28 Mei 2022
Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, DKI Jakarta
--Entah mengapa, wajah Pak Perdana yang seakan-akan sangat lesu itu ingin sekali kutinju. Pria bodoh ini tidak mau membuka matanya, bahwa dunia yang kini kita tinggali telah berubah seratus delapan puluh derajat.
Dalam kondisi ini, satu-satunya pilihan terbijak yaitu menyelamatkan pihak yang memang sudah jelas bisa diselamatkan. Oleh karena itulah aku sangat mendesaknya untuk meninggalkan semua yang ada di Cileungsi pada enam hari silam setelah diterimanya laporan sabotase.
Untungnya, desakanku itu mendapatkan banyak dukungan baik dari perangkat pemerintahan hingga sipil. Sejujurnya, kami pun tidak ingin seperti ini. Kami tidak ingin menjadi egois apalagi hilang empati. Namun inilah yang mesti kami lalui; bertahan hidup.
Lima hari penyisiran profesi sipil, kami begitu beruntung karena menemukan lima orang yang berprofesi pilot diantara ribuan sipil yang ada pada tempat ini. Nantinya pilot-pilot ini akan pulang pergi Jakarta-Ternate untuk menerbangkan kloter keberangkatan selanjutnya.
Pagi-pagi buta, area landasan telah dipenuhi oleh seribuan orang yang mengantri masuk ke pesawat masing-masing. Total sebanyak empat pesawat akan kami terbangkan saat itu.
Seharusnya kami menerbangkan lima unit sekaligus, namun salah seorang pilot dinyatakan tidak lulus tes kesehatan, sehingga penerbangan beliau akan ditunda sampai diadakannya kembali tes kesehatan ulang dalam beberapa hari kedepan.
"Zak, tolong maksimalkan keselamatan kalian semua. Jangan lupa pula untuk terus mencari informasi tentang saudara-saudara kita di Cileungsi," ujar Pak Presiden kepadaku.
"Diterima dengan baik, Pak. Anda juga, jaga diri anda sebaik mungkin di pesawat dan di Ternate nantinya," jawabku.
"Arya, berkoordinasilah dengan semua pihak disini. Pastikan kalian semua mengikuti seluruh prosedur yang telah saya tetapkan sebelumnya," ucap beliau lagi, kali ini kepada Pak Arya.
"Siap, Pak! Akan kami lakukan segala yang terbaik yang dapat kami lakukan!" jawab Pak Arya pula.
Deru mesin milik burung besi raksasa itu begitu bising. Setelah berputar beberapa kali di landasan, kini pesawat komersial itu melaju dengan kecepatan tinggi sebelum akhirnya mencuat naik ke angkasa.
Aku dan beberapa orang yang mengurus penerbangan disana tersenyum lebar ketika melihat pesawat pertama yang membawa pejabat pemerintahan telah lepas landas dengan sukses.
Selang satu jam kemudian, pesawat kedua nampak bersiap-siap di landasan. Begitu terus terulang hingga akhirnya pesawat keempat dinyatakan lepas landas pada pukul sepuluh pagi.
Setelah selesai dengan pekerjaan pagi itu, aku mengontak Pak Arya untuk bicara empat mata. Tentu saja aku ingin membahas beberapa strategi cadangan mengenai rencana mendatang.
"Delta-Alpha, Pancasila-Alpha monitor!"
"Masuk, Zak!"
"10-2? Bisa merapat ke office?"
"Di Hanggar, tentu bisa. Saya alur ke TKP."
"86, saya tunggu."
Setelah mengontaknya, akupun langsung berjalan menuju Ruang Kepresidenan yang kini sudah diwariskan oleh Pak Perdana untuk aku pakai.
Lima menit setelah aku sampai di ruangan itu, aku mendengar suara pintu diketuk dari luar.
"Masuk!" sahutku.
"Halo, Zak. Bagaimana?" ucap Pak Arya yang muncul dari balik pintu.
"Ya, halo juga. Silahkan duduk dulu, Pak," jawabku sembari mempersilahkan pria itu untuk duduk.
"Begini, ini perihal 'do and don't' dari tindakan kita sebelumnya. Namun sebelumnya, saya mau menyalakan rokok. Anda tidak keberatan kan?" ujarku membuka diskusi.
Bola matanya yang di buang kesamping bersamaan dengan alisnya yang diangkat menunjukkan bahwa pria itu menyetujui dan tidak keberatan akan permintaanku.
"Fuhh.. Sebelumnya saya ingin bertanya. Menurut anda, apakah kita perlu memberikan tindakan penyelamatan terhadap saudara-saudara sebangsa di Cileungsi?" tanyaku melanjutkan.
Dengan cepat, kepalanya langsung menggeleng. Aku tersenyum puas, sepertinya pria ini sepaham dengan apa yang ada di kepalaku.
"Bagus, lalu sebutkan satu tindakan yang perlu kita lakukan terkait dengan mereka," lanjutku.
"Kita tolak mereka!" jawab Arya cepat.
Aku sedikit terkejut mendengar jawaban yang tanpa basa-basi itu. Awalnya, kukira pria ini tidak setuju dengan ide yang kusampaikan pada Presiden karena beliau selalu menutup mulut saat berdiskusi dengan para pejabat pemerintah.
"Tolak? Bagaimana maksudnya?" tanyaku penasaran.
Sejujurnya, apa yang aku sarankan pada Presiden bukanlah penolakan terhadap orang-orang di Cileungsi, melainkan hanya membiarkan mereka berusaha sendiri untuk mencapai Halim. Namun setelah mendengarkan jawaban spontan dari Pak Arya, aku langsung terdorong untuk mendengarkan lebih jauh mengenai alasan yang membuat dia berpikiran seperti itu.
Karena bukan tidak mungkin bilamana alasan yang ia kemukakan cukup rasional dan memiliki landasan yang kuat, aku dapat menyetujuinya.
"Begini, Zak. Pada tahap-tahap awal setelah kita menerima laporan mengenai penyerangan mereka, perasaan saya langsung was-was. Saya khawatir bilamana kelompok bersenjata tersebut mengendus keberadaan kita di tempat ini," jelasnya.
"Lalu?"
"Nah, setelah serangan tersebut, otomatis mereka sudah mengenali rekan-rekan militer di Cileungsi. Kita tidak tahu apa yang mereka inginkan dan apa yang menjadi motif dibalik tindakan mereka. Kita harus melindungi Halim, apapun yang terjadi dan bagaimanapun caranya. Kalaupun nantinya rekan-rekan dari Cileungsi berhasil menggapai tempat ini, kita tidak tahu apakah mereka dimata-matai saat perjalanan, atau semacamnya. Namun yang pasti, kelompok bersenjata itu pasti akan mengendus keberadaan kita disini."
Aku mengangguk-angguk, mulai mengerti akan arah pembicaraannya.
"Kalau kita mampu, saya rasa membunuh mereka adalah langkah terbijak. Namun itupun saya rasa tidak mungkin. Kita tidak mungkin mengirim orang keluar Halim demi mencegat mereka di tengah jalan. Alih-alih menyingkirkan mereka, bisa-bisa malah orang-orang kita yang dilenyapkan oleh kelompok bersenjata itu. Efek dominonya tentu akan lebih parah bukan?" lanjutnya.
"Jadi untuk saat ini, kita hanya perlu mempercepat seluruh persiapan, agar nanti setelah pilot telah kembali ke Jakarta, kita bisa menghemat banyak waktu untuk segera menerbangkan lagi kloter berikutnya," jelasnya kemudian.
"Ide anda cukup bagus. Namun begini, Pak. Anda tahu kan kalau para pilot kita adalah pemain tunggal? Mereka butuh istirahat, Pak. Ko-pilot yang mendampingi mereka hanyalah tentara dari AU yang cenderung tidak familiar dengan kokpit pesawat besar. Kelelahan dari mereka akan berakibat fatal," responku terhadapnya.
"Ya, saya tidak mau berpikir terlalu jauh ke situ. Namun percayalah, selagi kamu bisa mengontrol situasi agar sesuai dengan apa yang telah saya sampaikan, maka peluang kita untuk menyelamatkan banyak nyawa di tempat ini akan lebih besar. Kita berpacu dengan waktu, Zak!" jawabnya lagi.
Aku langsung menyalin beberapa poin penting dari ide Pak Arya di buku catatanku.
"Kembali lagi perihal rekan-rekan kita di Cileungsi," lanjutnya.
"Bilamana mereka berhasil sampai sementara kita masih disini, satu-satunya jalan adalah mengusir mereka secara halus." pungkasnya.
"Mengusir? Bagaimana caranya?"
Pria itu tersenyum simpul, kemudian mengambil secarik kertas dan menorehkan tinta di atasnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jejak: 31 Hari (Tamat)
Ficção CientíficaSaat pandemi mayat hidup melanda Indonesia, sekelompok orang di Pemerintah berusaha mengumpulkan informasi melalui jejak para penyintas yang pernah (atau masih) bertahan hidup. Sembari melakukan tindakan evakuasi, akhirnya mereka dipertemukan dengan...