#Wanita_Sebelah_Rumah
Prolog🍁🍁
'Bang, SMS siapa ini, Bwanggg?'
Entah suara Laila atau suara asli dari penyanyi lagu itu. Yang jelas pagi selalu bewarna, saat ceria Laila mulai terdengar di antara riuh aktivitas fajar.
Kubuka gorden di jendela kamar, mengintip wanita berambut panjang yang kini tampak tengah menyiram tanaman. Sungguh aduhai, paras dan daya pikat wanita itu terasa semakin hari semakin menawan.
"Papiii!" Belum satu menit mata menatap Laila, kini aku harus berpura-pura terpejam lagi dan naik kembali ke ranjang.
Suara pintu berderit, tak lama setelah teriakan istriku terdengar.
"Papi! Ini, tuh, udah jam tujuh pagi. Mau tidur sampai jam berapa, hah? Mentang-mentang lockdown, aktivitas juga malah ikut-ikutan lockdown! Ayo, bangun!" tegas wanita berdaster putih itu, menggoyang-goyangkan tubuhku.
"Apaan, sih, Mami ...?" sahutku malas.
"Banguuunn! Mami tunggu sampai lima menit. Kalau Papi masih belum keluar kamar, nanti Mami balik lagi ke sini bawa air seember," ancam istriku, lalu pergi dan menghilang di balik pintu.
Aku menghela napas panjang.
***
Karena sudah hampir sebulan aku tidak berjualan, mau tak mau istriku jadi menerapkan sistim hidup hemat di rumah. Pagi ini, yang tersedia di meja dapur hanya segelas kopi tanpa gula, serta sepiring singkong rebus dari kebun di belakang rumah. Membuat nafsu makan otomatis berkurang, hingga aku pun memutuskan untuk meneguk air putih saja.
Tiba-tiba, pikiran kembali teringat Laila. Terbesit keinginan untuk bertandang ke tempatnya pagi ini, mumpung istriku tengah tak berada di rumah. Siapa tahu saja, Laila menyuguhi kopi? Atau syukur-syukur menu istimewa yang lainnya.
Bergegas aku keluar rumah setelah merapikan sedikit penampilan. Kebetulan, letak rumah Laila hanya lima langkah saja dari rumahku. Tampak sepi sekarang, musik dangdut yang biasa dia setel setiap pagi sudah tak lagi terdengar. Kuketuk pintu rumahnya pelan. Tak butuh waktu lama, Laila keluar membukakan pintu untukku. Namun, betapa termenung aku dibuatnya, karena wanita itu hanya tampak mengenakan sehelai handuk, dengan beberapa tetes air yang masih membasahi pundak putihnya.
"Ah, ma-af, Laila. Kalau begitu aku--"
"Gak apa-apa, kok, Om Rama. Ini saya juga sudah selesai mandinya. Ada perlu apa, ya?"
Aku menelan saliva, sekuat hati mencegah pikiran agar tak berkeliaran ke mana-mana.
"Om ...?"
"Eh, gak ada apa-apa, kok. Cuma mau bertandang sa-ja," balasku salah tingkah.
"Ya sudah, silakan masuk, Om. Duduk dulu di sofa. Laila mau pake baju dulu." Senyum Laila, lalu dia pun meninggalkanku ke kamarnya dengan langkah menggoda.
Ya, pria normal mana yang tak kesem-sem? Saat ada di posisiku pagi ini. Laila adalah jelmaan biola dalam bentuk manusia. Tubuhnya yang indah, paras yang cantik, serta pribadi yang ramah, membuat para kaum Adam di kampung ini memperebutkannya. Tidak hanya perjaka, bahkan sampai para bapak-bapak pun berlomba mencari perhatian wanita itu. Termasuk aku, yang jelas lebih beruntung karena sudah sejak lama bertetangga dengannya.
"Silakan diminum, Om." Setelah hampir sepuluh menit menunggu, akhirnya Laila duduk di hadapanku seraya membawakan secangkir kopi.
"Wah, terima kasih, Lail." Kuraih cangkir pemberian Laila, lalu perlahan menyesapnya setelah sedikit ditiupi. Nikmat sekali.
"Enak, Om?"
"Hooh." Aku mengangguk semringah.
"Mbak Sisca--"
"Husstt! Kamu gak usah ngomongin istriku, Lail. Dia lagi tak ada di rumah," potongku. Tahu kalau wanita berkulit putih itu khawatir istriku cemburu.
Laila tersenyum.
"Lail, kamu tuh, kalau ada pria yang main sampai tengah malam. Mbok ya disuruh pulang. Bukan apa-apa, sekarang kan lagi banyak virus, takutnya mereka nularin virusnya ke kamu," bujukku. Sebenarnya tak suka Laila dekat-dekat dengan banyak pria lain.
Kini, Laila tampak tertawa kecil. Membuat aku semakin gemas dibuatnya.
"Kenapa malah ketawa?"
"Gak apa-apa, Om. Mereka cuma teman, kok."
"Heleh, teman? Tapi tau-tau ntar--"
"Papiii!"
Belum sempat aku melanjutkan ucapan pada Laila, suara Sisca sudah terdengar berteriak lantang dari rumah sebelah. Sial!
"Om, itu--"
"I-iya, Lail. Aku permisi pulang dulu ya," imbuhku panik, lalu bergegas beranjak dari sofa.
Buuk!
Karena terlalu terburu-buru, aku sampai tak sadar telah menyenggol badan Laila. Sampai wanita itu hampir terjatuh, jika saja aku tak buru-buru menangkap tubuhnya.Seketika posisi wajah kami begitu dekat. Kini, Laila berada dalam dekapanku dengan wajah yang tampak tersipu. Wangi tubuh dan rambutnya tercium semakin pekat, kala aku semakin mendekatkan tubuhnya ke tubuhku. Membangunkannya yang hampir tumbang, hingga akhirnya kami sama-sama berdiri dan saling berhadapan.
"Maaf, Lail ...," bisikku. Dengan napas memburu dan denyar tak menentu.
Bersambung ....