Ghalea - Bab I . Dokter Gigi

171 15 16
                                    

WAIT!!!

Ghalea memutar-mutar kepalanya mengabsen sisi persisi ruangan kubus berventilasi ini.

Sip. Situasi aman, dia harus beregrak cepat, berusaha tanpa menghentakkan kaki ia memakai jurus kaki seribu ke kantin. Punya perut karet memang menyusahkan.

"Sus, " suara penuh pinta yang membuat gadis ayu ini mengumpat dalam hati,

Tapi tak ayal ia menoleh dan tersenyum juga.

"Iya, gimana Pak?" tentu saja suara halus serta lembut , sorot mata yang meneduhkan, padahal dalam hati...

What the fuck, gw laper banget!

Tapi tidak apa, Ghalea itu suster paling baik budi. Tidak mungkin mengumpat didepan pasienkan?

Yups, kalau dibelakang pasien sering, rutinitas malah. Pada lorong rumah sakit yang sepi, dinding-dinding dingin sampai bosan mendengarkan.

"Ah, Mbak Ghalea, kebetulan sekali, infus anak saya nyaris habis," Bapak dihadapannya menampilkan wajah melas justru terlihat sedikit menyebalkan bagi Ghalea, Tapi, ah, gimana lagi, memang sudah tugasnya.

"Baik pak, kamar 307 ya?" sahutan empuk dari Ghalea.

BAru sadar juga kalau bapak botak berkulit putih, berwajah sedikit kucel, dan berkumis abu-abu ini sedikit lucu. PEnghuni ruang VVIP tentu saja duitnya banyak.

Tanpa disuruh bapak kumis abu-abu itu menguntit Ghalea bagaimana pun geraknya. SEumpama miss universe yang lenggak lenggok Ghalea menganggunkan gaya berjalannya.

Ghalea mengangguk penuh khidmat setelah ucapan terimakasih ia kantongi.

Huft, akhirnya!!! Kantin I'm coming...

Minimal ia harus makan secuil kerupuk atau lima menit lagi dia pingsan.

"Le,"

Ghaela mencebik dalam hati lagi.

Duh, setan mana lagi ya Tuhan???

"Gw cariin, kemana?"

Ghalea menoleh. Hm, setan beneran nih, anak emas taat aturan.

"Habis ganti infus pasien,"

"Pasien? Ini kan arahnya ke kantin,"

"IGD lebih gampang lewat sini tau," Ghalea membantah kesal. Untung Ghalea pintar.

"Oh iya, yaudah ayok visit," sahut rekan kerjanya dan Ghalea menyesal dia harus satu shift bersama orang selempeng ini.

Setyo Edan!!! Umpatnya.

**split**

Derik bangsal yang didorong sepanjang lorong, raut cemas hilir mudik sampai cekikik usil ditengah deru isak masih ada, masih selalu ada.

Seperti Arez ya?

Ghalea menggeleng tegas. 

Arez, Dewa Arez yang meski tidak tampan sekali tapi berhasil membawa kabur rongga dadanya sendiri.

Ck, hiperbolis! Arez pegang pisau bedah saja pasti pipis dicelana.

Ghalea mencibiri isi kepalanya sendiri.

"Lia," bukan suara nyaring, melainkan suara empuk dan enak didengar.

"Hai, habis praktik mas dokter?" dengan cengengesan yang tidak ditutupi Ghalea yang masih mengenakan seragam dinas balik menyapa.

Masih dengan wibawa dipundaknya dokter itu tersenyum,

"Mau balik? Makan dulu yuk," ajakan makan gratis dan tanpa ragu perut karet Ghalea setuju. Tapi dasar Ghalea benar-benar tidak tahu malu,

"Ah, kalo makan dikantin rumah sakit mah udah biasa mas," si maruk ini mulai memanggil sosok dihadapannya menjadi mas, sedangkan lawan bicara mengangguk, hapal mati kelakuan tengil Ghalea.

"Kantin RS kan makannannya gitu-gitu aja mas, bosen laaa," Ghalea berbicara seolah-olah makanan RS sama dengan semobil sama musuh, kalo nggak kepepet kenapa harus?

Mendengarnya drg. Ibra tiba-tiba tersenyum jenaka, "daripada masakan kamu yang keasinan, lebih enak kantin RS sih," Dan Ghalea sukses dibuat mendelik.

*split*

Berjalan beriringan ke arah rumah makan, resto, dan sejenisnya bukan hal baru bagi Ghalea, perutnya selayaknya tong yang bisa menghisap segalanya. Ibra hanyalah salah satu dari yang sering diseret Ghalea makan, tentu saja Setyo yang paling sering.

Dokter yang masih lajang itu berjalan tenang dengan menggunakan kemeja rapih yang fit body membuatnya makin enak dipandang. Sementara gadis somplak tidak tahu diri ini sedang memindai tempat sambil menenteng jaket abu-abu miliknya. Tanpa sengaja mata mereka bertemu, dan... 

Sialan!
Tampan!
Arez jelas bukan tandingan, sudah dokter, berduit, mobilnya lunas, rumahnya luas, ah, apalah Arez yang—

"Mukamu kucel. Sangat!" Ibra belum-belum sudah mengomentari wajahnya, dan memang sebenarnya sejak melihat Ghalea itulah yang ia pikirkan.

Ghalea membuat gerak tak simetris pada bibirnya, apa tadi yang Ibra katakan?

"Yah mas, biasa aja kalik, kan capek habis kerja," ucap Ghalea tak terima. 

Ibra mulai memindai buku menu sedangkan Ghalea merogoh tasnya mengambil ponsel.

"Makanya move on, apasih bagusnya si ari-ari itu?" Ibra pelan menasihati membuat Ghalea mendelik lagi.

"Arez mas, namanya Arez," protesan Ghalea semakin menjadi.

"Tuh, namanya diplesetin aja kamu jadiin masalah sampai kesetanan, Tolonglah Lia, move on ya," Ibra berujar dengan sangat lembut membuat segala ketengilan Ghalea sirna,.

Ghalea diam tapi tidak merayap. 

Memangnya kenapa kalau patah hati? Yang sakit hati aku, biarin aja dulu. 

Namun sebagian hati Ghalea menyangkal.

Patah hati boleh, jadi gila jangan. Ghalea jadi keki sendiri.

"Masih saja dipikirkan? Udah gaperlu kamu wasting time mikirin hal tidak penting Li,"

Mendengar Ibra berkutbah Ghalea jadi tidak sabar.

"Aku udah move on mas, nih buktinya aku bales semua DM yang masuk bahkan sampai request DMnya,"

Punggung Ibra menegak demi melihat layar ponsel yang dipamerkan padanya, lalu antara telapak kanan dan kiri bersatu, pangku memangku diatas meja.

"Nah itu, kamu semakin terlihat depresi seperti itu. Sekarang juga kamu lebih sering upload di sosial media, semua itu upaya untuk menghilangkan kesepiankan?"

Layaknya dokter, oh shitt, Ibra memang dokter, dan Ghalea bukan lagi perawat tapi pasien depresi.

Tapi sebentar.

WTF Ibra itukan dokter gigi!!

Pati, 17 April 2020
Ditengah Covid19 yang mencekam semoga mengibur...
Stay safe. :)

--Zizi

GhaleaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang