17🥀

133 9 0
                                    

Apalah artinya hidup tanpa cinta, tanpa ujian, tanpa kebahagian dan tanpa anak. Itulah yang dirasakan Bu Fatimah selama bertahun-tahun, hidup jauh dari putranya, putra yang sangat ia sayangi.

Kini putra kedua Bu Fatimah akan pulang setelah tinggal selama lima tahun di Mesir. Jauh dari orang tua hanya untuk menimba ilmu dan mencari jati dirinya.

Pagi-pagi sekali Bu Fatimah, bangun hanya untuk menyiapkan makanan kesukaan putranya. Rasa syukur menyelimuti hatinya kini ia akan bisa memeluk putranya kembali.

"Fan!" panggil Bu Fatimah dari dapur. Gus Reffan yang saat itu berada dikamar langsung menghampiri.

"Kenapa, Mi?"

"Nanti kamu yang jemput mas mu, ya!" Gus Reffan menganguk mengiyakan tanpa ingin membantah sedikitpun.

Guratan-guratan kebahagian terlihat jelas di mata, anak dan i u itu. Apalagi Kyai Khalid, ia sangat bahagia putranya itu akan tiba hari ini. Ia sangat ingin merasakan salat berjamaah seperti dahulu, membaca kitab suci hingga larut malam bersama putra-putranya.

"Emang jam berapa, Mi?" tanya Gus Reffan seraya menuangkan air kedalam gelas, lalu meneguknya pelan.

"Nanti habis Dzuhur, paling jam setengah satu." Gus Reffan terbatuk-batuk mendengar perkataan Bu Fatimah.

"Kalau habis Dzuhur, ngapain Ummi masak sekarang. Nanti kalau dingin bagaimana?"

"Ya tinggal diangetin!" jawab Bu Fatimah ketus. Tangan mungilnya terus memotongi sayuran oranye kesukaan putranya itu. Gus Reffan hanya tertawa kecil mendengar perkataan Bu Fatimah. Lalu beranjak pergi menuju masjid.

Hari ini Bu Fatimah memasak sup ayam kesukaan putranya, beserta lauk yang lainnya. Setelah semua makanannya siap Bu Fatimah segera membereskan kamar putranya, dibantu Mbok Minah.

Baru saja masuk ke kamar putranya, sebuah cairan bening menetes dari matanya. Rasa rindu kini akan terbayarkan. Ia benar-benar merindukan putranya. Aroma tubuh putranya seolah tercium saat Bu Fatimah tengah membuka almari untuk dibersihkan.

•••••••••••••••••

Tiga hari setelah Sahira dirawat di rumah sakit akhirnya ia diperbolehkan untuk pulang. Tetapi karena kekhawatiran Pak Akhmad yang berlebih. Akhirnya Sahira memutuskan untuk tinggal semala dua Minggu bersama Pak Akhmad.

Disamping kekhawatiran Pak Akhmad pada putri semata wayangnya. Sebenarnya pak Akhmad hanya menjadikan itu sebagai alasan agar dia bisa melepas rindunya, walau hanya dua Minggu.

Setiap hari Sahira hanya akan duduk dilayani pembantunya, ia benar-benar dimanjakan saat ini. Tanpa perlu melakukan banyak hal, semua keperluannya sudah tercukupi. Pagi ini Sahira hendak pergi untuk membeli keperluan, yang akan ia bawa kembali ke pesantren.

Dengan diantar supirnya, Pak Badrun. Sahira berangkat menuju super market yang tak jauh dari rumahnya, hanya butuh waktu dua puluh lima menit untuk sampai disana. Setelah sampai ditempat Sahira segera masuk dan membeli barang yang ingin ia beli. Ia sengaja menyuruh Pak Badrun, untuk menunggunya di mobil.

Ia berkeliling mencari barang yang akan ia beli. Hampir semua berhubungan dengan mawar, gadis ini memang pengoleksi wangi mawar. Selesai membeli keperluannya ia segera menuju kasir.

"Terimakasih, Mbak," ucap Sahira seraya mengambil uang kembaliannya. Ia sudah selesai berbelanja.

Ia keluar dengan menenteng dua kantung plastik hitam. Lalu berjalan menuju parkiran. Matanya menelisik menulusuri setiap titik, namun tak ditemukan sosok supirnya.

"Mobilnya ada tapi Pak Badrun, kemana?" gumamnya. Ia melirik kesana kemari namun masih tak mendapati sosok Pak Badrun.

Sahira memilih duduk di pos dekat parkiran. Ia berfikir mungkin Pak Badrun sedang ke kamar kecil, Jadi ia putuskan untuk menunggu.

[REVISI] Cinta Di Atas Sajadah Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang