeng tutupi kepalanya dengan selimut, akan tetapi kemudian, ia kalah dengan
perasaannya ingin tahu, ia singkap juga sedikit ujung selimutnya, untuk mendengari Ho
Ang Yo tuturkan lelakonnya dengan Kim Tjoa Long-koen.
"Inilah kejadian pada dua-puluh tahun dulu," demikian si uwah jelek dengan
penuturannya. "Ketika itu, usiaku berimbang dengan usiamu sekarang. Dan ayahmu, dia
Baru saja menggantikan memangku kedudukan sebagai kauwtjoe baru. Dia telah angkat
aku menjadi tjhungtjoe, ketua, dari dusun Ban Biauw San-tjhung, tugasku adalah menjaga
kita-punya guha ular. Pada suatu hari selagi senggang, aku pergi ke bukit belakang, untuk
berburu burung, untuk dibuat main....."
"Aneh, bibi," Tiat Tjhioe memotong. "Kau menjadi tjhungtjoe tapi toh kau sempat
menangkap burung...."
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
"Hum," bersuara sang bibi. "Seperti aku telah bilang, ketika itu usiaku masih muda, aku
mirip dengan bocah saja. Aku berhasil menangkap dua ekor burung ikan-ikanan, bukan
main girangku. Dalam perjalanan pulang, aku lewat di guha ular kita. Tiba-tiba saja aku
dengar suara 'ser! ser!' yang datangnya dari arah pepohonan. Aku tahu itulah suara ular,
mestinya ada ular yang minggat, maka aku lantas susul. Benar-benar aku dapati seekor
ular belang. Aku heran! Biasanya semua ular kita jinak, maka tak mengerti aku, kenapa ini
seekor bolehnya buron. Aku tidak lantas menangkap, diam-diam aku menguntit. Ular itu
menggeleser ke belakang pepohonan lebat, ia menghampirkan ke arah satu orang. Kapan
aku lihat orang itu, aku terkejut."
"Kenapa, bibi?" Tiat Tjhioe tanya.
Ho Ang Yo kertak giginya.
"Itulah si manusia celaka!" katanya. "Dia ada satu hantu bagiku!"
"Bibi maksudkan Kim Tjoa Long-koen?" sang kauwtjoe tegaskan.
"Pada ketika itu, aku belum tahu siapa dia," sahut sang bibi. "Aku cuma lihat dia bermuka
putih dan cakap, tubuhnya tinggi. Dia sedang pegangi sebatang hio wangi, yang ada
apinya. Jadinya ular itu dapat cium bau wnagi itu dan dia pergi menghampirkannya. Anak
muda itu lihat aku, ia pandang aku sambil bersenyum."
Ho Tiat Tjhioe tertawa.
"Ketika itu bibi ada eilok sekali, dia lihat bibi, pasti dia jadi tersengsam!...."
"Foei!" sang bibi berludah. "Aku sedang cerita dari hal benar, siapa guyon-guyon
denganmu?" Ia terus melanjuti: "Aku lihat dia seorang asing, aku kuatir dia nanti dipagut
ular itu, maka aku lantas teriaki padanya: "Hai, awas! Ular itu berbisa, jangan kau ganggu
dia! Nanti aku tangkap."
"Mendengar aku, orang itu tertawa. Dari bebokongnya, dia kasi turun sebuah peti kayu. Di
ujung peti kayu itu dicangcang seekor kodok, kodok itu berloncatan tetapi tidak dapat
loloskan diri. Tentu saja, menampak kodok itu, ular kita hendak menerkamnya, untuk
dimakannya. Dengan merayap pelahan, dia dekati peti kayu itu, kemudian ia ulur
kepalanya, untuk santok sang kodok. Tiba-tiba saja orang itu tarik tali yang melekat pada
peti, dan peti itu lantas terbalik tutupnya. Ular itu mencoba berhenti merayap tapi sekarang
sudah kasep. Orang muda itu ulur tangannya yang kiri, dua jarinya terus menjepit leher
ular, Dia sangat sebat dan jitu tangkapannya. Aku lihat, gerakan tangannya itu beda dari
gerakan tangan kita. Begitu lekas dijepit, ular belang itu lantas diam saja, agaknya dia jadi
jinak sekali. Aku tahu, pemuda itu seorang ahli, aku tidak berkuatir lagi untuknya.
"Aneh, aneh!" tertawa Ho Tiat Tjhioe. "Bibi Baru pernah lihat orang itu, lantas saja bibi
sangat memperhatikan dia!"
"Hai, jangan kau potong ceritanya!" Tjeng Tjeng nyeletuk, sedang tadi katanya tak suka ia
mendengari cerita. "Kau dengari saja!"
Tiat Tjhioe kembali tertawa.
"Tadi kau sendiri yang bilang tak sudi mendengari?" dia baliki.
"Sekarang aku jadi suka mendengarnya!" Nona Hee akui. "Toh boleh, bukan?"
Untuk kesekian lamanya, Tiat Tjhioe tertawa.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
"Baiklah, aku tidak akan memotong-motong lagi!" katanya.
Ho Ang Yo deliki kauwtjoe yang jail itu.
"Itu waktu aku mulai curiga," dia menyambungi. "Aku pikir-pikir, siapa dia? Kenapa dia
bernyali demikian besar, berani datang ke tempat kita untuk menangkap ular berbisa?
Mustahil dia tidak pernah dengar nama Ngo Tok Kauw? Aku terus awasi dia. Setelah itu
tangan kanannya mengeluarkan sebatang besi kecil, mirip ruyung, ujung besi itu ia
sodorkan ke muka ular. San ular lantas saja menyamber, akan santok ujung besi itu.
Aku mengawasi dengan teliti. Aku pun datang lebih dekat. Nyata ruyung itu kosong
dalamnya, kapan bisa ular keluar, bisa itu mengalir masuk ke dalam bungbung besi itu.
Sekarang Baru aku mengerti! Hm! Nyata dia datang untuk curi bisa ular! Pantas selama
beberapa hari ini, beberapa ularku sungkan dahar, tubuhnya kurus dan menjadi malasmalasan!
Lantas aku teriaki dia, "Hai, lepas ular itu!" Berbareng dengan itu, aku keluarkan
suitanku peranti menakluki ular, aku terus tiup. Rupanya dia tidak sangka, suitanku ada
punya suara yang luar biasa, dia menoleh karenanya. Justru itu, si belang lepaskan
catolannya pada pipa dan berbalik santok dia! Dia lekas-lekas lemparkan ular itu, dia
hendak buka peti kayunya, mungkin untuk ambil obat pemunah bisa. Aku tidak kasi ketika
padanya, aku berlompat dan serang mukanya. Di luar dugaan, liehay ilmu silatnya, Cuma
dengan satu kali tangkis, ia bikin aku terpelanting jatuh...."
"Pasti sekali, mana kau bisa jadi tandingannya!" Tjeng Tjeng bilang.
Ho Ang Yo mendelik.
"Walaupun aku tidak bisa menangi dia, aku toh bisa libat padanya!" katanya dengan
sengit. "Aku ganggu dia hingga dia tak punyakan kesempatan akan keluarkan obatnya.
Aku tunggu sampai dia rubuhkan aku yang ketiga kali, lantas bisa ular bekerja, tanpa
ampun, dia rubuh dengan pingsan. Selagi aku hampirkan dia, tiba-tiba aku merasa tak
tega, aku anggap sayang sekali kalau dia, dalam usianya begitu muda, binasa secara
demikian kecewa. Ia pun ada punya ilmu silat yang bagus sekali...."
"Maka itu bibi lantas tolongi dia!" kata Ho Tiat Tjhioe. "Bibi bawa dia pulang secara diamdiam,
disembunyikan, dia diobati, setelah dia sembuh, lantas bibi menyintai dia...."
Ho Ang Yo menghela napas.
"Tidak tunggu sampai ia sembuh, aku sudah menyintai dia," bibi ini aku. "Tatkala itu aku
maish berusia muda, semua soeheng dan soetee perlakukan aku baik sekali, entah
kenapa, tidak ada satu di antara mereka yang memperoleh perhatianku, dan dia itu, di luar
kekuasaanku, dia bikin aku jatuh hati. Selang tiga hari, dia telah mulai sembuh dari
lukanya, Barulah itu waktu aku tanya dia, apa perlunya dia datang ke wilayah kami. Dia
jwab, karena aku telah tolong jiwanya, apa juga dia suka kasi tahu aku. Dia bilang dia
orang she Hee, dia ada punya dendaman yang hebat, benar ilmu silatnya sudah sempurna,
akan tetapi musuhnya tangguh dan besar jumlahnya, ia jadi sangsi akan berhasil dengan
pembalasannya. Maka itu, ketika ia dengar kabar Ngo Tok Kauw ada utamakan bisa ular, ia
sengaja datang ke Inlam untuk mendapatkan bisa itu...."
Mendengar sampai di sini, Sin Tjie dan Tjeng Tjeng Barulah mengerti apa hubungannya
Kim Tjoa Long-koen dengan Ngo Tok Kauw.
Ho Ang Yo lanjuti penuturannya: "Setelah berselang sekian lama bekerja dengan diamdiam
dia bilang, dia mulai mengerti dalam hal mengerjakan bisa, maka itu dia lantas
datangi guha ular kita, untuk mencuri bisa. Dia kata dia hendak bikin semacam senjata
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
rahasia guna nanti dipakai menghadapi musuh-musuhnya. Lewat lagi dua hari, sesudah
merasa segar, dia menghaturkan terima kasih padaku, dia pamitan, untuk pulang. Berat
bagiku untuk membiarkan dia pergi. Begitulah aku berikan dia dua botol bisa ular. Untuk
balas budiku, dia lantas bikin ini gambarku, sebagai tanda peringatan. Aku telah tanya dia,
apa lagi kesukarannya dalam hal mencari balasnya itu, apa dia membutuhkan aku, untuk
membantu. Sambil tertawa dia bilang, ilmu kepandaianku masih jauh dari sempurna,
bahwa aku tak dapat membantu dia. Aku lantas minta supaya dia kembali sehabisnya dia
mencari balas. Dia manggut, dia berikan janjinya. Aku tanya dia, kapan kiranya dia bakal
kembali, dia menjawab bahwa dia tak dapat menentukannya. Dia bilang juga, untuk
mewujudkan pembalasannya itu, dia masih membutuhkan serupa senjata tajam. Katanya
di Ngo Bie San ada sebuah pedang pusaka, maka lebih dahulu dia mau pergi ke gunung
itu, akan coba curi pedang itu. Dia sangsi apa benar-benar ada pedang yang dimaksudkan
itu. Umpama ada, dia bilang, masih belum bisa dipastikan ia bakal dapat curi itu atau
tidak."
Mendengar sampai di situ, Sin Tjie kata dalam hatinya: "Kim Tjoa Long-koen sungguh
norek! Untuk mencari balas, dia tidak perdulikan apa juga, tanpa pikir panjang, dia lakukan
apa jua!...."
Kembali Ho Ang Yo menghela napas ketika ia melanjuti pula: "Pada waktu itu, aku benarbenar
telah sangat tersesat, disebabkan aku amat tergila-gila terhadapnya. Keinginanku
satu-satunya adalah supaya ia suka tinggal lebih lama pula sama aku, Aku ada bagaikan
gila, sampai apa juga, aku tak takuti, sampaipun hal yang aku tahu tak dapat aku lakukan,
aku berani melakukannya. Aku merasa, untuk dia, semakin berbahayanya urusan, semakin
itu menyenangkan hatiku. Hingga pun aku berpikir, rela aku mati, asal untuk dia. Ya,
benar-benar waktu itu, aku seperti dipengaruhi iblis. Begitulah aku beritahukan dia bahwa
aku tahu hal sebatang pedang mustika, yang tajam luar biasa, yang bisa dipakai
membabat kutung senjata lainnya macam apa juga. Dia girang tidak kepalang mendengar
hal pedang itu, sampai dia berjingkrakan. Lantas saja dia tanya aku, dimana adanya
pedang itu. Tanpa pikir lagi, aku kasi dia tahu bahwa pedang itu adalah pedang Pek-hiat
Kim-tjoa-kiam kepunyaan Ngo Tok Kauw!"
Terkejut Sin Tjie akan dengar kata-kata terakhir ini, hingga tanpa merasa ia raba
pedangnya.
"Jadi inilah pedang mustika Ngo Tok Kauw itu?" tanyanya pada dirinya sendiri.
Masih Ho Ang Yo meneruskan penuturannya: "Aku telah beritahu dia, pedang itu ada satu
di antara tiga mustika Ngo Tok Kauw, bahwa disimpannya di dalam Tok-liong-tong, guha
Naga Beracun di Leng Tjoa San, gunung Ular Sakti, di distrik Tay-lie, bahwa guha itu
dijaga oleh delapan-belas murid Ngo Tok Kauw. Dia lantas saja desak aku, dia minta aku
antar padanya, untuk dia curi pedang itu. Dia bilang, dia hendak pakai pedang itu untuk
satu kali saja, sehabis dia berhasil menuntut balas, dia nanti kasi kembali. Ia sangat
mendesak aku, sampai hatiku jadi lemah. Begitulah telah terjadi, aku curi leng-pay dari
koko. Dengan bawa itu, aku ajak dia pergi ke Leng Tjoa San. Karena adanya lengpay dan
yang antar pun aku sendiri, penjaga-penjaga guha ijinkan kita masuk ke dalam guha."
"Bibi," tanya Tiat Tjhioe, "apa mungkin kau berani memasuki guha itu dengan berpakai
pakaian?"
"Meski juga nyaliku besar, aturan kita itu tak berani aku langgar," jawab Ho Ang Yo. "Aku
telah buka semua pakaianku, dengan telanjang bulat, sambil separuh merayap, aku masuk
ke dalam guha. Dia turut masuk dengan menelad contohku. Pedang dan dua mustika
lainnya ditaruh di atas naga-nagaan batu. Dia pandai berlompat tinggi, dengan gampang
dia bisa naik ke atas naga-nagaan. Begitulah dia ambil pedang mustika itu. Aku tidak
sangka, dia kandung hati yang kurang lurus, kecuali pedang Pek-hiat Kim Tjoa Kiam,
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
sekalian dia ambil dua mustika lainnya, ialah dua-puluh empat batang bor ular emas Kimtjoa-
tjoei serta peta bumi kita."
(Bersambung bab ke 22)Si uwah jelek berhenti sebentar, untuk menghela napas, guna
entengi hatinya.
"Begitu aku dapat tahu dia ambil tiga-tiganya mustika, segera aku merasakan firasat
jelek," dia melanjuti selang sesaat. "Maka aku lantas desak dia supaya dia tinggalkan Kimtjoa-
tjoei dan peta bumi itu...."
"Peta apakah itu?" Tjeng Tjeng memotong. "Ayahku cuma berniat keras mencari balas,
mustahil dia kehendaki juga peta bumi kamu?"
"Aku sendiri tidak tahu, peta itu ada peta apa," sahut Ho Ang Yo. "Apa yang kami tahu itu
adalah mustika yang telah diwariskan sejak beberapa puluh turunan. Hm! Dia benar-benar
kandung maksud tidak baik! Dia tidak perdulikan permintaanku, dia cuma awasi aku
sambil tertawa. Sudah disebutkan, adalah aturan Ngo Tok Kauw kita, siapa memasuki
guha Tok-liong-tong, kita dilarang mengenakan pakaian meski cuma selembar, maka
bisalah dimengerti keadaan kita berdua pada waktu itu. Demikian aku, tanpa aku sadar,
aku telah lantas serahkan diri kepada dia. Sejak itu, aku tidak tanyakan suatu apa lagi
terhadapnya.
Secara demikian, kita telah curi ketiga mustika. Dia sudah bilang padaku, setelah selesai
mencari balas, dia bakal kembali, untuk kembalikan tiga mustika itu. Setelah dia pergi,
setiap hari aku harap-harap kembalinya, tetapi, sampai dua tahun, dari dia tidak ada kabarceritanya.
Baru belakangan aku dengar cerita antara kaum kang-ouw bahwa di Kanglam
telah muncul satu pendekar luar biasa yang bersenjatakan sebatang pedang aneh serta
bor emas, karena mana, dia dijuluki Kim Tjoa Long-koen, Pendekar Ular Emas. Aku
percaya betul, pendekar itu mesti dianya. Aku terus pikiri dia, aku menduga-duga,
sudahkah dia menuntut balas atau belum. Lewat lagi sekian lama, kauwtjoe bercuriga, dia
lantas periksa guha Tok-liong-tong, dengan kesudahannya pecahlah rahasia pencurian
ketiga mustika. Atas itu, kauwtjoe wajibkan aku menghukum diriku sendiri. Dan sebagai
kesudahan beginilah jadinya rupaku....."
"Kenapa kau jadi begini?" Tjeng Tjeng tegasi.
Ho Ang Yo ada sangat murka, tak sudi ia menjawabnya.
Tapi Ho Tiat Tjhioe, dengan pelahan dia kata kepada ahliwarisnya Kim Tjoa Long-koen:
"Ketika itu yang menjadi kauw-tjoe ada ayahku, Ayah sangat berduka yang adiknya sendiri
melakukan pelanggaran hebat itu, saking malu dan berduka, ia dapat sakit, terus dia
menutup mata. Bibi telah jalankan aturan agama kita, ia hukum diri dengan masuk ke
dalam guha ular, hingga ribuan ular gigiti dia. Begitulah, rusaknya muka bibi."
Tjeng Tjeng menggigil, dia jeri sendirinya, akan tetapi berbareng, terhadap si uwah dia
tidak lagi membenci seperti tadinya.
"Setelah bibi obati diri dan sembuh," Ho Tiat Tjhioe terangkan lebih jauh, "ia lantas bikin
perjalanan sebagai pengemis. Adalah aturan perkumpulan kita, siapa lakukan pelanggaran
hebat, dia mesti hidup sebagai pengemis lamanya tiga-puluh tahun, selama mana dia
dilarang mencuri uang baik satu boen atau mencuri nasi satu butir, malah dia dilarang
juga menerima tunjangan dari sesama kaum Rimba Persilatan."
Ho Ang Yo perdengarkan suara di hidung.
"Mulanya masih saja aku ingat dia, maka itu sembari mengemis di sepanjang jalan, aku
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
susul dia di Kanglam," cerita terus uwah ini. "Begitu lekas aku memasuki wilayah
Tjiatkang, aku lantas dengar kabar hal dia sudah bunuh orang di Kie-tjioe, untuk
pembalasannya. Ingin aku menemui dia, maka aku cari padanya. Tapi ia tidak punyakan
tempat kediaman yang tentu maka adalah sulit untuk cari ketemu padanya. Ketika
akhirnya aku bertemu juga dengannya di Kim-hoa, waktu itu dia telah kena ditawan orang.
Beberapa kali aku mencoba menolongi dia, selalu aku tidak berhasil. Musuh-musuhnya
telah jaga dia kuat sekali hingga tak bisa aku turun tangan. Dia telah dibawa ke Utara. Aku
merasa sangat heran, aku tidak tahu, kenapa dia ditangkap dan dibawa pergi. Baru
kemudian aku dengar kabar, orang hendak paksa dia supaya dia serahkan peta yang
dicurinya. Nyata peta itu ada peta lukisan dari suatu tempat simpan harta besar. Pada satu
wkatu, bisa juga aku dapatkan ketika akan bicara sama dia. Dia kasi tahu aku bahwa orang
telah bikin putus semua urat-uratnya, hingga ia jadi seorang yang bercacat. Menurut dia,
semua pengantarnya ada orang-orang liehay, maka sendirian saja, tidak nanti aku bisa
tolongi dia. Dia bilang, dia punya cuma satu harapan untuk bisa hidup terus. Ialah kapan ia
bisa pancing musuh-musuhnya pergi ke puncak gunung Hoa San. Dan itu waktu, dia
sedang memancingnya."
"Bibi," tanya Ho Tiat Tjhioe, "kejadian selanjutnya lebih-lebih aku tidak tahu. Apa maksud
sebenarnya memancing musuh ke gunung Hoa San itu?"
"Dia bilang di kolong langit ini cuma satu orang yang bisa tolong dia," sahut Ho Ang Yo.
"Orang itu ada Pat-tjhioe Sian Wan Bok Djin Tjeng si Lutung Sakti Tangan Delapan dari
Hoa San Pay."
Gegetun Sin Tjie akan dengari penuturan orang itu, sampai ia tak tahu, berhubung sama
sepak-terjangnya Kim Tjoa Long-koen itu, ia mesti membencinya atau mengasihaninya. Di
lain sebelah, ia jadi sangat ketarik akan dengar disebut-sebutnya nama gurunya.
Juga Tjeng Tjeng sangat ketarik mendengar namanya Bok Djin Tjeng, gurunya pemuda
pujaannya itu.
Demikian semua orang pasang kuping mendengari Ho Ang Yo mulai pula dengan
perlanjutan penuturannya: "Aku tanya dia, siapa itu Bok Djin Tjeng. Dia bilang, orang she
Bok itu ada ahli pedang yang di kolong langit ini tidak ada tandingannya. Menurut dia,
sebenarnya dia tidak kenal Bok Djin Tjeng, dia belum pernah menemuinya juga, dia
melainkan dengar, orang she Bok itu ada satu orang jujur dan pembela keadilan, Dia
percaya, asal Bok Djin Tjeng dapat tahu bagaimana dia telah dipersakiti, pendekar itu pasti
akan suka tolongi dia. Katanya Ngo Heng Tin dari lima persaudaraan Oen ada sangat
liehay, sudah begitu, mereka dibantu oleh imam-imam dari Ngo Bie Pay, maka kecuali Bok
Djin Tjeng, lain orang tak dapat mengalahkan mereka. Maka itu dia suruh aku lekas-lekas
pergi ke Hoa San, akan cari Bok Tayhiap, untuk minta bantuan. Ia anjurkan aku untuk
memohon sambil menangis, supaya Bok Tayhiap suka menolong. Aku telah terima baik
permintaannya itu, aku malah sudah lantas ambil putusan, umpama kata Bok Tayhiap
tidak sudi meluluskan, akan membantu, aku hendak bunuh diri di depannya. Aku telah
berkeputusan akan tolongi dia. Karena penjagaan kuat sekali, tidak berani aku bicara lama
dengannya. Ketika aku hendak berlalu, aku rangkul dia. Dengan tiba-tiba aku dapat cium
bau harum pada dadanya, bau dari wewangian orang perempuan, maka aku merogo ke
dalam sakunya, hingga aku tarik keluar satu kantong sulam hiang-ho-pauw dalam mana
ada termuat segumpal rambut wanita serta sebuah tusuk konde emas yang mungil.
Tubuhku sampai menggigil saking ku gusar. Aku tanya, siapa yang berikan itu kepadanya,
dia tidak mau memberitahukan. Aku telah ancam dia, apabila dia tetap tidak mau beritahu,
aku tidak mau cari Bok Tay-hiap, tapi dia tetap tutup mulutnya. Dia telah perlihatkan
sikapnya yang angkuh. Dan, lihat, lihat! Sikapnya bocah ini juga sama angkuhnya dengan
dia!"
Dan si uwah jelek ini tuding Tjeng Tjeng. Ia bicara dengan suara keras, akan tetapi pada itu
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
ada tercampur irama kedukaan hebat. Habis itu, ia melanjuti: "Tadinya aku hendak desak
dia, untuk paksa dia memberitahukannya, apamau orang Tjio Liang Pay yang menjaga dia
telah keburu balik, dengan terpaksa, aku tinggalkan dia. Bukan main masgulnya hatiku.
Aku telah menderita untuk dia, siapa tahu, dia justru siasiakan aku dan punyakan lain
kekasih. Ketika kemudian dia telah sampai di Hoa San, aku tidak pergi cari Bok Tayhiap.
Dengan bisaku sendiri, aku telah racuni dua imam yang jagai dia. Rupanya pihak Oen tidak
menyangka bahwa diam-diam ada orang mencoba tolongi orang tawanannya itu.
Begitulah, selagi mereka beralpa, aku bawa dia lari, aku sembunyikan dia di dalam sebuah
guha. Ketika keluarga Oen mendapat tahu dia terhilang, mereka jadi heran dan sibuk,
mereka mencari ubak-ubakan tanpa hasil, hingga kesudahannya mereka saling curigai
orang sendiri, sampai mereka berselisih. Di akhirnya, mereka memencar diri, untuk
geledah seluruh gunung Hoa San. Kesudahannya, mereka membangkitkan amarahnya
Bok Tay-hiap, hingga Tay-hiap telah gunai akal, membikin mereka ketakutan sendiri dan
lantas lari kabur. Pada malam itu, aku desak dia untuk beritahu aku she dan namanya
kekasihnya itu. Dia tetap menolak, mungkin dia insaf, satu kali aku mendapat tahu, aku
bisa pergi cari kekasihnya itu, untuk dibunuh. Dia sendiri sudah tidak punya guna, tidak
nanti bisa susul aku, dia kuatir nanti tak dapat dia melindungi kekasihnya itu. Karena dia
terus tutup mulut, aku jadi sangat murka, beruntun selama tiga hari, setiap pagi aku
rangket dia dengan rotan, begitupun setiap tengah-hari dan sore...."
"Hai, perempuan jahat!" teriak Tjeng Tjeng. "Bagaimana kau tega menyiksa ayahku!..."
"Dia yang berbuat, dia mesti terima bagiannya!" kata Ho Ang Yo dengan sengit. "Makin
lama aku hajar dia, makin aku sengit, akan tetapi dia, dia tertawai aku, dia tertawa makin
besar. Dia bilang, sejak mulanya dia tidak menyukai aku, bahwa kekasihnya ada cantik
sekali, manis dan lemah-lembut, orangnya jelita, lebih memang seratus kali daripada aku!
Setiap patah kata dia ucapkan, setiap rotan aku berikan, tetapi setiap kali aku rangket dia,
setiap kali juga dia banggai kekasihnya itu, si perempuan hina! Aku telah hajar dia sampai
akhirnya tidak ada tubuhnya yang utuh, akan tetapi terus-terusan ia tertawa, terus saja ia
masih puji dan banggai kekasihnya itu.... Sampai di hari ketiga, selagi dia jadi sangat
lemah, aku sendiri pun jadi sangat lelah, lelah karena terlalu mendongkol, sebab habis
tenaga. Kemudian aku pergi keluar, untuk cari bebuahan. Ketika aku pulang, dia tunggu
aku di mulut guha, dia larang aku masuk. Dia mengancam, satu tindak berani aku
melangkah, dia akan tikam aku. Aku tidak berani sembarang masuk. Aku kasi tahu
padanya, asal dia beritahukan aku she, nama dan alamat kekasihnya, aku suka maafkan
dia untuk tak berbudinya, tetapi dia tertawai aku, dia tertawa terbahak-bahak. Dia bilang,
dia cintai kekasihnya melebihi jiwanya sendiri! Secara demikian, kami bentrok. Aku ada
punya bebuahan untuk dimakan, dia sendiri, dia mesti menahan lapar. Aku dapat tahu,
Bok Tay-hiap telah pergi turun gunung, mungkin dalam satu-dua tahun, dia tidak akan
kembali, maka itu, tidak nanti ada orang yang tolongi dia...."
"Secara demikian, bibi, kau bikin dia mati kelaparan?" tanya Ho Tiat Tjhioe.
"Hm, tidak secara demikian gampang aku membikin dia mati!" sahut sang bibi. "Lagi
beberapa hari, setelah dia habis tenaganya, aku masuk ke dalam guha, aku bikin patah
kedua kakinya..."
Tjeng Tjeng menjerit, dalam sakitnya, dia berlompat untuk bangun, akan serang uwah itu.
Ho Tiat Tjhioe tekan pundak orang, akan bikin anaknya Kim Tjoa Long-koen tak dapat
bangun.
"Kau dengari sampai bibi berceritera habis," katanya.
"Puncak Hoa San ada sangat tinggi dan berbahaya, dengan kedua kakinya patah, tidak
nanti dia bisa turun gunung lagi," demikian Ho Ang Yo meneruskan ceritanya. "Begitulah
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
aku pergi turun gunung, akan cari kekasihnya itu. Adalah keputusanku, apabila aku
berhasil mendapatkan kekasih itu, aku bakal bikin rusak mukanya hingga jadi jauh terlebih
jelek daripada mukaku, setelah itu, aku nanti gusur dia ke Hoa San, untuk dipertemukan
dengannya, aku ingin lihat, dia masih memuji-muji dan membanggai atau tidak! Setengah
tahun sudah aku mencari, tidak pernah aku peroleh endusan. Aku niat kembali ke Hoa
San, untuk tengok dia, aku kuatir, mungkin Bok Djin Tjeng sudah pulang ke gunungnya,
mungkin Bok Tay-hiap dapat menemukan dia dan menolongnya. Aku telah saksikan
sendiri liehaynya Bok Tay-hiap ketika ia usir keluarga Oen, maka apabila Bok Tay-hiap
nanti bantu dia, bisa celaka aku. Maka aku segera balik ke gua gunung. Di luar
sangkaanku, aku tidak dapat ketemukan dia di dalam guha, aku cari dia di puncak, tidak
juga aku menemukannya. Entah dia telah ditolongi Bok Tay-hiap atau oleh orang lain.
Seterusnya, selama dua-puluh tahun, tidak pernah aku dengar pula tentang dia, percuma
saja aku cari dia di segala penjuru, hingga tak tahu aku manusia tidak punya liangsim itu
sudah mati atau masih hidup...."
Mendengar sampai di sini, tahulah sekarang Sin Tjie sebabnya kenapa Kim Tjoa Longkoen
keram diri di dalam guhanya yang istimewa itu, terang dia menyingkir dari orang Ngo
Tok Kauw ini yang dia tidak sanggup lawan karena dia sudah tidak berdaya lagi, dia lebih
suka terbinasa daripada mesti minta bantuannya lain orang.
Selagi pemuda ini berpikir, tiba-tiba ia dengar bentakannya Ho Ang Yo.
"Aku tidak sangka dia justru tinggalkan kau sebagai keturunan celaka!" demikian uwah
itu, yang tuding Tjeng Tjeng, suaranya sangat bengis. "Mana ibumu? Aku tahu shenya she
Oen tapi aku tidak tahu dia tinggal di mana! Hayo bilang, dimana adanya ibumu sekarang.
Jika tidak, aku nanti korek biji matamu!"
Diancam begitu, Tjeng Tjeng justru tertawa besar.
"Kau jahat! Jahat!" jawabnya. "Benar apa yang ayahku bilang, ibuku ada jauh terlebih baik
daripada kau, bukan cuma seratus kali, hanya seribu kali, selaksa kali!"
Tak kepalang murkanya Ho Ang Yo hingga ia ulur kedua tangannya, untuk dengan sepuluh
jarinya cakar muka orang!
Tjeng Tjeng tarik kepalanya, sedang Ho Tiat Tjhioe tahan tangan bibinya itu.
"Kau mesti bikin dia kasi tahu tempat kediaman ibunya, Baru aku suka kasi ampun
padanya!" dia menjerit terhadap pemimpin dari Ngo Tok Kauw.
"Sabar, bibi," kata ketua itu. "Bukankah kamis edang punya urusan besar? Kenapa untuk
urusan pribadi kau ingin ciptakanonar? Bukankah urusan dengan Boe Tong Pay juga
disebabkan gara-garamu?"
"Hm, itu disebabkan Oey Bok Toodjin ngaco-belo sendiri!" kata si uwah jelek. "Kenapa dia
sebut-sebut bahwa dia kenal Kim Tjoa Long-koen? Kenapa dia bikin aku dapat dengar
ocehannya itu? Tentu saja karena ocehannya itu aku paksa dia mesti sebutkan tempat
sembunyinya itu manusia tak berbudi!"
"Kau telah kurung dia begitu lama, dia tetap tidak hendak memberitahukannya," kata pula
Ho Tiat Tjhioe, "Mungkin dengan sebenar-benarnya dia tidak tahu orang punya alamat.
Sama sekali tidak ada faedahnya untuk kau menambah musuh...."
Diam-diam Sin Tjie manggut-manggut.
"Jadi inilah sebabnya bentrokan Ngo Tok Kauw dengan Boe Tong Pay," pikir dia. "Menurut
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
dia ini, jadinya Oey Bok Toodjin masih belum terbinasa, dia cuma masih ditahan."
Ho Ang Yo sengit ditegur kauwtjoenya itu. Maka dia kata pada pemimpinnya ini: "Binatang
she Wan itu sudah kangkangi pedang Kim Tjoa Kiam kita, dengan Kim-tjoa-tjoei dia
binasakan anjing kita, dia pun masih simpan peta kita - tiga-tiga pusaka kita berada di
dalam tangannya! Kau sebagai kauwtjoe, kenapa kau tidak hendak berdaya untuk dapat
pulang itu semua?"
Ho Tiat Tjhioe tertawa.
"Cukup, bibi!" kata dia. "Aku ketahui semua itu! Sekarang silakan kau keluar dulu, untuk
beristirahat...."
Masih si bibi penasaran.
"Aku telah bilang semua!" katanya. "Kau suka turut rencanaku atau tidak, kau suka tolong
lampiaskan kemendongkolanku atau tidak, semua terserah pada kau!"
Kauwtjoe dari Ngo Tok Kauw lawan tertawa pada bibinya itu, ia tidak mengiakan atau
menampik.
"Mari keluar, aku hendak bicara denganmu!" kata Ho Ang Yo.
"Bukankah di sini sama saja?" tanya si nona kauwtjoe.
"Tidak! Mari kita keluar!" Ang Yo desak.
Kalah juga Tiat Tjhioe, ia suka keluar.
Sin Tjie lihat dua orang itu berlalu, ia tunggu sampai rasanya orang sudah pergi jauh,
lantas ia merayap keluar dari kolong pembaringan.
"Adik Tjeng, mari kita pergi!" katanya.
Tjeng Tjeng tidak lantas menjawab, hanya dengan muka perongosan ia awasi Wan Djie,
rambut siapa kusut, muka siapa berlepotan debu.
"Hm!" katanya. "Untuk apa kamu berdua bersembunyi?"
Wan Djie tercengang, mukanya merah, sampai ia diam saja.
"Lekas bangun," Sin Tjie bilang, tanpa menjawab pertanyaan itu. "Mereka itu kandung
maksud tidak baik, mereka sedang memikir daya untuk celakai kau...."
"Lebih baik lagi jikalau mereka bikin aku mati! Aku tidak mau pergi!"
"Apa juga adanya urusan, di rumah nanti kita damaikan," Sin Tjie membujuk. "Di waktu
begini apa kau masih hendak mensiasiakan ketika? Kau hendak mengacau?"
"Aku justru hendak mengacau!"
Sibuk juga Sin Tjie. Ia ingat orang punya adat berandalan. Ia tahu, asal mereka berayalan,
sulit untuk mereka keluar dari istana itu. Di lain pihak urusan raja ada penting sekali.
"Adik Tjeng, kau kenapa?" ia tanya. Ia ulur tangannya, dengan niat tarik pemudi itu.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Tjeng Tjeng sedang sengit, ia sambuti tangan orang, untuk dibawa ke mulutnya, untuk
digigit!
Sin Tjie tidak menyangka, hampir saja tangannya itu kena tergigit, baiknya ia dapat
kesempatan untuk tarik pulang. Ia tapinya heran.
"Kau angot?" tanya dia.
"Habis?"
Tjeng Tjeng singkap selimut, untuk tungkrap kepalanya.
Sin Tjie mendongkol berbareng bingung, hingga ia banting-banting kaki.
"Wan Siangkong," kata Wan Djie, "kau tunggu bersama Nona Hee, aku hendak keluar
sebentar."
"Kau hendak pergi kemana?"
Wan Djie tidak menjawab, ia tolak daun jendela, untuk loncat keluar.
Sin Tjie duduk di tepi pembaringan, ia masgul.
Tjeng Tjeng membalik tubuh, akan madap kedalam.
Pemuda kita kuatir sekali Ho Tiat Tjhioe nanti kembali.
Tiba-tiba ada terdengar suara tindakan di arah pintu, tidak tempo lagi, Sin Tjie enjot
tubuhnya, akan loncat naik ke penglari di mana ia lintangkan tubuhnya.
Itulah Ho Kauwtjoe, yang telah balik. Dia ini palang pintu, lantas dengan tindakan pelahan,
dia dekati Tjeng Tjeng.
Sin Tjie siapkan dua batang bor, asal kauwtjoe itu turun tangan, ia hendak menyerang.
"Hee siangkong," katanya dengan pelahan, sambil ia awasi tubuh orang. "Aku hendak
bicara sama kau..."
Tjeng Tjeng berpaling.
"Bibiku sangat menyintai ayahmu, coba bilang, adalah dia seorang rendah?" tanya Tiat
Tjhioe.
Ditanya begitu, Tjeng Tjeng menjadi heran. Inilah pertanyaan yang ia tidak sangka. Maka ia
tercengang.
"Itu berarti cinta yang sangat, bagaimana bisa dibilang rendah?" ia jawab. Lantas ia
menambahkan dengan suara tinggi: "Siapa tidak berpribudi, dia Barulah rendah!"
Tiat Tjhioe heran. Tak tahu ia, kata yang belakangan ini ditujukan kepada Sin Tjie. Tapi ia
girang.
"Ayahmu itu tidak berjodo dengan bibiku, dia tak dapat dipersalahkan," kata kauwtjoe ini.
"Dia pun rela mati daripada menyebutkan tempat kediaman ibumu, dia tetap
melindunginya, sebenarnya dia ada seorang yang menyinta sangat, dia setia."
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
"Sayang jarang ada orang semacam ayah!" bilang Tjeng Tjeng.
"Umpama ada seorang semacam dia, yang tidak hiraukan jiwa sendiri untuk lindungi kau
bisakah kau ingat dia untuk selamanya?" Ho Tiat Tjhioe tanya pula.
"Aku tidak punyakan itu macam rejeki!"
"Dulu tak mengerti aku mengapa bibi demikian tergila-gila terhadap seorang lelaki," kata
pula Tiat Tjhioe. "Aku....aku.....ya, sudahlah, aku tidak ingin kau bilang apa-apa lagi....
Sukur jikalau kau ingat aku, tidak ingat juga tidak apa...."
Ia balik tubuhnya, untuk pergi keluar pula.
Tjeng Tjeng berbangkit, akan duduk dengan bengong. Tidak mengerti ia sikapnya
kauwtjoe dari Ngo Tok Kauw itu.
Sin Tjie melayang turun.
"Nona tolol, dia menyintai kau!" katanya sambil tertawa.
"Apa?" tanya Tjeng Tjeng dengan heran.
Sin Tjie tertawa.
"Dia menyangka kau lelaki!" katanya.
Perkataan pemuda ini membikin sang pemudi insaf. Pantas selama tertawan, sikapnya Ho
Tiat Tjhioe terhadapnya ada baik, malah manis-budi. Untuk sementara ia telah melupakan
dandanan penyamarannya itu. Maka akhirnya, ia tertawa sendirinya. Itulah lucu!
"Bagaimana sekarang?" ia tanya.
"Kau menikah dengan Ngo Tok Hoedjin itu!" Sin Tjie bergurau. ("Ngo Tok Hoedjin" berarti
"Nyonya dari Ngo Tok Kauw".)
Di saat Tjeng Tjeng hendak berkata pula, daun jendela terpentang dengan tiba-tiba dan
Tjiauw Wan Djie lompat masuk, di belakangnya turut Lo Lip Djie, yang bertangan satu.
Melihat nona itu, kembali air mukanya Nona Hee guram, lenyap senyumannya yang manis.
"Wan Siangkong," berkata Wan Djie dengan sikapnya sungguh-sungguh tetapi tenang.
"Aku bersukur sangat yang kau telah berikan bantuanmu yang besar hingga berhasil aku
mencari balas, maka sekarang ingin aku memberitahukan bahwa besok pagi aku berniat
pulang ke Kimleng. Di masa hidupnya ayah, ia ada sangat kagumi kau, sedang Lo Soeko
ini sangat berterima kasih kepadamu yang sudah ajarkan dia ilmu silat golok bertangan
satu, hingga kau mirip dengan gurunya...."
Sin Tjie awasi nona itu, kata-kata siapa membuat ia heran.
"Sekarang, siangkong," kata Wan Djie meneruskan, "kami berdua hendak memohon
sesuatu kepadamu...."
"Jangan kesusu," berkata pemuda kita, walaupun ia belum mengerti maksud orang. "Mari
kita berlalu dulu dari istana ini, Baru kita bicara."
"Tidak, Wan Siangkong," Nona Tjiauw mendesak. "Aku Cuma mau minta supaya kau
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
menjadi wakil kami, supaya kau ijinkan perjodoanku dengan Lo Soeko ini!"
Dua-dua Tjeng Tjeng dan Sin Tjie terperanjat mendengar perkataan nona itu, bukan
terperanjat karena kaget tetapi saking heran.
Malah Lo Lip Djie sendiri tidak menjadi kecuali.
"Soe...soemoay!" kata ini kakak seperguruan, "Apakah kau bilang?"
"Apakah kau tidak suka aku?" Wan Djie tanya sambil ia awasi soeheng itu.
Lip Djie kembali tercengang.
"Aku....aku....." katanya, tergandat.
Mendadak saja, Tjeng Tjeng menjadi sangat gembira.
"Bagus!" seru dia. "Aku kasi selamat pada kamu berdua!"
Sin Tjie cerdik, segera ia insaf maksudnya Nona Tjiauw. Ialah Wan Djie hendak buktikan,
dia tidak ada punya hubungan apa-apa sama ia, bahwa pergaulan dan persahabatan
mereka berdua ada putih-bersih, maka itu tanpa likat lagi, nona ini kemukakan
perjodoannya dengan Lo Lip Djie. Dengan cara ini, Wan Djie hendak singkirkan kecurigaan
dan cemburunya Tjeng Tjeng, untuk sekalian juga membalas budinya. Maka itu, tak
kepalang bersukurnya ia kepada nona yang cerdas ini.
Tjeng Tjeng juga cerdik, ia bisa menduga hatinya Nona Tjiauw, walaupun ia memberi
selamat, ia jengah sendirinya. Tapi ia polos, ia jujur, malah lantas ia jabat tangan Wan Djie.
"Adik, aku berlaku tidak pantas terhadapmu," katanya, mengakui. "Aku minta kau tidak
berkecil hati."
"Mana bisa aku berkecil hati terhadapmu, enci," Wan Djie kata.
Meski ia mengucapkan demikian, puteri almarhum Tjiauw Kong Lee toh melinangkan air
mata. Ia bersedih karena orang telah curigai ia, hingga sebagai satu nona, ia bertindak di
luar garis. Sebenarnya tidak tepat ia yang meminta perkenan dari Sin Tjie untuk
perjodoannya dengan Lip Djie. Tetapi keadaan memaksa, ia terpaksa tebali muka.
Tjeng Tjeng insaf kekeliruannya, ia turut berduka, hingga ia pun ikut menangis.
Ketenteraman mereka berempat segera terganggu oleh suara tindakannya tujuh atau
delapan orang, yang lagi mendatangi ke arah mereka.
Sin Tjie segera geraki tangannya, selaku tanda.
Sebat luar biasa, Lip Djie lompat ke jendela, untuk menolak daunnya.
Berbareng dengan itu, di pintu terdengar suara membentak dari Ho Tiat Tjhioe:
"Sebenarnya siapa menjadi kauw-tjoe?"
Lalu terdengar suara Ho Ang Yo: "Kenapa kau tidak mau bertindak menuruti aturan kita?
Baiklah kita bersembahyang kepada Tjouwsoe, untuk angkat satu kauwtjoe baru!"
Segera terdengar suara seorang laki: "Binatang itu ada musuh besar dari Ngo Tok Kauw,
kenapa Kauwtjoe terus-terusan hendak melindungi dia?"
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Terdengarlah suara tertawa dari Ho Tiat Tjhioe, yang kata: "Aku larang kamu masuk ke
dalam kamar ini! Siapa berani maju?"
Kauwtjoe ini tertawa tetapi dia menantang, suaranya keren.
"Mari kita bereskan dulu itu binatang!" kata seorang lelaki lain.
"Urusan kita, kita boleh bereskan belakangan!"
Suara tindakan kaki berat dan sebat terdengar maju ke arah pintu, menyusul itu
terdengarlah satu jeritan hebat, disusul sama suara terbantingnya satu tubuh ke lantai.
Rupanya orang itu telah jadi korbannya Ho Tiat Tjhioe.
Sin Tjie lantas beri tanda pula kepada tiga kawannya.
Lo Lip Djie lompati jendela, disusul oleh Wan Djie, di belakang siapa, Tjeng Tjeng pun
menyusul.
Itu waktu, di muka pintu terdengar bentrokan pelbagai senjata. Teranglah, perang saudara
telah terjadi di dalam Ngo Tok Kauw - Ho Tiat Tjhioe telah tempur saudara-saudaranya
separtai.
Setelah sedikit lama, Sin Tjie dengar dupakan pada pintu kamar, hingga daun pintu
menjeblak, tubuh seorang nerobos masuk.
Sin Tjie lantas saja lompat ke jendela, untuk angkat kaki.
Orang yang Baru masuk itu lihat satu bebokong berkelebat dan lenyap, hingga tak sempat
ia untuk mengenalinya bebokong siapa.
"Lekas, lekas!" dia berteriak-teriak. "Binatang itu kabur!"
Ho Tiat Tjhioe terkejut, juga kawan-kawannya, hingga pertempuran berhenti seketika,
semuanya lantas memburu ke dalam kamar, hingga mereka lihat kamar kosong dari
manusia dan daun jendela menjeblak terpentang.
Tanpa ayal lagi, Ho Tiat Tjhioe lompat ke luar jendela, Ia bermata tajam, masih ia dapat
lihat satu bajangan nyelusup masuk ke tempat banyak pepohonan, segera ia menyusul.
Tapi menyusul dengan kandung maksud sendiri-diri. Dia kira bajangan itu ada dari Tjeng
Tjeng, ingin dia lindungi "pemuda" itu, untuk cegah ia terjatuh ke dalam tangan kawankawannya.
Bajangan di depan itu berlari-lari teurs, dia putari beberapa pekarangan, akhirnya dia
melenyapkan diri di tembok merah dari keraton.
Sin Tjie sengaja menyingkir paling belakang, ia pun ambil jurusan lain daripada yang
diambil Tjeng Tjeng bertiga. Ia lihat bagaimana Ho Tiat Tjhioe terus susul padanya, ia
sengaja lari untuk segera lenyap dari pandangan mata kauwtjoe itu. Adalah setelah
menduga Tjeng Tjeng bertiga sudah keluar jauh dari istana, Baru ia lenyapkan diri di
belakang tembok keraton tadi.
Selagi menghampirkan sebuah pintu, Sin Tjie lantas mencium bau harum berkesiur-siur
halus. Ia tolak daun pintu, untuk sembunyikan diri di lain sebelah dari pintu itu, sembari
sembunyi ia mengawasi ke sekitarnya. Kapan ia telah melihat nyata, ia jadi jengah
sendirinya, kupingnya ia rasai panas tak keruan-ruan....
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Nyatalah ia berada di dalam sebuah kamar yang indah dan lengkap perabotannya.
Kelambu ada kelambu sulam, permai sepre dan selimutnya. Permadani kuning telur juga
ada tersulam bunga mawar merah yang besar. Di meja dekat jendela ada terdapat pelbagai
rupa alat berhias dari seorang perempuan. Perabotan lainnya adalah barang-barang kuno.
"Mungkin ini kamarnya satu selir...." Pikir anak muda ini. "Tidak seharusnya aku berdiam
di sini....."
Selagi ia hendak bertindak ke pintu, lantas kupingnya dengar pelbagai tindakan halus
disusul sama orang-orang perempuan bicara sambil tertawa-tawa. Maka ia merandak.
"Jikalau aku paksa keluar, aku bakal bersomplokan dengan nona-nona keraton ini," ia
pikir. "Satu kali aku kepergok, keraton bakal jadi kacau, mungkin aksinya Tjo Thaykam jadi
terganggu dan tertunda. Maka lebih baik aku sembunyikan diri, untuk melihat selatan."
Karena ini ia lompat ke belakang sekosol yang bergambar seorang wanita cantik serta
bunga bouw-tan.
Sebentar saja, daun pintu telah ditolak terpentang, empat dayang bertindak masuk sambil
iringi satu perempuan muda.
"Thianhee ingin beristirahat atau hendak membaca buku dulu?" tanya satu dayang.
Mendengar itu, Sin Tjie terkejut.
"Jadinya ini ada kamarnya puteri raja," pikirnya. "Ah, baiklah kau tidur saja, tak usah baca
buku lagi....." ia harap-harap.
Si nona, atau kiongtjoe, puteri raja, tidak menyahuti tegas, ia hanya jatuhkan diri di atas
pembaringan.
"Apakah perlu membakar dupa?" satu dayang tanya pula.
Kembali puteri itu perdengarkan jawaban tak nyata. "Ehm...." Terdengarnya.
Selang tidak lama, Sin Tjie dapat cium bau dupa yang wangi-halus, hingga tanpa merasa,
ia jadi lesu dan ingin tidur....
"Bawa kemari akupunya pit dan gambar, habis kamu semua pergi keluar," kemudian
berkata si puteri raja. (Pit adalah alat menulis.)
Sin Tjie terperanjat.
"Satu suara yang aku kenal baik...." pikirnya. Berbareng ia pun sibuk. Kalau puteri ini
melukis gambar, pasti dia akan ambil banyak tempo. Bagaimana dapat ia berdiam lamalama
di dalam kamar ini?
Dayang-dayang telah lantas siapkan perabot-tulis dan alat melukis lainnya, setelah itu,
semuanya segera undurkan diri.
Kamar menjadi sunyi pula, cuma kadang-kadang saja terdengar suara meretak di dalam
pendupaan, dari kayu cendana yang terbakar.
Tidak berani Sin Tjie berkutik.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Tidak lama terdengarlah elahan napas dari si puteri, yang terus menyanyikan sebuah syair
dengan pelahan:
"Musim semi dari berlaksa lie
membawa tetamu datang
Bunga dari sepuluh tahun
membuat si cantik menjadi tua
Tahun yang lampau di masa bunga mekar, aku jatuh sakit
Tapi tahun ini, menghadapi sang bunga, masih terlalu pagi."
Itulah suara halus dan merdu akan tetapi sifatnya sedih.
Sin Tjie heran. Kenapa satu puteri raja mesti berduka? Ia pun heran, mengapa suara itu
seperti ia kenal baik. Sementara itu, ia merasa lucu untuk kedudukannya ini.
"Aku ada seorang kang-ouw, kecuali kali ini, belum pernah aku datang ke kota raja, maka
dimana pernah aku bertemu sama puteri raja seperti dia ini? Tidak, aku tidak kenal dia.....
Dia mungkin mirip dengan salah satu kenalanku...."
Si puteri telah bertindak ke dekat meja, lantas terdengar suara ia menggerak-geraki alat
tulisnya, rupanya ia sudah mulai melukis.
Sin Tjie menantikan dengan pikiran terbenam. Itu waktu, pintu telah ditutup dan daun
jendela pun sudah dirapatkan. Tanpa menggunai kekerasan, tak dapat ia keluar dari kamar
ini....
Sang puteri masih terus melukis, sampai terdengar ia lempangkan pinggangnya, mungkin
ia merasa letih.
"Lagi dua-tiga hari, gambar ini akan selesai," kata dia seorang diri. "Setiap hari aku
memikirkanmu, apakah kau juga setiap saat mengingat-ingat aku?"
Ia berbangkit, ia pindahkan gambarnya ke kursi, lalu kursi itu dipindahkan ke depan
pembaringan.
"Kau diam di sini, untuk temani aku...." katanya pula.
Kemudian ia buka baju luarnya, untuk naik ke pembaringan.
Keheranan Sin Tjie bertambah-tambah. Siapa itu yang dilukis puteri ini, yang dibuat ingatingatan?
Tak dapat pemuda ini menguasai dirinya, ia geraki kepalanya, untuk memandang ke depan
pembaringan, ke arah kursi, guna lihat gambar buatannya si puteri. Apabila ia telah lihat
gambar itu, keheranannya memuncak, hingga ia terperanjat.
Itulah gambarnya Wan Sin Tjie! Gambar itu sudah berpeta jelas walaupun katanya belum
sempurna. Di situ ia terlukiskan sedang bersenyum riang-gembira.
Inilah tidak disangka si anak muda, tanpa merasa, ia perdengarkan suara herannya:
"Ah!...."
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Kuping si puteri terang luar biasa, ia dapat dengar suara sangat pelahan, tangannya
mencabut tusuk konde, tanpa memutar tubuh lagi, tangannya itu dikasi melayang!
