Chapter || 7.

6K 365 6
                                    

Ravael tiba ketika tim sudah siap untuk mengadakan rapat dengan para investor. Shera, yang merupakan salah satu bawahan Ravael, menghampiri atasannya di depan pintu masuk hotel. "Pagi, Pak." Shera tersenyum. Ravael membalas sapaannya dengan senyuman tampannya. Lala pernah mengatakan sekaligus menggodanya bahwa Ravael tidak jauh beda ketampanannya dari Genta.
Ravael memiliki hidung bangir dengan bibir tipis dan mata bulat besar. Kulitnya putih, lebih putih dari Shera yang terkadang merasa minder jika berdekatan dengan bosnya itu. Berbeda dengan Gentahardja yang memiliki kulit eksotis, gula jawa, kalau kata Ara, ibunya. Oke, stop. Kenapa sekarang Shera jadi membandingkan keduanya?

"Kamu sudah sarapan, Ra?" tanya Ravael, ada sedikit nada khawatir yang tertangkap di nada suaranya itu oleh Shera.

"Huh?" Shera refleks mengatakan itu ketika bingung. Ia berdeham. Cukup terkaget karena ini pertama kalinya Ravael menanyakan apakah ia sudah sarapan apa belum.

"Hm, belum, Pak." Shera mengakhirinya dengan senyuman.

Ravael menahan lengannya ketika ia akan berbelok ke arah lift untuk menuju ruang rapat yang sudah siap. Shera mengerutkan dahi melihat tingkah laku atasannya. "Sarapan dulu." Ravael memang berucap dingin, namun Shera tetap tersanjung dengan perhatian Ravael. Pria itu membawanya ke prasmanan yang ada di hotel. Shera tetap diam di belakang Ravael ketika pria itu mengambil makanan. Pria itu menyadari Shera yang diam saja. "Nggak makan?"

"Huh?" Aduh, kenapa sih gue? Shera berdecak pelan. "Um, saya.. nanti aja sarapannya."

Kini, giliran Ravael yang berdecak. Pria itu mengambil satu piring lagi dan memberikannya pada Shera. "Ini, kamu harus sarapan. Saya nggak mau kamu nggak fokus pas rapat nanti." Shera memang menerima piring pemberian Ravael, namun ia tetap diam. "Saya ambilin aja ya, kalau kamu tetep nggak mau makan?" Shera cukup tersentak. Ia menggeleng keras. Karyawan mana yang membiarkan atasannya mengambilkan makanan untuknya?

Setelahnya, mereka mengambil tempat duduk di ujung dekat jendela. Shera disuguhkan taman yang indah di hotel itu, mungkin itu bisa menjadi inspirasi untuk desain bangunannya nanti. "Ayo, dimakan." Shera tersentak oleh ucapan Ravael.

"Iya, Pak."

Di sela-sela sesi makan mereka. Ravael tiba-tiba mengatakan sesuatu yang membuat Shera tersedak makanannya. "Gimana kerja bareng lagi sama mantan suami?" Untung saja Shera tidak kenapa-napa. Ia langsung menerima minuman yang diberikan Ravael padanya. "Pelan-pelan kalau makan, Ra." Iya, makannya sudah benar. Jika bukan karena Ravael yang tiba-tiba menanyakan hal seperti itu, jangan salahkan Shera jika ia tersedak makanannya sendiri. Masalahnya, yang menanyakan hal itu adalah Ravael, bosnya yang super duper jutek dan tidak pernah peduli dengan kisah-kasih karyawannya.

"Hm... Biasa aja, Pak. Kami juga nggak mungkin mencampurkan masalah pribadi dengan kantor." Shera menjawab ketika ia sudah agak tenang.

"Oh syukurlah, saya sempat ngerasa bersalah karena menjebak kamu sama mantan kamu." Ravael mengerling jahil. Shera tertawa kecil. Selama lebuh dari tiga tahun bekerja dengan Ravael, ia tidak pernah tau bosnya ini memiliki sisi humor juga.

"Saya denger, kamu lagi deket sama anak divisi konstruksi, ya?" Shera yang ditanya demikian hanya termenung. Berpikir kenapa Ravael bisa mengatakan hal itu. Tunggu...

Wait.

What?

"Huh?" Tuh kan, kebiasaan jelek Shera kembali terulang.

"Siapa, Pak? Kata siapa?" Iya, siapa yang menyebarkan gosip ecek-ecek tentang dirinya. Selama ini, setelah bercerai dari Genta, ia tidak ada niatan untuk dekat dengan siapapun.

