Chapter || 8.

5.5K 297 7
                                    

Hari kelima mereka ada di lokasi proyek, sepertinya bisa dibilang hari bebas mereka. Semua orang yang terlibat dalam proyek ini merencanakan acara barbeque dipinggir pantai. Tidak ada yang menolak, pun Shera yang biasanya menghindari keramaian karena terkadang membuatnya suntuk. Rencananya, mereka akan memulai acaranya malam hari.

Shera dan Lala kebagian memotong daging barbeque sementara yang lain menyiapkan panggangannya. Maklum, di proyek ini hanya ada Shera dan Lala yang berjenis kelamin wanita, sisanya pria. Shera juga mensyukuri keputusannya untuk mengajak Lala meng-handle proyek ini, jika tidak, hanya ada ia wanita satu-satunya di sini. "Berasa balik lagi ke jaman kuliah gue tuh, Mbak, kalau barbeque-an gini." Shera yang sedang mengaduk bumbu, mendengarkan Lala bercerita. "Rasanya balik lagi jadi remaja.labil, hehe."

Shera tersenyum. "Lo  masih muda, La. Masih bisa dibilang remaja. Beda sama gue yang udah cocok dipanggil emak-emak, wong udah punya buntut satu." Tak pelak, membuat Lala tertawa.

"Aduh, 'pemandangan indah' banget, Mbak." Shera mengira pemandangan indah yang dimaksud adalah pemandangan pantai yang di depan mereka. Perkiraannya salah ketika ternyata yang dimaksud adalah Ravael yang sedang bercengkrama dengan Tandra. Ravael memakai kemeja berwarna putih dengan lengan yang digulung sampai siku. Jika seperti ini, Ravael tidak telihat seperti bos yang workaholic. Ia terlihat lebih santai dan tampan. Amat sangat tampan. Lala tidak salah menyebutnya sebagai 'pemandangan indah'.

"Biasa aja kali, Mbak, ngeliatnya. Bentar lagi merah noh muka lo." Untung saja Shera masih ingat bahwa Lala adalah temannya sehingga ia tidak melempar bubuk lada yang sedang ia pegang pada wanita itu.

"Kalau disuruh milih, lebih milih Pak Genta apa Ravael, Mbak?" Pertanyaan konyol macam apa itu? Sudah pasti. Shera akan memilih Ravael. Ia bukan wanita lemah yang akan membuka hatinya untuk kisah cinta lama.

"Ravael," jawab Shera dengan muka masam agar tidak dikira terlalu berharap. Namun, Lala tetaplah Lala yang sering menggodanya. "Akhirnya, Avi punya Papa baru, ya Mbak?"

***

Acara barbeque berjalan sangat santai. Shera bisa melihat sisi lain dari karakter bos yang workaholic dan karyawan yang menjadi robot di kantornya. Rayyan, yang ia kenal selalu menjadi kacung Ravael, ternyata memiliki sisi humornya sendiri.

"Mbak Shera nih, diem aja. Kenapa, Mbak, pusing?" Shera yang tadinya sedang melihat teman-temannya bercanda ria akhirnya menjadi pusat perhatian ketika Lala melayangkan pertanyaan itu. Shera melihat balik Genta yang sedang menatapnya.

"Nggak kok, udah lanjut aja. Gue nggak apa-apa." Yang lain mengangguk dan mengobrol kembali. Sementara, Shera melihat ponselnya, memeriksa apakah ada telepon dari orangtuanya apa tidak.

"Ra." Pandangannya teralihkan pada Genta. Tunggu, ini kenapa wajah Genta terlihat sangat drkat dengannya? Menyadari itu, Shera menjauhkan kepalanya. "Hm?" balasnya dengan gumaman.

"Sakit? Kamu diem aja dari tadi." Shera terkejut setengah mati melihat tingkah laku  Genta yang tiba-tiba perhatian kepadanya. Dulu, saat masa mereka menikah, Genta tidak pernah peka pada tingkah laku Shera sekalipun. Ayolah, ini semakin membuat semuanya kacau untuk Shera. Niatnya ingin menjauhi Genta, bukannya semakin dekat dengan pria ini.

Setelah makan-makan, mereka hanya mengobrol santai. Shera merasa kantuk sudah menghampirinya. Sedari tadi, ia hanya memperhatikan teman-temannya bersenda gurau dan menimpalinya sesekali. "Eh hujan." Lala menengadahkan telapak tangannya. Gerimis yang mulai mengguyur tidak disangka menjadi hujat yang lebat. Mereka sibuk membereskan panggangan dan peralatan masak yang mereka bawa. Shera sendiri.membawa beberapa piring dan peralatan masak. Ia tau teman-temannya sudah berlari menuju.hotel tempat mereka menginap.

"Ayo, Ra." Shera merasa ada  yang memayunginya. Shera menengadah. Ternyata Genta memayungi kepalanya dengan jaket yang dipakainya. Oh dear, jangan harap Shera akan luluh diperlakukan seperti itu. Ia biasa saja. Genta memiliki maksud tersembunyi dibalik sikapnya yang sok manis ini. Shera tau itu.

"Ayo." Karena hujan semakin lebat, Shera berlari bersama Genta, masih dengan pria itu yang memayunginya.

"Aduh, berasa nontom film India, nih gue," ucap Tandra cengengesan ketika mereka sampai di depan hotel. Genta melotot ke arah asistennya itu, sementara Shera tidak memedulikannya. Ia memilih untuk mengembalikan peralatan yang dibawanya pada Lala. Ia tau, Lala tidak membawa panganan dan tetek-bengeknya kemari hanya untuk acara barbeque ini, entah darimana wanita itu mendapatkannya.

"Shera, baju kamu basah banget. Cepat ke kamar kamu, ganti bajunya." Ravael refleks menyentuh lengan kanan Shera. Shera terkejut dengan gerakan Ravael, namun ia tidak mengatakan apapun dan langsung menuruti perintah atasannya. "Saya permisi dulu." Shera sempat melirik Genta yang hanya terdiam di tempatnya. Entah dari mana asal pemikiran ini, tapi Shera yakin Genta tidak menyukai sikap Ravael padanya. Biarkan saja. Toh, Genta bukan siapa-siapanya lagi.

***

Shera menghela napas ketika pusing menderanya. Ia benci tubuhnya yang terlalu sensitif. Sedikit kehujanan, demam. Ibunya juga selalu mewanti-wanti agar ia berusaha untuk tidak kehujanan, karena sekali kehujanan, ia akan demam, dan semuanya akan ribet.

"Hachi!" Jika sudah bersin-bersin seperti ini, Shera yakin tengah malam tubunya akan panas dingin. Astaga, mana ia lupa lagi membawa obatnya. Shera memilih untuk merebahkan dirinya. Ia tidak peduli bajunya basah sekalipun, karena ia merasa sudah tumbang duluan.

"Ra... Shera..." Shera merasa ada yang menepuk pipinya berkali-kali. "Ra, are u okay?" Shera berdecak karena orang ini mengganggu tidurnya. Ya Tuhan, mana badannya panas sekali, ia tidak ingin membuka matanya sekarang.

"Ra..." Shera akhirnya memutuskan membuka matanya yang terasa sangat berat. "Badan kamu panas banget. Kenapa nggak ganti baju?" Shera langsung menegakkan tubuhnya begitu menyadari yang ada di sini adalah Gentahardja Subroto. Kenapa pria ini selalu mengganggunya, sih? Lalu, kenapa dia bisa masuk ke kamar hotelnya?

"Awalnya saya mau ngasih kamu obat, saya tau habis kehujanan biasanya kamu demam, makanya saya ke sini. Tadi saya pinjam kunci cadangan dari staf hotel. Saya nggak bermaksud lancang." Untungnya, Genta mengerti arti tatapan Shera.

"Pergi..." ucap Shera dengan lemas. Ia tidak mempunyai tenaga untuk menghadapi Genta sekarang. Ia menggeser tubuhnya untuk menjauhi Genta. "Pergi, Ta... Saya nggak apa-apa." Sudah ditekankan berkali-kali, bukan? Shera sangat membenci Genta. Ia tidak mau menerima segala bentuk perhatian dari Genta.

"Saya bakal pergi setelah mastiin kamu baik-baik saja," ucap Genta dengan tegas. "Di mana baju kamu? Saya ambilin." Kepala Shera sudah pusing dan terasa berputar hebat. Ia memejamkan matanya, tidak peduli dengan apa yang akan dilakukan Genta.

Shera tidak sadar sudah berapa lama ia memejamkan mata. Hingga ia merasa kasur di sampingnya bergerak. "Sini, ganti dulu baju kamu. Tadi kehujanan aja, pasti kamu udah demam. Ditambah kamu tidur pake baju basah, nambah parah nantinya." Oke, sejak kapan Genta menjadi sangat cerewet seperti ini?

Akhirnya, Shera mengikuti kemauan Genta. Ia juga sudah tidak dengan pakaiannya. Ia yaki ia sudah demam tinggi sekarang, sistem imunnya memang sedikit sensitif. "Balik badan, Ta." Shera berujar lemah. Walau dulu mereka suami-istri, dan Genta sudah melihat tubuhnya berkali-kali, tetap saja, Shera tidak akan membiarkan Genta memanfaatkan kesempatan. Genta menuruti, untungnya.

Setelah memakai bajunya, Shera mengambil baju basahnya dan merapikannya ke kopernya. "Sama saya aja nanti, ini kamu minum dulu obatnya." Shera melirik jam dinding di nakas. Tepat jam satu malam. Ia lelah dengan kehadiran pria di kamarnya ini yang terus mengganggunya.

Shera melihat bayangan Genta sedikit pudar ketika pria itu menghampirinya. "Ra.." Semuanya semakin pudar dan kepalanya pusing.

"Shera!"

Dan semuanya gelap.

***
TBC

vote ya komen juga

luvv

L'amour L'emporte [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang