Lubang Hitam Dari Neraka

16.4K 940 37
                                    

10 Desember 2014

Sebuah suara memanggil-manggil namaku, berusaha mendapatkan perhatian yang biasa langsung kuberikan. Tapi sayang, untuk kali ini aku harus mengabaikannya.

"Dan..." Kembali namaku dipanggil untuk kesekian kalinya. Dan aku tetap diam menutup mata sambil memeluk apa yang bisa kupeluk di atas ranjang. Tentu saja bantal guling yang selalu setia menemani tidur siangku selama istri tercintaku sibuk membereskan sesuatu yang tidak pernah aku pedulikan rapi atau tidak.

"Dan, aku tahu kau sudah bangun jadi percuma pura-pura tidak mendengarku." Ucapnya dengan nada penuh peringatan.

Melihatku tetap mengabaikannya, akhirnya Janet mengambil suatu langkah ekstrim. Bantal guling pelipur laraku ditarik sampai terlepas dari pelukanku.

Satu mataku kubuka perlahan untuk menatap sosoknya. "Kalau mau aku bangun, cium dulu dong di sini pakai ini." Kutunjuk bibirku dan bibir Janet bergantian.

"Nggak bisa. Nanti pasti kebablasan kayak kemarin."

Kata-kata Janet membuat ingatan hari kemarin terputar kembali dalam otakku. Begitu tiba di rumah berdua dengan Janet, aku langsung tertidur di sofa tanpa sempat melakukan apapun lagi. Karena aku belum makan ataupun mandi Janet terpaksa harus membangunkanku saat itu. Entah pikiranku sedang melantur atau dari awal itulah keinginanku, aku meminta cium dari Janet. Dan Janet yang khawatir aku jatuh sakit melakukan hal yang kuminta walau hanya sekilas. Ternyata sekilas saja sudah membuatku tidak ingin tidur, kecuali kalau itu kulakukan dengan istri tercintaku dalam kamar setelah melakukan sesuatu.

"Nah, kalau mikir begituan langsung senyumnya keluar." Kata Janet melihatku yang sekarang menyunggingkan senyuman. Dia pasti masih kesal karena makan malam yang dibuatnya harus menjadi sarapan subuh-subuh.

"Memangnya kenapa aku harus bangun sekarang?" Sendi-sendi tulangku mengeluarkan bunyi ketika kuregangkan tubuhku yang kaku setelah dua jam tidur di hari Sabtu siang.

Lelah berjongkok, Janet mendudukkan dirinya di pinggir ranjang. "Kamu lupa kamu berjanji padaku akan pergi ke suatu tempat hari ini?"

"Tempat itu? Janet, sudah kubilang aku tidak punya keperluan untuk pergi ke sana." Kupalingkan kepalaku ke arahnya. Dan Janet lagi-lagi memasang pose berkacak pinggangnya yang dia keluarkan saat membuatku berjanji padanya.

"Kamu kira aku tidak sadar kau selalu terdiam sebentar saat minum air dingin atau makan makanan manis?"

"Gigiku hanya sensitif."

"Gigi sensitif tidak akan terasa sakit waktu kau menggosok gigi." Sial. Siapa sangka Janet mengamati perubahan raut wajahku saat aku menggosok gigi.

"Janet, sekali lagi kutegaskan aku TIDAK butuh ke dokter gigi." Tanpa sadar volume dan nada suaraku berubah menjadi suara saat aku memarahi karyawan kantor yang melakukan kesalahan.

Wajah itu terdiam menatapku dan ketegasanku barusan. Kukira Janet sudah ketakutan padaku sebelum dia berbicara, "Mungkin gigimu tidak perlu. Tapi aku yakin bagian tubuhmu yang lain akan membutuhkannya."

Kernyitan di keningku muncul bersamaan dengan senyuman di bibir Janet.

Bantal guling yang dari tadi masih dipeluknya dia serahkan padaku. "Kalau kamu menolak untuk pergi, maka bantal inilah yang akan menemanimu tidur siang dan malam."

Walau ancaman semacam ini jelas membuatku panik, tapi aku tidak boleh kalah berdebat melawan Janet hanya karena 'itu'ku. "Tidak masalah. Lagipula aku yakin, nanti kamulah yang akan meminta kupeluk duluan." Tantangku balik sambil meletakkan tanganku di dagu Janet agar mata hitam indahnya menangkap keseriusanku.

Diary Of My WeddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang