perceraian

6 0 0
                                    


Brakk ...
Terdengar suara pintu yang dibanting kemudian disusul oleh suara ketukan sepatu yang terdengar semakin menjauh.

Aku hanya duduk mematung di atas kasur dengan segala pikiran. Cukup lama hingga aku tersadar oleh suara air keran dari kamar mandi.

Setelah suara air keran itu berhenti aku bangkit dari kasur dan keluar dari kamarku. Aku berjalan menuju kamar ayah dan ibu. Di sana aku hanya melihat ibu yang sedang menangis di atas sejadah.

Kepergian ayah adalah hal yang biasa. Ayah akan pergi dari rumah setelah bertengkar dengan ibu dan akan kembali ke rumah setelah beberapa hari.
----------------
Sudah satu bulan semenjak kepergian ayah. Ini pertama kalinya ayah pergi hingga satu bulan lamanya. Ku lihat mata ibu yang selalu sembab walau ibu selalu terlihat gembira di depanku tapi aku sudah cukup dewasa untuk mengartikan semua.

Hingga malam tiba. Saat itu aku terbangun oleh suara tangisan dan teriakan. Aku bangkit dan mencoba mencaritahu apa yang terjadi. Ternyata itu suara pertengkaran ayah dan ibu. Ayah kembali pergi membawa beberapa tas dan menyimpannya ke dalam mobil. Aku berlari menghampirinya tapi semuanya sia-sia. Ayah telah pergi tanpa mengucapkan hal apapun kepadaku. Aku hanya bisa berdiri di pinggir jalan melihat mobil ayah yang semakin mengecil hingga menghilang dari pandangan.

Genangan air di pelupuk mata kini mengalir membasahi pipi. Segera ku menghapus nya dengan telapak tangan.  Mencoba menenangkan hati agar tak ada lagi air mata yang keluar. Aku harus terlihat kuat. Ibu tak boleh melihat ini.
---------
Tiga tahun tahun setelah kejadian itu, ayah tak ada datang ke rumah walau hanya untuk melihatku. Mencoba tegar walau itu sangat sulit. Aku hanya tak ingin ibu semakin terluka jika melihat kesedihanku.

Setelah kepergian ayah, ibulah yang menjadi tulang punggung keluarga. Dia menanggung segala beban. Demi sekolah ku, ibu bekerja menjadi ART di sebuah perumahan.

Aku sekolah di SMA negri biasa. Saat ini aku kelas 2 jurusan IPA .

Teett .. bel sekolah berbunyi menandakan jam pulang telah tiba.

Saat itu, Liya --teman sebangku ku-- mengajakku bermain ke rumah Nia. Aku mengiya'kan ajakannya. Sepanjang perjalanan menuju rumah Nia , kita tak banyak bicara. Mungkin jika orang lain melihatnya, mereka akan mengira kita sedang bermusuhan. Entahlah! Aku dengan pikiranku dan Liya dengan pikirannya.

Saat tiba di depan rumah nia. tak lama setelah memencet bel Nia pun datang dan mempersilahkan kami masuk.

Semua tampak sepi tak ada satu orangpun. Hingga kami memasuki ruang bagian belakang rumahnya. Mataku terbelalak melihat botol-botol minuman ber-alkohol di atas meja.
"Ga usah melotot aneh kaya gitu deh, Ran. Santai aja, duduk aja dulu," ujarnya sambil berjalan menuju kursi yang ia duduki.
Kulihat Liya yang dengan tatapan mata yang sulit ku artikan.
"Duduk yuk, Ran." Liya mencoba menarik lenganku tapi aku menepisnya. Kitapun duduk di kursi yang masih kosong.
"Sebenernya... Kita udah sering ngumpul di sini. Gue ajak loe karena gue lihat kayanya loe lagi banyak pikiran." Pelan-pelan ia mengatakan kalimat itu dengan tatapan canggung. Sesaat kemudian terlihat ia meneteskan air mata
"Gue gak tau harus gimana, Ran. Orangtua gue setiap hari selalu bertengkar tanpa peduli perasaan gue. Setelah mereka bertengkar, mereka pergi entah kemana. Gue hanya bisa menangis sendiri di kamar." Liya mulai terisak menceritakan semuanya.

Ternyata bukan hanya aku yang merasakan sakitnya karna pertengkaran orangtua.
"Apalagi gue, dari SD nyokap pergi katanya sih kabur sama cowo lain. Ga lama kemudian , bokap gue nikah, ya bahagialah dia dengan keluarga barunya. Sedangkan gue... Cuman dikasih uang tiap bulan sama dia buat biaya hidup. Hidup sendiri di rumah ini." Nia menghisap rokoknya dan menghembuskan banyak asap.

Mereka menuangkan air di dalam botol hingga gelas penuh dan menegak minuman itu setelah bersulang.

Aku hanya melihat dan mendengarkan mereka. Mereka bilang, dengan melakukan hal seperti itu, semua beban pikiran mereka untuk sesaat hilang. Mereka bisa merasakan ketenangan.

Tapi... Tak sedikitpun terlintas di dalam pikiranku untuk melakukan hal serupa. Aku menolak saat mereka menawarkan semua itu padaku. Untungnya mereka tidak memaksaku.

Walaupun ayah pergi dan tak pernah kembali tapi aku bersyukur mempunyai seorang ibu yang tangguh dan penuh perhatian. Ibu membekaliku iman untuk bertahan hidup. Mengajariku mana yang harus dijauhi.

Mana mungkin aku mengotori jerih payah nya. Ibu bekerja dari pagi hingga sore hari untuk membiayaiku. Agar aku bisa membuktikan bahwa tanpa ayah, aku masih bisa bertahan.

Tak terasa matahari hampir tenggelam. Aku pamit pulang. Sedangkan Liya , dia tertidur karena efek dari minuman ber-alkohol.

Langkah kakiku terhenti di sebuah perumahan elit. Tersadar kini aku di jalan di mana dulu ayah menggendong ku di punggungnya.

"Ayah, kapan ayah membelikanku rumah besar seperti ini." aku menunjuk rumah besar yang terlihat mewah.
"Nanti kalo ayah jadi orang kaya, ayah janji akan membawa mu dan ibumu tinggal di rumah yang mewah seperti ini." Janji ayah kepadaku.

Janji itu. Ayah telah lupa! Nyatanya baru saja ayah mendapat kesuksesan, belum sempat ia menepati janjinya tapi ia telah pergi meninggalkan dan tak pernah kembali.

Mata terasa hangat oleh genangan air, tapi aku mencoba kuat. Untuk apa menangisi hal yang hanya akan membuat luka.

Aku melanjutkan langkahku. Setengah berlari agar aku bisa lupa kenangan itu.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 20, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Rani Dan RenoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang