BAB 1

937 50 2
                                    

Aurora mungkin adalah salah seorang wanita paling munafik di muka bumi. Ia bisa tertawa di saat tersakiti. Bisa tersenyum saat merasa sedih, bahkan berkata tidak apa ketika terluka.
Kemunafikannya di mulai ketika ia mengizinkan Reino untuk menikah kembali. Dengan alasan klasik membutuhkan penerus.

Reino adalah anak semata wayang yang mewarisi jejak perusahaan besar. Tentu Aurora tidak berhak menjadi sandungan bagi kedua orang tua Reino yang meminta keturunan. Bahkan cintanya yang buta saat itu sanggup mengiyakan permohonan Reino dan keluarganya.

Clara, adalah wanita pilihan keluarga Reino. Perempuan semanis madu. Sangat manis dan anggun, ia bahkan bersikap sopan dan ramah pada Aurora. Bukan hanya sekedar basa-basi. Clara bukan seorang pemain antagonis dalam sinetron. Tapi kehadirannya memberikan luka batin yang dalam pada Aurora.

Dengan polosnya Aurora percaya bahwa Reino mampu adil memberikan cinta untuknya dan Clara. Bahkan mulut manis Reino berjanji selalu menomorsatukan dirinya. Di awal-awal pernikahan Reino dengan Clara, tentu Aurora dengan lapang dada membiarkan Reino menghabiskan waktu lebih sering bersama Clara.

Aurora terus memasang topeng bahagia nya. Tapi ia merasa tidak sia-sia, karena jelas Reino lebih mengutamakan dirinya dibandingkan Clara, lebih sering pulang kerumahnya daripada sang madu.
Tapi kenyataan ternyata lebih pahit. Belakangan ia baru tahu kondisi kehamilan Clara yang lemah, dan dokter menyarankan selama masa kehamilan, Reino dan Clara tidak berhubungan intim. Ya, Aurora hanya sekedar pemuas nafsu saja.. setelah Clara memberikan lelaki itu keturunan, bahkan bisa jadi dalam sebulan penuh Reino tidak mengunjunginya...
Bahkan mertuanya dengan terang-terangan selalu membandingkan dirinya dengan Clara yang perlahan menggerogoti mental Aurora. Dalam kesepian, harga dirinya pun terluka.

Suatu malam, ketika Reino pulang kerumah, Aurora melayani lelaki itu seperti biasa, membuatkan kopi panas dan makan malam kesukaan suaminya. Reino mencium ringan puncak kepala Aurora.

Tapi wanita itu segera menghindar dan tersenyum. "Ada yang ingin kusampaikan" Aurora menatap Reino penuh keyakinan.

"Akupun begitu.." Reino menarik kedua tangan Aurora. "Aku ingin kita tinggal bersama, kamu.. tinggal bersamaku dan Clara... Bagaimana?"

Dahi Aurora mengerut. "Apa..?" matanya membelalak tak percaya dengan yang telah ia dengar.

"Iya.. kamu pasti merasa kesepian bukan?" Reino memeluk Aurora. "Maafkan aku selama ini sudah bersikap tidak adil padamu... Akan lebih mempermudah hubungan kita jika kita tinggal bersama, kamu juga akan membicarakan ini kan?"

Aurora menelan kembali kata-kata yang sudah ia susun berhari-hari. Rasanya amat sangat pahit. Bukan, bukan itu yang hendak ia ucapkan... Ia hanya ingin bercerai dan menyembuhkan mentalnya..
Reino melepas pelukannya, memandang wajah istrinya dengan tulus. Ia mengusap pipi Aurora. "Sudah lama tidak memandangmu sedekat ini... Aku mencintaimu..." Reino mencium dahi Aurora.

Tapi Aurora melangkah mundur menjauhkan jangkauan Reino padanya. "Aku...akan pergi dari rumah ini jika memang kamu hendak menjualnya tidak apa, ibumu sudah mengabariku masalah perusahaanmu yang membutuhkan dana..." Aurora menepis tangan Reino yang hendak menggapainya. Sudah cukup kau menipuku dengan segala trik murahanmu...

"Maksudmu aku mengajakmu pindah karena hendak menjual rumah ini untuk kepentingan perusahaan? Ayolah Rora, serendah itukah aku di matamu? Perusahaanku tidak ada hubungannya dengan semua ini..."

Aurora tersenyum sinis. "Kita cerai saja.."

"Rora... Sayang, jangan pernah berkata seperti itu... Kumohon.." Reino menarik Aurora mendekat tapi wanita itu tetap menepisnya.

"Berhentilah bersandiwara... Bahkan aku sudah lupa kapan terakhir kamu berkunjung"

"Jangan naif Ra, kamu yang mengizinkanku untuk menikah lagi, seharusnya kamu bisa menerima konsekuensinya... Bukan seolah menjadi korban" Reino berkata dengan emosional.

"Ya, tapi saat itu kamu berjanji untuk mengutamakan aku, tapi nyatanya bersikap adil saja kamu tidak mampu!" Aurora membalas dengan suara yang tidak kalah nyaring.

Reino membuang muka.

"Aku akan mengemasi semua barangku.. kita cerai saja"

"Aurora!" Reino menampar pipi Aurora, membuat wanita itu terkejut. "Jangan bicara sembarangan soal perceraian.. renungkan tindakanmu!"

Aurora tertawa mengejek. "Kamu menyuruhku apa?" Aurora memegang pipinya yang terasa perih. "Seharusnya kamu yang renungkan sikap-sikapmu, bukan sebaliknya!" Aurora melangkah pergi meninggalkan Reino dan pergi keluar rumah.

"Kamu mau kemana malam-malam?! Aurora!" Reino mengejar Aurora, mengikuti nya keluar pekarangan. Belum pernah dilihatnya Aurora membentaknya bahkan berkata kasar padanya. Aurora adalah gadis penurut dan penuh kasih sayang.

Aurora berbalik dan mengangkat tangannya meminta Reino berhenti mengikutinya. Air matanya menetes, matanya mulai sembab dan ia berusaha mengendalikan nafasnya. "Biarkan aku sendiri.. aku butuh ruang untuk diriku.."

Untuk pertama kalinya Reino melihat raut wajah Aurora yang seperti itu. Hatinya terasa sakit. "Kalo begitu kembalilah ke rumah, biar aku yang pergi.. " Reino mengulurkan tangannya.

Aurora menggeleng. "Terserah kamu mau pergi atau pulang kembali pada istrimu yang cantik itu, aku tidak peduli.. " Aurora kembali berbalik dan berlari menjauh, tanpa menoleh. Ia tidak tahu Reino berusaha mengejarnya, tapi kehilangan diriny karena kembali terlebih dahulu untuk mengunci pintu rumah.

Dengan nafas tersengal, Aurora menghentikan langkahnya di depan caffe langganannya. Ia merogoh sakunya dan menemukan beberapa lembar uang kertas. Kemudian ia masuk dan memesan segelas kopi dingin. Ia duduk di sudut caffe, pandangannya kosong.

"Ini minuman anda..." Seorang Barista memutuskan mengantar minuman milik Aurora. Tapi ketika menyapa, wanita itu bergeming.

"Maaf kak, ini minumannya.. "

"Ah, maaf... Iya terimakasih" Aurora mengangkat wajahnya, ia mendapati seorang Barista sedang menatapnya dengan ekspresi aneh. "Ada apa?"

"Itu.. pipi Anda sangat merah dan bengkak" Barista itu menunjuk ke arah pipi Aurora.

Aurora meraba pipinya. Kulit wajahnya seperti bentolan yang menebal. Terasa panas dan pedih sekaligus. Jika tidak diingatkan mungkin ia belum menyadarinya. Rupanya rasa sakit hatinya jauh lebih mendominasi inderanya. "Haha .. gak apa-apa ini bukan apa-apa, pergilah.."

Barista itu kemudian mengangguk-anggukan kepalanya dan pamit kembali ke tempatnya. Lelaki itu menatap pilu pelanggannya. Hatinya terasa kurang nyaman.

Aurora menghela nafas. Ia kemudian mulai meminum kopinya. Tangan kanannya mulai mencari chat dari group yang berisikan sekumpulan wanita-wanita nakal yang ia add berapa bulan lalu.
Ada seorang wanita yang memberikan informasi mengenai arisan plus plus terselubung.
Pemenangnya akan di layani gigolo muda profesional.

"Nay, aku boleh tanya-tanya soal A Gentleman's sugar Baby?" Aurora bertanya dengan suara bergetar.

Diujung telepon seorang wanita menjelaskan secara singkat. Setelah beberapa waktu, Aurora memutuskan sambungan telepon. Dengan tanpa keraguan, akhirnya Aurora mendaftar pada tautan yg dikirim wanita itu. Ia mendaftar dengan nama palsu dan memasukkan jadwal pertemuan serta mengklaim harga yang harus ia bayar beserta lokasi pertemuannya.

Ia sudah memutuskan, neraka mana yang hendak ia tuju.. ia akan melepaskan segala hal mengenai dirinya yang naif..

A Gentleman's sugar babyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang