Volume 3 : Merahnya Darah Segar

18 3 0
                                    

Teo Kennedy P.O.V
Prolog


Sore hari yang sangat mengesalkan dengan suara teriakan Rika yang sangat keras sembari melempar benda apa pun di dekatnya ke arahku, dia sangat marah karena menuduhku masuk ke kamarnya padahal aku tak pernah melakukan hal seperti itu. Berkali-kali pula ia mencoba menembak kepalaku tapi untung saja semua peluru yang datang dapat aku hindari dengan sempurna, Meli dan Fani berusaha menenangkan Rika yang sedang mengamuk.

“Apa kau sudah gila hah ...?” tanyaku.
“Aku tidak mengunci kamarku dan ternyata usai pulang sekolah aku melihat pintu kamarku bergeser dari posisi awal, kau pasti menyelinap masuk ke kamarku kan sialan ....” tuduh Rika.
“Rika tenangkan dirimu!” pinta Meli.
“Hei barang-barang di rumah ini bisa hancur kalau kau melemparnya seperti itu,” ucap Fani.
“Astaga, mulai lagi,” keluh Jeamiy.
“Ini sering terjadi?” tanya Zaka.
“Ya begitulah, tiada hari tanpa teriakan Rika yang sedang mengamuk,” jawab Lia.
“Pintu itu bergeser karena tertiup angin, jangan asal menuduh dasar papan cucian ...” ejekku.
“Apa kau bilang ...? Kau pikir aku akan percaya dengan alasan konyol itu ...?” teriak Rika.
“Terserah kau saja, aku tak pernah memiliki niat melakukan hal konyol seperti itu,” balasku.
“Makan pisau ini berandal sialan ...!” teriak Rika.
“Apa otakmu benar-benar sudah tidak bisa berfungsi lagi hah ...?” teriakku.

Tiba-tiba Rika melempar belasan pisau ke arahku dengan  sangat cepat, untungnya semua pisau yang datang ke arahku dapat kuhindari meski mendapat beberapa luka goresan. Disisi lain, Meli dan Fani memegang kedua tangan Rika dengan sangat kuat sembari menenangkan Rika yang sedang menggila, dan karena aku tak ingin memperpanjang masalah ini maka kuputuskan untuk keluar dan membiarkan Rika tenang dengan sendirinya.
Namaku Teo Kennedy adalah seorang imigran dari Amerika serikat, kepindahanku ke Indexsia bukan tanpa sebab, seorang teman lama memintaku untuk pindah ke Indexsia sebagai permintaan terakhirnya dan sebagai teman yang baik maka aku harus memenuhinya. Awal aku mengira Indexsia adalah negara yang sangat tenteram, tapi ternyata bertemunya aku dengan Lia juga memperlihatkanku betapa mengerikannya sisi gelap dari Indexsia dan kota Ferocity.
Karena memiliki kekuatan lebih maka aku harus memikul tanggung jawab untuk melindungi penduduk kota ini bersama para Z.E.R.O yang lain, aku tak peduli jika harus dibenci atau dijauhi karena yang terpenting bagiku adalah bisa lebih berguna bagi mereka yang lemah.
Jalan-jalan sore ini menjadi sangat tidak nyaman usai melihat dua orang laki-laki sedang memojokkan seorang gadis SMA di gang sempit, sisi busuk seperti inilah yang aku benci dari Ferocity.

“Hai gadis cantik, mau bersenang-senang dengan kami?” goda seorang pria.
“Jangan khawatir, kami yang akan membayar semua biayanya,” sambung seorang pria lainnya.
“Maaf, aku harus segera pulang. Tolong pergilah,” pinta seorang gadis.
“Ayolah, kami butuh teman bermain,” ucap seorang pria.
“Hei, bukankah tidak adil jika dua laki-laki melawan satu orang perempuan,” protesku.
“Hah ...?” ucap seorang pria.

Aku merasa sangat muak jika melihat gadis  yang terlihat tak berdaya malah tertindas oleh orang-orang tak bermoral seperti mereka, tak ada pilihan lain selain ikut turun tangan.

“Ini bukan urusanmu pria aneh,” geram seorang pria.
“Pergi saja kau, jangan sok jadi pahlawan,” sambung pria lainnya.
“Begitukah? Kalau begitu bagian tubuh yang mana dari kalian yang ingin aku potong lebih dulu?” tanyaku.
“Dari mana datangnya sabit raksasa itu?” heran seorang pria.
“Mungkin sebaiknya kita pergi saja, ini bukan waktu yang tepat untuk berburu gadis cantik,” ucap seorang pria lainnya.

Kedua pria itu langsung bergidik ketakutan ketika aku mengeluarkan sabit raksasa dari tangan kananku dan langsung berlari terbirit-birit saking takutnya. Usai mereka kabur, sabit di tangan kananku mulai menghilang menjadi partikel kecil-kecil. Jujur saja aku memiliki simbol misterius di punggung tangan kananku seperti milik Zaka dan Meli, simbol ini hanya akan timbul di ketika tanganku terguyur air, aku tak tahu simbol apa ini tapi tanda misterius ini mulai terbentuk di tanganku setelah sabit raksasa itu menjadi milikku. Bisa jadi simbol di tanganku, Zaka, dan Meli merupakan sebuah tanda bahwa kami adalah pemilik suatu senjata tertentu.

“A-anu ... Te-terima kasih karena telah menolongku, ketika aku ingin pulang ke rumah melewati gang kecil ini tiba-tiba mereka muncul,” jelas gadis itu.
“Jangan dipikirkan, yang terpenting kau sudah aman,” balasku.
“A-anu ... Bagaimana sebuah sabit yang sangat besar tiba-tiba muncul di tangan kananmu?” heran gadis itu.
“Oh itu hanya sebuah trik kecil, jangan dipikirkan,” jelasku.
“Begitu ya, aku harap bisa memberimu sesuatu sebagai balasan karena telah menolongku, tapi aku tak memiliki apa-apa sekarang,” jelas gadis itu.
“Tidak apa-apa, rasa terima kasihmu sudah cukup untukku, maaf aku harus pergi sekarang,” ucapku.
“Baik, aku juga harus segera pulang. Sekali lagi terima kasih banyak,” ucap gadis itu.

Usai gadis itu mengucap terima kasih ia pun pergi meninggalkanku, disisi lain aku juga ingin melanjutkan jalan-jalan sore untuk melihat-lihat keadaan kota. Aku memiliki sedikit rahasia kecil yang tak pernah kukatakan pada yang lain bahwa sebenarnya aku mudah sekali tersesat di wilayah baru, itu menjadi alasan mengapa aku bisa berada di tengah hutan setelah sampai di bandara kota ini.
Jalan-jalan sore yang santai ini mendadak berhenti kembali karena aku melihat sesuatu yang sangat tak bisa dan membuat mataku terbuka lebar saking terkejutnya.

PANDORATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang