Part 1 Sebuah Mimpi

12 1 2
                                    

Aysel terbangun dengan napas yang terengah-engah. Keringat membasahi baju tidurnya walaupun AC menyala dan temperatur ruangan menunjukkan suhu yang sejuk.

Dia mengambil air minum di atas nakas dan menandaskan satu gelas hanya dalam beberapa tegukan.

Mengusap keringat di dahinya dengan ujung bajunya. Dia menghembuskan napas dengan kasar. Mimpi itu lagi.

Jam masih menunjukkan pukul tiga pagi. Dan sepertinya dia tidak akan bisa terlelap lagi.

Setelah beberapa saat menenangkan diri, dia memutuskan untuk bangun dan menuju kamar mandi.

Mengisi bathup dengan air hangat. Kemudian menambahkan sabun beraroma kayu cedar yang berfungsi memberi ketenangan dan sangat bagus untuk kulit.

Berharap dengan berendam dapat membuat hatinya lebih tenang setelah kembali mimpi yang sama hadir dalam tidurnya.

####

Menghela napas berkali-kali tak mampu membuat Aysel tenang. Mimpi itu sudah sering hadir dalam satu bulan ini. Sebenarnya semua ini tentang apa? Batin Aysel gundah.

Mimpi yang dialaminya bukan mimpi yang cukup jelas. Hanya seperti potongan puzzle tapi entah kenapa seolah punya efek yang begitu kuat di hatinya. Sehingga bisa membuatnya terbangun dengan gemetar dan keringat yang membasahi tubuh.

Aysel masih berdiri di depan kaca jendela kantornya saat ketukan di pintu mengagetkan dirinya.

"Masuk"

Vania, sekretaris pribadinya masuk membawa setumpuk dokumen dan meletakkan di atas mejanya.

"Apa schedule kita hari ini?" Aysel bertanya tanpa mengalihkan tatapannya dari awan yang menghiasi langit biru.

"Ehm... Nona ada janji temu dengan Mr.Alvin pas waktu makan siang. Selanjutnya pukul 03.00 kita menuju butik untuk rapat anniversary" Jawab Vania sambil membuka buku catatannya.

"Baiklah. Sekarang kamu keluar. Kalau ada tamu handle aja. Aku sedang tak ingin diganggu saat ini. Sebelum makan siang, kembali ingatkan aku tentang janji temu dengan Mr.Alfin".

Vania mengangguk dan segera keluar ruangan dengan menutup pintu.

Aysel melirik tumpukan dokumen di atas meja. Menghela nafas kuat untuk terakhir kalinya dan melangkahkan kakinya menuju ke meja tersebut dan menghenyakkan pantatnya di kursi empuk.

Sudah 3 tahun dia diserahi tugas memimpin perusahaan keluarganya.
Keluarga? Hanya kakek yang dia punya. Setiap dia menanyakan orangtuanya, kakeknya akan menjawab, akan tiba waktu baginya untuk mengetahui semuanya.

Entah rahasia apa yang disembunyikan kakek darinya. Tapi dia tidak tega untuk memaksa kakek menceritakannya. Karena setiap kali dia mengungkit hal itu, wajah tuanya diliputi kesedihan yang mendalam.

####

Jam sudah menunjukkan bahwa hari sudah menjelang siang. Terdengar ketukan di pintu.

"Ya... Masuk"

"Maaf nona... Sudah waktunya untuk berangkat ke Byzantion Bistro Restaurant. Saya sudah reservasi atas nama nona".

" Oke... ".

Aysel menyambar tas kecilnya dan menyampirkan di bahunya. Dengan anggun dia berjalan keluar dari kantornya. Dari lobi terlihat sopir yang sudah siap menunggunya, dan membukakan pintu mobil untuknya.

Mobil meluncur mulus di jalan raya. Lima belas menit Aysel sudah tiba di restoran yang dituju.

Pelayan yang sudah mengenalnya segera membawanya ke meja yang sudah dipesan sekretarisnya.

Mr.Alvin sudah berada di meja tersebut.

"Maaf, saya terlambat", Eysel mengungkapkan penyesalannya.

" Oh, tidak. Saya yang tiba lebih awal dari janji temu".

Mr.Alvin menyodorkan tangan bermaksud untuk berjabat tangan. Eysel menangkupkan tangan di depan dada.

"Ups... Sory". Katanya sambil menarik kembali tangan yang sudah terulur.

"I am a muslim. Dan saya tidak bersentuhan dengan yang bukan mahram". Jelas Aysel, entah untuk yang keberapa kalinya, karena harus menjelaskan kepada setiap orang yang akan bekerjasama dengannya. Dia melakukan itu tanpa takut orang akan membatalkan kerjasama. Karena menurutnya, jika orang itu bijak maka dia akan menghormati prinsip yang dipegangnya dengan teguh. Dan jika ada yang membatalkan kerjasama, berarti orang tersebut memang tidak layak untuk bekerjasama dengan perusahaannya.

"Oke, anda sudah memesan?" Tanya Aysel setelah duduk.

"Belum. Jadi, kita bicara sambil makan atau bicara dulu baru makan?" Sahut Mr.Alvin.

"Up to you".

" Oh, tidak. Wanita yang memutuskan".

"Oke, kita sambil makan saja". Aysel melambaikan tangan dan pelayan segera mendekat.

"Saya mesan kofte dan air lemon". Aysel menyebutkan pesanannya, kemudian mengangkat tatapannya dari buku menu ke arah Mr.Alvin.

" Saya pesan hummus dan kumpir, minumnya air mineral saja".

Aysel mengerti, Mr.Alvin ternyata vegetarian. Untung sekretarisnya memilih tempat ini karena memang menyediakan menu untuk vegetarian.

Sambil menunggu pesanan, mereka mulai membicarakan tentang kerjasama proyek pembangunan hotel. Tak lama pesanan tiba. Dan mereka melanjutkan pembicaraan sambil makan siang.

Meski serius dalam pembicaraan, Aysel tetap waspada. Dari awal kedatangannya ke restoran, dia merasakan ada yang sedang mengawasinya.

Tanpa memicu kecurigaan, Aysel memindai keadaan sekitarnya. Dia menangkap ada kilauan di kaca bagian barat. Ditarik dari sudut itu, Aysel memprediksi bahwa orang tersebut berada di tingkat 2 gedung seberang.

Aysel sadar orang itu sedang membidiknya. Segera Aysel mengetuk-ngetukkan pena - yang merupakan alat komunikasi rahasia - untuk mengirim kode kepada pengawal rahasianya.

Aysel memperkirakan orang-orangnya mungkin akan terlambat mencapai ke titik yang dimaksud. Maka dia pura-pura menjatuhkan garpu, dan menunduk untuk mengambilnya. Dan...

"Dor..."
Tembakan meleset. Restoran menjadi gaduh karena teriakan histeris dari beberapa wanita yang ketakutan.

Berbeda dengan Aysel. Dia sigap menyingkir ke tempat yang lebih aman berdasarkan pengamatannya sebelumnya.


Bersambung...

Siapa sebenarnya Aysel?

Halo...
Salam kenal dengan karya perdana saya.
Jangan lupa vote dan krisan ya!

AYSEL & AYSENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang