[37] Dilarang Bersimpati

2.8K 397 19
                                    

“Simpati, empati, peduli

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

“Simpati, empati, peduli. Bagi dia?
Itu cuma kalimat manis yang menipu.”

***

NADIA menyendokkan nasi hangat ke atas piring Raja lalu memberikan kepadanya.

“Gimana hasil pemeriksaannya tadi?” tanya Nadia. Dia bertopang dagu memperhatikan Raja yang sekarang sibuk menyendok makanan yang tersaji di atas meja.

“Alhamdullilah sayang. Kesehatan aku baik. Hasil pemeriksaannya ada di dalam tas. Nanti aku kasih lihat ke kamu.” Raja memberikan senyum singkat pada Nadia lalu memfokuskan matanya lagi ke makanan.

“Alhamdullilah.” Nadia bernapas lega. “Mulai sekarang, kamu harus jaga kesehatan kamu dengan baik. Jangan sampai jatuh sakit.”

“Iya sayangku. Oh ya tadi kamu kemana?” Raja bertanya sembari mengunyah makanan. “Waktu aku selesai mandi, kamu nggak ada.”

Nadia mengarahkan telunjuknya keluar jendela. “Ke rumah Rahma sebentar. Ngasih makanan buatanku ke dia.”

“Rahma jadi kelinci percobaan lagi?” Raja tersenyum geli. “Kasian banget dia.”

Nadia mendelikkan mata. “Kalau gitu nggak usah makan.” Dia menarik piring Raja tapi Raja menariknya lagi.

“Bercanda sayang! Duh sama sekali nggak bisa diajak bercanda.” Raja menenangkan Nadia. Dia menyendok tumis kangkung ke dalam piring. “Kemampuan memasak kamu ada kemajuan kok.” Dia memberikan pujian.

“Masa?”

“Benaran!” Raja menyakinkan, dia menunjuk tumis kangkung, tempe orak-arik dan ayam masak kecap buatan Nadia. “Nyatanya semua masakan ini bisa dimakan, nggak keasinan kayak dulu. Ada kemajuan, benaran.”

“Syukurlah kalau gitu. Soalnya memasak itu kelemahan aku.” Nadia menuangkan air ke dalam gelas dan memberikannya pada Raja. “Aku sudah bilang sama kamu.”

Raja nyengir. “Satu-satunya orang di Indonesia yang bisa membuat air rasanya  gosong.” Dia mulai bercanda lagi namun Nadia hanya membalas dengan gelengan kepala.

“Tadi kamu bilang kesal sama Anita, kenapa?” Nadia bertanya penasaran. Ketika di kantor dia menerima pesan berantai dari Raja, curhatan hati suaminya yang menunggu bosan di kantor Anita.

“Anita berubah!”

“Berubah kenapa?”

“Dulu dia selalu ada waktu buat aku. Biasanya kan kalau setelah pemeriksaan rutin kami selalu nongkrong di kantin rumah sakit.” Raja menggelengkan kepala. “Sekarang dia nggak bisa! Dia nggak punya waktu untuk itu lagi.” Suaranya sangat mencerminkan kekecewaan.

Jodoh Terbaik Nadia [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang