Kenapa dunia hanya membiarkanku bahagia sementara, kenapa setelahnya takdir seakan-akan tak berpihak padaku? -Mia
•
•
•"Kamu itu ya anak yang cuman bisa nyusahin aja."
"Maaf ma, pa." Ucap Mia.
Saat ini Mia tengah dimarahi oleh kedua orang tuanya. Ini karena orang tua Mia dipanggil ke sekolah dengan alasan Mia sudah membuat masalah. Tapi, percayalah itu bukan kesalahan Mia.
Tapi, Mia merasa sedikit senang setidaknya, orang tuanya masih perduli dengannya. Walaupun itu semua demi nama baik mereka.
"KAMU ITU UDAH BUAT KAMI KEHILANGAN ANAK KAMI, BISA GAK SIH GAK USAH NAMBAH MASALAH?!" Bentak sang mama.
"Tapi ma, kan Mia juga anak mama," ucap Mia menunduk dengan air mata yang siap tumpah kapan saja.
"Masih aja kamu jawab, pergi kamu!" Usir mamanya.
Mia langsung pergi menuju kamarnya.
Kenapa harus Mia yang merasakan ini semua? Apa kesalahan Mia? Kenapa semua menganggap Mia yang bersalah? Mia juga tak ingin semua ini!
Mia menangis tanpa suara sembari memeluk gulingnya.
Kini Mia menghapus air mata nya dan menuju ke meja belajar nya. Lalu membuka laci dan mengambil sebuah benda tajam berbentuk persegi panjang kecil. Itu 'silet'.
Mia menggoreskan silet itu ke lengan kirinya. Darah keluar perlahan. Mia membuat beberapa goresan. Setelah lama tidak menggoresnya.
Mia memang gila!
Bahkan ia terseyum sekilas saat melihat darah yang keluar.
Ia berpikir rasa sakit ini tak sebanding dengan sakit di kehidupannya.
Semua orang pasti mengira hal sepele seperti ini dibuat ribet, masih banyak masalah yang lebih sakit daripada ini.
Mia tahu semua orang tidak akan pernah menjadi dirinya. Mia adalah Mia. Orang lain tetaplah orang lain.
Setiap orang punya masalah berbeda. Dan tidak akan pernah merasakan hal sama. Sekalipun sama pasti akan berbeda.
Mia lelah.
Ia ingin tidur, berharap jika bangun ini semua hanya mimpi buruk.
Mia mengambil obat di dalam laci meja belajarnya. Itu obat tidur yang membuat Mia bisa tidur nyenyak tanpa harus memikirkan hal yang terjadi hari ini.
Setelah meminum obat itu. Mia pergi ke keranjang tempat tidurnya dan mulai memejamkan matanya.
●●●
Mia terbangun dari tidurnya. Mia masih berpikir jika semalam bukanlah mimpi buruknya, itu semua nyata.
Mia menghembuskan nafas beratnya. Lalu beranjak ke kamar mandi.
Singkat cerita, Mia kini sudah siap ke sekolah. Oh ya jangan tanyakan tentang sarapan. Kalian tahu kan? Jika keluarganya tidak harmonis seperti dulu lagi.
Orang tuanya menganggap dirinya tidak berada di dunia ini. Mereka hanya sebatas membiayai kebutuhannya selebih dari itu tidak. Ya setidaknya Mia tidak kekurangan biaya.
●●●
"Wah dia hebat ya masih sekolah setelah membuat masalah kemarin."
"Iya dia hampir membuat salsa terluka."
"Dasar tidak tahu malu."
"Dasar pembunuh!"
Suara itu terus menusuk ke telinganya saat Mia berjalan di koridor sekolah.
Mia hanya menunduk dia tak berani untuk berjalan dengan wajah tegap.
Mia harus sadar, dia tidak mempunyai teman di sekolah ini untuk membelanya bahkan sekedar mendengar keluhan dirinya.
Bugh..
"Aw kalau jalan liat-liat dong," ucap salah satu siswi. Dia Salsa, seseorang yang slalu mencari masalah dengan Mia. Entah Mia ada salah apa dengannya.
"Maaf," jawab Mia.
"Maaf doang bisanya, dasar pembunuh!" ucap salah satu teman Salsa, Rika.
Mia hanya ingin ke kelasnya kenapa begitu susah, padahal tinggal jarak beberapa meter lagi.
"Udahlah gak usah diperpanjang," tutur cowok yang berada di samping Salsa. Dia, Arga. Katanya sih Arga itu pacaranya Salsa. Salsa sendiri yang mengakuinya. Sedangkan Arga slalu bungkam tentang hubungannya dengan Salsa.
Mia tak ambil pusing tentang hal itu. Ia segera pergi dari drama ini. Menuju kelasnya.
Mia sampai dikelas, menjatuhkan bokongnya dikursi. Mia melihat secarik kertas putih yang ditaruh di bawah loker mejanya.
"Aku yakin kamu kuat ngejalanin ini semua. Ingat masih ada yang sayang dan perduli denganmu. Love Mia! ♡"
Mia tidak tahu siapa yang menuliskan kertas itu. Apa benar masih ada yang perduli?
•
•
•Jangan lupa buat vote and comment ya guys :)
Terima kasih... ♡
KAMU SEDANG MEMBACA
Endless Pain
Random"Bukankah dia adalah pembunuh?" "Dia adalah pembunuh. Memang benar." "Dia melakukan itu dengan tidak sengaja bukan, apakah dia disebut pembunuh?" "Pembunuh tetaplah pembunuh." • [COBA BACA PROLOG NYA AJA DULU, SIAPA TAU SUKA ^^]