Sin Tjie terkejut, menyusul suara angin menyambar, ia angkat tangannya, akan tanggapi
tusuk konde itu.
Menyusul serangannya itu, si puteri telah putar tubuhnya, maka sekarang kedua orang jadi
saling mengawasi, dengan kesudahannya dua-duanya tergugu melongo! Sebab segera
mereka saling mengenali.
Sin Tjie kenali A Kioe, muridnya Thia Tjeng Tiok. Memangnya ia curigai nona itu, yang
dilindungi oleh siewie, ia menduga kepada seorang tak sembarangan, ia hanya tidak
sangka, si nona adalah satu puteri raja.
Muka A Kioe pucat, lalu bersemu merah.
"Wan Siangkong, mengapa kau ada di sini?" akhirnya dia tanya. Dengan cepat ia dapat
tenteramkan diri.
Sin Tjie lantas memberi hormat.
"Siauwdjin bersalah," ia mengakui. "Dengan lancang aku telah menerobos masuk ke
dalam kamar kiongtjoe ini...."
Mukanya A Kioe bersemu merah.
"Silakan duduk," ia mengundang.
Puteri ini sadar yang baju luarnya telah dilolosi, dengan sebat ia sambar itu, untuk dipakai.
Di pintu lantas terdengar ketokan pintu yang pelahan.
"Thian-hee memanggil?" tanya satu dayang.
"Tidak, aku lagi baca buku!" sahut sang puteri dengan cepat. "Pergilah kamu tidur, tidak
usah kamu menunggui di sini."
"Baik, thianhee. Silakan thianhee beristirahat siang-siang."
A Kioe tidak jawab dayangnya itu, ia goyangi tangan kepada Sin Tjie, lantas ia tertawa
dengan pelahan. Tapi, kapan ia menoleh ke arah gambar lukisan, mukanya menjadi merah,
ia jengah sendirinya. Lekas-lekas ia geser kursi itu ke pinggir.
Kemudian, keduanya kembali berdiri berhadapan dengan diam saja.
"Apakah kau kenal orang-orang Ngo Tok Kauw?" akhirnya Sin Tjie tanya.
A Kioe manggut.
"Tjo King-kong bilang Lie Giam telah kirim banyak pembunuh ke kota raja, untuk
mengacau," jawabnya, "maka itu Tjo Kong-kong undang serombongan orang gagah
masuk ke keraton, untuk melindungi Sri Baginda. Katanya kauwtjoe Ho Tiat Tjhioe dari
Ngo Tok Kauw liehay sekali."
"Gurumu, Thia Loo-hootjoe, telah dilukai mereka, apakah thianhee ketahui?" tanya Sin
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Tjie.
A Kioe kaget, hingga air mukanya berubah.
"Apa?" tanyanya. "Kenapa mereka lukai soehoe? Apakah soehoe terluka parah?"
"Tidak, tidak seberapa," sahut Sin Tjie, yang terus berbangkit. "Sekarang sudah jauh
malam, baik kita tidak bicara terlalu banyak. Kami tinggal di gang Tjeng-tiauw-tjoe. Apa
bisa besok thianhee datang melongok gurumu itu?"
"Baik!" A Kioe jawab. "Dengan menerjang bahaya kau telah datang menyambangi aku, aku
berterima kasih....." Ia bicara dengan pelahan sekali ketika ia menambahi: "Kau telah lihat
bagaimana aku sudah lukiskan gambarmu, maka tentang hatiku, kau sudah ketahui
jelas....."
"Inilah hebat," pikir Sin Tjie. "Rupanya dia telah menyintai aku, kedatanganku sekarang
membuat ia dapat kesan yang keliru. Ini perlu penjelasan..."
Tapi ia belum sempat bicara, atau A Kioe sudah kata pula: "Sejak pertemuan kita di Shoatang-
too, dimana kau rintangi Tie Hong Lioe melukai aku, aku senantiasa ingat saja budikebaikanmu.....
Coba lihat lukisan ini mirip atau tidak?"
Sin Tjie manggut.
"Thianhee," katanya, "aku datang kemari karena...."
Tapi A Kioe segera memotong.
"Jangan panggil aku thianhee," katanya. "Aku pun tidak akan panggil siangkong lagi
kepadamu. Pada mula kalinya kita bertemu, kau kenal aku sebagai A Kioe, maka itu untuk
selamanya, aku tetap ada A Kioe. Aku dengar enci Tjeng panggil kau toako, aku pikir,
umpama itu hari aku pun bisa panggil toako padamu, itu Barulah tepat. Di saat aku
dilahirkan, menteri tukang tenung telah ramalkan aku bahwa apabila aku hidup tetap di
dalam keraton, aku tidak bakal panjang usia, karena itu, Sri Baginda Ayah perkenankan
aku pergi berkelana."
"Pantas kau belajar silat pada Thia Loo-hoetjoe dan ikut dia berkelana," kata Sin Tjie.
"selama berada di luar, pengetahuan dan pengalamanku jadi tambah banyak," A Kioe
bilang. "Aku tahu yang rakyat sangat menderita. Umpama kata aku pakai uang di istana
akan tolong rakyat, masih tidak seberapa jumlahnya yang bisa ditolong."
Sin Tjie kagum mendengar puteri ini bersimpati kepada rakyat.
"Karena itu wajiblah kau nasihati Sri Baginda dan minta Sri Baginda menjalankan
pemerintahan secara bijaksana," ia kata. "Asal rakyat dapat makan dan pakai cukup, tidak
kelaparan dan kedinginan, pasti negara aman-sentausa."
Puteri itu menghela napas.
"Jikalau Sri Baginda Ayah sudi dengar perkataan orang, itulah bagus," katanya. "Sekarang
Sri Baginda Ayah dikitari segala dorna, yang kata-katanya sangat dipercayai benar."
"Kau berpengetahuan luas melebihi Sri Baginda," Sin Tjie puji. Tadinya pemuda ini pikir,
baik atau tidak ia beber rahasia Thaykam Tjo Hoa Soen, akan tetapi sebelum ia ambil
putusan, A Kioe sudah tanya dia: "Apakah Thia Loo-hoetjoe pernah omong tentang
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
diriku?"
"Tidak. Dia bilang dia pernah bersumpah, dari itu tak dapat dia omong tentang kau.
Tadinya aku menyangka kau mempunyai dendaman yang hebat, yang mengenai kaum
kang-ouw, tidak tahunya kau ada puteri raja."
A Kioe bersenyum.
"Thia Soehoe ada pahlawan Sri Baginda Ayah, dia sangat setia kepada junjungannya," ia
beritahu.
"Oh, jadinya dia pun ada satu sie-wie?" kata Sin Tjie dengan heran.
A Kioe manggut.
"Ketika dahulu Sri Baginda Ayah masih tinggal di istana pangeran Sin Ong-hoe, Thia
Soehoe menjadi kepala sie-wie," ia menerangkan lebih jauh. "Kemudian setelah Sri
Baginda marhum wafat, Sri Baginda Ayah adalah yang menggantikan naik di tahta. Pada
masa itu, semua orang di dalam istana ada orang-orang kepercayaan Goei Tiong Hian.
Maka juga Thia Soehoe bilang, waktu itu, keadaan ada sangat berbahaya, sampai Sri
Baginda Ayah dan sekalian pahlawannya, siang dan malam tak bisa tidur dengan tenang.
Semua barang makanan diantar dari istana Sin Ong-hoe. Beberapa kali Goei Tiong Hian si
dorna niat celakai Sri Baginda Ayah, saban-saban Thia Soehoe serta Tjo Kong-kong dan
lainnya yang menggagalkannya, hingga bahaya dapat dihindarkan. Itulah sebabnya
kenapa sampai sekarang ini Sri Baginda Ayah tetap percaya Tjo Kong-kong."
"Meski begitu, tak dapat dia dipercayai sepenuhnya!" Sin Tjie bilang.
"Itu benar. Di antara Thia Soehoe dan Tjo Kong-kong tidak terdapat kecocokan."
"Jadi itulah sebabnya kenapa Thia Soehoe jadi keluar dari istana?" Sin Tjie tegaskan.
"Bukan. Katanya karena urusan Wan Tjong Hoan."
Terperanjat juga Sin Tjie mendengar disebutkan nama ayahnya.
"Bagaimana itu?" tanya dia.
"Di waktu kejadian, aku masih belum terlahir," jawab A Kioe, "Baru belakangan aku dengar
hal itu dari soehoe. Soehoe bilang Wan Tjong Hoan ada panglima perang besar di Kwangwa
yang menolak serangan bangsa asing, dia telah dirikan banyak sekali jasa, hingga
bangsa asing jeri bukan main akan lihat dia. Adalah belakangan, bangsa Boan sudah
gunai tipu-daya merenggangkan, cerita-burung disiarkan bahwa Wan Tjong Hoan berniat
berontak. Sri Baginda Ayah percaya itu, tanpa pikir panjang lagi, Wan Tjong Hoan dihukum
mati. Thia Soehoe tahu Wan Tayswee difitnah, dia pernah melindunginya, hingga
karenanya, soehoe jadi bentrok sama Sri Baginda Ayah. Sri Baginda Ayah sedang panas
hati, dia lupa, dia telah gaplok soehoe, maka saking gusar, soehoe lantas meninggalkan
istana, dia sumpah untuk selamanya tak sudi menemui pula Sri Baginda Ayah."
Sin Tjie terharu berbareng bersukur, ia tahan keluarnya air mata, matanya menjadi merah.
"Thia Soehoe bilang, Sri Baginda Ayah tak dapat membedakan orang setia dan dorna," A
Kioe melanjuti. "Soehoe kuatirkan, akhir-akhirnya negara bakal runtuh di tangan Sri
Baginda Ayah. Beberapa tahun kemudian, Sri Baginda Ayah menyesal. Karena katanya tak
dapat aku hidup di istana, aku lantas dikirim kepada soehoe, untuk terus ikuti soehoe. Aku
tidak tahu, kenapa soehoe bentrok sama Ngo Tok Kauw."
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Hampir saja Sin Tjie bilang: "Ngo Tok Kauw berniat bikin celaka ayahmu, sebab mereka
tahu Thia Loo-hoetjoe setia kepada Sri Baginda, jadi Thia Loo-hoetjoe hendak
dibinasakan." Tiba-tiba ia tampak lilin, yang tinggal sepotong pendek, hingga ia ingat:
"Keadaan ada begini mendesak, kenapa aku mesti bicara begini banyak sama dia ini?"
Maka ia lantas berbangkit.
"Masih banyak yang mesti dibicarakan, besok saja kita teruskan lebih jauh," katanya.
Mukanya A Kioe merah, ia tunduk, terus dia manggut.
Hampir di waktu itu, pintu kamar diketok secara kesusu dan di luar kamar terdengar
suaranya beberapa orang: "Thianhee, thianhee, lekas buka pintu!"
A Kioe kaget.
"Ada apa?" dia tanya.
"Oh, thiangee tidak kurang suatu apa?" tanya satu dayang.
"Aku lagi tidur. Ada apakah?"
"Katanya ada orang lihat ada penjahat nyelusup masuk ke dalam keraton...."
"Ngaco-belo! Penjahat apa sih?"
"Thianhee," kata satu suara lain, "ijinkan kami masuk untuk melihat-lihat...."
Sin Tjie segera bisiki sang puteri: "Itulah Ho Tiat Tjhioe!"
"Jikalau ada penjahat, cara bagaimana aku bisa tenang seperti ini?" kata A Kioe. "Lekas
pergi, jangan bikin berisik di sini!"
Orang-orang di luar itu lantas diam, mereka tahu sang puteri gusar.
Dengan berindap-indap, Sin Tjie pergi ke jendela, niatnya untuk tolak jendela, buat
nerobos pergi. Baru saja ia pegang kain alingan jendela dan menyingkapnya sedikit, ia
lihat cahaya api terang-terang, hingga ia tampak juga belasan thaykam, ialah orang-orang
yang menyekal obor.
"Jikalau aku nerobos, siapa bisa rintangi aku?" pikir pemuda ini. "Dengan aku berlalu
dengan paksa, nama baiknya puteri bakal tercemar. Tidak dapat aku berbuat demikian...."
Maka ia balik pada A Kioe, akan bisiki bahwa tak bisa ia berlalu dengan paksa atau sang
puteri bakal dapat malu.
Puteri itu kerutkan alis.
"Jangan takut," katanya kemudian. "Kau diam saja di sini untuk sekian lama lagi."
Sin Tjie terpaksa, ia menurut.
Tidak terlalu lama, kembali ada suara mengetok pintu.
"Siapa?" tanya A Kioe.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Kali ini datang penyahutan Thaykam Tjo Hoa Soen.
"Sri Baginda dengar ada orang jahat nyelusup ke istana, Sri Baginda berkuatir, dari itu
kacung diperintah menanyakan keselamatan thianhee," sahut thaykam itu, yang
membahasakan diri "kacung".
"Tidak berani aku membikin kong-kong banyak cape," kata A Kioe. "Silakan kong-kong
kembali, tolong sampaikan bahwa aku tidak kurang suatu apa."
"Thianhee ada orang penting, tak dapat thianhee menjadi kaget," kata pula orang kebiri
itu. "Baik ijinkanlah kacung masuk untuk memeriksa kamar."
A Kioe mendongkol kepada orang kebiri itu. Ia percaya, waktu Sin Tjie datang, mesti ada
orang lihat padanya, kalau tidak, thaykam itu tidak nanti berani demikian mendesak.
Dugaan ini benar separuhnya. Memang Tjo Hoa Soen dapat kisikan dari Ho Tiat Tjhioe
bahwa ada orang nyelusup masuk ke keraton puteri, Tiang Peng Kiongtjoe. Sebab lainnya
adalah Tjo Hoa Soen tahu puteri pandai silat, dia bercuriga, dia curiga puteri ini punya
hubungan sama orang kang-ouw sedang dia berniat celakai baginda Tjong Tjeng. Maka
ingin dia mendapat kepastian. Dia berpengaruh, dari itu, dia berani memaksa. Puteri pun
memang tak dapat terlalu rintangi orang kebiri itu.
Maka akhirnya, setelah berpikir, Tiang Peng Kiongtjoe gerak-geraki kedua tangannya
kepada Sin Tjie, untuk beri tanda agar si anak muda naik ke atas pembaringannya, untuk
sesapkan diri di bawah selimut.
Dalam keadaan seperti itu, Sin Tjie sangat terpaksa, maka ia pergi ke pembaringan,
setelah lolosi sepatunya, ia naik, terus ia tutupi diri dengan selimut sulam, hingga ia dapat
cium bau sangat harum. Ia kerebongi tubuh, dari ujung kaki sampai di kepala.
Kembali terdengar suaranya Tjo Hoa Soen, yang mendesak minta dibukai pintu.
"Baiklah," kata Tiang Peng Kiongtjoe akhirnya, "kau boleh periksa!"
Puteri ini loloskan baju luarnya, ia bertindak ke pintu, untuk angkat palangan, setelah
mana, tanpa buka pintu lagi, ia lompat naik ke atas pembaringan, untuk segera kerebongi
diri sebatas leher.
Hatinya Sin Tjie memukul ketika A Kioe rebahkan diri berdampingan dengan dia, pakaian
mereka nempel satu dengan lain, sedang hidungnya dapat cium bau lebih wangi lagi. Tapi
ia berdiam terus, tidak berani dia berkutik, apalagi setelah ia merasa Tjo Hoa Soen dan Ho
Tiat Tjhioe sudah masuk ke dalam kamar. Ia merasakan bagaimana tubuhnya sang puteri
sedikit bergemetar.
Ting Peng Kiongtjoe berpura-pura masih lungu-lungu, ia pun berlagak menguap, tetapi toh
ia tertawa.
"Tjo Kong-kong, kau baik sekali. Terima kasih!" katanya.
Tjo Hoa Soen memandang ke sekelilingnya, ia tak lihat ada orang lain dalam kamar itu.
Ho Tiat Tjhioe turut memeriksa, ia berpura-pura bikin jatuh saputangannya, untuk pungut
itu, ia membungkuk, dengan begitu ia jadi bisa melongok ke kolong pembaringan.
"Aku pun telah periksa kolong pembaringan, aku tidak sembunyikan orang jahat!" tertawa
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
A Kioe.
"Harap thianhee ketahui, Tjo Kongkong kuatir thianhee kaget," kata ketua Ngo Tok Kauw
itu.
Ketika kauwtjoe ini melihat ke kursi, dimana ada gambar Sin Tjie, ia kaget sekali, sukur ia
masih bisa tetapkan hati, maka ia lantas berpaling.
Tjo Thaykam kedipi mata, ia kata: "Mari kita periksa lain-lain bagian lagi." Tapi kepada
empat dayang, ia pesan: "Kamu berempat temani thianhee di sini, jangan kamu tinggal
pergi. Umpama kata thianhee titahkan kamu, masih kamu tidak boleh malas dan mencuri
tempo dan keluar. Mengerti?"
"Kami akan dengar titah kongkong," jawab empat dayang itu.
Tjo Hoa Soen beramai minta perkenan dari puteri, lantas mereka keluar dari kamar.
A Kioe pun segera perintah turunkan kelambu.
"Aku hendak tidur," katanya.
Dua dayang kasi turun kelambu dengan hati-hati, yang satu tambahkan kayu cendana,
setelah buang ujung lilin, mereka pergi ke pojok tembok untuk numprah sambil
menyender.
Lega hatinya A Kioe, akan tetapi ia bergirang berbareng malu. Di luar sangkaannya, di luar
keinginannya, sekarang ia rebah berdampingan sama orang yang ia buat kenangan setiap
saat. Pikirannya jadi terbenam, tidak berani ia buka suara, tidak berani ia geraki tubuhnya.
Ia seperti sedang mimpi.
"Bagaimana?" Sin Tjie berbisik, selang sekian lama. "Mesti dicari daya untuk aku keluar
dari sini...."
"Oh...." Si nona bersuara, dengan pelahan sekali. Ia bergerak sedikit, lengan dan kaki
digeser. Tiba-tiba saja ia terperanjat. Ia telah bentur barang dingin. Kapan ia meraba, ia
kena pegang pedang, yang diletaki nyelang di antara mereka berdua.
"Apa ini?" ia tanya.
"Aku nanti terangi, tapi kau jangan kecil hati."
"Aku masuk kemari di luar keinginanku. Aku menyesal telah mesti rebah di sini bersamasama
kau. Tapi ini karena sangat terpaksa. Aku bukan seorang ceriwis dan kurang ajar."
"Aku tidak persalahkan kau," A Kioe bilang. "Singkirkan pedangmu itu, nanti aku kena
dilukai."
"Aku kenal adat sopan-santun, tetapi tetap aku ada seorang anak muda, aku sekarang
rebah berdampingan sama kau, satu gadis rupawan dan cantik sekali, aku kuatir nanti tak
dapat atasi diriku...."
A Kioe tertawa.
"Jadi kau palangkan pedangmu? Ah, tolol, toako tolol!...."
Dua-dua mereka kuatir suara mereka nanti terdengar empat dayang, selain mereka bicara
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
dengan pelahan, kepala mereka pun digeser dekat sekali satu dengan lain. Maka Sin Tjie
dapat cium harumnya hawa segar dari mulutnya si nona, hingga hatinya goncang. Sebisabisa
ia tenangkan diri.
"Adik Tjeng sangat menyintai kau, jangan kau tersesat!" demikian ia peringati dirinya
sendiri.
"Seng Ongya itu siapa?" kemudian ia tanya. Ingin ia simpangkan perhatian.
"Dia adalah pamanku," jawab A Kioe.
"Tepat!" kata Sin Tjie pula. "Mereka hendak tunjang dia menjadi kaisar, kau tahu tidak?"
A Kioe terkejut.
"Apa? Siapa mereka?"
"Tjo Hoa Soen telah bikin perhubungan rahasia sama Kioe Ongya dari Boantjioe, dia niat
pinjam tentera Boan untuk tindas pemberontakan Giam Ong."
"Foei! Apakah artinya tentara Boan? Negara kita toh lebih kuat!"
"Benar! Sri Baginda tidak setujui usul pinjam tentara asing itu. Karena ini, Tjo Hoa Soen
beramai niat tunjang Seng Ongya, untuk diangkat jadi kaisar pengganti...."
"Ini memang mungkin. Seng Ongya ada bangsa tolol, pasti dia suka pinjam tentara asing
untuk tindas pemberontak."
"Yang aku kuatirkan mereka nanti bekerja malam ini...."
A Kioe kembali terkejut.
"Ah, kenapa kau tidak omong dari siang-siang? Kita mesti lekas tolongi Sri Baginda
Ayah!"
Sin Tjie rapatkan kedua matanya, ia ragu-ragu. Kaisar Tjong Tjeng justeru ada musuh
besarnya, yang sudah hukum mati ayahnya! Selama belasan tahun, tidak ada satu hari
dilewatkan tanpa ia tak ingat permusuhan itu, adalah keinginannya akan dengan tangan
sendiri membunuh musuhnya. Sekarang timbul ini suasana genting. Sebenarnya ini ada
ketika yang bagus sekali. Bukankah, tanpa berbuat sesuatu apa, ia bisa saksikan musuh
besarnya itu terbunuh mati? Tidakkah itu akan memuaskan hatinya? Tapi di sebelah itu,
jikalau Tjo Hoa Soen berhasil, dan dia pinjam tentara Boan, untuk tumpas gerakannya
Giam Ong, tidakkah itu hebat? Bagaimana kalau Giam Ong gagal? Bagaimana kalau
tentara Boan menduduki seluruh Tionggoan? Tidakkah negara menjadi musna dan cucu
Oey Tee semua menjadi kacung?
A Kioe tidak tahu apa yang orang pikirkan, ia menyenggol dengan pundaknya pada
pemuda itu.
"Kau pikirkan apa?" tanya dia. "Lekas bantui aku tolongi Sri Baginda Ayah!"
Sin Tjie berdiam, masih ia bersangsi.
"Asal kau tidak melupakan aku, aku tetap ada kepunyaan kau," A Kioe bilang. Nona
bangsawan ini menduga keliru. "Di belakang hari masih ada saat-saatnya untuk kita
berkumpul seperti ini..."
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Lagi-lagi Sin Tjie terkejut.
"Ah, kiranya dia menyangka aku tak mau bangun karena terpengaruh oleh keadaan seperti
ini...." Pikirnya. "Baiklah, biar aku lihat keadaan...." Maka ia bisiki puteri raja itu: "Pergi kau
totok semua dayang itu, habis kau tutupi mereka dengan selimut supaya mereka tak dapat
melihat, supaya kita bisa keluar dari sini."
"Aku tidak mengerti tiam-hiat-hoat. Di bagian mana aku mesti totok mereka?" A Kioe
tanya.
Menyesal Sin Tjie. Ia tak tahu, puteri ini tidak mengerti tiam-hiat-hoat, ilmu menotok jalan
darah. Terpaksa ia mesti mengajarinya dahulu. Maka terpaksa ia cekal tangannya puteri
itu, untuk dibawa ke dadanya sendiri, ke ujungnya tulang iga yang ke sebelas. Ia telah
pegang tangan yang halus dan lemas.
"Ini dia yang dinamai jalan darah tjiang-boen-hiat," katanya. "Dengan jari tangan, kau totok
ujung tulang mereka, mereka bakal lantas tidak mampu bergerak. Jangan totok terlalu
keras, nanti mereka kehilangan jiwa mereka...."
A Kioe ingat letak anggauta yang ditunjuk itu. Untuk tolongi ayahnya, ia tidak bisa berpikir
banyak lagi. Ia lantas turun dari pembaringan.
Melihat puteri itu bangun, keempat dayang itu berbangkit, untuk tanya: "Thianhee perlu
apa?"
"Kemari kau!" ia panggil satu dayang sambil ia pergi ke samping pembaringan, hingga
ketiga dayang lainnya tidak lihat ia berdua dayang yang pertama itu.
Menuruti ajaran Sin Tjie, A Kioe totok dayangnya ini. Karena ia mengerti ilmu silat, ia bisa
menotok dengan baik. Ketika dayang itu sudah rubuh dengan tidak bersuara, ia panggil
yang kedua dan ketiga, untuk ditotok semua. Ketika ia totok yang keempat, kenanya
kurang tepat, dayang itu menjerit, maka lekas-lekas ia bekap mulutnya, untuk ditotok buat
kedua kalinya, Baru orang pingsan.
Sin Tjie sudah pakai sepatunya dan telah turun dari pembaringan ketika A Kioe telah
selesai dengan tugasnya, sama-sama mereka hampirkan jendela, akan singkap sero.
Begitu lekas dapati di luar tidak ada orang, keduanya menolak jendela, untuk lompat
keluar.
"Mari ikut aku!" A Kioe mengajak.
Puteri ini ajak kawannya ke kamar Kaisar Tjong Tjeng, ayahandanya. Selagi mendekati
kamar, dari jauh sudah kelihatan bajangan dari banyak orang, jumlah mereka itu mungkin
beberapa ratus jiwa.
"Kawanan dorna sudah kurung Sri Baginda Ayah!" kata A Kioe. "Mari lekas!"
Keduanya berlari-lari.
Baru kira belasan tumbak, kedua orang ini berpapasan sama satu thaykam. Orang kebiri
itu kaget kapan ia kenali Tiang Peng Kiongtjoe, tetapi karena puteri ini cuma bersama satu
pengiring, ia tidak buat kuatir.
"Thianhee masih belum tidur?" tanyanya sambil menjura.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
"Minggir!" membentak Tiang Peng Kiongtjoe. Bersama-sama Sin Tjie, puteri ini telah
melihat nyata, di depan dan belakang kamar ayahnya telah berkumpul thaykam-thaykam
dan siewie-siewie, yang semua memegang senjata, suatu tanda keadaan sangat
mengancam.
Dengan satu tolakan tangan yang keras, A Kioe bikin thaykam di depannya itu
terpelanting, lantas ia maju terus.
Di muka pintu keraton menjaga beberapa siewie, akan tetapi mereka ini kena ditolak
minggir oleh Sin Tjie.
Semua orang kebiri tidak berani turun tangan apabila mereka tampak tuan puteri itu. Satu
diantaranya sebaliknya lari kepada Tjo Thaykam untuk melaporkan hal kedatangannya
puteri itu.
Tjo Hoa Soen ada satu dorna yang cerdik tetapi licik, nyalinya kurang cukup besar,
walaupun sekarang ia yang kepalai gerakan menjunjung Seng Ong, ia tidak berani muncul
sendiri, ia cuma berikan titah-titah saja. Kapan ia dengar laporan, ia tidak kuatir, Ia anggap,
Tiang Peng Kiongtjoe sendirian saja, apa puteri itu bisa bikin.
"Tetap perkuat penjagaan!" ia ulangi titahnya.
A Kioe ajak Sin Tjie maju terus, sampai ke kamar dimana biasanya kaisar Tjong Tjeng
memeriksa surat-surat negara. Di pintu kamar terdapat belasan thaykam dan siewie, di
situpun terdapat tujuh atau delapan mayat yang telah bermandikan darah. Rupa-rupanya
korban-korban ini ada mereka yang setia kepada raja.
Semua siewie dan thaykam melongo kapan mereka lihat tuan puteri.
A Kioe tidak perdulikan mereka itu, ia tarik tangannya Sin Tjie, untuk diajak menerobos
masuk ke dalam kantor raja itu.
"Tahan!" berseru satu siewie sambil ia maju memegat, goloknya diangkat naik untuk
dipakai membacok pemuda kita.
Sin Tjie berkelit sambil tangannya terus menyambar dada, maka siewie itu terpelanting
jatuh.,
Begitu berada di dalam kantor, Sin Tjie lihat api lilin terang sekali, di situ berdiri belasan
orang.
"Hoe-hong!" seru A Kioe sambil ia lari untuk tubruk satu orang dengan jubah kuning.
(Hoe-hong adalah panggilan untuk ayah yang menjadi raja.)
Sin Tjie awasi orang itu, muka siapa putih bersih dan perok, akan tetapi dalam keadaan
kaget dan gusar.
"Inilah dia kaisar Tjong Tjeng musuh ayahku...." pikir pemuda ini.
Belum sampai Tiang Peng Kiongtjoe dapat tubruk ayahnya, dua orang yang tubuhnya
besar menghalang di depan raja, golok mereka dibalingkan.
Kaisar lihat puterinya itu.
"Perlu apa kau datang kemari?" tegurnya. "Lekas pergi!"
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Dekat kaisar berdiri seorang umur kurang-lebih empat-puluh tahun, tubuhnya gemuk
terokmok, mukanya penuh berewok. Dia kata dengan keren:
"Pemberontak sudah pukul pecah Hoen-tjioe dan Thaygoan, segera juga mereka bakal
sampai ke kota raja ini! Kau tidak hendak minta bala-bantuan bangsa asing, apa
maksudmu?"
Kata-kata kasar itu ditujukan kepada kaisar.
"Siok-hoe!" seru A Kioe kepada si terokmok itu, yang sikapnya keren. "Kau berani berlaku
begini kurang ajar terhadap Junjunganmu?"
Mendengar si nona, Sin Tjie tahu, dia itu adalah Pangeran Seng Ong.
Pangeran ini lantas tertawa berkakakan.
"Kurang ajar?" dia mengulangi. "Dia hendak bikin ludas negara indah warisan leluhur kita,
maka kami, setiap anggauta keluarga Tjoe, tidak dapat antapkan dia!"
Kata-kata jumawa ini dibarengi sama terhunusnya pedang, yang cahayanya berkilauan,
hingga semua orang di kiri-kanannya terkejut.
Kemudian, dengan roman sangat bengis, pangeran ini bentak raja:
"Lekas bilang, bagaimana putusanmu!"
Kaisar menghela napas.
"Apa Tim kurang bijaksana hingga negara jadi kacau," kata dia, "sampai tentara
pemberontak hendak menuju ke kota raja buat bikin terbalik pemerintah, akan tetapi
meminjam tentara Boan juga bakal sama membahayakan untuk negara.... Jikalau Tim
mesti mati untuk rakyat, itu tak usah dibuat menyesal, tetapi yang harus disesalkan adalah
kalau nanti negara indah dari leluhur kita ini mesti diserahkan kepada lain bangsa...."
Dengan acungi pedangnya, yang panjang, Seng Ong maju satu tindak.
"Jika begitu, lekas kau keluarkan maklumat untuk undurkan diri, untuk serahkan
kedudukanmu kepada pengganti yang bijaksana!" dia berseru dengan sikapnya sangat
mengancam.
Tubuhnya raja bergemetar.
"Apakah kau hendak bunuh rajamu?" dia tanya.
Seng Ong menoleh ke belakangnya, ia kedipi mata.
Di belakang pangeran ini ada satu opsir dari Kim-ie Wie-koen, pasukan istimewa dari raja,
dia ini cabut goloknya yang panjang, dengan suara nyaring, dia bilang: "Jikalau raja sudah
gelap pikiran dan boe-too, setiap orang dapat membinasakan dia!"
Artinya "boe-too" adalah "tidak adil" (tidak bijaksana).
Sin Tjie awasi opsir itu, karena ia ingat suara orang itu. Segera juga ia kenali, orang itu ada
An Kiam Tjeng, suami An Toa-nio, ayah dari An Siauw Hoei.
A Kioe jadi sangat gusar, hingga ia menjerit dengan bentakannya. Ia sembat sebuah kursi,
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
ia lompat ke depan ayahnya, untuk menghalangi opsir itu. Dan ketika An Kiam Tjeng toh
terusi membacok raja, ia menangkis, terus-terusan sampai tiga kali beruntun.
Sampai di situ, lain-lainnya siewie lantas maju, untuk turut kepung raja atau tuan puteri itu.
Dari tadi Sin Tjie masih diam saja, akan tetapi setelah tampak A Kioe keteter, ia tidak bisa
berdiri terus sebagai penonton, maka ia lompat maju, untuk ceburkan diri dalam
pertempuran itu. Begitu lekas ia geraki tangan kirinya, dua siewie kena dibikin
terpelanting, hingga ia bisa dekati A Kioe, untuk serahkan pedang Kim Tjoa Kiam kepada
puteri itu, kemudian ia sendiri maju ke samping kaisar, akan lindungi raja ini yang menjadi
musuhnya....
Belasan siewie menerjang raja, sesuatu dari mereka lantas dihajar ini anak muda, yang
gunai kedua tangan dan kakinya, hingga bukan saja mereka tak dapat maju, mereka
sendiri yang rubuh dengan urat putus atau tulang-tulang patah!
A Kioe sendiri, dengan pedang mustika Ular Emas di tangan, hingga ia tidak
membutuhkan lagi kursinya, sudah lantas unjuk kegagahannya. Baru saja beberapa jurus,
ia sudah tabas kutung golok besar dan panjang dari An Kiam Tjeng.
Seng Ong terperanjat. Tidak ia sangka, kaisar bisa dapat bantuan tangguh di saat yang
sangat terjepit itu.
"Orang-orang di luar, semua maju!" ia lantas berteriak-teriak.
Teriakan itu disambut dengan munculnya Ho Tiat Tjhioe, Ho Ang Yo dan Lu Djie Sianseng
berikut empat jago tua anggauta Ngo Tjouw dari Tjio Liang Pay. Tapi mereka ini
tercengang kapan mereka saksikan kaisar Tjong Tjeng dilindungi oelh Sin Tjie, si anak
muda yang liehay, yang sedang labrak beberapa sie-wie yang masih bandel.
Akhir-akhirnya Oen Beng Tat mendelik dengan matanya mengeluarkan sinar tajam
bagaikan api menyala, dia terus menjerit: "Lebih dahulu bereskanlah binatang ini!"
Lalu, bersama tiga saudaranya, dia lompat maju.
A Kioe sendiri sudah lantas lompat ke samping ayahnya, dengan bersenjatakan pedang
mustika, ia bisa pukul mundur setiap penyerang yang maju merangsek, sampai pahlawanpahlawannya
Seng Ong jeri juga. Karena ini ia dapat kesempatan akan tampak Sin Tjie
sedang dikerubuti enam sie-wie, hingga ia merasa, dalam keadaan seperti itu, pemuda itu
pasti sukar bantu ia. Mau atau tidak, ia berkuatir juga.
Selagi tuan puteri ini pasang mata sambil berpikir keras, mendadak ia lihat si orang
perempuan tua, yang romannya sangat jelek, yang dandan sebagai pengemis, mata siapa
bersinar sangat tajam, lompat ke arahanya sambil angkat kedua tangannya, untuk
perlihatkan sepuluh jarinya yang tajam bagaikan kuku garuda. Si jelek dan begis ini
berseru dengan suaranya yang menyeramkan: "Lekas kembalikan Kim Tjoa Kiam
padaku!"
Pada waktu itu, Sin Tjie sudah ambil keputusan. Sekarang ia hendak tolongi kaisar Tjong
Tjeng supaya gagallah usaha dorna-dorna mengundang masuk angkatan perang
Boantjioe, supaya kerajaan Beng dapat dihindarkan dari kemusnaan. Ia pikir, baik ia
tunggu sampai tentaranya Giam Ong masuk ke kota raja, Baru ia wujudkan pembalasan
sakit hatinya. Jadi, urusan negara dulu, Baru kepentingan pribadi.
Sementara itu, ia sudah lantas dikepung oleh empat Ngo Tjouw dari Tjio Liang Pay, siapa
sudah liehay tetapi sekarang dibantu pula oleh Lu Djie Sianseng dan Ho Tiat Tjhioe,
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
hingga tak sempat ia membantu A Kioe siapa, dengan rambut riap-riapan, lagi putar
pedangnya secara hebat akan layani penyerang-penyerangnya. Sebab anggauta-anggauta
Kim-ie Wie-koen desak si nona dari tiga jurusan.
Dalam saat segenting itu, tiba-tiba saja pemuda ini dapat satu pikiran. Sambil berkelit
disusl sama lompatan, ia loloskan diri dari hoentjwee yang liehay dari Lu Djie Sianseng
dan sapuan berbahaya dari tongkat panjang Oen Beng San, lantas ia melejit ke depan Ho
Tiat Tjhioe.
"Menyesal; kami terpaksa mengerubuti!" kata kauwtjoe dari Ngo Tok Kauw sambil tertawa
seraya dengan gaetannya ia sambuti si anak muda.
Sin Tjie berkelit.
"Apakah kau sudah tidak sayangi lagi jiwanya beberapa puluh anggautamu?" tegur Sin
Tjie.
Tercengang Ho Tiat Tjhioe kapan ia ingat orang-orangnya yang lagi terancam bahaya itu.
Justru itu, Sin Tjie gunai ketikanya untuk loncat keluar dari kepungan.
Oen-sie Soe Loo, empat ketua Keluarga Oen, tidak mau lepaskan musuh lawas ini, mereka
maju untuk mengepung pula. Oen Beng Tat dengan siang-kek, sepasang tumbak
cagaknya, serang bebokongnya Sin Tjie sebagai sasaran. Tapi ia ini egos tubuhnya.
"Kau gantikan aku menahan mereka!" tiba-tiba saja Sin Tjie kata pada Ho Tiat Tjhioe.
"Apa?" tanya kauwtjoe dari Ngo Tok Kauw.
Si anak muda tidak lantas menjawab, ia kelit dulu dari serangannya Oen-sie Soe Loo dan
Lu Djie Sianseng.
"Aku nanti ajak kau pergi lihat adik Tjeng she Hee!" kata dia kemudian.
Memang sejak melihat Tjeng Tjeng kauwtjoe ini sudah runtuh hatinya, maka mendengar
katanya Sin Tjie, hatinya sekarang memukul keras. Hampir tidak berpikir lagi, ia angkat
tangan kirinya, akan dengan itu gaet Oen Beng Go, orang yang berada paling dekat
dengannya.
Ngo yaya tidak pernah sangka kawan ini bakal berkhianat, dia kaget bukan main melihat
datangnya serangan secara demikian tiba-tiba, tetapi ia masih bisa geraki cambuk
kulitnya, untuk menangkis gaetan.
Akan tetapi Ho Tiat Tjhioe gesit dan telengas, setelah gagal bokongannya itu, ia mendesak
dengan hebat sekali, sama sekali ia tidak hendak memberi ketika kepada Tjio Liang Pay
itu, tidak perduli orang liehay. Baru tiga desakan berulang-ulang, ujung gaetannya telah
mampir di bahu kiri dari Beng Go, hingga bahu itu tergurat.
Oleh karena gaetan itu ada racunnya, dalam sesaat itu, mukanya Ngo yaya menjadi pucat,
bahunya membengkak dengan cepat, hingga di lain saat, tubuhnya menjadi limbung,
tangan kanannya dipakai mengucak-ucak kedua matanya.
"Aku tak dapat melihat apa-apa! Aku.... Aku terkena racun!...." Ia berseru.
Oen-sie Sam Loo bingung melihat saudara muda itu, dengan tidak perdulikan lagi kepada
musuh, mereka lompat menghampirkan, untuk menolongi. Lebih dahulu mereka pepayang
saudara itu.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Sin Tjie menjadi senggang karena berkurangnya desakan tiga jago Oen itu, di lain pihak,
hatinya bercekat kapan ia ingat bagaimana telengasnya kauwtjoe dari Ngo Tok Kauw itu.
Tapi juga ia tidak punya kesempatan akan berlengah, sebab tempo ia mencuri lihat kepada
A Kioe, ia dapatkan puteri itu sedang terdesak hebat oleh Ho Ang Yo dan An Kiam Tjeng,
yang berlompatan gesit di kiri dan kanannya.
Justru itu waktu Ho Tiat Tjhioe sudah serang Lu Djie Sianseng, tanpa buang tempo lagi,
Sin Tjie berlompat dengan pesat ke arah Ho Ang Yo, dia sampai justru sedangnya si uwah
seram membaliki belakang, dengan sebat sekali dia jambret bebokong orang, terus dia
angkat tubuhnya nyonya itu, untuk segera dilemparkan!
An Kiam Tjeng terkejut melihat kawannya kena dirobohkan secara demikian rupa, selagi
begitu, ujung pedangnya A Kioe mampir di paha kirinya, tidak ampun lagi, ia rubuh
terguling!
Di sana, pertempuran di antara Ho Tiat Tjhioe dan Lu Djie Sianseng berlanjut terus.
Sianseng ini telah saksikan rubuhnya Oen Beng Go, dengan sendirinya, hatinya jeri,
semangatnya lumer, maka setelah tiga percobaannya mendesak hebat gagal, dengan
sekonyong-konyong dia berlompat keluar kalangan.
"Maaf, loohoe tak dapat melayani lama-lama!" serunya. Dan terus ia angkat kaki.
Ho Tiat Tjhioe sambut seruan itu sambil tertawa.
"Lu Djie Sianseng, sampai ketemu pula! Sampai ketemu pula!"
Ketika itu Oen Beng Go telah tak sadar akan dirinya, karena bekerjanya racun.
Oen-sie Sam Loo, tiga saudara Oen, kaget bukan kepalang kapan mereka kenali lukanya
saudara ini mirip dengan luka dulu dari tangan liehay Kim Tjoa Long-koen, hati mereka
memukul keras. Sedetik saja, mereka saling memandang, untuk memberikan tanda
rahasia, habis mana Beng Gie sambar tubuh Beng Go, untuk dipeluk dan diangkat, buat
dibawa lari, sedang Beng Tat dan Beng San berlompat, yang satu untuk membuka jalan,
yang lain guna memegat, melindungi di belakang.
Ho Tiat Tjhioe berlompat, untuk menyusul, tetapi bukannya buat menyerang, hanya guna
melemparkan satu bungkusan.
"Inilah obat untuk luka itu! Sambutilah!" ia berseru.
Oen Beng San, Sam Yaya, berhenti berlari, ia putar tubuhnya, untuk sambuti obat itu,
setelah mana, ia lari pula.
Ho Tiat Tjhioe tertawa, ia pun kembali.
Sampai itu waktu, pertempuran telah memberi rupa lain. Dengan tidak adanya jago-jago
Tjo Liang Pay dan Lu Djie Sianseng, kawanan Kim-ie Siewie menjadi repot, dengan cepat
mereka kena dihajar kalang-kabutan oleh A Kioe dan Sin Tjie, akan akhirnya mereka lari
bubaran!
Baru saja Kim-ie Siewie lari ke pintu, atau Thaykam Tjo Hoa Soen muncul di situ bersama
sepasukan Gie-lim-koen.
Sin Tjie lihat datangnya barisan itu, ia berseru: "A Kioe! Ho kauwtjoe! Mari kita lindungi Sri
Baginda keluar dari sini!"
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
A Kioe dan Tiat Tjhioe berikan jawaban mereka.
Maka lantas mereka bertiga kurung kaisar Tjong Tjeng.
Di saat mereka ini hendak maju menerjang, terdengarlah seruannya Tjo Thaykam secara
tiba-tiba: "Dorna bernyali besar! Kau berani ganggu Sri Baginda! Lekas bunuh dia!"
Itu waktu, tentara Gie-lim-koen telah bertempur sama Kim-ie Siewie. Yang belakangan ini
hendak loloskan diri tetapi karena dipegat dan diserang, terpaksa mereka bikin
perlawanan.
Seng Ong menjadi kaget, hingga ia melengak.
"Tjo Kongkong! Kau.....kau...... Bukankah kau dengan aku telah...."
Setelah sadar, pangeran ini tegur thaykam serikatnya itu, akan tetapi belum habis dia
bicara, ujung pedangnya Tjo Hoa Soen telah nancap di dadanya!
Semua Kim-ie Sie-wie kaget melihat perbuatannya thaykam ini, malah Sin Tjie, Ho Tiat
Tjhioe dan A Kioe juga tak kurang herannya.
Cuma kaisar Tjong Tjeng seorang yang puji orang kebiri itu sebagai hamba yang setia....
Tjo Hoa Soen tetap berdiam di tempatnya "sembunyi" selama pertempuran berlangsung,
orang-orang kepercayaannya terus memasang mata dan setiap saat memberi laporan
saling-susul, maka itu ia lantas dapat tahu ketika Ho Tiat Tjhioe tukar haluan, hingga Sin
Tjie dan A Kioe jadi dapat angin, hingga pertempuran jadi salin rupa untuk kerusakan
pihaknya. Jadi gagallah usaha mereka akan mengusir atau membunuh kaisar. Dia sangat
cerdik, di saat segenting itu, dia lantas saja tukar haluan, tanpa ayal, dia bawa pasukan
Gie-lim-koen, katanya untuk tolongi Sri Baginda.
Semua Kim-ie Siewie lantas letaki senjata mereka.
"Tawan! Tawan mereka!" Tjo Thaykam berikan perintahnya.
Serdadu-serdadu Gie-lim-koen segera tangkap semua siewie itu.
"Gusur mereka keluar! Hukum mati mereka semua!" Tjo Thaykam berikan titahnya terlebih
jauh. Ia melancangi raja.
Titah ini pun telah dijalankan dengan lantas, maka di dalam tempo yang pendek, binasalah
semua siewie itu, hingga musnah juga semua orang yang turut dalam komplotan itu.
Itulah tindakan hebat untuk menutup mulut orang!
Ho Tiat Tjhioe lihat pertempuran telah selesai, ia berpaling kepada Wan Sin Tjie, dan
tertawa.
"Wan Siangkong, besok aku tunggu kau di bawah pohon besar di tempat sepuluh lie di
luar kota!" katanya, sehabis mana ia tarik tangannya Ho Ang Yo untuk diajak berlalu.
Itu waktu, si uwah jelek, yang tidak terluka hebat, memang sudah dekati pemimpinnya itu.
Selagi orang memutar tubuh, kaisar Tjong Tjeng memanggil. "Kau....kau..."
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Kaisar ini hendak memberi pujian dan hadiah kepada si juwita itu akan tetapi Tiat Tjhioe
tidak memperdulikannya, terus saja ia ajak bibinya berlalu.
Ketika kaisar kemudian berpaling kepada puterinya, ia dapatkan, puteri itu asyik pandang
Sin Tjie dengan air muka berseri-seri. Barulah sekarang hatinya menjadi tenteram benar.
Tertawanya sang puteri berarti bahaya benar-benar sudah lewat. Ia lantas jatuhkan diri di
atas kursi.
"Siapakah dia ini?" tanya ia kepada puterinya. Ia tunjuk pemuda kita. "Jasanya tidak kecil.
Tim akan beri hadiah padanya."
Raja ini anggap, setelah ia berikan janjinya itu, Sin Tjie nanti berlutut di depannya, untuk
haturkan terima kasih. Di luar sangkaannya, anak muda itu berdiri tetap dengan gagah dan
agung.
A Kioe tarik ujung bajunya si anak muda.
"Lekas menghaturkan terima kasih," ia membisikkan.
Putera Wan Tjong Hoan tidak tekuk lutut, sebaliknya ia awasi kaisar itu. Segera ia teringat
kepada ayahnya, yang sudah bela negara dengan melupakan diri-sendiri, yang jasanya
sangat besar, akan tetapi toh oleh kaisar ini, ayahnya itu telah dijatuhkan hukuman mati
secara hebat. Maka juga, kemurkaan dan kesedihannya telah berkumpul jadi satu.
"Apakah namamu?" raja tanya, dengan suara lemah lembut. "Di mana kau pegang
jabatanmu?"
Kaisar ini menanya demikian oleh karena ia lihat pemuda ini dandan sebagai seorang
kebiri, ia menyangka orang ada salah satu thaykamnya.
Masih Sin Tjie awasi kaisar itu.
"Aku ada orang she Wan," akhirnya ia jawab juga, sikapnya gagah, suaranya keren. "Aku
ada putera Peng-pou Siang-sie Wan Tjong Hoan yang dahulu telah membela negara di
tanah Liauw!"
Kaisar Tjong Tjeng tercengang, sampai ia agaknya seperti tak mendengar nyata.
"Apa kau bilang?" ia menegasi.
"Ayahku telah berjasa besar sekali untuk negara tetapi oleh Raja dia telah dihukum mati!"
Sin Tjie kata pula, suaranya jadi lebih keras.
Kaisar itu terkejut. Sekarang tak lagi ia mendengar tak nyata. Ia pun lantas menjadi lesu.
"Sekarang Baru aku menyesal, sesudah kasip..." ia akui. Ia berhenti sebentar. Kemudian ia
tanya: "Hadiah apakah yang kau kehendaki?"
Bukan kepalang girangnya A Kioe akan dengar pertanyaan ayahnya itu. Kembali ia tarik
ujung bajunya si anak muda. Ia ingin pemuda ini gunai ketika yang baik itu untuk minta
menjadi Hoe-ma, menantu raja.
Tapi jawabannya orang yang dipuja ini di luar dugaannya.
Dengan suara yang menyatakan kemurkaannya, Sin Tjie jawab: "Aku tolongi kau melulu
untuk keselamatannya negara; buat apakah hadiah? Hm! Sekarang Sri Baginda sudah
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
menyesal, maka sekarang aku minta supaya Sri Baginda cuci bersih penasarannya ayahku
almarhum!"
Biar bagaimana, raja tetap raja, ia ada punya keangkuhan. Maka itu, melihat sikapnya
pemuda ini, mendengar kata-katanya Sin Tjie, ia berdiam. Ia sudah menyatakan
kemenyesalannya, itu sudah cukup, tapi untuk aku kesalahannya, inilah lain.
Selagi begitu, Thaykam Tjo Hoa Soen, yang tadi telah pergi bersama barisannya, sudah
kembali bersama-sama barisannya itu. Ia memberi hormat pada raja, ia tanyakan
kewarasannya junjungan ini. Habis itu ia melaporkan bahwa semua pemberontak sudah
dihukum mati. Ia juga beritahu bahwa keluarganya Pangeran Seng Ong sudah ditawan
semua. Ia menantikan keputusannya raja.
Kaisar Tjong Tjeng manggut-manggut.
"Bagus!" katanya. "Dasar kau setia!"
Hampir Sin Tjie bongkar rahasianya orang kebiri ini apabila ia dengar laporan itu. Ia
marasa sangat sebal untuk kelicinannya dorna ini. Tapi di saat sepenting itu, ia ingat suatu
apa, lantas ia bisa sabarkan diri. Ialah ia ingat, pasukan perang Giam Ong bakal lekas
sampai di kota raja, maka dengan adanya manusia rendah ini di damping raja, itu akan ada
untungnya untuk pergerakannya.
Tanpa perdulikan lagi kaisar, Sin Tjie manggut pada A Kioe.
"Mari kembalikan pedang itu padaku, aku hendak pergi!" katanya.
Tiang Peng Kiongtjoe terperanjat.
"Kapan kau akan tengok aku pula?" tanyanya. Ia sampai lupa bahwa di situ ia ada
bersama kaisar dan Thaykam Tjo Hoa Soen.
"Harap thianhee rawat diri saja baik-baik," kata Sin Tjie seraya ia ulur tangannya, untuk
sambuti pedangnya.
A Kioe tarik tangannya.
"Untuk sementara baiklah pedang ini dititipkan padaku di sini," katanya. "Lain kali, apabila
kita bertemu pula, Baru aku kembalikan padamu....."
Sin Tjie ragu-ragu, apapula ia tampak roman heran dari kaisar dan Tjo Hoa Soen.
Kemudian, lantas saja ia manggut pula kepada tuan puteri, lalu ia putar tubuhnya dan
bertindak keluar.
A Kioe menyusul sampai di luar, di pintu keraton.
"Kau jangan kuatir, tidak nanti aku lupakan kau," katanya dengan pelahan.
Sin Tjie niat menutur segala apa, akan tetapi ia lihat istana itu bukan tempatnya, ketika itu
bukan saatnya juga, maka ia bilang: "Di dalam negeri bakal terbit perubahan besar, maka
daripada berdiam menyendiri di dalam istana, lebih baik kau pergi jauh berkelana. Kau
ingat baik-baik perkataanku ini."
Inilah nasihat supaya A Kioe berlalu dari istana, sebab Giam Ong segera bakal sampai di
kota raja, waktu itu suasana ada sangat mengancam. Akan tetapi A Kioe tak dapat tangkap
maksud itu, yang tersembunyi. Malah dia tertawa.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
"Benar," katanya. "memang aku lebih suka ikuti kau pergi berkelana ke mana saja, itu jauh
terlebih senang daripada kehidupan mewah di istana. Nanti saja, apabila kau telah datang
pula, Baru kita-orang bicara pula dengan jelas!"
Sin Tjie menghela napas, tak bisa ia mengatakan apa-apa lebih jauh. Setelah ia geraki
tangan, untuk pamitan, ia loncati tembok, untuk berlalu dari istana. Ia lihat obor terangterang
di segala penjuru istana, rupanya masih saja dilakukan penggeledahan untuk cari
sisa-sisa pemberontak....
Anak muda kita sangat kuatirkan keselamatan Tjeng Tjeng, maka itu ia lakukan perjalanan
pulang dengan cepat sekali. Kapan ia sudah sampai di rumahnya di gang Tjeng-tiauw-tjoe,
Baru hatinya lega. Di sana kedapatan Tjeng Tjeng bersama-sama Wan Djie dan Lip Djie
dengan tidak kurang suatu apa.
Baru sekarang, setelah tak tidur satu malaman, dan habis keluarkan tenaga banyak, Sin
Tjie ingat keletihannya dan mengantuk, dari itu, setelah bicara sedikit, ia pergi ke
kamarnya untuk tidur.
Waktu sudah siang, kira jam tujuh atau delapan pagi, Baru Sin Tjie mendusin. Ketika ia
pergi keluar, di thia sudah menantikan Tong Hian Toodjin bersama Bin Tjoe Hoa serta
enam murid Boe Tong Pay lainnya.
Tong Hian beramai datang ke rumah Sin Tjie sebab dapat kabar kaum Ngo Tok Kauw
melakukan penyerangan, mereka niat memberikan bantuan, tidak tahunya, pertempuran
sudah berhenti.
"Terima kasih," Sin Tjie menghaturkan kepada tetamu-tetamunya itu.
Kemudian ia bilang, mungkin sekali Oey Bok Toodjin masih belum mati.
Kabar ini, walaupun masih samar-samar, sangat menggirangkan orang-orang Boe Tong
Pay itu. Karena Sin Tjie sendiri belum dapat kepastian, mereka tidak menanyakan melitmelit,
mereka cuma sampaikan harapan untuk si anak muda suka membantu lebih jauh.
Sekalian orang sudah datang, Sin Tjie minta Tong Hian semua berdiam terus di rumahnya
itu, untuk bantu melindungi andaikata bantuan mereka dibutuhkan, setelah itu seorang diri
ia pergi ke luar kota sebelah barat, ia jalan terus sampai kira sepuluh lie, lalu di bawahnya
sebuah pohon besar, ia tampak Ho Tiat Tjhioe asik menantikan dia.
Nona kepala Ngo Tok Kauw itu bersenyum berseri-seri, ia menyambut sambil tertawa,
sikapnya manis dan hormat.
"Wan Siangkong!" katanya; tetap masih tertawa. "Tadi malam aku telah sempurnakan
urusan baikmu! Kau lihat, cukup atau tidak perbuatanku sebagai sahabat kekal?"
"Keadaan tadi malam memang sangat berbahaya," Sin Tjie jawab. "Beruntung sekali Ho
Kauwtjoe telah beri bantuanmu secara tiba-tiba, hingga onar besar bisa dapat dicegah.
Aku sangat bersukur kepada kau, kauwtjoe."
Masih saja kauwtjoe itu tertawa.
"Wan Siangkong, kau beruntung bukan main!" katanya pula. "Kau telah dapatkan satu
puteri raja yang cantik molek yang berikan cintanya kepadamu, maka jikalau kemudian
kau menjadi Hoe-ma, apa mungkin kau nanti melupakan orang-orang kang-ouw semacam
kami?"
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Sin Tjie heran.
"Ah, jangan main-main, Ho Kauwtjoe!" katanya, dengan roman sungguh-sungguh.
Tapi kauwtjoe itu tetap tertawa.
"Hai, kau masih menyangkal?" katanya. "Dia demikian menyinta padamu, mustahil kau
tidak lihat itu? Laginya, jikalau kau tidak cintai dia, mengapa kau serahkan pedang Kim
Tjoa Kiam kepadanya? Dan kenapa kau tolongi ayahanda rajanya secara demikian matimatian?"
"Itulah melulu untuk keselamatannya negara," Sin Tjie jawab.
"Ya, untuk keselamatan negara!" kata si nona. Ia terus tertawa dengan manis. "Untuk
keselamatan negara dengan cara mencuri kau tidur bersama dalam satu pembaringan
dengan puteri orang! Haha-haha!"
Merah mukanya Sin Tjie, bukan main sibuknya ia.
"Apa....apa?....." tanya dia. "Kenapa kau....."
"Kau hendak tanya, kenapa aku ketahui itu, bukankah?" tertawa Ho Kauwtjoe. "Ketika aku
turut Tjo Hoa Soen masuk dalam kamarnya tuan puteri, aku telah lantas dapat tahu,
bersama ia di bawah selimutnya ada tersembunyi satu orang lain! Kita ada sesama kaum
kang-ouw, apa kau sangka mataku buta? Hihi-hihi! Mulanya aku berniat menyingkap
selimut, akan tetapi ketika aku menoleh ke kursi dan lihat gambar lukisan kau, Wan
Siangkong, aku dapat pikiran lain. Aku anggap baiklah aku ikat persahabatan
denganmu...."
Bukan main malunya Sin Tjie, tak ada tempat untuk ia sembunyikan mukanya.
"Ya, A Kioe telah tidak sempat sembunyikan gambar lukisannya itu," pikirnya.
Ho Tiat Tjhioe mengawasi pemuda ini, yang merah mukanya sampai ke kuping-kuping
Baru setelah itu, ia ubah sikapnya.
"Bukankah Hee Siangkong sudah kembali dengan tidak kurang suatu apa?" tanyanya.
Sin Tjie manggut.
"Sekarang aku datang untuk obati saudara-saudaramu yang terluka," katanya.
(Bersambung bab ke 23)
Ho Tiat Tjhioe manggut.
"Mari!" ia mengajak, sambil ia jalan di muka, menuju ke arah barat. Di sepanjang jalan,
pemimpin Ngo Tok Kauw ini puji A Kioe, untuk kecantikannya, untuk kegagahannya juga.
Tidak disangka ada puteri raja, demikian muda, demikian kosen juga.
Sin Tjie antap orang godai ia, ia lawan dengan membungkam saja.
Mereka jalan jauhnya kira lima lie, sampailah mereka di sebuah kuil tua, yang bernama
Hoa Giam Sie. Di luar kuil berkumpul beberapa orang Ngo Tok Kauw, sebagai penjaga,
kapan mereka lihat pemuda kita, mereka memandang dengan tampang bermusuhan.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Sin Tjie tidak gubris mereka itu, ia terus ikuti Ho Tiat Tjhioe masuk ke dalam kuil, sampai
di ruang pendopo. Di muka pendopo Tay Hiong Poo-thian, di antara tikar tergelar, rebah
anggauta-anggauta Ngo Tok Kauw, yang kemarin ini menjadi kurban-kurbannya.
Tanpa buang tempo lagi, Sin Tjie hampirkan mereka satu demi satu, untuk ditotok, hingga
di lain saat, sembuhlah mereka semua, dapat mereka bergerak pula dengan merdeka
sebagai sediakala.
Lantas setelah itu, pemuda ini kata dengan nyaring: "Aku tidak bermusuhan dengan
saudara-saudara beramai, cuma disebabkan salah mengerti yang kecil sekali, kejadian aku
berbuat keliru terhadap saudara-saudara, maka itu, di sini aku haturkan maaf pada
saudara-saudara!"
Pemuda ini tidak cuma mengucap kata-kata, ia pun menjura kepada semua orang Ngo Tok
Kauw itu.
Rupanya masih panas hatinya orang-orang Ngo Tok Kauw itu, mereka tidak membalas
hormat, mereka pelengoskan muka, tidak ada satu yang suka bicara.
Sin Tjie tidak menjadi berkecil hati. Ia anggap ia sudah lakukan keharusannya, maka tanpa
bilang suatu apa lagi, ia bertindak keluar. Cuma satu kali, ketika ia kebetulan menoleh ke
samping pendopo, di situ ia tampak sepasang mata yang mencorong tajam menghadapi
Ho Tiat Tjhioe, yang antar ia keluar. Ia tidak kenali mata siapa itu, tetapi menampak sinar
mata orang, ia terkejut. Itulah sinar mata yang penuh dengan kebencian hebat.
Masih Sin Tjie mencoba melihat pula tapi kali ini sepasang mata itu telah lenyap, kelihatan
tubuhnya berkelebat, lantas hilang. Tapi karena ia lihat tubuh berkelebat, segera ia
menduga kepada Ho Ang Yo, si uwah yang romannya menyeramkan.
Sesampainya di luar, selagi Sin Tjie pandang Ho Tiat Tjhioe, ia pun heran. Lenyap cahaya
terang dan riang-gembira dari pemimpin agama ini, tak suka ia bicara, romannya jadi
pendiam dan keren. Hingga Ho Kauwtjoe jadi bukan seperti Ho Kauwtjoe yang ramahtamah
tadi.
Di luar pekarangan, kedua orang saling memberi hormat, untuk pamitan. Sin Tjie berjalan
pulang, ketika kemudian ia menoleh, Ho Tiat Tjhioe sudah masuk. Ia jadi curiga, timbul
keinginannya untuk mendapat tahu sebab dari perubahan sikapnya kauwtjoe itu. Maka itu,
sesudah jalan terus sekira satu lie, hingga ia percaya, tidak nanti orang intai ia, lekas-lekas
ia kembali. Ia sangat kuatir orang mempunyai daya keji, untuk mengganggu ia atau
pihaknya. Tidak perduli jalanan jadi lebih jauh dan ambil lebih banyak tempo, ia mutar ke
selatan, dari sana ia menuju ke belakang Hoa Giam Sie, dimana tidak ada orang, maka
dengan merdeka ia bisa hampirkan tembok, untuk lompat naik dan masuk ke pekarangan
dalam. Segera ia dengar suitan istimewa dari Ngo Tok Kauw, tanda undangan berapat.
Untuk sementara Sin Tjie umpeti diri di atas pohon, antara daun-daun yang lebat,
kemudian setelah duga, orang tentunya sudah berkumpul, ia turun dari atas pohon,
dengan hati-hati ia menuju ke belakang Tay Hiong Poo-thian. Ia bersukur ia tidak ketemui
siapa juga, hingga ia bisa tempatkan diri tepat di belakang pendopo, untuk pasang kuping.
Dengan lantas ia dengar suara-suara keras, dari pertentangan. Ia masih dapat kenali suara
orang. Ialah suara tajam dari Ho Ang Yo, suara nyaring dari Tjee In Go. Mereka ini sedang
serang Ho Tiat Tjhioe, yang dikatakan karena main cinta sudah melupakan musuh besar
dari Ngo Tok Kauw, sehingga dia jadi berkhianat, bahwa dia telah bersekongkol sama
musuh, hingga dia pun merusak usaha menjunjung satu raja baru, hingga itu pun berarti
merusak harapan Ngo Tok Kauw untuk pentang sayap dan pengaruh.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Selama diserang pergi-datang, Ho Tiat Tjhioe sendiri cuma mendengari sambil perlihatkan
senyum ewah. Adalah kemudian Baru ia tertawa dingin, ia tanya: "Sekarang, habis kamu
mau apa?"
Itulah pertanyaan yang sangat ringkas, yang segera membuat semua anggota menjadi
bungkam.
Lama orang terbenam dalam kesunyian, baru terdengar Ho Ang Yo buka mulutnya.
"Kita mesti angkat satu kauwtjoe baru!" kata uwah ini.
Tiat Tjhioe tidak jadi gentar, dia bersikap tenang tapi keren.
"Selama beberapa ratus tahun adalah aturan Ngo Tok Kauw, kalau kauwtjoe menutup mata
barulah diangkat kauwtjoe baru sebagai penggantinya!" katanya. "Habis, apakah kamu
inginkan aku mati?"
Kembali orang bungkam. Inilah pertanyaan hebat.
Melihat orang semua berdiam, Tiat Tjhioe tanya: "Siapakah yang memikir suka menjadi
kauwtjoe baru?"
Kembali satu pertanyaan ringkas tetapi tak kurang hebatnya.
"Siapa memikir untuk jadi kauwtjoe baru?" Tiat Tjhioe ulangi pertanyaannya.
Masih semua orang bungkam.
Siasia saja Ho Tiat Tjhioe ulangi pertanyaannya itu sampai tiga kali, maka akhirnya ia
tertawa berkakakan.
"Sekarang hayolah kamu memikir dengan seksama!" katanya kemudian. "Coba kamu pikir,
siapa di antara kamu yang mempunyai kepandaian untuk menangkan aku! Siapa yang
memikir demikian, silakan maju! Silakan dia rampas kedudukan kauwtjoe kita! Siapa yang
takut nanti antarkan jiwanya secara kecewa, dia mesti gunai ketikanya ini, untuk tutup
bacot!"
Sin Tjie dengar semua itu, lantas saja ia mengintip di sela-sela pintu. Ia lihat Ho Tiat Tjhioe
sendirian duduk di sebuah kursi, jauh di sebelah depan ia, orang-orang Ngo Tok Kauw
pada memandang sambil berdiri, nampaknya mereka semua berjeri hati.
Di dalam hatinya, Sin Tjie kata: "Aku telah tempur semua orang Ngo Tok Kauw, tidak ada
satu di antara mereka yang nempil sama kauwtjoe ini. Tapi sekarang dia menindih orang
dengan kekerasan, aku percaya tak dapat dia menjadi kauwtjoe yang kekal-abadi."
Sampai di situ, pemuda ini dapat kenyataan orang Ngo Tok Kauw tidak kandung niat
memusuhkan terus padanya atau pada Tjeng Tjeng, maka ia anggap baik ia pulang saja,
tak ada perlunya ia mencampuri urusan dalam dari mereka itu. Benar selagi ia hendak
memutar tubuh, ia tampak satu cahaya berkelebat. Itulah Ho Ang Yo yang bertindak maju
dengan sebatang senjata yang aneh, yang pemuda kita belum pernah lihat.
Senjata itu yang besar, mirip dengan gunting. Dari gurunya, Sin Tjie belum pernah dengar
senjata semacam itu, maka bisa dimengerti, ia juga tak tahu cara menggunainya. Karena
ini ia batal pergi, ia terus mengintai lagi.
"Aku sendiri, tidak memikir untuk jadi kauwtjoe!" berkata Ho Ang Yo secara menyindir.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
"Dan aku juga tahu, aku bukannya tandingan kau! Tapi aku terpaksa bertindak, untuk Ngo
Tok Kauw kita! Kita harus ingat kepada tujuh leluhur kita serta tiga puteranya, bahaimana
susah-payah mereka, sesudah bergulat empat-puluh tahun lebih, Baru mereka dapat
berdirikan perkumpulan agama kita, hingga terutama sejak seratus tahun yang terakhir ini,
Baru kita dapat malang-melintang di Selatan. Maka itu, sekali-kali tidak boleh Ngo Tok
Kauw mesti termusna-ludas di tanganmu, kacung hina!"
Ho Tiat Tjhioe tidak jawab itu bibi, hanya dia tanya semua orang.
"Apakah hukumannya untuk penghinaan terhadap kauwtjoe?"
"Sudah sedari siang-siang aku tidak anggap lagi kau sebagai kauwtjoe!" Ho Ang Yo
sengapi. "Mari maju!"
Uwah ini geraki kedua tangannya, untuk buka senjata semacam gunting itu, hingga
terdengar suara nyaring. Benar-benar senjata istimewa itu mirip gunting, mirip sepit untuk
menjepit!
Ho Tiat Tjhioe bersenyum dingin, ia tidak bergeming dari kursinya.
Ho Ang Yo maju terus menghampirkan, hingga dua kali gunting itu menggunting. Rupanya
ia jeri terhadap kauwtjoe itu, sebelumnya menyerang, ia coba dulu senjatanya, sekalian
dipakai mengancam. Adalah setelah ketiga kalinya, sesudah datang dekat, Baru ia
menyerang betul-betul.
Tiat Tjhioe cuma berkelit dari serangan, ia tidak membalas.
Sin Tjie heran, hingga ia mengawasi terus.
Orang-orang Ngo Tok Kauw maju dengan pelahan, sikap mereka mengurung.
Baru sekarang si anak muda mengerti, pemimpin agama itu mengambil sikap menjaga diri,
"menutup pintu". Tadinya ia tidak menduga demikian, karena sempitnya sela-sela pintu, ia
melainkan lihat ruang pendopo kecil, lurus panjang saja.
Sampai sekian lama, masih tidak ada satu anggauta juga yang berani mulai dengan
penyerangannya, mereka cuma maju untuk mengancam, bersikap mengurung.
"Mahluk-mahluk tak berguna, takut apa?" teriak Ho Ang Yo. "Hayo, semua maju!"
Ia memberi tanda dengan guntingnya.
Baru sekali ini, semua orang maju sambil berseru-seru.
Tiat Tjhioe lompat, kedua tangannya bergerak, maka terdengarlah suara bentrokan, suara
berisik, sebab kursi yang dia pakai sebagai alat penangkis, rusak terkena bacokanbacokan.
Di lain pihak, dua anggauta menjerit dan rubuh, karena mereka dihajar gaetan!
Segera setelah itu, terlihatlah bajangan putih berkelebat sana-sini, gesit sekali.
Sin Tjie adalah satu ahli silat, walaupun pertempuran tampaknya sangat kalut, ia toh bisa
lihat tegas sesuatu pukulan atau tendangan, apalagi itu waktu, gerakannya orang-orang
liehay dari Ngo Tok Kauw masih rada ayal, sebab mereka itu Baru saja ditotok sembuh
olehnya, sedang mereka itu rebah sudah lama juga.
Ho Tiat Tjhioe tidak pikir untuk menyingkir dari kepungan puluhan anggauta-anggautanya
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
itu. Jikalau ia inginkan itu, menurut Sin Tjie ketikanya ada banyak. Maka terang sudah,
kauwtjoe ini hendak tindih orang-orangnya itu dengan kegagahannya.
Pertempuran berjalan terus.
Sin Tjie terus pasang mata, sampai perhatiannya ketarik oleh gerak-geriknya salah satu
penyerang. Dia ini tidak merangsak seperti yang lainnya, walaupun dengan pelahan-lahan
ia coba dekati Ho Tiat Tjhioe. Dalam genggaman tangannya, orang ini menyekal suatu apa,
entah barang atau senjata apa itu. Adalah setelah mengawasi sekian lama, pemuda kita
kenali Kim-ie Tok Kay Tjee In Go, si pengemis tidak berbudi. Setelah datang cukup dekat,
mendadak pengemis ini berseru dengan keras, kedua tangannya diangsurkan ke depan
dengan cepat, cekalannya dilepaskan, maka terlihatlah suatu benda bersinar kuning emas
mencelat ke arah Ho Tiat Tjhioe.
Kauwtjoe ini berkelit sambil lompat jumpalitan, akan tetapi "senjata rahasia" dari Tjee In
Go pun aneh, dia seperti bisa bergerak sendiri, dia dapat menyambar kepada Ho Tiat
Tjhioe, selagi dia ini pun sibuk karena desakannya empat atau lima macam senjata lainnya
disebabkan desakan penyerang-penyerang, maka akhirnya, dengan perdengarkan jeritan
kaget dan menyeramkan, kauwtjoe itu terkena juga itu senjata rahasia.
Sekarang pun Sin Tjie dapat lihat tegas senjata rahasia aneh itu, yang sebenarnya bukan
semacam gegaman, hanya seekor ular hidup, ialah ular berbisa kuning emas yang
ditangkap Tjee In Go, ular yang dikatakan "nabi"!
Selagi menjerit, Ho Tiat Tjhioe rasai matanya gelap, akan tetapi dia masih sempat ulur
tangannya, akan sambar ular yang menggigit pundaknya, sedang dengan gaetannya, ia
masih bisa gaet mati dua penyerangnya yang terdekat.
Segera terdengar teriakannya Ho Ang Yo: "Si kacung hina sudah kena dipagut ular emas,
hayo desak dia, supaya bisa ular dapat lantas bekerja!"
Ho Tiat Tjhioe tidak dapat lagi lakukan perlawanan, dengan tubuh sempoyongan, ia
menyingkir ke arah belakang pendopo. Tapi hatinya masih kuat, ia bisa pertahankan diri
untuk tidak rubuh. Dengan ancaman gaetannya yang liehay, ia juga membikin orang tidak
berani melintang di depannya, untuk memegat.
Menampak orang tak dapat dirintangi, Ho Ang Yo berlompat maju, ia terus menyerang
dengan gunting istimewanya, untuk gunting batok kepala orang.
Masih sempat Tiat Tjhioe berkelit sambil tunduki kepala, dan dengan gaetannya, ia coba
balas menyerang.
Tapi karena ini, ia dihalangi oleh Phoa Sioe Tat dan Thia Kie Soe.
Dalam keadaan sangat berbahaya itu, Ho Tiat Tjhioe meraba dan menekan ke
pinggangnya, maka menyusul itu menyambarlah senjata rahasia jarum berbisa!
Phoa Sioe Tat tidak menyangka, dia tidak sempat berkelit, malah dia tidak dapat berteriak
juga, sebatang jarum mengenai dia, terus dia rubuh dan binasa.
Tapi juga Tiat Tjhioe sendiri, racun ular sudah bekerja, walaupun ia masih bisa
memberikan perlawanan, ilmu silatnya sudah kacau, tubuhnya tidak berdiri tegak lagi.
Nampaknya, pikirannya pun sudah mulai was-was.
Tidak tega Sin Tjie setelah ia menyaksikan sampai sebegitu jauh. Ia ingat, Ho Tiat Tjhioe
jadi bentrok dengan kaum sendiri boleh dibilang disebabkan tipu-dayanya
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
merenggangkan mereka. Maka ia anggap, ia bertanggung-jawab, pantas jikalau ia tolongi
nona yang liehay itu. Ia pun tidak berayal-ayalan lagi.
"Semua berhenti!" mendadak dia berseru sambil ia pun lompat keluar dari belakang
pendopo.
Semua orang Ngo Tok Kauw kaget, hingga tertunda sendirinya serangan mereka. Inilah
hal yang mereka tidak sangka sama sekali.
Akan tetapi Tiat Tjhioe sudah kalap, dia tidak kenali Sin Tjie, dia malah menggaet,
menyerang ini anak muda.
Sin Tjie berkelit ke samping, tangan kirinya diulur, untuk menyekal lengan orang.
Dalam keadaan seperti itu, masih ingat Tiat Tjhioe dengan jalannya ilmu silat, maka ketika
ia merasa lengannya ada yang tangkap, ia kasi turun lengannya, membarengi mana, ia
menyerang dengan gaetannya dengan "Oey hong tjie" atau "Antupan tawon galuh".
"Aku hendak tolongi kau!" Sin Tjie serukan sambil ia kelit dari gaetan itu.
Masih Tiat Tjhioe kalap, masih ia menyerang pula, malah dengan hebat sekali, maka mau
atau tidak, Sin Tjie mesti melayani. Setelah beberapa jurus, dia sambar kaki orang dengan
kaki kanannya.
"Brak!" demikian tubuh si nona rubuh terbanting. Tapi berbareng dengan itu, dia pentang
kedua matanya, melihat Sin Tjie, dia berseru dengan kaget: "Wan Siangkong, apakah aku
sudah mati?"
"Aku hendak tolongi kau!" Sin Tjie jawab. Dan ia sambar kedua lengan orang, untuk
diangkat, buat dibawa menyingkir ke arah pintu.
Selama Tiat Tjhioe terjang Sin Tjie secara buta-tuli, orang-orang Ngo Tok Kauw berdiri
menonton. Mereka pun Baru saja sadar dari kaget dan herannya atas munculnya secara
mendadak pemuda yang liehay. Tapi begitu lihat si anak muda itu hendak bawa lari
kauwtjoe mereka itu, mereka merangsak sambil berseru-seru.
"Siapa berani maju!" bentak Sin Tjie seraya ia berbalik.
Ancaman ini ada hebat, entah siapa yang mulai, ketika di bagian belakang ada orang
menjerit, dan lari, yang lain-lain lantas memutar tubuh, untuk kabur juga, untuk mereka
gabruki pintu di belakang mereka!
Sin Tjie tertawa sendirinya akan menyaksikan orang demikian jeri terhadapnya. Maka itu ia
tidak terus angkat kaki, ia malah dapat ketika akan periksa lukanya Tiat Tjhioe, pundak kiri
siapa sudah bengkak, sedang muka dadu dari si nona sekarang mulai berubah menjadi
hitam.
Pemuda kita tahu, Tiat Tjhioe telah terluka hebat, kalau toh ia dapat pertahankan diri
sampai sebegitu jauh, ini ada akibatnya karena dulu-dulu dia selalu memain dengan bisa
ular. Tapi si nona perlu ditolong, tidak leluasa, tidak selamat untuk ia berdiam lama-lama
di kuil Hoa Giam Sie ini, sarang Ngo Tok Kauw itu, maka tanpa sangsi lagi, Sin Tjie
pondong tubuh kauwtjoe itu, untuk dibawa lari pulang.
Tjeng Tjeng semua heran ketika mereka lihat si anak muda pulang sambil pondong Ho Tiat
Tjhioe, mereka juga kaget.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
"Hai, kenapa kau pondong dia?" Tjeng Tjeng berseru. "Lekas turunkan!"
"Lekas! Lekas ambil kodok es!" Sin Tjie berseru.
Selagi lain-lain orang masih berdiam, Wan Djie sudah maju akan bantui Sin Tjie, untuk
bawa Ho Tiat Tjhioe ke dalam untuk segera ditolongi.
Tong Hian Toodjin dan Bin Tjoe Hoa serta kawan-kawannya menjadi heran berbareng
gusar akan saksikan kauwtjoe dari Ngo Tok Kauw itu, sebab kauwtjoe ini adalah musuh
besar mereka.
Sin Tjie keluar pula dengan cepat, dengan demikian dapat ia tenteramkan hati kawankawannya
dan kepada mereka itu ia tuturkan apa yang terjadi di Hoa Giam Sie, sampai ia
tolongi kauwtjoe dari Ngo Tok Kauw itu. Ia juga jelaskan, bantuan apa yang Tiat Tjhioe
sudah berikan kepada pihaknya.
"Lagi satu hal," kemudian Sin Tjie tambahkan, pada rombongannya Tong Hian Toodjin,
"hal gurumu, Oey Bok Toodjin, sebentar dapat kita tanyakan kepadanya sesudah ia
sadar."
Orang-orang Boe Tong Pay itu girang menerima keterangan anak muda ini, dengan lantas
mereka haturkan terima kasih mereka.
Tidak antara lama, Wan Djie keluar.
"Bisanya sudah tersedot keluar dengan pelahan-lahan akan tetapi orangnya masih belum
sadar," ia beri tahu.
"Kau kasi dia makan obat pelepas racun, lantas antapkan dia tidur, untuk dia beristirahat,"
Sin Tjie bilang.
Wan Djie jawab, "Baiklah," akan tetapi selagi ia hendak masuk kembali, kelihatan Lip Djie
datang masuk sambil berlari-lari, lalu dia berseru-seru: "Wan Siangkong, selamat,
selamat!"
"Kaulah yang harus dikasi selamat!" menyambut Tjeng Tjeng sambil tertawa.
Mukanya Wan Djie menjadi merah, lekas-lekas ia berlalu.
Lo Lip Djie tidak layani godaannya Nona Hee, ia kata pula: "Pasukan besar dari Giam Ong
sudah rampas Djie-lim dan Han-tiong!"
Warta ini benar-benar menggirangkan semua orang.
"Apa kabar ini sudah pasti?" tegaskan Sin Tjie yang teliti.
"Warta ini aku dapatkan dari Saudara Thio yang ditugaskan pergi mencari ini.... Bin
Djieya," jawab Lip Djie. "Menurut dia, ketika dia sampai di Siamsay, dia dapatkan
tentaranya Giam Ong sedang menyerang kota, hingga suara meriam menggelegar tak
henti-hentinya, karena itu, tidak dapat dia jalan lebih jauh. Begitulah dia telah lihat sendiri
pasukan Beng Tiauw kena dilabrak hingga kalah besar dan tjongpeng dari kota itu dapat
dibinasakan."
"Bagus kalau begitu!" kata Sin Tjie. "Dengan begitu bisa diharap kedatangannya
sembarang waktu dari tentara rakyat itu ke kota raja ini, itu waktu kita nanti menyambut
dari dalam."
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Karena ini Sin Tjie lantas ambil ketika untuk mengatur rencana penyambutan, supaya
penyerangan bisa dilakukan berbareng, dari luar dan dalam. Ia tetapkan siapa mesti
melepas api, siapa mesti rampas kota, siapa mesti bunuh jendral pembela ibu-kota.
Karena ini ada urusan rahasia, ia tidak lantas umumkan itu pada kawan-kawannya.
Untuk beberapa hari, Sin Tjie menjadi repot, ia perlu hubungkan kawan-kawan
seperjuangan lainnya yang berada di dalam kota, untuk janjikan mereka turun tangan
bersama begitu lekas angkatan perang Giam Ong sudah sampai. Ketika itu hari ia pulang
habis bekerja, Wan Djie ketemui dia dengan wajah Nona Tjiauw ini masgul sekali.
"Wan Siangkong, masih saja Ho Kauwtjoe tak sadar akan dirinya," kata dia.
Sin Tjie menjadi heran.
"Sudah beberapa hari tetapi ia masih belum sadar juga!" katanya.
Lantas bersama Wan Djie, ia masuk ke dalam, untuk melongok.
Ho Tiat Tjhioe rebah dengan muka seperti tidak ada darahnya, napasnya jalan seperti
tinggal satu tarikan demi satu tarikan.
Menyaksikan itu, pemuda ini menjadi sangat berduka, hingga ia berdiam saja. Tapi
otaknya bekerja. Selang sesaat, mendadak ia berjingkrak sambil berseru: "Celaka!"
Wan Djie terkejut.
"Kenapa, Wan Siangkong?" tanya nona ini.
"Aku lupa satu hal," Sin Tjie jawab. "Jikalau seorang biasa terkena racun, asal racunnya
sudah dapat dikeluarkan, dia bisa lantas sembuh. Dengan Ho Kauwtjoe, keadaan ada lain.
Sedari kecil dia bergaul dengan pelbagai binatang berbisa, mungkin juga ia telah makan
entah obat apa yang mengandung bisa. Ya, binatang berbisa yang umum tidak dapat
meracuni dia, tidak demikian apabila dia terkena bisa yang hebat, sekali terkena, dia bisa
keracunan secara hebat sekali. Demikianlah kali ini. Selama beberapa hari ini, aku terlalu
repot, sampai aku tidak ingat itu...."
"Habis sekarang, bagaimana?" Nona Tjiauw tanya.
Sin Tjie berpikir, ia ragu-ragu.
"Nampaknya tidak ada lain jalan kecuali kasi dia makan kodok es itu," sahut ia kemudian.
"Meski begini, kita cuma mencoba saja. Kesangsianku disebabkan urusan lain lagi. Kalau
kita kasi dia makan kodok es itu, lalu kita dapat gangguan pula dari orang-orang Ngo Tok
Kauw, asal ada orang kita yang terluka dan keracunan, pasti dia mesti terima nasibnya,
tidak ada pertolongan lagi...."
Wan Djie benar-benar berduka. Kekuatiran itu beralasan.
Sin Tjie terus berpikir, sampai tiba-tiba ia tepuk pahanya.
"Marilah kita kasi dia makan obat itu!" katanya kemudian. "Dia bukannya sanak, bukannya
kadang kita, akan tetapi tak tega aku untuk awasi dia mati tersiksa secara begini di depan
kita...."
Wan Djie bersangsi, karena percobaan itu benar-benar berbahaya. Kalau Tiat Tjhioe
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
ketolongan, kalau tidak, bukankah obat mujarab itu lenyap dan ancaman di belakang hari
tak dapat dielakkan lagi? Akan tetapi ia toh serahkan kodok es itu, yang terus diaduki
arak, untuk terus dicekoki kepada Ho Tiat Tjhioe.
Habis itu, orang duduk menantikan akibatnya.
Belum selang setengah jam, muka pucat dari Ho Kauwtjoe mulai berubah, kelihatan sinar
semu dadu, dan napasnya pun tidak empas-empis lagi.
Sin Tjie masih mengawasi sekian lama, lantas ia dapat kepercayaan nona itu bakal
ketolongan, dari itu ia lantas tinggal pergi keluar, justru Ang Seng Hay sedang cari dia.
"Wan Siangkong, orang Ngo Tok Kauw datang mencari!" kata pengiring ini begitu lekas ia
lihat majikannya. Ia nampaknya tergesa-gesa.
Hatinya Sin Tjie bercekat, sepasang alisnya mengkerut.
"Berapa jumlah mereka?" ia tegasi.
"Baru satu orang sampai di luar, entah yang menyusul belakangan," Seng Hay jawab.
Sin Tjie berpikir keras.
"Kecuali Ho Kauwtjoe, ilmu silatnya orang-orang Ngo Tok Kauw itu biasa saja," pikir ia.
"Yang berbahaya adalah racun mereka. Mereka telah jeri terhadapku, perlu apa sekarang
mereka datang pula? Mesti ada yang mereka buat andalan maka mereka berani cari aku!
Mustika kodok sudah dimakan habis oleh Ho Tiat Tjhioe, andaikata ada orang dari pihakku
yang terluka, habislah dia...."
Tapi ia tidak bisa buang tempo.
"Pergi wartakan semua orang," ia titahkan Seng Hay. "Semua mesti berkumpul di thia
besar, tanpa titah atau tanda dari aku, aku larang siapa juga keluar akan hadapi orangorang
Ngo Tok Kauw! Pergi lekas!"
Ang Seng Hay menurut, maka dengan separuh lari, ia pergi untuk sampaikan titah itu
kepada semua kaumnya.
Sin Tjie sendiri lekas pergi keluar, begitu sampai di ambang pintu, ia sudah lantas dapat
lihat satu orang Ngo Tok Kauw, yang separuh tubuhnya telanjang, celananya sudah
rombeng, sedang berdiri di depan pintu, berdiri dengan kedua tangan, kepalanya di
bawah, kedua kakinya di atas. Ia tidak merasa aneh, karena ia sudah kenal dengan lagalagunya
orang-orang kaum "Lima Macam Bisa" itu. Ia juga lantas kenali, orang itu ada
Kim-ie Tok Kay Tjee In Go.
Hanya kali ini, "dandanan" orang she Tjee ini ada lebih istimewa.
Di kedua pundak, di bebokongnya, juga di kedua bahu-tangannya, Tjee In Go telah
tancapkan sama sekali sembilan batang golok panjang yang tajam-mengkilap, ujung golok
nancap dalam, darahnya yang masih segar masih mengalir keluar.
Sin Tjie mengawasi dengan waspada, ia mesti siap sedia. Orang berlaku aneh, ia
menduga-duga apa In Go lagi gunai ilmu siluman.
"Kau datang kemari, apakah kau mau?" ia tegur.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Tjee In Go tidak menjawab, ia hanya mengoceh sebagai pembaca mantera: "Sembilan
golok menembusi lobang, itulah pendekarnya Agama Iblis!"
"Kita berdua harus ambil jalan masing-masing, maka jangan kamu ganggu pula pihakku!"
Sin Tjie kata pula. "Aku janji bahwa aku pun tidak bakal ganggu kamu lebih jauh. Lekas
pergi!"
Tjee In Go tidak menyahuti, dia tetap mengoceh dengan manteranya itu, malah mulutnya
berkemik semakin cepat mengucapkan "Sembilan golok menembusi lobang, itulah
pendekarnya Agama Iblis!"
Sin Tjie heran bukan main, ia terus mengawasi, dengan lebih teliti. Sekarang ia dapat lihat
pada setiap batang golok diikatkan semacam mahluk berbisa, ada kalajengking, ada
kelabang, semuanya masih bergerak berkutik-kutik.
Itu waktu Ang Seng Hay telah berhasil mengumpulkan semua kawan, tidak terkecuali
Tjeng Tjeng, ia ajak mereka semua berkumpul di thia, dengan begitu, mereka ini jadi bisa
turut saksikan tindak-tanduk luar biasa dari Kim-ie Tok Kay Tjee In Go si Pengemis
Berbisa Berbaju Sulam....
Sin Tjie melirik kepada Ang Seng Hay, pengiring ini ada seorang cerdik, karena ia pun
dapat dengar nyata ocehannya si orang she Tjee, lekas-lekas ia masuk ke dalam, bersamasama
Tjiauw Wan Djie, ia masuk ke kamarnya Ho Tiat Tjhioe.
"Ho Kauwtjoe, apakah artinya 'Sembilan golok menembusi lobang, itulah pendekarnya
Agama Iblis'?" tanya ia kepada pemimpin Ngo Tok Kauw itu.
Tiat Tjhioe sudah mulai sadar, mendengar pertanyaan Seng Hay, ia geraki tubuhnya untuk
bangun berduduk.
"Siapa yang telah datang?" dia baliki menanya.
"Satu pengemis yang tidak pakai baju," sahut Seng Hay.
"Baik," kata kauwtjoe itu. "Eh, nona, tolong kau pegangi aku, antar aku keluar." Ia bicara
kepada Wan Djie.
Nona Tjiauw bersangsi. Ia tahu orang Baru saja sadar, tubuhnya pasti masih sangat lelah.
Selagi ia hendak mencegah, Tiat Tjhioe sudah goyangi tangan pada Seng Hay, untuk
menyuruh orang lelaki ini undurkan diri, kemudian ia ambil bajunya, yang panjang, untuk
dipakai. Semua gerakannya sangat lambat.
"Tak dapat kau keluar," Wan Djie bilang.
"Lekas tolong pegangi aku!" kata Kauwtjoe itu, yang tidak perduli cegahan.
Wan Djie jadi kewalahan, ia terpaksa menurut. Ia ulur tangannya, untuk membanguni
pemimpin Ngo Tok Kauw itu.
Ho Tiat Tjhioe ulur tangan kanannya, akan cekal tangan Nona Tjiauw kita.
Begitu ia kena dicekal, Wan Djie terperanjat. Tangannya kauw-tjoe ini kuat dan keras
sekali, ia merasa bagaikan tangannya kena dijepit, hingga seperti tidak berdaya, ia ikut
nona itu bertindak keluar. Dengan sendirinya ia merasa jeri berbareng kagum terhadap
ratu bisa ini.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Begitu lekas Ho Tiat Tjhioe sampai di muka pintu, ia berseru: "Kau lihat! Bukankah aku ini
masih hidup?"
Parasnya Tjee In Go memperlihatkan roman girang, ia kerahkan tenaga kedua tangannya,
lantas ia berjumpalitan, sampai dua kali, tetap ia berdiri dengan kedua tangannya itu,
kepalanya di bawah, kedua kakinya di atas.
"Kenapa kau datang untuk menghaturkan maaf?" tanya Ho Tiat Tjhioe. "Jikalau kau tidak
mendapatkan ancaman malapetaka, tidak nanti kau mendapat kesadaranmu!"
Baru sekarang Kim-ie Tok Kay mau bicara.
"Oh, kauwtjoe yang bijaksana!" demikian katanya, "aku yang rendah telah berdosa hingga
mesti terbinasa berlaksa kali. Aku telah melukai tubuh yang suci dari Kauwtjoe. Bersukur
kepada Tjit-tjouw Sam-tjoe, yang melindungi dan memberkahi, Kauwtjoe selamat, tidak
kurang suatu apa!"
"Tjit-tjouw Sam-tjoe" ialah yang dimaksudkan "Tujuh leluhur, tiga putera".
Ho Tiat Tjhioe membentak: "Rupanya kau percaya, dengan pakai si ular emas untuk
melukai aku, jiwaku pasti bakal melayang! Jikalau aku telah mati, maka dengan menuruti
aturan kaum kita, dengan sendirinya kaulah yang menggantikan jadi kauw-tjoe! Bukankah
benar begitu?"
Tjee In Go tekuk kedua tangannya, lantas ia lonjorkan itu kedua samping, dengan begitu
dahinya jadi mengenai tanah, dengan dahi itu yang mengganjal tubuhnya, ia masih berdiri
dengan kaki di atas. Dengan ini ia jalankan kehormatan.
"Aku tanya kau, kenapa kau datang untuk menghaturkan maaf kepadaku?" Ho Tiat Tjhioe
tanya.
"Aku yang rendah tidak berani mendustai Kauwtjoe," Tjee In Go menyahut. "Memang,
menurut aturan kaum kita, adalah aku yang rendah yang mesti menjadi kauwtjoe
pengganti. Tapi si uwah pengemis tidak setuju, dia bentrok sama aku, kesudahannya aku
yang rendah tidak sanggup lawan dia..."
"Memang aku tahu hatimu tidak lurus!" Ho Tiat Tjhioe kata. "Sekarang kau insaf, kau
hendak bersetia kepadaku, baik, aku suka kasi ampun pada satu jiwamu!"
Kauwtjoe ini hampirkan Kim-ie Tok Kay. Ia membungkuk, akan cabut sebatang golok di
pundak.
Tjee In Go jadi sangat girang, ia memberi hormat pula, lantas ia berjumpalitan lagi, untuk
berdiri dengan kedua kakinya, habis mana, ia putar tubuhnya, terus ia ngeloyor pergi.
Dengan tetap dipepayang Wan Djie, Tiat Tjhioe bertindak ke thia, semua orang ikuti dia.
Dan semua orang itu terbenam dalam keanehan berhubung sama "pertunjukan" barusan
itu...
Ho Tiat Tjhioe tertawa.
"Dia telah didesak sampai di jalan buntu, maka itu dia datang untuk minta bantuanku," ia
kata pada orang banyak.
"Apakah artinya semua golok itu?" Tjeng Tjeng tanya.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Tiat Tjhioe masih pegangi goloknya Tjee In Go, ia loloskan seekor kalajengking yang diikat
kepada golok itu, ia bungkus dengan saputangannya, dalam beberapa lepitan, lalu ia
masuki ke dalam sakunya.
"Ini adalah ilmu siluman dari kita," kata Tiat Tjhioe sambil tertawa. "Aku harap saudarasaudara
tidak mentertawakan kami. Semua sembilan golok itu ada binatang berbisanya
masing-masing, bisa itu dapat dipakai mengobati, dengan cara bisa lawan bisa. Siapa
keracunan bisanya semacam binatang, ia mesti diobati dengan bisanya semacam
binatang juga, cuma dengan dicampuri obat lainnya, lukanya bisa disembuhkan. Mulai hari
ini dan selanjutnya, setiap tahun di musim semi, apabila lukanya terkena bisa itu kambuh,
aku lantas obati dengan sebungkus obat pemunah bisa."
Tjeng Tjeng manggut-manggut.
"Secara demikian untuk selamanya, setiap tahun dia menjadi seperti kacungmu," kata dia,
"tidak nanti dia berani berkhianat pula."
"Tepat dugaan Hee Siangkong!" kata Tiat Tjhioe sambil tertawa.
"Apakah tidak boleh jikalau dia sendiri yang cabuti golok-golok di tubuhnya itu?" Tjeng
Tjeng tanya pula.
"Golok-golok itu justru dia sendirilah yang tusuki di anggauta-anggauta tubuhnya itu," Tiat
Tjhioe terangkan lebih jauh, "dengan dia datang kepadaku, untuk minta tolong dicabuti, itu
adalah bukti pernyataannya bahwa ia takluk kepadaku. Dia telah lukai aku dengan ular
emas itu, jikalau dia tidak pakai itu cara menusuk diri dengan sembilan golok, dia mengerti
bahwa aku tidak bakal terima baik padanya."
"Jikalau begitu, kenapa kau tidak hendak cabut saja semua golok itu sekaligus?" lagi-lagi
Tjeng Tjeng tanya. "Pada tubuhnya itu masih ada delapan golok yang nancap tajam,
bagaimana sakitnya...."
Ho Kauwtjoe tertawa.
"Memang aku kehendaki dia menderita lebih banyak!" sahutnya. Ia berhenti sebentar, lalu
ia menambahkan: "Jikalau Hee Siangkong juga suka memberi keampunan kepadanya,
baik besok aku nanti cabut semua sekaligus!"
"Terserah kepadamu!" Tjeng Tjeng bilang. "Tak dapat aku mengasihani orang jahat
sebangsa dia!"
Sampai di situ, Tong Hian Toodjin anggap pembicaraan mengenai lelakon Tjee In Go
sudah sampai di akhirnya, maka ia berbangkit, akan hadapi pemimpin Ngo Tok Kauw itu.
"Ho Kauwtjoe," berkata dia, "aku ingin bicara perihal guru kami. Dengan memandang
kepada Wan Siangkong, aku minta sudilah kau memberikan keterangan kepada kami."
Begitu sang imam bicara, semua murid Boe Tong Pay lainnya lantas pada berbangkit.
Ho Tiat Tjhioe pandang imam itu, ia tertawa dingin.
"Wan Siangkong telah melepas budi besar kepadaku, tetapi kamu dari Boe Tong Pay tidak
ada sangkutannya dengan aku!" kata dia dengan tandes. "Kesehatan tubuhku masih
belum pulih, apakah kamu hendak gunai kelemahan diriku ini untuk memaksa kepadaku?
Jikalau itu benar, aku Ho Tiat Tjhioe, aku tidak takut!"
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Adalah di luar dugaan umum yang nona ini bicara dengan sikap demikian keras.
Diam-diam Sin Tjie kedipi Tong Hian Toodjin, kepada siapa ia berpaling.
"Kesehatan Ho Kauwtjoe sedang terganggu, nanti saja pelahan-lahan kita bicarakan pula
urusan ini," ia malang di tengah.
Belum sempat Tong Hian menyatakan sesuatu, sambil perdengarkan suara di hidung, Tiat
Tjhioe pegang tangannya Wan Djie, untuk ajak Nona Tjiauw masuk ke dalam. Dengan
begitu saja ia tinggalkan orang-orang Boe Tong Pay itu, sedang yang lainnya pada
melongo.
Orang-orang Boe Tong Pay perdengarkan gerutuan mereka, suatu tanda mereka merasa
sangat tidak senang. Mereka merasa seperti dihinakan.
"Serahkan urusan ini padaku," Sin Tjie kata pada sekalian tetamunya itu. "Aku
bertanggung-jawab untuk cari tahu tempat di mana beradanya Oey Bok Toodjin."
Baru setelah dengar janji ini, orang-orang Boe Tong Pay itu bisa tenangi hati.
Besoknya pagi, benar saja Tjee In Go datang pula.
Ho Tiat Tjhioe cuma cabut sebatang golok.
Demikian seterusnya, setiap hari Kim-ie Tok Kay datang, untuk pemimpinnya cabuti
goloknya itu. Di hari kesembilan, ketika ia datang pula - di waktu tengah hari - adalah Ang
Seng Hay yang memberi warta pada Ho Tiat Tjhioe.
Ketika itu, Tiat Tjhioe telah pulih kesehatannya.
Juga Thia Tjeng Tiok, See Thian Kong, si empe gagu A Pa, Thie-Lo-Han Gie Seng dan Ouw
Koei Lam, sudah sembuh seluruhnya, mereka ingin saksikan, setelah Ho Kauwtjoe cabut
golok yang terakhir itu, bagaimana sikapnya kauwtjoe ini terhadap Tjee In Go. Maka itu,
mereka semua turut pergi keluar.
Kim-ie Tok Kay sudah berdiri pula dengan kedua tangan menggantikan kakinya, ia unjuk
air muka sangat terang, tanda kegirangannya.
Ho Tiat Tjhioe tidak lantas cabut golok di bebokong orang itu, ia menoleh pada Tjeng
Tjeng, ia tertawa.
"Hee Siangkong," katanya, "orang ini punyakan sifat buruk, akan tetapi ilmu silatnya baik
sekali, maka bagaimana kau pikir jikalau aku berikan dia kepadamu untuk dia jadi
kacungmu? Dengan kau simpan obat pemunah racun dalam tanganmu, tidak nanti dia
berani bantah setiap perkataanmu."
Tjeng Tjeng bersenyum.
"Aku ada seorang perempuan, untuk apa aku mempunyai seorang kacung lelaki buruk
sebagai dia?" dia menjawab dengan pelahan.
Ho Tiat Tjhioe terperanjat, hingga ia melongo. Sejak ia lihat Tjeng Tjeng, seterusnya saban
kali ia menemui pula, selamanya justru nona Hee sedang dandan sebagai satu pemuda,
maka itu, makin lama ia melihat, makin tertarik hatinya, makin keras cintanya. Selama itu,
tidak pernah ia curigai puterinya Kim Tjoa Long-koen ini. Oleh karena ini, jawaban si nona
bikin ia heran bukan main.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
"Apa?" tegasi dia.
"Aku tidak inginkan kacung itu," sahut Tjeng Tjeng.
"Kau membilang tentang seorang perempuan?...." Tiat Tjhioe tegasi pula.
Wan Djie tertawa, ia campur bicara.
"Ini adalah nona Hee," ia kasi tahu. "Sejak masih kecil dia gemar sekali dandan sebagai
seorang pria. Tidak heran jikalau kau tidak dapat tahu, juga aku pada mulanya bertemu,
aku tidak dapat mengenalinya."
Tiat Tjhioe merasai matanya berkunang-kunang, maka ia tercengang memandang
"pemuda" di depannya itu. Sekarang ia lihat tegas satu kulit muka yang putih-halus,
sepasang alis yang lentik melengkung! Ya, itulah kulit dan alisnya seorang wanita. Maka ia
kaget, ia mendongkol, ia penasaran....
"Hai, mengapa aku jadi begini tolol!" dalam hatinya ia tegur dirinya sendiri, ia
menyesalinya. "Kenapa untuk seorang perempuan, aku berontak terhadap agamaku, aku
tentangi kawan-kawanku? Benar-benar tak pantas aku hidup lebih lama pula!...."
Kauwtjoe ini ada seorang luar biasa, walaupun dia berhati keras bagaikan baja, semakin
dia gusar, semakin murah tertawanya, senyumannya. Juga kali ini, ia lantas tertawa,
sujennya nampak nyata.
"Benar-benar aku tolol!" katanya. Ia bertindak ke tangga, akan hampirkan Tjee In Go. Ia
membungkuk, sikapnya hendak mencabut golok di bebokongnya Kim-ie Tok Kay, yang
sekarang rebah tertelungkup. Ia ada seorang dengan hati kuat, akan tetapi perubahan
kejadian ini telah sangat pengaruhi dia, maka itu, sesaat itu, hatinya gentar, ia bimbang,
tanpa ia kehendakinya, kakinya lemas, hingga ia berdiri dengan limbung.
Tjiauw Wan Djie berada dekat kauwtjoe ini, ia maju, untuk menolongi.
Itu waktu semua mata ditujukan kepada Tjee In Go dan Ho Tiat Tjhioe, karena kauwtjoe ini
limbung tubuhnya, perhatian dipindahkan kepada dia seorang diri. Maka orang tidak lihat
ketika tahu-tahu, dari pinggir jalanan, tertampak orang berlari-lari dan berlompat kepada
Kim-ie Tok Kay, setelah datang dekat, orang itu berseru dengan nyaring, sesudah
membungkuk kepada In Go, dia lompat mundur pula. Tapi hampir berbareng sama
lompatannya orang itu, In Go perdengarkan jeritan dari kesakitan yang hebat, dia rebah
tertelungkup dengan golok yang panjang di bebokongnya, nancap dalam sekali.
Itulah kejadian sangat cepat, sedetik saja. Orang semua kaget. Walaupun di situ ada Sin
Tjie, ada Thia Tjeng Tiok, See Thian Kong dan lain-lain orang liehay, masih mereka tak
dapat cegah kejadian hebat itu. Adalah sesudah orang lompat mundur, Baru orang kenali,
si pembokong itu ada Ho Ang Yo, si uwah jelek.
Sekarang uwah ini, dengan semparkan pulang pergi tangan kirinya dengan mulut
berteriak-teriak lompat berjingkrakan dengan kedua kakinya. Nyatalah seekor ular kuning
emas telah menyantel di belakang telapakan tangannya, sia-sia ia berlaku kalap secara
demikian, ular itu tak mau terlepas!
"Bagus! Bagus!" berseru Tjee In Go sambil ia angkat kepalanya. Tapi setelah mengucap
demikian, kepalanya lemas, tubuhnya berkelejat, terus dia diam saja. Karena rohnya telah
melayang pergi.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Sekarang semua mata ditujukan kepada Ho Ang Yo.
Uwah yang romannya begis ini nampaknya jadi bertambah menyeramkan, suatu tanda ia
berada dalam ketakutan yang sangat. Masih dia berjingkrakan, masih dia kibas-kibaskan
tangannya, tetap sang ular tidak mau copot dari belakang telapakan tangannya itu.
Beberapa kali ia coba ulur tangan kanannya, akan cekal ular itu, untuk ditarik, tetapi
saban-saban dengan lekas ia tarik pulang tangannya itu, disebabkan dia takut nanti
tangan kanannya juga disantok ular berbisa itu seperti tangan kirinya. Ia telah disantok
tadi ketika ia pegang gagang golok, yang ia terus tuncapkan di bebokongnya Tjee In Go. Si
ular kuning emas adalah binatang berbisa dari gagang golok itu.
Ho Tiat Tjhioe telah dapat berdiri pula dengan tetap, ia turut tonton tingkahnya Ho Ang Yo,
benar ia tertawa tetapi ia tidak kata apa-apa.
Akhir-akhirnya Ho Ang Yo ingat suatu apa, ia tidak lagi berjingkrakan, tangan kanannya
dimasuki ke dalam sakunya, untuk tarik keluar sebuah golok, begitu lekas golok itu
berkelebat, tangan kirinya telah ia babat kutung sebatas ugal-ugalan! Rupanya ia insaf,
percuma ia binasakan atau singkirkan ular itu sesudah ia kena dipagut, ia toh bakal
bercelaka karena bisanya. Setelah itu ia robek ujung bajunya, untuk dipakai membalut
tangannya itu, kemudian ia lari kabur bagaikan orang kalap.
Semua penonton tercengang karena menghadapi pemandangan yang hebat itu.
Ho Tiat Tjhioe hampirkan tubuhnya Tjee In Go, untuk ambil sebuah pipa besi, yang ia pakai
menindih tubuhnya sang ular emas, kemudian dengan gaetan kirinya, ia gurat daging
tangannya Ho Ang Yo, hingga daging itu terpotong, maka itu, bersama sisa daging, yang
masih dipagut terus, ular itu dikasi masuk ke dalam pipa, yang terus ditutup rapat.
"Dari mana datangnya ular kuning ini?" Sin Tjie tanya.
Tiat Tjhioe tertawa meringis.
"Orang she Tjee itu minta pertolonganku, dia tetap masih tidak tenteram hatinya, dia kuatir
aku nanti bikin dia celaka, maka itu ular ini ia simpan di dalam gagang goloknya yang
kesembilan itu," ia kasi keterangan. "Umpama kata aku cabut goloknya itu, tidak ada soal
lagi, itu artinya aku tidak ganggu dia, akan tetapi apabila aku niat bunuh dia, dia akan
pakai ular itu untuk balas pagut tanganku. Hm! Bibi sebaliknya tidak suka mengasi ampun
pada In Go, dia mencoba membinasakan kawan sendiri, untuk kekejamannya itu, ia
peroleh pembalasannya, hingga sekarang tangannya pun mesti buntung sebelah. Coba
dia berlambat sedikit saja, dia juga pasti tidak bakal ketolongan lagi...."
Sin Tjie menghela napas.
"Apakah tangan kirimu pun dikutungi secara demikian?" Tjeng Tjeng tanya Tiat Tjhioe.
Ho Kauwtjoe deliki ini nona, dia tidak menjawabnya, hanya sambil tutupi mukanya, dia lari
ke dalam.
"Sungguh orang aneh!" kata Nona Hee dengan sengit, karena ia "ketemu batunya!"
Tjiauw Wan Djie diam saja, ia malah perlihatkan roman masgul.
"Nanti aku pergi temani dia, supaya tidak terbit onar lain," katanya, yang terus masuk ke
dalam, untuk susul pemimpin Ngo Tok Kauw itu.
Akan tetapi ia pergi tidak lama, ia kembali dengan tergesa-gesa.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
"Wan Siangkong, Ho Kauwtjoe kurung diri di dalam kamar, ia kunci pintu, aku panggilpanggil,
dia tidak memperdulikannya," ia kasi tahu.
"Biarkan dia beristirahat sebentar," Sin Tjie jawab.
"Bukan begitu, siangkong. Aku kuatir...."
"Baik, mari kita lihat!" kata si anak muda.
Ia lantas bertindak ke dalam, Wan Djie dan Tjeng Tjeng turut dia.
Wan Djie lantas ketok pintu, tidak ada jawabannya; ia ulangi itu, tetap tidak ada
jawabannya. Ia berkuatir, ia jadi bercuriga, maka ia lari ke jendela, untuk mengintip.
Mendadak ia menjerit.
"Celaka! Wan Siangkong, lekas kemari!" ia berseru.
Akan tetapi, walaupun ia teriaki Sin Tjie, ia toh tidak tunggu sampai pemuda itu lari
menghampiri dia, dengan ayun kedua tangannya, dengan gerakan "Heng teelan to" atau
"Lintangi gili-gili untuk mencegah ombak", ia hajar daun jendela menjeblak terpentang,
menyusul mana, ia enjot tubuhnya untuk berloncat ke dalam.
Sin Tjie dan Tjeng Tjeng jadi bercuriga, mereka lari ke jendela, dengan saling susul,
mereka juga lompat ke dalam kamar. Bila si anak muda lihat Ho Tiat Tjhioe, mukanya
menjadi merah.
Nona she Ho itu, pemimpin dari Ngo Tok Kauw, sudah buka bajunya, hingga kelihatanlah
buah dadanya yang putih bagaikan salju, orangnya sendiri sedang tekuk lutut di depan
sebuah boneka kayu yang mungil, tangan kanannya sedang pegangi si ular kuning emas,
yang ia hendak bawa ke dadanya itu!
Tanpa ragu-ragu barang sedetik juga, Sin Tjie ayun tangan kanannya, segera dua bitir biji
caturnya menyambar kepada mulutnya ular kuning emas itu!
Ho Tiat Tjhioe kaget, ia sampai lepaskan cekalannya, tapi segera setelah itu, ia mendekam
di atas meja, untuk menangis menggerung-gerung.
Tjeng Tjeng sambar pipa besi, untuk dikasi masuk ular itu ke dalamnya.
"Kenapa kau berlaku nekat begini?" ia terus tanya kauwtjoe itu, suaranya lembut. "Orangorang
kaummu tidak sukai lagi kepadamu, kau toh bisa turut kami. Bukankah itu bagus?"
Tiat Tjhioe nangis terus, ia tidak menjawab.
"Ho Kauwtjoe," Sin Tjie turut bicara, "Ngo Tok Kauw ada satu perkumpulan agama yang
sesat, dengan kau menukar haluan, dengan putuskan perhubunganmu dengan mereka,
tidakkah itu bagus? Kenapa kau mesti berduka?"
Itu waktu Thia Tjeng Tiok dan lainnya pun telah datang berkumpul kapan mereka telah
ketahui duduknya hal, mereka lantas membujuki dan menghibur.
Penyesalan dan penasarannya Tiat Tjhioe rupanya terlalu hebat, hingga untuk sesaat itu,
pikirannya jadi butek, hingga ia lupa segala apa, ia mau habisi jiwa sendiri, tetapi setelah
orang tolongi dia dan sekarang mendengar bujukan dan hiburan, setelah nyata orang
semua bersimpati kepadanya, kecerdasannya datang pula. Ia pun segera ingat suatu apa.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Maka ia angkat kepalanya, dengan matanya yang tajam, ia awasi semua orang di
sekitarnya. Tiba-tiba saja ia tertawa.
"Wan Siangkong," katanya, "asal kau suka terima baik satu permintaanku, aku tidak akan
bunuh diri!" Melihat tingkah nona itu, Tjeng Tjeng berpikir: "Ini orang sangat aneh! Baru
saja dia nekat, dia menangis, atau sekarang dia sudah bisa tertawa pula! Untuk apa dia
menangis? - Oh, inilah hebat! Mungkinkah dia jatuh hati kepada dia?...."
Dengan "dia", dia maksudkan Sin Tjie. Maka mendadak saja, kumat pula hati cemburunya.
Karena itu, segera dia dului si anak muda.
"Apakah yang kau hendak minta dari dia?" dia tanya.
Ho Tiat Tjhioe tidak jawab si nona, ia hanya pandang si anak muda.
"Wan Siangkong, kau bilang dulu, kau suka terima atau tidak?" dia mendesak.
"Sebenarnya aku tidak tahu, apakah yang Ho Kauwtjoe inginkan aku lakukan?" Sin Tjie
tanya.
Juga anak muda ini mulai curiga. Maka tak mau ia lantas berikan jawaban yang
mengiakan.
Ho Tiat Tjhioe awasi Tjeng Tjeng dan Wan Djie, tiba-tiba saja ia tertawa pula, kemudian
dengan mendadak, ia berlutut di depan Sin Tjie, ia manggut berulang-ulang.
Sin Tjie terperanjat, ia heran, tetapi ia pun sibuk membalas hormat itu, hingga ia juga
manggut berulang-ulang.
"Sudah, sudah, jangan jalankan kehormatan." ia mencegah.
Sampai di situ, Baru Tiat Tjhioe mau bicara.
"Jikalau kau tidak terima aku sebagai muridmu, aku tidak hendak bangun!" katanya.
Tjeng Tjeng melongo, akan tetapi segera hatinya menjadi lega, hingga ia bisa tertawa.
"Kauwtjoe punya boegee sudah liehay sekali, siapa sanggup menjadi gurumu?" kata dia.
Kauwtjoe itu tertawa pula.
"Soehoe, jikalau tetap kau tidak terima aku sebagai murid, aku nanti berlutut di sini buat
selama-lamanya!" kata dia pula.
Sin Tjie berlega hati, ia pun merasa lucu, tetapi ia kewalahan.
"Belum satu tahun sejak aku keluar dari rumah perguruan, mana dapat aku menjadi
guru?" kata dia. "Jikalau Ho Kauwtjoe tidak cela kebisaanku yang masih cetek, baiklah
kita saling menyakinkan saja, untuk memahamkan lebih jauh ilmu silat kita. Mungkin
dengan cara itu kita sama-sama akan memperoleh faedah. Tentang soal angkat guru baik
kita jangan sebut-sebut."
Tiat Tjhioe tidak menjawab, tetap dia tekuk lutut, tidak mau dia berbangkit.
"Mari bangun!" kata Sin Tjie, lalu dengan terpaksa ia ulur kedua tangannya, untuk
memegang dan memimpin bangun.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Kauwtjoe itu tarik tangannya.
"Awas! Tanganku ada bisanya!" kata dia. Dia tertawa. Iapun kibaskan lengan kirinya, yang
bercagak hitam dan mengkilap, untuk gaet tangannya Sin Tjie itu, hingga cahayanya
berkelebat!
Sin Tjie tidak tarik pulang tangannya itu, malah ia majukan dua-duanya. Di saat seperti itu
ia unjuk kesebatannya luar biasa. Ia sambar kedua bahu orang, ia kerahkan tenaganya,
maka dalam sekejab saja, di luar kehendaknya Tiat Tjhioe, tubuhnya dia ini terangkat naik!
Akan tetapi pemimpin Ngo Tok Kauw benar-benar liehay, begitu lekas tubuhnya terangkat
naik, ia tekuk pinggangnya ke dalam, ia angkat kedua kakinya, berbareng dengan mana,
kedua bahunya pun dikibaskan!
Sin Tjie tidak mau dada atau mukanya kena didupak, ia lepaskan cekalannya, kakinya
mundur setindak menyusul mana Ho Tiat Tjhioe poksay, jumpalitan, hingga di lain saat,
dia injak tanah dengan kedua kakinya, tidak ia rubuh, hanya dia terus berlutut pula!
Kagumlah semua penonton, tanpa merasa, mereka bertampik-sorak. Mereka telah
saksikan kepandaian yang luar biasa sekali dari pemuda dan pemudi itu.
"Ho Kauwtjoe, silakan kau beristirahat sebentar, aku hendak keluar untuk menemui
tetamu," kemudian Sin Tjie bilang. Diam-diam ia pun kagumi kauwtjoe ini. Ia terus
bertindak keluar.
Tiat Tjhioe menjadi sibuk, dia berteriak: "Wan Siangkong, apa benar-benar kau tidak sudi
terima aku sebagai murid?"
"Menyesal aku tidak sanggup," jawab Sin Tjie.
"Baiklah kalau begitu!" kata kauwtjoe itu dengan nyaring. "Nona Hee, mari! Mari aku gunai
tempo setengah malaman ini untuk kasi dengar kau, dongeng tentang gambar lukisan
ditaruh di muka pembaringan!"
Tjeng Tjeng melongo. Ia tidak mengerti.
Muka Sin Tjie sebaliknya, menjadi merah. Ia merandek, ia berbalik.
"Hebat orang she Ho ini," pikir dia. "Dia pasti berani lakukan apa yang dia pikir. Mana bisa
dibiarkan dia beber rahasianya A Kioe dan aku..."
Kalau sampai teruwar bagaimana ia rebah berdampingan sama satu nona bukan sanak
bukan kadangnya, bagaimana ia dan A Kioe tak bakal dapat malu? Bukan saja Tjeng Tjeng
bakal jadi murka, ia pun akan malu sekali. Karena itu, ia goyang-goyang tangannya.
Tiat Tjhioe tertawa pula.
"Soehoe, terima baiklah permintaanku!" katanya pula.
Sin Tjie kasi dengar suara tidak nyata: "Oh, oh...."
Tapi Tiat Tjhioe lantas saja jadi sangat girang.
"Bagus, soehoe telah meluluskan!" serunya. Ia geraki kedua dengkul, begitu berdiri, dia
lompat ke depan si anak muda, untuk paykoei, untuk jalankan kehormatan besar!
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Sin Tjie jadi sangat terdesak, terpaksa ia balas separuh dari itu pemberian hormat.
Atas itu, orang banyak lantas kasi selamat, pada itu murid dan guru.
Tinggallah Tjeng Tjeng menjadi sangat heran, ia bingung.
"Kau hendak berdongeng cerita apa" ia tanya Tiat Tjhioe.
Ho Kauwtjoe tertawa, tetapi ia lantas menyahuti.
"Di dalam kalangan agamaku ada semacam ilmu gaib," katanya, "asal kita lukiskan
gambarnya satu orang, lalu gambar itu kita taruh di depan pembaringan, terus kita kasi
hormat dengan manggut-manggut kepadanya sambil membaca mantera, pasti itu orang
akan sakit jantung dan kepalanya, beruntun selama tiga bulan, dia tidak akan sembuhsembuh."
Tjeng Tjeng mendengari dengan perhatian, ia separuh percaya dan separuh tidak.
Tetapi Sin Tjie menjadi lega hatinya. Meski demikian, ia kata dalam hatinya: "Di kolong
langit tidak ada orang yang angkat guru dengan cara ancaman sebagai ini! Dia masih
belum bisa ubah hatinya, pasti tak dapat aku ajari ia ilmu silat."
Maka ia kata dengan sungguh-sungguh: "Sebenarnya aku tidak punyakan ilmu silat yang
bisa diajari kepadamu, akan tetapi kau begini bersungguh hati, baiklah untuk sementara
aku namanya saja menjadi guru, kita akan tunggu sampai aku sudah memberi keterangan
kepada guruku. Apabila guruku itu telah memberi perkenannya, Baru aku nanti ajari kau
ilmu silat Hoa San Pay."
Alasan ini kuat. Ho Tiat Tjhioe tidak bisa mendesak lebih jauh.
"Baik, baik," ia terima janji Sin Tjie itu. Ia girang sekali.
"Ho Kauwtjoe...." Kata Tjeng Tjeng.
Tetapi kauwtjoe itu memotong:
"Tidak dapat kau menyebut aku kauwtjoe lagi!" katanya. "Soehoe, silakan kau berikan satu
nama untukku."
Sin Tjie berpikir.
"Baiklah, kau pakai saja nama Tek Sioe," kata dia kemudian. "Tek ialah jeri untuk segala
kekeliruan yang sudah-sudah, dan Sioe untuk menjaga dan menjalankan prilaku baik."
"Bagus, bagus!" kata Tiat Tjhioe dengan girang. "Hee Soesiok, kau panggilah aku Tek
Sioe!"
"Kau berusia lebih tua daripada aku, boegeemu juga terlebih tinggi, cara bagaimana kau
memanggil soesiok padaku?" kata Tjeng Tjeng ("Soesiok" ialah "paman guru").
Tiat Tjhioe dekati Nona Hee itu, ia berbisik: "Sekarang aku panggil kau soesiok, lain kali
aku akan panggil kau soebo!"
Kedua pipinya Tjeng Tjeng menjadi merah. "Soebo" itu berarti "nyonya guru". Akan tetapi,
diam-diam ia toh girang bukan main. Sekarnag ia jadi dapat anggapan baik terhadap
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
kauwtjoe ini. Tadinya ia masih hendak menegur, tetapi segera ia batalkan niatnya itu,
sebab itu wkatu kelihatan Tong Hian Toodjin dan Bin Tjoe Hoa bertindak masuk.
Melihat dua orang Boe Tong Pay itu, Sin Tjie lantas kata pada Tiat Tjhioe: "Sekarang kita
sudah jadi orang sendiri, coba kau beri tahu kepada tootiang ini berdua, Oey Bok Toodjin
itu sebenarnya masih hidup atau sudah mati...."
Ho Tek Sioe bersenyum.
"Dia ada di Inlam, di Tay...."
Ia Baru mengucap sampai di situ, sekonyong-konyong mendengung suara nyaring dan
hebat, sampai meja dan tehkoan bergerak, sampai cawan-cawan pada bergoyang.
Semua orang terjaga. Baru saja hati mereka mulai "tetap", atau suara hebat itu terdengar
pula, kali ini terus, berulang-ulang.
"Itulah dentuman meriam!" kata Thia Tjeng Tiok.
Segera semua orang lari ke depan.
Justru itu Ang Seng Hay datang sambil berlari-lari.
"Balatentara Giam Ong sudah sampai!" katanya.
Dentuman meriam masih terus terdengar, dari arah luar kota kelihatan cahaya api
menyambar-nyambar berkelebatan dibarengi sama riuhnya suara pertempuran.
Jadi terang sudah pasukan perang Giam Ong sudah sampai di luar kota raja.
"Tootiang," berkata Sin Tjie pada Tong Hian Toodjin, "dia sekarang telah angkat aku
menjadi guru, maka tentang guru kamu, baik kita tunda dulu membicarakannya...."
Akan tetapi Ho Tiat Tjhioe segera menyambungi:
"Oey Bok Toodjin itu kena dikurung bibiku di dalam guha Tok Liong Tong di Tay-ke, Inlam.
Pergi kamu bawa ini, untuk memerdekakannya!"
Sembari berkata begitu, ia serahkan sebuah suitan besi hitam-legam yang beroman ularularan.
Tong Hian Toodjin dan Bin Tjoe Hoa girang tak kepalang mendengar guru mereka masih
hidup, berulang-ulang mereka menghaturkan terima kasih mereka. Tong Hian lantas
sambuti suitan itu.
"Inilah akupunya leng-hoe." Ho Tiat Tjhioe kasi keterangan. "Kamu mesti berangkat
dengan segera, supaya kamu bisa mendahului sampai di sana. Anggauta-anggauta Ngo
Tok Kauw di Inlam masih belum tahu aku sudah undurkan diri dari kalangan mereka, asal
mereka lihat lenghoe ini, sudah pasti mereka akan merdekakan gurumu."
Kembali Tong Hian Toodjin dan Bin Tjoe Hoa mengucap terima kasih, dengan tergesagesa
mereka pamitan dari Sin Tjie beramai, lantas mereka berlalu.
Sin Tjie juga sudah lantas kirim orang, untuk serep-serepi kabar pasti, supaya ia bisa
berikan pertandaannya untuk semua kawan seperjuangannya di dalam kota bergerak
serentak menuruti rencana yang ia sudah atur, ialah melepas api berbareng mengadakan
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
serangan secara mendadak, untuk sambuti serangan dari luar.
Belum terlalu lama, satu tauwbak telah datang bersama sepucuk surat, katanya surat dari
Tie-Tjiangkoen Lie Gam, jenderalnya Giam Ong, yang sengaja kirim itu dengan utus satu
penyelundup.
"Bagus!" Sin Tjie memuji. Lantas dia bertindak, mengirim orang-orang ke empat penjuru
kota. Maka di waktu magrib, di mana-mana tersiarlah ko-yauw atau cerita-cerita burung
yang merupakan nyanyian, yang dinyanyikan ramai oleh anak-anak kecil dan orang
pengangguran.
Umpama ko-yauw di kota Barat oleh anak-anak berbunyi:
"Pagi mencari satu SENG,
Sore mencari satu HAP,
Selama ini, orang melarat
sukar hidup,
Maka lekas-lekas buka pintu,
Menyambut Giam Ong.
Pasti semua, tua dan muda,
Akan jadi girang-senang!"
Sedang di kota Timur, kaum pengangguran bernyanyi:
"Makan dari ibunya,
Berpakai dari ibunya,
Makan dan berpakai tak habis.
Sebab adanya Giam Ong!
Tidak usah bekerja,
Tidak usah bayar coeke!"
Di dalam kota telah terbit kekacauan, tentara Beng Tiauw sudah sibuk sendirinya, tak
sempat mereka mengurus "ocehan" rakyat itu, maka tidak ada yang melarang ko-yauw itu.
Sin Tjie punya barang-barang permata sepuluh peti besar, dengan diam-diam telah dijual
dijadikan uang kontan, uang itu telah dipecah di antara banyak kawan yang dapat
dipercaya, untuk disebar di antara tentara dan opsir-opsir yang bertanggung-jawab atas
penjagaan atau pembelaan kota, dengan begitu, sepak-terjang mereka jadi semakin
leluasa.
Besoknya, Sha-gwee Tjap-pwee, yaitu bulan tiga tanggal delapan-belas, Sin Tjie bersama
Tjeng Tjeng, Ho Tek Sioe, Thia Tjeng Tiok dan See Thian Kong beramai, dengan menyamar
sebagai serdadu-serdadu Beng Tiauw, telah pergi ke tembok kota, untuk memandang
keluar, hingga mereka bisa pandang tentara sukarela yang semua mengenakan seragam
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
warna kuning, jumlahnya semua mungkin beberapa ratus ribu jiwa, nampaknya bagaikan
awan kuning saja....
Dentuman meriam masih senantiasa terdengar, karena kota asik diserang terus. Di pihak
lain, pembelaan tentara pemerintah sudah kacau sekali, tak dapat mereka bertahan lama,
sedang mereka, yang sudah makan sogokan, memanah secara sembarangan saja. Maka
bisa diharap jatuhnya kota akan terjadi di sembarang waktu.
Sin Tjie semua menjadi girang, lekas-lekas mereka undurkan diri, untuk beri titah supaya
orang mulai melepas api di empat penjuru pintu kota, supaya penyerangan segera dimulai.
Malah rakyat melarat turut sambut aksi itu.
Begitulah, kota menjadi kacau.
Selagi orang bertempur seru dan berteriak-teriak, Sin Tjie lihat sepasukan serdadu asik
iringi satu thaykam yang mengenakan pakaian sulam, mereka itu berseru-seru untuk
membuka jalan. Di antara cahaya api terang-terang, pemuda kita segera kenali Tjo Hoa
Soen.
"Semua ikut aku!" ia berteriak. "Mari kita bekuk dorna itu!"
Ho Tek Sioe dan Thie Lo Han segera mendahului membuka jalan, semua lantas memburu,
untuk menyerbu. Tentu saja pasukan serdadu pengiring itu tak dapat bertahan terhadap
rombongan orang gagah ini.
Tjo Hoa Soen tampak gelagat buruk, dia putar kudanya, untuk kabur.
Akan tetapi Sin Tjie sudah datang dekat, dengan satu lompatan pesat, anak muda ini
sambar thaykam itu, untuk digusur turun dari kudanya.
Tjo Thaykam kenali ini anak muda, dia kaget dan ketakutan.
"Kau hendak pergi kemana?" Sin Tjie membentak.
"Sri Baginda titahkan siauwdjin pimpin perlawanan di Tjiang-gie-moei!" sahut thaykam itu
dengan suara tak tegas.
Thaykam ini segera diiringi sampai di atas pintu kota yang disebutkan itu, mereka naik ke
atas tembok, hingga, memandang ke luar kota, mereka bisa tampak pasukan perang
sukarela.
Dengan senantiasa diiringi sebuah bendera besar, satu orang yang memakai tudung yang
lebar, yang duduk atas seekor kuda hitam, mundar-mandir dengan kuda tunggangannya
itu, memimpin penyerangan. Dia adalah Giam-Ong Lie Tjoe Seng!
"Lekas buka pintu kota, sambut Giam Ong!" Sin Tjie berseru sambil ia cekal keras Tjo
Thaykam, hingga dia ini kesakitan hampir pingsan.
Tjo Hoa Soen insaf, ia telah berada di tangan orang, tidak berani ia melakukan perlawanan.
Ia juga lihat buruknya suasana, yang tidak dapat ditolong lagi, maka sebagai seorang licik,
segera ia dapat pikiran, kalau sekarang ia tukar haluan, dengan menyambut junjungan
yang baru, mungkin ia nanti dapat hadiah. Maka itu, tidak ayal lagi, ia lantas berikan
titahnya untuk pentang pintu kota!
Sambil bersorak-ramai, tentara Giam Ong meluruk ke pintu kota, untuk menerjang ke
dalam.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Sin Tjie gunai ketikanya itu akan ikut tentara Beng Tiauw yang kalah lari masuk ke kotadalam,
dimana pasukan pembela kota ada berjumlah besar, hingga dengan datangnya
pasukan dari luar ini, kota-dalam menjadi seperti penuh-sesak.
Ketika itu, cuaca sudah mulai gelap.
Di luar kota, tentara sukarela telah bunyikan gembreng, untuk tunda penyerangan, buat
mereka beristirahat.
Dalam waktu kalut itu, Sin Tjie beramai dengan diam-diam nyeplos pulang ke rumah
mereka, tidak ada opsir atau tentara Beng Tiauw yang perhatikan mereka, sebab mereka
itu masih terlalu sibuk sendiri.
Sesampainya di rumah, Sin Tjie beramai salin pakaian mereka yang berlepotan darah,
mereka lantas duduk bersantap, habis itu mereka naik ke genteng, untuk memandang ke
sekeliling tempat. Di segala penjuru kelihatan api terang-terang.
"Besok pagi pastilah kota-dalam bakal terpukul pecah, maka sebentar malam ada saatnya
untuk aku mencari balas dengan tanganku sendiri!" kata Sin Tjie.
Orang tahu pemuda ini hendak membunuh kaisar Tjong Tjeng.
"Kita hendak turut!" kata kawan-kawan itu.
"Saudara-saudara sudah bercape-lelah satu harian, malam ini pantas kamu beristirahat,"
Sin Tjie bilang. "Besok pun masih banyak kerjaan penting yang mesti dilakukan. Dalam
waktu kacau sebagai ini, penjagaan di istana tentunya longgar, untuk membunuh raja ada
pekerjaan segebrak saja, dari itu, cukup aku bekerja sendiri!"
Orang anggap dugaan pemimpin ini beralasan, mereka tidak memaksa hendak mengikut.
Sin Tjie lantas minta Tjeng Tjeng pasang lilin dan hio, ia masuk, lengpay dengan hurufhuruf
"Sian-koen Peng-pou Siang-sie Tjie Liauw Tok-swee Wan", yang berarti "Almarhum
ayahanda Wan Tjong Hoan, Peng-pou Siang-sie merangkap jenderal yang berperang di
tanah Liauw". ("Peng-pou Siang-sie" berarti "menteri peperangan.)
Pemuda ini hendak siapkan meja abu, untuk sebentar, setelah mengutungi batang leher
kaisar Tjong Tjeng, ia hendak bawa kepala musuh itu untuk dipakai bersembahyang,
terhadap roh ayahnya almarhum itu. Iapun sudah rencanakan, habis sembahyang ia
hendak bawa kepala raja itu akan ditunjuki kepada tentara kerajaan, supaya mereka itu jadi
kaget, takut dan buyar.
Apabila temponya sudah sampai, dengan bekal sebuah kantong kulit, dengan bekal
sepotong golok panjang, seorang diri Sin Tjie pergi ke arah istana kaisar.
Api terang di mana-mana, dalam saat kacau-balau itu, opsir-opsir dan tentara Beng, yang
kabur dari hadapan musuh, menggunai ketika untuk menggarong rakyat.
Sin Tjie tidak sempat perhatikan kekacauan itu, ia menuju langsung ke istana. Kapan
akhirnya ia sampai, ia menjadi heran. Istana sepi dan kosong, tidak ada serdadu
penjaganya, tidak tertampak orang-orang kebiri. Mungkin semua mereka itu sudah angkat
kaki.
"Jikalau kaisar buron atau sembunyi, sia-sia usahaku ini...." Pikir pemuda kita, yang
hatinya terasa seperti mencelos. Tapi ia lari ke arah keraton. Baru ia sampai di muka pintu,
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
ia sudah dengar suara nyaring dari seorang perempuan, yang sedang menegur hebat. Ia
hampirkan pintu, untuk mengintai ke dalam. Begitu ia mendapat lihat, ia jadi girang luar
biasa.
Kaisar Tjong Tjeng sedang duduk di atas sebuah kursi, di depannya ada seorang wanita
dengan dandanan sebagai permaisuri sedang menuding-nuding seraya perdengarkan
suaranya yang nyaring dan keras itu.
"Sudah semenjak belasan tahun, asal kau suka dengar sedikit beberapa kata-kataku, tidak
nanti kejadian seperti hari ini! Kau telah bikin kuil leluhur dan negara terjatuh ke dalam
tangan pemberontak, mana kau punya muka akan menemui leluhurmu?"
Demikian permaisuri itu.
Raja tunduk, dia berdiam saja.
Habis itu, sambil menangis dengan menutupi muka, permaisuri lari ke dalam.
Baru Sin Tjie hendak tolak pintu, untuk menerjang masuk, ia lihat munculnya satu
bajangan dari arah samping, bajangan mana merupakan satu nona rupawan yang
menyekal pedang.
"Hoe-hong, keadaan sudah mendesak, mari lekas pergi dari istana!" demikian nona itu
sesampainya ia di depan raja.
Sin Tjie segera kenali Tiang Peng Kiongtjoe atau A Kioe hingga hatinya jadi bercekat.
"Ong Kong-kong, tolong kau layani Sri Baginda," kemudian kata si nona, pada satu
thaykam yang berada di damping raja.
Thaykam itu, Ong Sin In namanya, lantas mengucurkan air mata.
"Baik, kiongtjoe thianhee," sahutnya. "Silakan, thianhee pergi bersama-sama..."
"Tidak," sahut A Kioe. "Aku masih hendak berdiam di sini buat sekian waktu."
"Kota Terlarang segera bakal pecah, dengan berdiam di dalam keraton ini, nanti thianhee
terancam bahaya," membujuk orang kebiri itu.
"Aku hendak tunggu satu orang," tuan puteri bilang.
Wajahnya kaisar berubah.
"Kau hendak tunggu puteranya Wan Tjong Hoan?" tanya dia.
Mukanya A Kioe menjadi merah.
"Tidak salah!" jawabnya. "Hari ini sin-djie hendak berpisah dari hoe-hong..."
"Sin-djie" berarti "aku" untuk anak raja terhadap ayahnya.
"Mau apa kau menantikan dia?" Tjong Tjeng tanya pula.
"Dia telah janjikan aku, sebentar dia bakal datang."
"Coba kasikan pedang itu padaku," kata raja pula.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
A Kioe angsurkan pedangnya.
Raja sambuti pedang itu, pedang Kim Tjoa Kiam, mendadak saja sinarnya, yang hitam,
berkelebat, lantas ujung pedang menyambar kepada A Kioe.
Tiang Peng Kiongtjoe menjerit kaget, tubuhnya limbung.
Sin Tjie kaget. Tidak ia sangka kaisar berlaku demikian kejam terhadap puterinya sendiri.
Ia teraling dengan pintu, jarak di antara mereka pun masih cukup jauh, tidak bisa ia lompat
untuk mencegah atau menolongi tuan puteri itu. Ia Baru sampai di tengah jalan, A Kioe
sudah rubuh!
Masih kaisar hendak ulangi bacokannya, akan tetapi sekarang si anak muda sempat
berlompat kepadanya, sebelum bacokan pedang turun, tangan kirinya Sin Tjie sudah
menotok tangan kanan raja yang memegang pedang itu, hingga pedang lantas terlepas.
Dengan kesebatannya, dengan tangan kiri masih menyekal lengannya kaisar, dengan
tangan kanannya, Sin Tjie sambar Kim Tjoa Kiam.
Kapan ini anak muda ambil kesempatan, akan menoleh kepada A Kioe, tuan puteri itu
rebah dengan mandi darah, bahu kirinya telah terbacok putus, maka itu, ia gusar bukan
main.
"Hoen-koen!" berteriak dia. "Kau telah aniaya ayahku, sekarang aku ambil jiwamu!"
"Hoen-koen" ada cacian: "raja yang gelap pikiran".
Tjong Tjeng kenali Sin Tjie, ia lantas menghela napas.
"Kau benar," katanya. "Aku telah rusaki negara, sekarang aku menyesal, sudah kasip.....
Kau turunilah tanganmu!"
Raja ini lantas tutup rapat kedua matanya.
Dua thaykam lompat, untuk tarik Sin Tjie, tetapi mereka disambut dengan dua tendangan
saling-susul, hingga mereka rubuh terbanting.
Sin Tjie ayun tangan kanannya, justru itu A Kioe membuka matanya, kapan nona ini lihat
keadaan mengancam itu, ia lompat bangun, segera ia tubruk ayahnya, untuk dipeluki.
"Jikalau kau hendak bunuh hoe-hong, bunuh aku lebih dahulu!" katanya. Dengan mata
guram dan roman lesu, nona ini awasi anak muda di depannya itu. Tapi tak lama ia bisa
peluki ayahnya, ia pingsan dan rubuh.
Tidak tega Sin Tjie akan lihat puteri itu bermandikan darah. Dia tolak tubuh kaisar sampai
Tjong Tjeng terjengkang dari kursinyadan rubuh, lantas ia membungkuk, untuk peluk A
Kioe, untuk terus totok pundak kirinya, seluruh bebokongnya juga, guna cegah darah
mengalir terus. Dan selagi darah keluar hanya dengan pelahan, ia keluarkan obat luka
yang ia bekal, untuk diborehkan di tempat yang terluka, sesudah mana, dengan robekan
ujung baju, ia balut luka itu.
Dengan pelahan-lahan, A Kioe sadar akan dirinya.
Ong Sin In, dengan dibantu beberapa thaykam, lekas-lekas pimpin bangun junjungan
mereka, tidak tempo lagi, mereka ajak raja itu lari ke pintu.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
"Kemana kau hendak kabur?" membentak Sin Tjie, kapan ia lihat orang mencoba lari. Ia
lantas rebahkan tubuh A Kioe, untuk dilepaskan, buat ia memburu. Akan tetapi tuan puteri,
dengan sebelah tangannya, memeluk dengan keras, sambil menangis, dia ini kata:
"Jangan bunuh dia...... Jangan bunuh dia......"
"Baik!" jawab ini anak muda, yang pikir, raja itu toh tidak bakal mampu buron, sebab kotadalam
segera akan pecah. Ia pun sangat terharu terhadap puteri ini.
Hati A Kioe lega, kendorlah pelukannya, kembali ia pingsan.
Melihat kekacauan dan keraton boleh dibilang sudah kosong, hingga di situ A Kioe tidak
bakal dapat rawatan, Sin Tjie pikir baik ia bawa puteri ini pulang ke rumahnya. Ia ambil
putusan dengan lantas, terus ia pondong puteri itu, buat dibawa pulang.
Sudah kira-kira jam tiga ketika anak muda ini keluar dari keraton. Ia lihat cahaya terang di
pelbagai jurusan, ia dengar teriakan riuh dan tangisan menyedihkan dari sana-sini.
Teranglah, selagi kalah perang dan kabur, tentara Beng terus menggarong rakyat,
penduduk kota.
Kapan Sin Tjie sampai di Tjeng-tiauw-tjoe, di rumahnya, orang asik duduk menunggui dia.
Orang terperanjat dan heran, akan lihat ia pulang sambil pondong seorang perempuan
yang bermandikan darah, malah Tjeng Tjeng lantas unjuk roman tidak puas. Akan tetapi ia
segera kenali A Kioe.
"Mana kepala raja?" ia tanya.
"Aku tidak bunuh dia." Sin Tjie jawab. "Nona Tjiauw, tolong kau capekan hati lagi untuk
merawat dia ini."
Wan Djie bersiap-sedia, ia lantas gantikan pondong A Kioe, untuk dibawa ke dalam.
"Kenapa kau tidak bunuh raja?" Tjeng Tjeng tanya Sin Tjie.
Si anak muda menunjuk ke dalam.
"Dia minta aku jangan membunuhnya," ia menyahut.
"Dia? Dia siapa?" tanya Tjeng Tjeng, yang menjadi gusar. "Kenapa kau dengari perkataan
dia?"
Belum Sin Tjie sempat menjawab, Ho Tek Sioe sudah menyela.
"Nona demikian cantik, mengapa dia kutung sebelah tangannya?" kata Nona Ho ini sambil
tertawa. "Soehoe, mana lukisan gambar? Apakah kau tidak bawa sekali?"
Sin Tjie kedipi mata kepada muridnya yang nakal itu.
Sebenarnya Tek Sioe masih hendak mengganggu, tetapi melihat roman sang guru, dan
menampak sikapnya Tjeng Tjeng, ia batal, ia ulur lidahnya, terus ia tutup mulut.
"Gambar apa itu?" Tjeng Tjeng tanya Tek Sioe.
"Nona tadi pandai menggambar," nona Ho jawab. "Aku pernah lihat dia melukis gambar
dirinya sendiri, bagus sekali."
"Apakah benar itu?" tegasi Tjeng Tjeng, matanya melotot. Tapi tanpa tunggu jawaban, ia
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
ngeloyor ke dalam.
Tek Sioe menoleh kepada Sin Tjie, ia leletkan lidahnya pula....
Anak muda kita lantas pergi ke kamarnya, untuk beristirahat. Ia merasa sangat pusing.
Kapan sang fajar datang, Ang Seng Hay lari masuk.
"Wan Siangkong, See Tjeetjoe telah dapat tawan thaykam Ong Siauw Giauw," ia
melaporkan. "Tentara telah dipimpin untuk buka pintu Soan-boe-moei!"
Sin Tjie lompat bangun.
"Apakah pasukan sukarela sudah memasuki kota-dalam?" dia tanya.
"Pasukan Tjiangkoen Lauw Tjong Bin sudah masuk," jawab Seng Hay.
"Bagus! Mari kita menyambut!"
Setelah berkata begitu, pemuda ini pergi ke thia.
"Soehoe jangan kuatir," Tek Sioe bilang pada gurunya. "Aku nanti urus mereka itu."
Sin Tjie manggut. Murid ini maksudkan Tjeng Tjeng semua.
Thia Tjeng Tiok ada bekas siewie, malah dia ada pemimpin pahlawan dari kaisar Tjong
Tjeng, karenanya, ia tidak mau campur tahu dalam sepak-terjangnya Sin Tjie menyambut
datangnya Giam Ong. Malah paling belakang ini, ia keram diri di dalam kamar, ia tidak mau
tanya segala apa, ia tidak mau dengar apa-apa juga. Sin Tjie tahu jago itu masih ingat
bekas junjungannya, ia tidak bilang suatu apa, ia membiarkan saja ketua dari Tjeng Tiok
Pay itu.
Sampai itu waktu, See Thian Kong dan Thie Lo Han masih belum kembali, anak muda ini
lantas ajak A Pa, Ouw Koei Lam dan Seng Hay pergi ke pintu Tay-beng-moei. Di jalanan ia
lihat awan mendung berkumpul, salju putih beterbangan turun. Serdadu-serdadu masih
saja lari serabutan, sedang di antara rakyat ada yang berseru: "Pintu Tjeng-yang-moei,
Tjee-hoa-moei, Tong-tit-moei, semua sudah dipukul pecah!"
Semakin jauh Sin Tjie jalan, makin berkurang serdadu yang merat.
Sekarang Sin Tjie lihat orang pada berdiri di muka pintu rumahnya masing-masing, di atas
pintunya, mereka tempelkan kertas kuning dengan huruf-huruf memujikan selamat kepada
pemerintah yang baru. Semua penduduk itu berseru-seru kegirangan, malah ada yang
sajikan barang makanan di depan pintu, untuk jamu tentara sukarela.
"Rakyat ada begini bersimpati, bagaimana Giam Ong tidak akan berhasil!" kata Sin Tjie
pada tiga kawannya. Mereka jalan terus, sampai mereka dengar suara trompet ramai,
lantas tampak mendatangi sebarisan dari beberapa ribu orang, di muka barisan kelihatan
See Thian Kong bersama Thie Lo Han. Mereka inilah yang pimpin pasukan pejuang di
dalam kota, untuk labrak sesuatu barisan Beng, sampai musuh terpukul hancur dan buyar.
Kapan pasukan tentara itu lihat si anak muda, mereka bertampik-sorak.
"Giam Ong segera akan datang!" Thie Lo Han berseru.
Hampir menyusul seruan imam ini, dari arah depan kelihatan mendatangi sambil berlariKang
Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
lari beberapa penunggang kuda, satu di antaranya membawa sebuah bendera besar
dengan huruf-huruf "Tjie-Tjiangkoen Lie" yang berarti "Lie, pejabat Jenderal".
Dan selagi beberapa penunggang kuda itu mendatangi lebih dekat, Sin Tjie lihat Lie Gam,
pejabat jenderal itu, dengan jubah kuningnya, kudanya dikaburkan.
"Toako!" ia berseru memanggil, sambil ia berlompat ke depan kuda, untuk memapaki.
Lie Gam tercengang, tetapi sekejab saja, iapun sudah lantas loncat turun dari kudanya.
"Djie-tee!" seru dia sambil tertawa. "Kaulah yang berjasa nomor satu atas pecahnya kota!"
"Jasa apa yang siauwtee punyakan?" Sin Tjie bilang. "Begitu lekas sampai pasukan besar
dari Giam Ong, tentara Beng bubar sendirinya."
Dua sahabat ini saling jabat tangan.
Pertemuan yang menggirangkan juga dilakukan dengan beberapa penunggang kuda lain,
yang datang bersama Tjie-tjiangkoen Lie Gam ini, karena mereka ada Lauw It Houw dari
Lauw Ya San, Tjoei Tjioe San, Tjoei Hie Bin, juga An Toa Nio dan An Siauw Hoei, jadi
semua ada sahabat-sahabat kekal, apapula Tjioe San, guru pertama dari Sin Tjie.
Selagi mereka bergembira sekali, mereka dengar suara terompet, yang disusul sama
seruannya pasukan tentara. "Tay-ong sampai! Tay-ong sampai!"
Dengan "Tay-ong" yaitu "Raja besar" dimaksudkan Giam Ong.
Sin Tjie semua menyingkir ke tepi jalanan, dari situ mereka lihat datangnya sebarisan dari
seratus lebih penunggang kuda, di sebelah depan, dengan menunggang kuda bulu hitam,
ada Lie Tjoe Seng yang memakai tudung lebar dan jubah hijau muda, yang mendatangi
dari pintu Tek-seng-moei.
Lie Gam maju, untuk papaki pemimpinnya itu, dengan siapa ia ucapkan beberapa patah
kata.
"Bagus! Silakan undang saudara Wan kemari!" berkata pemimpin besar itu.
Lie Gam melambaikan Sin Tjie, ini anak muda bertindak maju menghampirkan.
"Saudara Wan, kau telah dirikan jasa besar!" kata pemimpin itu sambil tertawa. "Apakah
kau tidak punya kuda?"
Lie Tjoe Seng terus lompat turun, akan serahkan kudanya sendiri pada orang yang
dianggap berjasa besar itu.
Sin Tjie menjura menghaturkan terima kasihnya.
Semua orang gembira sekali, mereka berseru "Ban-swee!"
Lie Tjoe Seng menukar kuda lain, lantas ia ajak semua orang mulai jalan lagi, menuju ke
pintu Sin-thian-moei. Selagi jalan, ia menoleh pada Sin Tjie, sembari tertawa, dia kata:
"Kau menyambungi semangat ayahmu, aku menyambungi karunia Thian!"
Namanya Sin Tjie dapat diartikan: "Sin" = "menyambungi/menerima" dan "Tjie" =
"Semangat/angan-angan". Dan "menyambungi karunia Thian" adalah "Sin Thian". ("Thian"
dimaksudkan "Tuhan").
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Setelah berkata demikian, Giam Ong tarik busurnya, membidik ke atas, maka melesatlah
sebatang gandewanya, menyambar tepat huruf "Thian" dari nama pintu kota "Sin-thianmoei"
di tembok kota!
Orang menjadi kagum , sebab kecuali gapah dan jitu, tenaga Giam Ong pun besar, anak
panah itu dapat nancap dalam sekali di tembok. Maka lagi sekali orang bertampik-sorak
riuh.
Sesampai mereka di muka pintu kota, di situ Thaykam Ong Tek Hoa menyambut bersama
tiga-ratus thaykam lainnya.
Giam Ong tertawa, ia lempar cambuknya.
"Saudara Wan," katanya pada Sin Tjie terhadap siapa ia berpaling, "ketika dahulu kau
pergi ke Siamsay dimana kau menemui aku, apa pernah kau pikir bakal terjadi seperti hari
ini?"
"Tay-ong bakal berhasil dengan usaha yang besar, semua orang pandai di kolong langit
sudah mengetahuinya sejak siang-siang," jawab Sin Tjie, "akan tetapi sekali-kali tidak ada
orang dapat pikir kejadiannya ada begini lekas!"
Lie Tjoe Seng bertepuk tangan, ia tertawa pula.
Itu waktu ada orang berlari-lari ke depan Giam Ong, untuk segera melaporkan: "Tay-ong,
ada satu thaykam memberitahukan bahwa dia lihat kaisar Tjong Tjeng lari ke bukit Bwee
San!"
Giam Ong memandang Sin Tjie.
"Saudara Wan, pergi lekas bawa orang untuk tawan dia!" ia titahkan.
Sin Tjie terima titah itu sambil menyahuti "Ya", lalu dengan ulapkan tangan, ia ajak Ouw
Koei Lam beramai pergi memburu ke Bwee San.
Bwee San ada satu bukit kecil, kapan rombongannya Sin Tjie sampai di atas bukit itu,
semua mereka terperanjat. Di situ, pada sebuah pohon besar, tergantung tubuhnya dua
orang, satu di antaranya riap-riapan rambutnya, bajunya baju biru pendek dengan garis
putih, rompinya dari sutera putih, celananya putih juga, kaki kirinya telanjang, kaki
kanannya pakai sepatu merah berikut kaosnya.
Setelah Sin Tjie datang dekat, ia kenali yang rambutnya riap-riapan itu ada Tjong Tjeng,
kaisar terakhir dari Kerajaan Beng. Pada bajunya kaisar ini ada tulisan memakai darah
sebagai berikut:
"Sejak tim naik atas tahta-kerajaan, tujuh-belas tahun telah lampau, selama itu, empat kali
musuh telah menyerbu masuk ke dalam perbatasan, hingga sekarang ini pemberontak
mendesak sampai di kota raja. Walaupun tim tidak bijaksana akan tetapi sebenarnya
adalah menteri-menteri yang telah menyesatkan tim. Sekarang ini, meskipun tim mati, tim
tidak punya muka untuk bertemu sama leluhurku di dunia baka, maka itu tim singkirkan
kopiaku, tim tutupi muka dengan rambutku. Biarlah kaum pemberontak cincang mayat tim
tetapi janganlah bikin celaka kendati satu saja rakyat negeri."
Membaca firman wasiat itu, Sin Tjie jadi sangat terharu, ia berduka sekali. Dua puluh tahun
ia mendendam sakit hati, sekarang ia dapat membalasnya, itu adalah hal yang
menggirangkan, siapa nyanya, ia mesti saksikan akhir yang menyedihkan ini dari musuh
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
besarnya. Ia menghela napas.
"Sekaranglah kau bisa menulis begini macam," kata dia. "Kau memesan untuk kami
jangan bikin celaka sekalipun jiwanya seorang rakyat jelata. Coba sejak dahulu kau
menyayangi rakyat, coba kau tidak tindas rakyat sampai mereka kelaparan dan tak
berdaya, mana mungkin bisa terjadi seperti hari ini?"
"Wan Siangkong, orang yang satunya lagi ada satu thaykam," Ang Seng Hay kasi tahu.
"Satu raja mati cuma dengan ditemani satu thaykam, ini dia yang dibilang, tanah ambruk,
genteng hancur, semua orang berbalik, memisahkan dirinya," berkata Sin Tjie. "Sekarang,
Seng Hay, pergi kau singkirkan semua mayat ini, supaya tidak sampai diganggu orang."
Seng Hay menyahuti ia akan urus mayat itu, maka setelah itu, Sin Tjie ajak rombongannya
balik untuk memberi laporan pada Giam Ong.
Lie Tjoe Seng sendiri sudah menuju ke istana, disana ada serdadu-serdadu pihaknya,
yang menjaga, mereka menyambut, untuk mengantari masuk ke dalam.
Kapan kemudian Sin Tjie masuk ke istana, ia dapatkan Giam Ong sedang duduk di kursi
dengan seorang anak muda yang pakaiannya tidak rapi berdiri di sampingnya.
"Bagus, saudara Wan!" kata pemimpin itu apabila ia lihat si anak muda. "Mana raja? Bawa
dia menghadap!"
"Tjong Tjeng telah mati gantung diri," Sin Tjie kasi tahu. "Inilah surat wasiatnya."
Lie Tjoe Seng tercengang, tapi kemudian, ia sambuti surat wasiat itu, untuk dibaca.
Mendengar hal raja mati, si anak muda dengan pakaian kusut itu menangis menggerunggerung,
hampir saja ia pingsan.
"Inilah thaytjoe!" kata Giam Ong pada Sin Tjie.
"Oh," kata si anak muda, yang lantas mengasih bangun pada thaytjoe - putera mahkota
itu.
"Kenapa kau kehilangan negaramu? Kau tahu tidak sebabnya?" Giam Ong tanya putera
raja itu.
"Sebab hoe-hong keliru mempercayai dorna Tjioe Yan Djie dan lainnya," jawab thaytjoe.
"Aku juga ketahui itu," kata Giam Ong sambil tertawa. Tapi ketika ia menambahkan, ia
hunjuk roman keren: "Aku kasih tahu padamu, ayahanda-rajamu tolol dan kejam, dia
sudah membuat rakyat hidup bersengsara! Memang harus dibuat sedih yang ayahandamu
hari ini telah mati gantung diri, akan tetapi selama tujuh-belas tahun pemerintahannya,
setahu sudah berapa ribu, beberapa laksa anak negeri yang dia paksa mati menggantung
diri, nasib mereka itu lebih-lebih hebat dan menyedihkan."
Thaytjoe tunduk, ia tidak bilang suatu apa. Akan tetapi, selang sedikit lama, ia kata:
"Sekarang baik kau bunuhlah aku!"
Sin Tjie tidak nyana putera ini berhati keras, ia jadi kuatirkan keselamatan dirinya.
Tetapi Giam Ong bilang: "Kau masih anak-anak, kau tidak punya dosa, mana bisa aku
sembarang bunuh orang?"
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
"Kalau begitu, aku hendak majukan beberapa permohonan," kata putera raja itu.
"Coba sebutkan, aku ingin dengar," Giam Ong jawab.
"Aku minta kau jangan ganggu kuburannya leluhurku, supaya kau juga kubur baik-baik
jenazah hoe-hong dan boe-houw," minta thaytjoe. Ia masih ingat kepada ayahnya dan
ibunda-raja.
"Itulah pasti. Tentang itu tak usah kau minta."
"Di sebelah itu, aku minta kau jangan bunuh-bunuhi rakyat."
Giam Ong tertawa berkakakan.
"Bocah tak tahu apa-apa! Aku justru ada si rakyat jelata! Adalah kami rakyat jelata yang
pukul pecah kota-rajamu ini! Kau mengerti tidak?"
"Jadinya kamu tidak membunuh rakyat?" thaytjoe tegasi.
Giam Ong lantas buka bajunya, akan perlihatkan dada dan pundaknya yang penuh tandatanda
bekas hujan cambukan.
Melihat tanda-tanda bekas siksaan itu, orang semua gegetun.
Lie Tjoe Seng lantas kata: "Aku juga ada rakyat jelata yang taat terhadap undang-undang,
akan tetapi pembesar jahat sudah siksa aku, aku pernah dipukuli, hingga saking habis
daya, terpaksa aku berontak. Ayahmu itu, - hm!- dan juga kau sendiri, kamu berpura-pura
saja menyayangi rakyat, buktinya tentara kita, dari yang berpangkat tinggi sampai serdadu
biasa, tidak ada satu yang tidak pernah merasai siksaanmu!"
Thaytjoe tunduk pula, ia berdiam.
Lie Tjoe Seng pakai pula bajunya.
"Sekarang pergi kau mundur," ia menitahkan. "Mengingat kau adalah putera mahkota aku
angkat kau menjadi pangeran. Dengan begini aku hendak hunjuk kepadamu, kami rakyat
jelata, kami tidak mendendam sakit hati! Pangeran apa aku hendak angkat kau? Karena
ayahmu persembahkan negaranya kepada kami, sekarang aku angkat kau jadi pangeran
Song-ong."
Huruf "Song" dari Song-ong itu sama suara-bacanya dengan huruf "song" = "mengantar".
Bersama thaytjoe itu ada Thaykam Tjo Hoa Soen.
"Lekas kau haturkan terima kasih kepada Sri Baginda," ia ajari putera mahkota.
Thaytjoe menoleh, ia memandang dengan bengis pada orang kebiri itu. Dengan mendadak
saja sebelah tangannya melayang, ke mukanya thaykam she Tjo itu.
"Plok!" demikian suara nyaring, yang menyusuli gaplokan itu. Lalu di pipinya sang
thaykam menggalang tapak lima jari tangannya si putera mahkota.
Giam Ong tertawa terbahak-bahak.
"Bagus!" serunya. "Dia ada orang tidak setia dan tidak berbudi, bagus dia dihajar! Mana
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
orang? Gusur dia keluar, penggal batang lehernya!"
Tjo Hoa Soen kaget tidak terkira, mukanya pucat dengan mendadakan, terus ia rubuhkan
diri, akan berlutut di depan pemimpin rakyat itu. Ia manggut berulang-ulang, sampai
jidatnya mengenai lantai dan boboran darah. Dengan sangat ia mohon dikasihani.
Giam Ong tak gubris orang itu; ia tendang orang kebiri itu, sampai dia terguling kemudian
ia titahkan orangnya hukum mati thaykam jahat itu.
Thaytjoe sendiri, dengan sikap agung, bertindak keluar.
"Ini anak berhati keras, aku suka orang yang bersifat sebagai dia," kata Giam Ong sambil
tertawa pada Sin Tjie. Terus ia menoleh ke samping, pada Koensoe Song Hian Tjek, ahli
pemikirannya yang tubuhnya kate. Ia kata: "Kabarnya kaisar Tjong Tjeng ada punya
seorang puteri, entah ada di mana puteri itu."
"Kaisar Tjong Tjeng telah bacok kutung sebelah lengannya puteri itu, aku bawa dia pulang
untuk dirawat," Sin Tjie wakilkan sang ahli pemikir menjawab. "Kalau nanti dia sudah
sembuh, aku nanti bawa ia menghadap Tay-ong."
"Bagus, bagus!" Giam Ong tertawa. "Jasamu tidak kecil, aku justru lagi pikiri dengan apa
aku mesti hadiahkan kau. Nah, kau ambillah puteri raja itu untukmu!"
Sin Tjie terkejut.
"Tidak, tidak, itulah....." katanya.
"Saudara Wan, malu apa? kata Song Hian Tjek, yang potong kata-katanya anak muda ini.
"Memang benar, satu enghiong mestilah satu orang muda! Lauw Tjiangkoen dan lainnya
juga berjasa besar akan tetapi Tay-ong cuma hadiahkan mereka beberapa dayang."
Ahli pemikir ini bicara sambil tertawa, bagi Sin Tjie, sikap dan perkataannya, ada
mengandung sindiran, maka itu, ia mengawasinya dengan melengak. Ia lihat orang
bertubuh tinggi tidak tiga kaki, malah kaki kanannya lebih pendek dari kaki kirinya, hingga
tubuhnya dia itu menjadi dengdek, miring sebelah.... Untuk tunjang diri, koensoe ini
pegangi sebatang tongkat. Dia pun mempunyai muka gepeng dan panjang, romannya
sangat licin, suatu tanda dari kecerdikannya. Dia masih bersenyum-senyum waktu dia
terus awasi padanya.
Justeru itu waktu, Lie Gam datang dengan cara kesusu sekali.
"Tay-ong!" katanya begitu ia sudah datang dekat, "Lauw Tjiangkoen beramai sedang
mengacau tak keruan!"
"Ada kejadian apakah?" tanya Lie Tjoe Seng.
"Mereka telah tangkap-tangkapi sejumlah pembesar dan hartawan, mereka siksa orangorang
itu, untuk peras uangnya," sahut Lie Gam. "Katanya sudah tidak sedikit orang yang
mereka bunuh."
Mendengar ini, Koensoe Song Hian Tjek tertawa. Ia mendahului tayongnya bicara. Ia
bilang: "Mereka itu telah berperang mati-matian, mereka rampas negara sesudah
mengadu-jiwa, sekarang mereka lagi membikin uang, itulah tidak apa...."
Lie Gam tidak puas dengan kata-kata ini, ia gusar.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
"Tidak demikian!" katanya. "Kanglam masih belum dapat dibikin tetap, Gouw Sam Koei di
San-hay-kwan masih belum menakluk, selagi hati umum masih belum tenang, bagaimana
orang-orang yang mengepalai tentara bisa memikir untuk mengumpul uang? Apakah
artinya itu?"
"Kenapa sih kalau orang mengumpul uang?" kata pula Song Hian Tjek dengan tawar.
"Yang dikuatirkan adalah kalau orang terkena bujukan orang lain, lantas dia kandung
maksud jelek terhadap Tay-ong - itu Barulah jelek...."
Otot-otot di mukanya Lie Tjoe Seng bergerak-gerak sedikit, tanpa diingini, ia melirik
kepada Lie Gam.
Masih Lie Gam murka.
"Kami telah berhasil dengan usaha besar kami ini, bukankah itu disebabkan kami tahu hati
rakyat, hingga rakyat tunjang kita?" kata pula dia dengan keras.
Tidak enak hatinya Sin Tjie akan lihat orang berselisih. Ia bukannya orang lama dari Giam
Ong, tidak mau ia campur perselisihan itu. Maka ia lantas memberi hormat pada Giam
Ong, terus ia undurkan diri dari istana. Tidak lagi ia sempat bicarakan urusan hadiah
puteri raja itu. Ketika ia Baru keluar dari pintu istana, di depan ada seorang berlari-lari
kepadanya.
"Siauw-soesiok, aku cari kau dimana-mana!"
(Bersambung bab ke 24)
Orang itu memakai pakaian kasar dan sepatunya sepatu rumput, di bebokongnya ada
golok panjang, Sin Qe lantas kenali, dia adalah Cui Hie Bin, keponakannya Cui Ciu San.
"Ada apakah?" ia tanya pemuda itu.
Hie Bin tidak lantas menyahuti, ia hanya keluarkan sesampul surat dari sakunya, ia
haturkan itu kepada ini "paman cilik" (siauw susiok),
Sin Cie awasi surat itu, ia baca alamatnya, "Kepada murid-muridku!" ia kenali surat
gurunya, maka ia lantas menjura, habis itu ia menyambuti dengan kedua tangan nya.
Kemudian ia buka sampul itu, akan keluarkan suratnya untuk dibaca,
Guru itu menulis ringkas saja.
"Kami kaum Hoa San Pay mempunyai pesan turun menurun ialah sesuatu murid tak dapat
pangku pangkat di dalam pemerintahan Karena sekarang Giam Ong sudah berhasil
dengan pergerakannya yang besar, murid-murid kita pun sudah lakukan tugasnya, maka
sesuatu murid mesti lantas undurkan diri Nanti di malaman bulan purnama dari bulan
keempat kamu mesti berkumpul di puncak Hoa San.
Surat itu dibubuhkan tanda tangan dua huruf "Jin Ceng".
Sin Cie kaget
"Kalau begitu temponya rapat tidak ada satu bulan lagi kita mesti berangkat sekarang!"
kata dia.
"Memang, Pamanku juga hendak lantas berangkat," Hie Bin kasih tahu.
"Mari kita pulang!" Sin Cie mengajak
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Maka mereka berjalan dengan cepat
Begitu lekas Sin Cie memasuki gang di mana terletak rumahnya, ia dengar ramai suara
beradunya pelbagai alat senjata, ia juga dengar suara cacian, ia jadi kaget maka ia lantas
lari
Beberapa serdadu Beng kelihatan lari serabutan.
Tentara Beng Tiauw sudah buyar kenapa di sini masih ada lagi?" pemuda ini pikir.
ia lari semakin keras, hingga tibalah ia di depan rumahnya.
Di ambang pintu, Ho Tek Siu sedang labrak belasan serdadu Beng, yang berada di dalam
rumah yang nampaknya hendak nerobos keluar Untung untuk mereka ini mereka hanya
diancam saja, untuk dicegah lo!os, Kapan Tek Siu lihat gurunya datang, ia bersenyum ia
lantas lompat minggir
Maka serentak belasan serdadu peng itu lari keluar, saling tabrak hingga ada yang
ngusruk jatuh, sebentar saja tidak kelihatan bajangan mereka juga,
Selagi gurunya pandang dia, Tek Siu tertawa,
"Serdadu-serdadu Beng itu lihat rumah kita besar, mereka menyerang masuk untuk
menggarong!" katanya,
Sin Cie bersenyum,
"Syukur aku keburu pulang, kalau tidak celakalah mereka!" bilangnya,
"Bertiga mereka masuk ke dalam, justru mereka berpapasan dengan Ang Seng Hay, yang
mendatangi sambil berlari keras, mukanya pucat sekali romannya sangat tegang,
"Celaka! Celaka!" demikian teriakannya beru1ang-ulang,
"Ada apakah?" tanya Sin Cie yang menjadi kaget
Thia.... Thia... Thia Lo hucu...!" kata Seng Hay yang tak dapat bicara jelas,
Melihat demikian, Sin Cie serta yang lainnya segera memburu ke kamarnya Thia Ceng
Tiok, ketua dari Ceng Tiok Pay. Begitu sampai di dalam kamar, semua orang kaget tidak
terkira,
Thia Ceng Tiok berlutut dengan tubuh sudah menjadi mayat golok tajam mengkilap
nancap di dadanya,
Tangkap si pembunuh!" berteriak See Thian Kong yang menjadi gusar bukan kepa1ang.
Malah ia segera mendahului lompat keluar jendela,
Ouw Kui Lam Ho Tek Siu dan beberapa yang lain turut lompat keluar untuk susul si
pembunuh,
Sin Cie cari tahu napasnya Ceng Tiok hidungnya benar-benar napasnya ketua Ceng Tok
Pay itu sudah berhenti, malah tubuhnya pun sudah jadi dingin, Jadi dia telah menutup
mata sejak sekian lama, jadi kematiannya diketahui sesudah terlambat
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Kemudian anak muda itu perhatikan golok yang nancap di dada kawan itu. Di gagang
golok terikat selembar kertas yang ada tulisannya, terdiri hanya dari delapan huruf yang
artinya, "Hamba yang rendah mati bersama-sama Sri Baginda."
Surat peninggalan itu membuktikan Thia Ceng Tiok bukan mati dibunuh, dia hanya bunuh
diri berkorban untuk junjungannya, Rupanya bekas pahlawan raja ini telah lantas dengar
kematian dari kaisar Cong Ceng dan segera korbankan diri karenanya, untuk unjuki
kesetiaannya terhadap raja itu yang dia tetap cintai.
Tanpa merasa, saking terharu, Sin Cie meneteskan air mata. ia kagumi ketua dari Ceng
Tiok Pay ini yang tidak melupakan junjungannya walaupun dia telah diperlakukan tak
selayaknya oleh junjungan itu.
Lantas anak muda itu perintah orang susul See Thian Kong semua sambil berbareng
perintah orang lekas beli peti mati dan lainnya barang keperluan untuk urusan jenazahnya
Ceng Tiok,
Sebagai ketua dari Ceng Tiok Pay, jenazah Thian Ceng Tiok tidak dapat dirawat
sembarangan saja, akan tetapi suasana sedang kacau, terpaksa segala apa dilakukan
secara sederhana, Semua anggota Ceng Tiok Pay juga tidak dapat diberi kabar lagi Di itu
hari juga, jenazah dikubur dengan semua orang unjuk hormat mereka yang terakhir
Selama kerepotan mengurus jenazah itu, Ceng Ceng seorang saja yang tidak kelihatan
muncul Mulanya Sin Cie tidak menaruh perhatian adalah kemudian ia tanyakan Wan Jie.
"Mana Nona Hee?"
"Sudah sekian lama aku tidak lihat, nanti aku panggil dia," kata nona Ciauw yang lincah, ia
lantas pergi ke kamar Ceng Ceng, akan terus mengetok pintuk dengan perlahan, "Adik
Ceng, adik Ceng!" ia memanggil
Tidak ada jawaban,
Wan Jie ulangi ketokan pada pintu, ia pun memanggil berulang-ulang tetapi tetap tidak ada
jawaban, sampai Sin Cie datang sendiri Karena heran, anak muda ini tolak pintu yang
terus terbuka, Nyata kamar itu kosong, malah pakaian pedang dan abu ibunya si nona
telah bawa semua!
Setelah melengak sekian lama, Sin Cie coba memeriksa kamar itu, sampai di bawah bantal
ia dapatkan sepotong kertas yang ada tulisannya ringkas saja bunyinya.
"Karena sudah ada kim-kie giok yap, buat apa ada aku si orang rakyat jelata."
Kembali Sin Cie melongo sebab pikirannya kusut sekali ia mengerti kenapa Ceng Ceng
kabur sebab dia bercemburu terhadap A Kiu alias Tiang Peng Kong-cu. Kata "kim-kie giok
yap" itu - "cabang emas dan daun kumala" - berarti putri raja. ia menyesal untuk sifat
cupat dari nona itu yang masih tidak bisa mengatasi diri
"Adik Ceng, kelihatannya tetap kau belum mengerti aku," ia mengeluh di dalam hati ia pun
berkhawatir sekali ia langit "DuIu dia buron, hampir dia celaka di tangan orang asing,
sekarang dia kabur pu!a, selagi suasana begini keruh, Kemudian dia pergi?"
Duduk di atas pembaringan, Sin Cie berdiam saja,
Wan Jie heran, ia pergi keluar, untuk memberi kawan-kawannya maka orang lantas pada
masuk, antaranya ada yang menghiburkan, ada yang memberi pikiran,
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Wan Jie masih muda tetapi cerdas sekali
"Wan Siangkong," katanya "Sekarang ini tidak ada faedahnya akan kau berkhawatir atau
berduka saja, Nona Hee gagah, siapa berani main gila terhadapnya? Aku pikir baik urusan
jatuh begini waktunya rapat di gunung Hoa San sudah sangat mendesak, baik siangkong
segera berangkat bersama paman A Pa, enci Ho serta lainnya, Biar aku sendiri berdiam di
sini untuk rawat enci A Kiu, See Siokhu bersama Thie Losu, Ouw Siokhu dan semua orang
Kim Liong Pang pun akan tetap berdiam di sini untuk berikhtiar membantu cari nona Hee.
Kiia nanti kirim pemberitahuan ke seluruh tujuh propinsi supaya semua saudara nanti
tolong mencari juga serta memperhatikan nona Hee itu."
Sin Cie manggut-manggut mendengari nona Ciauw itu.
"Bagus pikiran kau, nona Ciauw," katanya. "Baik, aku nanti bekerja menuruti kau. Hanya
mengenai Tek Siu, aku pikir baik ia tidak usah turut, ia boleh berdiam saja sama kau di
sini. sekarang ini ia belum resmi menjadi anggota partai kami Hoa San Pay."
Kedua matanya Tck Siu bersinar kapan ia dengar perkataannya guru ini. Tadinya ia
hendak bicara, tetapi mendadakkan ia bata ikan itu, Tiba-tiba saja ia ingat Ceng Ceng juga
agaknya cemburui ia. jadi kalau ia ikut anak muda itu, si anak muda akan jadi kurang
merdeka. Akhirnya terus tutup mufut, ia melainkan bersenyum, Tetapi, di dalam hatinya ia
kata. "Kau tidak suka ajak aku pergi ke Hoa San, aku toh bisa pergi sendiri!"
Nona Ho ada bekas pemimpin Ngo Tok Kauw, ia sudah biasa ambil putusan scndiri, sudah
biasa ia bertindak sendirian, walaupun ia telah ubah haluan, masih ada sisa-sisa adatnya
ilu. Maka itu, setelah ambil putusan akan pergi seorang diri ke Hoa San, ia terus pikirkan
dayanya bagaimana agar ia bisa bertamu sama Couwspe, pemimpin dari Hoa San Pay.
Setelah bersiap, Sin Cie menghadap Tiong Ong untuk beritahukan maksud kepergian
berapat di Hoa San, untuk pamitan, ia juga ambil selamat berpisah dari Lic Gam.
Tiong Ong memberi persen banyak barang pcrmata, Tempo Sin Cie hendak menampik, Lie
Gam kcdipi mata padanya, maka ia lantas terima sambil menghaturkan terima kasih,
Kctika Lie Gam antar saudara ini keluar dari istana, ia menghela napas dan kata, "Saudara
kau telah berhasil lantas sekarang kau undurkan diri, inilah tindakan paling tepat Di sini
aku merasai gencetannya manusia rendah akan tetapi tak dapat aku meletaki jabatanku,
maka aku ingin pertaruhan jiwaku untuk membalas budinya Tiong 0ng...."
Wajahnya jenderal ini menjadi guram,
"Toako, jaga saja dirimu hati-hati," Sin Cie pesan, "Umpama kata kau menghadapi sesuatu
bahaya, meski juga aku berada jauh selaksa lie, pasti aku akan datang untuk
menyusulmu!"
Sambil linangan air mata, dua saudara angkat ini berpisahan,
Besoknya Sin Cie berangkat dengan menunggang kuda hitam hadiah dari Giam Ong
bersama ia turut A Pa si empe gagu, Cui Ciu San,. Cui Hie Bin, An Toa Nio, An Siauw Hui
dan Ang Seng Hay enam orang berikut Thay Wie dan Siauw Koay, kedua binatang
piaraannya, Mereka ambil tujuan Barat, menuju ke Hoa San. Mereka menunggang kuda
pilihan, maka itu dengan lekas mereka telah sampai di Wan-peng dimana mereka singgah
di holcl, untuk beristirahat
Besoknya pagi habis bersantap dengan matanya yang awas, Seng Hay lihat seekor
kalajengking dan seekor kelabang di pojok tembok, dipantek dengan paku, ia bercckat
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
hati, segera ia tarik ujung baju Sin Cie untuk kisiki majikan ini,
Kapan si anak muda saksikan dua ekor binatang berbusa itu diam-diam ia manggut ia
mengerti, dua binatang itu mesti ada hubungannya sama Ngo Tok Kauw, maka ia sayangi
Ho Tek Siu tidak turut bersama, kalau tidak tentulah murid itu bisa memberi penjelasan
Seng Hay cerdik, ia dekati jongos untuk diajak bicara hal yang tidak ada kepentingannya,
setelah mana, ia tunjuk kala dan kelabang itu sambit kata, "Dua binatang berbisa di
tembok itu tentulah dipantek oleh beberapa orang yang berbicara dengan lidah Selatan?"
Sang jongos tidak curiga, malah ketika ia menJawab, ia tertawa,
"Jikalau tidak karena telah dapat uang ingin aku buang saja dua makhluk jahat itu. S
unggun menyebalkan." demikian jawabnya, ia tekuk-tekuk jarinya, "Bclum sampai dua
hari, orang-orang yang menanyakan itu seperti kau tuan ada belasan banyaknya!"
"Srapa sebenarnya yang telah pantek binatang itu?"
"Seorang pengemis wanita tua!"
Seng Hay segera lirik Sin Cie.
"Siapa saja yang telah menanyakannya?" tanya dia sambil dia scsapkan sepotong perak
hancur di tangannya
si jongos,
"Kalau bukan segala tukang minta-minta tentu segala orang tidak karuan!" sahut jongos
itu sambil tertawa, "Aku tidak sangka, tuan kau pun menanyakannya! Ah, kau upahi
aku...."
"Ketika si uwa pantek paku itu, siapa saja yang melihat dia?" Sin Cie turut menanya.
"ltu hari sungguh kebetulan!" berkata si jongos.
"Mulanya satu siangkong muda dan cakap, yang minum arak sendirian saja"
"Beberapa usianya siangkong itu? Bagaimana dandanannya?"
"Nampaknya dia lebih muda sedikit daripada kau siangkong. Dia demikian cakap hingga
tadinya aku menyangka kepada anak wayang, Setelah dilihat pedang di pinggangnya, baru
aku ubah dugaanku itu. Dia seperti lagi kematian sanaknya, mukanya lesu, sepasang
alisnya mengkerut, Dia minum arak akan tetapi kedua matanya merah, Melihat dia, orang
bisa merasa kasihan...."
Orang segera menduga pada Ceng Ceng.
"Eh, kau jangan omong sembarangan!" Hi'e Bin menegur ia anggap sial akan sebut Ceng
Ceng kematian orang di rumahnya...."
Kaget jongos itu tapi ia terus susuti meja.
"Apakah tuan-tuan hendak berangkat sekarang?" dia tanya,
"Habis bagaimana?" Sin Cie masih tanya.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Jongos itu masih melirik pada Hie Bin, baru ia menyahut "Selagi siangkong itu minum, aku
dengar tindakan kaki di tangga lauwteng, lantas aku lihat datangnya seorang tua,
Rambutdan kumis jenggotnya putih semua, akan tetapi roman dan tubuhnya masih kekar
sekali Dia membawa sepotong tongkat yang ia taruhnya sambil diketruki keras di lantai
sampai cawan-cawan di atas meja turut menggetar.
Sin Cie terkejut
"ltulah Oen Beng San," pikirnya. "Ceng Ceng bertemu sama Samyayanya, cara bagaimana
dia dapat loloskan diri...?"
"Orang tua itu duduk di meja di samping mejanya siangkong itu," jongos melanjuti, Dia
lantas minta arak dan sayurannya, Dia baru duduk, lantas datang seorang tua tain,
Anehnya beruntun telah datang semuanya empat orang tua, semua rambut dan kumisnya
putih, mukanya merah segar Senjata mereka ini ada yang tombak cagak pendek, ada yang
runcing kulit Mereka tidak melihat satu pada lain akan tetapi mereka duduk masingmasing
di satu meja yang aneh ialah mereka kitari si siangkong. Hal itu membuat aku
sangat heran, Habis itu tidak lama datanglah si pengemis wanita tua. Mulanya majikan
hendak usir pengemis ini siapa tahu, Trang!" ia membuat satu suara nyaring, hingga aku
terkejut Tuan sangka apa sudah terjadi?"
"Apakah itu?" Hie Bin balik tanya,
"lni dia yang dibilang, Malaikat Uang berkeredong kulit anjing, orang tidak dapat dilihat
dari wajahnya saja." jawab si jongos yang tegas kekagumannya, "Suara nyaring itu adalah
sepotong besar perak, yang dilemparkan di meja kuasa, Kemudian, sambil memandang
dan menuding kepada empat orang tua itu ia bilang, "Uang mukanya semua tuan-tuan itu
masuki dalam perhitunganku Tuan, pernahkan tuan bertemu dengan pengemis wanita
itu?"
Sin Cie menjadi sibuk, dia gelisah,
"Empat jago dari Cio Liang Pay sudah tak dapat dilawan Ceng Ceng, sekarang muncul Ho
Ang Yo! itulah hebat - pikirnya,
Gembira sangat si jongos dengan penuturannya, tanpa tunggu jawaban si anak muda, ia
sudah meneruskan "Walaupun uang arak mereka telah dibayarkan, empat orang tua itu
tidak memperdulikannya, mereka terus repot dengan arak mereka sendiri Maka si uwa jadi
mendongkol dengan tiba-tiba ia berseru, sebelah tangannya diayun, lantas satu benda
putih mengkilap menyambar orang tua yang membawa tongkat."
"Jangan ngeberahol!" Hie Bin tertegun "Mungkinkah pengemis wanita itu punya pedang
wasiat?"
"Untung apa aku mendusta?" balik tanya si jongos, "Memang itu bukannya pedang wasiat
akan tetapi bedanya tak banyak! Si orang tua angkat sumpitnya, akan tanggapi serangan
Segera terdengar suara nyaring, suara bentrokan di antara senjata dan sumpit itu. Habis
itu aku tampak sumpit merupakan gagang rencengan Ketika aku mulanya melihat aku
kaget bukan main! Tahukah kau apa adanya benda yang dipakai menyerang itu?"
"Apakah itu?" Hie Bin tanya,
"ltu adalah serenceng sarung kuku! Dan semuanya kena tercantol di antara sumpit!
Saking kagum, aku berseru dengan pujianku, Selagi aku memuji, aku dengar satu suara
nyaring, Apakah suara itu kau tahu?"
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
"Apakah itu?"
"Kau lihat ini."
"Jongos itu tarik tangan Hie Bin untuk bawa dia kepada buah meja, untuk unjuki pinggiran
meja itu.
Di atas meja itu ada satu lubang yang kecil, ketika jongos ambil sebatang sumpit dan
memasukinya ke dalam lubang itu, tepat busurnya.
"lnilah sumpitnya si orang tua, yang ditancapkan ke meja ini," jongos itu menjelaskan
"Tidakkah itu ada kepandaian yang luar biasa? Mungkin si pengemis wanita melihat dia
tidak punya kesanggupan melawan dia lantas lari keluar Kemudian, setelah si siangkong
berlalu ber-sama-sama empat orang tua itu, Rupanya mereka ada dari satu rombongan,
yang mengatur diri demikian rupa untuk layani si pengemis wanita tua itu...."
"Ke arah mana perginya mereka itu?" tanya Sin Cie diakhirnya,
"Mereka menuju ke Liang hiang, dusun di barat selatan sana," sahut sang jongos, Tidak
lama seberangkatnya mereka itu si pengemis wanita tua datang puIa, kali ini dia
tinggalkan kala dan kelabangnya itu. Dia lelah berikan sepotong perak kepadaku dengan
pesan agar aku jagai itu kedua binatang berbisa supaya jangan ada yang ganggu, Selama
ini keamanan ada sangat terganggu, majikan lelaki ingin tutup perusahaannya ini, nyonya
majikan tidak mengijinkannya maka perusahaan di1an-jutinya...."
Sin Cie tidak tunggu sampai orang ngoceh habis, ia lantas lari keluar.
"Mari kita susul!" serunya pada kawan-kawannya, Maka semua memburu keluar untuk
naik atas kuda mereka dan kabur.
Pada hari itu ia minggat, Ceng Ceng sedang mendongkol dan berduka, Setelah ambil
putusan akan bawa abu ibunya ke Hoa San, untuk dikubur jadi satu dengan jenazah
ayahnya, Malah ia telah ambil keputusan sesudah penguburan ayah dan ibunya itu ia akan
habiskan jiwanya dengan bunuh diri di samping kuburan ayah dan bundanya itu.... ia
merasa sangat tidak beruntung, sebab dapati bakal suami yang tidak mencinta....
Ceng Ceng mampir di Wan peng dengan niatan menghibur diri ia tidak sangka disitu ia
bertemu sama keempat yayanya yang segera kurung padanya, kemudian datang Ho Ang
Yo yang sudah adu kepandaian, hingga Oen Beng San perlunjuki kelihayannya akan bikin
kuncup nyalinya pahlawan Ngo Tok Kauw itu hingga nyonya itu mundur sendirinya,
Tahu bahwa dia tidak punya harapan akan lolos lagi dari tangannya keempat yaya itu,
Ceng Ceng dapat mengatasi diri, hingga selanjutnya ia tidak jeri Iagi. ia hanya khawatir ia
nanti lantas dibikin mati di situ juga sedang giatnya adalah supaya ia bisa lebih dahulu
mempersatukan dan mengubur abu ibunya dengan tu!ang-tulang ayahnya. ia ada cerdik,
dalam saat berbahaya itu, ia masih dapat akal
Toa yaya," ia mendengar Oen Beng Tat sambil ia hampirkan yaya yang terus itu, untuk beri
hormatnya, sesudah mana ia juga kasih hormat kepada ketiga yaya lainnya,
Empat yaya itu heran menampak orang tak jeri sedikit juga terhadap mereka hingga
mereka mengawasi saja.
"Suwie-yaya hendak pergi ke mana?" kemudian Ceng ceng tanya sambil ia tertawa.
"Kau sendiri hendak pergi ke mana?" Beng San tanya,
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
"Aku sedang tunggu sahabatku she Wan karena kita lelah berjanji akan bertemu di sini."
Ceng Ceng jawab dengan karangannya belaka, "la masih belum sampai...."
Kelihatannya keempat yaya itu terkejut mendengar disebutnya nama Sin Cie, malah Oen
Beng Gie, si Jie yaya segera berbangkit
"Lekas ikut kami!" katanya,
"Aku lagi tunggu kawan...." Ceng Ceng berpura-pura,
Beng Gie ulur sebelah tangannya bagaikan berke1e-batnya kilat, sampai tahu-tahu Ceng
Ceng merasai lengannya tercekal keras nadinya kena dipencet, hingga tanpa berdaya, ia
mesti ikut bertindak keluar rumah makan, ia terus diajak naik bersama ke atas seekor kuda
yang segera dilarikan keras ke luar kota, terus sampai di suatu tempat yang sepi sekali, Di
sini mereka berhenti dan turun di bawah sebuah pohon besar, Tapi si nona dijoroki hingga
dia jatuh terjungkal
"Anak hina dina, anak tidak tahu malu!" begitu ia segera didamprat "Hari ini Thian adalah
yang membikin kau bertemu kami!"
Ceng Ceng lantas menangis, "Yaya, aku salah apa?" dia tanya, "Aku minta yaya beri
ampun padaku, Lain kali aku nanti dengar kata...."
"Hm, kau masih mengharap hidup?" bentak Oen Beng Gie, jie yaya itu. Malah dia segera
hunus pisau belatinya yang tajam,
"Jie yaya, kau hendak bunuh aku?" tanya Ceng Ceng sambil menangis,
"Kau berdosa, pantas kau terima kematianmu!" kata Oen Beng Gie, si Ngo yaya.
"Sam yaya," kata Ceng Ceng tanpa perdulikan ngo yaya itu, "lbuku adalah anak
perempuan kandung dari kau maka kepadamu aku minta tolong dalam satu ha1...."
"Tetapi buat minta dikasih tinggal hidup itulah kau jangan harap!" kata engkong luar itu.
Ceng Ceng menangis pula,
"Kalau nanti aku telah mati," katanya, "Aku minta kau tolong sampaikan sepucuk suratku
kepada itu sahabat she Wan, kau pesan supaya dia sendiri saja yang pergi cari mustika,
tidak usah dia tunggu aku lagi-"
Tergerak hatinya keempat yaya itu mendengar kata-kata "cari mustika".
"Apakah itu yang hendak dicari?" tanya mereka hampir berbareng,
"Aku bakal mati, tak dapat aku buka rahasia," jawab Ceng Ceng, "Aku cuma minta supaya
suratku tolong disampaikan...."
Nona ini robek ujung bajunya, ia ambil sepotong jarum dari sakunya, dengan itu dia tusuk
jari tangannya, akan keluarkan darahnya itu, ia menulis di atas itu robekan baju,
Masih keempat yaya itu tanya mustika apa itu yang hendak dicari, tetapi Ceng Ceng
menulis terus, ia tidak berikan jawabannya, Ketika telah selesai ia menulis ia serahkan
surat darah itu pada engkongnya,
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
"Untuk sampaikan surat ini, sama yaya tidak usah kau menemukan sendiri orang she Wan
ilu," ia bilang, "Cukup jikalau kau kirim orang ke Wang peng ke rumah makan di mana kita
lelah bertemu itu."
Meskipun ia sedang bersandiwara, tapi kapan ia ingat Sin Cie, yang dikatakan "tidak
setia", Ceng Ceng toh bersedih, hingga ia menangis pula dengan sedih, air matanya
mengucur tak hentinya.
Kecmpat yaya itu tidak tahu orang sedang permainkan mereka, mereka tidak tahu apa
sebabnya cucu ini menangis demikian sedih.
Ketiga yaya dekali Beng San, untuk baca surat darah itu.
Ceng Ceng menulis begini
Toako Sin Cie!
Dalam penghidupan kita ini, tidak dapat kita bertemu pula satu dengan lain, Maka itu
mustika kepunyaan ayahku, semuanya aku hadiahkan kepadamu, Pergilah kau yang gali
sendiri, tidak usah kau tunggu aku pula.
Hormatnya adikmu si Ceng
"Mustika apakah itu!" Beng Go bentak "Mungkinkah kau ketahui tempat simpannya itu?"
Ceng Ceng cuma manggut dengan per1ahan.
"Fui, kau menjual orang!" Ngo yaya itu bentak pula, "Mana ada mustika! Ayahmu yang
sudah mampus menjadi setan telah perdayakan kami, sekarang kau kembali hendak main
gila pu!a!"
Ceng Ceng tidak menyahuti, hanya sambil tunduk, ia keluarkan dari sakunya sepasang
kumala yang disu1am-kan kepada sepotong ikat pinggang sutera, itulah kumala model
kupu-kupu yang dapat dari satu-di antara sepuluh peti harta karun, Karena kupu-kupu itu
indah ukirannya dan mungil, ia sengaja ambil untuk disimpan,
Setelah keluarkan kupu-kupu kumala itu, hingga dapat dilihat keempat yaya itu mendadak
ia berbangkit untuk berdiri tegak untuk kata juga secara menantang, Terserah kepada
kamu, suratku ini hendak kamu sampaikan kepada aiamatnya atau tidak! sekarang kamu
bunuhlah aku."
Di antaranya suaranya itu, kumalanya itu jatuh ke tanah sambil menerbitkan suara, ia
lantas membungkuk untuk memungutnya, akan tetapi Oen Beng Go telah dahulu ia
menyambar
Merah matanya keempat yaya itu sesudah mereka lihat tegas itu kumala kupu-kupu.
Mereka ada penjahat-penjahat dari puluhan tahun, cara bagaimana mereka tidak kenal
mustika berharga, Maka itu goncanglah hati mereka semua,
"Darimana kau peroleh ini?" akhirnya mereka tanya,
Ceng Ceng tetap membisu,
"Kau kasih tahu pada kami, mungkin kami akan selamatkan jiwamu." Beng San lantas
membujuk
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
"ltulah satu di antara barartg-barang mustika yang aku maksudkan," sahut Ceng Ceng
dengan roman ter-paksa, "Bersama-sama Wan Toako itu, setelah kami pahamkan
pengunjukan petanya, aku telah berhasil mendapat tempat mustika disimpan dan
membongkarnya, Sama sekali ada sepuluh peti, yang memuat pelbagai batu permata dan
uang, Adatah sukar untuk bawa itu semua, maka aku ambil ini sepasang kupu-kupu.
Sekarang kita hendak pergi pula untuk ambil semua peti itu...."
Kembali ia menangis,
Keempat yaya itu jauhkan diri mereka untuk berdamai Mereka tidak takut si nona nanti
kabur, sebab di tempat sepi seperti itu dengan gampang mereka dapat mengejarnya,
"Nyatalah sekarang benar halnya mustika simpanan itu," kata Oen Beng San.
"Baik, kita paksa dia antar kita, untuk kita yang ambil," Beng Gie usulkan.
Tiga saudara itu manggut
"Lebih dahulu kita dustakan dia bahwa kita akan memberi keampunan," Beng San
utarakan tipu dayanya, "Kalau nanti mustika sudah ada di dalam tangan kita, baru kita
hukum dia!"
Tiga saudara itu setuju.
"Aku ada punya satu cara gampang," kata Beng Gie. "Lcbih dahulu kita ambil mustikanya,
setelah itu kacung hina dina ini kita belesaki ke dalam lubang bongkaran itu, untuk diuruk
pula, maka kalau nanti si binatang she Wan itu datang menggali, dia bakal gali hanya
mustika hidupnya ini! Tidakkah itu bagus?"
Tiga saudara itu tertawa berkakakkan,
"Bagus pikiran ngotee!" kata mereka, yang puji adik bungsu itu,
Mereka itu girang karena sudah dapatkan Ceng Ceng diluar dugaan, mereka juga bakal
dapat harta karun. Mereka hampirkan Ceng Ceng, untukdidesak akan antar mereka ke
tempat simpanan mustika dengan si nona dijanjikan jiwanya akan dikasih tinggal hidup....
Ceng Ceng sedang bersandiwara, ia menampik akan antari semua yaya itu, adalah setelah
dibujuk pulang pergi dan diancam juga, baru ia mau sebutkan, tempat simpan harta karun
itu adalah di puncak gunung Hoa San. ia telah pikir, selagi empat yaya itu repot bongkar
tanah ia mau cari ketika akan cari kuburan ayahnya, supaya bisa dikubur bersama dengan
abu ibunya, Sesudah itu seperti rencananya, ia hendak bunuh diri,
Karena ia telah unjuk bukti dan alasan yang masuk di akal, empat tertua dari Cio Liang Pay
itu percaya omongan nona ini.
Ketika dahulu Ngo Couw dapat bekuk Kim Coa Long kun, yang dibawanya ke Hoa San,
mereka memang sudah dengar halnya harta karun itu dipendam di gunung tersebut, hanya
itu waktu, kecuali Kim Coa Long kun bisa mengingat, mereka juga tidak peroleh suatu apa.
Belakangan pun terjadi lelakonnya Thio Cun Kioa dan si pendeta yang dapat sergap Sin
Cie dengan kesudahan mereka mati semua,
perjalanan dilanjutkan dengan segera, dengan cepat luar biasa, malah hari itu, mereka
tidak singgah lagi, Sebabnya dari perjalanan cepat luar biasa ini karena kekhawatirannya
keempat yaya itu nanti Sin Cie dapat susul mereka, karena mereka mengerti, asal mereka
kesusul si anak muda, usaha mereka bisa gagal, jiwa mereka sendiri bisa hilang,
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Maka bukan main lelahnya mereka berempat ketika itu sore mereka sampai di tapal batas
propinsi Shoasay, Lantas saja mereka cari hotel di mana paling dahulu mereka minta
disajikan barang hidangan,
Beng Gie ada orang yang paling sembrono di antara keempat saudaranya itu pun paling
kuat daharnya maka dialah yang berteriak-teriak minta arak, sayur, dan mie.
Jongos telah bekerja sebat untuk layani tetamu-tetamunya ini.
Seperti biasanya, begitu lekas barang makanan sudah diatur di atas meja, Beng Gie lantas
mendahului saudara-saudaranya, daharnya sangat bernapsu.
Ceng Ceng diperkenankan duduk dahar bersama, disaat nona ini dan Beng Tat bertiga
angkat sumpit serupa benda, melihat mana, dia kaget tidak terkira, sampai tubuhnya
berdiri tegak bagaikan patung, lantas rubuh.
Beng Tat bersama dua saudaranya, juga Ceng Ceng kaget bukan main, Benda yang dijepit
sumpitnya Beng Gie itu adalah seekor kawa-kawa yang hitam dan besar Tiga saudara itu
juga heran ketika mereka dapati eng Gie masih saja berdiam, maka Beng Tat lantas
mendekati untuk raba tubuhnya.
Engko ini kaget sekali, apabila ia telah kena raba tubuh yang lantas mulai jadi dingin,
sedang napas di hidungnya adik itu pun sudah berhenti berjalan Dia kaget berbareng
gusar sekali,
Dalam murkanya Beng San hampirkan kuasa restoran untuk dijambak, rubuh kuasa ini
demikian keras, hingga tulang betisnya orang ini patah, hingga si kuasa pingsan,
Beng San tunggu sampai orang sadar scndirinya, ia jambak dada orang, dilain pihak dia
jepit bangkai kawa-kawa dengan sumpitnya untuk di antar ke depan muka kuasa itu.
"Kau bernyali sangat besar! Kau berani racuni kita! Apakah ini?" dia tanya dengan bengis.
Kuasa itu kaget dan takut bukan main,
"Rumah makan kami sudah dibuka selama tujuh puluh tahun.,." katanya dengan tubuh
bergemetar dan suara tidak lancar, "Kita juga selalu jaga kebersihan dapur kita.... Heran
entah darimana datangnya ini binatang...."
Beng San samber pipi orang, sekali ia memcncet, tcrpentanglah mulut si kuasa restoran
itu, menyusul mana, bangkai kawa-kawa dimasuki ke dalam mulutnya, dijejaii, hingga
bangkai itu kena tertelan.
Boleh dibilang dalam sekejap saja, kuasa restoran itu rubuh binasa, kulit di seluruh
tubuhnya berubah menjadi hitam,
Karena ini, kacaulah keadaan di rumah makan itu.
Beng Tat takut Ceng Ceng lari, ia sambar nona ini, untuk diseret keluar begitu lekas dia
kempit tubuhnya Beng Gie,
Beng San dan Beng Go jadi seperti kalap, mereka keluarkan senjata mereka dengan apa
mereka menyerang kalang kabutan, akan obrak-abrik rumah makan itu, dimana ada
beberapa jongos dan tetamu lainnya hingga sama sekali rubuh tujuh atau delapan korban,
Kemudian sesudah melepas api akan bakar rumah penginapan berikut rumah makan itu,
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
baru mereka angkat kaki.
Tidak ada orang lainnya yang berani maju mencegah.
Beng Tat pergi jauh juga, baru ia turunkan mayat adiknya buat bersama dua saudaranya
menggali lubang, akan kubur secara sembarangan pada saudara itu. Kemudian mereka
singgah di sebuah kuil tua.
Tiga saudara itu gusar dan berduka dengan berbareng, Mereka menduga pada kejahatan
kaum Ngo Tok Kauw, karena tidak bisa jadi orang hotel berbuat demikian jahat
Ceng Ceng tahu lihaynya pihak Ngo Tok Kauw, ia juga menduga pada kaum agama yang
memuja bisa itu,
"Pasti ini ada perbuatan Ho Ang Yo, si pengemis tua," terkanya, "Rupanya dia telah
bayangi kita...." Karena kejadian hebat itu, ketika dilain harinya mereka mampir di rumah
makan, untuk bersantap, Beng Tat suruh jongos cobai dulu semua barang makanan yang
disajikan, sesudah didapat kenyataan, barang hidangan itu tidak ada racunnya, baru
mereka dahan
Beberapa hari selanjutnya, perjalanan dilanjuti tanpa kejadian sesuatu, hingga hatinya tiga
saudara Oen itu menjadi sedikit lega, mereka melainkan tetap waspada,
Pada suatu malam di rumah penginapan, mendadak terdengar suara berisik di istal,
jongos berteriak-teriak ada pencuri kuda,
Beng Go kaget, ia pun gusar, sebab itulah kudanya, yang diganggu, ia lantas pergi ke
belakang, untuk memeriksa, Baru saja ia sampai di depan istal, mendadak ia dengar suara
siur-siur dari tempat gelap di sampingnya, Dengan sebal ia berkelit Tapi itulah semprotan
barang cair, karenanya tidak dapat ia hindarkan diri, terutama mukanya yang kena
tersemprot. Dengan lantas ia dapat cium bau amis, ia lantas menduga jelek, Karena ia
lihay, sebab ia tidak rubuh seketika, ia masih sempat cabut ruyungnya, ia menyerang ke
arah si pencuri kuda. ia bisa mendengar tegas hingga ia tahu ke mana ia mesti arahkan
senjatanya, ia pun merasa bagaimana ia telah menyerang dengan jitu dan dengar suara
senjatanya mengenai tubuh musuh, yang bebokongnya kena terhajar hingga tulangnya
patah.
"Ha, tua bangka kau masih galak!" demikian satu bentakan yang dibarengi dengan satu
bacokan.
Masih sempat Beng Go menyerang pula, Lebih dahulu ia menangkis, hingga ia dapat lilit
kampaknya si penyerang, sesudah mana, ia membetot dengan keras, Musuh tidak dapat
pertahankan diri, dia terbetot keras, sampai tubuhnya terlempar, tepat mengenai tembok,
hingga kepalanya pecah dengan kepala hancur, tubuhnya terus rubuh binasa!
Beng Tat dan Beng San menduga pada orang-orang jahat tidak berarti, mereka percaya,
Beng Go seorang cukup untuk hajar si pencuri kuda, baru mereka kaget ketika mereka
dengar saudara itu berkaok-kaok, hingga mereka lompat memburu,
Beng Go kedapatan sedang menggaruk-garuk mukanya, masih saja ia perdengarkan
suaranya, sampai Beng Tat lompat untuk peluk tubuhnya.
"Kau kenapa ?" tanya ini kanda sulung,
Beng San sendiri segera lompat kcluar, untuk cari musuh, akan tetapi sia-sia saja, ia tak
dapatkan siapa juga, Maka ia lantas kembali ia kaget kapan ia dapat si kanda nya peluki
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
adiknya sambil kanda itu menangis menggerung-gerung.
Nyatalah, dalam waktu yang pendek sekali, setelah dia berhenti menggaruki mukanya,
Beng Go telah berhenti bernapas, mukanya telah jadi tidak karuan, terutama bekas digaruk
pulang pergi tak hentinya, Karena ia telah terkena semprotan bisa, yang pertama membuat
ia merasa gatal, hingga ia tak tahan akan tak menggaruki mukanya, sedang matanya terus
tidak dapat dibuka lagi.
"Ketika duapuluh tahun dahulu Kim Coa Long kun minggat dari tangan kita," katanya
Bcng Tat sambil menangis, "Dia sudah terputuskan urat-uratnya, dia telah jadi satu
manusia bercacad, maka itu waktu, aku menyangka dia telah ditolongi orang-orang Ngo
Tok Kauw...."
"Kau benar," Beng San bilang, "Teranglah sudah, Ngo Tok Kauw telah memusuhkan kami,
secara diam-diam. Kita telah diundang Co Hoa Sun untuk bekerja sama-sama, walaupun
usaha kita bermusuh satu pada lain, maka itu kenapa Ngo Tok Kauw seterukan kami,
Nyata Ngo Tok Kauw ada di pihak Kim Coa Lon kun.
Oen Beng Tat berpikir sebcntar, lantas berjingkrak,
"ltulah mungkin," katanya. "Kim Coa Long kun punya bisa yang lihay, pasti dia punyakan
perhubungan dengan Ngo Tok Kauw."
Dua saudara ini jadi ingat benar ketika dulu Kim Coa Long kun datang mengacau di Cio-
Iiang untuk menuntut balas, Karena ini diam-diam hati mereka gentar
Tanpa banyak omong lagi, mereka rawat mayat Oen Beng Go untuk dikubur, sesudah
mana mereka ambil putusan untuk berangkat terus ke Hoa San, guna cari dan bongkar
harta karun, sesudah itu mereka hendak berdaya mencari balas, Tctap mereka khawatir
nanti diakali, maka itu baik diwaktu berislirahat, terutama diwaktu dahar, mereka berlaku
sangat hati-hati. Diwaktu malam, mereka sampai takut untuk mondok di hotel.
Pada suatu hari, Beng Tat dan Beng San ajak Ceng Ceng berhenti di sebuah kuil tua di
tengah perjalanan Beng Tat, meskipun sudah tua, tenaganya tetap besar, maka dengan
gampang ia angkat dua potong batu penggilingan yang berat, untuk dipakai menggalang
pintu depan dan pintu belakang, supaya tidak ada orang yang bisa dobrak pintu itu di luar
tahu mereka. Secara demikian baru mereka dapat tidur dengan hati tentram
Tepat tengah malam, ada terdengar suara berkelisik, Sebagai ahli-ahli ilmu silat, atu orangorang
kang-ouw ulung, terang kupingnya dua saudara Oen ini. Mereka mendusin dengan
lantas,
Mulanya terdengar suara seperti suara tikus, mereka tidak perhatikan maka mereka tidur
pula,
Oen Beng San sudah tidur pula sayup-sayup tatkala ia dapat cium bau harum, hingga ia
merasakan hatinya, dirinya lega benar, hingga ia merasa sangat gembira, lantas seperti
lagi melayang-layang, bagaikan ia berada di atas sorga, Tidak lama dari itu, hatinya
goncang dengan tiba-tiba hingga ia mendusin sambil terus lompat bangun dengan
berjingkrak.
Oen Beng Tat juga lantas bangun, tapi ia berotak sangat cerdas, masih ia ingat Ceng
Cehg, tangan kiri siapa ia tarik, Maka dilain saat, keduanya sudah berada di samping meja.
Dari sini di antara sedikit sinar terang, mereka lihat Oen Beng San sedang bersilat dengan
tongkatnya yang lihay, sampai dia kena hajar patung Buddha sampai patung itu patah dan
rubuh, suara hajaran dan rubuhnya keras sekali,
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Serubuhnya patung itu, dari belakang patung muncul dua bocah yang mengenakan
pakaian serba kuning. Bo-cah yang satu yang bersenjatakan golok dengan berani terjang
Beng San. Bocah yang lain memegang sebatang pipa sumpitan, dia bersedia akan sumpit
atau semprot jago she Oen itu,
Menampak demikian, Toa-yaya tidak ayal lagi dengan panah di tangannya, maka kapan
senjata rahasia itu sudah melesat, kedua bocah baju kuning itu rubuh saling susul jiwa
mereka terbang melayang,
Meski sudah tidak ada musuh, Oen Beng San masih terus berkelahi
"Shatee, musuh sudah tidak ada," Beng Tat teriaki adik itu,
Beng San seperti tidak gubris pemberitahuan itu, ia terus saja bersilat, malah gerakgerakannya
makin hebat, Rupanya ia telah terkena pengaruh hebat dari bau harum tadi.
"Celaka!" pikir Beng Tat yang dari heran menjadi kaget, hingga ia bercuriga, ia lantas
lompat maju, dengan niat rampas tongkat adik itu, akan tetapi Samyaya putar tongkatnya
sangat cepat dan rapat, hingga ia tidak sanggup merapatinya,
Selagi bersilat terus, mendadak yang ketiga dari Ngo Couw berteriak keras sendirinya,
tanpa sebabnya habis mana, ujung tongkatnya diarahkan kepada dadanya sen-diri, hingga
ia terserang sangat hebat, berbareng sama memuntahkan darah hidup, ia rubuh terguling,
terus saja tubuhnya menjadi kaku.
BengTat kaget tidak kepalang, tidak terkecuali Ceng Ceng, ia telah saksikan ketiga
yayanya binasa secara hebat, terbinasa oleh pihak Ngo Tok Kauw, Tidak lagi ia
mempunyai rasa simpati kepada semua yayanya itu, toh sekarang ia merasa terharu juga,
tanpa merasa ia ber-linangkan air mata.
Beng Tat sampai tidak sanggup bcrkata-kata lagi, dengan tenang ia pondong tubuh
adiknya untuk dibawa keluar, akan digalikan lubang, buat dipendam secara demikian saja.
Dia ada seorang yang hatinya paling keras, bagaikan baja, maka itu meski ia beri hormat
penghabisan kepada adiknya itu, tidak ia menangis.
"Mari kita berangkat!" kata dia pada Ceng Ceng.
Kendati juga yayanya tinggal seorang, Ceng Ceng masih jeri, dengan terpaksa ia
mengikut, akan lakukan perjalanan dimalam yang gelap petang itu, sebelum mereka
kenyang tidur,
Kali ini Oen Beng Tat berlaku luar biasa waspada,
Pada suatu hari semasuknya dalam wilayah Siamsay, Oen Beng Tat lihat satu bocah
dengan pakaian serba merah menghampirkan dia sampai dekat scka1i. Mungkin dia ingat
bocah-bocah serba kuning, ia jadi curiga, malah tanpa bilang suatu apa, dengan
mendadak saja ia menyerang.
Tidak ampun lagi, bocah itu pecah batok kepalanya, tubuhnya rubuh binasa dalam
sekejap.
Ceng Ceng kaget, ia ngeri tetapi terus ia bungkam, ia jeri akan saksikan roman bermuram
durja dari yaya itu yang wajahnya menjadi gelap dan bengis,
sementara itu orang sekarang mulai menuju ke kaki bukit Hoa San, sebagaimana
gunungnya sudah tertampak dari kejauhan, Mereka sudah jalan setengah harian, maka
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
keduanya merasa sangat berdahaga, Karena ini, mereka singgah di sebuah paseban,
untuk minum air, sedang kuda mereka dilepas untuk beristirahat
Sebentar kemudian, Oen Beng Tat dihampirkan oleh seorang tani yang berlidah Siamsay,
sebagaimana terdengarnya itu ketika dia menanya, "Apakah aku bicara sama Oen Loyacu?"
Beng Tat berbangkit
"Apa kau mau?" tanyanya dengan bengis.
"Tadi ada orang upahkan aku dua rencengan uang, aku diminta sampaikan surat
untukmu," sahut petani itu.
"Mana dia orang itu?"
"Dia sudah pergi lama, dia menunggang kuda."
"Coba sambuti suratnya!" Beng Tat perintah Ceng Ccng, ia ada sangat licin, hingga ia
tidak mau terima sendiri surat itu,
Ceng Ceng sambuti surat itu yang tertutup dalam sampul, rupanya seperti surat biasa,
tidak ada yang men-curigaL Baru setelah itu, jago tua ini berani menerima itu dari tangan
si nona,
Sama sekali surat itu ada tiga,
Yang pertama memuat tulisan:
"Oen Loo-toa,
Saat kematianmu sudah sampai.
Panas hatinya Beng Tat, hingga ia jadi sangat gusar ia mau lihat surat yang kedua, tapi
surat ini terlepit, sukar dibuka lepitannya, akan tetapi ia telah jadi tidak sabaran, maka ia
tempel jari tangannya ke mulut, ia basahkan surat dengan air ludahnya, Baru sekarang
surat itu dapat dibuka, Bunyinya:
"Jikalau kau tidak percaya bacalah surat yang ketiga."
Meluap hawa amarahnya jago tua ini.
Surat yang ketiga juga tertutup rapat, untuk dapat membukanya Beng Tat mesti bawa pula
jari tangannya ke dalam mulutnya, untuk basahi itu dengan air ludah di lidahnya, maka
setelah kena dibasahkan, barulah surat ketiga itu dapat dibuka, untuk dibaca,
Akan tetapi kali ini, surat itu tidak ada huruf-hurufnya, Apa yang terlihat lukisan
gambarnya seekor kelabang besar serta gambarnya satu tengkorak manusia.
Dalam murkanya, karena sangat mendongkol Beng Tat lemparkan surat itu ke tanah.
Boleh dibilang hampir berbareng dengan itu ketua dari Cio Liang Pay rasai sedikit sakit
atau perih pada jari telunjuk dari tangannya yang kanan dan ujung lidahnya, Segera ia
ingat suatu apa, mendadak saja ia rasakan tubuhnya panas dingin.
"Aku telah terpedaya!" pikirnya, kagetnya bukan kepalang, ia merasa pasti sudah jadi
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
korban kelihayan musuh.
Surat-surat itu rupanya sengaja dilempel, supaya jadi sukar untuk buka lepitannya, supaya
kalau toh mesti dibuka, ada diperlukan air untuk membasahkannya. Air untuk membuka
surat, yang paling gampang ialah air ludah, Lebih dahulu daripada itu, mestinya racun
telah dikenakan kepada surat bagian yang ditempel lekat itu, supaya dengan menggunai
ludah, orang akan keracunan tanpa merasa,
Ini adalah satu di antara tiga puluh enam tipu daya dari kaum Ngo Tok Kauw, Dahulu Kim
Coa Long kun dapat pelajari ini dari Ho Ang Yo maka ia bisa kenakan racun itu pada "Kim
Co Pit Kipriya" yang palsu, hingga Thio Cun Kiu rubuh sebagai korban, Beng Tat teliti dan
waspada, tetapi ia tidak ingat sampai begitu jauh, Maka sekarang ia telah menjadi korban,
Begitu ia insyaf, ketua dari Cio Liang Pay lantas ingat si petani, Kapan ia angkat
kepalanya, ia tampak orang sudah jalan pergi beberapa puluh tindak, Dalam gusarnya, ia
lompat untuk mengejar Baru ia sampai di luar paseban, ia rasai kepalanya sangat pusing,
matanya berkunang-kunang, ia kuatkan hati tidak perduli kepalanya lantas terasakan
sangat sakit, ia kerahkan tenaganya, ia menimpuk dengan panah tangannya.
Petani itu memang ada orang Ngo Tok Kauw yang sedang menyamar ia sudah serahkan
suratnya, ia percaya ia sudah berhasil, maka ia berlalu dengan tenang, ia menjerit dengan
keras ketika tahu-tahu ia merasa bebokongnya tertancap panah tangan, terus tubuhnya
rubuh, jiwanya melayang pergi.
Oen Beng Tat tertawa seram beberapa kali habis itu tubuhnya rubuh terjengkang, tidak
sanggup dia pertahankan diri lagu
"Toa yaya, kau kenapa?" tanya Ceng Ceng dengan kaget
Nona ini masih belum tahu, suatu apa, ia tidak menyangka je1ek. Malah ia hampiri yaya itu
sambil membungkuk ia hendak melihat muka orang,
Mendadak Beng Tat geraki tangan kirinya, menyusul itu, tombaknya melesat nyambar,
Ceng Ceng kaget bukan main. Mana dapat ia berkelit lagi? jarak mereka berdua ada terlalu
dekat
ia cuma lihat berkelebatnya satu cahaya putih perak, menuju ke arah dadanya,
Disaat nona ini tutup kedua matanya, untuk terima binasa, mendadak ia dengar suara
barang keras beradu, menyusul rasa sakit pada belakang kakinya, Kapan ia buka kedua
matanya, ia dapatkan tombak pendek terletak di dekat kakinya, Adalah tombak itu yang
membuat ia merasa sakit, sekarang ia ingin tahu siapa-siapa sudah tolongi padanya, pada
waktu ia berbalik mendadak ia rasakan bebokongnya terpegang keras, sampai ia tak dapat
berbalik, Selagi ia heran dan bingung, tahu-tahu kedua tangannya telah ditelikung ke
belakang, diikat dengan keras. Adalah sesudah ia tidak berdaya baru, bisa menoleh. Tapi
kapan ia kenali siapa yang tawan padannya ia kaget melebihi waktu ia ditangkap keempat
yayanya,
Orang itu adalah Ho Ang Yo dari Ngo Tok Kauw, si uwa beroman jelek dan bengis yang
menyeramkan
Ceng Ceng merasa, di tangan perempuan tua ini, ia bakalan tinggal dunia dalam cara lebih
hebat lagi...."
Ho Ang Yo tapinya tertawa pada nona ini tertawa dingin sekali,
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
"Kau inginkan kematian cara apa?" si uwa tanya, "Kau pilih mati dengan satu kali bacok?
Atau kau inginkan dipaguti seribu ekor ular selama tujuh kali tujuh menjadi empat puluh
sembilan hari, sesudah mana baru kau mati.,.?"
Ceng Ceng bergidik, ia meramkan mata, ia tidak menyahut.
"Kau antar aku mencari ayahmu yang tidak berbudi itu!" kata pula si uwa. "Dengan antari
aku, aku akan bikin kau tidak sampai tersiksa...."
Ceng Ceng segera berpikir
"Memangnya aku hendak cari tulang-tulang ayah, Baik aku antar padanya, Sampai di sana,
aku mau lihat, apa dia bisa bikin...."
Maka ia menyahut dengan gagah,
"Aku juga hendak tengok ayahku, mari kita pergi bersama!"
Ho Ang Yo curiga orang terima tawarannya demikian gampang, Tapi Kim Coa Long kun
telah jadi seorang bercacat, tidak perduli ilmu silatnya bagaimana lihay, ia toh tidak usah
takut, begitu ia pikir,
"Baik, mari kau antar aku," katanya sambil tertawa.
"Kau merdekakan dulu aku, supaya aku bisa kubur mayat toa-yaya," Ceng Ceng minta,
"Merdekakan kau? Hm."
Dia jemput tombak pendek dari Oen Beng Tat, seorang diri terus dia menggali lubang di
tepi jalanan, sesudah dia buatkan satu lubang cukup besar, dia gusur tubuhnya Beng Tat,
juga tubuh orangnya sendiri untuk dilempar ke dalam lubang itu, yang dia lantas uruki
sekedarnya.
Sembari nguruk, uwa itu ngoceh seorang diri. "Meski juga ayahmu ada satu telur busuk,
tidak nanti aku antapkan dia diperhina orang 1ain. Empat tua bangka ini adalah yang
membikin ayahmu mati tidak, hidup pun tidak, Sudah sekian lama aku hendak mencari
balas kepada mereka, Mengapa kau panggil dia yaya?"
Ceng Ceng tidak mau menjawab, ia hanya jalan, mendaki gunung,
Selama hari itu, dua orang ini cuma bisa jalan kira lima puluh lie, jalanan terus menanjak
Mereka berhenti di tengah gunung, Untuk dapat beristirahat supaya si nona tidak berdaya
dan tidak dapat kabur, kecuali kedua tangannya ditelikung terus, Ho Ang Yo juga belenggu
kedua kakinya, Untuk itu ia telah sediakan tali kulit
Besoknya pagi, baru terang tanah, orang sudah berjalan pula, Makin tinggi, jalanan makin
sukar hingga dari bertindak saja, orang perlu bantuan kedua tangan, untuk pegangan Ho
Ang Yo sudah kehilangan tangan kirinya, tidak dapat ia bantu tarik Ceng Ceng sebab
tangan kanannya dipakai jambret batu atau oyot, maka itu, terpaksa ia buka ikatan tangan
si nona. ia suruh si nona jalan di depan ia sendiri di belakang, untuk sambil mengawasi.
Ceng Ceng belum pernah sampai di gunung Hoa San, maka itu si uwa yang berbalik mesti
menunjuki ia jalanan.
Malam itu mereka tidur di cabang pohon di tepi jurang tapi Ceng Ceng tak dapat tidur
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
dengan tenang, ia berpikir banyak, terutama pikiri nasibnya di tangan orang jahat ini.
Saban-saban ia juga dengar pekik orang hutan,
Besoknya perjalanan dilanjuti, Adalah di hari ketiga baru sampailah mereka di puncak Hoa
San, gunung kesohor di arah Barat,
Dari Sin Cie, Ceng Ceng pernah dengar penuturan perihal keadaan di tempat dimana
ayahnya dikubur, sekarang ia perhatikan daerah gunung di sekitarnya ia merasa tepat
sekali lukisannya si anak muda, Maka itu mulailah hatinya goncang, hingga sendirinya, ia
jadi ber-duka, tidak dapat ia cegah mengalir keluar air matanya,
"Dimana dia sembunyi?" tanya Ho Ang Yo dengan bengis, ia tidak perdulikan orang
sedang berduka sangat
"Disana," Ceng Ceng menunjuk kepada jurang, "Di sana ada sebuah gua, ayah di
dalamnya...."
"Baik! Mari kita pergi bersama!" si uwa mengajak
Ceng Ceng bergidik waktu ia tampak wajah uwa itu. Roman dia ini nampaknya jadi lebih
bengis dan menakuti,
Mereka mesti jalan mutar untuk sampai di jurang,
Mereka baru jalan beberapa puluh tindak ketika keduanya dengar suara tertawa yang
datangnya dari arah suatu tikungan,
Ho Ang Yo tarik tangannya Ceng Ceng untuk diajak mendekam di antara rumput yang
tinggi dan lebat, di sini lima jari tangannya yang berkuku lihay ditaruh dekat lehernya si
nona,
"Jangan bersuara!" ia mengancam
Tentu saja Ceng Ceng takut, sebab satu kali ia bersuara, tenggorokannya bakal kena
tercengkeram sebelum ia sempat berdaya,
Segera kelihatan dua orang mendatangi Yang satu ada imam tua, yang lain ada seorang
tani dari usia pertengahan.
Ceng Ceng segera kenali Kwie eng cu. Bhok Siang Tojin serta Tong-pit Thie shuipoa Oey
Cin, masing-masing guru dan saudara seperguruan yang tertua dari Sin Cie, ia tahu
mereka itu lihay tapi ia tidak berani menjerit untuk minta tolong, ia jeri untuk lima kuku
beracun dari Ho Ang Yo.
"Suhu bakal sampai lagi beberapa hari!" terdengar suara Oey Cin yang berbicara sambil
tertawa,
"Juga suteenya yang kecil bakal datang dalam lagi beberapa hari ini, maka itu waktu,
lotiang tidak usah khawatir nanti tidak ada lawanmu main catur."
Bhok Siang tertawa dengan nyaring,
"Jikalau bukannya karena ingin main catur, untuk apa aku datang kemari justru kamu
kaum Hoa San Pay hendak berapat?" kata imam itu. "Apa untuk bantu meramaikan saja?
Tidak!"
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Mereka bicara sambil jalan terus, hingga mereka tinggalkan Ceng Ceng dan Ho Ang Yo.
Uwa itu tidak berani berkutik ia insyaf lihaynya kaum Hoa San Pay, tidak mau ia nanti
kepergok! Sesudah orang lewat jauh baru ia muncul pula, Untuk pergi ke gua, ia keluarkan
dadungnya yang ujungnya ia ikat kepada sebuah pohon besar
"Mari kita turun!" Dia ajak Ceng Ceng. Tubuh si nona bersama tubuhnya sendiri ia ikat
bersama untuk bisa turun ke gua.
"Di sini!" kata Ceng Ceng, setelah ia lihat lubang gua.
Hatinya Ho Ang Yo goncang keras, Setelah dua-puluh tahun memikiri saja, tak sedetik
juga ia me1upa-kannya, maka sekarang ia dapat cari tempat sembunyinya orang yang ia
cintai, yang kemudian ia anggap sudah sia-siakan padanya, Segera ia bakal bertemu sama
orang yang dibuat pikiran itu. ia berpikir keras, Apa ia mesti siksa lelaki itu, untuk
kemudian baru bikin dia binasa? Atau apa baik ia memberi ampun?
Kecuali berdebar hatinya, Ho Ang Yo pun bergemetar, tangannya dirasakan dingin.
Dengan tangan kanan, ia mulai singkirkan batu-batu di mulut gua, setelah itu, ia suruh
Ceng Ceng merayap di depan.
Tadinya mulut gua sempit setelah Sin Cie babati dengan pedang mustika, jalanan itu jadi
cukup lebar, leluasa untuk orang keluar masuk.
Ho Ang Yo mengikuti dengan hati-hati ia siap sedia kalau-kalau Kim Coa Long kun nanti
terjaga ia secara diam-diam, Masih ia khawatirkan Jago Ular Emas itu.
Ceng Ceng memasuki gua dengan air matanya berlinang-linang, kemudian ia menangis
sesenggukan
Ketika mereka sampai di bagian yang gelap, Ho Ang Yo nyalakan api. Sebagai sumbu atau
obor, ia sulut ujung dadungnya, ia suruh si nona pegangi itu untuk maju lebih jauh,
Ceng Ceng berkhawatir.
"Kalau dadung itu terbakar habis, cara bagaimana kita bisa keluar dari sini?" demikian
pikirnya,
"Tidak heran kalau aku tidak kembali sebab di sini telah knmpul ayah dan ibuku, Tapi dia
ini, apa dia juga tidak mau keluar pula?"
Nona ini tidak tahu, Ho Ang Yo juga sudah nekat, tidak mau ia keluar pula dengan masih
hidup dari gua itu.
jalan lagi sedikit jauh uwa ini mulai bercuriga, ia lihat tempat bukan seperti ditempati
manusia, Mendadak ia jambak pundak si nona,
"Hai, kau hendak main gila sama nyonyamu?" tegur-nya. "Awas, aku nanti bikin kau
mampus secara kecewa!"
Ceng Ceng cuma bisa berserah.
Jalan lagi sedikit, tiba-tiba ada angin dingin menyambar Lalu di depan mereka berdiri
sebuah kamar ba1u.
Ho Ang Yo angkat obor untuk awasi di sekitarnya, pada empat penjuru tembok ia tampak
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
gambar-gambar peta dari ilmu silat ia pun segera dapat baca pemberian tahu yang Sin Cie
pernah ketemukan, yaitu:
"Mustika berharga, ilmu rahasia, diberikan kepada yang berjodoh, Siapa yang masuk
dalam pintuku, menemui bencana jangan penasaran"
Ho Ang Yo kenali hurufi Tulisan Kim Coa Long kun. Melihat surat itu lenyap
kesangsiannya. Tapi hatinya terus memukul pu!a, suratnya ada, orangnya belum nampak.
"Saat Gie, kau keluar," ia memanggil
Suara itu nyaring halus, kamar ada kecil, maka terdengarnya nyata sekali, Akan tetapi,
jawabannya tidak ada. Maka Ho Ang Yo lantas berdiam akan tenangkan diri,
Kamar batu itu kosong dari manusia,
"Dimana dia?" tiba-tiba ia bentak Ceng Ceng, sesudah sia-sia saja ia memanggil lagi
beberapa kali.
"Di sini!" sahut si nona sambil menangis, dengan tangannya menunjuk ke tanah,
Dengan tiba-tiba saja Ho Ang Yo merasa matanya gelap, kepalanya pusing, hingga ia
sambar lengan si nona, untuk ia pegangan, kalau tidak, ia bisa rubuh terguling,
"Apa?" tanyanya kemudian dengan suara serak,
"Ayah dikubur di sini," sahut Ceng Ceng, yang menangis terus,
Ho Ang Yo menjerit dengan tertahan, "Qh... oh, kiranya dia sudah mati...."
Tak kuat lagi dia menahan tubuhnya, ia rubuh men-delepok di atas batu di mana Kim Coa
Long kun biasa berduduk,
Sekejap saja, hilang penasarannya sejak puluhan tahun, sekarang teringatlah ia akan
cintanya kepada orang yang dicintainya itu.
"Nah, pergilah kau, aku beri ampun padamu..." akhirnya ia kata pada Ceng Ceng, suaranya
lemah,
Melihat orang demikian berduka, tanpa merasa, Ceng Ceng jadi berbalik merasa kasihan,
ia ingat biar bagaimana, ayahnya toh telah sia-siakan uwa ini yang tadinya ada satu nona
cantik dan mencinta keras, Memang ada sebab kenapa ayahnya belum ingin ketemui
kekasih ini, sampai mereka jadi terpisah untuk se1ama-lamanya.
Karena rasa kasihannya ini, dengan tidak merasa Ceng Ceng peluk uwa itu, yang ia
tadinya takuti bagaikan melihat iblis, ia menangis dengan keras.
"Pergi kau, lekasan," kata pula Ho Ang Yo. "Kalau sebentar dadung telah terbakar habis,
kau tidak bakalan bisa keluar 1agi...."
"Kau sendiri?" tanya si nona.
"Aku hendak berdiam di sim" untuk temani ayahmu." 1 "Aku juga tidak mau keluar lagi,"
kata Ceng Ceng,
Ho Ang Yo sudah terbenam dalam kedukaan, ia tidak perdulikan lagi nona itu.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Ceng Ceng menangis terus,
Tiba-tiba saja Ho Ang Yo berbangkit untuk dengan tangannya lantas mengkeruki tanah
untuk digali ia bekerja bagaikan kalap,
"Kau hendak bikin apa?" tanya Ceng Ceng kaget,
"Aku telah pikir dia untuk dua puluh tahun," sahut si uwa dengan sedih, "Selama itu, tidak
pernah aku ketemui orangnya, maka melihat saja tulang-tulangnya pun boleh juga...."
Ceng Ceng kaget dan berkhawatir. ia tampak orang punya roman dan sikap yang berubah,
Ho Ang Yo terus menggali, tangannya bekerja seperti pacul saja, setelah berselang lama
juga, muncullah tulang-tulang manusia,
itulah tulangnya Kim Coa Long kun, yang Sin Cie kubur dengan baik. Sesudah sekian lama
semua tulang itu masih tinggal utuh,
Ceng Ceng menangis, ia tubruk tulang-tulang ayahnya itu,
Ho Ang Yo masih menggali, sampai ia dapat angkat sebuah tengkorak, ia rangkul itu, ia
menangis ia ciumi
"Hee-long, Hee-long, aku datang melongok pada-mu..." katanya dengan sedih, ia
memanggil suami kepada tengkorak itu, ia menangis lalu ia nyanyi dengan perlahan
sekali.,.,"
Ceng Ceng dengar itu nyanyian, sepatah kata juga ia tidak mengerti
Habis menyanyi, Ho Ang Yo ciumi tengkorak itu dengan bernafsu ia jadi seperti kalap,
baru ia berhenti ketika ia menjerit dengan tiba-tiba. Sebab ada apa yang tajam yang
menusuk mukanya hingga ia merasa sakit dan kaget, Lantas ia bawa tengkorak itu ke
depan api untuk diawasi dengan seksama,
(Bersambung ke Bab 25)
Nyata di mulutnya tengkorak, terjepit di antara gigi, terdapat sepotong tusuk konde, yang
pendek sekali, yang tidak nampak apabila tidak diperhatikan
Ho Ang Yo cabut tusuk konde itu dengan tangannya, dia tidak berhasil Jeriji-jeriji
tangannya tidak dapat menjemput dengan seksama.
Rupanya Kim Coa Long kun gigit tusuk konde di waktu hidupnya sampai ia mati maka
perhiasan rambut itu jadi terjepit keras, itu adalah sebuah tusuk konde emas,
Ho Ang Yo penasaran, ia mencoba lagi sekali. Kali ini gigi-gigi tengkorak pada copot,
maka tusuk konde itu jatuh sendirinya, Lantas ia pungut untuk disusuti debu-nya.
"Sekonyong-konyong saja uwa ini terperanjat hingga wajahnya turut berubah, ia menjerit
ketika ia tanya, "Apakah ibumu bernama Gie?" tanyanya.
"Huruf "Gie" dari ibunya Ceng Ceng beda dari huruf "Gie" dari "Saat Gie" namanya ayah si
nona,
Ceng Ceng manggut dengan perlahan
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Ho Ang Yo berduka berbareng panas hatinya, hingga ia kertak gigi,
"Baik, baik!" katanya dengan sengit "Meskipun disaat kematianmu kau masih ingat saja si
perempuan hina dina! Sampai kau gigit tusuk kondenya!"
Mengawasi dua huruf "Oen Gie" yang terukir di gagang tusuk konde, sinar matanya uwa
ini bagaikan api hendak menyambar, dalam sengitnya, ia masuki tusuk konde itu ke dalam
mulutnya, terus ia gigit dan ganyam hingga mulutnya itu mengeluarkan darah.
Ceng Ceng lihat kelakuan itu, ia percaya, pikiran sehat dari Ho Ang Yo sudah menjadi
kabur ia pun insyaf, saat yang paling berbahaya bakal sampai, maka lantas saja ia
keluarkan guci kecil yang memuat abu ibunya, ia buka tutup guci, akan tabur isinya ke
dalam lubang, supaya bercampuran sama tulang-tulang rerongkong ayahnya,
Ho Ang Yo bengong mengawasi kelakuan si nona ini.
"He, kau lagi bikin apa?" tegurnya kemudian.
Ceng Ceng tidak berikan jawaban hanya setelah menuang habis, ia keruki tanah untuk
dipakai menutupi lubang kubur itu, di dalam hatinya, ia memuji. "Ayah dan ibu, harap
kctahui, anakmu sudah kubur ayah dan ibu bersama-sama...."
Ho Ang Yo sambar guci kosong, ia pandang sebentar, segera ia sadar.
"Ha! ini jadinya abu ibumu!" serunya,
Ceng Ceng manggut dengan perlahan
Cepat luar biasa tangannya si uwa menyambar, Ceng Ceng lihat itu, ia berkelit, tidak urung
pundaknya terkena juga, hingga ia terpelanting hampir ia rubuh.
Ho Ang Yo lantas menjerit-jerit, "Aku larang kau kubur mereka bersama-sama.
ia jadi seperti kalap, dia garuki lagi tanah untuk dibongkar pula,
Akan tetapi abu sudah bercampuran sama tulang-tulang dan tanah tidak dapat di angkat
untuk dipisahkan lagi, Tapi dalam sengitnya, uwa ini tarik keluar semua tu!ang,
"Aku nanti bakar kamu menjadi abu!" teriaknya, "Aku nanti sebar abumu di kaki gunung
Hoa San ini supaya terbang berhamburan ke empat penjuru, buyar ke segala jurusan,
hingga kau tidak dapat berkumpul sama si kacung hina dina!"
Ceng Ceng menjadi gusar berbareng sibuk, ia tubruk si uwa untuk mencegah, ia
menyerang, akan tetapi ia kalah kosen, baru beberapa jurus saja ia telah kena dirubuhkan,
Untung untuknya, uwa ini tidak serang ia dengan kuku-kukunya yang lihay,
Ho Ang Yo buka baju luarnya, untuk pakai itu sebagai umpan api setelah tulang ditumpuk
di atas bajunya itu, ia mulai sulut itu. Kemudian ia kipasi api menjadi berkobar
Dilain saat tulang-tulang telah mulai terbakar nyala, hingga asap lantas mengu!ak di dalam
kamar baru itu.
Memandang tulang-tulang terbakar Ho Ang Yo tertawa berkakakkan, tandanya ia sangat
puas, Tiba-tiba saja ia melengak tatkala merasakan bau asap yang luar biasa, segera ia
berteriak "Hee-Iong, oh, bagaimana kau kejam!"
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Ceng Ceng juga lantas merasakan bau asap yang luar biasa itu, selagi ia merasa heran, ia
pun segera merasakan kepalanya pusing, matanya kabur, hingga ia jadi kaget Tapi ia
masih bisa lihat si uwa bengis menghadapi api unggun yang luar biasa itu berulang-ulang
dia menyedot dan mengeluarkan napas, akan akhirnya dia berseru beru1ang-u!ang.
"Baik, baik! Memangnya ingin aku mati bersama-sama kau."
Mendadak saja ia angkat kepala, akan berpaling kepada Ceng Ceng.
Nona ini menjerit sekuat-kuatnya kapan ia tampak wajah bengis orang yang menakutkan,
ia balik tubuhnya, akan lari ke arah mulut gua, akan tetapi baru ia lari beberapa tombak,
tak tahan ia dengan rasa pusingnya, begitu kakinya dirasakan lemas, ia terus saja rubuh,
Sin Cie sementara itu kaburkan kudanya bersama-sama kawannya, ia bisa menduga dua
binatang berbisa dari Ho Ang Yo di rumah makan adalah si uwa sedang memanggil
kumpul-kumpul anggota-anggota Ngo Tok Kauw untuk ikuti jejaknya, ia mengerti ancaman
apa menghadapi Ceng Ceng. Tidak perduli di tangan siapa kaum Cio Liang Pay atau Ngo
Tok Kauw Ceng Ceng mesti bercelaka juga, Maka itu, ia gelisah bukan main.
Di sepanjang jalan sambil tanya sana sini, Sin Cie dengar hal hal kebinasaannya tiga di
antara empat jago Cio Liang Pay ia dapat menduga kepada mereka itu, karena di situ tidak
ada lain orang yang berombongan sebagai tertua-tua dari Cio liang Pang itu, ia jadi sangat
berkhawatir, hingga ia jadi tidak nafsudahar, tidak tenang tidur Apa yang juga rada
melegakan hatinya adalah jurusan yang diambil oleh orang-orang Cio Liang Pay itu ada
jurusan Hoa San. Dengan begitu, tidak usahlah ia menjadi nyasar diwaktu mengikuti jejak
mereka itu, dan tidak usah ia gagal menghadapi rapat kaumnya, Begitulah mereka telah
mendekati kaki gunung,
Ang Seng Hay bermata jeli, selagi singgah sebentar di paseban, ia tampak gundukan
tanah yang mencurigai, lantas saja ia bongkar gundukan tanah itu, hingga untuk
kegirangannya, ia dapati mayatnya Oen Beng Tat.
"Dengan matinya dia ini, pasti Ceng Ceng telah jatuh ke dalam tangan Ngo Tok Kauw," Sin
Cie beri kepastian, "Mari kita lekas susul ke atas gunung!"
An Toa Nio menghiburi, dia kata, "Sekarang ini saat rapatnya Hoa San Pay, umpama kata
Bok Locianpwe sendiri masih belum datang tetapi Oey Cin Suheng atau salah satu di
antaranya tentu sudah sampai lebih dahulu, Maka itu apabila kaum Ngo Tok Kauw naik ke
gunung, pihakmu pasti akan beri pertolongannya kepada Nona Hee itu."
"Jikalau Ngo Tok Kauw berani mendaki Hoa San, pasti mereka sudah siap sedia dari
siang-siang!" Sin Cie bilang, "Maka itu kita mesti jaga supaya jangan ada orang kita yang
rubuh di tangan orang-orangnya berbisa itu...." inilah kekhawatiran yang bertambahtambah
dari si anak muda,
"Kalau Couwsu juga telah datang apa yang kita mesti jerikan?" kata Cui Hie Bin. "Mari
lekas kita mendaki gunung!"
Oleh karena kuda tak dapat mendaki gunung, semua kuda lantas dititipkan pada seorang
desa, dengan jalan kaki dengan berlari-lari, orang mulai mendaki gunung,
Selagi mendaki puncak, Sin Cie dengar suara-suara mengaung di udara, tanda dari
senjata-senjata rahasia, segera ia jadi girang seka1i.
"ltulah Bhok Siang Tojin di atas! Dia lagi memanggil kita!" katanya dengan kegirangan ia
keluarkan tiga biji caturnya ia pun menimpuk ke udara sampai sekejap saja, tiga biji
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
senjata rahasia itu lenyap sendirinya, akan lagi sebentar tiga-tiganya tampak pula sedang
turun ke arah mereka.
"Sungguh hebat, siauw susiok!" Hie Bin memuji, Sin Cie niat tanggapi ketiga biji caturnya,
ketika tahu-tahu muncul beberapa senjata rahasia lain dari arah samping, yang menimpa
ketiga biji catur itu hingga tiga-tiganya jstuh.
Me nyusul itu muncullah satu orang dengan sebelah tangannya mencekal shuipoa, alat
penghitung, yang digoyang pergi datang, sembari dia itu tertawa gembira,
"Suhu," seru Hie Bin, apabila ia tampak orang itu. "Suhu sudah datang lebih dahulu."
Orang itu memang Tong-pit Thie shuiphoa Oey Cin.
Lantas Hie Bin lari kepada gurunya itu, tanpa perdulikan tempat itu tempat apa, ia jatuhkan
diri untuk berlutut, untuk paykui tiga kali, maka waktu ia sudah berbangkit kelihatan
jidatnya benjut! Sebab ia manggut-manggut sampai membentur batu gunung,...
Melihat kelakuan tunangannya itu Siauw Hui mendongkol berbareng merasa kasihan ia
mendongkol melihat ketololan orang tapi berkasihan dan terharu melihat kejujurannya,
Ketika Hie Bin kembali padanya ia lantas sesali, Tapi Hie Bin tidak memperdulikannya dia
hanya tertawa saja.
Sin Cie hampirkan suheng itu, untuk beri hormat akan tanyakan ini dan itu sejak mereka
berpisah, sebagaimana sang suheng juga menanyakan dia. Kemudian, selagi ia hendak
tanya suheng itu kalau-kalau dia lihat Ceng Ceng atau orang Ngo Tok Kauw, sekonyongkonyong
Tay Wie dan Siauw Koay berpekik beru1ang-ulang, terus saja keduanya lari ke
arah jurang,
"Celaka, mereka minggat!" teriak Hie Bin. ia mau mengejar untuk melawan
"lni ada tempat asal mereka mau pergi biarkan saja," Sin Cie bilang,
Meski ia mengucap demikian pemuda ini heran juga sebab melihat dua binatang piaraan
itu pergi tanpa sikap ragu-ragu, hingga ia mengawasi saja sampai keduanya pergi jauh,
Selagi Sin Cie mengawasi, tiba-tiba ia lihat asap mengepul dari arah guanya Kim Coa
Long-kun, ia menjadi kaget Adalah ke sana Tay Wie dan Siauw Koay lari, lalu di sana
kedua binatang itu goyang pulang pergi tangannya seperti menunjuk ke tempat asap,
^seperti memanggil mereka,
Siauw Hui juga lihat sikapnya kedua binatang itu,
Toako dua binatang itu bukannya buron," katanya. "Lihat mereka lagi memanggil-manggil
kau!"
"Benar!" jawab Sin Cie, yang terus menerjang A Pa, untuk memberi tanda dengan tangan
nya.
Melihat demikian, A Pa segera lari ke gua mereka sendiri, untuk ambil dadung dan obor,
lantas dengan diikuti kawan-kawannya ia lari ke arah jurang,
"Nanti aku yang masuki gua itu!" kata Sin Cie yang bilang, cuma ia sendiri ketahui baik
keadaannya gua itu. ia terus robek ujung bajunya, guna dipakai menyumpal hidungnya
Dcngan sebelah tangan memegang obor, pemuda ini turun di dadung, yang sudah
dipasang A Pa.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Tay Wie dan Siauw Koay masih berpekik saja, kaki dan tangannya tidak berhentinya
digerak-geraki, nampaknya mereka sangat gelisah,
sebentar saja, Sin Cie sudah sampai di dalam gua, Segera ia diserang asap, hingga ia
merasakan sukar bernapas. Untung baginya, hidungnya telah disumpal siang-siang, ia
maju terus sambil berlari di jalan gua itu, sampai ia tampak satu tubuh manusia rebah di
tengah terowongan, ia kaget kapan ia telah lantas kenali Ceng Ceng. ia segera
membungkuk ia taruh tangannya di depan hidung si nona, ia tidak rasai hembusan napas,
akan tetapi waktu ia meraba dadanya, ia dapatkan dada itu turun naik dengan perlahan
sekali,
Di saat itu Sin Cie juga lihat seorang lain di dalam gua, ia pun sedang rebah. MuIanya ia
niat hampirkan orang itu, atau mendadak ia rasakan kepalanya pusing, matanya kabur,
berdirinya pun limbung, hampir saja ia rubuh, Maka segera ia insyaf, asap itu mengandung
racun, Tidak ayal lagi ia angkat tubuh Ceng Ceng, untuk di-pondong keluar ia sambar
dadung yang terus tarik-tarik,
A Pa terus tarik naik dadung itu, ia dibantu Seng Hay, hingga dalam tempo yang cepat, Sin
Cie sudah bergelantungan dengan sebelah tangannya tetap me-mondong Ceng Ceng, Di
sini di luar gua, baru Sin Cie berani bernapas, ia menahan sebisa-bisanya, Baru dua kali ia
bernapas, ia merasa perutnya mual, tanpa tertahan lagi ia muntah-muntah,
Semua orang di atas jadi berkhawatir, Kalau anak muda ini tak dapat pertahankan diri asal
cekalannya terlepas, celakalah dia berdua Ceng Ceng, Maka itu, walaupun mereka menarik
dengan cepat, A Pa dan Seng Hay toh berhati-hati, supaya mereka tidak menarik dengan
kaget!
Ciu San bersama He Bin dampingi dua orang itu, untuk berikan bantuan mereka kalau saja
A Pa dan Seng Hay membutuhkan itu, Mereka juga siap untuk sambuti Sin Cie.
Selagi itu dua orang terangkat hampir sampai, mendadak terdengar suara nyaring dari
arah gua, seperti gua itu meledak gempur, lantas kelihatan asap mengepul naik dan batubatu
terbang berhamburan. Semua orang terperanjat tidak terkecuali Seng Hay, hingga ia
hampir lepaskan cekalannya, syukur A Pa si gagu yang pekak, tidak dengar apa-apa dan
masih menarik dengan tenang,
Diakhirnya, untuk kelegaan semua orang, sampailah Sin Cie di atas, Akan tetapi setelah ia
injak batu gunung, kakinya lemas, lantas saja ia rubuh, lupa akan dirinya,
Ketika itu Bhok Siang Tojin pun sudah berkumpul di antara mereka, maka guru ini segera
tolong muridnya, juga Ceng Ceng untuk pijat dan uruti mereka,
Dari dalam gua, suara peledakan masih menyusul berulangkali
Orang tidak tahu apa yang menyebabkan itu dan beberapa banyak tersimpannya bahan
peledak di da!am-nya. Orang saling memandang dengan merasa heran,
Tidak antara lama, Sin Cie sadar, lantas ia bernapas dengan beraturan ia merasa sangat
lelah,
"Sungguh berbahaya..." ia mengeluh sebentar lagi, Ceng Ceng pun ingat akan dirinya
akan tetapi begitu lekas ia buka mata dan lihat si anak muda," ia lepaskan tangisan,
Baru sekarang semua orang berhati lega,
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Untuk scmentara, Bhok Siang antapkan muridnya itu beristirahat di situ, sedang suara
perledakan sudah berhenti, tinggal asapnya yang masih sedikit mengepul
"Nanti aku lihal!" kata Hie Bin dengan bcrani.
Ciu San setuju, ia ikat orang punya pinggang, akan kasih turun anak muda itu, yang
dipesan mesti lantas membetot dadung andaikata ada ancaman bahaya di gua itu.
Kapan Hie Bin sampai di lubang gua, ia tidak lihat suatu apa, karena lubang itu telah
tertutup rapat, hingga terpaksa ia mesti kembali dengan tangan kosong,
Sin Cie tuturkan bagaimana ia ketemukan Ceng Ceng, sedang Ceng Ceng ceritakan
pengalamannya yang penuh bahaya di dalam gua itu menghadapi Ho Ang Yo yang sudah
kalap,
Mendengar itu, Bhok Siang Tojin menghela napas,
"Ketika baru ini aku lihat panahnya Kim Coa Long-kun yang disembunyikan di dalam peti,
aku sudah kagumi kepintarannya," berkata imam ini, "Siapa sangka sekarang terbukti
kepintarannya begini luar biasa, Jauh sekali pandangannya...."
"Siapa juga tidak akan menyangka sekali pun di dalam tengkorak dia masih simpan bisa,"
nyatanya Oey Cin yang tidak kurang kagumnya,
"Suhu, inilah aneh!" seru Hie Bin si sembrono, "Ba-gaimana bisa itu bisa disimpan di
dalam mulut tengkorak? Dia toh sudah mati dia tinggal rerongkongnya saja?"
Oey Cin tertawa, tetapi dia kata, "Nanti saja kau coba sendiri, sesudah kau mati!"
Guru ini sebal-sebal geli untuk ketololan muridnya ini.
Tentu saja semua orang tertawa ramai,
"Orang tidak tahu makanya dia menanya..." mendumal si pemuda she Cui itu.
"Hee Losu Kim Coa Long-kun ada seorang pintar luar biasa dan sangat teliti." Sin Cie
kasih tahu, "Dia tahu bahwa semasa hidupnya dia mempunyai banyak musuh, dia
mestinya telah menduga walaupun dia sudah mati, mesti ada musuh-musuhnya yang
bakal terus cari pada-nya, untuk musnahkan tulang-tulangnya, dari itu karena dia sendiri
ada ahli bisa, dia lantas buatkan persiapannya disaat dia hendak hembuskan napasnya
yang terakhir Secara demikian, sampai dia sudah tinggal rerongkong-nya, dia masih bela
dirinya...."
Mendengar ini Hie Bin tepok pahanya,
"Sekarang tahulah aku!" dia berseru. "Dengan persiapannya itu, kalau nanti ada orang
bakar tulang-tulangnya, maka racun yang disembunyikan di dalam tutang-tu!ang itu nanti
bekerja sendirinya...",
"Hanya...." kata dia pula bilang sesaat "Kenapa gua itu bisa meledak? Apakah dia simpan
juga bahan peledak di dalam tu1ang-tulangnya itu?"
Kembali orang bersenyum karena pertanyaan ini.
"Masa dia sembunyikan bahan peledak di dalam tulang-tulangnya?" kata Siauw Hui, "Pasti
dia sembunyikan itu di dalam tanah!"
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Sin Cie tidak perhatikan kata-kata orang itu, ia manggut-manggut, ia menghela napas pula,
"Adalah keinginannya ibunya adik Ceng supaya ia dapat dikubur bersama suaminya,
sekarang keinginannya itu telah tercapai," katanya,
Hie Bin sendiri masih saja terheran-heran, hingga ia ulur lidah nya.
"Kim Coa Long-kun benar-benar lihay!" katanya, "Dia sudah menutup mata belasan tahun
lamanya, dia masih bisa layani musuh-musuhnya. Sudah selayaknya saja kalau wanita tua
dan jahat dari Ngo Tok Kauw itu nerima kebinasaannya."
"Meskipun dia jahat, akan tetapi cintanya adalah sejati harus dihargai," Sin Cie bilang, "Dia
bersengsara karena cinta...."
Siauw Hui sementara itu usap-usap kepalanya Tay Wie dan Siauw Koay,
"Kalau tidak getapnya mereka ini, asal lambat sedikit saja oh, bagaimana hebatnya
kejadian inL." katanya,
"Ya, itu benar," kata beberapa orang.
Maka sekarang orang kagumi kedua binatang piara-an itu yang mempunyai perasaan luar
biasa.
Sampai di situ orang berangkat ke dalam gua, An Toa Nio dan gadisnya memayang Ceng
Ceng yang masih lemah sekali, Dia telah ditukari pakaiannya lantas di-rebahkan di atas
pembaringan untuk dia beristirahat
Bhok Siang lojin berikan obat pulung, untuk punahkan racun, akan tetapi itu tidak lekas
dapat menolong, karena racunnya Kim Coa Long-kun lihay sekali dan Ceng Ceng
terkenanya cukup lama, Malah selang satu malam, mukanya si nona menjadi berobah
hitam, keadaannya jadi bertambah berat, ada kalanya dia jadi tak sadarkan dtri, atau kalau
dia mendusin, dia lantas menangis sendirinya, dia mengaco, Dalam tidurnya dia suka
mengimpi, dia suka mengigau dengan katakan Sin Cie tidak punya budi rasa....
Sin Cie sendiri jadi sangat lesu dan putus asa, hingga melihat dia, orang merasa kasihan,
malah orang ber-khawatir untuk kesehatannya.
Kapan anak muda ini ditinggal berduaan saja sama Ceng Ceng, yang rebah tidak berdaya
ia coba hiburkan nona itu, ia berikan janjinya bahwa ia tidak mencintai nona lain siapa
juga,
Ceng Ceng tidak bilang suatu apa, masih saja dia suka keluarkan muntah cair hitam,
mukanya sendiri kadang-kadang bersemu merah dadu tetapi lebih banyak hitam-nya.
Sin Cie lihay ilmu silatnya, sekarang ia habis daya. Maka ia lebih banyak bercokol atau
rebah dengan air mata berlinang-linang, ia tidak punya obat untuk tolong kekasih ini,
karena mustika kodok es sudah Habis,
Di luar orang ramai bicarakan Kim Coa Long-kun. Biar bagaimana orang anggap jago Ular
Emas ini telah membahayakan anak dara nya sendiri....
Karena ini orang umumnya tidak gembira.
Dihari itu mendekati magrib, Tay Wie dan Siauw Koay perdengarkan suara mereka yang
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
berisik. Nyata telah datang rombongannya Kwie Sin Sie suami istri serta murid-murid
mereka ialah Bwee Kiam Hoo. Lauw Pwee Seng, Sun Tiong Kun dan lainnya, jumlah
berenang Kapan Kwie Jie Nio dengar Ceng Ceng terkena racun ia berikan sisa obat
anaknya yaitu hok-leng dan ho-siu-auw.
Setelah makan obat ini, Ceng Ceng bisa tidur dengan tcnang,
Ketika sang magrib datang, murid kepala dari Oey Cin datang bersama delapan suteenya
serta dua putranya, Lebih dulu mereka kasih hormat pada Bhok Siang Tojin, baru guru
mereka jie susiok Kwie Sin Sie suami dan istri,
Murid kepala dari Oey Cin itu lihat Sin Cic, sang sam-susiok masih muda daripada
anaknya yang pertama, maka untuk tekuk lutut di depan paman guru ketika ini, ia merasa
sungkan, Maka itu ketika ia toh memanggil.
"susiok", ia tetap ragu-ragu.
Sin Cie lihat ini sutit, keponakan murid, berumur empat puluh lebih, dadanya lebar,
pinggangnya tegar, suatu tanda tubuhnya kuat, sedang tubuh itu ada terlebih tinggi
daripada tubuhnya sendiri Maka diam-diam ia memuji ia anggap pantas toa-suhengnya
punyakan murid yang beroman gagah ini. Dia ini beda sangat jauh dari Hie Bin si toloL
"Tidak usah berlutut," ia mencegah, ketika ia tampak sembilan sutit itu hendak berlutut di
depannya. "Jangan pakai banyak adat peradatan!"
Segera Hie Bin perkenalkan saudara seperguruannya yang tertua itu.
"Toasuheng ini she Phang bernama Lan Tek," kata-nya, "Di dalam kalangan kang-ouw dia
digetarkan Pat-bin Wie-hong." (Gelaran itu mempunyai arti "Keangkeran di delapan
penjunC),
"Pasti saudara Phang telah mewariskan kepandaian toasuheng," Sin Cie bilang,
Phang Lan Tek merendahkan diri
Oey Cin tidak bilang suatu apa murid kepalanya itu tidak tekuk lutut terhadap sutee buncit
itu, terutama sebab ia tahu, muridnya ini telah punyakan nama baik, ia sendiri juga
memang paling sedernana,
Sesudah itu baru Lan Tek suruh dua putranya berlutut kepada semua orang yang lebih
tua, mulai dari Bhok Siang Tojin sampai pada Kiam Hoo berantai
Dua anak itu ada Phang Put Po yang lebih tua, usianya dua puluh satu tahun, dan Phang
Put Cui yang kedua, yang baru berumur tujuh belas, Untuk di wilayah Kam Liang, karena
mengandal pada nama ayahnya, mereka telah punya nama juga, sedang kepandaian
mereka sendiri boleh dibilang sudah cukup berarti sekarang Put Po lihat, paman gurunya
yang termuda baru berumur kurang lebih dua puluh tahun, maka walaupun mereka
berlutut, hati mereka tidak puas, Mustahil orang dengan usia demikian muda menjadi yang
tertua lebih tinggi dua tingkat derajatnya? Mereka juga tidak melihat mata karena tampak
susiok itu beroman lesu dan kucel air mukanya, bekas-bekas air matanya masih belum
Icnyap,
Dua saudara Phang itu bergaul rapat dengan muridmu rid nya Kwie Sin Sie suami istri,
malah mereka tahu, Sun Tiong Kun adalah yang paling jumawa dan kepala besar, ilmu
silatnya pun sempurna, maka diam-diam mereka ini berdamai untuk sebentar ogok-ogok si
Nona Sun, agar dia coba-coba kepandaiannya paman cilik itu, ingin mereka membuat
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
paman guru cilik itu dapat malu di depan sucouw dan guru dan paman guru mereka,
Mereka percaya, umpama ayah mereka ketahui perbuatannya tidak nanti mereka
dipersalahi.,
Begitulah besoknya, pagi-pagi sekali mereka sudah bangun, lantas mereka pergi keluar,
akan cari Sun Tiong Kun, Kebetulan, mereka ketemu Cio Cun, susiok mereka yang ke
delapan,
Cio Cun ini juga muda usianya dan gemar cari gara-gara ilmu silatnya berimbang sama
mereka berdua saudara sebab di pipi kanannya ada tahi lalat biru orang juluki dia Cheebian-
sin, Malaikat Muka Biru, Dia ingin menegor kapan dia saksikan roman luar biasa dari
engko dan adik itu,
"Hai, katamu bikin apa?" demikian teguran nya.
"Kita lagi ajari Sun Su kouw!" sahut Put Cui sambil tertawa, "Katakan selama di Shoatang,
su-kouw sudah rubuhkan banyak orang Put Hay Pay, maka kita ingin dia beri penuturan
kepada kita."
"Bagus!" Cio Cun nyatakan akur. "Tadi aku lihat dia lagi berlatih sama Bwee Suko, mari
kita tengok padanya!"
Lantas tiga orang ini lari ke gunung belakang,
Di sepanjang jafan, dua saudara Phang ini pikirkan, kata-kata apa mesti dihaturkan kepada
Sun Tiong Kun supaya sukouw itu sang bibi guru jadi panas hatinya terhadap Sin Cie.
"Jikalau dia sedang berlatih pedang, baik bilang saja Wan Siauw-susiok-couw cela ilmu
pedangnya itu," kata Put Cui.
"Akur!" sahut Put Po sambil terlawa.
Selagi mereka mendekati ke tempat di mana katanya Sun Tiong Kun dan Bwee Kiam Hoo
lagi berlatih silat, tiga orang ini sudah lantas dengar suara nyaring dan bengis dari Sun
Tiong Kun seperti sang bibi guru lagi damprat orang, Mereka heran, maka mereka lari
untuk lekas mcncmui.
Kelihatan Sun Tiong Kun lagi kejar seorang lelaki umur tiga puluh tahun lebih, dia ini
sambil lari sambil mengupat caci mengatakan Sun Tiong Kun sebagai "wa-nita bangsat!
dan "wanita hina dina", Tidak selamanya dia lari lcrus, Karcna dia pun mencekal golok,
saban-saban ia berhenti, untuk lakukan perlawanan Nyata dia kalah lihay, saban-saban ia
lari pula, kalau kecandak, kembali dia bikin perlawanan Dia mencaci terus selagi si nona
damprat ia berulang-ulang,
"Mari kita pegal binatang itu, supaya dia tidak mampu lolos!" Put Cui mengajak,
Secara kalap terdengarlah suaranya orang yang dikejar-kejar Sun Tiong Kun itu, "Kau
telah bunuh istriku serta anak-anakku, maka kenapa kau bunuh juga ibuku yang sudah
berumur tujuh puluh tahun lebih?"
Air mukanya Sun Tiong Kun merah padam
"Manusia tidak punya malu!" si nona mendamprat.
"Umpama kala di rumahmu ada terlebih banyak orang lagi, aku pun akan bunuh semua!"
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Mereka itu berkelahi dengan sengit sekali, karena sama-sama sedang sangat mendongkol
"Hai, kenapa Sun Su-kouw tidak pakai pedang?" seru Phang Put Po. "Dia menggunai
sebatang gaetan, tak leluasa nampaknya gerakannya."
Cio Cun dan Put Cui pun segera lihat, itu bibi guru lagi gunai senjata yang tidak cocok.
Maka orang she Cio ini lantas cabut pedangnya ia balik itu untuk pegang tajamnya,
"Sun Suci, sambut pedang ini!" kata dia sambil lemparkan pedangnya itu,
Berbareng sama terlemparnya pedang, dari sam-ping, di mana ada pepohonan lebat,
melesat satu bajangan, yang terus sambuti pedang itu, akan talangi Tiong Kun.
Ciu Cun bertiga terperanjat melihat kesehatan orang, kemudian mereka jadi kenali,
bajangan itu adalah Bwee Kwie Hoo, murid kepala dari Kwie Sin Sie, Susiok Couw mereka,
"Bwee Susiok!" Cio Cun memanggil
"Ya," Bwee Kiam Hoo menyahuti, sambil manggill, setelah mana, dia lemparkan kembali
pedang itu, seraya tambahkan, "Sun Su kouw telah pahamkan lain alat, tidak lagi pedang."
Ciu Cun heran, hingga ia perdengarkan seruan tertahan ia memang tidak tahu, sebab
Tiong Kun lelengas, dia sudah dilarang memakai pedang,
pertempuran masih berjalan terus, Lama-lama, orang lelaki itu repot juga, maka setelah
terdesak hebat, tangannya kena ditendang si nona, goloknya terlepas, hingga dilain saat
dadanya jadi terbuka untuk tusukan gaetan.
"Tahan!" mendadak Kiam Hoo berseru dengan cegahannya,
-ooo0ooo-
Bagian ke tiga puluh empat
Sun Tiong Kun heran, hingga ia tunda serangannya, karena mana, lawannya itu dapat
kesempatan untuk angkat kaki ke arah bawah gunung,
"Kasih ampun pada nya!" kata Kiam Hoo sambil tcrtawa, "Biarlah sucouw nanti beri pujian
padamu!"
Sun Tiong Kun bersenyum,
Orang itu lari beberapa puluh tindak jauhnya, ia berhenti, akan putar t ubun nya, buat
kembali caci musuh nya, ia mengatakan pula, "Perempuan bangsat! perempuan busuk dan
hina!"
Kali ini bukan cuma Sun Tiong Kun, juga Kiam Hoo dan Cio Cun serta kedua saudara
Phang turut jadi gusar Put Cui sampai mencaci. "Makhluk apa itu berani datang mengacau
di Hoa San?"
Dengan bawa ruyung besi nya, ia lantas mengejar
Sun Tiong Kun dalam murkanya sesumbar "Jikalau aku tidak bunuh binatang itu, aku
sumpah tak mau jadi manusia! Aku tidak perduli biar Sucouw kutungi lagi sebatang
jerijiku!"
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Dia pun mengejar seraya putar gaetannya,
Bwee Kiam Hoo paling sayangi sumoay ini, dipihak lain, ia khawatir sang sumoay nanti
kembali bunuh orang, untuk cegah itu, ia ingin mendahului bekuk orang itu.
untuk hajar adat pada nya, supaya adik seperguruan ini puas hati, maka itu ia pun
berlompat lari akan mendahului ilmu entengkan tubuhnya ada di atas semua kawannya itu
sebentar saja ia sudah berada di sebelah depan mereka.
Musuhnya Tiong Kun itu tampak gelagat jelck, dia lari ke kiri di mana kebetulan ada jalan
cagak,
Cio Cun bersama dua saudara Phang segera menyerang dengan senjata rahasianya
masing-masing, Baru hui hongsekdari Put Po menuju ke arah bebokongorang itu, Dia ini
gesit, dia bisa dengar sambaran angin, maka ia berkelit ke kanan. Tetapi "Sreet!" panah
tangan dari Ciu Cun mengenai kempolannya, bahna sakit, ia ter-huyung-huyung terus dia
rubuh terguling.
Disaat itu, Bwee Kiam Hoo sudah sampai dia lompat untuk mencekuk,
Berbareng dengan itu dari samping terdengar desiran angin, menyambar ke tubuh orang
itu, tubuh siapa dilain saat sudah lantas mencelat hampir menubruk orang she Bwee ini.
Kiam Hoo terkejut, dia berkelit ke samping, sekarang dia bisa lihat tubuh orang itu kena
terkelit beberapa puluh lembar tambang dan telah terbetot
Sun Tiong Kun dan yang lainnya memburu sampai di situ, mereka lihat kejadian itu,
mereka terperanjat
Nyata orang yang toIongi orang yang dikeroyok itu ada satu wanita yang cantik, bajunya
putih bagaikan salju, rambutnya yang panjang terurai ke bcIakang. Tetapi nona ini tak
bersepatu dan kedua kaki dan tangannya memakai gelang emas, dandanannya bukan
dandanan orang Han, bukan orang suku bangsa Ic. Dan sehabis menoIongi dia lantas
berdiri diam sambil tertawa manis, juga di tangan kanannya, yang putih seperti salju, ada
terpegang setabung tambang entah terbuat dari kawat entah dari benang,
Dan di belakang si cantik ini berdiri lagi satu wanita muda yang tubuhnya tertutup jubah
putih dari kepala sampai ke kaki, hingga terlampak saja wajahnya, Dia beroman cantik
tetapi kulitnya pias, tidak gembira,
Mcrcka ini adalah Ho Tek Siu dan A Kiu.
Dilain harinya setelah keberangkatan Sin Cie berantai meninggalkan kota raja, Ouw Kui
Lam dapat kaburnya halnya Wan Peng tertampak empat jago tua Cio Liang Pay serta Ho
Ang Yo berikut Ceng Ceng, maka se pulangnya ia terus beritahukan itu padanya, ia terus
beritahukan itu pada kawan-kawannya,
Mendengar halnya ada binatang berbisa dipantek di pojok lemKok, Hb Tek Siu tahu itulah
tanda Ngo Tok Kauw untuk mcngumpuIi orang, ia jadi khawatir Ceng Ceng dapat celaka, ia
jadi niat memberi pertolongan kepada si nona, untuk kebaikan Sin Cic. Untuk segera
berangkat ia bersangsL ia sudah janjikan Sin Cie akan rawati A Kiu. Bukankah keadaan di
kota raja masih kalut? Bukankah A Kiu ada putri raja yang menarik perhatian umum? Maka
tidak dapat ia tinggalkan A Kiu seorang diri di kota yang berbahaya itu. Hebat kalau
sampai putri ini menghadapi sesuatu, Sesudah lama bersangsi, akhirnya ia ambil putusan
akan ajak tuan putri ini.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Ketika A Kiu diberitahukan bahwa ia hendak diajak pergi susul Ceng Ceng, dia
menyatakan akur, maka itu, malam itu mereka menulis surat, dan setelah dengan diamdiam
A Kiu bersembahyang di kuburan ayahnya, almarhum kaisar Cong Ceng, ia ikut Tek
Siu berangkat dari kota raja,
A Kiu belum sembuh betul dari lukanya, akan tetapi ia dapat pelayanan istimewa dari Tek
Siu, seorang yang banyak pengalamannya yang pun anggap ia sebagai adik kandungnya,
maka walaupun perjalanan dilakukan cepat, ia tidak terlalu menderita, Selama di tengah
perjalanan, lukanya terus mendapat kemajuan, ia jadi sangat bersyukur kepada bekas
kauwcu dari Ngo Tok Kauw itu hingga keduanya jadi rapat betul satu dengan lain, Ketika
hari itu mereka mendaki Hoa San, kebetulan mereka saksikan Ang Seng Hay sedang
dikepung Sun Tiong Kun beramai maka Tek Siu dengan bandringan Joan-ang-cu-so,
"benang kawa-kawa" sudah lantas tolongi orang shc Ang itu,
Memang Seng Hay adalah orang yang hendak ditangkap Kiam Hoo itu.
Dua-dua Bwee Kiam Hoo dan Sun Tiong Kun tidak tahu yang Ang Seng Hay telah turut Sin
Cie, mereka juga tidak tahu Ho Tek Siu dan A Kiu orang-orang macam apa, tentu saja
mereka jadi gusar, sebab mereka dapat anggapan, orang-orang asing ini berlaku kurang
ajar di atas gunung Hoa San, yang menjadi daerah pengaruh mereka,
"Siapa kamu?" Tiong Kun membentak "Apakah kamu semua dari Pun Hay Pay?"
Ho Tek Siu tidak gusar karena teguran itu, ia malah tertawa terus,
"Enci apa shemu yang mulia dan namamu yang besar?" ia tanya dengan hormat
"Entah di dalam hal ini telah bersalah terhadapmu Apakah boleh siauwmoay membikin
akur kamu berdua pihak?"
Ho Kauwcu sengaja membahasakan diri "siauwmoay" - adik yang kecil
Tiong Kun dengar suara merdu orang tetapi suara itu mengandung sedikit kejumawaan,
sedang dandanan orang luar biasa. ia tetap tidak senang,
"Kamu siluman dari mana?" tanya dia. "Apakah kamu tahu ini tempat apa?"
Tek Siu tidak jawab pertanyaan sombong itu, ia tertawa saja,
"Nona Ho, bangsat perempuan ini ada manusia paling jahat!" Seng Hay kasih tahu, "Dia
yang dipanggil Hui Thian Ho-Iie si Hantu Wanita, istri serta anak-anakku, juga ibuku yang
sudah berumur tujuh puluh lebih, semua terbinasa di tangan dia!"
Seng Hay gusar sekali, hingga matanya bersinar mirip api.
Mendengar perkataan Seng Hay ini, Bwee Kiam Hoo lantas ambil sikap Iain. Mcmang sejak
di Kim-Ieng ia peroleh pengajaran dari Sin Cie, ia telah jadi kuncup banyak, ia juga
mengerti, couwsunya bakal datang kalau tidak hari ini, tentu besok, maka ia anggap baik
jangan timbulkan onar
"Sudah pergi kamu turun gunung, jangan bikin rcwel di sini!" katanya dengan maksud
menyudahi urusan.
Phang Put Cui pun turut berkata. "Kamu dengar tidak perkataan susiok ku ini? Lekas
kamu pergi, lekas!"
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
ia lompat mendekati A Kiu niatnya untuk mengusir.
Nona ini memegang tongkat bambu Ceng-tiok-thung di tangan kanannya, ia mengawasi
dengan roman agung, Bir,i bagaimana, dia adalah putri raja, dia mempunyai keangkuhan
dan keangkerannya sendiri, Maka melihat sikap itu Put Cui heran.
"Apakah kamu datang untuk antari jiwa?" akhirnya Put Cui menegur ia tidak takut,
sebaliknya ia jadi gusar: ia lantas ulur tangannya akan sambar baju A Kiu, guna dorong
putri ini.
Meski ia belum sembuh anteronya dari lukanya, kendati tangannya tinggal sebelah A Kiu
tidak lupa ilmu silatnya warisan dari Thia Ceng Tiok, kematian siapa membuat ia sangat
bersih- Maka itu tidak senang ia lantas perlakukan kasar dari pemuda itu, Tanpa bilang
suatu apa, ia geraki tongkatnya,
Tiba-tiba saja Put Cui menjadi limbung, terus ia rubuh celentang, Tetapi ia tidak dilukai,
begitu bebokongnya kena tanah ia bisa kerahkan tenaga untuk mencelat bangun, ia masih
muda dan tabiatnya keras, dibikin rubuh secara demikian gampang, ia jadi murka,
mukanya menjadi merah. ia lantas angkat ruyungnya untuk menyerang,
Tek Siu mengawasi kembali ia tertawa,
Tuan-tuan tok dari Hoa San Pay?" katanya, "Kita adalah orang-orang sendiri!"
"Siapa sudi jadi orang sendiri dengan kamu siluman?" bentak Put Po.
Bwee Kiam Hoo khawatir suasana jadi keruh, ia lantas kedipi dua saudara Phang itu,
Sebagai seorang kang-ouw ia pun telah cukup berpengalaman, ia percaya nona di
depannya itu bukan orang tanpa asal-usuL ia juga telah saksikan kepandaiannya,
"Siapakah itu gurumu?" dia tanya,
"Guruku she Wan," Tek Siu jawab, "Namanya di atas Sin, di bawah Cie. Guruku itu ada dari
Hoa San Pay."
Bwee Kiam Ho menoleh pada Sun Tiong Kun, selagi sumoay ini pun berpaling kepadanya
sebab keduanya heran. Mereka sangsi,
Cio Cun tapinya tertawa, dia kala. "Wan Susiok sendiri masih satu bocah cilik, ilmu silat
kaum kita ia baru dapat pelajarkan tiga bagian, maka cara bagaimana dia boleh menerima
murid?"
Tek Siu tidak gusar, ia tetap tertawa, "Oh, begitu," tanyanya.
Sun Tiong Kun pernah dapat malu dari Sin Cie, malah dia telah ditegur sucouwnya dan jari
tangannya dibabat kutung maka biar bagaimana tidak puas hatinya, Sebagai orang
perempuan, ia pun tetap kurang luas pandangannya, Kalau ia dengar orang sebut nama
Sin Cie, ia jadi "gatal", kumat kebenciannya, Tapi susiok itu lihay, derajatnya tetap lebih
tinggi, ia tidak bisa berbuat suatu apa, Lain dari itu, sekarang ini guru dan subonya
hormati sekali paman guru cilik itu, yang pernah to!ongi jiwa anak gurunya, dan saban
menyebut nama Sin Cie, kedua guru itu nampaknya sangat berterima kasih hingga ia
mesti telan saja kebenciannya, Tapi sekarang ia dengar nona asing ini ada muridnya itu
paman guru cilik, tiba-tiba hatinya jadi panas pula,
"Apa benar kau ada murid Hoa San Pay?" dia tanya dengan bengis. "Kenapa kau justru
bergaul sama ini manusia tidak tahu malu?"
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Dia maksudkan Ang Seng Hay.
"Dia adalah pengiring guruku," TekSiu jawab. Turut penglihatanku, dia bukannya tidak
tahu malu! Eh, Seng Hay, kenapa kau menyebabkan nona ini gusar kepada-mu? Kau salah
apa?"
sementara itu ke situ telah datang Phang Lan tek bersama Lwee Seng dan lainnya, sebab
mereka telah lantas dapat dengar suara berisik dari perselisihan itu,
"Ayah," kata Put Po. "lni anak perempuan bilang dia ada seorang she Wan punya eh,
muridnya siauw susiok-couw,.,."
"Hm! Apakah yang direwelkan?" Lian Tek tanya.
Put Cui lantas dului kandanya, untuk memberi penuturan
Di dalam tingkat ketiga dari Hoa San Pay, Phang Lian Tek adalah yang usianya paling
tinggi, dia pun masuk belajar paling dahulu, maka itu dalam kalangan kangouw dia telah
diperoleh nama, hingga dengan sendirinya, dia adalah kepala di dalam kalangannya itu.
Ketika dia sudah dengar keterangan anaknya, dia lantas berpaling kepada Sun Tiong Kun.
"Sun Sumoay, bagaimana duduknya maka kau bermusuhan dengan nya ?H ia lanya, ia
maksudkan Seng Hay,
Mukanya Tiong Kun menjadi bersemu merah.
Kiam Hoo segera menalangi sumoay nya itu,
"lni jahanam mempunyai satu kanda angkat," demikian katanya, "Dia tidak tahu selatan,
dia berani melamar Sun Sumoay untuk dijadikan istrinya, karena itu, lamarannya ditolak,
dia dimaki..."
"Dia mau terima baik atau menampik ia mara n, itu memang ada hak dia!" Seng Hay
nyeletuk. "Akan tetapi kenapa dia tebas kutung kedua kuping saudara angkatku itu?"
"Siapa tanya kau?" memotong Lian Tek dengan mata mendelik
Bwee Kiam Hoo melanjuti, "Jahanam ini lantas kumpul sejumlah kawannya mereka gunai
ketika selagi Sun Sumoay berada sendirian, mereka tangkap sumoay dan dibawa lari!
Syukur aku bersama suhu keburu dapat tahu dan susul mereka dengan begitu sumoay
dapat ditolong."
Kedua matanya Lian Tek berputar, sinarnya tajam sekali,
"Sungguh bernilai besar!" bentaknya kepada Seng Hay, "Jadi sekarang kau masih tidak
puas mencari rewel?"
"Mereka menculik orang untuk dipaksa suka me-nikah, itu adalah salah mereka," kata Tek
Siu yang belakan Seng Hay. "Untuk itu bukankah Sun Sumoay telah bunuh saudara
angkatnya itu? Bukankah kau telah diperoleh kepuasan? Maka kenapa kau masih satroni
rumah dia ini dimana kau binasakan lagi istrinya, anak-anaknya, dan ibunya yang sudah
tua yang telah berumur tujuh puluh tahun lebih? Dalam hal ini aku ingin penjelasan!"
Lian Tek semua lantas merasa, adik seperguruan itu benar keterlaluan
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
"Pulang pergi, asalnya adalah kau yang jahat!" Put Po masih salahkan Seng Hay,
"Sekarang orang sudah mati, habis kau hendak apakah?"
"Cukup!" Tek Siu memotong "Sebentar aku nanti menemui guruku, untuk minta dia yang
kasih pertimbangannya."
"Wan Susiok beramai sedang repot, mereka tidak ada tempo." kata Lauw pwee Seng.
"Mana suhu?" Kim Hoo tanya,
"Suhu bersama subo, supeh dan susiok lagi repot berdamai untuk menolongi orang,"
Pwee Seng jawab,
"Kalau begitu," Lian Tek bilang, "Baik ringkus dulu semua mereka ini! sebentar kita minta
putusannya suhu dan susiok semua...."
Put Po dan Put Cui menyahuti, lantas mereka maju untuk tangkap tiga orang itu. Put Cui
tidak kapok.
Tek Siu menjadi tidak puas melihat orang begini galak, Dia sudah tukar haluan, dia telah
coba merubah adat, tetapi belum lenyap semua sifatnya sebagai kauwcu, kepala agama.
Tadinya dialah yang biasa memerintah maka bagaimana sekarang ia yang hendak
diringkus? walaupun ia mendongkol ia masih bisa tertawa geli,
"Kamu hendak meringkus orang?" katanya, "Di sini aku ada sedia tambangnya!"
Dia lantas acungkan Joan-ang Cu-so.
Put Cui melotot
"Siapa kesudian itu!" katanya. Dia lantas maju bersama saudaranya, untuk hampirkan
Seng Hay,
Bekas jago dari Put Hay Pay itu tentu saja tidak suka mendekati dirinya diringkus, Kalau
tadi dia diam saja, dia suka mengalah kepada Ho Tek Siu, yang ia tahu ke-lihayannya
dalam sepak terjang dan dalam ilmu silat
Disaat ketiga"orang itu hampir bergebrak, mendadak mereka dengar suara tertawa di
samping mereka, dengan tiba-tiba saja dua saudara Phang merasa kaki meraka terangkat
terangkat bersama-sama tubuh mereka, jumpalitan di atas tanah, seperti awan, hingga
mereka kaget, semangat mereka seperti terbang, Sebelum mereka jatuh, mereka dengar
pula suara tertawa tadi, disusul sama ajaran "Lekas bergerak dengan'Lee-hie hoan sin"!
itulah ilmu yang paling rendah, tentu ayahmu sudah mengajari-nya...!"
Phang Put Po turut itu ajaran, dia putar terus tubuhnya dengan gerakan "Lee hie hoan sin"
itu ~ "lkan tambra lompat berbalik", maka ketika kedua kakinya turun ke tanah, ia berdiri
dengan tetap,
Tidak demikian dengan Put Cui, yang tabiatnya keras, dia justru mencoba menggunai
gerakan "Hui pauw liu coan" atau "Air tumpah mengalirkan air", benar gerakannya bagus,
tetapi dia terlambat, tubuhnya mendahului turun, hingga ia jatuh di tanah dengan duduk
numprah, dia terbanting keras, hingga ia merasakan sangat sakit, sedang malunya bukan
main, muka dan kupingnya menjadi merah.
Dua-dua mereka seperti tidak tahu kenapa tubuh mereka terangkat naik dan jadi
jumpalitan di udara...
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Phang Lian Tek jadi sangat murka karena anaknya dipermainkan
"Hai, siluman!" dia membentak. "Tapi kau bilang kau ada kaum Hoa San Pay, kami sangsi,
tapi sekarang kau gunai kepandaianmu yang rendah ini, terang kau bukan orang golongan
kami! Mari maju!"
Tidak sempat Pat-bin Wie hong buka kancing bajunya satu demi satu, dengan tangan
kirinya ia membetot sebelah baju nya, maka berbareng sama suara memberebet pada
putuslah kancing bajunya itu, sesudah mana, baru ia buka bajunya untuk dilemparkan,
hingga sekarang terlihat pakaiannya yang berwarna biru dan sepan, sehingga ia
nampaknya jadi sangat keren, berdirinya pun tegak bagaikan menara besi,
Masih saja Ho Tek Siu tertawa manis,
"Ai, suheng, apakah kau hendak berlatih silat dengan siauwmoay?" tanyanya, itulah
bagus! Kita bertaruh secara apa?"
Lian Tek lihat kegesitan orang barusan, tetapi ia tidak jeri, ia percaya benar
kepandaiannya, sedang ia ada sangat ternama di See-keng. ia tidak lihat mata pada nona
ini. Tapi, meski ia beroman bengis, dan adatnya keras juga, ia welas asih, Maka melihat si
nona manis budi, hawa amarahnya menjadi kurangan dengan cepat
Begitulah ia berkata, "Kami berantai adalah orang-orang yang masih dapat diajak bicara,
Kalau sebentar Kwie Jie-nio yang keluar, hm... kau nanti tahu rasa. Dia paling benci
kejahatan, kalau dia lihat orang semacam kau, tidak nanti dia mau melepaskannya!
sekarang hayo kamu lekas angkat kaki!"
"Kau bukan guruku, hak apa kau punya untuk usir aku?" tanya Tek Siu tetap dengan
saban
Put Cui masih tidak puas, tidak perduli sudah dua kali ia peroleh hajaran, Rasa malunya
membuat ia nekat. Maka ia kedipi engko,
"Mari kita maju, jangan tanggung-tanggung," katanya.
Hampir berbarengi dua saudara itu lompat maju.
Tek Siu lihat sikap dua pemuda itu. ia tertawa.
"Baik, aku akan berdiri diam, tidak bergerak Kamu akur?" dia tanya akan tetapi sikapnya
agak menantang, ia lantas lilit tambang Joan-ang Cu-so di pinggangnya, ia pun masuki
kedua tangannya ke dalam saku,
Dua saudara Phang maju menyerang, ruyung besi mereka turun menyambar ke arah
kepala si nona, Dia ini benar-benar diam saja, tidak menangkis atau berkelit Ketika kedua
ruyung hampir mengenai kepala orang, dengan tiba-tiba Put Po dan Put Cui tahan
turunnya lebih jauh. Mereka pernah terdidik, maka mereka tidak mau sembarang lukai
orang,
"Keluarkan senjatamu!" Put Cui kata.
Tidak usah," jawab Tek Siu sambil tertawa, "Kamu boleh serang aku, tidak nanti kakiku
berkisar meski setengah dim, tidak nanti aku tarik keluar tanganku dari saku, asal aku
berbuat demikian, anggap saja aku kalah, Kamu akur atau tidak?"
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
"Jikalau kami kesalahan turun tangan hingga kau jadi terluka, jangan kau penasaran," Put
Po bilang,
Masih Tek Siu tertawa,
"Jangan omong saja, bocah-bocah." katanya,
Mukanya Put Po menjadi merah, maka tiba-tiba saja ruyungnya melayang dengan gerakan
"Keng tek gie kah" atau "Ouw-tie Kiong meloloskan jubah perang."
Tek Siu berkelit tanpa ia geser kakinya, maka serangan lewat di tempat kosong.
Di sebelah itu Put Cui yang jadi sengit, lantas hajar pundak orang, ia jadi panas hati
mengingat dua kali ia kena dibikin malu,
Tek Siu tetap tidak angkat kakinya, ia cuma berkelit saja, dan ketika dua saudara itu serbu
dia saling ganti, tubuhnya kelihatan bergoyang-goyang, tinggi dan rendah, keempat
penjuru. Malah ia masih bisa kasih dengar tertawa nya.
Orang banyak menjadi kagum, mereka saling mengawasi Entah ilmu silat apa yang nona
ini pertunjuki, sebab sekalipun ujung bajunya tidak dapat terbentur ruyung, itu bukanlah
pelajaran dari Hoa San Pay.
Dua saudara Phang jadi kewalahan, tapi mereka penasaran, maka akhirnya dengan satu
tanda seruan, dua-duanya menyerang ke bawah, Mereka pikir biar bagaimana tangguh
kuda-kuda si nona, dia toh mesti rubuh atau dia mesti angkat kedua kakinya,
"Hati-hati kamu!" seru Tek Siu sambil tertawa, tubuhnya lantas bergerak mendahului ke
kiri dan ke kanan, kedua sikunya masing-masing membentur tubuh Put Po dan Put Cu,
hingga mereka ini merasakan sakit, tanpa merasa, mereka lepaskan ruyungnya masingmasing,
tubuh mereka terhuyung-huyung,
Dalam herannya Phang Uan Tek berseru,
"Bwee Sutee, wanita ini aneh, biar aku mencoba-coba."
Bwee Kiam Hoo manggut
Lian Tek lantas lompat maju,
"Mari aku belajar kenal!" katanya.
Tek Siu lihat tindakan kaki yang antap itu, ia tahu dia ini berkepandaian tinggi, akan tetapi
ia tetap masih tertawa, hingga kelihatan lesungnya yang manis, Hanya diam-diam saja ia
waspada,
"Jikalau aku tidak sanggup melayani, harap kau tidak tertawakan aku!" dia minta,
"Baik!" jawab Lian Tek. "Kau mulailah."
ia geraki kedua tangannya, lantas ia rangkap itu,
Tek Siu rangkap kedua tangannya, untuk membalas hormat
Gerakan Lian Tek ada "Phe-giok-kun" atau "Kepala memecahkan batu kumala", selagi ia
bergerak, anginnya menyambar, tetapi balasan Tek Siu telah menolak mundur anginnya
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
itu, hingga ia jadi kagum
"Bagus!" katanya di dalam hati,
Disaat Pat Biw Wie hong hendak mulai dengan serangannya, tiba-tiba mereka dengar
suara berisik di tengah gunung, terdengar teriakan-teriakan rupanya dari orang yang
sedang berkelahi atau saling kejar Saking heran, ia merandek, matanya mengawasi si
nona,
Tek Siu tertawa.
"Apa kau curigai aku membawa kawan?" kata si nona sambil tertawa, "Mari kita lihat dulu,
sebentar baru kita mulai bertanding, Tidakkah baik begitu?"
Lian Tek tidak lantas menjawab, ia hanya berpaling ke arah darimana suara itu datang,
Suara itu terdengar semakin dekat Malah di antaranya ada suara orang perempuan, yang
gusar dan mencaci
"Baik," katanya kemudian seraya manggut
Semua orang lantas memburu, untuk bisa melihat dari dekat
"Seorang wanita dengan pakaian serba merah, lagi berlari-lari mendaki, di belakangnya
mengejar empat orang lelaki dengan tubuh mereka besar-besar, semuanya dengan
mencekal senjata, Wanita itu dapat lihat ada orang di atas gunung, dia lari semakin keras.
Malah segera ia lihat tubuh besar dari Phang Lian Tek.
"Pat bin Wie hong tolongi aku!" dia berteriak,
Phang Lian Tek terkejut, ia mengawasi
"Ha, itu toh Ang Nio Cu!" serunya,
Sebentar saja, wanita yang dipanggil Ang Nio Cu itu sudah sampai di antara Phang Lian
Tek. Nyata dia telah bermandikan darah dan lebih bukan main, Barusan ia telah habiskan
setakar tenaganya, maka begitu ia sampai terus saja ia rubuh, dengan pingsan juga,
Empat orang itu juga sudah lantas sampai, mereka tidak perdulikan orang banyak, mereka
lari terus pada Ang Nio Cu itu, yang rupanya mereka hendak bekuk,
Phang Lian Tek lantas majukan tangannya yang kiri untuk cegah majunya orang yang
pa!ing terdepan,
Orang itu menjaga dengan tangan kanannya, ketika kedua tangan bentrok, terdengar
suara beradunya yang keras sesudah mana keduanya mundur sendirinya tanpa merasa,
Maka itu, mereka saling mengawasi dengan hati heran, Sebab mereka masing-masing
merasakan ketangguhan orang.
Lantas orang ini kata, dengan suara membentak "Kami datang kemari atas titah Song
Kunsu dari markas Giam Ong, untuk tawan ini Ang Nio Cu, istri pengkhianat Lie Gam!
Kenapa kau berani menghalangi kami?"
Begitu dengar orang sebut nama Lie Gam, ada saudara angkat gurunya, Maka tanpa
tunggu jawabannya Lian Tek, ia maju ke depan,
"Lie Gam itu ada satu enghiong, di kolong langit ini, siapakah tidak kenal dia?" katanya
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
sembari tertawa. "Aku minta tuan suka memandang kepada siauwmoay, harap dia tidak
dibikin susah."
Orang itu bersikap sangat jumawa, rupanya ia andali sangat ilmu silatnya, sama sekali ia
tidak pandang mata pada si nona Ho. ia titahkan tiga kawannya pergi ringkus si Ang Nio
Cu, si nona Baju Merah,
"Baik!" kata Tek Siu. "Nyata kamu sudah tidak inginkan jiwamu!"
Dengan tangan kanannya, ia meraba ke pinggangnya di mana ada tersimpan paku rahasia
beracun, "Hum see shia eng", atau "Menggenggam pasir, memanah bajangan". Begitu ia
menekan pesawatnya, senjata rahasia itu lantas menyerang,
Orang yang maju di muka segera terserang jitu, mukanya tertancap tujuh atau delapan
batang paku berbisa, tanpa menjerit lagi, dia rubuh, jiwanya lantas melayang,
Tiga orang lainnya menjadi sangat kaget, hingga mereka melongo, wajah mereka berubah,
"Siapa kau?" tanya mereka berubah
"Sampai sebegitu jauh, Ho Tiat Chiu terus sembunyikan tangan kirinya, di dalam tangan
bajunya yang panjang malah ketika tadi ia layani dua saudara Phang, ia tidak pernah
perlihatkan itu, tetapi sekarang atas teguran orang, dengan lantas ia kibaskan tangan
bajunya, ia kasih lihat tangannya yang merasakan gaetan itu,
Bukan main kagetnya tiga orang itu, apa pula yang menjadi kepala,
HKau... kau.,., Ho Kauwcu dari Ngo Tok Kauw.,.?" katanya, menegasi,
Ho Tiat Chiu bersenyum, ia lantas mengibas dengan tangan kanan, hingga ia perlihatkan
gaetan emasnya,
Melihat itu, tanpa bilang suatu apa lagi, tiga orang itu putar tubuh mereka, untuk segera
lari turun gunung, sampai tak mau mereka memondong pergi mayat kawan mereka, itulah
menyatakan semangat mereka seperti sudah terbang, Malah satu orang lagi dia terpeleset
dan rubuh, tubuhnya berge1indingan.
Bwee Kiam Hoo semua heran kenapa tiga orang itu yang tadinya demikian garang, takut
kepada si nona asing sampai sedemikian rupa. Cuma Phang Lian Tek dan Bwce Kiam Hoo
yang pernah dengar nama besar kaum Ngo Tok Kauw.
Dua saudara ini lantas mencoba memimpin bangun Ang Nio Cu dengan niat minta
keterangan kenapa dia dikepung empat orang itu. Tapi belum sampai mereka menanya
mereka dapat dengar satu suara yang nyaring sekali,
"Hai, tiga manusia tidak punya guna! Pergi kamu semua!"
Suara nyaring itu seperti suara mendengungnya lonceng kuil, yang berkumandang di
tengah lembah, dan orang yang mengeluarkannya ada satu imam jangkung sekali yang
tubuhnya kurus dia perdengarkan suaranya itu sambil memandang kepada tiga orang
yang kabur tadi,
Tiga orang itu dengar suara nyaring itu, mereka berhenti Iari, apabila mereka lihat si imam,
nampaknya mereka menjadi girang, maka bukannya mereka lari terus, sebaliknya mereka
mendaki lagi, untuk menghampirkan,
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Semua orang serombongan Bwee Kiam Hoo mengawasi imam itu, jubah siapa mewah
sekali, bukan terbuat dari sutera bukan juga dari cita biasa, Dan kopiahnya telah ditabur
dengan sepotong batu pualam yang indah tanpa bandingannya, sinarnya menyorot ke
empat penjuru.
Imam ini menggendol sebatang pedang panjang di bebokongnya. Dia mempunyai
sepasang alis panjang yang hampir menyambung sama rambut di pelipisnya, roman-nya
suci dan agung, usianya kira-kira lima puluh tahun.
Phang Lian Tek lantas maju untuk memberi hormat
"Totiang," katanya, "Maukah totiang perkenalkan gelaranmu yang mulia kepada kami?
Adakah totiang menjadi sahabat dari couwsu kami?"
imam itu tidak menjawab, ia kibaskan tangannya yang kanan di mana ia cekal sebatang
hudtim, kebutan suci, kemudian ia awasi semua orang.
"Kamu berkumpul di sini, apa kamu sedang bikin?" dia tanya.
"Couwcu kami mengumpulkan semua murid untuk berapat," Lian Tek jawab.
"Ha apakah Bok Jin Ceng sudah datang?" tanya si imam.
Lian Tek dengar orang sebut langsung nama couw-sunya ia mau percaya benardugaan
bahwa imam jangkung kurus ini ada sahabat kekal dari couwsunya karena itu, tidak berani
dia berlaku ayal
"Couwsu masih belum tiba," sahutnya dengan lebih hormat
imam itu tersenyum, terus ia berpaling sambil menunjuk Sun Tiong Kun, Tek Siu dan A Kiu
bertiga,
"Lauw Bok telah dapatkan bukan sedikit murid-murid perempuan yang cantik molek!"
katanya, ia gunai kata-kata "Lauw Bok" atau "Bok si tua" kepada Bok Jin Ceng. "Sungguh
dia sangat beruntung! Eh, mari kamu bertiga, mari datang dekat kepadaku sini, untuk aku
lihat."
Semua orang terperanjat itu ada kata-kata tidak sopan.
"Kau siapa?" tanya Sun Tiong Kun yang keras tabiat-nya.
Si imam tertawa,
"Sudahlah!" katanya, "Mari kamu turut toya pulang, nanti dengan perlahan-lahan toya beri
keterangan kepada kamu,.,."
Sun Tiong Kun jadi makin gusar, Nyata imam ini ceriwis sekali,
"Kau makhluk apa berani kurang ajar di sini!" ia bentak sambil ia maju setindak,
Masih imam itu tertawa, malah sekarang ia tertawa haha hihi, ia pun angkat sebelah
tangannya, untuk dibawa ke muka Tiong Kun, guna usap pipi orang, setelah mana, ia bawa
pula tangannya itu ke arah hidungnya untuk diciumi
"Sungguh harum!" katanya pula, terus sambil tertawa.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Dalam murkanya yang meluap, Sun Tiong Kun menikam dengan sebilah gaetannya,
Si imam cuma geraki sedikit tangan atau tahu-tahu ia sudah cekal tangannya si Nona Sun,
terpencet, hingga habis segera tenaga nona itu, seluruh tubuhnya jadi lemas.
Secara sangat cepat dan gampang imam itu sudah lantas rangkul Tiong Kun muka siapa ia
pun cium.
"Sungguh tidak jelek nona kecil ini!" katanya pula.
"Phang Lian Tek, Bwee Kiam Hoo dan Lauw Pwee Seng jadi sangat kaget berbareng
sangat gusar, dengan serentak mereka maju untuk menerjang.
Si imam menjejak dengan kedua kakinya, sekejap saja ia sudah lompat mundur beberapa
tindak, dengan tangan kirinya, ia masih pcluki Tiong Kun. ia bawa orang gerakannya toh
gesit dan enteng,
Menampak gerakan ini, kecuali persaudaraan Phang dan lainnya, Ciu Cun semua
terperanjat Mereka lantas insyaf, imam ini sangat lihay. Mereka tergugu, Tahulah mereka,
mereka bukan tandingan si imam, Akan tetapi, Sun Tiong Kun masih dipeluki orang, nona
itu tidak mampu berontak, pasti sekali tak dapat mereka peluk tangan saja, Maka dengan
terpaksa mereka maju,
imam itu tersenyum, tangan kanannya bergerak, Cepat luar biasa, orang segera lihat suatu
benda berkilau, angin mendesir dingin, Tahu-tahu si imam sudah hunus pedangnya yang
tadi tergendol di bebokongnya.
Bu-eng-cu Bwee Kiam Hoo si Tak Ada Bajangannya, bertubuh paling gesit diantara
saudara-saudara seperguruannya, ia pun paling menyayangi Sun Tiong Kun, tidak heran
kalau dialah yang lompat paling depan, Akan tetapi, kapan ia telah saksikan pedang si
imam, tidak berani ia bentur pedang itu, yang mesti ada pedang musti ka. Maka ketika tiga
kali ia mendesak, setiap kalinya ditangkis, ia egos pedangnya, ia menyerang hanya
lempat-lempat kosong.
Menghadapi pedang mustika, Kiam Hoo sudah punyakan sedikit pengalaman ialah ketika
di Lamkhia ia tempur Wan Sin Cie, beberapa tebasan pedangnya paman guru cilik itu
membuat pedangnya sendiri kutung, hingga karenanya, ia insyaf kepandaiannya masih
jauh belum sempurna, dari itu belakang ia minta gurunya ajarkan dia terlebih jauh ilmu
pedang, Selama setengah tahun, Tidak pernah ia keluar dari pintu pekarangan, karenanya
ia telah peroleh kemajuan pesat. Demikian sekarang ia bisa berkelahi dengan baik.
"Tidak jelek!" memuji si imam apabila ia telah saksikan serangan orang beruIang-u1ang.
Memang tiga serangan saling susul itu ada serangan-serangan Kiam Hoo yang paling
berbahaya dan telengas,
Akan tetapi pujian si imam belum habis diucapkan atau dengan tiba-tiba pedang
penyerangnya telah kutung menjadi dua, atas mana, Kiam Hoo kaget tidak terkira,
Menurut kebiasaan di kalangan ilmu silat, siapa pedangnya terbabat kutung ia mesti
timpuk lawannya dengan ujung pedang, habis itu ia mesti lekas lompat mundur, akan
berdaya terlebih jauh guna lawan musuh, Kiam Hoo tidak berbuat demikian, ia khawatir
dengan menyambit si imam, nanti Tiong Kun yang dapat celaka, Dari itu ia lantas lompat
mundur Walau demikian kendati ia ada si Tak Ada Bajangannya, meski tubuhnya sangat
enteng dan gerakannya gesit sekali, ketika ia berlompat, tidak urung "Sret!" ikat rambut di
embun-embunannya telah tersabet putus!
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
(Bersambung ke Bab 26)
Maka juga ia mundur dengan mandi keringat dingin sebab ia ingat bagaimana besar ada
bahaya yang mengancam dia barusan,
Phang Lian Tek, Lauw pwee Seng dan Ciu Cun lantas mengepung dengan dibantu Put Po
dan Put Cui serta muridnya Oey Cin yang keempat dan keenam, Mereka baru bergebrak, si
imam baru geraki pedangnya lantas terdengar suara senjata beradu dan putus, malah ada
juga orang yang rubuh karena dupakan, hingga sebentar saja tinggal Phang Lian Tek dan
Lauw Pwee Seng yang masih sanggup melayani terus, karena mereka ini bisa kelit senjata
mereka dari sesuatu tebasan,
Setelah itu, dengan jumput sebatang pedang yang menggeletak di tanah, Bwee Kiam Hoo
maju pula untuk bantu saudara-saudaranya, Akan tetapi, walau mereka kosen, mereka
tidak bisa berbuat apa-apa terhadap imam tidak dikenal itu. Lekas sekali mereka kena
terdesak,
sekonyong-konyong saja si imam lemparkan pedangnya ke udara,
Melihat ini Lauw pwee Seng terperanjat dan kaget tidak tahu ia, si imam hendak gunai ilmu
siluman apa.
Kiam Hoo pun kaget tetapi ia masih sempat berseru. "Awas." Hanya ia telah terlambat,
karena1 segera terdengar satu suara membeleduk, dadanya pwee Seng kena kepalan si
imam sampai dia mundur terjengkang rubuh numprah di tanah,
Si imam tertawa berkakakkan.
"Kau andali kepandaianmu yang tinggi jikalau aku gunai pedang untuk lukai padamu,
tentu kau tidak puas!" demikian katanya,
Sambil berkata demikian, imam ini tanggapi pedangnya yang turun jatuh menyusut mana
kembali dia babat kutung pedangnya Bwee Kiam Hoo, sedang dengan sikut kanannya itu,
ia bentur iga kiri dari Lian Tek, hingga dia ini merasakan sangat sakit, matanya sampai
kabur!
Sampai di situ, tidak ada lagi murid-murid Hoa San Pay yang berani maju pula, menampak
mana, si imam tertawa berkakakkan,
"Lauw Bok agulkan ilmu pedangnya tidak ada tandingannya di kolong langit ini ternyata
murid-murid yang ia didik semua tidak punya guna sebagai mereka ini!" ia mengejek "Nah,
kalau sebentar couwsu kamu menanyakannya bilanglah bahwa Giok Cin Cu telah datang
berkunjung kepadanya! Kamu bilang juga, sebab Couwsu kamu jelek pengajarannya
terhadap murid-muridnya sekarang aku hendak bawa pergi ketiga murid perempuan nya
ini, untuk aku yang didik terlebih jauh nanti tiga tahun kemudian, sesudah bosan aku
memberi pengajaran kepada mereka, baru aku akan antar mereka pulang kepada couwsu
kamu itu,"
sementara itu Ho Tek Siu si cerdik telah insyaf keadaan yang sangat berbahaya itu, ia
insyaf lihaynya si imam, ia bisa terka maksud jahat orang, maka di sebelah memikiri daya
untuk singkirkan diri, ia kata pada Seng Hay, "Lekas undang suhu."
Benar dugaan Ho Kauwcu, baru saja Seng Hay memutar tubuh, untuk lari pergi, si imam
sudah bertindak ke arah dia. Tapi ia sudah berpikir Maka papaki si imam sambil tertawa.
"Totiang lihay sekali kepandaian kau, Apakah getaran mulia dari totiang?" demikian ia
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
memuji seraya menanya,
Heran agaknya si imam melihat orang tertawa, sama sekali tidak nampak tanda-tanda takut
Maka ia lantas awasi Ho Kauwcu, dari atas sampai ke bawah, hingga ia tihat tegas orang
punya pipi merah dadu dan kedua kaki putih bersih bagaikan salju, Mukanya ramai pun
sungguh menggiurkan hatinya hingga tulang-tulangnya jadi lemas dengan tiba-tiba. ia pun
maju setindak.
"Aku ialah yang dipanggil Giok Cin Cu," sahutnya sambil tertawa, "Kau sendiri, anak, apa
namamu? Kau bilang, kepandaianku lihay, maka mari kau ikut aku pulang dengan
perlahan lahan aku nanti beri pengajaran kepadamu? Kau suka, bukan?"
"Ah, nanti kamu dustakan aku?" Tek Siu tertawa pula dengan manis, "Apa nanti katamu
bila kau menyangkal
"Eh, siapa dustakan kau?" kata Giok Cin Cu, "Mari ikut aku?"
Kata-kata ini dibarengi dengan uluran tangan, guna pegang lengan orang untuk ditarik
Ho Tek Siu mundur setindak,
"Tunggu dulu!" katanya sambil tertawa pula, "Aku hendak tunggu guruku, aku mesti tanya
dia dahulu, boleh atau tidak aku turut padamu...."
"Hm.,.!" mengejek si imam, "lkuti terus gurumu.,.! Apakah faedahnya itu? Tidak lebih tidak
kurang, kau cuma punyakan kepandaian seperti gurumu itu? Guru bakul nasi seperti itu
tidak perlu kau perdulikan lagi?"
Dan ia tertawa terbahak-bahak.
Tek Siu tidak jadi gusar
"Kau tahu kepandaian guruku itu lihay," kata dia sambil bersenyum. "Kalau suhu ketahui
aku ikut kau, pasti dia tidak akan mau mengerti.
Phang Lian Tek semua jadi sangat berkhawatir berbareng mendongkol Tidakkah Sun
Tiong Kun masih saja dipeluki si imam dan si nona Sun itu tidak berdaya sama sckali?
Kenapa perempuan ini yang tidak dikenal, yang mereka anggap mirip siluman, berlaku
demikian genit terhadap si imam?
"Hai, imam busuk!" akhirnya Kiam Hoo berteriak, "Hari ini aku akan adu jiwaku
denganmu!"
Dengan bawa pedangnya, Bu Eng Cun bertindak maju,
Giok Cin Cu tidak menoleh untuk bentakan si orang she Bwee.
"Aku nanti kasih lihat pula kepandaianku kepada-mu!" kata dia pada Ho Tek Siu, "Nanti
kau boleh bandingkan suhumu terlebih lihay daripada aku atau aku yang terlebih lihay
daripada suhumu itu!"
Adalah sembari mengucap, ia kelit dari satu tusukan Kiam Hoo, untuk mana, ia cuma
melirik, kemudian ia melanjuti berkata kepada si juwita yang boto manis ini. ilmu silat
semacam yang dipunyakan dia ini, di dalam kalangan Hoa San Pay tentu dianggap sudah
luhur sekali! Akan tetapi kalau dia berhadapan dengan aku? Hm! Hm! Coba kau
menghitung, mulai dari satu, sampai sepuluh! Dengan sepasang tanganku yang kosong,
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
aku nanti rampas pedangnya!"
Meluap haVa amarah Kiam Hoo karena ia sangat dihinakan tanpa bilang suatu apa ia
menyerang pula dengan sengit dan hebat
Tidak pea)uti aku menghitung cepat sekali, bukan-kah?" Tek Siu tegasi sambil tertawa
"Baik! Satu! Dua! Tiga! Empat! Limal"
Dan ia menghitung cepat luar biasa,
"Hai kau licik sekali!" senyum Giok Cin Cu, yang tahu orang menghitung seperti kilat saja,
Tapi kau lihat."
justru itu, ujung pedangnya Kiam Hoo sedang menyambar pula, Si imam egos tubuhnya
minggir, menyusul mana, sebelah tangannya diulur panjang, Entah bagaimana, tahu-tahu
dua jari tangannya sudah ada di depan mata Bu Eng Cu.
Kiam Hoo kaget sekali, hingga ia mengegos, cepat sekali, ia menangkis dengan tangan k
iri nya.
Si imam tarik pulang serangannya, tangannya diputar scdikit, untuk dipakai membentur
lengan lawan, atau mana, Kiam Hoo rasai jari-jari tangannya gemetar dan kaku, hingga
pedangnya lantas terlepas dari cekalannya, menyusut mana, si imam sambar pedangnya
itu.
Selama itu Ho Tek Siu baru menghitung sampai angka "delapan".
Giok Cin Cu tertawa berkakakan, ia terus geser pedang ke tangan kirinya dengan dua jari
telunjuk dan lengah, ia pegang ujung pedang itu untuk ditekuk, menyusul mana terdengar
suara membeletok, segera ujung pedang patah,
Orang semua kaget sekarang orang lihat, pada lima jari tangannya ada sarung seperti
bidal, yang ujungnya tajam sekali, Akan tetapi walau demikian, kekuatan jari-jari
tangannya itu langka sekali.
Suara membentak itu segera terdengar saling susul, sebagai kesudahan dari mana,
pedang itu kena dibikin patah jadi beberapa potong,
Habis itu, Giok Cin Cu lemparkan gagang pedang berikut ujung pedang yang sudah jadi
pendek itu, sembari berbuat demikian, ia keluarkan seruan panjang dan nya-ring,
dibarengi juga dengan terulurnya tangan kanannya, untuk cekal lengan Tek Siu,
Ho Kauwcu sebenarnya lagi gunai siasat memperayal kejadian guna menunggu waktu,
supaya gurunya keburu datang, maka diam-diam ia sibuk juga menampak, sampai begitu
jauh, Sin Cie masih belum juga muncul sekarang ia hendak dicekuk dalam keadaan
terpaksa, ia mesti lindungi diri Tidak ada jalan lain ia angsurkan tangannya yang kiri untuk
diantap kena tercekal si imam,
Giok Cin Cu sudah menduga dia bakal pegang tangan yang putih halus dan empuk, maka
bukan kepalang heran dan kagetnya apabila ia rasakan kena pegang barang keras dan
dingin sifatnya, hingga sebat bagaikan dipagut ular, ia lepaskan segera cekalannya, ia
tarik pulang tangannya berbareng dengan mana, ia awasi tangan si nona, Dan berkelebat
lah di depan matanya cahaya kuning emas, yang bagaikan kilat terus menyambar ke arah
alisnya! Dan itulah sebuah gaetan emas yang ujungnya lancip dan tajam,
Ho Kauwcu sudah lakukan serangannya secara sangat cepat, ialah begitu lekas si imam
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
lepaskan cekalannya, ia hendak menggurat jidat orang, Giok Cin Cu sangat lihay tetapi
hampir saja ia rubuh sebagai korban kelicinan si nona, Syukur untuknya, ia bisa
dongakkan kepalanya, hingga ia lolos dari bahaya, Hanya berbareng dengan itu,
hidungnya mencium desiran bau harum, bau dari bisa,
Tanpa merasa imam ini keluarkan keringat dingin, Tapi ia tidak sempat melengak saja lagi
sekali gaetan emas itu menyambarnya, hingga ia jadi gugup, Ketika itu pedangnya sudah
dimasuki ke dalam sarungnya di be-bokongnya, sedang tangannya yang kiri masih
memeluki tubuhnya SunTiong Kun, ia jadi sangat repot, sebab selagi ia main mundur
penyerangnya merangsak, hingga akhir-akhirnya ia lepaskan pukulannya dan tolak
tubuhnya Tiong Kun berbareng mana ia mencelat mundur hingga ia jauh pisahkan diri,
sedang pedangnya dapat ia hunus dengan segera,
"Ha,., ha... haha!" dia tertawa besar "Aku tidak sangka kau mempunyai kelihayan sebagai
ini! Baik, baik, mari kita mencoba-coba!"
Tek Siu insyaf dia sudah menang di atas angin untuk sekejap saja, karena serangannya
secara mendadak itu yang diulangi dan diulangi sebat luar biasa, ia juga insyaf, kalau
mesti berkelahi sungguhan, ia bukan tandingan imam luar biasa lihay ini. Akan tetapi
keadaan sangat mengancam, ia terpaksa mesti melayani juga, ia tetap berlaku tenang, ia
terus gunakan otaknya yang lincah,
Maka ia tertawa pula dengan manis,
"Boleh kita main-main tetapi janganlah kau sungguhan!" katanya, "Kita main-main saja,
cuma berke1a-kar...!"
Giok Cin Cu ada seorang ulung, ia sudah lantas curigai nona ini, Dia cantik sekali,
gairahnya sangat menarik, akan tetapi orangnya licik, tangan kirinya itu tidak mengenal
kasihan, Tapi ia percaya kepandaiannya sendiri, maka ia tidak jeri,
"Baik!" katanya, "Cuma kalau kau kalah, kau mesti turut aku!"
"Baik," jawab Tek Siu. "Lihat gaetan."
Benar saja, kata-kata disusul sama serangan dua tangan berbareng, dua-dua tangan yang
merupakan gaetan...
Tidak lagi Giok Cin Gu berani memandang enteng seperti tadi ia layani Kiam Hoo beramai,
ia berkelahi dengan hati-hati akan halau suatu tusukan atau gaetan, dengan begitu,
mereka berdua jadi bertempur dengan seru.
Bwee Kiam Hoo dilain pihak sedari siang-siang memimpin bangun pada Sun Tiong Kun,
kemudian bersama yang lainnya mereka berdiri menonton pertandingan itu, yang katanya
ada pertandingan untuk berkelakar, berguyon saja, Kesudahannya, mereka jadi kagum
dan tercengang.
Tadi mereka saksikan Tek Siu dengan gampang rubuhkan dua saudara Phang Put Po dan
Put Cui, mereka mau anggap itu disebabkan kepandaian dan pengalaman masih terlalu
cetek dari engko dan adik itu, akan tetapi sekarang mereka dapat buktikan orang itu
sungguh lihay,
Ho Tek Siu berkelahi dengan mengunjuki kelincahannya, tubuhnya tampak sangat enteng,
sepasang gaetannya menyambar-nyambar hingga mirip dengan berkelebatnya cahaya
kuning emas saja, Sebab ia musti keluarkan antero kepandaiannya untuk bisa layani imam
yang sangat lihay itu,
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Setelah kagum, Kiam Hoo semua ingat tidak dapat mereka diam saja mesti mereka bantui
si nona, yang sekarang nyata ada di pihaknya, Akan tetapi meski juga mereka mempunyai
ingatan untuk membantu, mereka tidak dapat wujudkan itu, si nona dan imam bertempur
dengan seru, pedang dan gaetan rapat sekali, hingga tidak ada lowongan buat mereka
maju menye1ak. Mereka juga insyaf, kepandaian mereka masih beda terlalu jauh untuk
dibandingi dengan kedua orang yang asyik bertanding sambil berkelakar itu....
pertandingan berjalan terus dengan keseruannya tak jadi berkurang, Adalah selang tidak
lama, suara nyaring terdengar lantas kelihatan gaetan emas dari si nona ke ditabas putus
pedang mustika dari si imam, menyusul mana, Tek Siu kibaskan sebelah tangannya,
lantas serupa senjata rahasia menyambar ke arah si imam, setelah perdengarkan satu
suara, senjata itu buyar bagaimana asap merah dadu yang bersinar, hingga berpetalah
roman cantik dari si nona,
Menyusul sambaran senjata rahasia yang luar biasa itu, Giok Cin Ciu mencelat mundur
sambil berseru, "Hai! Kau dari Ngo Tok Kauw? Kenapa kau bercampur baur di sini?"
Selagi Giok Cin Cu menegur dalam keheranan itu, Cio Cun berdua Put Cui rabuh dengan
tiba-tiba sebab mendadak saja mereka merasa kepala pusing dan mata kabur Sebab
siuran bisa dari Tek Siu mengenai mereka, yang berada di bawah angin,
Ho Kauwcu sendiri hadapi si imam sambil tertawa,
"Sekarang ini aku telah ubah penghidupanku dari sesat aku pindah keprikebenaran!"
sahutnya. "Aku telah memasuki kaum Hoa San Pay. Maka kau juga baiklah keluar dari
jalanmu yang sesat."
Giok Cin Cu menyampok ke kiri dan ke kanan, angin dari sam pokan nya itu telah
menghalau baunya bisa setelah mana tanpa bilang suatu apa ia lompat maju seraya
sebelah tangannya menyerang,
serangan tangan itu mendatangkan suara angin, gerakan tubuh si imam juga mirip dengan
"Pay san to hay" ialah gerakan dari tubuhnya gunung untuk menguruk lautan.
Tek Siu cuma tahu Giok Cin Cu lihay ilmu pedangnya, ia tidak tahu, tangannya juga tidak
kalah lihay-nya, maka juga ia kaget bukan kepalang kapan ia saksikan serangan musuh
ini, sambil menjerit dalam hatinya, ia putar lengan nya, dengan itu, ia cabut cambuknya
"Kat-bwee-pian" - cambuk "ekor kalajengking- sambil miringkan tubuhnya, ia sambar
lengan lawan untuk dililit.
Giok Cin Cu luas pengetahuannya sekarang pun tahu lawan dari Ngo Tok Kauw, maka ia
telah bisa duga cambuk lawan ini juga mesti ada bisanya, Karena ini, ia bisa berlaku
waspada, sebenarnya hatinya pun sangat panas, ia berjumawa untuk kepandaiannya, ia
tidak sang-ka, sekarang satu wanita sanggup layani ia untuk banyak jurus, ia anggap
wajahnya tidak bercahaya Iagi. Karena itu tak mau ia mengantapkannya pu1a. Kapan
cambuk sampai, ia tidak kasih lengannya dililit, sebaliknya dengan dua jari tangannya
yang kiri jari telunjuk dan tengah ia papaki untuk jemput ujung cambuk dan selagi si nona
tak kesampaian niatnya membetot dia, ujung pedangnya sudah menyambar ke arah muka
orang, Untuk jepit ujung cambuk, ia tidak jeri, sebab ia pun memakai sarung jari,
Melihat percobaan gagal, Ho Tek Siu terpaksa cepat-cepat lepaskan cambuknya itu untuk
menyingkir dari ujung pedang, ia mundur,
"Sudahlah aku menyerah kalah! Suka aku angkat kau jadi guru!" kata dia sambil tertawa,
sesudah mana, ia membekuk untuk berlutut, guna jalankan kehormatan
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Giok Cin Cu juga tertawa, ia lemparkan cambuk lawan yang ia kena rampas, akan tetapi
berbareng dengan itu, ia tampak suatu sinar hijau berkelebat menyambar ke arahnya
hingga ia jadi heran, lekas-lekas ia mengibas dengan ujung bajunya yang gerombongan,
tubuhnya sendiri juga mencelat mundur,
Sebagai kesudahan dari kebiasaan ujung baju itu, dengan menerbitkan suara, sejumlah
jarum halus menyambar ke arah gerombolan rumput di samping mereka.
Nyatalah Ho Kauwcu yang lihay tidak mau menyerah mentah-mentah, ia memberi hormat
untuk menyerang dengan senjata rahasia jarum "Ham sce shia-eng" atau "Genggam pasir
memanah bajangan",
itulah senjata rahasia yang sangat lihay, siapa tahu Giok Cin Cu lihay luar biasa, walaupun
dibokong senjata demikian, masih ia bisa menangkis, menghindari diri dari malapetaka,
Tentu saja ia jadi penasaran karenanya, maka setelah jarum-jarum tidak lagi menyerang
padanya, ia lompat maju guna melakukan pembalasan Tubuhnya mencelat bagaikan
garuda menyambar
Selama pertempuran hebat itu, A Kiu terus menonton dari pinggiran ia memasang mata
tajam sekali, sebenarnya keras niatnya untuk membantui Tek Siu, ia beckhawatir untuk itu
kawan yang menghadapi musuh yang lihay ini, akan tetapi tak dapat ia memberikan
bantuannya sebab ia terhalang oleh luka lengannya, sekarang ia lihat serangan hebat itu ia
pun tampak air muka berubah dari Tek Siu, terpaksa ia serang si imam dengan piauw
bambu Ceng tiok piauw, menyusul mana ia serukan kawannya, "Sambuti!"
itulah pedang mustika Kim-coa-kiam, yang putrinya kaisar Cong Ceng lemparkan kepada
pemimpin Ngo Tok Kauw,
Giok Cin Cu tidak kena dicelakai oleh senjata rahasia A Kiu, dengan satu kibasan ia bisa
singkirkan bahaya, Tapi karena ini, serangannya jadi gagah
Ho Tek Siu sendiri, setelah berkelit dari serangan berbahaya itu sudah terus berlompat
akan sambar pedang yang dilemparkan A Kiu kepadanya, dengan punyakan senjata
mustika ini, ia mendahului menyerang pula kepada musuh, sedang dengan piauw ia cegah
lawan dului mendesak padanya,
Kembali keduanya bertempur.
Sibuk juga Giok Cin Cu sebab desakan si nona, maka dengan tangan kiri ia cabut kebutan
hudtimnya, akan dengan bantuan senjata ini bisa lawan musuh itu.
Sesudah bertarung pula beberapa jurus kembali Tek Siu kena terdesak Gaetan atau
tangan kirinya ada lihay tidak demikian tangan kanannya, meski juga ia mencekal pedang
mustika, sebabnya ini adalah pedang bukannya senjata pegangannya hingga tidak leluasa
ia menggunai-nya.
Melihat si nona terancam bahaya, Pwec Seng be-ramai paksa juga maju lagi tetapi ketika ia
disampok hudtim pada pundaknya ia merasakan sakit sampai ke tulang-tu!angnya, sebab
kebutan itu bukan terbuat dari bulu hanya dari kawat emas halus, Coba dia bukannya telah
cukup tinggi ilmu silatnya pasti ia sudah rubuh karena nya.
Melihat keadaan itu, Bwee Kiam Ho teriaki Sun Tiong kun. "Lekas undang suhu dan subo,
supeh dan susiok!"
Tiong Kun insyaf pada ancaman bahaya, ia lantas putar tubuhnya untuk lari ke gua tetapi
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
begitu lekas ia putar tubuh, ia pun berteriak dengan kegirangan "To-tiang! Lekas! Lekas!"
Orang lagi berkelahi tidak ada yang sempat akan menoleh, hanya menyusul teriakannya
nona Sun itu, segera terdengar suara yang keras dan nyaring,
"Bagus! Kiranya kau yang datang kemari!"
Giok Cin Cu mcnyampok beberapa kali untuk mun-durkan musuh, habis itu ia lompat
mundur untuk mengawasi ke arah darimana datangnya suara keras yang berpengaruh itu,
"Hai, suko! Kiranya kau! Adakah kau banyak baik!" demikian suaranya yang dingin, yang
sifatnya mengejek.
sekarang semua orang dapat menoleh, maka mereka lihat itulah Bhok Siang Tojin yang
baru sampai, imam ini mencekal papan catur berikuf dua kotak bijinya, dia berdiri di
belakang rombongan murid Hoa San Pay itu. Semua orang berhati lega, karena mereka
tahu, imam ini sama lihaynya dengan couwsu mereka dia adalah sahabat couwsu mereka,
Tapi mereka dibikin tercengang kapan mereka dengar si imam lihay, lawan mereka
memanggil suko -- kanda seperguruan - kepada Bhok Siang Tojin.
Semua mereka jadi tercengang,
"Mau apa kau datang kemari?" Bhok Siang tanya dengan tenang.
Giok Cin Cu terlawa. Dari sikapnya itu, tidak saja ia tidak menghormat suheng itu, dia pun
nampaknya tidak jeri sama sekali". Malah kepada suheng itu, ia tidak memberi hormat
"Kau tentu datang kemari untuk main catur, aku sebaliknya untuk bekuk orang!" demikian
ada jawabnya, yang pendek dan dingin, Terus saja ia tunjuk Ang Nio Cu yang diam saja
sejak tadi, kemudian menunjuk Tiong Kun bertiga, ia tambahkan "Dan sekalian untuk
terima tiga murid wanita."
Bhok Siang Tojin kerutkan alis.
"Sudah lewat beberapa puluh tahun, apa tetap kau tidak dapat ubah perangaimu?!"
katanya, "Hayo lekas kau berlalu dari gunung ini!"
"Hm!" begitu suara sang sutee, "DuIu juga suhu tidak dapat urus aku, sekarang aku justru
memusingkan kau, suko!"
Bhong Siang Tojin tidak gubris ejekan itu.
"Coba kau pikir-pikir sendiri," katanya pula dengan sabar "Selama tahun-tahun yang
belakangan ini, sudah berapa banyak perbuatan buruk dan kejam yang kau lakukan,
sebenarnya sudah sekian lama aku niat pergi ke Sinkiang untuk cari kau"
Giok Cin Cu tertawa untuk kesekian kalinya.
"ltulah bagus!" katanya secara menantang, "Memang kita berdua saudara sudah lama
sekali tidak pernah bertemu satu dengan 1ain...."
"Dan hari ini adalah nasehatku yang paling akhir," Bhok Siang bilang, dengan
kesabarannya yang luar biasa akan tetapi suaranya keren, "Jikalau kau tetap berbuat jahat
dan tidak ubah itu, jangan kau sesalkan yang suhengmu tidak kenal kasihan lagi.!"
Masih saja Giok Cin Cu, sang adik seperguruan tertawa dingin, sikapnya sangat
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
menantang.
"Seorang diri dengan sebatang pedangku, aku telah malang melintang di kolong langit
ini!" katanya dengan jumawa, "Selama itu, belum pernah aku dengar ada orang yang
berani mengucap sepatah saja perkataan kurang ajar lerhadapku!"
"Ada sangkutan apakah di antara Hoa San Pay dengan kau maka kau labrak murid-murid
orang ini?" Bhok Siang Tojin masih mau menanya, "Jikalau nanti suheng Bok Jin Ceng
pulang, apa aku mesti bilang kepadanya?"
Imam itu tertawa dengan ejekannya!
"Sudah buat banyak tahun aku berdiam di Sinkiang!" katanya, "Selama itu siapakah yang
tidak tahu bahwa aku telah bikin putus persaudaraan denganmu? Kau sebut-sebut Bok Jin
Ceng, Hm. Lain orang boleh jeri terhadapnya, tetapi aku Giok Cin Cu, tidak, Aku berani
mendaki Gunung Hoa San ini, itu artinya aku tidak taruh di hati satu kunyuk tua yang
bertangan tujuh dan berkaki delapan!"
Dengan kata-kala "kunyuk" itu, Giok Cin Cu menghina sangat pada Bok Jin Ceng yang
seperti diketahui, bergelar "Pat chiu Sian Wan" atau "Lutung Sakti Tangan Delapan".
Bhok Siang Tojin menghela napas, Dengan segan ia angkat papan caturnya.
"Jikalau tetap tidak dapat dihindarkan pertempuran di antara kita berdua," katanya,
"Baiklah terpaksa aku tidak dapat pikirkan pula persaudaraan kita selama tiga puluh tahun
dulu, Nah, kau majulah!"
Giok Cin Cu tidak lantas majukan diri untuk sambut tantangan itu, guna tempur sang
suheng, sebaliknya ia bersenyum,
"Kau hendak lawan aku bertempur?" katanya. "Hm. Coba lihat, ini apa?"
ia merogoh ke dalam sakunya, akan kasih keluar sepotong pedang besi yang kecil mungil
terus ia angkat itu tinggi-tinggi di atas embun-embunannya,
Bhok Siang Tojin awasi pedang besi itu dengan tajam, selang sekian lama, hingga
wajahnya mendadak berubah menjadi pucat, putih seperti kertas,
"Baik, baik," katanya kemudian Tidaklahsia-sia kau keram dirimu di Sinkian untuk banyak
tahun, akhirnya kau dapatkan itu,.,."
Giok Cin Cu tidak menjawab, tidak lagi ia bersenyum atau tertawa, hanya dengan roman
bengis, dengan suara angker dia berseru,
"Bhok Siang! Kau telah lihat pedang besi dari suhu! Apakah kau masih tidak hendak
berlutut?"
Bhok Siang tidak menjawab, dia lantas letaki papan caturnya kemudian dengan cara
hormat sekali, ia menjura ke arah Giok Cin Cu, untuk memberi hormat seraya terus ia
tekuk lutut
Semua orang Hoa San Pay berdiri bengong, saking heran sedang tadinya mereka percaya,
dengan datangnya imam ini, imam yang jahat itu bakal dapat diberi ajaran, Mereka pun jadi
berkhawatir,
Giok Cin Cu sudah lantas angkat tangannya yang kiri ia serangkan itu ke arah Bhok Siang
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Tojin. Desiran angin keras membarengi serangan itu.
Bhong Siang Tojin tidak menangkis atau berkelit, ia malah berbalik badan dan pasang
bebokongnya, ia melainkan kumpulkan ambekannya, Dengan suara keras, sampailah
serangannya Giok Cin Cu mengenai dengan jitu, hingga bajunya sang suheng hancur dan
beterbangan, tubuhnya bergoyang sedikit, suatu tanda hebatnya serangan walaupun
demikian masih ini imam berlutut saja!
Wajahnya Giok Cin Cu menjadi merah padam, rupanya ia malu atau penasaran karena
gagalnya serangannya itu, Maka ia ulangi serangannya yang kedua kali, Kali ini ia jadikan
pundaknya Bhok Siang sebagai sasaran,
Serangan ini tidak mendatangkan suara sebagai tadi, baju pun tidak sampai sobek, akan
tetapi hebatnya bukan buatan, karena itu lakukan setelah pengerahan khie-kang, apa yang
dinamai tenaga ambekan, Maka kali ini tubuhnya Bhok Siang ngusruk ke depan, segera ia
muntahkan darah hidup, yang membasahi batu besar di depan-nya.
Tidak ada perasaan kasihan dalam hatinya Giok Cin Cu, habis serangannya yang dahsyat
itu, lagi sekali ia angkat pula tangannya, mengulangi untuk yang ketiga kalinya, Kali ini dia
hendak hajar batok kepalanya suheng itu, akan tarik orang punya nyawa,
Orang-orang Hoa San Pay menjadi kaget, lupa pada bahaya, bahwa sang imam lihay luar
biasa, mereka keluarkan senjata rahasianya masing-masing, untuk dipakai menyerang
tangannya imam itu guna cegah dia turunkan tangan jahat itu yang mirip dengan kipas
besi,
Tangguh tangannya si imam, dengan kibasan tangannya itu, ia bikin semua senjata
rahasia meluruk jatuh ke tanah, hingga ia sempat angkat pula tangannya,
A Kiu berdiri paling dekat Bhok Sian Tojin, tidak tega ia menampak si imam bakal dibikin
celaka secara demikian keji dan kejam, lupa kepada bahaya, ia lompat kepada imam itu
untuk peluk rangkul batang leher orang, guna alingi kepalanya dengan tubuhnya sendiri,
Tuan putri ini berbuat demikian karena ia tidak lihat lainjalan, walaupun pelbagai senjata
rahasia masih tidak menolong.
Giok Cin Cu kaget melihat sikapnya wanita muda itu, hingga ia batal melanjuti
penyerangannya, sedang dilain pihak, ia segera dengar suara batuk-batuk di sebelah
belakangnya hingga lantas saja ia putar tubuh untuk mcno!eh.
Orang yang bcrbatuk-batuk itu ada seorang tua dengan dandanan sebagai seorang
sastrawan
Ho Tck Siu yang lihay juga terkejut tahu-tahu lihat orang tua itu muncul di antara mereka
dan lantas berdiri di sampingnya A Kiu. Nyata sekali, orang ini mempunyai ilmu cntengkan
tubuh yang luar biasa sempurnanya. ia tidak kenal orang tua ini, ia khawatir tuan putri
nanti dibikin celaka, maka untuk menolong ia segera serang orang tua itu,
"Pergi kau!" ia membentak membarengi serangannya itu,
Si orang tua geraki tangannya yang kiri, dengan tiba-tiba saja Tek Siu merasakan
dorongan yang keras kepada tubuhnya, tidak ampun lagi, kuda-kudanya gempur, di luar
kehendaknya, ia terhuyung beberapa tindak akan akhirnya rubuh numprah di tanah,
hingga ia jadi sangat malu, seluruh mukanya berubah menjadi merah. Dilain pihak ketika
ia menoleh kepada orang-orang Hoa San Pay, ia dapatkan mereka itu semua maju paykui
di depan si sastrawan tua itu.
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Cuma Giok Cin Cu dan tiga kawannya yang berdiri tegak.
"Sucouw!" demikian Tek Siu dengar suara orang-orang Hoa San Pay ilu. Maka baru
sekarang ia menduga kepada Pat chiu Sian Wan Bok Jin Ccng, hingga ia jadi kaget
berbareng khawatir, ia jengah.
"Celaka.,." ia mengeluh ia hendak masuk dalam golongan Hoa San Pay diluar tahunya, ia
serang couwsu dari partai itu. itu adalah satu perbuatan sangat kurang ajar,
Selagi Giok Cin Cu berdiam, A Kiu telah pimpin bangun pada Bhok Siang Tojin, Imam ini
berdiri sambil berpegangan kepada putrinya kaisar Cong Ceng, ia coba jalankan napasnya
dengan beraturan Kendati demikian, ia masih terus mengeluarkan darah sedikit-sedikit
dari mulutnya,
Bok Jin Ceng sendiri sudah lantas hadap Giok Cin Cu.
"Totiang, kau tentunya Giok Cin Cu adanya," tanyanya, "Terhadap suheng sendiri kau
turunkan tangan begini rupa.... Bagus, bagus! Sekarang, totiang dengan beberapa potong
dari tulang-tulangku yang sudah tua ini suka atau layani kau main-main untuk beberapa
jurus!"
Sabar ia nampaknya, setelah sampai sebegitu jauh, Pat Chiu Sian Wan tidak ingin banyak
omong pula, langsung ia menantang.
Giok Cin Cu tertawa, Tak berkurang kejumawaan-nya.
inilah juga maksud kedatanganku ke puncak Hoa san ini!" jawabnya secara menantang
"Aku ingin mendapatkan bukti, apakah aku aku si Rase Muka Kumala atau kau si Lutung
yang lebih sempurna."
HRase Muka Kumala" adalah Giok bin Molie dan dengan si Lutung dimaksudkan Pat chiu
Sian Wan ialah Bok Jin Ceng,
Semua orang Hoa San Pay kaget berbareng girang mendapatkan couwsu mereka hendak
tempur imam yang sangat lihay itu, inilah ketikanya untuk mereka saksikan
kepandaiannya sucouw itu, Dalam seumur mereka inilah ketika yang paling baik, Tadinya
mereka cuma lihat sucouw itu memberi petunjuk -pctunjuk saja.
Bcda dari yang lain-lain ada Lauw Pwee Scng. Biar bagaimana ia sangsikan umur yang
sudah lanjut sekali dari Sucouw itu, sedang Giok Cin Cu sedang tangguhnya, Maka itu dia
lantas kabur ke dalam gua, dengan niat pangguI suhu dan subonya, Talkala ia sampai di
dalam, di kamar batu, ia dapatkan Sm Cie dengan air mata berlinang-linang dan romannya
kucel sedang berdiri di depan pembaringan di sana ia pun lihat supchnya, ketua guru dan
Ang Seng Hay semua berdiri diam dengan wajah suram, Ma!ah subonya pun mengucurkan
air mata, Maka ia kaget tidak tcrkira,
Rcbah di antara pembaringan adalah Ceng Ceng, mukanya hitam, kedua matanya celong,
napasnya tinggal satu kali demi satu kalL inilah yang membikin orang berduka sangat,
hingga mereka ini tidak tahu, atau tidak perdulikan, di luar "langit hendak ambruk atau
bumi bakalan amblas",
Sesungguhnya, Ceng Ceng lagi menghadapi bahaya maut
Tapi keadaan di luar sangat mcngancam, maka Pwee Seng toh dekati gurunya, akan kasih
tahu, "Suhu, imam di luar itu ada sangat lihay, sekarang Sucouw sendiri yang hendak
turun tangan untuk melayani dia!"
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Sin Cie dengar perkataannya keponakan murid she Lauw itu ia lantas ingat budi kebaikan
gurunya, yang rawat dan didik ia sedari ia masih kecil, maka lantas ia ambil putusannya, ia
pondong tubuhnya Ceng Ceng kepada Oey Cin dan Kwie Sin Sic suami istri, ia terus
berkata, "Mari kita keluar untuk me1ihat...." Terus ia bertindak cepat, mendahului yang
lain.
Pwee Seng lihat paman guru cilik itu memondong orang, gerakannya tidak nampak
kesusu, akan tetapi buktinya ia dapatkan orang bertindak sangat pesat, melebihkan
cepatnya ia ketika tadi ia lari masuk, maka ia kagum bukan main.
Begitu lekas orang sampai di gunung belakang, pertempuran baru saja hendak dimulai
Bok Jin Ceng sudah berdiri berhadapan sama Giok Cin Cu. Pat-chiu Sian Wan mencekal
sebatang pedang panjang, Giok-bin Ho-lie sebaliknya, di sebelahnya pedangnya di tangan
kanan, terus cekal kebutannya di tangan kiri. Baru saja mereka selesai memberi hormat
satu pada 1ain.
"Suhu! Suhu!" Sin Cie berseru memanggil-manggil "Suhu, biarkan teecu saja yang layani
dia!"
Teecu" adalah "murid"!
Dua-dua Bok Jin Ceng dan Giok Cin Cu seperti tidak dengar teriakan itu, sebab mereka
sedang memandang hebat satu pada 1ain. Sebab dua-dua mengerti, inilah saat runtuh
atau berdirinya mereka masing-masing.
Melihat panggilannya tidak dapat jawaban, Sin Cie serahkan Ceng Ceng kepada Ho Tek
Siu, baru saja ia kata kepada muridnya itu, "Kau rawat dia!" ataukah ia tampak kebutannya
Giok Cin Cu sudah bergerak ke arah pundak kiri dari gurunya, ia menjadi kaget ia tahu,
satu kali dua orang itu sudah bertempur, sukar untuk nyelak di antara mereka. Tentu saja
tidak mau ia ijinkan gurunya itu turun sendiri Maka tanpa pikir panjang pula, ia enjot kedua
kakinya untuk lompat mencelat ke arah Giok Cin Cu, buat menyerang dengan tangan
kosong,
pikirannya Sin Cie ini cocok benar sama pikirannya Oey Cin dan Kwie Sin Sie, maka ketiga
suheng dan sutee ini meluruk bersama,
Giok Cin Cu batal menyerang ketika ia tampak ada orang-orang bertempat ke arahnya, ia
tarik kebutannya, ia mundur dua tindak, ia baru mundur atau ia rasai ada angin
menyambar di atasnya kepalanya, lalu tubuhnya satu orang sampai di arah embunembunannya,
ketika ia tarik kuncup batang lehernya, ia rasai sambaran hawa dingin, lalu
diluar tahunya, kopiahnya kena dibetot copot
itulah perbuatan Sin Cie yang hendak cegah serangannya, karena Oey Cin dan Kwie Sin
Sie cuma berlompatan ke depan imam itu.
Bukan kepalang gusarnya si Rase Muka Kumala, ia lantas saja menyerang dengan
pedangnya dengan gerakannya "Ling kian pauw sin" atau "Naga melilit malaikat jahat",
ujung pedangnya menjurus ke lengan kiri si anak muda. itulah serangan hebat sekali,
Hampir saja Sin Cie tidak dapat luputkan diri ujung pedang cuma "menegur" ujung tangan
bajunya yang dengan menerbitkan suara keras menjadi terbabat inilah menandakan
bukannya cuma pedang yang tajam juga Iweekang dari si imam sudah sangat sempurna,
Kapan tubuh Sin Cie turun ke tanah, bersama dua saudaranya ia sudah"berdiri berbaris di
depan gurunya,
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Semua orang kaget dan kagum dengan gerakan Sin Cie barusan, Hampir saja ia dapat
gempur batok kepala Giok Cin Cu siapa sebaliknya hampir tumblaskan ujung pedangnya
di iga si anak muda, hanya akhirnya dua-duanya sama-sama tidak kurang suatu apa, cuma
yang satu hilang kopiah sucinya yang lain robek tangan baju-nya. Coba salah satu
terlambat, celakalah dia!
"Bagus!" akhirnya memuji orang di sekeliling mereka,
Giok Cin Cu andalkan betul-betul ilmu silatnya, ia tahu Bok Jin Ceng sangat tersohor,
tetapi ia harap orang sudah kurang tenaga dan berkurang kegesitannya disebabkan usia
yang lanjut, maka itu ia naksir benar melawan jago dari Hoa San Pay itu. ia percaya,
dengan keuletannya, akhirnya ia akan peroleh kemenangan Maka siapa sangka ia kena
dipermainkan orang, apa pula kapan ia sudah awasi orang itu ada satu bocah mungkin
umurnya belum cukup dua puluh tahun. ia malu mendongkol dan gusar
"Aku nanti bunuh mampus kau dulu, kunyuk kecil, baru si kunyuk tua!" ia membentak
sambil menuding dengan pedangnya kepada anak muda kita.
Sin Cie sambut tantangan itu, itulah memang maksudnya, Tapi ia tetap dapat berlaku
tenang.
^Suhu, biarlah teecu dulu yang lawan imam ini," katanya, "Kalau teecu gagal, barulah toa
suheng dan jie suheng yang menggantikan! Suhu akur?"
"Baik!" jawab sang guru yang benar-benar tidak sudi banyak omong lagi. ini menandakan
kebenciannya kepada Giok Cin Cu yang telengas dan jumawa itu. "Asal kau jangan
memandang enteng!"
"Teecu mengerti, suhu," sahut sang murid,
Dua-dua Oey Cin dan Kwie Sin Sie puas dengan sikapnya sutee cilik ini. Mereka tahu,
sutee ini lebih lihay daripada mereka akan tetapi sang sutee suka merendah terhadap
mereka. Sungguh sukar dicari bocah yang sabar dan tahu adat sebagai Sin Cie itu. Maka
hampir berbareng, suheng yang kesatu dan kedua ini lantas bilang, "Jangan sungkan
sutee! Kau tidak usah main kasihan-kasihan lagi.-!"
juga dua saudara ini gusar sangat pada imam itu,
Giok Cin Cu juga tetap sama kepala besarnya, tidak perduli musuh berjumlah lebih
banyak, Begitulah ia jengeki Sin Cie. "Kau inginkan toyamu gunai senjata atau tangan
kosong untuk antar kau pulang ke Tanah Barat?"
Selagi pemuda kita belum jawab tantangan atau jengekansi imam itu, HoTekSiu serahkan
Kim-coa-kiam pada A Kiu kepada siapa ia kata. "Kau serahkan ini padanya!"
A Kiu menurut, ia lantas hampirkan anak muda itu,
Sin Cie terkejut, akan tampak putri itu berada di antara mereka, hingga ia tercengang,
Tadinya ia tidak dapat lihat karena ia belum sempat perhatikan semua kawan di sekitarnya,
"Kau... kau..." kata si nona, yang terus saja tak dapat bicara lebih jauh, saking hatinya
sedih.
SinCie sambuti pedang yang diangsurkan kepadanya, segera ia lompat akan jauhkan diri
dari putri raja itu,
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Ketika itu cuaca ada terang, karena kabut baru saja buyar dan matahari merah perlihatkan
diri
Semua orang Hoa San Pay berkumpul jadi satu, sedang Bok Jin Ceng terus repot uruti
Bhok Siang Tojin, guna bisa tolong sembuhkan sahabat karibnya itu.
Oey Cin dan Kwie Sin Sie berdiri di luar kalangan rombongannya, masing-masing siap
dengan senjata mereka.
Masih Giok Cin Cu tertawa.
"Umpama kata kamu mau maju berbareng, itu pun boleh!" demikian kejumawaannya, Akan
tetapi belum sempat ia tutup mulutnya, mendadak ada bajangan hitam bertempat di
depannya, tahu-tahu satu lawannya telah sampai dan ujung pedang menyambar ke arah
mukanya, Maka ia lantas mengebut dengan kebutannya sambil pedangnya di tangan
kanan hendak dipakai menyerang,
ia baru bersiap secara demikian, atau pedang lawan sudah ditarik pulang, untuk disusuli
dipakai menyerang puta, hingga ia jadi heran Begitu muda dia ada, lawan ini demikian
gesit dan ancamannya sangat membahayakan Segera ia berkelit ke kiri.
Sin Cie tahu orang berjaga untuk segera menyerang, ia bakal diserang di sebelah kanan,
maka ia pun terus berjaga-jaga,
inilah lihaynya kedua jago yang seperti telah ketahui ke mana mereka bakal saling
menyerang, Cuma pe-nonton-penonton yang masih rendah kepandaiannya heran
mengapa dua jago ini agaknya berlaku lambat, seperti bukannya lagi menghadapi
tegangan Mereka sama sekali tidak insyaf suasana justru sangat tegang, bahwa kepuasan
bisa terjadi di sembarang saat
Sun Tiong Kun sangat benci Giok Cin Cu, melihat sikapnya dua orang itu, ia hendak
membokong dengan tusukan gaetannya kepada bebokong si imam ceriwis itu,
Kiam Hoo lihat sikap adik seperguruan ini ia kaget ia segera menarik,
"Apa yang kau hendak lakukan? Apakah kau tidak sayangi jiwamu?"
"Jangan perdulikan aku! Aku hendak adu jiwa dengan imam durjana itu!" Tion Kun
membandel
"lmam itu sudah tahu siauw-susiok lihay," kata Kiam Hoo, "la sekarang lagi gunai dayanya
yang paling sempurna untuk lindungi diri, maka kalau kau maju sia-sia kau antarkan
jiwa,.,."
Tiong Kun berontak akan loloskan tangannya dari cekalan suheng itu.
"Jangan perdulikan aku! Aku hendak bantu susiok!" katanya, ia benci susiok itu, si paman
guru akan tetapi sekarang menghadapi si imam ceriwis lupa ia kepada rasa bencinya itu,
"Nah, begini saja," Kiam Hong kata kewalahan "Kau coba dulu dengan senjata rahasia...."
Kali ini Sun Tiong Kun menurut ia siapkan sebatang Kim-cie-piauw dengan sekuat tenaga
ia timpuk bebokong Giok Cin Cu.
Si imam sedang berjaga-jaga dari Sin Cie kelihatannya ia tak tahu atas datangnya
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
bokongan maka girang Sun Tiong Kun, yang merasa pasti serangannya akan berhasil Tapi
kapan piauw itu menerbitkan suara nyaring, Kiam Hoo adalah yang berteriak "Celaka!"
terus ia tubruk tubuhnya si Nona Sun, untuk dibawa jatuh ber-sama,
Baru saja si nona Sun rubuh, atau piauwnya sudah mental balik kepadanya, mengarah
dadanya, ia tidak lihat, bagaimana caranya Giok Cin Cu tanggapi piauwnya untuk dipakai
menyerang membalas, Kalau ia kena terserang, celakalah ia. ia memangnya sudah tidak
berdaya untuk tangkis atau kelit diri pula, Dalam saat mati hidupnya itu satu bajangan
putih berkelebat satu tangan halus menyambar pita merah yang menggelawer di gagang
piauw itu!
Hatinya Tiong Kun dan Kiam Ho goncang keras, tapi kapan kemudian mereka kenali
penolong mereka ada Ho Tek Siu, mereka bersyukur berbareng malu, sampai untuk
menghaturkan terima kasih, mereka cuma manggut-manggut
Segera setelah itu, Giok Cin Cun dan Sin Cie sudah mulai bergebrak, keduanya sangat
bersungguh, keduanya unjuk kegesitan mereka, Kalau tadi ia nampaknya lesu, sekarang
Sin Cie jadi bersemangat
Giok-bin Ho-lie ada sutee, adik seperguruan dari Bhok Siang Tojin, maka tak
mengherankan jikalau dia gesit luar biasa, Apapula setelah lihat musuh demikian gagah,
segera ia bersilat dengan "Pekpian kwie-eng", itu ilmu silat entengkan tubuh "Bajangan
setan seratus kali berubah." Maka berkelebatlah tubuhnya di sekitar tubuh Sin Cie dengan
niatnya jika anak muda itu mulai kabur matanya, ingin ia menikam anggota tubuh musuh
yang lowong,
Sin Cie sendiri ada ahli ilmu silat "Pek pan kwie eng" itu, ia tidak kasih dirinya dibikin
pusing atau kabur mata, ia melayani dengan sama cepatnya tetapi tenang, tak mau ia
memberi ketika kepada si imam telengas itu, hingga Giok Cin Cu menjadi heran sesudah ia
berputaran sekian lama, ia tidak tampak lawannya jadi lambat atau gelisah,
"Eh, mengapa dia pun seperti mengerti ilmuku ini?" pikirnya sesudah mana dia lompat
mundur, akan pisahkan diri dari lawannya itu, Terus saja dia keluarkan lagi pedang
besinya - Thie kiam - yang ia kibasi sambil berseru, "Kau adalah murid Thie Kiam Bun,
maka melihat Thie kiam ini kau mesti berlutut.
Sin Cie mengawasi dengan tajam.
"Apakah itu Thie Kiam Bun?" tegasi dia. "Aku belum mendengarnya!"
Kembali si imam membentak
"Jikalau kau bukan muridnya Bhok Siang Tojin, cara bagaimana kau bisa mengerti Pekpian
Kwie-eng? Ka-rena kau ada muridnya, kenapa kau bukannya anggota Thie Kiam ada
di tanganku, maka lekas kau berlutut untuk terima hukuman dari aku!"
"Perduli apa aku dengan kau punya thie-kiam atau tong-kiam!" jawab Sin Cie, yang
menyebut "pedang besi" dan "pedang tembaga",
Giok Cin Cu mendongkol dan penasaran Dia lantas berpaling kepada Bhok Siang Tojin,
"Dia mengerti Pek-pian Kwie-eng bukankan telah turunkan itu kepadanya dengan
tanganmu sendiri?" dia menegur dengan bengis,
Bhong Siang Tojin, sang suheng, menggeleng kepala,
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
Heran bukan main si Rase Muka Kumala, ia percaya suheng itu yang tidak pernah omong
dusta, Tapi ia cuma berpikir scbentar, atau lantas ia menyerang pu!a, hingga pertarungan
jadi dilanjuti,
Sembari menangkis dan mcnyerang, Sin Cie pikirkan pcrkataan-perkataan imam itu
sebagai seorang ccrdas, segera ia ingat. "Ketika Bhok Siang Toliang ajarkan aku ilmu
silat, dia mulanya janjikan itu sebagai hadiah adu catur, dia larang keras aku memanggil
guru kepadanya, dan kemudian untuk ajarkan aku Pek-pian Kwie-eng ia pakai perantaraan
Ceng Ceng. Kiranya dia telah berpikir jauh sekali untuk menjaga kejadian seperti hari ini,
dia jadilah bukan lagi berguyon denganku...."
Dan sekarang barulah ia kctahui, Bhok Siang Tojin itu ada dari partai Thie Kiam Bun.
pedang Besi dan pedang besi itu - Thie Kiam - ada pedang pusaka dari partai itu,
Karcna ia ingat Ceng Ceng, ia gunai ketika akan melirik nona Hee itu, siapa ia iihat, lagi
kemuh sepotong obat merah dan Ho Tck Siu sedang uruti dia, maka terbukalah hatinya,
"Dia terkena racun Ngo Tok Kauw, Tek Siu adalah kauwcu dari Ngo Tok Kauw itu, pasti ia
bisa meno-longnya," ia berpikir "Pasti sekali Ceng Ceng bakal terto1ong...!"
Saking girangnya, tanpa ia merasa, Sin Cie berlaku agak lambat, pundak kirinya bergerak
perlahan dari bisanya, inilah ketika yangdinanti-nantikan Giok Cin Cu. Lantas saja imam
ini menyerang dengan bengis,
Sin Cie bcrkelit, tapi dasarnya lambat, selagi pundaknya bebas, ujung pedang lawan
mengenai iga kirinya,
Semua orang Hoa san Pay lihat itu, mereka terkejut, akan tetapi lebih kaget pula adalah
Giok Cin Cu sendiri, si penyerang.
Scbabnya adalah ujung pedang tidak nancap di iga, tidak melukai daging atau kulit si anak
muda, sebaliknya pedang itu mental balik,
Giok Cin Cu tidak tahu, Sin Cie lelah pakai baju kaos mustika pemberian Bhok Siang Tojin,
dia menyangka anak muda ini saking lihaynya, tubuhnya kedot, tidak mempan senjata
tajam, maka ia jadi heran dan kaget, sampai ia keluarkan keringat dingin sendirinya,
Sclama itu Ceng Ceng telah sadar, ia juga telah perhatikan jalannya pertempuran selagi ia
kaget karena lihat Sin Cie kena diserang lawan, ia ingat ia ada bawa-bawa bumbung besi
hitam, maka ia rogoh sakunya, ia keluarkan bumbung itu, begitu ia lekas buka tutupnya, ia
timpuk si imam lihay,
Satu benda kuning emas, kecil dan pcndek, melesat ke arah Giok Cin Cu. itulah ular
berbisa yang lihay, yang Kim-ie Tok Kay Cee In Go namakan "Kim-jie", si "Anak cmas",
Binatang ini benar-benar cerdik sesampainya di atas kepalanya si imam, ia pertahankan
diri, ia turun ke bawah untuk pagut imam itu!
Coba itu adalah lain orang yang disambar ular emas itu, tentu celakalah dia, tidak
demikian dengan Giok Cin Cu, dengan satu kebutan dengan hud-tim, ia bisa bikin tubuh
ular terlibat ia tidak mengebut lebih jauh akan buah ular itu ia tahu kalau ia berbuat
demikian, lawannya bisa membarengi serang padanya, Maka itu, ia meneruskan saja ke
bawah untuk lemparkan ular ke tanah, ia sendiri lantas loncat beberapa tindak,
Sin Cie sedang berpikir keras, dengan ilmu silat apa ia bisa pukul rubuh\imam yang lihay
itu, kapan ia lihat si ular emas, ntedadakan saja ia ingat gerakan si ular emas yang hendak
ditangkap hidup-hidup oleh Cee In Go. Maka tidak ayal lagi, ia balas menyerang dengan
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
turuti gerak-geriknya si Kim-jie itu. pedangnya lantas bergerak-gerak tak putusnya.
Giok Cin Cu melayani sekian lama, segera "ia jadi kaget sekali, ia kena terdesak, tidak
perduli ia sudah berdaya keras untuk mcnangkis, buat lindungi diri. ia lihat gerakan orang
tidak mirip dengan gerakan ilmu silat yang wajar, ia tertcgun, lantas saja ia dapat
dibingungkan, hingga berbareng gclisah, ia main mundur terus,
Sin Cie bermata awas, ia tampak orang mundur bukan sembarang mundur, mundur itu
disebabkan kacaunya pikiran dan gerakan, maka sambil berseru, ia memperkeras
desakannya, Datanglah saatnya ia me-nebas, ketika orang berkelit dengan mendak, ia
menebas kembali, Lagi sekali Giok Cin Cu mendak, akan tetapi ia mendak kurang rendah
atau memangnya pedang menyambar lebih rendah sanggulnya kena terbabat kutung,
menyusul mana kepalan kiri Sin Cie mampir di dadanya!
itulah tonjokan Hoa San Pay yang lihay. Tidak ampun lagi, imam yang lihay ini rubuh
terjcngkang. Begitu lehernya menyentuh tanah, bertepatan dengan itu ia merasa sakit dan
gatal pada lehernya, hingga ia kaget dan heran, Diwaktu ia jatuh lehernya justru menindih
Kim-jie dan si ular emas itu segera mencato!nya!
Tidak perduli serangan kepalan Sin Cie sangat keras, serangan itu cuma dapat
merubuhkan tubuh tidak melukai bagian dalam, tidak demikian adalah pagutan si Kim-ji
yang berbisa itu, tidaksempat Giok Cin Cu bangun, bisa ular sudah bekerja, lehernya terus
berubah menjadi hitam, hitam juga mukanya, dan sejenak kemudian dia rebah tidak
bergerak, napasnya bcrhenti....
Bila tiga orang yang hendak menangkap Ang Nio Cu dapatkan imam mereka rubuh binasa,
tanpa pikir panjang lagi mereka putar tubuh untuk lari tunggang langgang turun gunung,
Mereka bersyukur, karena tak ada seorang Hoa San Pay pun yang mengejar mereka,
Semua orang menjadi sangat lega hatinya, semua bergirang sekali, Tanpa orang yang tak
mengagumi si pemuda, malah Bok Jin Ceng pun amat bangga!
Bhong Siang Tojin menghela napas, setelah minta A Pa mengubur mayat suteenya, ia
pegangi Thie-kiam, pedang pusaka partainya yang dipuja-puja. Sesudah itu, sekalian ia
tuturkan tentang partai itu yang asing bagi kebanyakan orang, tidak terkecuali Sin Cie.
Kaum mereka dipanggil Thie Kiam Bun, partai Pe-dang Besi, dan Thie Kiam pedang besi,
adalah pusaka mereka, Bhok Siang Tonjin dan Giok Cin Cu ini adalah dua murid terakhir,
mereka belajar bersma-sama, Guru mereka menutup mata di See-chon, Tibet, tanpa
mereka ketahui, dengan begitu pedang pusaka mereka pun turut lenyap tak berbekas,
Pada mulanya, Giok Cin Cu adalah jujur, akan tetapi setelah guru mereka menutup mata,
hatinya berubah, ia jadi binal, ia terpisah dari Bhok Siang Tojin, maka dari itu, tidak ada
lagi orang yang dapat mengendalikan padanya, ia menjadi imam semenjak masih kecil, ia
tidak gemar main perempuan, tetapi sudah berubah sifat, ia jadi pengganggu orang-orang
perempuan, perempuan hina dan orang-orang baik. Karena tangkasnya tak seorang pun
dapat me1awannya. Satu kali ia bentrok dengan Bhong Siang yang nasihatnya ia tak
gubris, namun lantas saja ia putuskan perhubungan suheng dan sutee.
Giok Cin Cu juga tahu bahwa sang suheng itu lihay, tak dapat ia melawannya oleh karena
itu ia tidak mau berdiam lebih lama di Tiong-goan, dan segera merantau jauh ke Seechong,
sembari melatih terus ilmu silatnya, ia coba mencari pedang pusaka kaumnya,
Untung baginya, ia berhasil menemukan Thie Kiam, karena mana ia menjadi lebih berani
terhadap suhengnya,
Menurut aturan Thie Kiam Bun, melihat Thie Kiam, orang mesti memandang seperti
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
menghadap Sucouw mereka, Atau tegasnya, siapa pegang Thie Kiam, dengan sendirinya
dia jadi ciang-bun-jin, ahli waris atau ketua, siapapun anggota Thie Kiam Bun mesti tunduk
pada ciang-bun-jin ini. Demikian juga sudah terjadi dengan Bhok Siang Tojin yang jujur, ia
tunduk pada Thie Kiam, ia menyerah atas hukuman yang dijatuhkan Giok Cin Cu, meski itu
tidak adiL
Bok Jin Ceng menghela napas bila ia sudah dengar keterangan itu.
Kemudian, ketua Hoa San Pay itu pandang Ang Nio Cu berlutut di depan orang tua itu, ia
menangis,
"Aku mohon dengan sangat Bok Loyacu suka me-nolongi suamiku," ratapnya.
Dulu-duIunya Sin Cie belum pernah ketemu sama Ang Nio Cu, sekarang dengan
perantaraan An Toa Nio, ia ketahui nyonya serba merah ini ada istri Lie Gam, jadi enso
atau iparnya, ia tahu Ang Nio Cu gagah, ia kaget dengan permintaan tolong nyonya ini.
"Kenapa dengan kanda Lie Gam itu?" tanyanya.
"Gouw Sam Kui sudah bersekongkol dengan Tatcu dari Boan-chiu," berkata Ang Nio Cu,
"Dengan bekerja sama mereka menyerang San-hay-kwan. Giam Ong gagal dalam
perlawanannya, ia mundur dari Pakkhia, Ketika itu Song Kumsu sudah mengadu biru, ia
memfitnah Lie Ciangkun. Aku minggat, dengan niat cari bantuan, akan tetapi Song Kunsu
mengetahui ini, ia segera kirim orang mengejar untuk menangkapku, Begitulah aku telah
dikejar kejar sampai di sini,"
Semua orang kaget mendengar orang Boan telah memasuki San-hay-kwan.
Sin Cie segera memimpin bangun ensonya itu.
"Mari kita lekas tolong toako terlambat sedetik, bisa gagal," katanya,
Meski ia mengucap demikian, Sin Cie toh mengawasi gurunya, Dengan tiba-tiba ia ingat,
gurunya hendak mengadakan rapat, entah urusan apa yang bakal dibicarakan ia menjadi
sangat ge1isah.
"Orang telah berkumpul, sekarang juga aku akan utarakan niatku," berkata Bok Jin Ceng,
yang mengerti akan kegelisahan muridnya.
Ketua Hoa San Pay ini ajak orang berkumpul di dalam gua, ia mengeluarkan gambar
couwsu, lantas ia pasang lilin dan hio, semua muridnya dititahkan berlutut
Ho Tek Siu berlutut sendirian di pojok, diam-diam ia lirik Sin Cie.
Bok Jin Ceng lihat kauwcu itu, ia bersenyum dan berkata: "Kau berkeras juga hendak
masuk Hoa San Pay, sedang sebenarnya dengan kepandaianmu kau sudah boleh malang
melintang di kolong langit Tadi aku tolak kau, kau cuma mundur empat tindak, Di dalam
kalangan kita kecuali tiga muridku tidak ada orang keempat yang tangguh seperti kau!
Baik, baik, baik, kau boleh turut berlutut di sini!"
Bukan main girangnya Tek Siu, itu artinya ia telah diterima menjadi orang Hoa San Pay,
maka ia berlutut di belakang Sin Cie, ia turut paykui akan menghormati Couwsu mereka,
Setelah semua sudah menjalankan kehormatan, Bok Jin Ceng berdiri di tengah kalangan
"Sekarang ini negara sedang kalut, aku sendiri sudah berusia lanjut tak dapat aku bekerja
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
lebih jauh," berkata guru ini, "Maka dari itu pimpinan Hoa San Pay, mulai hari ini aku
serahkan kepada muridku yang pertama, Oey Cin."
Oey Cin terkejut
"Kepandaianku kalah dari jietee dan shatec." kata-nya.
"Untuk menjadi ciang-bun-jin, yang dibutuhkan bukan hanya kepandaiannya saja," kata
Bok Jin Ceng, "Di sebelah itu yang diutamakan adalah prilaku benar, jujur dan berhati
mulia, Kau jangan menampik terimalah tugas-mu!"
Oey Cin tidak berani membantah lagi ia lantas Paykui pada Couwsu, lalu pada gurunya,
sesudah itu ia terima hu-in, cap dan kekuatan Hoa San Pay dari gurunya itu, Dan yang
terakhir semua sutee keponakan murid juga murid-muridnya sendiri segera memberi
hormat dan selamat kepadanya.
Hati Sin Cie lega setelah rapat selesai, ia lantas pamitan dari gurunya dari Bhok Siang
Tojin juga, begitu pun dari semua suhengnya dan yang lain-lain, untuk ia turun gunung
guna tolongi Lie Gam.
"Adik Ceng, kau rawat diri di sini, habis menolong saudara Lie, aku akan segera balik
kembali," pesannya pada Ceng Ceng.
Mata nona Hee menjadi merah) air matanya lantas menetes butir demi butir. Hatinya panas
karena melihat A Kiu berada di atas gunung, Akan tetapi sebelum ia dapat mengatakan
sesuatu, A Kiu sudah bertindak ke hadapannya,
"Enci Ceng, kau toh sudah tidak membenci aku pula bukan?" katanya dengan sebat
mengangkat tangannya yang tinggal sebelah dan membuka karpus kulit yang menutupi
kepalanya, hingga segeralah terlihat satu kepala gundul, bersih dari rambutnya yang
tadinya hitam dan bagus.
Tuan putri ini sangat berduka untuk nasib kerajaan-nya, untuk kemalangannya yang
menimpa ayahnya, untuk peruntungannya yang buruk, di sebelah itu ia tahu cintanya Sin
Cie kepada Ceng Ceng, maka dari itu tanpa ragu-ragu ia menjadi nikoh.
Hal ini mengherankan semua orang,
Melihat itu, Ceng Ceng malu sendirinya, sedang Sin Cie pikirannya jadi kusut, karena ia
bersusah hati untuk putri raja yang tadinya cantik dan jelita itu.
Mereka diam semua, Bhok Siang Tojin turut bicara,
"Nona ini tadi telah bersedia mengorbankan dirinya untuk menolongi aku, aku mesti
hargakan budinya," katanya, "Seumur hidupku, aku si imam tua belum pernah menerima
murid, maka justru sekarang partaiku sudah bersih, apabila kau tidak buat celaan, nona
sukalah kau terima beberapa pelajaran dari aku?"
A Kiu girang bukan buatan untuk tawaran itu, hingga ia lantas berlutut di depan guru yang
baru ini. justru ini yang membuat ia di belakang hari menjadi satu pendekar wanita di
permulaan kerajaan Ceng, karena Kam Hong Tie, Pek Tay Koan, In Su Nio dan lainnya
adalah murid-muridnya yang gagah dan setia pada kerajaan Beng.
Sampai di situ Sin Cie turun gunung untuk tolongi Lie Gam. Kecuali Ang Nio Cu, Hok Tek
Siu dan lainnya, juga Ceng Ceng turut padanya, Nona ini mengatakan bahwa ia sudah
cukup kuat. Memang, setelah urusan A Kiu menjadi terang baginya, hatinya lega sekali, ia
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
segera merasa segar bukan main, pertolongan Tek Siu adalah yang berarti sangat besar
untuknya, ia percaya, selama di perjalanan kesehatannya bakal pulih,
Sin Cie tidak menghalangi si nona hendak turut serta,
Nyala kemudian, rombongan penolong ini terlambat datangnya, Lie Gam rela dihukum
mati oleh Giam Ong, Hingga Sin Cie mesti tangisi saudara angkat itu.
Tentang Ang Nio Cu, tidak usah diterangkan lagi bagaimana kagetnya bagaimana hatinya
terluka, Dia pun adalah istri yang sangat setia dan lagi pula mencintai suaminya,
Sin Cie lantas cari mayatnya Lie Gam untuk dikubur dengan baik,
Pada hari itu, ketika anak muda kita ini serta rombongannya bersembahyang di kuburan
Lie Gam, ia dapatkan satu orang dengan kopiah dan pakaian putih scmua, menangis
seorang diri sambil menghadap ke utara, ia jadi heran, ia dekati orang itu untuk tanya she
dan namanya,
Segera ternyata orang itu adalah yang belasan tahun dulu ia pernah jumpakan di gunung
Lauw Ya San. Sebab dia adalah Han Tiauw Cong! Hanya sekarang orang she Han itu telah
tambah usianya dan wajahnya pun telah berubah banyak,
Diwaktu kembali ke rumah penginapan Sin Cie ajak Tiauw Cong. Mereka bersantap dan
minum arak bersama, Banvak mereka bicarakan
Han Cauw Tiong merasa sangat ,terharu, hingga ia menulis syair peringatan untuk Sin Cie,
setelah mana ia pamitan dan pergi Hatinya sudah jadi sangat tawar
Sin Cie pun turut lenyap kegembiraannya,
"Mari kita puIang," ia ajak kawan-kawannya.
Mereka pulang ke Hoa San. Segera juga dengan tiba-tiba Sin Cie ingat peta yang ia terima
dari Peter, si orang militer asing, ialah peta dari sebuah pulau, Hay Lam!
"Kenapa aku tidak pergi ke sana untuk berikhtiar?" pikirnya.
Malam itu pemuda ini berada bersama dengan Ceng Ceng, Mereka duduk berendcng di
atas sebuah batu besar Tidak banyak yang mereka katakan, karena hati mereka sudah
bersatu, Wajah merekalah yang lebih banyak mengutarakan sesuatu -- satu pada yang
lain,
"Aku ingin berlayar ke Hay Lam, kau setuju bukan?" kemudian Sin Cie tanya si nona,
"Suasana di sini sudah tidak cocok lagi untuk kita di pulau itu kita dapat ber-ikhtiar Pasti
sekali, kita akan pergi beramai-ramai, supaya dapat kita berkumpul terus."
Pemuda ini awasi kekasihnya, dan si pcmudi pun membalas pandangannya,
"Aku setuju," berkata si nona, hampir tanpa berpikir 1agi.
"Bagus!" seru si anak muda.
Selesai ini mereka terus bersama menikmati sang malam yang sunyi, sampai setelah lewat
banyak waktu, mereka kembali untuk beristirahat
Bcsoknya Sin Cie utarakan cita-citanya kepada semua kawannya, ia tanyakan pendapat
Kang Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
mailto:22111122@yahoo.com
mereka,
Nyata Ho Tek Siu, Ang Nio Cu dan yang lainnya pun setuju, Maka putusan lantas diambil
Malah mereka lantas mulai bersiap sedia,
Sin Cie minta bantuan Ang Seng Hay untuk mengumpulkan Couw Cong Siu, Beng Pek Hui
ayah dan anak, Ciauw Wan Jie dan suami, See Thian Kong, Ouw Kui Lam dan lain-lainnya
orang gagah dari tujuh propinsi Malah ia pun dapat persetujuan The Kic In, ketua dari
Citcapjieto, tujuh puluh dua pulau, yang suka turut ia.
Maka pada suatu hari yang lelah ditetapkan, rombongan yang besar ini dengan terbagi
dalam beberapa kelompok, mulai berangkat menuju Hay Lam, Laut selatan itu dimana
mereka berkat kekerasan hati mereka telah beruntung berhasil mendirikan semacam
daerah bcrpengaruh, hingga Hay Lam dapat dibuka, dibangun menjadi satu dunia baru.
T A M A T