BAB 2. Mulai aja dulu

295 50 16
                                    

Para siswa dan siswi memasuki halaman sekolah. Sarah dan Angga melihat Ali.

"Al!" panggil Angga.

Ali menoleh, wajahnya tampak senang. "Wih! Angga, Sarah! Asik nih, ngumpul lagi kita. Kalo enggak salah, kita juga dapet kelas yang sama ya?"

"Betul, Al" sahut Angga.

Mereka tos.

"Ngomong-ngomong, asik juga nih. Sekolah kita kan deket sama mall," kata Sarah.

"Kalo deket kenapa? Emang sih, pencahayaan mall bisa bikin Angga jadi keliatan kayak punya duit. Terus, mau nyender doang sampe diusir satpam?" canda Ali.

Angga tertawa. "Sialan Gue dibawa-bawa. Orang bokek, emang bawaannya sinis terus."

Mereka tertawa.

3 remaja ini bersahabat sejak kecil. Ali yang dibesarkan hanya oleh ayahnya, pernah tinggal di rumah sewa milik ayahnya Sarah, Ustad Yusuf. Angga yang hingga saat ini tidak diketahui siapa orang tuanya, sejak bayi dibesarkan oleh keluarga Sarah.

Saat ketiganya duduk di bangku SMP kelas 3, Ali dan ayahnya pindah ke rumah sewa lain yang jauh dari rumah Sarah. Angga juga memilih pindah, ia tinggal di panti asuhan yang juga milik Ustad Yusuf. Sejak itu mereka jarang berjumpa. Hari ini mereka berkumpul lagi sebagai remaja di sekolah yang sama.

Suara bel sekolah berdentang. Para siswa dan siswi bergegas masuk ke dalam kelas.

*****

Jegrek! Pintu kelas terbuka. Seorang guru berwajah galak memasuki kelas. Suasana yang tadinya ramai langsung berubah hening.

Guru itu memandangi wajah para muridnya dengan tatapan bengis. "Macam sedang ada kerusuhan saja di sini!"

Bagai ada standar protokol, semua murid mendadak duduk tegak dengan dua tangan di atas meja, kecuali Ali.

Ali yang duduk sendiri di pojok belakang, tetap duduk menyandar dengan santai, masih asyik sendiri dengan bukunya.

Mata sang guru menyipit melihat Ali. Pelan-pelan tangannya meraih kapur dan mematahkannya jadi separuh. Setelah memicingkan sebelah mata seperti penembak jitu, sang guru menjentikkan jarinya sehingga kapur itu terbang melesat dan jatuh tepat di jidat Ali.

"Aduh!" Ali terkejut, ia langsung memberi perhatian penuh pada gurunya.

Murid-murid tertawa pelan.

"Selamat pagi!" sapa Pak Silitonga dengan suara menggelegar..

"Selamat pagi, Pak!" jawab para murid serempak.

"Baiklah anak-anak! Aku ini wali kelas kalian dan mengajar ekonomi. Hari ini kita berkenalan saja dulu, ada yang pernah kenal dengan aku?" tanya Pak Silitonga sambil mencari-cari wajah yang ia kenal.

Para murid menggelengkan kepala, sebagian menjawab 'belum'

"Bah! Tak ada yang tinggal kelas? Terlalu jelas rupanya guru-guru mengajar, kekekek."

Pak Silitonga mengambil kapur sambil menatap tajam, sehingga para murid langsung waspada. Ternyata ia menuju papan tulis untuk menulis namanya.

"Perkenalkan, namaku Ronald Silitonga! Siapa namaku?" tanya Pak Silitonga.

"Pak Ronald Silitonga" jawab para murid.

"Keren kali namaku ini! Tapi, entah kenapa pulak mamakku malah memanggilku Ucok? Bahkan! Kawan-kawanku di Siantar pun, malah memanggilku Onang! Memang, William Shakespeare pernah berkata, apalah arti sebuah nama. Hey, kawan yang duduk sendiri di pojok, apalah pentingnya sebuah nama?" tanya Pak Silitonga pada Ali.

Al Kahfi Land 3 - DelusiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang