[Kavin]-Alesiana

61 5 0
                                    

"Ya udah, lo balik tidur lagi aja sono." Suara Andra seperti terdengar ketika gue hanya membaca balasan pesan singkatnya.

Dia berkata seperti itu bukan tanpa alasan. Gue sebelumnya mengeluh ke sahabat gue itu soal gimana udah bosennya gue di rumah.

Sebenernya gue juga bukan tipe orang yang suka main sana sini gak jelas, atau orang yang suka trip sampai berhari-hari gak pulang, gue juga bukan termasuk kaum indekos. Tapi gue cuma gak terbiasa di rumah 24 jam, bahkan ini berhari-hari.

Kalau di kondisi biasanya, gue akan di rumah pasti di atas jam delapan malam. Biasanya karena gue main ke rumah atau ke kosan temen dulu, ataupun karena ada rapat dulu, biasa budak proker.

Bahkan di hari libur, minimal gue ke rumah Andra, buat sekadar main PS.

Dan kondisi saat ini yang memaksa semua orang buat di rumah aja, membuat gue mau gak mau harus 24 jam full di rumah.

Gak ada pergi ke kampus, gak ada main ke rumah Andra, gak ada katemu temen-temen, intinya gak ada yang namanya keluar rumah.

Mungkin hari-hari sebelumnya gue bisa mendistraksi dengan kuliah online ataupun ngerjain tugas yang gak ada wajarnya. Tapi akhir-akhir ini, kayaknya dosen gue pun udah pada taraf bosen kuliah online dan berkahir hanya mengabsen di grup whatsapp.

Dan itu berhasil ngebuat gue sudah pada taraf bosan. Gak ada yang bisa gue lakukan lagi di rumah.

Biar gue jelasin sedikit tetang kondisi rumah kenapa gue bisa gak terbiasa di rumah sendiri, padahal seharusnya gue bisa merasa paling nyaman stay di rumah berhari-hari, kayak temen-temen gue yang lain.

Gue tumbuh besar di rumah ini. Rumah cat biru langit yang tak pernah diganti warnanya dari gue kecil. Rumah minimalis ini dihuni empat orang di dalamnya. Papa, mama, kakak gue, dan gue. Gak ada yang aneh sebenernya. Keluarga gue seperti keluarga wajar lainnya.

Tapi sejak SMP, gue mulai tidak pernah lagi betah lama di rumah.

Alesiana Kayla. Kakak perempuan gue. Ale, semua orang mengenal nama itu. Dia membawa semua gen baik dari papa dan mama. Rajin, pintar, baik hati, dan mandiri. Namanya yang selalu mama sebut ketika berkumpul dengan ibu-ibu komplek lainnya. Papa akan dengan senang hati meninggalkan setumpuk pekerjaannya hanya untuk mengambil rapornya. Dan Ale-gue gak pernah memanggilnya dengan sebutan 'kak'-akan selalu pulang dengan kabar bahagia.

Gue gak pernah iri sama Ale. Karena gue juga mengakui semua kemampuannya. Dan dia juga selalu membantu gue kapanpun. Dia menjalankan tugasnya sebagai kakak dengan baik.

Umur kita yang terpaut hanya dua tahun, membuat kita berdua selalu berada dalam sekolah yang sama. Karena itu lah gue hampir 24 jam selalu mendengar hal-hal baik tentangnya.

Tahun itu, tahun pertama gue di sekolah menengah pertama dan Ale yang saat itu di tahun terakhirnya, dia mengajukan pernyataan-bukan pertanyaan karena dia gak menerima penolakan-yang dampaknya berlangsung sampai saat ini.

"Ma, Pa, Ale mau ngekos." Ucapnya tegas waktu itu. Dia memutuskan untuk melanjutkan sekolah di luar kota, dan itu kenapa dia mau hidup sendiri. Dengan segala prestasinya, gue yakin dia gak akan ada masalah dia mau melanjutkan kemana. Itulah yang membuat dia berani mengambil langkah itu.

Gue udah bilang kan kalau Ale itu kesayangan? Jadi jelas saja, orang tua gue gak begitu saja memberikan ijin dengan mudahnya. Tapi kakak perempuan gue itu keputusannya sudah tidak bisa diganggu gugat. Bahkan dia akan tetap pada pendiriannya dengan atau tanpa ijin orang tua. Dan dengan berat hati, akhirnya orang tua gue mengijinkan pilihan Ale.

"Baik-baik, Alex." Kalimat itu yang dia ucapkan terakhir kali sebelum dia berangkat ke perantauan.

Ya, seperti masyarakat pada umumnya yang akan mengambil kata pertama sebagai nama panggilan, keluarga gue juga gitu. Ale untuk Alesiana Kayla, dan Alex untuk gue, Alexander Kavin. Gak tau apa motifnya orang tua memberikan nama yang begitu mirip untuk kedua anaknya ini.

Cerita MerekaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang