"Mbak Shera..." Sayup-sayup Shera mendengar suara perempuan yang memanggilnya. Ia berusaha untuk membuka matanya. Pandangannya menangkap Lala yang ada di samping tempat tidurnya.
"Mbak, Mbak udah sadar? Mbak Shera?" Lala menggoyangkan tubuhnya pelan.
"Hm..." Shera hanya bergumam dan menegakkan tubuhnya. Ternyata ia berada di kamar hotelnya.
"Pak Genta lagi nyiapin mobil dan barang-barang Mbak buat dibawa pulang. Mbak Shera pulang duluan aja, kan lagi sakit. Pak Genta yang bakal anter Mbak." Penjelasan Lala membuatnya membelalakkan matanya. Big no! Dia lebih baik menahan demam yang dirasa semakin parah dan pulang dengan timnya dibanding harus pulang dengan Genta. Oh man, big no. Shera menggeleng kuat. "Mbak, jangan ngeyel dong. Waktu malem lo katanya pingsan, Pak Genta panik setengah mati. Mana rumah sakit jauh dari sini. Makanya Pak Genta nyuruh gue jagain lo dulu selagi dia nyiapin mobil dan tiket untuk kalian pulang."
"Nggak. Gue pulang bareng yang lain aja."
"Nggak bisa." Suara itu datang dari seseorang yang baru masuk ke kemarnya. "Nggak, Ra. Kamu tetep pulang sama saya. Nggak ada penolakan."
***
Akhirnya, di sinilah Shera berada. Duduk kembali di pesawat tepat di samping Gentahardja Subroto. Sial sekali dia. Jika saja ia tidak pingsan dan demam, mungkin batinnya tidak akan tersiksa seperti ini. Atau mungkin jika Gentahardja tidak datang ke kamar hotelnya, ia tidak akan di sini. Semuanya salah Genta. Iya, salah pria itu.
"Nyampe di Jakarta, langsung periksa ya."
Shera mendengus. Ia menggeser tubuhnya untuk menatap ke arah jendela pesawat. Big no. Ia sudah tidak mau menuruti kemauan Genta lagi. "Ra, saya nggak mau kamu demamnya nambah parah. Periksa doang, habis itu minum obatnya."
Oke, Genta mengajaknya perang.
"Ta, kamu tau kan, kalau saya benci banget sama kamu. Saya menceraikan kamu karena kamu itu berengsek. Lagipula, selama pernikahan delapan tahun kita, kamu tidak pernah perhatian pada saya. Terus, setelah kita cerai, kenapa tiba-tiba kamu kayak gini? Ini nyiksa saya, Ta. Saya sakit fisik dan mental karena kamu. Please, nggak usah usik saya lagi. Cukup sebatas rekan kerja saja, nggak lebih. Saya nggak bisa nerima kamu lagi seberapa lama pun kamu nyoba buat dapetin saya." See? Dia diam. Genta tidak berkata apa-apa lagi.
Shera sedikit terkejut ketika Genta menyelimutinya dengan selimut yang ada di sana. "Saya cuma mau tau kamu baik-baik aja. Itu udah cukup buat saya."
"Maafin saya, Ra."
***
Bukannya Genta tidak pernah perhatian pada Shera, sebaliknya, pria itu sangat peduli dengan wanita itu. Hanya saja, Genta memang tidak pernah menunjukannya. Boleh Genta kasih contoh? Saat mereka masih menikah dulu, Shera juga sempat demam seperti ini. Genta tidak repot-repot menanyakannya kenapa bisa demam, dan tidak menyuruhnya untuk minum obat. Genta membiarkannya, pemikirannya mengatakan bahwa Shera sudah besar. Wanita itu pasti tau apa yang harus dilakukan jika ia demam. Alih-alih perhatian, Genta lebih memilih untuk bertindak langsung. Diam-diam, ia memasukkan obat paracetamol di tas wanita itu ketika wanitanya akan pergi bekerja, ia tidak berkata apapun. Diam-diam ia memasak sarapan untuk wanitanya, saat ditanya kenapa Genta memasak sarapan untuk mereka, Genta diam saja. Tapi, itu bentuk perhatiannya.
Genta hanya tidak menyangka bentuk perhatiannya dikata lain oleh wanita itu.
Genta temperamental. Memang, ia amat sangat temperamental. Itu bekas didikan ayahnya yang sangat keras. Genta tidak tau jika ia melakukan kesalahan fatal karena itu. Menurutnya, pukulan pada istrinya ketika Shera melakukan kesalahan adalah bentuk 'kasih sayang' secara kasar agar Shera tau tindakannya tidak benar. Genta salah. Ia baru menyadari itu ketika Shera mengamuk padanya karena tidak tahan dengan sikap Genta.
Genta menyeret kopernya dan koper milik Shera menuju mobilnya yang terparkir di bandara. Shera bermaksud mengambil kopernya untuk dimasukkan ke bagasi. Genta langsung menahannya. "Sama saya aja."
Shera mengangguk. Ia masuk ke mobil Genta dan suasana canggung langsung terasa. "Ini." Shera mengalihkan pandangannya pada Genta yang menyerahkan bungkusan kecil padanya. "Tas buat Avi. Saya beli tadi di bandara. Nggak sempat milih yang lain, saya ambil yang menarik buat saya aja, maaf ya." Shera hampir lupa anaknya itu menginginkan sesuatu.
"Kamu yakin nggak apa-apa?"
Shera mengangguk. "I'm fine."
Tinggal beberapa menit lagi, mereka sampai di rumah Shera. Beberapa menit lagi Shera akan menyelesaikan siksaan batin yang ia rasakan ketika di samping Genta. "Telepon saya kalau ada apa-apa."
"Hm."
"Saya pulangin kamu dulu, ya. Habis itu saya jemput Avi."
"Hm."
Shera sudah dongkol berada di samping Genta beberapa hari ini. Ia hanya ingin sampai di rumahnya dan selesai. Ia tidak akan bertemu Genta besok. Setidaknya ia bisa memulihkan hatinya lagi.
"Makasih tumpangannya. Habis jemput Avi, langsung ke rumah saya, jangan dibawa main dulu." Genta mengangguk. Ia tersenyum pada mantan istrinya itu. "Saya pergi dulu," pamitnya.
***
Shera sempatt tidur sebentar setelah membereskan barang bawaannya.
"Ra..."
"Ra... kamu salah lagi..."
PLAK!
"Kenapa kamu nggak becus ngejaga Radja?!"
"Kamu bukan ibu yang baik buat anak aku, Ra!"
"Jangan salahin aku kalau aku seperti ini sama kamu! Kamu salah, Ra. Selalu salah!"
Shera terbangun dari tidurnya ketika mimpi buruk itu kembali mengusiknya. Mimpi buruk yang selalu menghantuinya satu tahun belakangan ini. "Shit." Gentahardja selalu mengusiknya di mimpinya ataupun di dunia nyata.
Shera meraba-raba nakasnya. Ia menemukan botol obat antidepresan-nya. Sudah satu tahun ia mengkonsumsi ini. Sejak Radja meninggal dan sejak Genta semakin brutal padanya. Tangannya gemetar ketika memegang pilnya. Astaga, ternyata mimpi buruk tentang Genta adalah yang paling buruk di antara yang lainnya.
Bel rumahnya berbunyi. Ia membuka pintu rumahnya dengan gemetar. "Mama!" Avi langsung memeluknya dengan ceria. Ia tersenyum simpul. Shera langsung menyuruh Avi masuk ke kamarnya. Ia sedang dalam keadaan tidak baik. Dan ia tidak mau Avi mengetahui itu.
Shera menutup pintu rumahnya. Namun, belum pintu itu tertutup sempurna, Genta sudah menahannya dari luar. "Ra, kamu nggak apa-apa?" tanya Genta dengan nada khawatir. Shera terkejut mendengarnya, apakah ekspresi ketakutannya terlalu kentara hingga Genta saja mengetahui itu?
"Saya nggak apa-apa. Kamu pulang aja." Genta merasa ragu. Ia melangkahkan kakinya untuk mendekatkan dirinya pada Shera.
"Kamu yakin, Ra?" Tubuh Shera menegang. Mimpi buruknya takut terulang lagi. Genta hanya memegang tangannya, namun rasanya apa yang ditangkap Shera adalah Genta akan memukulnya seperti mimpinya tadi. Tidak, Genta, please...
"Ra..."
"No!" Shera berseru. "Nggak, Genta, saya pengen kamu pergi. Please, Ta..."
"Kamu kenapa, Ra? Saya berbuat salah lagi ke kamu?"
Rasa traumanya lebih besar. Ia mendorong badan Genta sekuat tenaga. "Kamu pergi aja, Ta. I'm fine."
Genta tidak ingin memperkeruh suasana. Ia juga takut Avi keluar dari kamarnya dan melihat mereka seperti ini. "Saya kesini lagi besok, okay? Please, kasih tau aku kalau ada apa-apa."
Genta tidak tau saja, setelah ia pergi dari sana, Shera luruh di balik pintu. Menangisi traumanya yang seakan tidak menunjukkan tanda-tanda untuk hilang.
***
TBCWow, baru sadar ini pertama kalinya aku triple update. wkwkwk.
kritik dan saran dipersilakan. komennya yaw
luvyou
KAMU SEDANG MEMBACA
L'amour L'emporte [Complete]
General Fiction"I don't see any reason why we have to be together, still." "But, i still want you. That's the only reason." *** Sheravina Anjani Sanjaya tidak percaya lagi pada suaminya--Gentahardja Revan Subroto setelah semua hal yang telah dilakukan oleh pria it...