Siapa sangka, ternyata anda (yang baca cerita ini, iya anda) dapat berubah menjadi guru dan rasa bangga. Tak percaya? Comment anda adalah pelajaran saya. Dan vote anda rasa bangganya. Namun balik lagi, anda guru yang baik atau sebaliknya saya tidak tahu. Yang pasti, seorang guru yang baik tak akan membiarkan anak didiknya tersesat. Be wise
꧁༺ Happy reading༻꧂
Dini hari itu, ketika kebanyakan insan tengah sibuk berpetualang di negeri mimpinya, kuda bermesin bercap Harley —yang di tunggangi pria berumur kepala tiga setengah itu—, merobek tebalnya malam gelap yang sunyi nan dingin dengan sekali sayatan berkecepatan 80 kilometer per jam.
Jalan aspal yang membentang sejauh matanya memandang bagaikan karpet merah penghargaan Oscar yang menyambut, diiringi kor jangkrik pengganti paparazzi serta kilatan halilintar meyubstitusi flash kamera. Khas suasana acara penghargaan.
Awan kelabu masih bimbang harus menurunkan prajurit kristalnya atau mengurungkan niatnya karena di belakang mereka, sang pemantul cahaya tak terima begitu saja dihalangi. Ya, Bulan.
Hanya saat-saat inilah ia dapat merasakan ketika hidungnya ditusuk udara asli, bukan polusi. Di dendangkan nyanyian alam, bukan bisingnya kendaraan berwarna kelam, serta memandang wajah bulan yang cantik, bukan sang surya yang bercadar asap pabrik. Pikir pria itu.
Kesibukannya akan sesuatu yang di sapa "kerja", mencuci otaknya seakan engkau adalah robot yang tak ada kata capek di kamusnya, merampas hal berharga dari keluarga yang kita semua sepakat dengan menjulukinya waktu. Memang, sangat sedikit bahkan jarang orang yang menyadarinya. Sekalinya diingatkan, jurus pamungkasnya keluar : Memang hidup tidak butuh duit? Jurus yang bagi pria ini hanyalah pertanyaan retoris. Tak membutuhkan jawaban.
Dendangan sumbang yang ia nyanyikan meretakkan keheningan, hingga sesuatu yang lebih besar memecahkannya. Hingga berkeping-keping. Sang pria penikmat dini hari terpental keluar zona karpet merah yang tadi menyambutnya.
Segerombolan geng yang terkocar-kacir diatas motor —yang menurut mereka adalah seni, tapi sebagian dari kami pula menyebutnya mempreteli— menabraknya dengan sangat kencang hingga dentuman tercipta. Cukup keras sekadar untuk memekakan telinga.
Pria itu hanya tergeletak tak berdaya menatap satu per satu motor tancap gas yang tadi sempat terjeda karenanya.
Kepalanya sungguh pusing luar biasa, pusing yang tak dapat terdefinisikan. Matanya memburam, dengan bukti bahwa lingkar bulan yang semakin membesar dan opasitinya yang berkurang. Kehangatan cair yang mulai dirasakan merambat keluar melalui empat lubang yang berada di kepalanya.
Hingga entah bayangan apa yang menurutnya besar sehingga sinar bulan yang tadi ia lihat terbenam dibaliknya. Siapa sangka, niat bercumbu dengan alam tanpa pengaman ternyata berbahaya.
"Woy, cepet kabur! Lu udah gila ya?" Salah satu dari segerombolan geng motor itu berteriak parau. Keras namun bergetar.
"Cepetan woy." Kini semuanya meracau. Memaju mundurkan tangan mereka seperti tukang parkir.
Disisi lain, seorang pemuda berjaket kulit gelap serta kepala yang tertutup semacam bandana dengan warna senada tengah dilanda panik hebat. Titah temannya tak lagi ia indahkan. Hanya membatu di tempat. Seluruh badannya bergetar melihat seonggok manusia yang terkapar tanpa daya.
Keringat dinginnya terjun bebas tanpa aba-aba. Jantungnya memompa berkali-kali lipat dari biasanya. Pemuda itu tanpa pikir panjang mengais kepala dan sebagian tubuh pria itu. Tangan yang mengais kepala pria itu melembab kemudian basah oleh cairan kental hangat berwarna merah marun.
Paha berbalut jeans ia jadikan bantal penyangga kepala pria bernasib malang itu. Tak ada yang bisa pemuda itu lakukan. Tak ada siapa pun yang bisa ia mintai tolong bahkan untuk sekadar mendengarkan teriakannya. Jangankan rumah, gubuk lusuh pun nihil. Tak ada. Hanya hektaran sawah yang mengapit jalan aspal dua arah itu. Dan beberapa pohon pembatas keduanya. Tak lebih.
Dengan mata yang terkatup-katup dan mulut yang ternganga-nganga seperti mencari udara, pria itu menyasar tangan kirinya. Pernah lihat ikan yang sengaja di lepas di darat? Percayalah, tak jauh pemandangannya. Sekali lagi, tak ada yang bisa pemuda itu lakukan. Selain menatap dengan miris campur aduk iba.
"Nak?" Pria terbata-bata. Tangan kanannya kini bargantian menyasar telapak tangan pemuda itu.
"iya, pak?" Frekuensi suara pemuda itu bergetar hebat.
"Ambilah ini, Nak. Dan berhentilah. Apa pun alasannya, itu tidak benar" Puing-puing napas ia kumpulkan untuk bersusah payah mengucapkan frasa itu.
Frasa yang sebagian orang terdengar bermakna ambigu. Tapi tidak dengan pemuda itu. Kemudian pria itu menggenggamkan sesuatu pada telapak tangan pemuda yang langsung ditutup rapat. Tanpa ada waktu melihat.
"Tapi, pak..." Ucapannya terhenti berbarengan dengan hembusan napas yang cukup panjang.
Tanda bahwa Sang maut telah selesai dengan urusannya. Urusan yang bila diterjemahkan kedalam bahasa manusia berarti kematian. Kematian yang berarti perpisahan. Dan perpisahan yang berarti kesedihan. Dukacita.
Pemuda itu hanya mematung. Matanya memanas, kemudian meleleh tak terkomando. Entahlah, perasaan itu muncul kembali. Merobek hati yang sudah rapi terjait. Menguak luka dalam yang sudah ia kubur bertahun-tahun. Dan kini ia terbit lagi. Bedanya, sedikit lebih saru dari yang terdahulu.
Suasana semakin dramatis tatkala ketika diam-diam ternyata langit ikut menangis, membungkus mereka berdua dengan butiran Kristal cikal bakal pelangi. Sungguh, sangat memilukan.
Kalimat terakhir pria yang bahkan tak sampai satu paragraf itu menjawab seluruh keraguan pemuda itu selama ini. Keraguan akan sesuatu hal yang di sebut berhenti. Stop, kerennya.
Siapa sangka, kematian seseorang yang bahkan tak kita kenal dapat menjadi hidayah. Yang hadir secepat kecup, namun mengubahmu seumur hidup. Dan menyambar sekuat petir, lalu membakar keraguanmu yang getir. Atau memang siklus alam, meninggal kemudian lahir kembali. Dan lahir tak selamanya kudu berwujud seorang bayi.
Semua rasa caruk marut jadi satu. Namun bila di convert dalam bentuk posentase, angka delapan puluh persen atas nama bingung kini melesat mendominasi otak pemuda itu. Tanpa terjun kedalam jurang kebingungan lama-lama, akhirnya ia melakukan apa yang seharusnya dilakukan. Pastinya dalam perspektif hukum serta kemanusiaan. Tak perlu di jelaskan. Kalian bukan manusia bodoh, 'kan?.
Menganggap bahwa apa yang diberikan pria itu adalah sebuah bentuk wasiat, dengan pertimbangan ini dan itu pemuda itu akhirnya menerima. Tentunya dengan berat hati.
Setelah pemuda itu pergi, tak lama cahaya gabungan dua warna dasar serta sirine datang.
Dalam bisik pemuda berkata "Terimakasih pak. Maafkan temanku. Maafkan juga aku yang tak berdaya. Tenanglah disana."
KAMU SEDANG MEMBACA
Love School Adventure
Подростковая литератураKehidupan gadis cantik bernama Lucy yang setenang air, mendadak bergelombang. Siapa sangka, kematian ayahnya ternyata membuka gerbang akan sosial, roman, dan petualangan yang seru. Beragam insan bersatu, mengungkap sesuatu yang besar nan tabu. Sebes...