Liana tersenyum kemudian memakan es krim dengan lahap. Saking semangatnya malah belepotan. Nuca kemudian tertawa.
"Makannya hati-hati, kayak anak kecil nih, belepotan," ujar Nuca kemudian menyodorkan tissu.
"Ih kok nggak romantis sih? Aku sering nonton nih misalnya ada perempuan terus makannya belepotan, pasti pacarnya bantu bersihin," ujar Liana dengan nada manja.
Nuca terkekeh mendengar hal itu. "Dasar korban sinetron!"
"Mana ada, aku nontonnya series kali sama film. Kalau sinetron jarang," sanggah Liana sambil mengerucutkan mulutnya.
"Ya apapun itu, kayaknya sama aja deh," ujar Nuca kemudian tertawa.
Liana menggeleng. "Beda Nuca, beda."
"Abis ini mau kemana?" tanya Nuca.
"Kemana aja asal sama kamu," ujar Liana.
"Dasar kamu, bisa-bisanya ya!"
***
"Nuc, emang aku ada salah apa sama kamu?" tanya Liana yang berusaha menyamakan langkahnya dengan Nuca.
Nuca menghiraukan Liana. Ia terus berjalan tanpa mencoba mengurangi ritme langkahnya.
"Nuc, bisa jawab kan? Diam kamu tuh nggak akan menyelesaikan masalah tahu gak?" sentak Liana dengan nada kesal.
Nuca kemudian menghentikan langkahnya. "Emang ada masalah apa?"
Liana menatap Nuca dengan alis berkerut. "Ya harusnya juga aku yang tanya sama kamu. Aku ada salah apa? Kenapa kamu diam dan menghindar dari aku?" cecar Liana menuntut penjelasan.
"Harusnya kamu tanya sama diri kamu sendiri, Li."
Liana melongo. "Ya harusnya kamu yang kasih tahu aku, kalau memang aku salah. Supaya aku bisa memperbaiki diri, Nuc."
"Sampai saat ini juga aku nggak tahu, salah aku dimana. Kamu diam, marah dan menghindar tanpa kasih aku penjelasan yang seharusnya aku berhak tahu."
"Nanti juga kamu tahu."
Nuca mengangkat kedua bahunya kemudian berlalu dari hadapan Liana.
KAMU SEDANG MEMBACA
WHAT IF? [REVISI]
Teen Fiction[DALAM PROSES REVISI ; REVISI BERTAHAP] Jakarta tidak seburuk itu, pikir Liana. Pandangan pertama terhadap Jakarta membuat Liana melihat Jakarta dengan sudut pandang yang berbeda. Sejauh ini, Liana menikmatinya. Hanya saja, dari sekian banyaknya ma...