Membenci Ayah 2

62 16 1
                                    

Pagi.

Aku menghela napas. Sesaat terhenti di sebuah persimpangan gang sekolah, melihat ke arah seberang sana di mana bentang jalan dilalui oleh ramai pengendara. Sementara menit kian berlalu, tapi wajah yang kutunggu masih belum terlihat.

Lavira.

Aku kembali menghela napas. Memilih berbalik dan melangkah menyusuri gang kecil menuju sekolah saat menyadari bahwa jam di pergelangan hampir pukul tujuh lewat lima belas.

Ya, mungkin gadis itu tidak turun sekolah hari ini. Lagi. Setelah hampir satu minggu dirinya menghilang.

Tapi, kenapa? Apa karena kematian ibunya? Atau karena kepulangan ayahnya?

Entah.

***

"Ndra, minjem gitar ke kantor, dong!" Yudi berseru dari mejanya. Aku melirik sekilas, lalu kembali acuh memejamkan mata dengan earphone terpasang di telinga.

"Ah, sok sibuk! Mikirin siapa, hey?" Sekarang Yudi benar-benar berada di mejaku. Terasa tangannya terulur menyentuh pundak.

Aku membuka mata, malas. "Apa?"

Yudi terkekeh. Sekilas menggaruk telinganya.

"Minta gitar ke kantor," sahutnya santai, lalu duduk di atas mejaku yang posisinya di pinggir dinding.

"Gak," balasku singkat.

"Kenapa?"

Aku tak menjawab, hanya menatapnya malas dengan sekilas. Detik kemudian kembali bersandar di dinding sambil menikmati musik di earphone yang sempat terhenti.

"Apa karena Pak Damin, guru fisika itu?"

Langsung kutatap tajam wajah yang alisnya terlihat sedikit terangkat itu. Detik kemudian, senyum sinis terukir di bibirnya.

Sial!

"Memang apa urusanmu?" Aku membalas datar.

Yudi menatap lekat. Sedikit membungkuk seolah sedang mengamati ekspresi wajahku. Detik setelah itu, tawanya berderai lepas.

"Hahaha! Seriusan seorang Andra bisa takut kepada seorang guru yang bahkan tidak pernah menghargainya?"

Lalu tawanya makin berderai. Padahal jelas ini tidak lucu.

"Hey!" Aku membentak. Tapi sialnya pemuda dengan seragam terurai dari dalam celana itu malah semakin mengoceh tak jelas.

Ya, dia tahu. Tahu bahwa aku sangat membenci Pak Damin. Apalagi jika disinggung tentangnya.

"Diamlah, kamu berisik!"

"Ck! Ayolah, Andra! Akui saja hahaha."

Aku menatapnya dingin. Detik kemudian melepas earphone dan bangkit berdiri. Lalu segera melangkah meninggalkan kelas.

Samar terdengar saat di luar pintu suara seruan dari dalam kelas sana.

"Bawalah ke sini gitarnya!"

Langkah terhenti saat berada di depan kantor. Sesaat, melirik ke seberang sana, di mana sebuah kelas terlihat ramai tanpa ada satu wajah yang kucari. Lavira.

Lalu segera memasuki kantor menuju ruang Tata Usaha. Biasanya gitar khusus pinjaman ada di sana.

Namun, langkahku kembali terhenti saat seorang wanita setengah baya tengah berbicara dengan Bu Hasna, wali kelas Lavira.

"Ayahnya bilang, bahwa Lavira harus pindah sekolah. Entah. Mereka akan pergi ke Kalimantan, tempat ayahnya."

"Memang, selama hampir tiga bulan Lavira pindah ke sini ... saya sebagai wali kelasnya sangat jarang melihat dia tersenyum. Wajahnya selalu murung, dia juga suka izin ke UKS."

Mendadak ada yang berdesir tak enak di dada. Entah rasa apa ini? Tapi yang jelas, aku belum siap ... kehilangan gadis itu.

Perlahan, aku melangkah ke arah mereka. Bu Hasna memandangku entah, mungkin heran dengan keberadaanku yang tiba-tiba di depannya.

Sempat menyaliminya sekilas sebelum akhirnya bertanya.

"Apa Lavira akan pindah, Bu?"

Bu Hasna sesaat berpandangan dengan wanita di sampingnya. Lalu mengangguk kearahku.

"Maaf, apa kamu temannya Lavira?" Perempuan dengan sorot teduh itu langsung bertanya.

Aku meliriknya, ragu apakah kami memang berteman.

"Ya ...."

Kurasa.

"Oh ...." Wanita itu mengangguk ramah.

"Di mana Lavira, kenapa dia tidak pernah terlihat?" Aku kembali bertanya penasaran.

Kembali, mereka berdua saling pandang dengan entah. Seolah ada hal yang diperbincangkan lewat mata.
Lalu wanita yang belum kuketahui siapa itu, mulai menjawab sedikit pelan.

"Lavira depresi. Dia mengurung diri seminggu ini. Saya adalah Tantenya. Dia benar-benar tidak punya siapa-siapa selain ...." Kalimatnya menggantung di udara bersama raut sendu yang mulai terlihat, tapi segera tertutupi oleh senyum. Aku tahu siapa yang di maksud.

Aku membuang pandang ke arah lain. Segera memasukan tangan ke dalam saku, menyembunyikan kepalan yang muncul akibat emosi. Bagaimana bisa, ayahnya memindahkan dia di tengah buruknya kondisi Lavira?

Ayah macam apa dia?!

Tanpa sadar aku menatap agak tajam ke arah mereka. Bertanya.

"Boleh saya bertemu Lavira?"

Membuat mata wanita itu sedikit membulat. Kaget.

***

Sebuah rumah besar bertingkat berwarna cat putih pucat dengan satu pohon canser besar di depan rumahnya, terlihat begitu sunyi dari balik pagar tempat aku berdiri.

Setelah kembali mengecek alamat dari wanita yang mengaku bahwa dirinya adalah tantenya Lavira, aku mantap melangkah memasuki halaman rumah.

Decit dari suara pagar yang terdorong terdengar amat nyaring. Mungkin karena suasana rumah ini yang sunyi. Seolah ... mati.

Aku memencet bel berulang kali, tapi tanda-tanda sahutan tak ada sama sekali. Sesekali juga mengetuk pintu sambil berteriak memanggil nama Lavira. Namun, malah lelah yang terasa.

Ke mana mereka? Ke mana Lavira? Di mana dia? Ah, sial!

Mondar-mandir aku di depan teras rumahnya. Sedikit mengacak rambut bersama helaan napas berat. Sesaat sebelum akhirnya kembali berseru memanggil.

"Laviraa ...??" Lalu, dengan kencang mengetuk pintu.

"Laviraa ...!!"

Hening.

"Lavira! Aku ingin bertemu!"

Lalu hening kembali saat aku terdiam.

Aku menghela napas kasar. Melirik jam di tangan, sudah sangat sore. Sementara aku tidak bisa berlama-lama, sebab ada Mama menunggu di rumah.

Pelan, aku mulai melangkah menjauhi pintu. Tapi saat kaki menginjak tanah, tiba-tiba terdengar suara teriakan yang begitu kukenal dari dalam rumah.

"Aaaaaaaaa ...!!!"

Aku segera berbalik menghampiri pintu.

"Lavira ...!!"

Menggedor-gedor pintu hingga tanpa sengaja mendorongnya sampai terbuka. Lalu segera menerobos masuk mencari sumber suara.

Namun langkahku terhenti di anak tangga. Terpaku menatap sosok di atas.

.

Next?

Membenci Ayah (GANTUNG KE HUBUNGAN LU)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang