ADYS benci keramaian, orang-orang di sekitarnya yang bersikap terlalu over, atau sesuatu hal lainnya yang membuat ketenangannya terganggu.
Sejak kecil, Adys selalu sendirian. Orang tuanya sama-sama sibuk dengan pekerjaan, seakan tak ingat bahwa mereka punya seorang Adys yang kini telah berkawan baik dengan kesendirian, dan menjadikan keramaian sebagai musuh bebuyutan.
Karena itu, saat sebuah himbauan untuk berkumpul di lapangan utama dari interkom sekolah berbunyi, Adys sama sekali tidak mengindahkannya dan malah bersedekap setelah memasang tudung hoodie berwarna putih yang ia pakai untuk menutupi wajahnya. Berdesakan dan mendengar riuh siswa-siswi, menjadi salah satu alasan lain mengapa Adys menolak bergabung.
“Kenapa tidak keluar? Tidak dengar pengumuman?” Suara bariton yang terdengar asing itu jelas ditujukan untuk Adys. Ia tahu itu, tapi berpura-pura tidak dengar. “Tidak dengar saya?”
Adys masih tetap diam. Kesal karena diabaikan, laki-laki itu akhirnya melangkah mendekati meja Adys yang berada di pojok belakang kelas. “Hei.”
Adys mulai risih. Laki-laki itu kelihatan tidak berniat pergi dari sana. Kepalanya diketuk dua kali, membuatnya refleks menepis tangan laki-laki itu dan mendongak sedikit untuk melihat siapa gerangan orang yang telah mengganggu ketenangannya.
Keduanya berpandangan sebentar, sebelum Adys kemudian membuang muka dengan raut terkejut.
“Kamu kenapa?”
Adys tidak menyahut, kedua tangannya terkepal erat. Laki-laki itu, ia mengenalnya.
“Jawab saya.”
Adys masih diam.
“Hei! Saya bicara—”
“—sorry, kita kenal?”
Laki-laki itu terperangah, ini bukan soal kenal atau tidaknya mereka. Bukannya siswi itu memang sudah seharusnya keluar kelas dan berkumpul seperti himbauan yang disampaikan tadi?
Sebelum ia mendebat siswi kurang ajar itu, sebuah suara lain berhasil menginterupsinya. Miss Friska—guru mata pelajaran bahasa inggris, melangkah tegas ke dalam kelas dengan pandangan tertuju pada Adys.
“Adysti Serina, tidak dengar pengumuman yang disampaikan?”
“Saya nggak tuli, Miss.”
Miss Friska mengangguk. “Kalau begitu, silahkan bergabung dengan teman-teman kamu di lapangan utama sekarang.”
Tidak mau.
“Maaf telah merepotkan ya, Pak Selat. Adys memang sedikit keras kepala. Mari, Pak, kita ke lapangan sekarang.” Miss Friska tersenyum ramah pada laki-laki yang bernama Selat itu. Tepatnya, Selatan. “Dan kamu, Adys, kenapa masih diam di situ?”
“Lagi nggak enak badan.”
“Tidak ada alasan. Bangun.”
Adys mendengus. Memang apa bedanya jika Adys tidak hadir di sana? Tidak ada, kan?
“Adys—”
“Saya nggak enak badan, Miss. Kalau saya maksain gabung dan saya pingsan, Miss mau rawat saya?”
Satu hal yang harus kalian tahu. Adys bukan tipe orang yang akan mengalah jika ia merasa benar. Dan tetap di kelas demi kenyamannya adalah pilihan yang benar menurutnya. Jadi, ia tidak akan beranjak sekalipun Miss Friska memaksanya.
“Tidak perlu dipaksa, Miss. Mari, biarkan Adysti istirahat.” Selatan menyahut. Ia melirik Adys yang memandang lurus ke depan dengan tudung hoodie yang menutupi wajahnya.
Miss Friska membuang napas pendek. “Baiklah.”
“Silahkan duluan, saya mau menghubungi seseorang dulu.”
Miss Friska akhirnya pamit lebih dulu, meninggalkan Selatan dan Adys yang langsung menelungkupkan wajahnya di atas meja.
“Adys?” panggil Selatan yang kembali diabaikan. “Benar-benar sedang sakit?"
“Shut up and get out of my classroom.”
Selatan mengambil duduk pada bangku kosong di depan Adys. “Saya guru pengganti di sini. Hanya sementara, cuma sebulan,” jelasnya tanpa di minta.
Adys tidak menanggapi.
“Baiklah, kamu sepertinya nggak mau di .”
Jonathan mengernyit. “Oh, ya? Dari mana kamu tahu?”
Adys kelihatan berdecak seraya mengangkat kepalanya, menatap Jonathan tajam dengan bibir menipis. “Bapak yang bilang barusan. Sekarang, bisa tolong tinggalin saya sendirian? Saya betulan bisa sakit kalau Bapak terus di sini.”
Jonathan malah bersedekap dengan wajah menantang, membuat Adys menggertakkan giginya karena kesal. “Mau apa, sih?!”
“Kenapa tidak mau keluar?”
“Kenapa saya harus?”
“Baik, kalau begitu saya keluar.” Jonathan bangkit dari duduknya. “Senang mengenalmu, Adys.”
Adys mencebik tak peduli, kemudian melanjutkan aktivitasnya yang sempat terganggu oleh dua makhluk menyebalkan itu.
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
Are You Human?
Teen FictionIni tentang Adys, gadis tujuh belas tahun yang selalu sibuk dengan dunianya sendiri. Mengasingkan diri adalah kebiasaannya, hingga kemudian Tuhan kirimkan sosok Jonathan yang perlahan menariknya keluar dari kelabunya. "Kita asing, tidak perlu berlag...