"Aduh, siapa ya? Saya lupa-lupa inget. Namanya.. Akser? Aks.. Pokoknya Ak-Ak gitu deh." Shera heran mengapa bosnya yang di kantor jarang sekali berbicara selain masalah kantor, kini ceriwis minta ampun ingin tahu masalah pribadi Shera. Bukannya Shera terusik, ia hanya heran saja.

"Aksa?" Shera menebak.

"Nah, iya itu. Banyak yang bilang kamu lagi dekat sama dia. Memang benar? Kenal darimana?" Aduh, ini bosnya kenapa sangat ceriwis begini. Shera jadi heran setengah mati. Lagipula, Aksa adalah teman kampusnya dulu. Mereka memang dekat, namun Shera cukup kaget karena kedekatannya dikata lain di pandangan orang.

"Aksa sama saya itu temenan, Pak. Sudah lama, sejak kuliah." Aksa bekerja di bagian konstruksi, sedikit melenceng dari jurusannya, arsitek, walau masih satu linier. Sementara, Shera yang memang sudah sangat mengabdi pada jurusannya dulu, bekerja di desain dan pelaksanaan pembangunan. Pengalamannya yang cukup banyak, menguntungkan dirinya untuk mendesain bangunan proyek sekaligus terjun di lapangan untuk melihat prosesnya.

"Oh, saya kira, kalian lagi deket." Memangnya kenapa? Dalam hati Shera terus bertanya-tanya kenapa Ravael berubah sikap seratus delapan puluh derajat. Ya Tuhan, tolong, kasih dia pencerahan.

***

"Tema yang diusung lebih ke nature dan adventure. Melihat kondisi sekitar lokasi yang sangat terjaga, kita memilih tema tersebut." Ravael memaparkan hal tersebut yang diiringi anggukan oleh tim lainnya.

"Pak Ravael, untuk tempat wisatanya, apa yang akan menjadi daya tarik untuk wisatawan?" Salah satu investor yang Shera tahu menanam saham terbesar untuk proyek ini bertanya. Shera hanya tersenyum simpul. Ia tahu kelihaian Ravael untuk menyakinkan investornya bahwa proyek ini 'fantastis'.

Shera mencatat hal-hal yang penting di rapat itu. Ia pun sempat memaparkan rencana pembangunannya. "Diperkirakan proyek ini berjalan 8 bulan lebih. Anggaran yang diperlukan akan saya rinci lebih lanjut untuk dipresentasikan dua minggu lagi."

Rapat selesai saat jam menunjukan pukul dua siang. Perut Shera sudah keroncongan setelah mati karena menahan lapar sejak tadi. "Ra." Shera memutar bola matanya begitu tau siapa yang memanggilnya. Ia memilih untuk mempercepat langkahnya dan tidak peduli dengan Genta yang menyusulnya.

"Makan siang bareng?"

Oh man, you must be kidding me. Serius, kenapa Genta tidak pernah peka melihat wajah Shera yang selalu berubah masam ketika ia datang? Apakah pria ini terlalu buta untuk melihatnya? "Nggak, makasih, Pak Genta. Saya makan siang bareng bos dan tim saya." Shera melirik Ravael yang berjalan ke arah restoran di hotel itu setelah berbincang dengan salah satu imvestor mereka.

"Sama saya aja." Genta tidak peduli dengan amukan Shera setelah ini ketika ia mengambil.lengan wanita itu dan memaksanya.

"Genta!" Shera sudah ingin menangis karena pria itu. Dipegang tangannya saja, Shera sudah tidak mau. Shera mengira Genta tau itu. Lalu, kenapa pria ini memaksanya?

"Hm, maaf." Genta melepas tangannya. "Saya nggak mau ngeliat digodaain sama bos kamu."

What?!

"Ravael nggak ngapa-ngapain saya." Shera tidak setuju dengan ucapan Genta yang seolah menjelekkan bosnya.

Genta melirik Ravael. "Tadi pagi dia..." Oke, mungkin ini terdengar seperti penguntit, tapi tadi pagi, Genta jelas sekali melihat gerak-gerik Ravael yang menunjukan ketertarikan kepada Shera. Tentu saja Gentahardja Subroto tidak menyukai itu. Sangat amat tidak menyukainya. Apa haknya untuk begitu? Tidak ada. Memang tidak ada. Namun, ia tidak mau mendebat alasan apapun bahwa ia cemburu Shera didekati pria lain.

"Mind your own business, Ta. Lagipula, Ravael nggak menyakiti saya seperti kamu." Shera mendelik tajam dan puas setelah meninggalkan Genta dengan tatapan yang memelas di matanya.

***
TBC

stay safe ya kalian ^^

oh iya, cerita ini cuman selingan biar aku nggak stress, awokwok. jadi, nggak akan ada konflik yg berat-berat amat sih.
Love you, guys.

L'amour L'emporte [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang