20

482 26 16
                                    

Terkadang dia datang tidak lagi untuk menjadi pengganggu, melainkan perantara penenang yang Allah kirimkan.

-Takdir Cinta-

Awan hitam mengambang namun tidak mengalihkan atensi isi jalan raya yang bersiutan saling bersalip-salipan. Sang hati juga masih enggan untuk pulih, pernis hati berkerak kelebaman. Zahra duduk di tepi bangku halte, menunggu salah satu mikrolet berhenti di depannya.

Ia tidak menangis, memangnya apa yang harus ditangisi? Hatinya hanya sakit mengingat pernyataan Rizal tadi malam. Tangannya meraba dada, mencengkeram kuat permukaan bajunya. Seakan menahan sakit yang membabi buta, Zahra memejamkan mata mencoba berdamai dengan dunia, menerima takdir Tuhan dengan lapang dada.
Demi Dia yang Menggenggam erat ruh hamba-Nya. Sungguh! Hitamnya awan masih kalah kelam dengan hati Zahra saat ini.
Matanya masih terpejam memfilosofikan awan yang enggan memberi kepastian.

Suara klakson busway menghentikan jeritan hatinya, ia melangkah, langkahnya tak lagi pelan kakinya sudah sembuh akibat terapi akhir-akhir ini. Ia hanya perlu mengobati gegarnya. Maka dari itu, hari ini Zahra pergi menemui dokter sesuai jadwal dan janji.

Zahra duduk di kursi kanan, kepalanya menyandar pada tepian kaca, matanya menatap kosong pada titik hujan yang mulai menampar kaca jendela. Jalan raya senyap, beberapa pengendara menepi menunggu reda hujan kembali sedang laju busway itu membela gemuru tirai putih yang menderu.

Pikiran Zahra berselancar, tersirat jelas luka dimatanya. Seolah-olah orang-orang di sekitar menatap Zahra prihatin membisikkan aura negatif pada diri Zahra, mau tak mau matanya merembas tak tertahan padahal jelas sudah itu semua hanya prasa belaka.
Zahra menutup wajah menggunakan sisa juntaian kerudung, ia biarkan pikirannya mengingat kembali kejadian semalam.

-
"Ra, aku mau bicara." Rizal membuka suara pada Zahra yang sibuk merapikan baju di ujung sana. Saksama Rizal memperhatikan punggung istrinya, sebenarnya ia ragu untuk berkata.

Zahra menoleh, sunggingan senyum begitu teduh tertampak. "Iya? Mau bicara apa, Mas?" tanya-nya mengkerutkan dahi. Bingung melihat wajah Rizal yang tegang di sofa sana.
Angggun Zahra berjalan mendekat ke arah Rizal. Menyentuh pundak sang suami penuh kasih dan cinta.

"Mau bicara apa?"

Rizal menarik napas dalam-dalam membalik tubuhnya menghadap Zahra seraya menggenggam lembut tangan istrinya. Zahra tertawa kecil melihat tingkah suaminya yang menurut Zahra cukup aneh.

"Kenapa Mas?" tanya Zahra lembut.

"A-aku ingin menambah makmum," gagap Rizal, napasnya sedikit tertahan menunggu jawaban dari si lawan.

Semburat merah hadir di wajah Zahra, menunduk kepalanya tak berani menatap Rizal. Ia mengulum senyum berusaha mengontrol detaknya yang mulai melaju sebab kegirangan, tak tahu kalau-kalau akan bahagia itu hanya berlaku di menit ini saja, tidak berikutnya.

"Apakah harus sekarang?" Masih dalam tunduknya Zahra bertanya penuh rona merah di pipi.

Rizal yang mengerti kemana arah pembicaraan Zahra langsung menepis dengan perkataan, kalau Zahra salah paham. "Bukan itu maksudku, Ra."

Zahra mengernyit. Rizal mencengkeram kedua bahu Zahra lembut, menginstruksikan agar Zahra menatapnya.

"Izinkan aku menikah lagi."

Deg!

Zahra PoV

Bagai langit-langit dunia menimpa, aku tak berkedip barang sekalipun mataku mencari kebohongan di mata mas Rizal, namun tak juga aku temukan.
Sedikitpun tidak tersirat bohong disana, matanya begitu jujur mengatakan itu memanglah benar keinginannya. Entah goresan keberapa yang ku terima, namun percayalah, ini adalah goresan terberat yang aku rasakan selama hidup bersama mas Rizal.

Takdir Cinta [BAKU]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang