Yuni menang tiga angka judi togel semalam. Dia mendapatkan 250 ribu sebagai hadiah. Subuh-subuh ketika aku sedang sibuk menggoreng perkedel, dia menelepon untuk mengabari kemenangannya.
"Tiga angka, Mon! Tiga angka!" teriaknya bahagia. Ibuku sampai menoleh karena kepo. "Hari ini gue datang telat, ya! Gue mau ambil dulu duitnya di bandar. Doi buka jam delapanan. Tolong kasih tahu Bu Siska gue ada emergency dulu ke rumah sakit gitu, ya."
"Tapi, kan kamu nggak ke rumah sakit," ungkapku.
"Bandarnya deket rumah sakit, kok. Jadi sama aja. Oke?"
"Seragamku di mana?"
"Seragam lo ada di ruangannya Bu Siska. Ke sana aja entar pas lo udah nyampe. Pokoknya hari ini gue traktir elo pas kita maksi!"
Yuni tiba di High End ketika toko sudah buka. Matanya berbinar-binar sekali. Seolah-olah mendapatkan uang 250 ribu dari togel lebih membanggakan dibandingkan menjadi Employee of the Month. Aku tak mau merusak mood-nya dengan mengaku bahwa semalam aku baru dapat 20 juta hanya dengan ikut makan siang mewah bersama cowok ganteng, di atas kapal yang disewa 200 juta. (Belum termasuk nonton tari perut dari Lebanon, dan blus Chanel itu kini milikku.)
Jadi ketika Yuni melompat-lompat gembira di depanku, aku hanya bereaksi, "Yaaay! Selamat, ya!"
"Thank you banget, Mon! Ini semua gara-gara elo. Sering-sering ya kasih gue angka kayak semalam."
Semalam, aku diminta memberikan empat angka dari 1 sampai 49. Kuberikan secara acak, lalu tiga angka match dengan hasil judi toto itu. Jadinya Yuni dapat 250 ribu. Kalau angka keempat match juga, dia bisa dapat 2,5 juta.
Omong-omong soal uang jutaan, tidak ada yang tahu aku punya uang sebanyak itu di lingkunganku. Kuberikan 2,5 juta kepada orangtuaku, ngakunya itu bonusku bekerja di High End dan menjadi Employee of the Month (jumlahnya harus segitu supaya sama dengan gaji yang mereka tahu, jadinya nggak mencurigakan). Raden Setyo melihat uang itu jadi dia memalakku juga. Kuberikan 100 ribu, dia gembira sekali. Sisa uangnya kumasukkan ke rekeningku. Makanya setelah menggoreng perkedel, aku berangkat pagi-pagi sekali menuju bank yang berada dekat dengan tempat kerjaku. Kutunggu bank itu buka pukul 8 pagi, sehingga aku menjadi nasabah pertama yang menabung hari ini.
Aku nggak bisa tenang semalaman. Belum pernah seumur hidupku memegang uang sebanyak itu. Mungkin aku baru tidur pukul 2 dini hari karena kepikiran dengan amplop cokelat di dalam tasku. Aku cemas Raden Setyo menemukannya. Pukul 4 subuh ketika Ibu membangunkanku untuk mulai menghancurkan kentang, aku bangun tanpa banyak basa-basi. Biasanya aku malas-malasan bangun sepagi itu membuat perkedel. Kubawa tasku ke dapur selama aku menggelung rambut dan menggoreng—hanya untuk jaga-jaga.
Aku masih belum tahu apa yang mau kulakukan dengan uang sebanyak itu. Aku ingin beli microwave. Tapi pasti mencurigakan mengapa keluarga miskin kami tiba-tiba punya microwave. Aku ingin pindah ke apartemen. Tapi pasti itu lebih mencurigakan lagi. Emangnya sisa uang itu cukup untuk sewa apartemen?
Seenggaknya ngekos, deh. Supaya aku nggak perlu berebutan kamar mandi. Semua saudara laki-lakiku kalau sudah mandi, lamaaa banget. Entah mereka sedang ngapain. Tahu-tahu, sabun kami sudah habis setiap mereka keluar dari kamar mandi.
Baik Boon maupun Raven belum menghubungiku hingga siang. Bukannya aku menunggu-nunggu telepon mereka, tetapi kukira akan ada tindak lanjut dari makan siang kemarin. Entah mengapa, tiba-tiba saja aku merasa siap kalau-kalau aku harus makan siang dan digalaki Raven lagi. Aku ikhlas.
Siang itu, aku, Yuni, dan Anwar makan di McD. Yuni yang traktir. Jadi kami bertiga mengenakan jaket dan mengganti bawahan kami. Ada satu prosedur di High End yang melarang kami untuk menggunakan fasilitas apa pun di Mal Kota Kasablanka (kecuali kantin karyawan) sambil mengenakan seragam. Anwar memaksa ikut. Kalau dia nggak ditraktir juga, dia akan melapor ke Bu Siska bahwa Yuni mencuri kaus sleeveless R. Raven Hadiputra yang ditinggal di ruang ganti kemarin. (Padahal seingatku Anwar pun mencuri celananya Raven.) Jadi, Yuni terpaksa mengajaknya, dan mentraktirnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Crazy Rich Man Who Controls Everything
RomansaMonika, nama palsu (please jangan kasih tahu nama aslinya siapa) menganggap dirinya gadis sial yang lahir di keluarga miskin. Sampai umur sembilan belas tahun, pencapaian terbaiknya adalah menjadi Employee of the Month sebuah depstor kenamaan di Jak...