(10) Dazzling

18.5K 2.1K 255
                                    


Setelan yang kutukar di High End adalah gaun compact Egyptian poplin dress dari Prada. Gaun berbahan lembut dan tipis dari bahan 100% katun. Panjangnya hingga beberapa senti di bawah lutut, dengan ikat pinggang imut melingkari bagian perut atas. Warnanya cokelat kalem. Ketika aku berjalan, gaun itu berkibar seolah-olah aku sedang di karpet merah. Dari segi desain, nggak terlalu mencolok atau aneh-aneh. Makanya kubilang gaun ini cocok untuk yang wajahnya nggak se-fashionable Nadia.

Potongan leher gaun ini berbentuk V, agak bawah hingga menonjolkan belahan dadaku. Awalnya aku merasa tidak nyaman, takutnya Raven mengira aku cabe-cabean karena sok-sokan seksi. Namun setelah tahu tugasku adalah membuat Pak Suseno senang, kurasa potongan leher ini kurang turun ke bawah. Mungkin harusnya sampai ke pusarku sekalian—supaya Pak Suseno jantungan.

Rambutku diikat kuncir kuda, sangat ketat ditarik ke belakang dan diberikan hairspray banyak-banyak supaya tidak ada anak rambut yang mencuat keluar. Anwar yang paling jago menata rambutku, juga mengaplikasikan makeup di wajahku. Dia sampai bertengkar dengan Angel gara-gara nggak sependapat.

"Monika tuh rahangnya agak tegas, jadi highlight warna ini jengong dipoles di sini, Say! Alemong, emang deseu ratu ular, hah?"

"Tapi ini kan kotak makeup gue!" balas Angel berapi-api.

"Kotak makeup doang yang kamu punya, Say. Skill makeup sih tinta."

Untungnya Yuni berhasil melerai dan menyelesaikan makeup-ku sebelum Boon datang. Angel meminjamkan bedak dan lipstik kalau-kalau perlu dipoles ulang. Satu-satunya yang kuharapkan ketika aku bertemu Raven adalah cowok itu nggak ngeh bahwa setelan ini bukan setelan yang dipilih Nadia siang tadi.

Mobil yang Boon kemudikan berhenti di sebuah area khusus VIP. Kami berdua keluar dan berjalan menuju gedung VIP bandara. Sengaja aku membawa map itu dan membacanya sambil berjalan, supaya Raven menganggapku cewek cerdas ke mana-mana bawa dokumen. Laki-laki itu menyambut kami di pintu masuk. Dia mengenakan jas dan celana katun warna senada, lalu kemeja hitam di baliknya tidak dikancingkan sampai ke atas. Jadi, aku bisa melihat sedikit bagian dadanya.

Raven tampak menawan. Aku jadi merinding disko hanya dengan menatap sosoknya. Seolah-olah aku merasakan sensasi hangat di seluruh tubuhku. (Padahal dia masih pakai baju, lho.)

"Suseno masih terjebak di Semanggi," sapanya ketika kami tiba. Sejenak Raven mengamati penampilanku. Mungkin dia sedang berpikir apakah ini baju yang tadi Nadia pilihkan atau bukan. Yang kutahu Raven nggak begitu mengamati hasil belanja Nadia. Dia sibuk menelepon ke sana kemari. "Kita masih punya waktu untuk briefing sebelum dia datang."

Alhamdulillah, wa syukurillah. Dia nggak komentar apa-apa.

Logikanya sih nggak, ya. Toh total belanjanya lebih murah, kok dibandingkan hasil belanjaan Nadia tadi. Kalau pakai pilihan Nadia, totalnya sekitar 75 juta, termasuk sepatu. Yang kukenakan ini, karena ini dress terusan, jadi hanya satu item saja yang dibayar. Plus sepatu totalnya 67 juta. Masih lebih murah 8 juta dari pilihan Nadia. Dan 8 juta tuh dua bulan gajiku di High End. Raven harusnya berterima kasih kepadaku karena aku menyelamatkan 8 juta uangnya dari terbuang percuma.

Raven membawaku masuk ke sebuah ruangan yang terlihat jadul sekali dekorasinya. Sofanya empuk, berwarna putih pudar, dan ada lampu kristal menggantung di atas. Camilan pasar disajikan mewah di atas piring-piring putih lebar. Tampak seperti ruangan presiden.

Satu dinding ruangan ditempeli kaca jendela dari lantai hingga ke langit-langit. Di luar jendela tersebut, ada sebuah lapangan luas yang diterangi lampu pijar yang sangat menyilaukan, lalu ada sebuah pesawat sedang terparkir bersama beberapa mobil kecil berbentuk aneh. Suara di luar cukup bising. Seperti dengungan mesin yang memekakkan telinga.

Crazy Rich Man Who Controls EverythingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang