1 | panggung pertama

3.7K 528 84
                                    

⟦ 1 | panggung pertama ⟧

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

1 | panggung pertama

⁺೨*˚·

"Kin, gue ngantuk, deh." Helga yang duduk di samping mengistirahatkan kepalanya di pundakku.

Suasana aula masih terbilang kondusif, tiga narasumber di depan sudah bergantian berbicara, tentu dijembatani oleh seorang moderator. Dan sungguh, materi yang mereka sampaikan betulan menarik, tapi kondisi perut dan hari yang kian beranjak terik membuat kantuk menjadi sesuatu yang tak terelakkan. Sudah cukup banyak anak yang mulai menghibur diri sendiri dengan bermain ponsel, beberapa bahkan tidak keberatan untuk berbagi kekeh satu sama lain dengan teman di samping.

"Gue laper," aku ikutan mengeluh. Ajaibnya, seolah mengabulkan permintaanku, moderator di panggung mengembalikan acara kepada MC yang langsung menutup sesi materi dan membuka sesi istirahat beserta hiburan.

Aku dan Helga sontak berpandangan. Kami bersorak serendah mungkin. Akhirnya, ya Tuhan.

Tinggal menghitung menit sampai sebuah nasi kotak berakhir di pangkuanku, siap membungkam cacing yang mengomel sedari tadi di dalam perut.

"Halo, semuanya!" Sapaan yang tersambung dengan pengeras suara itu kontan mengundang perhatian semua siswa yang tengah bersemangat hendak menyantap makan siang. Termasuk aku, yang tanpa pikir dua kali, mengenali siapa pemilik suara tersebut. Abra. Sepertinya band-nya akan tampil di sesi ini. "Wih, udah pada laper ya pasti? Nah, selagi kalian nikmatin makan siang gratis dari alumni tersayang kita semua, Gadarma mau nemenin kalian biar makannya lebih syahdu. Jangan lupa ngunyahnya santuy aja, 33 kali, oke? Eh, gais, sini siap-siap!"

Seruan terakhir Abra menghadirkan tiga lelaki lain yang menyusul ke panggung. Mataku menyipit. Abra, Krama, dan dua orang lainnya yang belum pernah kulihat—

Tunggu.

Oh. Oh, tentu saja, Kinar!

Lelaki yang menjemput gitar titipan Abra itu pasti salah satu anggota band juga, kan?

Suara Abra kembali menggema, "Oke, bagi yang belom kenal siapa aja sih orang-orang ganteng yang ada di depan kalian ini," aula kemudian disesaki oleh seruan hu rendah dan Abra terkekeh pendek, " ... gue kenalin satu-satu, yak. Gue Abra sebagai vokalis Gadarma. Itu Krama, gitaris. Di belakang ada Gibran, drummer. Terakhir, Sam sebagai bassist. Lagu pertama yang bakal kami bawain...."

Sam.

Sam?

Tanpa sadar aku melafalkan nama itu pelan. Aku baru tahu ada nama semacam itu di angkatan kami. Iya, benar, lelaki penjemput gitar tadi itu ternyata bernama Sam. Si bassist.

Penampilan Gamarda perlahan menghidupkan atmosfer aula seiring dengan alunan lagu Mata ke Hati milik Hivi! yang dibalut oleh vokal Abra memenuhi rungu. Semenjak SMP, Abra memang aktif sekali menjadi anggota band sekolah. Aku akui suaranya enak didengar.

Tapi sekarang bukan itu yang penting.

Melainkan ... perhatianku yang terus tertuju pada lelaki bassist itu. Sosoknya berdiri di pinggir, sejajar dengan Abra yang berada di tengah. Jemarinya tegas memetik senar bass, kepalanya dianggukkan sesuai irama, helai-helai rambut hitamnya berayun-ayun jatuh di dahi. Lelaki itu nyaris tidak pernah menyapa penonton dengan kedua matanya, berbeda dengan ketiga temannya yang banyak tingkah. Padahal, seingatku, netra almon miliknya berpendar bersahabat ketika mengajakku bicara di luar aula tadi.

Di pertengahan lagu, ada kejadian kecil yang membuat seisi aula tertawa, disusul oleh riuhnya tepuk tangan. Reaksi itu ditujukan untuk kesalahan klasik yang Abra lakukan: lupa lirik. Aku ikut tersenyum geli menyadarinya. Ketika pandanganku bergeser, kutemukan bassist di ujung kiri itu ternyata ikut melepas tawa tak bersuara.

Napasku seperti tertahan di tenggorokan bersamaan dengan munculnya desir yang menjalari permukaan kulit.

"Kin." Helga menyenggol lenganku. "Lo mau kulit ayamnya nggak? Gemes nih gue daritadi nggak lo makan-makan. Mending buat gue aja sini."

" ... eh? Oh, buat lo aja."

Helga sempat terdiam sebelum menyendok kulit ayam yang memang sengaja kusisihkan. "Aneh banget lo tiba-tiba mau ngerelain nikmat semesta satu ini," gumamnya.

Aku mengabaikan Helga, menggigit bibir. Mataku menjurus lurus pada panggung lagi. Walaupun sekarang Sam si bassist sudah kembali khusyuk memetik senar, tawa yang sempat kurekam tadi terbayang kembali di otak.

Benakku penuh.

Namanya Sam.

Tanpa sadar aku memutar informasi itu di kepala seolah takut beberapa menit kemudian nama itu akan lindap begitu saja. Nyatanya, nama itu berikut tawanya yang ikut menggelitik bibirku, seperti menemukan tempat ternyaman di suatu sudut benakku dan memutuskan untuk tinggal di sana, entah sampai kapan.

⁺೨*˚·


yogyakarta, 5 mei 2020.

twinkles.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang