Sebuah Rumor

12 7 1
                                    

Malam ini, udara sangat dingin. Penghangat ruangan sudah pasti dinyalakan di setiap rumah, bahkan perusahaan juga. Tapi, aku justru berdiri di luar gedung dengan koper di sampingku dan ransel di punggungku.

Aku mempererat syal yang ku gunakan. Berkali-kali menggosokkan kedua telapak tanganku lalu ditempelkan ke wajahku, berharap bisa menghangatkan tubuhku.

Aku mengambil ponsel dari saku mantel musim dinginku, menghubungi seseorang.

"Hei," sapaku.

"Ara? Kau mengganggu konsentrasiku, ada apa?" tanya Rize, kakakku.

Di saat seperti ini, saat di mana aku sudah terusir dan tak memiliki tempat tinggal, yang pertama ku pikirkan adalah keluargaku. Aku juga tidak menyangka akan mengganggu kakakku, tapi kakakku sudah menikah dan memiliki keluarga baru, dia tidak akan bisa membantuku.

"Hanya menyapa," jawabku.

"Aku sibuk sekarang, akan ku telepon lagi nanti." Kakakku mematikan sambungan telepon.

Aku menyeret koperku keluar dari kawasan apartemen elit di kota ini.

Awalnya, yang ku pikirkan hanyalah hal indah dengan kesenangan berlimpah jika berhasil menempati sebuah kamar yang memiliki harga lima juta perbulan itu. Aku tidak tahu, jika akhirnya akan seperti ini.

Reputasiku hancur sedemikian rupa karena hal paling tidak masuk akal di dunia.

Rambut panjangku yang tergerai rapi sesekali diterbangkan angin. Membuat kulit pucatku terekspos jelas.

Aku berjalan sampai memasuki gang sempit yang gelap. Di sini penuh sesak dan banyak salju bertumpuk yang tak terurus. Aku merinding melihat tempat ini, seakan-akan sesuatu seperti psikopat berdarah dingin akan menyergapku dan menyiksaku di sini.

Aku menautkan kedua jariku untuk berdoa. Namun, suara botol kaca yang pecah terus menggangguku, ini tidak hanya sekali, sudah banyak pecahan beling di depan kakiku.

Keadaan menyeramkan ini memaksa kakiku berlari sejauh mungkin tanpa koper yang ku genggam. Meskipun kakiku selemas jeli, dan wajahku sepucat hantu, aku berlari terus sampai keramaian mulai terlihat.

Aku menghirup banyak oksigen, sementara nafasku masih terengah. Aku berusaha sangat keras melupakan seringaian menjijikan di balik gang tadi, aku tahu saat itu seseorang di sana menatapku dengan liur yang menetes dari mulutnya.

Tepukan pelan di bahuku menyadarkanku. Aku menoleh dan mendapati seorang wanita dewasa dengan pakaian yang rrr-sangat terbuka.

Dia mengenakan gaun hitam yang hanya sebatas pahanya, jenis gaun ini tanpa lengan dan sedikit memperlihatkan aset seorang wanita. Wajahnya diberikan riasan tebal dan telinganya mengenakan banyak anting.

"Apa yang kau lakukan di sini?" tanyanya seraya menghembuskan asap rokok ke wajahku.

"Aku ... tersesat," jawabku setelah terbatuk karena hembusan asap rokoknya.

"Kau tidak terlihat sebodoh itu untuk tersesat, bagaimana pun, kau tidak ingin masuk? Jangan berdiri seperti orang bodoh di cuaca dingin!" Dengan wajah bosannya, dia menarik lenganku ke rumahnya (tunggu, memangnya bilik yang dipenuhi alkohol ini pantas dikatakan sebagai rumah?!).

Aku terperangah, apa tadi ia menghinaku sebagai orang bodoh karena berdiri di luar sementara cuaca dingin? Baiklah, jika aku bodoh, maka dia apa? Sudah jelas ia yang gila karena mengenakan pakaian seminim itu di cuaca dingin ini.

Dia memberiku secangkir kopi panas di mug anjing hitam bermata merah, aku mengatakan terima kasih dan meminum kopinya.

"Mug itu kesayangan adikku," jelasnya sambil duduk di sofa depanku dengan satu kaki bertumpu di kaki yang lain. Gayanya elegan dan angkuh, tapi itu menunjukkan kepercayaan dirinya.

Aku panik dan langsung meletakkan mug yang tadi menempel di bibirku.

Bisa kau bayangkan? Ketika benda kesayanganmu digunakan orang asing dengan seenak jidatnya, apa kau akan terima? Tentu tidak!

"Tidak masalah, minum saja. Lagipula aku tak memiliki cangkir untuk kopi di rak piringku, hanya ada gelas untuk anggur," jawabnya.

Aku menurutinya untuk meminum kopi ini lagi. Aku memang sangat membutuhkannya karena cuaca tadi sangat dingin.

"Yo!" teriakan keras seorang pria disertai debuman kencang dari balik pintu mengejutkanku.

Aku terkejut, tanpa sadar mug di tanganku terlepas, dan sisa kopi berserakan di lantai. Aku menatap mug yang pecah menjadi tiga bagian, lalu mengangkat wajahku dengan rasa panik yang sangat.

Pria yang tadi masuk dengan ceria, sekarang ia mematung. Menatap pecahan kaca dengan ekspresi terkejut setengah mati.

Aku mulai menduga, apakah dia pemilik mug ini? Seseorang yang sangat menyayangi mug ini? Kalau benar, aku pasti mati...!

Wanita di depanku tertawa keras, dia bahkan terpingkal-pingkal sesekali menepuk pahanya sebagai bentuk pelampiasan dari energinya yang berlebih.

"Kau tertawa?" Pria tadi membesarkan bola matanya dan menatap dengan kejam ke wanita ini.

"Maaf, maaf. Sebenarnya aku sangat menantikan saat di mana kematian menjemput mug menjijikkan itu. Huft, pada akhirnya kau harus mengikhlaskan itu Jay!" Wanita itu menghentikan tawanya, hanya tersenyum mengejek.

"Orang bodoh mana lagi yang kau bawa masuk?" Dia, Jay, menatapku tanpa minat dan melanjutkan jalannya untuk memunguti serpihan kaca di dekat kakiku.

"Dia tersesat, kau tidak mengasihaninya? Dulu, gadis jelek itu juga tersesat kan? Itu membuatmu bersimpati dan merepotkanku untuk menjaganya, lalu sekarang dia kabur membawa uangku dengan tak tahu diri." Wajah wanita itu dipenuhi kebencian.

Apa lagi ini? Tidakkah semesta melihat betapa menderitanya aku sekarang? Seakan satu dunia ingin mengejekku dengan menyuguhkan drama keluarga ini...

"Dia pasti punya alasan untuk itu." Jay menghentikan kegiatannya dan pergi ke kamar dengan suara pintu yang terbanting keras.

Apa dia marah?

Aku merasa pertengkaran mereka terjadi karenaku, aku menatap wanita di depanku dengan hati-hati.

"Tidak apa, dia memang selalu seperti itu. Ngomong-ngomong sebelumnya, kau berasal dari mana? Aku tahu kota ini dengan sangat baik, jadi itu mudah untukku mencarikan alamatmu!" Dia menepuk tangannya sekali untuk mengacaukan lamunanku, kemudian dia menyatakan simpatinya.

"Sejujurnya, apa kau tidak mengenalku?" tanyaku memastikan.

"Apa kau tokoh publik? Wah, aku membenci televisi sebenarnya hahaha." Dia tertawa renyah.

"Benar, aku tokoh publik yang terusir karena rumor menjijikkan dan sekarang tak memiliki tempat tinggal," jawabku santai, aku mengikuti tawanya.

"Yah, rumor hanyalah rumor. Kalau kau tidak keberatan, kau bisa tinggal di sini dan tidur di kamarku. Aku jarang pulang dan tidak punya banyak waktu untuk menemani Jay." Dia menatapku, memohon.

"Sebuah pertolongan semesta untuk mengizinkanku tinggal di sini," jawabku seraya berterimakasih.

Wanita itu pergi meninggalkanku berdua dengan Jay di rumah ini.

...

Biar kuajarkan sesuatu. Adalah sebuah kebodohan, untuk membiarkan orang asing berada di rumahmu.

Kau tahu? Rumor macam apa yang membuatku diberhentikan secara tegas oleh agensiku?

Sebelumnya, biar ku jelaskan apa yang terjadi tadi di gang tadi.

Seringaian jahat itu merupakan milik detektif divisi pembunuhan yang mengintaiku, dan air yang terjatuh dari mulutnya jelas bukan liur, itu darah! Darah karena aku melempar pecahan beling ke wajahnya.

Rumor itu..., adalah rumor yang disebarkan anti fans-ku, rumor bahwa aku membunuh penggemarku sendiri.

-SELESAI-

Aku tahu kalian adalah orang yang baik...
Tapi, bersikap waspada itu tidak ada salahnya.

Sweet Short (ONESHOOT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang